Professional Documents
Culture Documents
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
Tim Penyunting :
Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc
Dr. I Wayan S Dharmawan, S.Hut, MSi
Dr. Ika Heriansyah, S.Hut, M.Agr
Kementerian Kehutanan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Konservasi dan Rehabilitasi
Desain Sampul :
Tommy Kusuma AP
P3KR 2014
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang
Diterbitkan oleh :
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan
Rehabilitasi (P3KR)
Jl. Gunung Batu No. 5
Bogor, Indonesia
Telp : (0251) 8633234
Fax : (0251) 8638111
E-mail: p3hka_pp@yahoo.co.id
Website: http://www.puskonser.or.id/
Dicetak oleh :
Balai Penelitian Teknologi Kehutanan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
ii
Tim Penyunting
Penanggung Jawab
Redaktur
Penyunting
Sekretariat
iii
KATA PENGANTAR
Daya dukung daerah aliran sungai (DAS) adalah kemampuan DAS
untuk mewujudkan kelestarian dan keserasian ekosistem serta
meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia dan
makhluk hidup lainnya secara berkelanjutan. Daya dukung DAS harus
ditingkatkan sebagai akibat dari terjadinya penurunan daya dukung
DAS yang ditandai dengan banjir, tanah longsor, erosi, sedimentasi
dan kekeringan yang mengakibatkan terganggunya perekonomian
dan tata kehidupan masyarakat. Daerah aliran sungai termasuk
kategori dipertahankan atau dipulihkan daya dukungnya tergantung
dari kondisi lahan, kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial
ekonomi, investasi bangunan air, dan pemanfaatan ruang wilayah.
Permasalahan pengelolaan DAS saat ini adalah penurunan kualitas
DAS di Indonesia sebagai akibat pengelolaan sumber daya alam yang
tidak ramah lingkungan serta meningkatnya ego sektoral dan ego
kewilayahan. Untuk itu maka pengelolaan DAS merupakan upaya yang
sangat penting untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan
timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS
dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian
ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi
manusia secara berkelanjutan. Pengelolaan DAS meliputi kegiatan
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta pembinaan
dan pengawasan yang diselenggarakan secara terkoordinasi dengan
melibatkan Instansi Terkait pada lintas wilayah administrasi serta
peran serta masyarakat. Dengan terbitnya PP Nomor 37 tahun 2012
tentang Pengelolaan DAS, maka Indonesia memiliki acuan sehingga
pengelolaan DAS secara terpadu dapat dilaksanakan dan daya dukung
DAS dapat dipertahankan. Selain itu dukungan IPTEK di bidang
pengelolaan DAS diperlukan untuk menjawab permasalahanpermasalahan tersebut.
Dalam rangka memberikan sumbangan pemikiran dan dukungan
dalam pengelolaan DAS, Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS
(BPTKPDAS) menyelenggarakan Kegiatan Seminar Nasional Hasil
Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS 2013. Penyelenggaraan tersebut
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................
DAFTAR ISI.......................
v
vi
PENGARAHAN
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan...............
viii
RUMUSAN
Rumusan Seminar.......................................
xii
MAKALAH-MAKALAH
1. Aspek Hukum Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 Tentang
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai / AL Sentot Sudarwanto
(UNS)............................................................................................
2. Hubungan Antara Luas Hutan Pinus Dan Aliran Dasar Di Sub
DAS Kedungbulus, Kebumen / Irfan Budi Pramono dan Wahyu
Wisnu Wijaya (BPKTPDAS)..............................................
3. Hubungan Antara Karakteristik Hujan Dan Banjir Di Sub DAS
Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri / Irfan Budi Pramono,
Gunardjo Tjakarawarsa (BPKTPDAS)...........................................
4. Pemanfaatan Citra dari Google Earth dan DEM Aster yang
Bebas Diunduh untuk Mendapatkan Beberapa Parameter
Lahan / Tyas Mutiara Basuki, Nining Wahyuningrum
(BPKTPDAS)..................................................................................
5. Kajian Kelembagaan Konservasi Tanah dan Air Di Hulu Sub
DAS Gandusuwaduk, Pati Jawa Tengah / C. Yudilastiantoro
(BPKTPDAS)..................................................................................
6. Pemetaan Kawasan Rawan Kebakaran Hutan dengan
Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem
Informasi Geografis: Studi Kasus di Taman Nasional Bali Barat
/ Arina Miardini, Nunung Pujinugroho (BPKTPDAS)...................
7. Model Pengendalian Banjir Terpadu Berdasarkan Parameter
Utama Penyebab Banjir Di DAS Bengawan Solo Hulu / Alif
Noor Anna, Suharjo, Yuli Priyana, Rudiyanto (UMS)..................
8. Pertumbuhan Tanaman Rehabilitasi Pola Agroforestry
Sengon dan Jabon pada Lahan Terdegradasi Di Tlogowungu
Pati / Heru Dwi Riyanto, Gunardjo Tjakrawarsa (BPKTPDAS)....
vi
18
38
53
74
86
106
130
146
163
191
208
LAMPIRAN
Jadwal Acara.......................................................................................
Daftar Peserta.....................................................................................
Hasil Diskusi.........................................................................................
vii
219
222
227
PENGARAHAN
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Dalam
Seminar Nasional Hasil Penelitian
Teknologi Pengelolaan DAS 2013
Yth.
Yth.
Yth.
Yth.
Yth.
Yth.
Yth.
Yth.
Yth.
Yth.
Yth.
Yth.
Yth.
Yth.
viii
Assalamualaikum Wr.Wb.
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua,
Mengawali sambutan ini, marilah kita panjatkan puji dan syukur
kehadirat Allah SWT, karena atas berkah dan rahmatNya pada hari ini
kita dapat menghadiri acara pembukaan Seminar Hasil-Hasil Penelitian
Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai tahun 2013 dalam
keadaan sehat walafiat. Ekspose hasil-hasil penelitian Balai Penelitian
Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Solo ini saya
nilai sangat strategis mengingat tiga hal, yakni tahun ini merupakan
peringatan 100 tahun litbang kehutanan berkarya di Indonesia;
perlunya solusi yang tepat terhadap permasalahan kerusakan dan
penurunan daya dukung DAS yang diikuti dengan meningkatnya
bencana ekologis dan hidrometeorologi; dan momentum untuk
memformulasikan program dan kegiatan litbang BPTKPDAS Solo
tahun 2015-2019 yang gayut dengan kebutuhan pengelolaan DAS di
Indonesia.
Saudara-saudara sekalian,
Sejarah panjang penelitian kehutanan di Indonesia diawali dengan
berdirinya Bosbouw Proef Station Voor Het Boswezen di Bogor pada
tanggal 16 Mei 1913. Pada era kolonial Belanda, banyak hasil penelitian
yang membanggakan yang dihasilkan oleh para peneliti Belanda yang
mempunyai disiplin kerja yang tinggi. Hasil penelitian tersebut, antara
lain mencakup botani hutan, silvika, silvikultur tanaman Jati, bonita
dan konservasi hutan. Hasil penelitian tersebut pada umumnya sangat
membantu pengelolaan hutan tanaman jati di Jawa. Hasil-hasil
penelitian tersebut juga dipublikasikan pada majalah ilmiah Tectona,
yang merupakan salah satu majalah ilmiah paling bergengsi di dunia
pada zaman tersebut. Namun pada era penjajahan Jepang (19421945), institusi litbang praktis tidak berkembang karena Jepang tidak
memperdulikan pentingnya riset kehutanan dan bahkan
mengeksploitasi hutan-hutan jati di Jawa untuk kepentingan perang.
Selanjutnya, pada era Kemerdekaan sampai Orde Lama (1945- 1965),
institusi litbang tersebut hanya survive dengan nama Balai
Penyelidikan Kehutanan dengan hasil penelitian yang kurang
signifikan. Pada Awal Orde Baru (1966) sampai dengan pertengahan
ix
xi
Saudara-saudara sekalian,
Terkait dengan kebutuhan iptek pengelolaan DAS, Indonesia saat ini
dihadapkan pada permasalahan lingkungan hidup yang sangat serius
yakni fenomena perubahan iklim dan kerusakan DAS. Ke duanya
mempunyai interrelasi yang sangat kuat di mana deforestasi dan
degradasi hutan merupakan salah satu sumber emisi gas rumah kaca
yang menyebabkan pemanasan global dan pada tataran lokal
kerusakan sumberdaya hutan bersamaan dengan meluasnya lahan
kritis akibat pengabaian teknik konservasi tanah dan air menyebabkan
penurunan daya dukung DAS. Bencana hidrometeorologi yang
semakin sering menimpa Indonesia, berupa banjir, tanah longsor dan
kekeringan serta kerusakan ekologi berupa erosi dan sedimentasi
diyakini dipicu oleh faktor antropogenik berupa intervensi manusia
terhadap sumberdaya hutan dan lahan yang berlebihan. Kejadian
bencana tersebut menimbulkan kerugian material dan immaterial yang
tinggi dan bahkan seringkali menimbulkan korban jiwa.
Deforestasi dan degradasi hutan serta kerusakan lahan di luar
kawasan hutan yang masif belum sepenuhnya dapat diimbangi oleh
kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Meskipun laju kerusakan hutan
turun menjadi 450.000 ha/tahun pada periode 2010-2011 dari yang
sebelumnya 2,83 juta ha/tahun pada periode 1997 sampai dengan
2000, namun hutan dan lahan kritis yang ada saat ini masih sangat
tinggi yakni sekitar 51,67 juta hektar. Sementara itu, kinerja rehabilitasi
hutan dan lahan, yang dihitung berdasarkan prestasi RHL sebesar
2.009.881 ha dari tahun 2003-2008, hanya mencapai 500.000 ha/tahun.
Kinerja RHL sebesar 500.00 ha/tahun tersebut hanya dapat mengatasi
laju kerusakan hutan dan belum dapat mengatasi hutan dan lahan
kritis yang ada. Hutan dan lahan kritis tersebut berada pada DAS
prioritas di mana di seluruh Indonesia terdapat 458 DAS prioritas di
antaranya 282 DAS merupakan prioritas I dan II. Sehubungan dengan
itu, Kementerian Kehutanan menetapkan salah dua dari 18 Sasaran
Strategis tahun 2010-2014 berupa rencana pengelolaan DAS terpadu
sebanyak 108 DAS prioritas; dan tanaman rehabilitasi pada lahan kritis
di dalam DAS prioritas seluas 2,5 juta ha.
xii
xiii
pengelolaan DAS yang obyektif, rasional dan utuh mulai dari tahapan
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi sampai dengan
pembinaan dan pengawasan. Untuk menyelenggarakan pengelolaan
DAS yang baik perlu dukungan IPTEK di bidang pengelolaan DAS yang
adaptif sebagai dasar untuk menjawab permasalahan dinamika politik,
sosial, ekonomi dan teknologi yang semakin berkembang.
Lebih jauh lagi, solusi masalah pengelolaan DAS perlu dituangkan
dalam Kebijakan Prioritas Pembangunan Kehutanan, Program dan
Kegiatan yang terukur, realistis dan berkelanjutan, yang kesemuanya
diharapkan tertuang dalam dokumen Rencana Strategis Kementerian
Kehutanan dan Ditjen BPDASPS untuk periode berikutnya (2015-2019).
Permasalahan utama DAS ke depan akan lebih diwarnai permasalahan
eco-resources dengan basis faktor-faktor antropogenik berupa sosial
budaya, sikap, perilaku, pendidikan dan kepercayaan. Kerusakan DAS
pada dasarnya disebabkan oleh intervensi manusia dan oleh karena itu
yang ditangani adalah faktor kemanusiaan itu sendiri. Dalam kaitan ini,
Kebijakan Prioritas Pembangunan Kehutanan dapat diarahkan pada
Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan Peningkatan Daya Dukung DAS dan
Program Peningkatan Fungsi dan Daya Dukung DAS Berbasis
Pemberdayaan Masyarakat. Adapun kegiatan-kegiatan yang perlu
dilakukan, antara lain: penyelenggaraan pengelolaan DAS terpadu
pada DAS prioritas; pengembangan kelembagaan dan mekanisme
monitoring dan evaluasi DAS; dan penyelenggaraan rehabilitasi hutan
dan lahan dan reklamasi hutan.
Hadirin yang berbahagia,
Untuk menyikapi tantangan dalam menjawab kebutuhan masyarakat
dalam pengelolaan DAS, maka pada kesempatan ini, kami mengajak
hadirin baik pemangku kebijakan maupun praktisi, akademisi dan
peneliti untuk berdiskusi dan saling bertukar informasi dan
pengalaman dalam Seminar Hasil-Hasil Penelitian Teknologi
Pengelolaan DAS ini.
Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, BPTKPDAS Solo telah
banyak menghasilkan output penelitian pengelolaan DAS dan
teknologi pendukungnya, namun tampaknya belum banyak yang
xiv
xv
Permasalahan pembangunan kehutanan nasional yang perlu diaddress oleh BPTKPDAS Solo, adalah: 1. Hak ulayat (tenurial) dan akses
masyarakat adat terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan yang
masih rendah; 2. Masih tingginya jumlah penduduk miskin di dalam
dan sekitar hutan; 3. Pengaturan tata ruang yang belum didasarkan
pada daya dukung lingkungan dan kebutuhan optimal setiap sektor
sehingga potensial menyebabkan konflik penggunaan kawasan; 4.
Deforestasi dan degradasi hutan; 5. Bencana hidrometeorologi akibat
luasnya lahan kritis dan tutupan berhutan <30%; 6. Pengelolaan DAS
lintas wilayah administrattif belum terintegrasi dengan baik; dan 7.
Penurunan kualitas DAS.
Kebutuhan iptek pengelolaan DAS ke depan bertumpu pada solusi
masalah-masalah sosial dan tata kelola pemerintahan dan organisasi
yang belum mendukung pemanfaatan sumberdaya hutan dan lahan
yang berkelanjutan dalam unit DAS, pengelolaan sumberdaya alam
dalam DAS yang dapat menjamin kesejahteraan masyarakat dan
kesehatan DAS dan penemuan teknik-teknik rehabilitasi hutan serta
konservasi tanah dan air yang berdayaguna dan berhasilguna. Melihat
permasalahan utamanya adalah masalah manusia dengan segala
faktor-faktor antropogenik dan kelembagaan yang ada maka
pendekatannya adalah eco-resources dengan pola manajemen
kolaboratif dan adaptif serta kegiatan pembangunan ekonomi hijau.
Saudara-saudara sekalian,
Merangkum pemaparan saya di atas, beberapa agenda penelitian yang
perlu diadopsi BPTKPDAS Solo dan dituangkan dalam Rencana
Strategis tahun 2015-2019 adalah sebagai berikut:
1.
Model pengaruh perubahan iklim dan tataruang terhadap daya
dukung DAS;
2. Model pengaruh perubahan iklim dan penutupan lahan terhadap
eco-hidrologi DAS;
3. Model pengaruh pengelolaan DAS dan konservasi Tanah dan Air
terhadap biodiversitas dan serapan karbon;
4. Model koordinasi dan pengatasan konflik tataruang dalam unit
DAS;
xvi
5.
xvii
xviii
2.
3.
xix
4.
5.
6.
7.
xx
arah lereng), jarak dari jalan, dan jarak dari permukiman. Selain itu,
perlu pula dipertimbangkan tipe model yang akan diterapkan
(misalnya model statis atau dinamis) untuk menjawab permasalahan
yang ada.
8. Dalam pengelolaan DAS Mikro, kelembagaan konservasi tanah dan air
di tingkat desa mempunyai peran yang penting di dalam pelaksanaan
kegiatan pengelolaan DAS. Kelembagaan tersebut dapat dibangun
melalui proses kerjasama antara kelompok tani dengan
instansi/lembaga terkait seperti Dinas Pertanian dan Kehutanan
melalui Petugas Penyuluh Pertanian (PPL) dan Perum Perhutani,
sebagaimana yang dijumpai di Desa Gunungsari, Kecamatan
Tlogowungu, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Lembaga
bersama ini berperan dalam merencanakan, melaksanakan serta
memonitor dan mengevaluasi kegiatan konservasi tanah dan air
untuk meningkatkan kesejahteraan bersama melalui pelestarian
hutan, tanah dan air.
9. Dalam pemanfaatan data untuk penelitian (termasuk data PJ), perlu
diperhatikan kualitas data tersebut untuk menjamin keakurasian dari
penelitian yang dihasilkan.
10. Perlu adanya tindak lanjut penelitian dengan menambahkan
komponen-komponen yang diteliti maupun memperbaiki metode
penelitian yang dipakai, sehingga pada akhirnya hasil penelitian
tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan
bermanfaat bagi praktisi lapangan.
11. Seminar hasil penelitian merupakan media komunikasi interaktif
antara peneliti dan praktisi untuk menyampaikan/mendiseminasikan
hasil-hasil penelitian dan pengembangan, mendapatkan umpan balik
dari pengguna hasil penelitian dan menyinergikan hasil-hasil
penelitian antar lembaga penelitian yang terkait. Dengan demikian,
kegiatan seminar ini dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan
baik peneliti maupun praktisi.
Surakarta, 12 Juni 2013
Tim Perumus
1. Ir. Purwanto, M.Si
2. Dr. Nunung Pujinugroho, S.Hut, M.Sc
3. Agung Wahyu Nugroho, S.Hut, M.Sc
xxi
ABSTRAK
Pengelolaan DAS merupakan upaya yang sangat penting sebagai akibat
terjadinya penurunan kualitas lingkungan DAS di Indonesia yang disebabkan
oleh pengelolaan Sumber Daya Alam yang tidak ramah lingkungan dan
meningkatnya potensi ego-sektoral dan ego-kewilayahan. Rencana
pengelolaan DAS harus disusun secara terpadu dan disepakati oleh para pihak
sebagai dasar dalam penyusunan rencana pembangunan sektor dan rencana
pembangunan wilayah pada setiap provinsi dan kabupaten/kota. Kerjasama
lintas sektor dan antarwilayah di dalam DAS Bengawan Solo sangat mendesak
untuk segera dilakukan karena tingkat kerusakan semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Oleh karena itu perlu segera diwujudkan Strategi
Implementasi PP No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS
I.
PENDAHULUAN
Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya dalam tulisan ini disingkat DAS
yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia merupakan kesatuan
ekosistem alami yang utuh dari hulu hingga hilir beserta kekayaan
sumber daya alam dan sumber daya buatan. DAS perlu dikembangkan
dan didayagunakan secara maksimal dan berkelanjutan melalui upaya
pengelolaan DAS bagi kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.
Pengelolaan DAS merupakan upaya yang sangat penting sebagai
akibat terjadinya penurunan kualitas lingkungan DAS di Indonesia yang
disebabkan oleh pengelolaan Sumber Daya Alam yang tidak ramah
lingkungan dan meningkatnya potensi ego-sektoral dan egokewilayahan, karena pemanfaatan dan penggunaan sumber daya alam
pada DAS melibatkan berbagai kepentingan sektor, wilayah
administrasi, dan disiplin ilmu.
Oleh karena itu pengelolaan DAS diselenggarakan melalui
perencanaan, pelaksanaan, peran serta dan pemberdayaan
masyarakat, pendanaan, monitoring dan evaluasi pembinaan dan
pengawasan serta pendayagunaan sistem informasi pengelolaan DAS.
Rencana pengelolaan DAS harus disusun secara terpadu dan
disepakati oleh para pihak sebagai dasar dalam penyusunan rencana
pembangunan sektor dan rencana pembangunan wilayah pada setiap
provinsi dan kabupaten/kota.
Untuk mendukung pelaksanaan pengelolaan DAS yang baik dan
terpadu maka perlu landasan hukum sebagai pedoman bagi sektor
dan pemegang wilayah.
II.
Pasal 12 PP Nomor 37 Tahun 2012 Ayat (1) Berdasarkan hasil proses penetapan
batas DAS yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
dilakukan penyusunan Klasifikasi DAS; Ayat (2) Penyusunan Klasifikasi DAS
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan untuk menentukan: a. DAS
yang dipulihkan; dan b. DAS yang dipertahankan, daya dukungnya; Ayat (3)
Penentuan Klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
berdasarkan kriteria: a. Kondisi lahan; b. Kualitas, kuantitas dan kontinuitas air;
c. Sosial ekonomi; d. Investasi bagunan air; dan e. Pemanfaatan ruang wilayah.
Yang dimaksud dengan menteri terkait dalam penjelasan Pasal 66 Ayat (3)
PP Nomor 37 tahun 2012 antara lain Menteri yang diserahi tugas dan tanggung
jawab di bidang Pekerjaan Umum, Dalam Negeri, dan Lingkungan Hidup.
11
12
Moch. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2010,
hlm. 25.
13
bersama yang dibuat dan diumumkan secara resmi oleh orang yang
memiliki kepedulian pada komunitas.12 Lebih lanjut dikatakan, hukum
hanya layak dipatuhi karena membela kepentingan masyarakat.
Tuntutan ini secara eksplisit ditegaskan Aquinas, tetapi juga secara
implisit dikatakan dalam frase orang yang memiliki kepedulian pada
komunitas. Dari definisi di atas, artinya pemerintah menjadi
pemerintah dan karenanya berhak membuat hukum negara dan
bahkan berhak memaksakannya, karena pemerintah pada esensinya
hadir dan berada demi kepentingan rakyat.13
Dengan mencermati fakta di atas, maka menurut penulis penting
untuk memadukan prinsip ekoregion ke dalam penyusunan rencana
pengelolaan DAS secara kewenangan wilayah administratif,
sebagaimana disampaikan oleh Ketua Pusat Pengelolaan Ekoregion
Jawa (PPEJ) bahwa sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup ada kewenangan pemerintah baik pusat maupun daerah
(Provinsi, Kabupaten/kota) untuk melakukan pengelolaan lingkungan
hidup. Harapan ketua PPEJ dengan pembagian kewenangan yang
diamanatkan, maka peran pemerintah daerah (provinsi,
Kabupaten/Kota) harus optima. Supaya optimal harus punya program
yang terukur. Di samping itu, Pemerintah Kabupaten/Kota
sebagaimana amanat UUPPLH harus mengalokasikan dana untuk
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup karena urusan
lingkungan hidup merupakan urusan wajib sebagaimana mandat
Undang-undang Pemerintah Daerah.14
III.
14
14
15
15
IV.
PENUTUP
2.
3.
DAFTAR RUJUKAN
Ata Ujan, Andrea. 2009 Filsafat Hukum; Membangun Hukum, Membela
Keadilan. Kanisius, Yogyakarta.
Bisri, Mohammad. 2009. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Malang : CV
Asrori.
Hadi, Sudharto. P. 2005. Dimensi Lingkungan Perencanaan
Pembangunan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Mahfud MD, Moch. 2010. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta : Rajawali
Press
Nonet, Phillipe and Phillip Selznick. 2007. Hukum Responsif. Bandung :
Nusa Media.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai.
Rahardjo, Satjipto. 1997. Pembangunan Hukum Nasional dan Perubahan
Sosial, Identitas Hukum Nasional, Yogyakarta : Fakultas Hukum
Univ. Islam Indonesia.
16
17
ABSTRAK
Variasi luas penutupan hutan pinus dalam suatu DAS akan menghasilkan
respon hidrologi yang berbeda sehingga mempengaruhi kuantitas dan
kontinuitas aliran. Aliran dasar merupakan salah satu komponen penting
sebagai indikator kontinuitas aliran pada saat musim kering. Penelitian
dilakukan untuk mengetahui hasil air musim kemarau atau aliran dasar
berdasarkan variasi luas hutan pinus dalam Sub DAS Kedung Bulus,
Kebumen. Aliran dasar dihitung melalui pengukuran langsung dan untuk
mengetahui hubungannya dengan luas hutan didasarkan pada trend
analisis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
persentase penutupan hutan pinus dalam suatu sub DAS maka debit
musim kemaraunya makin besar. Selama musim kemarau, % luas hutan
dalam suatu Sub DAS memberikan pengaruh sebesar 66,8 %, sehingga
33,2 % dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor geologi memegang peranan
penting dalam menghasilkan aliran dasar.
Kata kunci : variasi luas, hutan pinus, aliran dasar, debit musim kemarau
18
I. PENDAHULUAN
Keberadaan hutan dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) mempunyai
banyak manfaat bagi kehidupan. Salah satu manfaat dari hutan yakni
sebagai pengatur tata air (fungsi hidrologi). Tata air merupakan
fenomena yang menggambarkan proses perolehan, kehilangan, dan
penyimpanan air tanah dalam kondisi alami (Pudjiharta, 2008). Dalam
siklus hidrologi, hutan berperan sebagai penahan air hujan untuk
kemudian disimpan dan didistribusikan secara berkesinambungan
sepanjang waktu. Hutan sebagai kesatuan dari tanah, akar, dan
serasah berfungsi sebagai spon (sponge) yang menyimpan air selama
musim penghujan dan mengeluarkannya selama musim kemarau
(Bruijnzeel, 1990). Selain itu, keberadaan tajuk hutan dapat
mengurangi laju air hujan menuju lantai hutan, yang berpengaruh pada
semakin sedikitnya air hujan yang lolos menjadi aliran permukaan,
sehingga air hujan yang masuk dapat tersimpan lebih lama.
Adanya hutan dalam suatu DAS merupakan salah satu solusi dari
permasalahan sumberdaya air yang banyak muncul dan dirasakan
selama ini terutama yang berkaitan dengan waktu dan penyebaran
aliran air (Asdak, 1995). DAS yang tidak berhutan mempunyai
kemampuan yang kurang optimal dalam menyimpan air pada musim
penghujan, sehingga masukan air dari hujan pada daerah hulu suatu
DAS sebagian menjadi aliran permukaan.
Menurut Hewlett dan Nutter dalam Pudjiharta (2008), daerah hulu
yang tertutup hutan dengan baik maka 80-85 % total aliran yang
dihasilkan berasal dari aliran dasar dan selebihnya berasal dari aliran
langsung. Aliran langsung merupakan jumlah aliran air dari air hujan di
atas permukaan ditambah aliran dari air hujan yang terjadi di sungai.
Sedangkan aliran dasar adalah aliran yang berasal dari air tanah
(groundwater outflow). Aliran dasar dan aliran langsung
menggambarkan respon hidrologi dari DAS dalam memproses air
hujan yang masuk. Disamping itu, aliran dasar merupakan salah satu
komponen penting sebagai indikator kontinuitas aliran, karena pada
saat musim kering aliran sungai hanya terdiri atas aliran dasar.
19
20
aliran dasar (baseflow) dari berbagai variasi luas hutan pinus dalam
Sub DAS Kedung Bulus, Kebumen.
Luas
(km2)
1,17
1,03
0,55
0,80
3,11
0,45
11,61
22,75
37,95
Hutan
(%)
52
49
13
20
31
95
33
37
35
Kebun
(%)
23
28
25
33
30
0
23
24
29
Tegal
(%)
25
23
58
44
37
5
32
18
24
Sawah
(%)
0
0
1
2
1
0
10
8
5
Pemukiman
(%)
0
0
3
2
2
0
1
12
8
Penutupan lahan di Sub DAS Kedung Bulus terdiri dari beberapa kelas
penutupan yakni hutan, kebun, tegal, sawah, dan permukiman. Kelas
penutupan hutan merupakan kelas penutupan dominan dengan tipe
vegetasi pinus. Penutupan lahan lainnya adalah kebun dan tegal.
Perincian dan penyebaran penutupan lahan dapat dilihat pada pada
Gambar 2.
23
Hujan Bulanan
Hujan merupakan sumber dari semua air yang mengalir di sungai dan
tempat penampungan lain, baik di atas maupun di bawah permukaan
tanah. Jumlah dan variasi debit sungai tergantung pada tebal hujan,
intensitas hujan, dan lama hujan serta distribusi dari curah hujan
(Hadisusanto, 2010). Pada saat musim penghujan, karakteristik hujan
tersebut cenderung besar sehingga menghasilkan aliran permukaan
(debit) yang tinggi. Namun pada saat musim kemarau, debit sungai
cenderung kecil bahkan bisa nol karena tidak ada aliran sama sekali.
Salah satu indikator musim kemarau ditunjukkan oleh kejadian hujan
yang terjadi pada suatu daerah. Dari pencatatan data hujan pada
stasiun klimatologi silengkong di Sempor menunjukkan bahwa, musim
kemarau di Sempor mulai pada bulan Juni sampai bulan September
seperti yang terlihat pada Gambar 3. Dari Gambar 3 terlihat bahwa
mulai bulan Juni sampai September tidak terjadi hujan. Walaupun
bulan Agustus menunjukkan ada hujan sebesar 3 mm, namun
pengaruh hujan tersebut tidak sampai menimbulkan aliran, curah
hujan tersebut hanya sedikit membasahi tanah yang sudah kering
karena dua bulan sebelumnya tidak turun hujan.
1000
800
600
400
200
0
1
10
11
12
Bulan
DAS sudah tidak ada alirannya lagi. Hasil pengukuran debit pada
masing-masing Sub DAS ditampilkan dalam tabel 2.
Tabel 2. Hasil pengukuran debit aliran dasar
Debit (lt/dt/km2)
Tanggal
Pengukuran
Silengkong
(52%)
Watujali
(49%)
Pesuruhan
(20%)
Tapak
Gajah
(13%)
Kedung
pane
(31%)
Kali
poh
(95%)
17 Juli 2012
0,949
0,816
0,363
0,364
0,190
0,900
18 Juli 2012
1,026
0,704
0,394
0,400
0,359
0,840
19 Juli 2012
0,769
0,752
0,375
0,382
0,185
0,850
20 Juli 2012
0,718
0,772
0,369
0,418
0,198
0,890
0,397
0,233
0,125
0,169
0,128
0,236
0,333
0,200
0,126
0,142
0,106
0,214
0,396
0,212
0,084
0,118
0,081
0,198
7 Agustus
2012
8 Agustus
2012
9 Agustus
2012
Hubungan antara debit aliran dasar dengan % luas hutan dapat dilihat
dari besarnya nilai koefisien determinasi (R2). Nilai koefisien
determinasi mempunyai arti bahwa besarnya variasi dari variabel Y
(variabel terikat) yang dapat diterangkan dengan variabel X (variabel
bebas), sedang sisanya dipengaruhi oleh variabel-variabel yang lain.
Dalam hal ini debit aliran dasar merupakan variabel Y dan % luas hutan
merupakan variabel X. Berdasarkan pengukuran pada bulan Juli
hubungan antara luas hutan pinus dan aliran dasar mempunyai
koefisien determinasi (R2) bervariasi dari 0,672 sampai 0,696 yang
terlihat pada Gambar 4 sampai 7. Hal ini berarti bahwa hubungan
antara % luas hutan dengan aliran dasarnya dapat dilihat dari besarnya
pengaruh perbedaan % dari luas hutan terhadap aliran dasar sebesar
67,2 % sampai 69,6 % pada bulan Juli.
26
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
0
20
40
60
80
Luas Hutan (% luas DAS)
100
20
40
60
80
100
0,400
0,200
0,000
0
20
40
60
80
Luas Hutan (% Luas DAS)
100
27
1,000
0,800
0,600
0,400
0,200
0,000
0
20
40
60
80
Luas Hutan (% Luas DAS)
100
Pada bulan Agustus, hubungan antara luas hutan pinus dan aliran
dasar masih menunjukkan pola yang sama seperti pada bulan Juli
namun dengan nilai koefisien determinasi (R2) lebih kecil yaitu antara
0,480 sampai 0,514 seperti yang terlihat pada Gambar 8 sampai
dengan 10. Hal ini berarti, pengaruh perbedaan % luas hutan terhadap
aliran dasarnya berkurang antara 48 % sampai 51,4 %. Sisanya terdapat
faktor lain yang berpengaruh terhadap besarnya aliran dasar. Dapat
diketahui bahwa pada bulan Agustus 2012, sudah tidak terjadi hujan
selama 2 bulan, sehingga dapat disimpulkan bahwa selama musim
kemarau besarnya aliran dasar cenderung mengalami penurunan. Hal
ini terbukti bahwa pada saat bulan September 2012, beberapa Sub DAS
tidak terdapat aliran lagi.
0,500
0,400
0,300
0,200
0,100
0,000
0
20
40
60
80
Luas Hutan (% Luas DAS)
100
0,400
0,300
0,200
y = -5E-05x2 + 0,0068x + 0,0197
R = 0,4881
0,100
0,000
0
20
40
60
80
Luas Hutan (% Luas DAS)
100
0,100
0,000
0
20
40
60
80
100
Silengkong
(52%)
Watu
jali
(49%)
Pesuruh
an (20%)
Tapak
Gajah
(13%)
Kedung
pane
(31%)
Kali poh
(95%)
0,655
0,527
0,262
0,285
0,178
0,590
29
0,200
0,000
0
20
40
60
80
Luas Hutan (% Luas DAS)
100
Gambar 11. Hubungan antara luas hutan pinus dan debit aliran
dasar di Sub DAS Kedung Bulus saat musim
kemarau.
Berdasarkan pada gambar 11 dapat disimpulkan bahwa, selama musim
kemarau, % luas hutan dalam suatu Sub DAS memberikan pengaruh
sebesar 66,8 %, sehingga 33,2 % dipengaruhi oleh faktor lain. Pada luas
hutan pinus 13 % dari luas DAS menghasilkan debit sebesar 0,285
liter/detik/km2, sedangkan pada luas hutan pinus 95 % menghasilkan
debit sebesar 0,590 liter/detik/km2. Dari data tersebut juga terlihat
bahwa fungsi hutan pinus masih dapat mengalirkan air pada musim
kemarau dan debitnya cenderung tinggi pada daerah yang % luas
hutan pinusnya tinggi. Namun, dalam kasus ini semakin luas hutan
pinus tidak selalu diikuti dengan kenaikan debit aliran dasar per satuan
luas DAS (liter/detik/km2). Hal ini terlihat pada luas hutan 20 % dan 31 %
justru mengalami penurunan seperti yang terjadi di Sub DAS
Pesuruhan dan Kedung Pane. Bila dilihat pada gambar 1, aliran air di
Sub DAS Kedung Pane merupakan gabungan dari aliran SPAS Watujali,
SPAS Tapak Gajah, dan SPAS Pasuruan yang melewati wilayah Kedung
Pane, sehingga seharusnya mempunyai debit aliran yang cenderung
lebih besar. Namun pada kenyataannya, aliran air di Kedung Pane
justru menghasilkan air yang lebih sedikit. Hal ini disebabkan oleh
kondisi lapisan geologi di Sub DAS Kedung Pane yang sedikit berbeda
dengan lapisan geologi sub DAS di atasnya. Lapisan tanah di Sub DAS
30
1.200
1.200
1.000
1.000
Kedung Pane lebih tebal dari sub DAS yang lain sehingga tidak semua
hasil air dari bagian atasnya dikeluarkan melalui sungai namun
sebagian juga diresapkan ke dalam tanah sebagai cadangan air tanah.
Berdasarkan hal di atas, data debit Kedung Pane merupakan outlier
data yakni titik pengamatan yang jauh dari pengamatan yang lain.
Outlier disebabkan bukan karena dari kesalahan pengukuran ataupun
keragaman cara pengukuran melainkan diduga karena adanya faktor
geologi seperti yang disebutkan di atas. Outlier terkadang dikeluarkan
dari kumpulan data dan pada penelitian ini bila mengeluarkan outlier
data maka pengaruh % luas hutan terhadap aliran dasar dalam suatu
Sub DAS cenderung naik. Kenaikan tersebut bisa dilihat dari besarnya
nilai R2 setelah analisis ulang seperti pada gambar 12 19.
0.800
0.600
y = -0.000x2 + 0.026x - 0.011
R = 0.950
0.400
0.200
0.000
0.800
0.600
0.400
0.200
0.000
20
40
60
80
100
20
1.000
1.000
0.900
0.900
0.800
0.800
0.700
0.600
y=
0.400
-0.000x2
+ 0.017x + 0.122
R = 0.971
0.300
0.200
80
100
0.700
0.600
0.500
0.400
0.300
0.200
0.100
0.100
0.000
0.000
20
40
60
80
100
20
40
60
80
100
0.450
0.350
0.400
60
0.500
40
0.350
0.300
0.250
0.200
0.150
0.100
y=
0.050
-8E-05x2
+ 0.009x + 0.013
R = 0.597
0.300
0.250
0.200
0.150
0.100
y = -6E-05x 2 + 0.007x + 0.026
R = 0.631
0.050
0.000
0.000
0
20
40
60
80
100
20
40
60
80
100
31
0.450
0.700
0.400
0.350
0.300
0.250
0.200
0.150
y = -1E-04x2 + 0.012x - 0.065
R = 0.649
0.100
0.050
0.600
0.500
y = -0.000x2 + 0.016x + 0.044
R = 0.901
0.400
0.300
0.200
0.100
0.000
0.000
0
20
40
60
80
100
20
40
60
80
100
0.400
0.350
0.800
0.700
y=
0.600
0.900
-0.000x2
0.500
+ 0.020x + 0.084
R = 0.950
0.400
0.300
0.200
0.300
0.250
0.200
0.150
y = -8E-05x 2 + 0.009x - 0.008
R = 0.627
0.100
0.050
0.100
0.000
0.000
0
20
40
60
80
100
20
40
60
80
100
33
3.
34
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah
Mada University Press : Yogyakarta
Bruijnzeel, L.A. 1990. Hydrology of Moist Tropical Forest and Effect of
Conversion: A State of Knowledge Review. UNESCO,
Paris and Vrije Universiteit, Amsterdam, The
Netherlands.
Coster, C. 1938. Superficial Run-off and Erosion In Java. Tevtona 31 :
613-728.
Delin, G.N., Healy, R.W., Lorenz, D.L., Nimmo, J.R., 2007. Comparison
of local to regional scale estimates of ground water
recharge in Minnesota, USA. Journal of Hydrology 334,
231249.
Dumairi.
Hadisusanto,
N. 2010. Aplikasi
:Yogyakarta.
Hidrologi.
Air.
Jogja
Pengantar
ke
Mediautama
Stuckey, M.H., 2006. Low flow, base flow, and mean flow regression
equations for Pennsylvania streams. US Geological
Survey Scientific Investigations Report 2006-5130.
Utomo, WH, Titiek I dan Widianto, 1998. Pengaruh Tanaman Terhadap
Hasil Air. Makalah Seminar Pengelolaan Hutan dan
Produksi Air untuk Kelangsungan Pembangunan. 23
September 1998, Jakarta.
Yamin, S. dan Kurniawan, H. 2009. SPSS Complete :Teknik Analisis
Statistik Terlengkap dengan Software SPSS, Buku Seri
Pertama. Jakarta : Salemba Infotek.
37
ABSTRAK
Banjir lokal sering terjadi di Sub DAS Solo Hulu. Penyebab banjir tersebut selain
intensitas hujan yang tinggi juga dipengaruhi oleh pola penutupan lahannya yang
kurang mendukung penyerapan air hujan ke dalam tanah. Pola penutupan lahan
di Sub DAS Solo Hulu yang dominan adalah lahan tegal. Sub DAS Wuryantoro
adalah salah satu Sub DAS Solo Hulu yang masuk ke Waduk Gajahmungkur.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik banjir yang terjadi di Sub
DAS Wuryantoro dengan penutupan lahan dominan tegal yang mencapai 57 %
dari luas Sub DAS. Metode yang digunakan adalah analisis unit hidrograf pada
beberapa kejadian banjir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa puncak banjir di
Sub DAS Wuryantoro dengan luas DAS 1.792 ha berkisar antara 1,14 sampai
dengan 21,23 m3/dt sedangkan waktu mencapai banjir berkisar antara 10 sampai
120 menit, sedangkan waktu dasar (time base) yaitu waktu mulai terjadinya
banjir sampai berakhirnya banjir berkisar antara 480 sampai 4.320 menit.
Hubungan antara puncak banjir dan karakteristik hujan, Qp = 3,987 + 0,090T +
0,005L + 0,109I + 0,016AMC, sedangkan hubungan antara waktu menuju puncak
dengan karakteristik hujan adalah Tp = 40,427 - 0,058T + 0,053L + 0,086I +
0,282AMC. Karakter hujan yang paling berpengaruh terhadap debit puncak (Qp)
adalah intensitas hujan (I, tebal hujan (T), Antecedent Soil Moisture Condition
(AMC) dan lama hujan (L). Hal ini berbeda dengan karakter hujan yang
mempengaruhi waktu menuju puncak (Tp) yang sangat dipengaruhi oleh
Antecedent Soil Moisture Condition (AMC), intensitas hujan dan lama hujan.
Kata kunci : karakteristik hujan, debit puncak, waktu menuju puncak, waktu
dasar
38
I.
PENDAHULUAN
Kejadian banjir akhir-akhir ini terjadi dengan waktu yang cepat dengan
dampak kerusakan yang parah. Selain disebabkan oleh intensitas curah
hujan yang tinggi, banjir juga dipengaruhi oleh penutupan lahan yang
ada di DAS. Kejadian debit maksimum atau banjir puncak hanya
beberapa saat, tetapi mampu menimbulkan saat kritis yang dapat
menghancurkan tanggul atau tebing; melimpaskan air karena melebihi
kapasitas tampung sungai, menyebabkan bendung atau bangunan air
lainnya jebol. Dampak dari kejadian tersebut adalah penggenangan air
di wilayah permukiman dan pertanian.
Sub DAS Wuryantoro merupakan salah satu sub DAS dari empat sub
DAS yang alirannya masuk ke Waduk Gajahmungkur, Wonogiri.
Keempat sub DAS menghadapi permasalahan berupa tingginya tingkat
sedimentasi yang disalurkan ke Waduk Gajahmungkur, Wonogiri serta
distribusi aliran yang tidak merata. Namun keempat sub DAS tersebut
memiliki formasi geologi yang berbeda yaitu vulkan tua dan kapur di
Temon dan Wuryantoro, kapur di Sub DAS Alang dan vulkan muda di
sub DAS Keduang (Murtiono, 2009).
Penggunaan lahan di Sub DAS Wuryantoro didominasi tegal dengan
karakter kurang menyerap air hujan. Penggunaan lahan seperti ini
merupakan pewakil penggunaan lahan DAS-DAS di Pulau Jawa yang
didominasi oleh tegal lahan kering. Rendahnya penyerapan curah
hujan memicu terjadinya banjir dengan cepat karena kemampuan
tanah meresapkan air di lahan tegal lebih sedikit dari pada penutupan
lahan hutan. Oleh karena itu dianggap perlu untuk mengkaji
karakteristik banjir puncak di Sub DAS Wuryantoro.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
karakteristik hujan dan banjir yang berasal dari sub DAS dengan
penutupan lahan dominan tegalan. Karakteristik hujan meliputi tebal,
intensitas, dan lama hujan. Sedangkan karakteristik banjir meliputi
debit puncak dan waktu mencapai puncak banjir.
39
II.
A.
2.
C.
Metode pengukuran
berikut:
1.
40
c.
4.
42
B.
Karakteristik iklim
Karakteristik hujan
43
Tanggal
L
(menit)
T
(mm)
I (mm/
15 menit)
AMC
(mm)
2-Feb-2009
50
30
9,00
26,50
18-Nov-09
64
50
11,72
61,00
21-Agt- 10
40
51,11
0,00
15-Jun-10
74
100
18,30
3,60
7-Apr-09
80
26,3
4,93
70,80
27-Feb- 2009
20
30
8,25
53,80
25-Jan- 2009
20
20
4,67
45,00
19-Nov-09
120
0,2
1,73
0,00
6-Apr-09
60
11,8
2,95
23,80
10
18-Sep-10
10
10
15,00
0,00
11
8-Jan-2009
30
10
1,00
20,00
12
21-Mei-2009
30
1,7
4,82
22,80
13
30-Apr-09
25
10
5,49
10,00
14
23-Jan-2009
20
2,42
93,00
15 16-Sep-10
16
10
0,00
16 8-Apr-09
70
24,8
5,31
83,90
17 20-Apr-09
110
0,8
2,74
30,00
18 18-Mei- 2009
24
10
2,94
10,00
19 12- Feb-2009
120
2,2
0,75
60,00
20 24 Juli 2009
30
0,2
0,10
0,00
44
Karakteristik banjir
Tanggal
Curah hujan
Qp
Tp
Tb
AMC
(m3/dt)
(mnt)
(jam,
mnt)
(mm)
(mnt)
(mm/ 15
mnt)
(mm)
2-Feb-09
21,23
40
22,50
30
50
9,00
26,50
18-Nov-09
14,12
30
29,50
50
64
11,72
61,00
21-Agt- 10
12,4
50
38,0
40
51,11
0,00
15-Jun-10
11,2
48
17,0
100
74
18,30
3,60
7-Apr-09
9,72
60
25,0
26,3
80
4,93
70,80
27-Feb-09
9,03
90
24,30
30
20
8,25
53,80
25-Jan-09
8,37
60
23,0
20
20
4,67
45,00
19-Nov-09
8,05
20
11,40
0,2
120
1,73
0,00
6-Apr-09
6,29
68
21,52
11,8
60
2,95
23,80
45
10
18-Sep-10
5,76
50
24,10
10
10
15,00
0,00
11
8-Jan-09
5,5
120
8,0
10
30
1,00
20,00
12
21-Mei-09
5,5
10
15,30
1,7
30
4,82
22,80
13
30-Apr-09
5,38
15
14,5
10
25
5,49
10,00
14
23-Jan-09
5,26
60
21,0
20
2,42
93,00
15
16-Sep-10
5,26
50
27,10
10
16
0,00
16
8-Apr-09
4,56
34
35,30
24,8
70
5,31
83,90
17
20-Apr-09
4,34
50
48,10
0,8
110
2,74
30,00
18
18-Mei-09
1,86
10
9,50
10
24
2,94
10,00
19
12-Feb-09
1,80
120
72,0
2,2
120
0,75
60,00
20
24-Jul-09
1,14
40
39,0
0,2
30
0,10
0,00
46
yang dinyatakan dalam tebal hujan (T), lama terjadinya hujan (L),
intensitas hujannya (I) dan Antecedent Soil Moisture Condition (AMC).
Berdasarkan dari data sebanyak 20 kejadian banjir di sungai
Wuryantoro yang dianalisis dengan metode regresi linier berganda
diperoleh hubungan debit puncak (Qp) dan waktu menuju puncak (Tp)
dengan tebal hujan (T), lamanya hujan (L), intensitas (I) dan
Antecedent Soil Moisture Condition (AMC) sebagai berikut:
Qp = 3,987 + 0,090 + 0,005L + 0,109I + 0,016AMC
Tp = 40,427 - 0,058T + 0,053L + 0,086I + 0,282AMC
Besarnya nilai koefisien (r) korelasi persamaan hubungan antara Qp
(debit puncak) dan Tp (waktu menuju puncak) dengan karakteristik
hujan yaitu tebal hujan (T), lamanya hujan (L), intensitas (I) dan
Antecedent Soil Moisture Condition (AMC) disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rekapitulasi model untuk debit puncak (Qp)
Mode
l
.618a
R
Kwada
rat
R
Kwadrat
disesuai
kan
Kesalahan
baku
pendugaa
n
.382
.218
4.19938
47
Change Statistics
R
kwadarat
perubaha
n
F
Peruba
han
df1
df2
.382
2.321
15
Nyata
F
perubahan
.104
Model
1
Kwadrat
tengah
df
Regresi
163.722
40.931
Sisa
264.522
15
17.635
Total
428.244
19
Sig.
.104a
2.321
3.987 2.203
-.710
8.683
Bagian
.090
sebagian
1.809
Korelasi
Rangka
nol
batas
atas
1 (konstanta)
batas
bawah
t
Beta
Std. Error
Model
Selang
kepercayaan
95.0% untuk B
Signifikan
Koef.
sudah
distand
arisasi
Koef. tidak
distandarisasi
.090
.049
.452
1.853
.084
-.014
.195
.583
.432 .376
.005
.029
.036
.164
.872
-.056
.066
-.010
.042 .033
.109
.111
.258
.983
.341
-.128
.347
.451
.246 .200
AMC
.016
.034
.102
.475
.642
-.056
.088
.028
.122 .096
.289a
R
kwa
drat
.083
R kwa
drat
disesu
aikan
Kesalahan
baku
penduga
R kwadrat
perubahan
-.161
33.32876
.083
48
F
Peruba
han
.341
df1
df2
Signifikan
peruba
han . F
15
.846
Model
Jumlah Kwadrat
Df
Kwadrat tengah
Regresi
1515.655
378.914
Sisa
16662.095
15
1110.806
Total
18177.750
19
Signifikan
.846a
.341
.387
-.045
-.151 .882
-.884
.767
-.034
-.039
-.037
.053
.227
.063
.234 .818
-.431
.537
.111
.060
.058
.086
.883
.031
.098 .923
-1.796
1.968
-.087
.025
.024
.282
.268
-.288
.852
.282
.263
.261
40.427 17.487
a.
2.312 .035
3.155 77.700
Variabel dependen: Tp
49
Bagian
-.058
1 (Konstanta)
batas
bawah
Beta
sebagian
Korelasi
Rangka
nol
batas atas
t
Std. Error
Model
Signifikan
Koef.
sudah
Koef. tidak
distandari
distandari-sasi
sasi
Qp
(m3/det)
Tebal hujan
T (mm)
Lama hujan
L (jam)
Intensitas
I (mm/menit)
38,8
30,6
0,51
45,6
41,6
5,5
0,13
85,3
35,1
2,5
0,21
Saran
52
ABSTRACT
Land cover and slope are essential biophysical parameters for monitoring and
evaluating of watershed condition. Those informations can be extracted from
remotely sensed data. The data are commonly expensive, while monitoring and
evaluation (monev) of watershed condition should be conducted in every year.
Therefore, utilization of free access of remotely sensed data is an effort to
reduce cost of monev. This study is intended to evaluate the utilization of DEM
ASTER and image from Google Earth in providing information on slope and land
cover. These parameters were then used to predict erosion based on USLE
(Universal Soil Loss Equation) method and land capability classes. The study was
conducted in Samin Sub-Watershed, Central Java. The results suggest that open
access of imageries provide reasonable results for slope and land cover
classifications. For slope classification, DEM ASTER provides an overall accuracy
of 79.5% with Kappa agreement of 0.67, while land cover classification using
image from Google Earth produces an average accuracy of 70.3% with Kappa
agreement of 0.60. Prediction of soil erosion shows that severe soil erosion is
also found in forest area because of its very steep slope. Land capability
classification shows that the study area is dominated by class IV with slope as a
restriction. It is found that some of the area in class VII is still used for settlement
and dryland cultivation with minimum soil conservation practices. The use of
free access remotely sensed data reduce the cost of monitoring in term of slope
and land cover classification, with reasonable result. The limitation using the
image is land cover classification must be conducted based on visual
interpretation.
53
I.
PENDAHULUAN
II.
METODE
A.
Lokasi
57
= (L/22,1)0,6 x (S/9)1,4
(3)
Analisis data
A.
58
59
0-8%
36
37
97,3%
8-15%
16
24
66,7%
15-25%
100%
25-45%
37,5%
>45%
Keseluruhan
kelas
Akurasi
pengguna
71,4%
47
18
78
76,6%
88,9%
66,7%
60%
100%
61
Tabel (Table) 2. Penutupan lahan pada berbagai kelas lereng di Sub-DAS Samin (Land cover on various slope classes at Samin Sub-Watershed)
Penutupan
lahan
Hutan
Kebun
Campur
Pemukiman
Sawah
Tegal
Tubuh air
08%
Luas (ha) % Luas
8 15%
Luas (ha)
% Luas
423,09
2,13
261,53
1,32
719,66
3225,99
4394,58
2026,16
167,80
10957,29
3,63
16,27
22,16
10,22
0,85
55,25
419,96
957,02
1347,41
769,62
54,59
3810,12
2,12
4,83
6,79
3,88
0,28
19,21
Kelas lereng
15 25 %
25 45 %
Luas (ha)
% Luas
Luas
% Luas
(ha)
238,31
1,20
538,60
2,72
387,49
376,14
569,18
287,76
11,67
1870,54
1,95
1,90
2,87
1,45
0,06
9,43
62
671,52
152,83
389,20
276,14
2,83
2031,12
3,39
0,77
1,96
1,39
0,01
10,24
>45 %
Luas
% Luas
(ha)
539,66
2,72
394,93
21,12
122,90
82,32
1,52
1162,44
1,99
0,11
0,62
0,42
0,01
5,86
Total
(ha)
2001,19
%
10,09
2593,54
4733,10
6823,27
3441,99
238,41
19831,50
13,08
23,87
34,41
17,36
1,20
100,00
Kebun Pemu
campur kiman
Hutan
10
Kebun
18
Pemukiman
Sawah
Tegal
11
1
Sawah
Tegal
Keseluruhan
kelas
Akurasi
Pengguna
Keseluruhan
klasifikasi
23
3
11
20
64
13
26
12
76,9%
69,2%
60,0%
37,5%
91,7%
64
Akurasi
Produsen
90,0%
78,3%
100,0%
42,9%
55,0%
65
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar (Figure) 4. Beberapa teknik konservasi tanah di Sub-DAS Samin
(Various soil conservation techniques at Samin SubWatershed)
C.
66
15-60
ton/ha/th
60-180
ton/ha/th
4,7
5,5
0,0
180-480
ton /ha/th
> 480
ton/ha/th
Total
(ton/ha/tahun)
0,0
0,0
10,2
3,7
3,0
1,9
4,7
0,0
13,2
Pemukiman
16,2
6,2
1,1
0,7
0,0
24,2
Sawah
30,7
2,1
2,0
0,0
0,0
34,8
Tegal
0,0
14,0
1,7
1,4
0,4
17,6
Total
55,3
30,8
6,7
6,8
0,4
100,0
67
30
25
20
Hutan
15
Kebun Campur
10
Pemukiman
Sawah
Tegal
0
IIIc
IIIg
IVs
IVg
Vs
VIg
VIIg
70
72
Kelas
e
2
3
4
Hambatan
Adanya teknik
konservasi tanah,
terasering, dll
Tingkat Erosi
Drainase
Tekstur tanah
e
w
s
Terabaikan
Terhambat
L, SiL
Struktur tanah
6.
7
s
s
Granular
kasar
> 90
> 200
s
s
7-12
0-1
0-8
8
9
10.
11.
I
100
II
III
60-80
100
Ringan
Agak terhambat
SL, SCL, CL, SiCL
Granular halus
60-90
100-200
IV
60-80
Sedang
Berat
Sedang
Cepat
LS, Si,
S
SC, C, SiC
BlockyBlocky
platy
30-60
15-30
80-100
60-80
-
V
20-60
Sangat cepat
-
VI
10-40
1-20
VII
VIII
1-20
0-15
40-60
20-40
10-20
<10
1-10
1-10
10-20
10-20
20-40
20-60
40-80
>60
>80
3-4
0-2
0-2
0-1
2-6
7-8 atau
0-1
-
2-6
7-9
25-45
>45
c
5-6 atau
3-4
2-6 atau
0-1
8-15
15-25
Keterangan:
e = erosion, w =wetness, s = soil, c = climate, g = gradient, L = loam, SiL = Silty loam, SL = Sandy loam, SCl = Silty clay loam, Cl = Clay
loam, SiCl = Silty clay loam, LS = Loamy sand, Si = Silt , SC = Sandy clay, C = Clay, SiC = Silty clay
73
ABSTRAK
Lembaga tingkat petani dalam hal ini kelompok tani di daerah
penelitian belum berperan dalam mengajak anggotanya untuk
menerapkan usahatani berbasis konservasi tanah dan air. Tujuan
penelitian, mengkaji kelembagaan tingkat petani yang berbasis
konservasi tanah dan air menuju kelestarian hutan, tanah dan air.
Metode penelitian dilakukan dengan teknik wawancara terstruktur
kepada 30 responden, dilanjutkan dengan diskusi kelompok untuk
mencermati data yang sudah terkumpul. Data yang terkumpul
dianalisis dengan metode diskriptif kualitatif dan klasifikasi parapihak.
Hasil penelitian: Lembaga yang berperan penting dalam membangun
kelembagaan tingkat petani adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kabupaten Pati melalui Petugas Penyuluh Pertanian (PPL) yang
berperan sebagai pendamping kelompok tani dan Perum Perhutani
BKPH Regaloh melalui Ketua RT merangkap Ketua Sub LMDH serta
Kelompok Tani Wana Lestari. Mereka berperan dalam merencanakan,
melaksanakan dan memonitor serta mengevaluasi kegiatan konservasi
tanah dan air di desa Gunungsari. Kelompok Tani Wana Lestari
dibutuhkan oleh masyarakat tani desa Gunungsari, sebagai tempat
informasi pemasaran hasil usahatani sehingga dapat meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Kata kunci : kelembagaan, pengelolaan, lahan, lestari, konservasi,
tanah
74
I.
PENDAHULUAN
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Pengumpulan Data
Analisis Data
Berdasarkan hasil analisis para pihak, maka para pihak yang terlibat
dalam usahatani konservasi tanah dan air dapat dilihat dari matrik
Mintzberg (1999)
77
High
Level of
Power
Low
Keep Statisfied
Pemerintah Desa
Gunungsari
Pemerintah
Kecamatan Tlogo
wungu.
Key players
Dinas Pertanian dan
Kehutanan Kabupaten
Pati
Perum Perhutani KPH
Regaloh- Pati
Minimal Effort
Kelompok Masyarakat
lainnya (perkumpulan
pedagang pengumpul,
persatuan tukang ojek,
kelompok buruh tani,
dll)
Keep Informed
Kelompok Tani KTA
Lembaga Masyarakat
Desa Hutan
Gabungan Kelompok Tani
(GAPOKTAN)
High
Low
Level of Interest
Keep Informed
Key Players
berbasis konservasi tanah dan air. Lembaga yang termasuk Key Players
antara lain: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pati dan
Perum Perhutani Unit I - BKPH Regaloh. Lembaga ini mempunyai
kekuasaan atau kewenangan yang besar dalam melestarikan
sumberdaya alam melalui program atau kegiatan pelestarian hutan,
konservasi tanah dan air serta membina kelompok-kelompok tani
sebagai mitra kerjanya.
c.
Keep Statisfied
Minimal Effort
Pemerintah
kecamatan
Kel.TaniK
ontan
Pemerintah Desa
Dinas
Pertanian
Kehutanan
Kel.Masy
BKPH
Regaloh
LMDH
Per
Bank
an
2.
3.
B.
85
ABSTRAK
Taman Nasional Bali Barat (TNBB) merupakan salah satu kawasan pelestarian alam
yang memiliki keterwakilan ekosistem hutan yang tergolong lengkap, mulai dari
hutan bakau/mangrove, hutan pantai, hutan musim, hutan evergreen, hutan dataran
rendah, sampai savanna. Gangguan yang secara intensif mengancam keberadaan
kawasan TNBB adalah kebakaran hutan, terutama pada hutan musim dan pada
savanna yang didominasi oleh tumbuhan bawah berupa rumput, semak-semak, alangalang, dan serasah tegakan hutan yang kering pada saat musim kemarau, sehingga
menimbulkan gangguan habitat bagi kelangsungan hidup tumbuhan, satwa liar dan
ekosistemnya. Dalam upaya mencegah atau meminimalkan risiko kebakaran hutan,
maka diperlukan peta tingkat kerawanan kebakaran hutan yang berguna dalam
mengoptimalkan pengalokasian sumberdaya yang ada. Kajian ini bertujuan untuk
memetakan kawasan rawan kebakaran hutan di TNBB dengan menggunakan teknik
penginderaan jauh (PJ) dan sistem informasi geografis (SIG). Metode yang digunakan
dalam kajian ini adalah skoring dan pembobotan dengan menghitung indeks numerik
kawasan rawan kebakaran hutan berdasarkan parameter vegetasi, kemiringan lereng
(slope), arah lereng (aspek), jarak dari jalan, dan jarak dari permukiman. Hasil kajian
menunjukkan bahwa kerentanan kawasan TNBB terhadap kebakaran hutan
didominasi oleh kelas sedang, yaitu sebesar 31,28% dari total luas kawasan, dan
terdapat pada hutan musim dan sebagian hutan dataran rendah. Kelas kerawanan
sangat tinggi hanya mencakup 0,41% dari total luas kawasan dan terdapat pada hutan
musim dan savanna. Blok hutan yang rawan kebakaran adalah blok hutan Lampu
Merah, Tegal Bunder, Teluk Kelor, dan Teluk Brumbun. Kawasan rawan kebakaran
hutan yang tinggi perlu mendapatkan perhatian yang lebih, baik berupa tindakan
preventif/pencegahan melalui patroli intensif, pendekatan dan penyuluhan kepada
masyarakat desa sekitar daerah penyangga dengan membentuk masyarakat peduli
api (MPA), penyediaan embung air dan sekat bakar maupun tindakan pemadaman api
yang bersinergi dengan MPA dan manggala agni.
Kata kunci: rawan, kebakaran hutan, penginderaan jauh, SIG, Taman Nasional
Bali Barat
86
I.
PENDAHULUAN
87
88
II.
METODE
A. Lokasi
Penelitian ini dilakukan di TNBB pada tahun 2012. TNBB merupakan
salah satu kawasan pelestarian alam di Bali yang memiliki ekosistem
asli dan merupakan habitat terakhir bagi burung Curik Bali (Leucopsar
rothschildi). Penunjukkan Taman Nasional Bali Barat didasarkan pada
Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1995 tanggal
15 September 1995, dengan luas kawasan 19.002,89 ha (15.587,89 ha
adalah wilayah daratan dan 3.415,00 ha adalah wilayah perairan)
(BTNBB, 2011). Secara administratif TNBB terletak di Kabupaten
Jembrana dan Kabupaten Buleleng.
TNBB dikelola dengan sistem zonasi (Gambar 1) sesuai dengan SK
Direktur Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) No.
SK.143/IV-KK/2010 tanggal 20 September 2010 tentang Zonasi Taman
Nasional Bali Barat. Berdasarkan SK tersebut TNBB dibagi menjadi
tujuh zona, yaitu: (1) Zona Inti (seluas 8.023,22 ha), (2) Zona Rimba (
6.174,76 ha), (3) Zona Perlindungan Bahari ( 221,74 ha), (4) Zona
Pemanfaatan ( 4.294,43 ha), (5) Zona Budaya, Religi dan Sejarah (
50,57 ha), (6) Zona Khusus ( 3,97 ha), dan (7) Zona Tradisional (
310,94 ha). TNBB dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu
pengetahuan, penelitian, budidaya, pariwisata dan rekreasi (BTNBB,
2011).
89
90
C. Metode
* VT + 5 * (S + A) + 3
(1)
(DR
DS)
dimana:
RC : Indeks numerik zona rawan kebakaran hutan
VT : Tipe vegetasi
S : Kemiringan
A : Aspek
DR : Jarak dari jalan
DS : Jarak dari permukiman
Berdasarkan analisis dilakukan pemetaan zona rawan kebakaran
hutan. Pembobotan parameter dalam penilaian kawasan rawan
kebakaran hutan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pembobotan Parameter dalam Penilaian Kerawanan
Kebakaran Hutan di TNBB
Table 1. The Weight of Parameters in Determination of Fire Risk Areas in
Bali Barat National Park
Parameter
Tutupan vegetasi
(Vegetation cover)
Bobot
7
Kelas
Faktor
Penilaian
Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
2
1
Rendah
Sangat
Rendah
Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat
Rendah
Sangat Tinggi
Lereng (Slope)
> 35%
35-25%
25-10%
10-5%
< 5%
5
4
3
2
1
Orientasi/arah lereng
(Aspect)
Selatan
94
Jarak dari
permukiman (Distance
from settlements)
Barat
Tinggi
Timur
Sedang
Utara
Rendah
< 100 m
Sangat Tinggi
100-200 m
Tinggi
200-300 m
Sedang
300-400 m
Rendah
> 400 m
< 1000 m
Sangat
Rendah
Sangat Tinggi
1000-2000 m
Tinggi
2000-3000 m
Sedang
> 3000 m
Rendah
95
Kelerengan
96
Arah Lereng
97
98
99
100
Koordinat
X
Y
1 220955 9088100
2 230626 9098749
3 218353 9094441
4 217285 9102663
5 224038 9094149
6 221751 9104107
7 224367 9103340
8 218015 9093486
9 222577 9097010
10 217790 9095288
Lokasi
Panginuman
Malaya
trimbawan
Pura Bakungan
Lampu Merah
sumber
klampok
teluk kelor
teluk brumbun
cekik
tegal bunder
Depan spbu
gilimanuk
Tipe
Ekosistem
Kerawanan
Kebakaran Hutan
Pantai
Musim
Savana
Savana
Rendah
Sedang
Sedang
Sangat Tinggi
Musim
Musim
Savanna
Savanna
Musim
Rendah
Tinggi
Tinggi
Sedang
Sedang
Savanna
Tinggi
102
KESIMPULAN
104
105
105
ABSTRAK
Penanganan bencana banjir di DAS Bengawan Solo cenderung kurang efektif. Metode
penanganan yang dilakukan hanya sebatas pada metode struktur sipil teknis. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengaruh faktor utama penyebab banjir dan
membuat model pengendalian banjir terpadu. Metode yang digunakan adalah survei yang
didukung dengan analisis data sekunder. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah ada 3
faktor penyebab kejadian banjir yakni kondisi iklim, perubahan tata guna lahan, dan
kondisi morfologi sungai. Perubahan tata guna lahan menjadi penyebab paling dominan
terjadinya banjir di daerah penelitian. Perubahan tata guna lahan ini dapat meningkatkan
potensi air permukaan akibat luasan vegetasi berkurang. Selain penggunaan lahan faktor
kondisi morfologi sungai juga berpengaruh signifikan terhadap kejadian banjir di Kota
Surakarta. Hal ini dikarenakan Sungai Bengawan Solo Hulu yang mengalami pelurusan
menyebabkan laju air dan debit meningkat sehingga terjadi erosi tebing dan sedimentasi.
Model pengendalian banjir yang dapat diterapkan di daerah penelitian berdasarkan
parameter curah hujan meliputi metode: sumur resapan, river side polder, kolam
konservasi, perlindungan areal airtanah, dan biopori.
Kata kunci : model, pengendalian banjir terpadu, DAS
I.
PENDAHULUAN
106
METODE PENELITIAN
3.
SSDAS
Alang
Unggahan
Dengkeng
Jlantah
Walikun Ds
4.
Keduang
5.
Mungkung
6.
Samin
7.
Bambang
8.
Pepe
9.
10.
Wiroko Temon
Waduk Gajah
Mungkur
Jumlah
Stasiun
Baturetno
Luas
512.975.695,21
Persentase
13,59
Baturetno
Boyolali
Klaten
Pabelan
Baturetno
86.397.415,68
107.636.201,44
549.727.221,45
117.352.591,17
102.927.040,03
2,29
2,85
14,57
3,11
2,73
Pabelan
Tawangmangu
Baturetno
Tawangmangu
Pabelan
Tawangmangu
Pabelan
Tawangmangu
Boyolali
Pabelan
62.483.338,29
200.327.775,87
158.499.220,57
265.145.364,33
104.558.372,73
220.360.392,36
117.145.272,91
197.497.157,79
101.348.259,43
219.885.313,14
1,66
5,31
4,20
7,03
2,77
5,84
3,10
5,23
2,69
5,83
Boyolali
Pabelan
Baturetno
Baturetno
190.874.284,10
105.657.868,51
303.800.945,99
49.394.977,56
5,06
2,80
8,05
1,31
3.773.994.708,56
100
108
a)
b)
c)
109
Nepen (Boyolali)
Pabelan
(Surakarta)
Klaten
Tawangmangu
(Karanganyar)
Baturetno
(Wonogiri)
Jumlah ratarata
Bulan Basah
(BB)
6,2
6,8
Jumlah ratarata
Bulan Kering
(BK)
4,8
5,8
Nilai Q
(%)
Keterangan
77,42
85,29
Sedang
Sedang
5,6
7
5
4,4
89,29
62,86
Sedang
Sedang
5,8
103,45
Agak kering
110
113
C.
Konsep dasar yang berkaitan dengan paleo morfologi adalah prosesproses geomorfologi meninggalkan bekas-bekas yang nyata pada
bentuk lahan, dan setiap proses geomorfologi akan membangun suatu
karakteristik tertentu pada bentuk lahan. Morfokronologi mempelajari
sejarah terbentuknya bentuk lahan pada zaman geologi yang
ditunjukkan oleh karakteristik hasil proses geomorfologi yang
ditinggalkan (Thornbury, 1954).
Sungai Bengawan Solo awalnya arah aliran mengalir ke arah selatan
bermuara ke Samudra Indonesia. Akibat tenaga paleo tektonik dari
Australia yang menunjam ke Pulau Jawa maka bagian pinggir (bagian
Selatan Pulau Jawa) berangsur-angsur terangkat sehingga aliran air
tidak dapat mengalir ke Selatan dan berbalik ke Utara yang lebih
rendah. Bekas-bekas yang ditinggal sebagai bukti bahwa Sungai
Bengawan Solo pernah mengalir ke Pantai Selatan Jawa yaitu
morfologi sungai, struktur perlapisan sedimen, ukuran butir sedimen,
dan asal sedimen terbentuk.
Paleo morfologi Sungai Bengawan Solo berdasarkan penelitian yang
dilakukan Suharjo tahun 1991 dan 2006 mengemukakan bahwa
meander Sungai Bengawan Solo merupakan hasil proses erosi
horisontal atau pelebaran lembah. Proses erosi horisontal hanya
dominan terjadi di daerah sungai bagian hilir mendekati marine/pantai.
Dengan demikian Sungai Bengawan Solo pernah mengalir ke Pantai
Selatan Jawa. Bentuk-bentuk meander dapat disajikan pada Gambar 3.
Berdasarkan penyebaran meander sungai maka sampel untuk analisa
data lebih banyak diambil di daerah dataran banjir di Solo bagian
Selatan.
114
116
117
118
E.
Berdasarkan hasil FGD yang telah dilakukan pada tahun 2011, sebagian
besar Perda yang ada di wilayah Sungai Bengawan Solo Hulu kurang
mendukung dalam pengelolaan sumber daya air, terutama peraturan
yang berkaitan dengan program pembangunan jalan raya. Program
pembangunan infrastruktur jalan yang ada di wilayah Surakarta,
Klaten, Boyolali, Wonogiri dan Sukoharjo selama ini cenderung
mengabaikan prinsip-prinsip lingkungan. Hal ini terlihat dari program
betonisasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang tidak
memperhatikan sistem drainase. Program betonisasi ini tentunya akan
mengurangi wilayah resapan air, sehingga proses drainase air
hujanpun terhambat yang pada akhirnya dapat menimbulkan banjir.
Selain itu dalam UU No 26 Tahun 2007 mengenai Penataan Ruang
Pasal 17, yakni Pemerintah harus mengupayakan agar luas area hutan
di wilayah aliran Sungai Bengawan Solo mencapai angka 30% dari luas
total seluruh DAS tersebut, namun pada kenyataannya berdasarkan
penelitian yang dilakukan luas area hutan yang ada di kawasan Sungai
Bengawan Solo tidak mencapai 30%, yakni hanya 2,53% dari luas total
seluruh DAS. Berkurangnya luas area hutan ini tentu harus menjadi
prioritas bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang
secara langsung berhubungan dengan DAS Bengawan Solo ini. Adanya
fakta tersebut tentu setiap pemerintah daerah harus mengkaji ulang
mengenai RUTRK-nya masing-masing daerah agar ambang minimal
luas hutan terpenuhi.
119
Hal lain yang bisa dilakukan untuk membenahi kondisi perubahan tata
guna lahan di daerah hulu adalah melalui program reboisasi dan
penghijauan yang dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat
untuk terciptanya kelestarian lingkungan hidup. Program penghijauan
dan reboisasi di daerah hulu penting karena setiap aktivitas yang
dilakukan pada daerah hulu akan berdampak pada keseimbangan
ekosistem wilayah hilir.
juga dapat dikembangkan pada areal olah raga dan wisata. Konstruksi
dan kedalaman sumur resapan disesuaikan dengan kondisi lapisan
tanah setempat. Perlu dicatat bahwa sumur resapan ini hanya
dikhususkan untuk air hujan, sehingga masyarakat harus mendapatkan
pemahaman mendetail untuk tidak memasukkan air limbah rumah
tangganya ke sumur resapan ini (Maryono, 2005 dengan modifikasi
peneliti, 2011) (Gambar 6).
121
3.
Metode Biopori
air di dalam tanah. Bila lubang tersebut dibuat dalam jumlah banyak,
maka kemampuan tanah dalam meresapkan air diharapkan semakin
meningkat. Meningkatnya kemampuan tanah dalam meresapkan air
diharapkan dapat memperkecil peluang terjadinya aliran air di
permukaan atau dengan kata lain dapat mengurangi potensi banjir
yang sering terjadi (Gambar 10).
sungai tidak terkontrol yang pada akhirnya aliran semakin deras dan
bertambah cepat. Aliran yang deras dan cepat tersebut dari waktu ke
waktu akan menyebabkan erosi pada tebing sungai semakin tinggi.
Erosi tebing sungai yang tinggi dikhawatirkan akan mengakibatkan
longsor pada tebing sungai, sehingga menyebabkan kekhawatiran
bagi masyarakat yang tinggal dekat dengan tebing sungai. Salah satu
cara agar banjir dapat terkendali adalah dengan merenaturalisasi
oxbow dengan membuka kembali tanggul pembatas oxbow dengan
sungai utama (Maryono, 2005 dengan modifikasi peneliti, 2011)
(Gambar 11)
125
2.
126
I.
KESIMPULAN
b.
c.
DAFTAR PUSTAKA
Anna. AN, dan Suharjo,. 2006. Analisis karakteristik parameter hidrologi
akibat alih fungsi lahan di Daerah Sukoharjo melalui citra landsat
tahun 1997 dengan tahun 2002. Surakarta : Fakultas Geografi
UMS.
Anna. AN, Suharjo, Cholil, Munawar. 2009. Model pengelolaan air
permukaan untuk pencegahan banjir di kota Surakarta dan
Kabupaten Sukoharjo. Surakarta : Fakultas Geografi UMS.
Anna. AN. 2010. Analisis Karakteristik parameter hidrologi akibat alih
fungsi lahan di Daerah Sukoharjo melalui citra landsat tahun
1997 dengan tahun 2002, Jurnal Geografi UMS : Forum Geografi,
volume 14, Nomor 1, Juli 2010. Surakarta: Fakultas Geografi
UMS.
Anna. AN. 2011. Analisis fluktuasi hujan dan morfologi sungai terhadap
konsentrasi banjir daerah Surakarta, Jurnal Geografi UMS :
128
129
ABSTRAK
Jenis-jenis pohon lokal disarankan untuk kegiatan rehabilitasi lahan terdegradasi karena
memiliki kemampuan tumbuh baik dilingkungannya.
Penelitian ini bertujuan
mengevaluasi pertumbuhan jenis sengon dan jabon di kawasan Gunung Muria melalui
penerapan model rehabilitasi lahan dengan pendekatan agroforestri di lahan miring
serta perannya dalam memelihara kesuburan tanah. Hasil penelitian menunjukkan kadar
N total dan bahan organik tanah 14 bulan setelah tanam secara umum cenderung
mengalami peningkatan. Kondisi pH tanah antar plot cukup bervariasi, setelah 18 bulan
setelah tanam kondisi pH tanah mengalami penurunan 11 - 16%. Persen tumbuh sengon
dan jabon sampai 6 bulan setelah tanam menurun masing-masing 0,96 dan 3,84% per
bulan dan sampai 18 bulan setelah tanam dengan penurunan 0,27 dan 0,23 % per bulan.
Persen tumbuh umur 18 bulan adalah 88 dan 74 % masing-masing untuk sengon dan
jabon. Rata-rata pertumbuhan tinggi sengon model A dan C sampai 6 bulan dan 18
bulan setelah tanam masing-masing adalah 8,84, 18,64, 25,64 dan 22,53 cm per bulan.
Pertumbuhan tinggi sengon model A dan C sampai 18 bulan setelah tanam tidak
berbeda nyata dengan increment masing-masing 20,70 dan 21,39 cm per bulan. Ratarata pertumbuhan tinggi jabon model B dan C sampai 6 bulan dan 18 bulan setelah
tanam masing-masing adalah 8,00, 6,88 , 9,71 dan 9,77 cm per bulan. Pertumbuhan
tinggi jabon model B dan C sampai 18 bulan setelah tanam berbeda nyata dengan
increment masing-masing 9,71 dan 9,77 cm per bulan. Rata-rata pertumbuhan diameter
sengon model A dan C sampai 6 bulan dan 18 bulan setelah tanam masing-masing 2,16 ,
1,92 , 2,85 dan 2,83 mm per bulan. Pertumbuhan diameter sengon model A dan C
sampai 18 bulan setelah tanam tidak berbeda nyata dengan increment masing-masing
2,65 dan 2,56 mm per bulan. Rata-rata pertumbuhan diameter jabon model B dan C
sampai 6 bulan dan 18 bulan setelah tanam masing-masing 1,12 , 1,42 , 1,86 dan 2,04 mm
per bulan. Pertumbuhan diameter jabon model B dan C sampai 18 bulan setelah tanam
tidak berbeda nyata dengan increment masing-masing 1,64 dan 1,86 mm per bulan.
Kata kunci: kesuburan tanah, riap tinggi dan diameter, sengon, jabon.
130
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Praktek pengolahan dan pemanfaatan lahan tanpa memperhatikan
aspek-aspek konservasi tanah, akan memicu terjadinya degradasi
lahan yang berimplikasi pada bertambah luasnya lahan kritis. Hal
tersebut berpotensi meningkatkan pengaruh negatif kondisi
hidrologis DAS seperti meningkatnya aliran permukaan, laju erosi,
banjir, kekeringan, dan menurunnya jumlah resapan air ke dalam
tanah.
Lahan terbuka tanpa pepohonan dan tanaman penutup tanah
memperbesar peluang terjadinya erosi tanah yang akibatnya dapat
menurunkan kesuburan tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi.
Erosi diduga memicu bertambah luasnya lahan yang terdegradasi yang
menyebabkan lahan kritis.
Kementerian Kehutanan (2013)
menyebutkan bahwa total lahan kritis di Indonesia tercatat seluas 27,2
juta ha. Pemilihan jenis-jenis pohon yang akan digunakan dalam
kegiatan
rehabilitasi
lahan-lahan
terdegradasi
disarankan
menggunakan jenis-jenis pohon lokal atau andalan setempat. Hal ini
dimaksudkan untuk mengurangi kegagalan pelaksanaan kegiatan
tersebut, karena jenis-jenis lokal tersebut memiliki kemampuan untuk
dapat tumbuh baik di lingkungannya. Di sisi lain jika ingin
menggunakan jenis-jenis yang eksotik sebaiknya dipilih jenis pohon
yang sudah didomestikasi (Rachman, 2002). Rehabilitasi lahan
merupakan solusi yang tepat dalam mengatasi masalah degradasi
lahan.
Penanaman jenis jenis pohon lokal maupun jenis yang diminati
masyarakat di lereng Gunung Muria dengan memerhatikan kesesuaian
dan ketepatan dalam pemilihan jenis dengan tempat tumbuhnya serta
mempertimbangkan adoptabilitas masyarakat dan penerapan teknik
konservasi tanah dan air, akan meningkatkan keberhasilan rehabilitasi
hutan dan lahan serta dapat memelihara bahkan meningkatkan basis
genetik suatu wilayah. Kegiatan model rehabilitasi hutan dan lahan
secara vegetatif dengan menggunakan jenis sengon dan jabon
diharapkan dapat memenuhi fungsi kelestarian atas dasar kaidahkaidah ekologi dan konservasi sehingga terwujud keseimbangan
131
Metode Penelitian
132
Pemeliharaan
133
N total (%)
0,14
0,12
0,10
0,08
0,06
0,04
0,02
0,00
Awal
14 bln
Plot
Gambar 1. Perubahan N total tanah antara awal dan 14 bulan setelah
tanam
Gambar 1 menunjukkan kandungan N total semua perlakuan antara
awal penanaman dan 14 bulan setelah tanam bervariasi, tetapi secara
umum pada 14 bulan setelah tanam kandungan N total cenderung
mengalami peningkatan.
3,00
BO (%)
2,50
2,00
1,50
BO awal
1,00
BO akhir
0,50
0,00
A
Plot
Gambar 2. Perubahan BO tanah antara awal dan 14 bulan setelah
tanam
Seperti halnya N total, kandungan BO pada awal tanam dan 14 bulan
setelah tanam juga bervariasi, dan cenderung mengalami peningkatan
(Gambar 2).
134
pH (H2O)
7,00
6,00
5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
Awal
14 bln
A
Plot
Persen hidup tanaman pada umur 1 bulan setelah tanam (bst) adalah
96 % (tanaman mati, layu dan patah sebesar 4,2%). Namun demikian,
9,7 % dari total tanaman terserang hama (hama ulat pada jabon dan
kutu putih pada sengon) yang cukup parah. Data persen hidup sengon
dan jabon pada umur 1, 6, dan 18 bulan terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1. Persen hidup sengon dan jabon umur 1, 6, dan 18 bulan bst
Jenis
Sengon
Jabon
1 bulan
96,0
96,0
Jenis
1 Bln
6 Bln
18 Bln
Model A
Sengon
99,424,89
143,675,39
451,388,88
Model C
Sengon
99,624,11
192,895,68
463,298,72
Model B
Jabon
84,319,37
124,337,06
249,454,16
Model C
Jabon
83,325,18
117,781,74
249,4108,23
1 Bln
6 Bln
18 Bln
Model A
Sengon
7,70,25
18,54,57
52,70,96
Model C
Sengon
8,10,32
17,70,77
51,70,74
Model B
Jabon
14,10,68
19,70,74
42,01,16
Model C
Jabon
11,70,41
18,83,05
43,31,12
Kombinasi Perlakuan
400
300
200
Model A
100
Model C
0
1 bln
18 bln
Umur
140
60
Diameter (mm)
50
40
30
Blok A
20
Blok C
10
0
1 bln
18 bln
Umur
250
200
150
Model A
100
Model C
50
0
1 bln
18 bln
Umur
antar plot mulai menunjukkan variasi antar plotnya, hal ini juga
dipengaruhi oleh keaktifan petani partisipan dalam memelihara
tanaman jabonnya.
Diameter (mm)
50
40
30
Model A
20
Model C
10
0
1 bln
18 bln
Umur
Mean
Pair 1
Pair 1
Pair 1
Pair 1
TS
TSCamp
DS
DSCamp
TJ
Tjcamp
DJ
Djcamp
2.0322
Std.
Deviation
Std.
Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower
df
Sig. (2tailed)
Upper
3.1915 3.464
151
0.001
1.7714 1.7836
8.7835 2.983
151
0.003
-0.1047
0.3005 -0.511
147
0.61
-1.5237
0.5929 -1.423
147
0.157
5.2836
21.8396
Kesimpulan
1.
Kadar N total dan bahan organik tanah 14 bulan setelah tanam secara
umum cenderung mengalami peningkatan. Kondisi pH tanah antar plot
cukup bervariasi, setelah 18 bulan setelah tanam kondisi pH tanah
mengalami penurunan 11% - 16%.
Persen tumbuh sengon dan jabon sampai 6 bulan setelah tanam
menurun masing-masing 0,96 dan 3,84% per bulan dan sampai 18 bulan
setelah tanam dengan penurunan 0,27 dan 0,23 % per bulan. Persen
tumbuh umur 18 bulan adalah 88 % dan 74 % masing-masing untuk
sengon dan jabon.
2.
3.
143
4.
B.
Saran
Penelitian pertumbuhan sengon dan jabon ini masih dalam taraf awal,
sehingga masih perlu pengamatan lanjut minimal sampai umur
tanaman tiga tahun, setelah riap melewati titik asimtot.
DAFTAR PUSTAKA
Atmojo. S. W. 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan
Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru
Besar Ilmu Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret. Surakarta.
Badan Pusat Statistik. 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati.
BPDAS Pemali Jeratun. 2008. Grand Design Rehabilitasi Kawasan
Gunung Muria. Balai Pengelolaan DAS. Departemen
Kehutanan. Semarang.
Departemen Kehutanan. 2008. Statistik Kehutanan Indonesia.
Departemen Kehutanan. Jakarta. 204 p.
144
145
ABSTRAK
Informasi nilai evapotranspirasi yang merupakan gambaran kebutuhan air oleh
tanaman (crop water requirements) sangat penting diketahui sebagai data
dasar karakteristik hidrologi jenis sebelum tanaman dikembangkan dalam
skala luas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya konsumsi air
oleh tanaman (crop water requirements) beberapa jenis spesies cepat tumbuh
di Indonesia.
Metode pengamatan langsung di lapangan dengan
menggunakan lisimeter. Jenis tanaman yang diteliti meliputi sengon, akasia,
kayu putih, nyamplung, mahoni dan ekaliptus. Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa besarnya nilai evapotranspirasi (ET) tahunan sangat beragam pada
setiap jenis tanaman. Nilai ET tahunan rata-rata dan persentasenya terhadap
hujan dari masing-masing jenis berturut-turut adalah: ekaliptus 1.450 mm
(59,7%), akasia mangium 1.220 mm (45,5%), sengon 708 mm (28,5%), kayu putih
681 mm (35,3%), mahoni 566 mm (34,0%) dan nyamplung 497 mm (25,0%).
Selain jenis tanaman dengan umur dan kerapatannya, faktor curah hujan
(tebal dan sebaran bulanan dalam setahun) serta jenis tanah sangat
mempengaruhi besar nilai ET tahunan. Jenis tanaman dengan nilai ET yang
tinggi (mendekati curah hujan tahunan) perlu kewaspadaan dalam melakukan
pemilihan lokasi penamaman dan pengelolaannya, agar tidak menimbulkan
kekeringan di wilayah yang bersangkutan.
Kata Kunci : Evapotranspirasi, Hutan tanaman, Curah hujan, Jenis tanaman
cepat tumbuh
146
I. PENDAHULUAN
Dalam mendukung pembangunan kehutanan di Indonesia, kegiatan
pembangunan hutan perlu dilakukan melalui pengembangan jenisjenis tanaman industri sesuai kegunaannya, seperti untuk kayu
pertukangan, kayu penghasil pulp dan kayu energi. Beberapa jenis
tanaman hutan yang dikembangkan merupakan jenis tanaman cepat
tumbuh, baik jenis asing (exotic species) maupun asli (indigenous
species) dan bercirikan memiliki produktivitas tinggi.
Jenis-jenis cepat tumbuh umumnya tidak memerlukan persyaratan
tempat tumbuh yang tinggi, tetapi masih diperdebatkan
pengembangannnya terkait dampak negatif terhadap lingkungan
terutama terhadap kondisi lingkungan tata air (hidrologi) di daerah
aliran sungai (DAS), termasuk adanya peningkatan banjir, kekeringan,
tanah longsor, serta erosi dan sedimentasi.
Salah satu contohnya, jenis Eucalyptus sp., yang telah dikembangkan
dalam skala besar di Indonesia terutama oleh perusahaan HTI (hutan
tanaman industri) sebagai salah satu andalan tanaman penghasil pulp
selain Acacia mangium.
Tanaman Eucalyptus sp. di Indonesia
mengalami perkembangan pesat pada tahun 1980 setelah Kongres
Kehutanan Sedunia ke VIII di Jakarta tahun 1978. Namun, pada tahun
1988 timbul kritik dan protes terhadap tanaman ini karena adanya
indikasi pengaruh negatif terhadap lingkungan (Pudjiharta, 2001). Di
India, dilaporkan bahwa jenis tanaman Eucalyptus sp. telah
menyebabkan bencana kekurangan air karena tingginya konsumsi air
untuk pertumbuhannya (Shiva dan Bandyopadhyay, 1983 dalam
Bruijnzeel, 1997).
Besarnya konsumsi air tanaman dapat didekati dari nilai
evapotranspirasi. Besarnya evapotranspirasi suatu komunitas vegetasi
menurut US Soil Conservation Service (1970) dalam Asdak (1995) perlu
diketahui karena hasil penelitian menunjukkan bahwa dua pertiga dari
jumlah hujan yang jatuh di daratan Amerika Utara kembali lagi ke
atmosfer sebagai hasil evaporasi tanaman dan permukaan tubuh air.
Sedangkan di Afrika, air yang terevapotranspirasi bahkan melebihi 90%
dari jumlah curah hujan yang jatuh di tempat tersebut. Nilai ET juga
147
4.
Spesies tanaman
Sengon
(Paraserianthes falcataria)
Akasia
(Acacia mangium)
Kayu putih
(Melaleuca cajuputi)
Nyamplung
(Calophyllum inophyllum)
Lokasi penelitian
Wonosobo
Kawasan Hutan
KPH Kedu Selatan
- Wonogiri
- Sumatera Selatan
- Grobogan
- Gunung Kidul
- Ponorogo
Karanganyar
148
KPH Surakarta
PT. Musi Hutan Persada
KPH Gundih
KPH Madiun
Tanah/Kebun milik
masyarakat
5.
Mahoni
Ngawi
KPH Ngawi
(Swietenia mahagoni)
6.
Ekaliptus
Riau
PT. Arara Abadi,
(Eucalyptus pellita)
Perawang
Keterangan: KPH = Kesatuan Pemangkuan Hutan, di Perum Perhutani
Lokasi
Jarak tanam
Sengon
Wonosobo
Akasia mangium
Wonogiri
149
Kondisi tanaman
bawah
Dibiarkan 100%
Dibiarkan 50%
Dibiarkan 25%
Dibiarkan 100%
Dibiarkan 100%
Dibiarkan 100%
Nyamplung
Sumsel
Grobogan
Gunung Kidul
Ponorogo
Karanganyar
Mahoni
Ekaliptus pellita
Ngawi
Riau
Kayu putih
3mx3m
2mx4m
2mx4m
2mx4m
Plot 1: 2mx2m
Plot 2: 3mx3m
2mx4m
3mx2m
Dibiarkan 100%
Dibiarkan 100%
Dibiarkan 100%
Dibiarkan 100%
Dibiarkan 100%
Dibiarkan 100%
Dibiarkan 50%
Dibiarkan 100%
D. Pengumpulan Data
Penelitian lapangan ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan
metode keseimbangan/neraca air (water balance), dengan formula Q =
P (ET + S). Berdasarkan model tersebut, nilai ET merupakan
evapotranspirasi, nilai Q merupakan penjumlahan dari limpasan
permukaan langsung (DRO) dan aliran air bawah tanah (BF), sehingga
ET = P (DRO + BF + S). Pengamatan S dilakukan dengan alat
pengukur kandungan air tanah pada kedalaman 0,2 m dan 0,5 m.
Prinsip pengamatan evapotranspirasi pada lisimeter lapangan ukuran
panjang 4 m, lebar 4 m, dan dalam 1-1,5 m (Gambar 1.), yaitu
pengamatan terhadap limpasan langsung (DRO) dan limpasan bawah
permukaan (BF) dan kandungan air tanah (S) yang diamati secara
harian tiap jam 07.00 pagi setiap hari hujan. Pada musim kemarau,
pengamatan S merupakan nilai rata-rata bulanan.
150
Bak
DRO
Tanaman
*
Tanaman
Bak
BF
DRO
Tanah
Batu Kali
1 -1,5m
Ijuk
BF
ET = P (Q + S) (dalam mm)
di mana P adalah tebal hujan (mm), S = (selisih kadar air tanah (%)
pada kapasitas lapang (pF 2,54) dengan pada kondisi aktual) x nilai
porositas tanan (n, %). Perhitungan nilai ET harian saat musim hujan
adalah sebagai berikut:
DRO
BF
Q
Q
ET
152
Umur
tanaman
(th)
Lokasi
studi
Jenis
Tanah
Kelas
tekstur
tanah
Kadar air
tanah
(%)
Air tersedia
(%)
Sengon
Wonosobo
Inceptisols
Lempung
2,81 - 16,80
13,40 - 23,50
A. mangium
Wonogiri
Inceptisols
Lempung
2,62 - 12,50
11,70 - 19,00
2-3
Ultisols
2,31 - 2,69
9,40 - 18,80
Akasia
Kayu putih
Sumatera
Selatan
Gundih
Vertisols
Lempung
pasiran
Lempung
2,16 2,76
18,00 19,50
Kayu putih
Ponorogo
Vertisols
Lempung
1,67 2,47
9,30 19,85
Kayu putih
Gunung Kidul
Vertisols
Lempung
2,29 - 3,01
24,23 - 33,45
Nyamplung
Karanganyar
Inceptisols
2,10 - 8,51
10,54 17,65
Mahoni
Ngawi
Vertisols
2,85 - 12,47
16,60 - 34,80
Riau
Ultisols
Lempung
debuan
Lempung
debuan
Geluh
pasiran
2,46 - 3,20
8,91 - 13,90
E. pellita
2-5
Tabel 4. Hasil perhitungan nilai evapotranspirasi tahunan pada masingmasing jenis tanaman
CH ratarata
(mm/th)
ET ratarata
(mm/th)
Wonosobo
2.487
708
28,5
22,2-34,9
Wonogiri
2.045
597
29,2
22,9-34,8
Akasia
Sumater
Selatan
3.069
1.843
59,9
58,8-61,1
kayu putih
Gundih
981
397
40,5
33,4-47,6
kayu putih
Ponorogo
1.982
750
37,8
30,8-44,8
kayu putih
Gunung Kidul
1.875
612
32,7
30,6-34,9
Nyamplung
Karanganyar
1.983
497
25,0
23,0-27,1
Mahoni
Ngawi
1.665
566
34,0
31,4-36,6
Ekaliptus
Riau
2.485
1.450
59,7
47,8-71,5
Jenis
pohon
Lokasi
Sengon
Akasia
(%) ET terhadap CH
Rata-rata
Kisaran
B. Pembahasan
Nilai evapotranspirasi beberapa spesies tanaman di berbagai wilayah
disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil sintesa terhadap nilai ET
diketahui bahwa jenis tanaman yang sama jika ditanam di tempat yang
berbeda karakteristik agroklimatologinya menunjukkan nilai ET yang
berbeda dengan kisaran angka yang sangat variatif. Variasi nilai ET
pada setiap jenis hutan tersebut (lebih tinggi atau lebih rendah)
153
154
Jenis pohon
Pinus merkusii
Lama Penelitian/
Umur tanaman
(th)
Curah hujan
(mm/th)
ET
(mm/th)
ET
(% dari CH)
3.056
1.971
Metode Pengukuran
Lokasi
Studi
Sumber
64,5
Lisimeter
Indonesia
Pudjiharta (1986) *)
P. merkusii
3.695
1.308
35,4
Model Penman-Monteith
Indonesia
P. merkusii
1.816 - 3.455
1.002 - 1.253
29 - 69
Indonesia
P. merkusii
900
Indonesia
Bruijnzeel (1997)
P. caribaea
1.121
717
63,9
P. caribaea
1.770
P. patula
1.160
Model Penman-Monteith
Fiji
Waterloo (1994)
Kenya
Indonesia
E. urophylla
3.056
1.128
36,9
E. deglupta
3.136
1.659
52,9
Lisimeter
Indonesia
Pudjiharta (1992) *)
E. alba
3.136
1.643
52,4
Lisimeter
Indonesia
Pudjiharta (1992) *)
E. trianta
3.136
1.673
53,4
Lisimeter
Indonesia
Pudjiharta (1992) *)
E. grandis
1.121
922
82,2
E. grandis
1.147
1.092
95,2
E. grandis
1.396
1.345
96,4
Model Penman-Monteith
Brazil
E. hybrid
3.187
1.912
60,0
E. hybrid
1.518
1.024
67,5
Lisimeter
Congo
Eucalyptus sp.
500 - 1.200
450 - 1.000
80 - 90
Schima walichii
3.056
700
22,9
Lisimeter
Indonesia
Pudjiharta (1986) *)
155
Lama Penelitian/
Umur tanaman
(th)
Jenis pohon
Curah hujan
(mm/th)
ET
(mm/th)
ET
(% dari CH)
Metode Pengukuran
Lokasi
Studi
Sumber
S. walichii
1.200 - 1.300
Model Penman-Monteith
Indonesia
Swietenia macrophylla
4.016
2.317
57,7
Lisimeter
Indonesia
Pudjiharta (1986) *)
A. mangium
3.465
2.384
68,8
Lisimeter
Indonesia
Pudjiharta (1986) *)
Model Penman-Monteith
Indonesia
Tectona grandis
950 - 1.600
Tectona grandis
1.671
1.164
69,7
Tectona grandis
1.671
946 - 1.118
56,6 - 66,9
Dalbergia latifolia
3.465
41,7
Model Penman-Monteith
Indonesia
Lisimeter
Indonesia
1.445
Agathis sp.
1.200 - 1.250
Model Penman-Monteith
Indonesia
Agathis damara
1.070
Indonesia
156
158
IV. KESIMPULAN
Besarnya konsumsi air (nilai ET) bervariasi pada setiap jenis tanaman
tergantung pada umur dan kerapatan tanaman, faktor curah hujan (tebal
dan sebaran bulanan dalam setahun) serta jenis tanah. Hasil penelitian
konsumsi air beberapa jenis cepat tumbuh menunjukkan besarnya nilai ET
tahunan yang bervariasi pada setiap jenis tanaman. Nilai ET tahunan ratarata dan persentase terhadap hujan masing-masing jenis yang diteliti
adalah: ekaliptus 1.450 mm (59,7%), akasia mangium 1.220 mm (45,5%),
sengon 708 mm (28,5%), kayu putih 681 mm (35,3%), mahoni 566 mm
(34,0%) dan nyamplung 497 mm (25,0%). Jenis tanaman dengan nilai ET
yang tinggi (mendekati curah hujan tahunan) perlu kewaspadaan dalam
melakukan pemilihan lokasi penamaman dan pengelolaannya, agar tidak
menimbulkan kekeringan di wilayah yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Almeida, A.C., J.V. Soares, J.J. Landsberg dan G.D. Rezende. 2007. Growth
and water balance of Eucalyptus grandis hybrid plantations in
Brazil during a rotation for pulp production. Forest Ecology and
Management, 251: 1021.
Arifjaya, N.M., O. Rusdiana dan Hendrayanto.
2002.
Pengaruh
pengelolaan hutan pinus (P. merkusii) terhadap karakteristik
hidrologi, Studi kasus di DAS Ciwulan Hulu, KPH Tasikmalaya, PT.
Perhutani Unit III Jawa Barat. Prosiding Workshop Aplikasi HasilHasil Penelitian Bidang Hidrologi untuk Penyempurnaan
Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem, Yogyakarta.
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan pengelolaan daerah aliran sungai, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Bruijnzeel, L.A. 1997. Hydrology of forest plantations in the tropics. In:
Nambiar, E.K.S. and A.G. Brown. 1997. Management of Soil,
Nutrient and Water in Tropical Plantation Forest. ACIAR
Monograph No. 43. Canberra, Australia. pp. 125-167.
159
160
Soedjoko, S.A., Suyono dan Darmadi, 1998. Kajian Neraca Air di Hutan
Pinus. Makalah Seminar Pengelolaan Hutan dan Produksi Air
untuk Kelangsungan Pembangunan, 23 September 1998, Jakarta.
Supangat, A.B., A. Junaedi, Kosasih, D. Frianto dan Nasrun. 2008. Kajian
tata air hutan Acacia mangium dan Eucalyptus pellita. Laporan
Hasil Penelitian. Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat. Badan
Litbang Kehutanan. Kuok. (tidak dipublikasikan).
Supangat, A.B. dan P.B. Putra. 2012. Neraca Air Meteorologis di Kawasan
Hutan Tanaman Jati di Cepu. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian,
Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai. Badan Litbang Kehutanan. Surakarta.
Waterloo, M.J. 1994. Water and nutrient dynamics of Pinus caribaea
plantation forests on former grassland soils in Viti levu, Fiji. PhD
dissertation. Vrije Universiteit van Amsterdam, Amsterdam, the
Netherlands.
Wibowo, A. 2006. Usulan Kegiatan Penelitian (UKP) Tahun Anggaran 20062007: Pengelolaan Lingkungan Hutan Tanaman. Puslitbang Hutan
Tanaman, Badan Litbang Kehutanan, Dep. Kehutanan, Bogor.
161
Akasia
Lokasi
Wonosobo
Wonogiri
Sumsel
Kayu putih
Nyamplung
CH
(mm)
Nilai ET
(mm/th)
(%)
ET thd CH
2.487
867
34,9
2.487
705
28,3
2.487
553
22,2
2.045
713
34,9
2.045
609
29,8
2.045
468
22,9
Th. 2007
2.754
1.618
58,8
Plot / (th)
Th. 2008
3.383
2.068
61,1
Grobogan
Th. 2012
981
397
40,5
Gunung
Kidul
1.969
602
30,6
1.780
621
34,9
Ponorogo
Th. 2012
1.982
750
37,8
Karanganyar
1.983
537
27,1
1.983
456
23,0
1.665
609
36,6
1.665
522
31,4
Th. 2008
2.813
1.345
47,8
Th. 2009
2.679
1.433
53,5
Th. 2010
2.783
1.834
65,9
Th. 2011
1.663
1.188
71,4
Mahoni
Ngawi
Ekaliptus
Riau
162
ABSTRAK
Degradasi lahan umumnya disebabkan oleh erosi. Penggunaan lahan yang
intensif pada lahan miring merupakan pemicu erosi. Dampak dari erosi selain
menipisnya lapisan tanah juga menurunnya kesuburan tanah. Hal ini
menyebabkan menurunnya produktivitas lahan yang tercermin dari
menurunnya pertumbuhan tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati
kandungan hara tanah pada lahan miring bersolum dangkal. Lokasi penelitian
terletak di Desa Ngadipiro, Kecamatan Nguntoronadi, Wonogiri, Jawa Tengah.
Inventarisasi sumber-daya lahan dilaksanakan untuk mengumpulkan data
biofisik, sedangkan prediksi erosi dilakukan dengan menggunakan metode USLE
(Universal Soil Loss Equation). Untuk mengetahui dampak erosi terhadap
kesuburan dilakukan analisis fisika dan kimia tanah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa di lokasi penelitian didominasi oleh lahan dengan lereng
curam dengan lahan bervegetasi permanen (nilai C rendah), tanah dengan
tekstur silty clay. Meskipun didominasi oleh lereng terjal, erosi yang terjadi
masih didominasi oleh erosi kategori rendah-sangat rendah (lebih 50% luas area)
dan sedang (23% area). Tanah masih dalam taraf subur yang tercermin dari
kandungan Nitrogen (N) dan Bahan Organik (BO), Kapasitas Tukar Kation (KTK)
dan Kejenuhan Basa (KB). Nitrogen dan Bahan Organik berada pada tingkat
sedang dan sangat tinggi, sedangkan KTK dan KB pada tingkat tinggi. Hal ini
bisa terjadi karena adanya dominasi vegetasi permanen di lokasi penelitian,
vegetasi ini merupakan sumber BO dalam bentuk seresah, selain berfungsi
sebagai pelindung tanah.
Kata Kunci: erosi, degradasi lahan, kehilangan hara, solum tipis, vegetasi
permanen, seresah
1
163
1. PENDAHULUAN
Degradasi lahan di Indonesia umumnya diakibatkan erosi oleh air
hujan(Dariah dkk., 2004). Hal ini disebabkan oleh tingginya curah
hujan yang jatuh pada lahan yang berlereng curam dan kurangnya
penerapan konservasi tanah. Lahan berlereng curam dan marjinal
masih banyak digunakan untuk budidaya tanaman semusim sebagai
akibat kebutuhan penduduk untuk mencukupi kebutuhan pangan.
Erosi pada dasarnya merupakan proses penggerusan permukaan kulit
bumi, yang dimulai dari penghancuran agregat tanah, pengangkutan
dan pengendapan partikel-partikel tanah yang terlepas dari tempat
yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Di alam ada dua penyebab
utama yang aktif dalam proses ini yakni angin dan air (Utomo, 1994).
Menurut Weischmeier dan Smith (1978), erosi dipengaruhi oleh
faktor hujan, topografi, sifat fisik tanah, penutupan dan pengelolaan
lahan. Aktifitas manusia dapat mengendalikan erosi dengan
mengurangi pengaruh faktor topografi, sifat fisik tanah, penutupan
dan pengelolaan lahan dengan teknik konservasi tanah vegetatif
maupun mekanis. Pengolahan lahan juga berpengaruh pada erosi
meskipun efeknya tidak secara cepat dapat dilihat seperti halnya
erosi oleh air dan angin (Oost dkk., 2006). Erosi oleh air menimbulkan
masalah serius, terutama pada lahan-lahan pertanian. Penutupan
lahan oleh vegetasi mempunyai dampak positif
terhadap
pengurangan erosi karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap
tanah (Ke dkk., 2011). Selain menyebabkan sedimentasi, erosi juga
juga akan menyebabkan berkurangnya ketebalan tanah (solum) dan
berkurangnya tingkat kesuburan tanah di wilayah hulu (on site)
(Sutrisno dkk., 2012).
Studi ini bertujuan memaparkan efek dari erosi dan penutupan lahan
terhadap kesuburan tanah yang diwakili oleh kandungan unsur hara
esensial yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh secara normal
(Buckman dan Brady, 1982). Dalam studi ini akan dianalisis unsur
Nitrogen tersedia (N), Karbon organik (C org) atau bahan organik
(BO), Fosfor (P) tersedia, Kalium (K) tersedia, Kapasitas Tukar Kation
(KTK), dan Kejenuhan Basa (KB).
164
2. METODE
A.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian secara administratif terletak di Dusun Dungwot
Desa Ngadipiro, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri dan
secara geografis terletak pada 110o 59 52 BT; 7o 53 8 LS. Lokasi
penelitian ini dipilih karena merupakan lahan kering berlerang curam
dengan curah hujan rata-rata pertahun 1.976,6 mm dengan jumlah
bulan basah (Schmidt dan Fergusson, 1951)6 bulan. Di lokasi yang
terjal dan bersolum dangkal ini kegiatan pertanian tanaman semusim
masih dilakukan. Penelitian dilakukan pada tahun 2012.
B.
Rancangan Penelitian
Lokasi penelitian berupa sub DAS kecil dengan luas lebih kurang 10,82
ha. Analisis dilakukan dalam satuan lahan yang terbentuk berdasar
kesamaan karakter biofisik seperti jenis penutupan lahan, kedalaman
tanah dan kelas lereng. Pembatasan DAS dilakukan secara terestris
dengan menggunakan GPS (Global Positioning System). Titik
koordinat yang tercatat diolah dengan ArcMap 9.2 (Crosier dkk.,
2004)menjadi shape file, yang merupakan peta digital dari penutupan
lahan, kedalaman tanah dan kelas lereng. Tumpang susun (overlay)
peta-peta tersebut dilakukan untuk menentukan/mengelompokkan
menjadi satuan lahan yang mempunyai ciri biofisik yang relatif
seragam. Data biofisik dikumpulkan melalui survei inventarisasi
sumber daya lahan (Fletcher dan Gibb, 1990). Data yang dikumpulkan
meliputi jenis penutupan lahan, jenis tanah, kedalaman solum, tekstur
tanah, kemiringan lahan. Selain itu dilakukan pengambilan sampel
tanah. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada setiap satuan lahan
pada kedalaman 0-20 cm. Pengambilan sampel secara komposit,
masing-masing satuan lahan diambil 3 sampel yang dicampur menjadi
satu.
Pengukuran tegakan dilakukan untuk mengetahui nilai index
pengelolaan tanaman (C). Pengukuran dilakukan dengan membuat
petak ukur (PU) berjari-jari 16 m. Dengan intensitas sampel lebih
kurang 10%, PU dibuat secara purposive yaitu pada lokasi yang
ditumbuhi tanaman keras. Data yang dikumpulkan meliputi tinggi
165
Analisis Data
Parameter
pH (H2O)
Satuan
pH
Metode
1 : 2.5 (tanah : H2O)
Nitrogen total
Kjeldahl
Bahan Organik
P tersedia
mg kg-1
K tertukar
cmol kg-1
1 M NH4OAc, pH 7, Flame
photometer
KapasitasTukar
Kation
Destilasi
Kejenuhan Basa
Tekstur (3 fraksi)
Cara pipet
SFT
Tingkat Erosi
(ton/ha/th) (ton/ha/year)
(Erosion degree)
<15
15-60
Ringan (low)
60-180
Sedang (moderate)
180-480
Berat (heavy)
>480
168
Tabel 3. Jenis dan prosentase penutupan lahan (Land cover type and its
percentage)
No
Simbol Penutupan
Lahan (Land cover
symbols)
Ut1
4
5
Ut2
Ut3
Ut4
Ut5
Ut6
Keterangan (Remarks)
Luas (ha)
(Area) (ha)
0,50
4,60
Tanaman jati (5 - 10
th)tumpangsari dengan tanaman
palawija, banyak teras yang tidak
terawat)
1,26
11,65
4,88
45,08
2,78
25,67
0,50
4,60
0,91
8,39
10,82
100,00
Jumlah (Total)
169
Jumlah
(Total)
(Land cover)
4-8
9-15
16-30
31-45
46-65
>65
(%)
Ut1
0,00
4,60
0,00
0,00
0,00
0,00
4,60
Ut2
0,00
11,65
0,00
0,00
0,00
0,00
11,65
Ut3
0,30
3,98
1,28
20,27
10,74
8,51
45,08
Ut4
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
25,67
25,67
Ut5
0,00
0,00
0,00
0,00
4,60
0,00
4,60
Ut6
0,00
0,00
0,00
0,00
8,39
0,00
8,39
Jumlah (Total)
0,30
20,24
1,28
20.27
23,73
34,18
100,00
(C value of trees)
Ut1
0,001
Ut2
0,002
Ut3
0,019
Ut4
0,003
Ut5
0,004
Rerata (Average)
0,006
170
Hasil analisis menunjukkan bahwa lebih dari 50% area didominasi oleh
penutupan vegetasi hutan (jati) yang relatif berumur muda. Nilai C
tanaman keras tertinggi (0,019) terdapat pada penutupan lahan Ut3
yaitu tanaman jati 5-10 tahun, tumpang sari dengan palawija dengan
teras tidak terawat. Dengan bertambahnya umur tanaman diharapkan
akan menambah tinggi dan luas tajuk tanaman, hal ini akan berakibat
pada menurunnya nilai C tanaman keras.
Penutupan lahan Ut4 dan Ut5 memberikan nilai C yang lebih kecil
dibandingkan dengan C pada Ut1, Ut2 dan Ut3. Secara berurutan nilai C
Ut4 dan Ut5 adalah 0,003 dan 0,004. Meskipun dominasi tanaman
pada jenis penutupan ini adalah gamal (Gliricidae spium) yang secara
ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan jati, namun dari segi
perlindungan tanah kondisi ini sangat menguntungkan. Perakaran
Gliricidae yang dapat mencengkeram tanah akan mengurangi erosi
yang terjadi. Selain itu seresah dari guguran daunnya yang mudah
terdekomposisi juga akan menstimulasi agregasi tanah. Dari hasil
analisis tekstur tanah dan segitiga tektsur tanah (Buckman dan Brady,
1982), diperoleh hasil bahwa tektur tanah dapat digolongkan
bertekstur tanah lempung berliat (Clay Loam).
B.
Prediksi erosi
Meskipun didominasi lereng terjal erosi yang terjadi masih dalam taraf
sangat ringan dan ringan (lebih dari 50%) dan sedang (23%). Erosi
sangat berat kurang dari 5% (Tabel 6) yang terdapat hanya pada
penutupan lahan Ut6 yang didominasi oleh batuan singkapan. Nilai
erosi ini menurut model prediksi USLE, dipengaruhi oleh hujan,
erodibilitas tanah, lereng dan panjang lereng, vegetasi penutup dan
pengelolaan. Erosi ini akan berdampak pada unsur hara tanah seperti
P, K dan bahan organik (Ni dan J.H.Zhang, 2007; Casasnovas dan
Ramos, 2009; Fucheng dkk., 2012). Unsur hara dapat hilang terangkut
oleh aliran permukaan dan terlarut dalam sedimen.
171
(Land cover)
SR
SB
Ut1
4,60
0,00
0,00
0,00
4,60
Ut2
11,65
0,00
0,00
0,00
11,65
Ut3
5,56
20,27
19,25
0,00
45,08
Ut4
25,67
0,00
0,00
0,00
25,67
Ut5
0,00
0,00
4,60
0,00
4,60
Ut6
0,00
3,84
0,00
4,55
8,39
47,49
24,11
23,85
4,55
100,00
Jumlah (Total)
Keterangan (Remarks) :
SR
= Sedang (Moderate)
= Ringan (Low)
SB
C.
Tanah di lokasi penelitian, secara umum mempunyai pH rendah (5,66,5) demikian juga dengan P tersedia sangat rendah sampai dengan
rendah (< 7 dan 7-16 mg/kg) (Lampiran 2 dan Lampiran 5).Unsur P
banyak digunakan tanaman, terutama dalam sintesis protoplasma
(Mas'ud, 1992). Kondisi kemasaman tanah akan mempengaruhi
keterlarutan P. Kemasaman (pH) tanah yang sangat rendah (<5,5)
dapat mempengaruhi ketersediaan P (Mas'ud, 1992). Pengapuran
dengan dolomit dan batuan kapur dapat menaikkan pH, dengan
demikian dapat meningkatkan ketersediaan P. Pemupukan dengan
bahan organik (Centrosema pubescen) juga dapat meningkatkan pH
dan ketersediaan P (Djuniwati dkk., 2007).
172
(blank)
Luas
(Area) (%)
Ut1
4,60
0,00
0,00
4,60
Ut2
11,65
0,00
0,00
11,65
Ut3
36,57
8,51
0,00
45,08
Ut4
25,67
0,00
0,00
25,67
Ut5
4,60
0,00
0,00
4,60
Ut6
3,84
0,00
4,55
8,39
86,94
8,51
4,55
100,00
: Sedang (Moderate)
: Tinggi (High)
173
ST
0,00
4,60
0,00
0,00
0,00
4,60
11,65
0,00
0,00
0,00
11,65
Ut2
(blank)
Luas
(Area) (%)
Ut3
4,29
14,60
12,01
14,18
0,00
45,08
Ut4
0,00
0,00
2567
0,00
0,00
25,67
Ut5
0,00
4,60
0,00
0,00
0,00
4,60
Ut6
0,00
3,84
0,00
0,00
4,55
8,39
4,29
39,31
37,68
14,18
4,55
100,00
174
Keterangan (Remarks):
R
: Rendah (Low)
: Sedang (Moderate)
: Tinggi (High)
ST
175
Luas
(Land cover)
(Area) (%)
Ut1
4,60
0,00
0,00
4,60
Ut2
11,65
0,00
0,00
11,65
Ut3
12,76
32,32
0,00
45,08
Ut4
25,67
0,00
0,00
25,67
Ut5
0,00
4,60
0,00
4,60
Ut6
3,84
0,00
4,55
8,39
58,53
36,92
4,55
100,00
(blank)
Keterangan (Remarks):
S
: Sedang (Moderate)
: Tinggi (High)
176
Tabel (Table) 10. Kejenuhan Basa pada beberapa jenis penutupan lahan
yang berbeda dan tingkat erosi tanah (Base saturation
in different land cover types)
Penutupan Lahan
(Land cover)
(blank)
Jumlah
(Total)
Ut1
0,00
4,60
0,00
0,00
4,60
Ut2
8,25
3,40
0,00
0,00
11,65
Ut3
0,00
21,28
23,81
0,00
45,08
Ut4
0,00
25,67
0,00
0,00
25,67
Ut5
0,00
0,00
4,60
0,00
4,60
Ut6
0,00
3,84
0,00
4,55
8,39
Jumlah (Total)
8,25
58,79
28.41
4,55
100,00
Keterangan (Remarks):
: Rendah
(Low)
: Sedang (Moderate)
: Tinggi (High)
177
b.
c.
B. Saran
Penutupan lahan dengan vegetasi permanen harus selalu
dipertahankan karena mempunyai nilai C rendah sehingga
mempunyai kemampuan untuk mengendalikan erosi dan juga
menjadi sumber bahan organik.
DAFTAR PUSTAKA
178
179
181
Lampiran (Appendix) 1. Tabel nilai SFPH dan SFT untuk menghitung nilai C tanaman keras (SFPH and SFT table to calculate C value of perennial trees)
Tanah terbuka
(Bare land) (%)
Tanah terbuka dengan perakaran halus (Bare land with fine root) (%) Bare land with canopy cover (%)
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0,000
0,004
0,004
0,005
0,006
0,007
0,008
0,010
0,120
0,014
0,016
0,078
0,008
0,008
0,010
0,012
0,017
0,017
0,020
0,023
0,027
0,031
0,036
0,030
0,030
0,030
0,040
0,050
0,060
0,070
0,080
0,090
0,110
0,120
10
0,050
0,050
0,060
0,080
0,090
0,110
0,130
0,150
0,170
0,200
0,230
20
0,110
0,120
0,140
0,170
0,200
0,240
0,280
0,330
0,380
0,440
0,500
30
0,170
0,180
0,200
0,250
0,900
0,360
0,420
0,500
0,590
0,680
0,770
40
0,230
0,240
0,270
0,340
0,420
0,490
0,580
0,580
0,790
0,920
104,000
50
0,300
0,320
0,380
0,450
0,540
0,640
0,740
0,880
103
118
135
60
0,370
0,380
0,430
0,550
0,670
0,790
0,920
109
127
147
167
70
0,470
0,490
0,540
0,680
0,830
0,980
117
138
161
187
212
80
0,550
0,580
0,660
0,810
0,980
118
141
164
192
221
252
85
0,660
0,690
0,780
0,950
115
138
165
195
228
264
300
90
0,750
0,800
0,800
111
133
157
187
222
260
301
342
95
0,860
0,900
102
125
155
182
217
255
298
345
392
100
0,990
104
117
144
180
207
248
293
342
396
450
182
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0,5
91
83
74
66
58
49
41
32
24
16
1,0
93
86
79
72
65
58
51
44
37
30
2,0
95
90
85
80
75
70
65
60
55
50
4,0
97
97
92
90
87
84
82
79
76
74
6,0
98
98
96
94
93
92
90
89
87
85
8,0
99
99
97
96
95
94
94
93
93
92
16,0
99
98
98
98
97
96
96
96
20,0
Keterangan :
183
Tekst
ur*
pH
N
Total
C.
Org
BO
P Tsd
Na
Ca
Mg
KTK
KB
ppm
Gp
Saat ini sedang ditanami jati umur 8 15 tahun (monokultur) sehingga tidak dijadikan lokasi
model perlakuan
Gp
6,19
0,38
1,72
2,97
5,91
0,26
0,16
6,99
4,19
23,20
49,94
Gp
6,35
0,32
1,07
1,85
6,58
0,25
0,24
6,18
3,68
20,40
49,22
Gp
5,87
0,32
1,50
2,59
6,31
0,27
0,15
6,17
3,78
25,20
58,84
Gp
5,75
0,26
1,72
2,96
6,58
0,30
0,16
6,46
3,83
16,00
32,84
Gp
0,25
1,72
2,97
7,85
0,38
0,16
6,57
4,06
30,00
62,78
Gp
0,22
3,44
5,93
5,78
0,43
0,10
7,87
4,36
24,00
46,85
Gp
Gp
10
Gp
11
Gp
12
Gp
13
Gp
6,05
0,25
2,79
4,81
7,13
0,39
0,25
6,14
4,22
28,15
60,19
14
Gp
6,33
0,56
1,29
2,22
5,71
0,33
0,17
6,61
4,09
29,60
62,20
15
Gp
6,05
0,36
3,87
6,68
11,26
0,26
0,19
6,18
3,44
26,00
61,26
16
Gp
5,85
0,52
6,01
10,36
5,24
0,25
0,15
6,24
3,88
24,00
56,16
17
Gp
6,07
0,37
2,36
4,08
6,18
0,24
0,15
6,42
4,16
28,00
60,19
6,21
Saat ini berwujud hamparan batuan tersingkap, tidak dijadikan lokasi model perlakuan
5,68
0,46
2,57
4,44
7,85
0,27
0,15
4,85
4,16
26,00
63,71
Saat ini berwujud hamparan tanaman gliricidea dan tanahnya sangat tipis , tidak dijadikan
lokasi model
5,48
0,45
2,79
4,81
6,51
0,44
0,15
6,46
4,00
19,60
43,64
Saat ini berwujud hamparan batuan tersingkap, tidak dijadikan lokasi model perlakuan
184
Sampel
Pasir (%)
Debu (%)
Liat (%)
(sand)
(silt)
(clay)
1 A1
24,9
40,9
34,2
2 A4
27,1
47,2
25,7
3 B1
29
39,7
31,3
4 B4
24,9
48,9
26,2
5 C1
34,1
38
27,9
6 C4
19,3
45,7
35
7 K1
19,9
42,6
37,5
8 K2
49,8
29,5
20,7
9 K3
25,9
39,5
34,6
28,32
41,33
30.,4
Rerata (average)
185
Karakteristik (Characteristic)
Lereng
(Slope)
Kedalaman Tanah
(Soil depth)
48% (sl1)
50-25 cm
915% (sl2)
50-25 cm
915% (sl2)
< 25 cm
48 % (sl1)
50-25 cm
915%(sl2)
50-25 cm
186
3145% (sl4)
50-25 cm
3145% (sl4)
< 25 cm
4665% (sl5)
< 25 cm
46 65 % (sl5)
50-25 cm
10
> 65 %
< 25 cm
Tanaman Gliricidea
monokultur, sebagian
besar tidak berteras (Ut4)
11
4665% (sl5)
50-25 cm
12
48% (sl1)
< 25 cm
Tanaman Gliricidea
monokultur, sebagian
besar tidak berteras (Ut4)
187
13
1630% (sl3)
50-25 cm
14
4665% (sl5)
50-25 cm
Tanaman Gliricidea
tumpangsari dengan
tanaman polowijo,
teras diperkuat dengan
batu tetapi kurang
terawat (Ut5)
15
3145% (sl4)
50-25 cm
16
>65% (sl6)
50-25 cm
17
3145% (sl4)
50-25 cm
Catatan (Remarks): SL =
Satuan
Penggunaan Lahan
(Land Unit)
188
SR
< 0,6
0,6-1,25
1,26-2,5
ST
(%)
2,51-3,5
> 3,51
BO
(%)
N total
(%)
K total
(%)
C/N
nisbah
N-NO3
(mg/kg)
P total
(ppm)
P-tsd Bray 1
0,51-1,00
> 1,00
< 10
10-20
21-40
41-60
> 60
< 8,0
8-10
11-15
16-25
> 25
<5
5-15
15-25
25-50
> 50
< 50
51-100
101-150
151-250
> 250
(mg/kg)
<3
3-7
7-20
> 20
P-tsd Bray 2
(mg/kg)
<7
7-16
16-46
> 46
P-tsd Olsen
(mg/kg)
0-5
5-10
10-15
15-20
> 20
Kation Tertukar
K+
(Cmol/kg)
< 0,1
0,1-0,3
0,3-0,6
0,6-1,2
> 1,2
Na+
(Cmol/kg)
< 0,1
0,1-0,3
0,3-0,7
0,7-2,0
> 2,0
Mg++
(Cmol/kg)
< 0,5
0,5-1,5
1,5-3,0
3,0-8,0
> 8,0
Ca++
(Cmol/kg)
< 2,0
2,0-5,0
5,0-10,0
10-20
> 20
Total Kation
(Cmol/kg)
< 3,0
3,0-7,5
7,5-15
15-30
> 30
KTK
(Cmol/kg)
<5
5-15
15-25
25-40
> 40
Al
(Cmol/kg)
< 0,1
0,1-0,5
0,6-2,0
2,0-5,0
> 5,0
Kejenuhan Al
(%)
<5
5-10
11-20
21-40
> 40
KB
(%)
< 20
21-40
41-60
61-80
80-100
DHL
(mmhos/cm)
< 1,0
1,0-2,0
2,0-3,0
3,0-4,0
> 4,0
pH (H2O)
< 4,5
4,55,5
5,6-6,5
6,6-7,5
7,6-8,5
> 8,5
= Sedang (Moderate)
= Ringan (Low)
SB
189
190
ABSTRAK
Identifikasi morfometri Daerah Aliran Sungai (DAS) penting dilakukan sebagai
upaya untuk dapat mengetahui karakter DAS. Karakter DAS dapat dipergunakan
sebagai dasar dalam pengelolaan DAS seperti perencanaan, kelembagaan, serta
monitoring dan evaluasi. Teknologi Penginderaan Jauh (PJ) dan Sistem Informasi
Geografis (SIG) dapat dimanfaatkan untuk identifikasi morfometri DAS. Lokasi
kajian terletak di DAS Musi yang secara administratif meliputi empat provinsi yaitu
Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung dan Jambi. Tujuan kegiatan adalah untuk
menghitung dan menentukan morfometri DAS (bentuk DAS, kerapatan drainase,
pola aliran, dan kelerengan wilayah DAS) dan penutupan penggunaan lahan DAS
Musi. Kelerengan lahan DAS Musi diperoleh dari hasil analisis peta kontur 1:50.000
(format digital), bentuk DAS dihitung dengan menggunakan persamaan circularity
ratio, sementara kerapatan aliran dihitung dengan menggunakan persamaan yang
didasarkan pada panjang keseluruhan sungai utama dan anak anak sungai serta
luas DAS. Pola aliran ditentukan secara kualitatif dengan bantuan peta jaringan
sungai, sedangkan penutupan/penggunaan lahan diperoleh dari hasil analisis citra
satelit Landsat 5 Thematic Mapper (TM). Hasil kajian menunjukkan, kelas kelerengan
DAS Musi didominasi oleh tipe kelerengan datar (0 8%) yaitu seluas 3.594.802,47
ha (67% dari total luas DAS Musi). Tipe bentuk Sub Sub DAS di DAS Musi
didominasi tipe memanjang, hanya Sub DAS Kikim dan Sub DAS Deras yang
memiliki tipe membulat dengan nilai bentuk 0,64 dan 0,53. Kerapatan aliran
seluruh DAS Musi dapat dikategorikan ke dalam tingkat kerapatan sangat jarang
dengan nilai kerapatan aliran 1,53. Luas hutan keseluruhan di DAS Musi (Hutan
lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa sekunder dan hutan
tanaman) yaitu 776.572,36 ha (14,52% dari total luas DAS).
Kata kunci: Morfometri DAS, karakter DAS, penginderaan jauh, Sistem Informasi
Geografis
191
I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tujuan
II. METODOLOGI
A.
193
2.
Persiapan
(mengumpulkan
citra satelit digital
dan data digital
sungai dan garis
kontur)
Pemrosesan data
3.
Pemrosesan citra
Satelit digital dan
data digital sungai
dan garis kontur
Analisis data satelit
digital dan data
digital sungai dan
garis kontur
Digitasi batas DAS
dan Sub DAS
Survey Lapangan
4.
5.
II
III
Orientasi lapangan
Pengumpulan data
lapangan dan
Kompilasi
Proses Overlay dan
Analisa GIS serta
layout peta
Penyusunan tulisan
ilmiah
194
IV
VI
Bulan
VII
VIII
IX
XI
XII
2.
C.
D.
D1.
Tahapan Kegiatan
Tahapan kegiatan analisis morfometri DAS
1. Mengumpulkan dan menggabungkan peta digital seperti
jaringan sungai dan kontur serta peta batas DAS dan Subsub DAS yang diperoleh dari Balai Pengelolaan DAS
(BPDAS) Musi di Palembang.
2. Menghitung keliling dan luas DAS serta sub DAS.
3. Membuat model elevasi digital berdasarkan peta kontur.
4. Klasifikasi kelas kelerengan seluruh DAS dan sub DAS.
Kelas kelerengan dibagi menjadi 5 (lima) kelas
sebagaimana terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kelas kelerengan
Kelas
Kelerengan (%)
1
0-8
2
8-15
3
15-25
4
25-45
5
>45
Sumber: Asdak (2010)
196
Tipe
Datar
Miring
Sangat miring
Curam
Sangat curam
5.
< 0,5
Memanjang
7. 2
> 0,5
Membulat
197
Tingkat kerapatan
Lowest/sangat jarang
Low/jarang
Medium/sedang
High/tinggi
Highest/sangat tinggi
Kelerengan (Slope)
199
Sub DAS
Total
Bt.harileko
Rawas
Deras
Medak
Lakitan
Bt. Peledas
Semangus
Lematang
Ogan
Komering
Kelingi
Baung
Musi Hulu
Kikim
0-8
363.985
332.325
84.790
150.490
191.090
81.261
252.244
532.959
753.755
579.853
78.319
62.318
61.262
70.146
8 - 15
34.174
39.255
1.774
2.244
15.218
3.134
18.551
121.175
74.710
78.564
28.483
6.601
62.464
26.189
15 - 25
2.287
40.420
31
10
14.814
58
1.028
79.803
43.600
103.430
28.154
94
85.034
16.023
25 - 45
12
67.072
0,00
0,00
26.451
0,00
19
67.455
35.122
92.181
20.901
0,00
84.367
17.299
> 45
0,00
107.695
0,00
0,00
50.600
0,00
0,00
75.888
29.660
61.348
16.661
0,00
52.034
21.667
400.460
586.769
86.596
152.744
298.175
84.455
271.844
877.281
936.848
915.377
172.520
69.014
345.164
151.326
Total DAS
3.594.802
512.543
414.794
410.883
415.556
5.348.580
200
Sub DAS
Keliling
(km)
Luas
(Km2)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
499,11
479,05
143,05
235,12
277,92
220,82
293,10
603,86
549,73
791,42
237,91
135,08
415,98
171,93
5.054,08
4.004,63
5.868,36
865,98
1.527,45
2.981,76
844,56
2.718,44
8.772,82
9.368,47
9.153,80
1.725,20
690,15
3.451,66
1.513,26
53.486,53
Nilai
bentuk
DAS
0,20
0,32
0,53
0,35
0,48
0,22
0,40
0,30
0,39
0,18
0,38
0,48
0,25
0,64
0,29
Tipe bentuk Sub Sub DAS di DAS Musi didominasi oleh tipe
memanjang, hanya Sub DAS Kikim dan Sub DAS Deras yang memiliki
tipe membulat dengan nilai bentuk 0,64 dan 0,53 (Soewarno (1991).
DAS Musi secara keseluruan memiliki nilai bentuk 0,29 yang
dikategorikan ke dalam tipe memanjang. DAS dengan bentuk sempit
dan memanjang mempunyai bentuk hidrograf aliran yang landai
sehingga mempunyai debit banjir yang kecil. Sebaliknya DAS yang
mempunyai bentuk melebar mempunyai banjir yang besar pada titik
pertemuan sungai sungainya, serta hidrograf alirannya lebih
meruncing (Priyono dan Savitri, 1997). Dengan demikian, berdasarkan
analisis bentuk DAS, DAS Musi secara keseluruhan memiliki hidrograf
aliran yang landai dan memiliki debit banjir kecil, hanya sub DAS Kikim
dan Sub DAS Deras yang memiliki hidrograf aliran meruncing karena
berbentuk membulat.
C.
SUB DAS
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Sungai
utama
(Km)
670,30
1.126,89
109,90
227,61
623,54
241,13
583,89
1.872,25
2.505,78
2.790,78
506,81
0,00
559,46
508,01
DAS Musi
12.326,35
3.043,60
6.050,40
680,63
1.698,01
2.279,24
1.291,08
2.899,29
14.009,21
13.609,54
12.920,24
2.590,84
973,62
5.278,25
1.988,13
Total
sungai
(km)
3.713,90
7.177,29
790,52
1.925,63
2.902,77
1.532,21
3.483,18
15.881,46
16.115,32
15.711,03
3.097,65
973,62
5.837,71
2.496,13
0,93
1,22
0,91
1,26
0,97
1,81
1,28
1,81
1,72
1,72
1,80
1,41
1,69
1,65
Sangat jarang
Sangat jarang
Sangat jarang
Sangat jarang
Sangat jarang
Sangat jarang
Sangat jarang
Sangat jarang
Sangat jarang
Sangat jarang
Sangat jarang
Sangat jarang
Sangat jarang
Sangat jarang
69.312,07
81.638,42
1,53
Sangat jarang
Cabang
sungai(Km)
Nilai
kerapatan
Tingkat
kerapatan
Penutupan/penggunaan lahan
Hutan lahan kering primer
Hutan lahan kering sekunder
Hutan rawa sekunder
Hutan tanaman
Kebun (tanaman muda)
Kebun campuran
Kebun karet
Kebun karet campuran
Kebun kelapa sawit
Kebun kopi campuran
Lahan kosong
Pemukiman
Pertanian lahan kering
Sawah
Semak belukar (rawa)
Tubuh air
Total
204
Luas (ha)
347.692,83
255.785,15
13.524,93
159.569,45
166.613,74
136.585,00
748.100,72
256.484,16
1.249.473,16
670.847,88
174.281,83
184.038,88
529.337,23
76.378,46
178.005,42
200.095,88
5.346.814,71
205
B. Saran
Untuk memudahkan penentuan morfometri DAS (kelerengan, bentuk
DAS, kerapatan aliran dan pola aliran) dengan perangkat SIG,
sebaiknya data dasar seperti batas DAS/sub DAS, kontur dan jaringan
sungai sebaiknya tersedia dalam format digital.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak. Chay. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Desaunettes, J. R. 1977. Catalogue of Landforms for Indonesia. Example
of a physiographic approach to land evaluation for
agriculture development, SRI (Soil Research Institute),
FAO-Bogor.111p and Appendices.
Dixon, J. A. and K. W. Easter. 1986. Integrated Watershed Management:
An Approach to Resource Management. In K. W. Easter, J.
A.Dixon, and M. M. Hufschmid. Watershed Resources
Management. An Integrated Framework with Studies
from Asia and the Pacific. Studies in Water Policy and
management, No.10. Westview Press and London.
Honolulu.
Esri.1999.ArcView 3.2a. Esri. California.USA
Esri.2004.ArcGIS 9. Esri.California. USA
Priyono, C. N. S. dan E. Savitri. 1997. Hubungan antara Morfometri
dengan Karakteristik Hidrologi Suatu Daerah Aliran Sungai
(DAS): Studi Kasus Sub DAS Wader. Buletin Pengelolaan
DAS No.III, 2, 1997.
Paimin, Sukresno, dan Purwanto. 2006. Sidik Cepat Degradasi Sub
Daerah Aliran Sungai (Sub DAS). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Sukentyas, S. E. dan W. K. Harsanugraha. 2008. Pemanfaatan Citra
Satelit Penginderaan jauh Untuk Pengelolaan Sumber Daya
206
Pengelolaan
DAS
207
ABSTRAK
Tanah berpasir di pesisir merupakan tanah marjinal yang memerlukan
penanganan secara tepat. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah
dengan melakukan tindakan konservasi vegetatif melalui penanaman
tanaman cemara laut. Tanaman tersebut diharapkan dapat memperbaiki
kandungan unsur hara tanah. Penelitian ini bertujuan mengetahui status
unsur hara tanah pada tiga titik yang berbeda, yaitu unsur hara tanah di
pasir terbuka, dibawah tegakan cemara laut dan di bawah tegakan
tanaman semusim yang telah dibudidayakan masyarakat. Metode
penelitian yang digunakan adalah survey dengan mengambil sampel
tanah pada masing-masing titik dan dilakukan analisa unsur hara tanah
meliputi : kadar air 0,5 mm, kadar air 2 mm, pH, BO, C, N, P, K, dan Na.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan kandungan unsur
hara tanah pada berbagai penggunaan lahan. Penanaman cemara laut
berdampak positif terhadap peningkatan kandungan unsur hara tanah
berpasir. Penggunaan pupuk kandang efektif memperbaiki kandungan
unsur hara tanah selain masukan hara yang berasal dari dekomposisi
serasah dan bahan organik yang berada di bawah tegakan tanaman
semusim dan dibawah tegakan tanaman cemara laut.
Kata kunci : unsur hara tanah, cemara laut, pasir terbuka
208
I. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dimana 70% luas
wilayahnya berupa laut serta memiliki 80.000 km garis pantai
merupakan sumber daya yang sangat potensial (Nizam, 2010).
Meskipun potensial tetapi pengelolaan lahan berpasir memerlukan
tindakan dan penanganan yang tepat. Wilayah pesisir adalah suatu
sistem sumberdaya (resource system) yang unik, sehingga memerlukan
pendekatan khusus dalam merencanakan dan mengelola
pembangunannya (Maroeto, et al., 2007). Lahan pantai berpasir
merupakan salah satu lahan yang memiliki kesuburan tanah yang
rendah. Lahan ini merupakan lahan marjinal yang disebabkan oleh
beberapa faktor permasalahan, antara lain angin laut yang kencang,
erosi angin, suhu tinggi, uap air bergaram, dan tanah yang rendah hara
(Harjadi dan Octavia, 2008). Untuk meningkatkan kesuburan pada
lahan pantai berpasir, maka diperlukan tindakan konservasi.
Konservasi tanah menurut Arsyad (1989), merupakan tindakan (1)
penutupan tanah dengan tumbuhan dan tanaman atau sisa tanaman
agar terlindung dari daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, (2)
memperbaiki dan menjaga keadaan tanah agar resisten terhadap
penghancuran agregat dan terhadap pengangkutan, dan lebih besar
dayanya untuk menyerap air di permukaan tanah, serta (3) mengatur
air aliran permukaan agar mengalir dengan kecepatan yang tidak
merusak dan memperbesar jumlah air yang terinfiltrasi. Metode
konservasi yang dapat digunakan adalah metode vegetatif, mekanik,
dan kimia.
Tindakan konservasi pada tanah berpasir di daerah pesisir akan sangat
tepat apabila menggunakan metode vegetatif (Harjadi, dan Miardini
2010). Selain tidak memerlukan biaya yang tinggi, metode ini juga
mudah digunakan, dengan syarat tanaman yang sesuai dan perawatan
serta pemeliharaan tanaman yang baik. Tindakan penanaman tanaman
cemara laut (Casuarina equisetifolia), merupakan salah satu metode
konservasi secara vegetatif, dimana tanaman ini merupakan tanaman
potensial untuk dikembangkan di lahan berpasir. Penanaman pohon di
wilayah pantai perlu didasarkan pada jenis tanaman yang sesuai dan
dapat tumbuh di daerah pantai serta memiliki kemampuan antara lain
tahan terhadap angin agar dapat menstabilkan bukit pasir di pantai,
209
tahan terhadap kondisi tanah dan pasir yang marginal dan saline
(Nurahmah, et al, 2007).
Whistler dan Elevitch (2004) dalam Sukresno (1998) mengatakan
bahwa pada lahan berpasir tanaman yang cocok sebagai tanggul angin
adalah cemara laut. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan
diantaranya: (1) dapat tumbuh pada permukaan laut sampai ketinggian
800 m dpl, (2) toleran terhadap kekeringan hingga 6 - 8 bulan, (3)
dapat tumbuh bersamaan dengan tanaman lain di wilayah pantai dan
dataran rendah, (4) dapat tumbuh pada berbagai kondisi tanah
termasuk tanah-tanah jelek, dangkal, tidak subur atau tanah dengan
kadar garam tinggi, (5) merupakan tanaman yang dapat mengikat
nitrogen udara dengan bantuan Frankia sp., (6) merupakan tanaman
cepat tumbuh (fast growing species) dengan pertumbuhan dapat
mencapai ketinggian 20-30 m, serta (7) pemanfaatannya sebagai
tanaman agroforestry untuk tanggul angin, penstabil tanah, pelindung
pantai dan pagar.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, penanaman
tanaman cemara laut ini, diharapkan dapat meningkatkan status
kesuburan tanah dari tanah marjinal menjadi tanah yang lebih subur.
Kesuburan tanah merupakan pengaruh kombinasi tiga komponen
utama yang saling berinteraksi yaitu sifat kimia, fisika dan biologi
tanah (Handayanto, 2007). Penelitian ini bertujuan mengkaji status
unsur hara tanah pada lahan berpasir yang telah ditanami cemara laut.
II. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan pada bulan April 2012 di lahan pantai berpasir
yang secara administratif terletak di Desa Karanggadung, Kecamatan
Petanahan, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah (Gambar 1).
Secara geografi berdasarkan peta topografi skala 1 : 25.000 terletak
pada 109o 35 01,9 BT , 07o 46 31,3 LS sampai 109o 35 34,9 BT , 07o
46 39,1 LS. Kondisi Geologi berupa endapan alluvium pasiran dan jenis
tanah yang terbentuk adalah jenis tanah regosol (Typic Tropopsamments)
210
1
2
3
Penggunaan Lahan
Pasir
terbuka
Cemara
Laut
Tanaman
semusim
pH
8,01a
Na
(me/
100gr)
2,02a
6,88a 1,34a
b
5,85b 0,78a
N
(%)
P
(%)
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang
sama berbeda nyata (p<0,05)
Tabel 1 menunjukkan terdapat beberapa kandungan unsur hara yang
berbeda nyata, maupun tidak berbeda nyata. Salah satu unsur hara
yang berbeda nyata adalah pH. Nilai pH tanah sangat penting karena :
(1) Menentukan mudah tidaknya ion-ion unsur hara diserap tanaman,
(2) Menunjukkan keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun bagi
tanaman, dan (3) Mempengaruhi perkembangan mikroorganisme
dalam tanah (Nugroho, 2007). Menurut Hardjowigeno (1992), pH
tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah serta
dapat menggambarkan banyaknya konsentrasi ion H+ dan OH- di dalam
tanah.
Nilai pH tanah pada Tabel 1 menunjukkan, bahwa pH dibawah tegakan
cemara laut tidak berbeda nyata dengan pH di tanah pada tanaman
semusim, maupun pada pasir terbuka. Tetapi pH pada pasir terbuka
berbeda nyata dengan pH pada tanaman semusim. Nilai pH yang tinggi
di pasir terbuka, disebabkan oleh kandungan garam di laut, sedangkan
nilai pH yang lebih rendah pada tegakan cemara laut, disebabkan oleh
212
K
(%)
pengaruh pupuk organik dan serasah yang ada pada tegakan cemara
laut. pH tanah yang terlalu rendah pada tanaman semusim dapat
dinetralkan dengan penggunaan pupuk organik (kandang) serta
meningkatkan ketersediaan air. pH yang netral dapat membantu
ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman karena pH tanah
yang terlalu tinggi ataupun terlalu rendah akan menurunkan
kesuburan tanah, terutama unsur hara mikro (Tan, 1998).
Berdasarkan analisis sidik ragam, terlihat bahwa nilai Na berbeda tidak
nyata pada ketiga tipe penggunaan lahan. Meskipun demikian secara
diskriptif terlihat bahwa pasir terbuka memiliki nilai Na tertinggi.
Menurut Hanafiah (2012), pH yang tinggi antara 7,5-8 akan
menyebabkan tanaman menjadi keracunan unsur Mo dan unsur
penunjang lain seperti Na dan Cl. Nilai Na yang rendah seperti pada
tanah dibawah tegakan cemara laut akan lebih menguntungkan
karena konsentrasi yang tinggi dapat menimbulkan gangguan
fisiologis pada tanaman dan menyebabkan hancurnya agregat tanah,
meskipun pada tanaman tertentu perannya dapat menggantikan
unsur K (Supriyadi, 2009).
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 1, kadar air 0,5 mm
dan 2 mm tidak berbeda nyata untuk tanah di bawah cemara laut dan
di pasir terbuka, dan berbeda nyata untuk tanaman semusim. Hal ini
disebabkan pada tanah dengan tingkat pengelolaan yang baik, serta
penambahan pupuk organik, maka akan meningkatkan tekstur tanah,
sehingga air akan tersimpan dengan baik. Parameter unsur hara lain
yang diukur dalam penilaian status hara tanah pada penelitian ini
adalah Kapasitas Tukar Kation (KTK). KTK berhubungan erat terhadap
tingkat kesuburan tanah. Pada Tabel 1 terlihat bahwa terjadi
peningkatan KTK tanah pada tegakan cemara laut dibandingkan pada
tanah pasir terbuka. Hal ini menunjukkan, bahwa penanaman cemara
laut akan memperbaiki kondisi unsur hara dalam tanah yang
berdampak pada peningkatan KTK tanah, meskipun berdasarkan
analisis sidik ragam, ketiganya tidak berbeda nyata.
Sejalan dengan KTK, pada Tabel 1 terlihat bahwa, meskipun nilai C
tidak berbeda nyata pada setiap tipe penggunaan lahan, tetapi unsur C
di bawah tegakan cemara laut secara deskriptif memiliki nilai yang
lebih tinggi. Hal ini disebabkan pada tanah dibawah tegakan cemara
213
215
216
217
218
Waktu
8.00 8.30
8.30 8.40
8.40 8.50
8.50 9.00
9.00 9.30
9.30 10.00
10.00 10.15
Acara
A. REGISTRASI
Pendaftaran ulang
B. PLENO PEMBUKAAN
Doa
Menyanyikan lagu Indonesia Raya
Laporan Panitia Penyelenggara oleh
Kepala BPTKPDAS
1. Arahan dan Pembukaan oleh
Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan
2. Keynote Speech : Permasalahan
Pengelolaan DAS di Jawa Tengah
(Integrasi Lintas Sektor) dan
Dukungan Litbang Pengelolaan
DAS yang Diperlukan oleh
Sekretaris Daerah Provinsi Jawa
Tengah diwakili oleh Kepala Dinas
Kehutanan Provinsi Jawa Tengah
REHAT KOPI
C. SIDANG KOMISI
SIDANG KOMISI I
Sistem Pengelolaan DAS
10.15 10.30
10.30 10.45
219
Perangkat Sidang
Pembicara(1), Moderator(2),
Perumus (3), Notulis(4)
Panitia
Panitia
Panitia
Ir. Bambang Sugiarto,
MP. (1)
Dr. Ir. R. Iman Santosa,
M.Sc (1)
Dr. Ir. Sri Puryono, KS,
MS
diwakili oleh Ir.
Bowo Suryoko, MM(1)
Waktu
10.45 11.00
11.00 12.00
Acara
Kedungbulus, Gombong
3. Karakteristik Banjir di Sub DAS
Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri
DISKUSI
SIDANG KOMISI II
Teknologi Pengelolaan DAS
10.15 10.30
Perangkat Sidang
Pembicara(1), Moderator(2),
Perumus (3), Notulis(4)
11.00 12.00
12.00 13.00
SIDANG KOMISI I
Sistem Pengelolaan DAS
13.00 13.15
13.15 13.30
13.30 13.45
220
Ir. C.
MP(1)
Yudilastiantoro,
Waktu
Acara
13.45 14.45
SIDANG KOMISI II
Teknologi Pengelolaan DAS
13.00 13.15
13.15 13.30
13.30 13.45
13.45 14.45
14.45 15.05
15.05 15.25
15.25 16.00
16.00 16.30
16.30 17.00
221
Perangkat Sidang
Pembicara(1), Moderator(2),
Perumus (3), Notulis(4)
Ir.
Agustinus
P.
Tampubolon, M.Sc (2)
Agung Wahyu Nugroho,
S.Hut., M.Sc (3)
Wiwin Budiarti, S.Hut (4)
Ir.
Nining
Wahyuningrum, M.Sc(1)
Drs. Agus
M.Sc(1)
Wuryanta,
Nama
Instansi
Engkos Kosasih
Lukman Jarir
Agung WN
Gunardjo Tjakrawarsa
Dewi Subaktini
Beny Harjadi
Nining Wahyuningrum
Nur Ainun Jariyah
Susi Abdiyani
Heru Dwi Riyanto
Rahma Dewi
Murzat Sobri
Agus Wuryanta
Wiwin Budiarti
TM Basuki
Irfan BP
Dadang M
Bambang DA
Siswo
Dewi Estu M
Wahyu Wisnu W
Aris Boediyono
Dody Yuliantoro
Eva YR
Saeful Hidayat
Armin Nugroho
Untung Rubayan
Bambang Dwi
Purwanto
No
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
60.
61.
62.
63.
64.
Nama
Instansi
Rahardyan
C Nugroho S
Agung BS
C. Yudilastiantoro1
Nunung PN
Gunarti
Sumardi
S. Agung Sri Raharjo
Agus Sugianto
Edi Sulasmiko
Asep Hermawan
Ragil Bamban g
Andy Cahyono
Arina Miardini
Agus Munawar
Sudarso
Prabang Setyono
Joko Prihatno
La Ode Asir
Ibnu SM
Eva B. Sinaga
Tri Wulandari
M. Farid Fanani
Nur Sumedi
Choirul Ahmad
Iton
Dyah Arum K
Bambang Pujiarmanto
Syafii Ash Shiddiqie
Annisa Aulia
Haries Apriliyana
Syahrul Donie
Sagiman
Hani Dwi Trisnaningsih
Budi Sulihanto
BPTKPDAS
Sekbadan Litbang
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPK Kupang
BPK Kupang
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPTKPDAS
UNS Pasca
BBKSDA Jateng
BPK Manado
Puskonser
BPK Manado
Puskonser
BPK Manado
Balitek KSDA
BPK Palembang
BPK Aek Nauli
BKSDA Jateng
BKSDA Jateng
BPDAS Sampean
FP UNS
FP UNS
Pusprohut
Perum Perhutani
BDK Kadipaten
Hutbun Sragen
223
No
65.
66.
67.
68.
69.
70.
71.
72.
73.
74.
75.
76.
77.
78.
79.
80.
81.
82.
83.
84.
85.
86.
87.
88.
89.
90.
91.
92.
93.
94.
95.
96.
97.
98.
99.
Nama
Instansi
Paimin
Kusrin
AL Sentot Sudarwanto
Nurhasanah
Kurniawan Sigit W
Salamah Retnowati
Iman Santoso
Sri Astuti Soedjoko
Listra Shelly Vita N
Jalma Giring S
Aries Horizon
Forila DA
Samsudi
Retno Maryani
Aryana Citra K
Fauzi Mas'ud
Suratno
Firmansyah Afandi
Alif Noor Anna
Fitriyani
Hardono
Zainuddin Fanani
Ika Yulianti
Yuli Priyana
NP Rahadian
Retisa Mutiaradevi
Agus Tampubolon
Edy Subagyo
Nana
Ugro Hari Murtiono
Bowo Suryoko
Sri Widayadi
Agus S
Raharjo
Prasodjo
BPTKPDAS
BPTKPDAS
FH UNS
BPDAS Citarum Ciliwung
FP Unibraw
BPTKPDAS
Litbang Kehutanan
UGM
UGM
UGM
BPBD Prov Jateng
BPTKP Jatim
Pusdiklat
Puspijak Bogor
BPTP Jateng
Puskonser
Dishutbun Grobogan
BPK Banjarbaru
F. Geografi UMS
F. Geografi UMS
FKDC
Dishutbun Grobogan
BBWS Bengawan Solo
Fak. Geografi UMS
FKDC Banten
Setbadan
Puskonser
BBPBPTH
BBPBPTH
BPTKPDAS
Dinas Kehutanan Jateng
Dinas Kehutanan Jateng
Balitbang
Dinas Kehutanan Jateng
Puslitbang Perhutani
224
No
100.
101.
102.
103.
104.
105.
106.
107.
108.
109.
110.
111.
112.
113.
114.
115.
116.
117.
118.
119.
120.
121.
122.
123.
124.
125.
126.
127.
128.
129.
130.
131.
132.
133.
134.
Nama
Instansi
Rahmad
Sri Sulawati
Harry BJ
Evi Irawan
Nana Haryanti
Joko Purwanto
Sri Jarwadi
Sunarto Gunardi
Sukirno
Verina Ristianti
Johni
Nur Sihmiati
Widiyanti
Supriyadi
Arief W
Kus Wardani
Adi Susmianto
Muhadi
Dewi Retna I
Ambar Kusumandari
Yayat Sigit HT
M Yanuar MT
Sudarmanto
Corryanti
Mesri Ferdian
Anung Wijayanti
Sri Baruni
Istiyadi
Radyastono
Supriyanto
Eko Priyanto
Tommy Kusuma AP
Wahyu Budiarso
Mariska
Sururi
Balitbang Jateng
Pusprohut
BPTA Ciamis
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPDAS SOP
Hutbun Wonogiri
FTP UGM
FTP UGM
Balai KPH YK
Perhutani
BPDAS Solo
BPDAS Solo
BAPPEDA Sukoharjo
Dispertan Klaten
BPTKPDAS
Puskonser
Puslitbang Cepu
BPTKPDAS
Fahutan UGM
Puspijak
Dishutbun Banten
Puspijak
Puslitbang Cepu
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPTKPDAS
225
No
135.
136.
137.
138.
139.
140.
141.
142.
143.
144.
145.
146.
147.
148.
149.
150.
151.
152.
153.
154.
155.
Nama
Instansi
Farika Dian N
Nidhomuddin
M. Fachrur Rozi
Dwi Purnomo
Amin Suranto
B. Wirid A
M. Shidiq
Bambang Sugiarto
Bambang Subandrio
Deddy Kusnadi
Ana Pangaribuan
Tri Endah
Yusuf Irianto
Suparno
Tri Wahyuni
Taryoto
Kuwat Raharjo
Arjuna
K. Adi Wirawan
Azis Zaelani
Sutikno
BPTKPDAS
BTN Merbabu
BTN Merbabu
BTN Merbabu
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BTN G Merbabu
BPTKPDAS
BPTKPDAS
BTN Gn Merbabu
BTN Gn Merbabu
BTN Gn Merbabu
BTN Gn Merbabu
BTN Gn Merbabu
BTN Gn Merbabu
BTN Gn Merbabu
226
228
HASIL DISKUSI :
Sesi I
NO
NAMA
Lukman
(Dinas
Kehutanan
Kab.
Banjarnegara
)
DISKUSI
PERTANYAAN, SARAN
TANGGAPAN
DAN MASUKAN :
Makalah 1 :
Makalah 1 :
Makalah mengenai aspek
Memang banyak SKPD
hukum Pengelolaan DAS
yang mempunyai
harus ada keterpaduan
tupoksi terkait dengan
antar pemangku
DAS, lalu bagaimana
kepentingan. Dikarenakan cara untuk membangun
instansi yang menangani
keterpaduan?
masalah kehutanan sangat Pengikatnya yakni grand
banyak, sehingga untuk di desain RPDAST yang
daerah sering dijadikan
secara partisipasif yang
sebagai leading sector
dibangun oleh lembaga
dalam Pengelolaan DAS.
formal dan non formal
Kesulitan yang dihadapi
secara bersama.
untuk mencapai
Implementasinya pada
keterpaduan. Bagaimana
stake holder terkait,
langkah yang harus
masing-masing akan
dilakukan untuk
melakukan sesuai
membangun
konteks besar yg telah
keterpaduan?
disepakati bersama.
(tidak membuat
organisasi baru.
Makalah 2 :
Apakah benar bahwa
hutan pinus rakus
terhadap air?
231
Makalah 2 :
Hasil penelitian
sebelumnya memang
menyebutkan
kebutuhan air di Jawa
sangat tinggi. Namun
bergantung pada curah
hujan yg ada, karena
tidak semua daerah
menghadapi masalah.
Masalah kebutuhan air
tergantung pada site
NO
NAMA
Tuti
(Fakultas
Kehutanan
UGM)
DISKUSI
spesifik. Untuk
mengetahui tentang
kebutuhan air tanaman
bisa di cari hasil
penelitian di website
www.google.com
Makalah 1 :
Makalah 1 :
Komitmen dan kontribusi
Didalam norma sudah
berbagai lembaga
ada, sebagai contoh ada
terhadap Pengelolaan DAS peraturan daerah yang
sudah banyak tetapi kalau mengsle (kurang tepat)
ada peraturan yang
karena ada kepentingan
kurang tepat, siapa yang
ada beberapa
akan menjadi wasit
kepentingan tertentu
(penengah) ? (karena
dan itu sudah
masing-masing lembaga
dibatalkan. Seringnya
tidak punya kekuatan)
Perda dibuat agak lama
tergantung pada
komitmen dan dari
akademisi, forum,
maupun yang lain dapat
mendesak legislatif dan
eksekutif agar cepat.
Bilamana ada peraturan
yang cacat tidak apa-apa
asalkan dalam
pelaksanaan punya
komitmen bagus pasti
hasilnya juga akan
bagus.
Makalah 2 :
Saya senang sekali karena
meneliti tentang berapa
luas hutan pinus yang ada
dan hubungannya dengan
air tersedia, sarannya agar
dilanjutkan lagi dan
ditambahkan dengan
rumus barrens yakni
untuk mengetahui sampai
berapa hari hutan pinus
bisa mengeluarkan air.
232
Makalah 2 :
Dari segi banjir, hutan
pinus bisa mencegah
banjir 33% dan jati 55%.
Untuk aliran dasar,
karena baru awal, jadi
baru dilihat pada 52%
luas. Terimakasih atas
sarannya, dan penelitian
nantinya bisa
dilanjutkan lagi.
NO
3
NAMA
Supriyadi
(Forum DAS)
Nur Sumedi
DISKUSI
Makalah 1 :
Di Jawa Tengah ada forum
DAS, di Jawa Timur juga,
dll, tapi payung hukum
forum DAS belum ada.
Apakah memang
seharusnya forum DAS
bersifat sektoral atau
lintas sektoral?
Makalah 1 :
Forum DAS memang ada
banyak dan territorial
(terkapling-kapling),
kenapa begitu?
Penyebabnya yaitu UU
no 32 tahun 2004
tentang pemerintahan
daerah karena
wewenang ada pada
wilayah. Jadi dari
banyaknya forum perlu
dipadukan, yang penting
berjalan bersama-sama
atau kolaborasi.
Sekarang sedang
digodok peraturan
Menteri Kehutanan
terkait dengan
keberadaan forum das
dan rencana akan
dituangkan dalam 2
peraturan menteri.
Makalah 2 :
Didalam penelitian
menunjukkan ada korelasi
antara beberapa faktor
terhadap aliran dasar,
namun masih perlu
kejelasan hubungan
antara luas hutan dgn
aliran dasar karena belum
diuji korelasinya.
Makalah 2 :
Dalam penelitian ini
hutan merupakan salah
satu faktor, faktor lain
yang berpengaruh yakni
geologi dan jenis tanah.
Misal di hutan jati, ada
pengaruh dari aquifer.
Untuk itu kedepannya
akan dilihat lagi
korelasinya.
Makalah 1 :
Langkah-langkah
tersebut sangat setuju.
Munculnya PP 37 karena
amanat undang-undang,
karena pada UU
Makalah 1 :
Dlm pengelolaan DAS ada
pemikiran (sederhana):
1) Pengelolaan das
difokuskan pada
wilayah berdasarkan
233
NO
NAMA
DISKUSI
pada ekosistem (misal
Kehutanan cuma 3 pasal
pegunungan, pesisir),
dan UU sda hanya ada 1
sehingga kemungkinan pasal itupun hanya
ada das lintas wilayah.
pengertian.
2) Negara ikut berperan
Oleh karena itu, meski
dalam penentuan
rohnya dari kehutanan,
status hutan, sesuai
tapi otomatis semua
dengan ketinggian
sektor harus taat karena
(berdasarkan
peraturan pemerintah.
penelitian terdahulu).
Di Jakarta, para mentri
3) Ada model agroforestry dikabarkan sudah
yang tepat untuk solusi menyetujui sehingga
di wilayah
tinggal menunggu
pegunungan.
implementasi (tindak
lanjut).
Banyaknya stake holder
memperumit sehingga
harus ada 1 lembaga yang
berperan sebagai
pemimpin tapi selalu
masih ada masalah.
Makalah 3 :
Saya mencoba memberi
saran, ada salah satu
metode cepat untuk bisa
diadopsi sebagai penduga
kejadian banjir (contoh di
kalimantan) ada spesies
burung yang membuat
sarang secara alami
sehingga selalu terhindar
dari banjir. Mungkin bisa
jadi bahan referensi.
5
Marto
Makalah 1 :
Kata kunci dari makalah
yakni perlu membangun
keterpaduan. Apa sudah
ada sosialisasi PP
Kehutanan terhadap
kementerian lain.
234
Makalah 3 :
Terimakasih, atas saran.
Seperti diketahui pada
penelitian ini
sebenarnya sudah
menambahkan AMC
namun masih kurang
tepat karena ada faktor
evapotranspirasi yang
perlu dipertimbangkan,
sehingga untuk
kedepannya perlu
ditambahkan lagi.
Makalah 1 :
Sudah disosialisasikan
tapi masih terbatas
Kemenhut Kemendagri
dan Kemenlh,
khususnya yang di
Kemenhut sedang
NO
NAMA
DISKUSI
digodog 9 Permenhut
(draft sdh jadi).
Makalah 2 :
Dalam penelitian lanjutan,
faktor geologi seperti
bagaimana yang akan
dihitung.
Makalah 3 :
Bila dilihat dari koefisien
yang dihasilkan yang
nilainya kecil apakah itu
akan berpengaruh
terhadap debit
puncaknya?
6
Hardono
(Forum DAS
Cidanau)
Makalah 1 :
Sebenarnya pada era
tahun 80-an Kemenhut
sudah bikin RTLRLKT
yang seiring berjalannya
waktu ganti-ganti
namanya, namun intinya
tentang pengelolaan das
terpadu. Masalah yang
utama yakni kejar-kejaran
untuk membuat pola
(grand desain). Masih ragu
kira-kira berjalan sampai
berapa tahun PP ini. Selain
itu, karena saling kejarkejaran kenapa tidak
dibuat UU yang 1 saja
terhadap das.
Forum das juga sudah
mencoba dalam skala
kecil, caranya dengan
menunjuk SKPD dengan
metode kekeluargaan
yang hal ini padahal
sebenarnya tugas ada di
235
Makalah 2 :
Geologi fulkan tua,
dengan solum dalam.
Bila diterapkan di
geologi lain misal di
cepu kurang
berpengaruh.
Makalah 3 :
Rencana akan ditambah
data mengenai puncakpuncak banjir yang lain.
Makalah 1 :
Saya sependapat,
memang pejabat selalu
mengklaim produk baru.
Yang penting tinggal
menyikapi dan
implementasi.
Lembaga meskipun
banyak tapi yang
penting fungsinya. Kalau
tupoksinya baik
idealnya hasilnya pun
akan baik.
Bappeda hanya sebagai
fungsi strategis.
Undang-undang yang
tidak sinkron memang
benar.
NO
NAMA
DISKUSI
bappeda.
Paimin
Makalah 2 :
Sebenarnya hutan itu yang
bagus seperti apa?
Sebaiknya Kemenhut
meneliti terkait
homogenitas tanaman,
jangan-jangan karena
homogennya jadi
penyebab kurang air.
Saran : Tolong yang
disampaikan jangan hanya
usulan kegiatan, namun
masalah. Kalau itu sudah
terjadi maka akan
terwujud RPJM. Harus
bisa menselaraskan
antara alam dengan
administrasi. Alami hanya
alat untuk membuat
analisis. Kita harus tahu
bagamana
menghubungkan
(membangun komunikasi)
tanpa konflik.
PP 37 prosesnya tidak
mandiri kehutanan tapi
juga kementerian lain dan
terasa di pasal-pasalnya.
Misal di Kementerian PU.
Makalah 2 :
Hutan yang bagus yakni
hutan campuran multi
stratum, namun karena
masalah ekonomi
beberapa daerah jadi
monokultur.
Sesi II
NO
NAMA
Bowo (Kadin
Hut Jateng)
DISKUSI
PERTANYAAN, SARAN
TANGGAPAN
DAN MASUKAN :
Hasil penelitian harus bisa
ditindaklanjuti dan
disosialisasi-kan sehingga
236
NO
NAMA
DISKUSI
lebih membumi.
Makalah 4 :
a) Data itu mahal, apa
dengan data yang
gratis validasinya
dapat dipertanggungjawabkan (akurat)?
b) Seberapa persen
akurasinya kalau
memang bisa?
Makalah 5 :
Kenapa tidak dengan
kelompok tani yang sudah
ada? Kan lebih baik
menggunakan kelompok
yang ada dengan
menggunakan metode
yang pelan-pelan dan
diterima masyarakat.
Makalah 5 :
Memang sedang
dilakukan dengan
kelompok tani yang
sudah ada.
Makalah 6 :
Apakah yang dilakukan di
taman nasional di bali bisa
direplika di jateng?
Melihat kondisi hutan yg
ada.
Makalah 6 :
Model yg sudah dipublis
merupakan model
universal, di TNBB
model bersifat statis,
untuk daerah yang lebih
luas perlu model yang
dinamis dengan
mempertimbangkan
faktor lain.
237
NO
2
NAMA
Kabid Dinas
Kehutanan
Jateng
Supriyadi
(Forum DAS)
DISKUSI
Makalah 5 :
Sudah diinfokan
Makalah 5 :
Apakah sudah
diinformasikan pada
instansi terkait di daerah
tersebut agar bisa
ditindak lanjuti?
Saran:
a) Hindari kata-kata
mungkin, atau banyak
analisis kualitatif.
b) Penelitian diarahkan
kepada tren terkini.
Makalah 4 :
Bila data tersebut
diperoleh secara tunda,
perlu dipertimbangkan
waktu apabila yang akan
dianalisis merupakan
lahan pertanian.
Kurniawan
Sigit
(univ
brawijaya
malang)
Makalah 5 :
Pembentukan
kelembagaan berbasis
konservasi rawan gagal
karena ada 3 aspek lain
yg perlu diperhatikan
(menimbulkan sesat
pikir)
Makalah 4 :
a) Data dem merupakan
data permukaan,
apabila dibikin lereng
bisa rancu. Apakah ada
algoritma tertentu
untuk membuat itu?
b) Usle untuk skala plot
oke, tapi bila luas akan
over estimate. Apa ada
cara lain?
238
Makalah 4 :
Salah satu caranya
dengan pengecekan
lapangan dan
wawancara dengan
penduduk setempat.
Makalah 4 :
a) Apakah ada
algoritma belum
diketahui secara
pasti.
b) Yang diukur tingkat
land unit kemudian
diambil rata-rata
tertimbang. Hasil
cukup mendekati,
namun masih perlu
validasi.
NO
5.
6.
7.
NAMA
Giring
(Mahasiswa
UGM)
Syamsudi
(Pusdiklathut)
Sunarto
Gunadi
DISKUSI
Makalah 6:
Makalah 6:
a) Buffer jalan yang
a) Buffering dilakukan
dilakukan gimana?
pada 1 jalan
b) Validasi seperti apa
b) Validasi dilakukan
yang dilakukan?
pada lokasi yang
c) Groundcek, ada satelit
pernah ada di TNBB
yang bisa membaca
c) Masukan diterima
titik api.
Makalah 4 :
Bagaimana cara agar bisa
meningkatkan akurasi
Makalah 4 :
Meningkatkan akurasi
dengan menggunakan
multiband spectral, bisa
digunakan dengan
subpixel klasifikasi.
Makalah 6 :
Apa ada pertimbangan
untuk pemilihan lokasi
Makalah 6 :
Lokasi dipilih
berdasarkan informasi
kerawanan yang tinggi
239
Makalah 6 :
Model tersebut awalnya
berawal dari turki,
penulis mencari metode
yang simple untuk
mengembangkan model
statis di taman nasional.
Dari literature
sebenarnya sangat
NO
NAMA
DISKUSI
banyak model untuk
bisa digunakan, namun
bergantung pada tujuan.
Model yg rumit
terkadang akurasi malah
lebih rendah, sehingga
digunakan model
dengan akurasi yang
lebih tinggi.
Model
Pengendalian
Banjir
Terpadu
dengan
mengikutsertakan masyarakat (selaku pelaku utama) dan
pemerintah (fasilitator) dalam upaya pengelolaan sumber daya air.
Model A : Sengon
Model B : Jabon
Model C : campuran sengon dan jabon
Kontrol
Hasil : Untuk parameter rata-rata pertumbuhan tinggi (riap tinggi)
untuk jenis tanaman Sengon lebih bagus daripada Jabon
Untuk parameter rata-rata pertumbuhan diameter (riap diameter)
untuk jenis tanaman Sengon lebih bagus daripada Jabon
Persen hidup sengon lebih tinggi (88 %) daripada jabon (74 %)
241
DISKUSI :
No
Nama
Diskusi
1.
Drs. Ugro H M, M.Si a. Banjir di DAS Solo, ada 2 parameter alami
dan manajemen. Beberapa parameter belum
disinggung diantaranya parameter tentang
morfometri DAS (bulat vs memanjang)
waktu mencapai puncak lebih cepat
dibanding DAS memanjang. Pola aliran .
bagaimana kondisi morfometri DAS di
Bengawan solo ?
2.
Dr. Evi Irawan
a. UMS permodelan tentang pengendalian
banjir di DAS Solo seperti apa belum
terlihat, faktor kependudukan (termasuk
sebaran penduduk, growth) belum
disampaikan apakah berpengaruh terhadap
banjir itu sendiri. Untuk naturalisasi sungai
perlu melihat kondisi ekologis sungai.
Terkait partisipasi dalam PDAS yang seperti
apa apakah bentuk partisipasinya
representative atau di atau dalam tataran
desa
b. Heru untuk kasus di Pati tergantung
kondisi lahan, introduksi teknologi
agroforestry yang seperti apa yang pelu
dipaparkan untuk lahan yang sempit
sehingga stabilitas keluarga di sekitar lahan
tersebut masih bertahan
3.
Sukirno, Fapertan a. Agung bagaimana merubah satuan %
UGM
kedalam mm
b. Hasil penelitian bagus, perlu masukan nilai
ET sangat tergantung pada lingkungan, ETO,
indeks tanaman (KC), dan status lengasnya
(KS), dalam penelitian ini KS adalah CH.
Penelitian ini sangat bermanfaat apabila
bisa menetapkan nilai KC dari masingmasing tanaman yang tidak berubah hanya
tergantung jenis dan umur. Kalau nilai KC
sudah ketemu maka akan mudah untuk
menentukan standar ETO dan KS.
c. UMS intensitas CH dengan hidrograf dari
sungai tersebut sehingga lebih mudah untuk
menggambarkan kondisi banjir
4.
Amin
Nugroho, a. UMS data citra satelit yang ditampilkan
BPBD Jateng
(th 1998 2002) perubahan alih guna lahan
242
No
Nama
b.
c.
5.
UMS
a.
b.
c.
Diskusi
sangat signifikan. Apakah dari citra tersebut
hasil mendekati sama kondisinya dengan th
2013.
Mana model yang paling unggul ? Apakah
metode pengendalian banjir yang dihasilkan
relevan untuk diterapkan di Waduk
Wonogiri ?
Model pengendalian banjir dengan
keterlibatan masyarakat contoh yang seperti
apa ?
Ugro, Sukirno lebih berkonsentrasi pada
banjir di atas rata-rata. Morfometri DAS
sangat berpengaruh termasuk kapasitas air,
dan pola aliran. Penelitian lingkup luas
sehingga tidak menghitung morfometri DAS,
lebih berkonsentrasi potensi aliran
permukaan, sehingga yang diteliti ada 3
parameter, CH, tekstur tanah dan perubahan
penggunaan lahan. Kalau ditambah lagi
dengan bentuk hidrograf akan sangat luas
lagi, tetapi disini cukup menampilkan trend
debit terhadap curah hujannya.
Nugroho, Evi penelitian sudah dilakukan
sebelumnya dimana landsat 2013 belum
ada, jadi menggunakan landsat 2002,
tentunya kalau 2013 perubahan
penggunaan lahan lebih signifikan. Tahun ini
sudah dilakukan lagi menggunakan ikonos
lebih detail lagi. Model pengendalian masih
bersifat konseptual/ referensi, belum
membuat demplot sehingga mana model
yang paling unggul belum bisa ditetapkan.
Dalam penentuan model pengendalian
banjir yang sesuai perlu melihat
morfometri/karakter sungai, topografi dan
tanah dimana aspek tersebut sangat
berpengaruh terhadap model yang akan
diterapkan.
Evi kependudukan sangat penting,
bagaimana tekanan penduduk terhadap
kondisi lahan, belum masuk kesana.
Pendekatan menggunakan luasan
pemukiman. Partisipasi yang konkret adalah
243
No
Nama
6.
Heru D R
a.
7.
Agung B S
a.
8.
Ibu NN
a.
b.
9.
Rahardyan N. A.
a.
b.
10.
Dishutbun
Wonogiri
a.
b.
Diskusi
yang timbul dari masyarakat itu sendiri
melalui FGD dengan didukung oleh
pemerintah sebagai fasilitator.
Evi model agroforestry yang seperti apa
yang cocok untuk diterapkan ? Tidak mudah
untuk menggabungkan kegiatan teknis dan
sosial secara bersam-sama dengan hasil
yang sama-sama besar. Mencoba dengan
membagi space lahan yang agak luas dengan
jartan 5x5 m2 dengan jenis tanaman fast
wood dengan mengembangkan tanaman
pertanian misalnya tanaman bawah untuk
pakan ternak (konsep tebang butuh).
Sukirno prinsip perhitungan untuk
pengukuran evapotranspirasi menggunakan
plot lisimeter dengan perhitungan detil
mm/tahun. Indeks tanaman (KC) setuju,
pada penelitian ini belum ada penelitian
masih berlanjut, nantinya akan ditentukan
KC.
Heru pemanfaatan lahan dibawah
tegakan untuk mengakomodir kebutuhan
petani, dengan penanaman empon-empon
atau tanaman pertanian bernilai ekonomi
tinggi misalnya Porang.
Konsep tebang butuh tidak mengharapkan
adanya kondisi tersebut. Sekarang ini untuk
menghindari adanya tebang butuh ada
pinjaman lunak.
UMS dari ketiga itu sudah dibandingkan
belum potensi banjir terbesar yang mana
sehingga penanganan akan lebih difokuskan
ke tempat yang berpotensi besar
Agung Implementasi terhadap luasan
yang lebih luas. Perlu ditelusur jumlah
transpirasi dari tanaman seberapa besar ?
UMS data yang dipakai s/d 2002, hasil
apakah masih relevan dengan tahun
sekarang.
Heru Sifat karakteristik jabon dibanding
sengon dari fungsi ekonomi, karakteristik
kayu, hubungannya terhadap manfaat, dari
fungsi ekologis ?
244
No
11.
Nama
UMS
12.
Heru
13.
Agung B S
14.
Agus Tampubolon
Diskusi
a.
b.
c.
a.
< 40 % Klaten
> 50 % Sragen, Madiun, Karanganyar
Tadi sudah dijawab di atas.
Pemanfaatan lahan sudah memberikan
space untuk ditanami tanaman pertanian,
salah satunya singkong. Konsep tebang
butuh untuk aspek konservasi masih cocok
untuk diterapkan (lereng miring) tetapi
kalau untuk aspek produksi memang tidak
cocok.
a. Rahardyan akan dihitung nilai ET
tertimbang.
a. Model pengendalian banjir di DAS Solo Hulu
merupakan kombinasi dari parameter CH,
morfometri lahan dan perubahan alih guna
lahan. Perlu model pengendalian terpadu
dengan partisipasi masyarakat perlu
lebih detil lagi
b. Model agroforestry di HR lahan sempt perlu
digali lagi untuk meningkatkan daya dukung
DAS
c.
SESI II :
1. Makalah I. Kandungan Hara dan Tingkat Erosi pada Lahan Miring
Bersolum Dangkal (Nining Wahyuningrum)
245
3. Makalah III. Kajian Unsur Hara Tanah pada Tegakan Cemara Laut
(Casuarina equisetifolia) di Pantai berpasir Petanahan Kebumen
(Beni Harjadi)
Tujuan : mengkaji status unsur hara tanah pada lahan berpasir yang
telah ditanami cemara laut.
Lokasi Ds. Karanggadung, Kec. Petanahan, Kab. Kebumen.
Pengambilan sampel tanah dilakukan pada 3 tipe penggunaan lahan :
pasir terbuka, dibawah tegakan cemara laut dan dibawah tegakan
tanaman semusim
Hasil :
a. Secara berurutan status unsur hara tanah
DISKUSI :
No
Nama
1.
Alif, Fakultas
Geografi, UMS
Diskusi
a. Nining Perbedaan kandungan unsur hara
dari setiap satuan lahan belum terlihat ?.
dari informasi tersebut bisa untuk
mengidentifikasi tingkat erosi. Pengaruh
perbedaan solum terhadap besarnya nilai
erosi.
246
No
Nama
b.
c.
2.
Budi,
Dishutbun a.
Sragen
b.
3.
Edi S
a.
b.
4.
Nining
a.
Diskusi
Agus hasil merupakan database yang
sangat penting. Terkait hasil penutupan
lahan akan lebih baik jika
mengklasifikasikan lahan ke satuan terkecil
(Sub DAS).
Beny satuan wilayah yang digunakan
(berbentuk segiempat) apakah berdasarkan
letak geografisnya bukan geomorfologisnya
?
Agus DAS Musi memiliki tingkat
kerapatan sangat jarang, masukan di
kesimpulan ditambahkan deskripsi
disebabkan apa dan impact seperti apa ?.
GIS yang digunakan tidak nampak agar
ditampakkan?
Beny kondisi hujan mengapa harus
disirami ?
Nining antara judul, tujuan dan
kesimpulan belum nyambung. Hal 139. Nilai
C pada UT 4 dan 5 lebih kecil daripada UT 1,
apakah ini memang demikian atau penulisan
terbalik. Kesimpulan : erosi yang terjadi
ringan sangat ringan apakah benar
demikian sedangkan kalau dilihat dari lokasi
penelitian memang sedikit tanah. Nilai erosi
yang ditetapkan apakah sudah menghitung
solum tanahnya ?
Beny di kesimpulan antara di 3
penggunaan lahan kandungan unsur hara
berbeda nyata, sedangkan pada table 1 tidak
berbeda nyata mohon dijelaskan ?. apakah
sudah memasukkan input unsur
hara/pupuk ?
Alif (UMS) pada hal. 148 sudah dijelaskan
ada 17 jenis satuan penggunaan lahan (SPL),
hanya tidak didetailkan lagi, tetapi cukup
memakai penggunaan lahan. Asumsi solum
tipis pasti tidak subur dan erosi besar, tetapi
tidak terbukti di lokasi kajian. Hal ini bisa
disebabkan karena tekstur tanah di lokasi
kajian sandyloam (geluh pasiran) selain itu
juga adanya kerikil permukaan sehingga
menghambat pergerakan tanah.
247
No
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Nama
Diskusi
b. Edi judul berdasarkan DRI sudah oke.
Berdasarkan prediksi dan kenampakan
visual memang nilai erosi rendah.
Agus
a. Alif (UMS) tidak perlu mengklasifikasi per
Sub DAS, dan luasan yang digunakan cukup
kecil, kalau diklasifikasi per Sub DAS dan di
zoom akan pecah.
b. Budi kerapatan aliran dampaknya
terhadap surface runoff, kerapatan jarang
porositas tinggi, nanti akan disampaikan di
kesimpulan. GIS
Beny
a. Alif (UMS) pantai bentuk segiempat,
maksudnya itu demplot yang diambil untuk
kajian penelitian ditarik 100m dari garis
pantai tertinggi.
b. Budi
c. Edi di kesimpulan yang berbeda nyata
hanya PH dan C, sedangkan NPK tidak
berbeda nyata.
Sukirno
(BPBD a. Nining unsur apa yang menyebabkan
Jateng)
erosinya rendah.
b. Beny mengapa air di pantai itu tawar,
karena BJ antara air asin lebih rendah dari
air tawar. Belum ada informasi mengani
pengelolaan tanaman semusim ? manajemen
sangat berpengaruh tidak semata-mata
karena adanya penanaman cemara laut.
Amin Nugroho
a. Bentuk DAS Musi memanjang, tampak petas
DAS Musi membulat ?
Nining
a. Sukirno hal 138, terlihat bahwa UT6 tidak
ada tanamannya.
Agus
a. Perbandingan antara luas dengan keliling
kuadrat mendekati satu dikatakan bulat,
tetapi kalau < 0,5 dikatakan memanjang.
Penetuan secara kualitatif bukan subyektif.
248
249
No
Nama
Diskusi
Yang melakukan kajian tentang DAS bukan
hanya BPTKPDAS Solo, ada PT, instansi PU,
Perairan, dll, adakah forum yang melakukan
sintesa terhadap hasil2 riset terkait PDAS. Hal
itu sangat perlu untuk mengetahui adanya Gap
dari berbagai sector. Dengan ditemukannya
GAP terkait PDAS maka tentunya bisa untuk
menjadi dasar penentuan penelitian kedepan
(penelitian bisa untuk menjawab GAP) ?
Perlu dilakukan evaluasi, implementasi atas
penerapan IPTEK yang dihasilkan, baik riset
yang dilakukan oleh litbang maupun PT dan
instansi lain ? tidak punya hak untuk
memaksa pengguna/petani menerapkan hasil
riset.
DAS mikro apakah sudah ada lokasi
demplot DAS mikro ? Mohon untuk DAS mikro
bisa untuk mengcover dari hulu s/d ke hilir.
Persoalan sosial PDAS yang sulit adalah
persoalan sosial.
250