You are on page 1of 21

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Adapun judul makalah ini adalah: Teori Dasar Kepemimpinan Ucapan terima kasih tidak lupa penulis sampaikan kepada Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes., dan semua pihak yang telah membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Penulis menyadari atas kekurangan kemampuan penulis dalam pembuatan makalah ini, sehingga akan menjadi suatu kehormatan besar bagi penulis apabila mendapatkan kritikan dan saran yang membangun agar makalah ini selanjutnya akan lebih baik dan sempurna serta komprehensif. Demikian akhir kata dari penulis, semoga makalah ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak dan pembelajaran budaya khususnya dalam segi teoritis sehingga dapat membuka wawasan ilmu budaya serta akan menghasilkan yang lebih baik di masa yang akan datang. Medan, 18 Oktober 2012 Penyusun,

BAB I PENDAHULUAN
Manajemen keperawatan pada dasarnya berfokus pada perilaku manusia. Untuk mencapai tingkat tertinggi dari produktivitas pada pelayanan keperawatan, pasien membutuhkan manajer perawat yang terdidik dalam pengetahuan dan ketrampilan tentang perilaku manusia untuk mengelola perawat profesional serta pekerja keperawatan non profesional. Mc. Gregor menyatakan bahwa setiap manusia merupakan kehidupan individu secara keseluruhan yang selalu mengadakan interaksi dengan dunia individu lainnya. Apa yang terjadi dengan orang tersebut merupakan akibat dari perilaku orang lain. Sikap dan emosi dari orang lain mempengaruhi orang tersebut. Bawahan sangat tergantung pada pimpinan dan berkeinginan untuk diperlakukan adil. Suatu hubungan akan berhasil apabila dikehendaki oleh kedua belah pihak. Bawahan memerlukan rasa aman dan akan memperjuangkan untuk melindungi diri dari ancaman yang bersifat semu atau yang benar-benar ancaman terhadap tidak terpenuhinya kebutuhan dalam situasi kerja. Atasan/pimpinan menciptakan kondisi untuk mewujudkan kepemimpinan yang efektif dengan membentuk suasana yang dapat diterima oleh bawahan, sehingga bawahan tidak merasa terancam dan ketakutan. Untuk dapat melakukan hal tersebut di atas, baik atasan maupun bawahan perlu memahami tentang pengelolaan kepemimpinan secara baik, yang pada akhirnya akan terbentuk motivasi dan sikap kepemimpinan yang profesional.

BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Perbedaan Pemimpin Dan Kepemimpinan Dalam organisasi kepemimpinan bisa berkembang dengan luas sehingga makna kepemimpinan secara umum berasal dari istilah organum yang berarti tubuh manusia dengan berbagai fungsi yang digunakan dalam istilah kepemimpinan. Kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang memuat dua hal pokok yaitu: 1) pemimpin sebagai subjek, dan 2) yang dipimpin sebagai objek. Kata pimpin mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun dan juga menunjukkan ataupun mempengaruhi. Pemimpin mempunyai tanggung jawab baik secara fisik maupun spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpin, sehingga menjadi pemimpin itu tidak mudah dan tidak akan setiap orang mempunyai kesamaan di dalam menjalankan ke-pemimpinannya. Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa banyak sekali definisi mengenai kepemimpinan. Hal ini dikarenakan banyak sekali orang yang telah mencoba mendefinisikan konsep kepemimpinan tersebut. Namun demikian, semua definisi kepemimpinan yang ada mempunyai beberapa unsur yang sama. Sarros dan Butchatsky (1996), "leadership is defined as the purposeful behaviour of influencing others to contribute to a commonly agreed goal for the benefit of individual as well as the organization or common good". Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Sedangkan menurut Anderson (1988), "leadership means using power to influence the thoughts and actions of others in such a way that achieve high performance". Menurut Prof. Dr. H. Arifin Abdurrahman, pemimpin adalah orang yang menggerakkan orang lain yang ada disekelilingnya untuk mengikuti

langkah untuk mencapai tujuan. Menurut Dr. Mr. S. Prayudi Atmosudirjo pemimpin adalah orang-orang yang mempengaruhi orang-orang lain agar orang-orang itu mau menjalankan apa yang dikehendakinya. Ada beberapa pengertian kepemimpinan, antara lain: Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961). Kepemimpinan adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Goal, Hemhiel & Coons, 1957). Berdasarkan definisi-definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi. Antara lain: Pertama: kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga. Kedua: seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or her power) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Menurut French dan Raven (1968), kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin dapat bersumber dari: 1. Reward power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan dan sumber daya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahan pemimpinnya, 2. Coercive power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan memberikan hukuman bagi bawahan yang tidak mengikuti arahan-arahan pemimpinnya, 3. Legitimate power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai hak untuk menggunakan pengaruh dan otoritas yang dimilikinya, 4. Referent power, yang didasarkan atas identifikasi (pengenalan)

bawahan terhadap sosok pemimpin. Para pemimpin dapat menggunakan pengaruhnya karena karakteristik pribadinya, reputasinya atau karismanya, 5. Expert power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin adalah seeorang yang memiliki kompetensi dan mempunyai keahlian dalam bidangnya. Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi. Ketiga: kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi. Walaupun kepemimpinan (leadership) seringkali disamakan dengan manajemen, kedua konsep tersebut berbeda. Perbedaan antara pemimpin dan manajer dinyatakan secara jelas oleh Bennis and Nanus (1995). Pemimpin berfokus pada mengerjakan yang benar sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat ("managers are people who do things right and leaders are people who do the right thing,"). Kepemimpinan memastikan tangga yang kita daki bersandar pada tembok secara tepat, sedangkan manajemen mengusahakan agar kita mendaki tangga seefisien mungkin. B. Teori Kepemimpinan Dasar 1. Teori Sifat (Trait Theory) Teori ini bertolak dari dasar pemikiran bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat-sifat, perangai atau ciri-ciri yang dimiliki pemimpin itu. Atas dasar pemikiran tersebut timbul anggapan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil, sangat ditentukan oleh kemampuan pribadi pemimpin. Dan kemampuan pribadi yang dimaksud adalah kualitas seseorang dengan berbagai sifat, perangai atau ciri-ciri di

dalamnya. Ciri-ciri ideal yang perlu dimiliki pemimpin menurut Siagian (1994) adalah: a. Pengetahuan umum yang luas, daya ingat yang kuat, rasionalitas, obyektivitas, pragmatisme, fleksibilitas, adaptabilitas, orientasi masa depan, b. Sifat inkuisitif, rasa tepat waktu, rasa kohesi yang tinggi, naluri relevansi, keteladanan, ketegasan, keberanian, sikap yang antisipatif, kesediaan menjadi pendengar yang baik, kapasitas integratif, c. Kemampuan untuk bertumbuh dan berkembang, analitik, menentukan skala prioritas, membedakan yang urgen dan yang penting, keterampilan mendidik, dan berkomunikasi secara efektif. Walaupun teori sifat memiliki berbagai kelemahan (antara lain: terlalu bersifat deskriptif, tidak selalu ada relevansi antara sifat yang dianggap unggul dengan efektivitas kepemimpinan) dan dianggap sebagai teori yang sudah kuno, namun apabila kita renungkan nilai-nilai moral dan akhlak yang terkandung didalamnya mengenai berbagai rumusan sifat, ciri atau perangai pemimpin, justru sangat diperlukan oleh kepemimpinan yang menerapkan prinsip keteladanan. 2. Teori Perilaku (Behavioral Theory) Dasar pemikiran teori ini adalah kepemimpinan merupakan perilaku seorang individu ketika melakukan kegiatan pengarahan suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan. Dalam hal ini, pemimpin mempunyai deskripsi perilaku: a. Konsiderasi dan struktur inisiasi Perilaku seorang pemimpin yang cenderung mementingkan bawahan memiliki ciri ramah tamah,mau berkonsultasi, mendukung, membela, mendengarkan, menerima usul dan memikirkan kesejahteraan bawahan serta memperlakukannya setingkat dirinya. Di samping itu terdapat pula kecenderungan perilaku pemimpin yang lebih mementingkan tugas organisasi.

b. Berorientasi kepada bawahan dan produksi Perilaku pemimpin yang berorientasi kepada bawahan ditandai oleh penekanan pada hubungan atasan-bawahan, perhatian pribadi pemimpin pada pemuasan kebutuhan bawahan serta menerima perbedaan kepribadian, kemampuan dan perilaku bawahan. Sedangkan perilaku pemimpin yang berorientasi pada produksi memiliki kecenderungan penekanan pada segi teknis pekerjaan, pengutamaan penyelenggaraan dan penyelesaian tugas serta pencapaian tujuan. Pada sisi lain, perilaku pemimpin menurut model leadership continuum pada dasarnya ada dua yaitu berorientasi kepada pemimpin dan bawahan. Sedangkan berdasarkan model grafik kepemimpinan, perilaku setiap pemimpin dapat diukur melalui dua dimensi yaitu perhatiannya terhadap hasil/tugas dan terhadap bawahan/hubungan kerja. Kecenderungan perilaku pemimpin pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari masalah fungsi dan gaya kepemimpinan (JAF.Stoner, 1978). Selama tiga dekade, dimulai pada permulaan tahun 1950-an, penelitian mengenai perilaku pemimpin telah didominasi oleh suatu fokus pada sejumlah kecil aspek dari perilaku. Kebanyakan studi mengenai perilaku kepemimpinan selama periode tersebut menggunakan kuesioner untuk mengukur perilaku yang berorientasi pada tugas dan yang berorientasi pada hubungan. Beberapa studi telah dilakukan untuk melihat bagaimana perilaku tersebut dihubungkan dengan kriteria tentang efektivitas kepemimpinan seperti kepuasan dan kinerja bawahan. Peneliti-peneliti lainnya menggunakan eksperimen laboratorium atau lapangan untuk menyelidiki bagaimana perilaku pemimpin mempengaruhi kepuasan dan kinerja bawahan. Jika kita cermati, satu-satunya penemuan yang konsisten dan agak kuat dari teori perilaku ini adalah bahwa para pemimpin yang penuh perhatian mempunyai

lebih banyak bawahan yang puas. Hasil studi kepemimpinan Ohio State University menunjukkan bahwa perilaku pemimpin pada dasarnya mengarah pada dua kategori yaitu consideration dan initiating structure. Hasil penelitian kepada dari Michigan dan University menunjukkan bahwa perilaku pemimpin memiliki kecenderungan berorientasi bawahan berorientasi pada produksi/hasil. Sementara itu, model leadership continuum dan Likerts Management Sistem menunjukkan bagaimana perilaku pemimpin terhadap bawahan dalam pembuatan keputusan. Pada sisi lain, managerial grid, yang sebenarnya menggambarkan secara grafik kriteria yang digunakan oleh Ohio State University dan orientasi yang digunakan oleh Michigan University. Menurut teori ini, perilaku pemimpin pada dasarnya terdiri dari perilaku yang pusat perhatiannya kepada manusia dan perilaku yang pusat perhatiannya pada produksi. 3. Teori Situasional Keberhasilan disesuaikan dengan seorang tuntutan pemimpin situasi menurut teori situasional dan situasi ditentukan oleh ciri kepemimpinan dengan perilaku tertentu yang kepemimpinan organisasional yang dihadapi dengan memperhitungkan faktor waktu dan ruang. Faktor situasional yang berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan tertentu menurut Siagian (1994) adalah: a. Jenis pekerjaan dan kompleksitas tugas b. Bentuk dan sifat teknologi yang digunakan c. Persepsi, sikap dan gaya kepemimpinan d. Norma yang dianut kelompok e. Rentang kendali f. Ancaman dari luar organisasi g. Tingkat stress

h. Iklim yang terdapat dalam organisasi. Efektivitas kepemimpinan seseorang ditentukan oleh kemampuan membaca situasi yang dihadapi dan menyesuaikan gaya kepemimpinannya agar cocok dengan dan mampu memenuhi tuntutan situasi tersebut. Penyesuaian gaya kepemimpinan dimaksud adalah kemampuan menentukan ciri kepemimpinan dan perilaku tertentu karena tuntutan situasi tertentu. C. Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan dipengaruhi oleh sifat dan perilaku yang dimiliki oleh pemimpin. Karena sifat dan perilaku antara seorang dengan orang lainnya tidak persis sama, maka gaya kepemimpinan (leadership style) yang diperlihatkanpun juga tidak sama. Bertitik tolak dari pendapat adanya hubungan antara gaya kepemimpinan dengan perilaku tersebut, maka dalam membicarakan gaya kepemimpinan yang untuk bidang administrasi sering dikaitkan dengan pola manajemen (pattern of management), sering dikaitkan dengan pembicaraan tentang perilaku. Tegantung dari sifat dan perilaku yang dihadapi dalam suatu organisasi dan atau yang dimiliki oleh pemimpin, maka gaya kepemimpinan yang diperlihatkan oleh seorang pemimpin dapat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Berbagai gaya kepemimpinan tersebut jika disederhanakan dapat dibedakan atas empat macam, yaitu : a. Gaya Kepemimpinan Diktator Pada gaya kepemimpinan diktator (dictatorial leadership style) ini upaya mencapai tujuan dilakukan dengan menimbulkan ketakutanserta ancaman hukuman. Tidak ada hubungan dengan bawahan, karena mereka dianggap hanya sebagai pelaksana dan pekerja saja. b. Gaya Kepemimpinan Autokratis Pada gaya kepemimpinan ini (autocratic leadership style) segala keputusan berada di tangan pemimpin. Pendapat atau kritik dari bawahan tidak pernah dibenarkan. Pada dasarnya sifat yang dimiliki sama dengan

gaya kepemimpinan dictator tetapi dalam bobot yang agak kurang. c. Gaya Kepemimpinan Demokratis Pada gaya kepemimpinan demokratis (democratic leadership style) ditemukan peran serta bawahan dalam pengambilan keputusan yang dilakukan secara musyawarah. Hubungan dengan bawahan dibangun dengan baik. Segi positif dari gaya kepemimpinan ini mendatangkan keuntungan antara lain: keputusan serta tindakan yang lebih obyektif, tumbuhnya rasa ikut memiliki, serta terbinanya moral yang tinggi. Sedangkan kelemahannya : keputusan serta tindakan kadang - kadang lamban, rasa tanggung jawab kurang, serta keputusan yang dibuat terkadang bukan suatu keputusan yang terbaik. d. Gaya Kepemimpinan Santai Pada gaya kepemimpinan santai (laissez-faire leadership style) ini peranan pimpinan hampir tidak terlihat karena segala keputusan diserahkan kepada bawahan, jadi setiap anggota organisasi dapat melakukan kegiatan masingmasing sesuai dengan kehendak masing-masing pula. D. Kepemimpinan Contingency Teori-teori kontingensi berasumsi bahwa berbagai pola perilaku pemimpin (atau ciri) dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan. Teori Path-Goal tentang kepemimpinan meneliti bagaimana empat aspek perilaku pemimpin mempengaruhi kepuasan serta motivasi pengikut. Pada umumnya pemimpin memotivasi para pengikut dengan mempengaruhi persepsi mereka tentang konsekuensi yang mungkin dari berbagai upaya. Bila para pengikut percaya bahwa hasil-hasil dapat diperoleh dengan usaha yang serius dan bahwa usaha yang demikian akan berhasil, maka kemungkinan akan melakukan usaha tersebut. Aspek-aspek situasi seperti sifat tugas, lingkungan kerja dan karakteristik pengikut menentukan tingkat keberhasilan dari jenis perilaku kepemimpinan untuk memperbaiki kepuasan

10

dan usaha para pengikut. Fielder (1967), mendefinisikan efektivitas pemimpin dalam hal performa grup dalam mencapai tujuannya. Fiddler membagi tipe pemimpin menjadi dua: yang berorientasi pada tugas dan yang berorientasi pada maintenance. Dari observasi ini ditemukan fakta bahwa tidak ada korelasi konsisten antara efektifitas grup dan perilaku kepemimpinan. Pemimpin yang berorientasi pada tugas akan efektif pada dua set kondisi: 1. Pada set yang pertama, pemimpin ini sangat memiliki hubungan yang baik dengan anggotanya, tugas yang didelegasikan pada anggota sangat terstruktur dengan baik, dan memiliki posisi yang tinggi dengan otoritas yang tinggi juga. Pada keadaan ini, grup sangat termotivasi baiknya, 2. Pada set yang kedua, pemimpin ini tidak memiliki hubungan yang baik dengan anggotanya, tugas yang diberikan tidak jelas, dan memiliki posisi dan otoritas yang rendah. Dalam kondisi semacam ini, pemimpin mempunyai kemungkinan untuk mengambil alih tanggung jawab dalam mengambil keputusan, dan mengarahkan anggotanya. Hasil dari riset ini adalah fungsi distribusi pada teori kepemimpinan yang perlu dimodifikasi sebagai pengaruh kondisi situasional pada gaya kepemimpinan suatu grup. Teori kontingensi menganggap bahwa kepemimpinan adalah suatu proses di mana kemampuan seorang pemimpin untuk melakukan pengaruhnya tergantung dengan situasi tugas kelompok (group task situation) dan tingkattingkat daripada gaya kepemimpinannya, kepribadiannya dan pendekatannya yang sesuai dengan kelompoknya. Dengan perkataan lain, menurut Fiedler, melakukan tugasnya dan bersedia melakukan tugas yang diberikan dengan sebaik-

11

seorang menjadi pemimpin bukan karena sifat-sifat daripada kepribadiannya, tetapi karena berbagai faktor situasi dan adanya interaksi antara Pemimpin dan situasinya. Sebagai landasan studinya, Fielder menemukan 3 (tiga) dimensi kritis daripada situasi/lingkungan yang mempengaruhi gaya Pemimpin yang sangat efektif, yaitu: 1. Kekuasaan atas dasar kedudukan/jabatan (osition power). Kekuasaan atas dasar kedudukan/jabatan ini berbeda dengan sumber kekua-saan yang berasal dari tipe kepemimpinan yang kharismatis, atau keahlian (expertise power). Berdasarkan atas kekuasaan ini seorang pemimpin mempunyai anggota-anggota kelompoknya yang dapat diperintah/dipimpin, karena ia bertindak sebagai seorang Manager, di mana kekuasaan ini diperoleh berdasarkan atas kewenangan organisasi (organizational authority), 2. Struktur tugas (task structur). Pada dimensi ini Fielder berpendapat bahwa selama tugas-tugas dapat diperinci secara jelas dan orang-orang diserahi tanggung jawab terhadapnya, akan berlainan dengan situasi di mana tugas-tugas itu tidak tersusun (unstructure) dan tidak jelas. Apabila tugas-tugas tersebut telah jelas, mutu daripada dan penyelenggaraan kerja akan dapat lebih lebih mudah jelas dikendalikan anggota-anggota kelompok

pertanggungjawabannya dalam pelaksanaan kerja, daripada apabila tugastugas itu tidak jelas/kabur. 3. Hubungan antara Pemimpin dan anggotanya (Leader member relations). Dalam dimensi ini Fielder menganggap sangat penting dan sudut pandangan seorang Pemimpin), apabila kekuasaan atas dasar kedudukan/jabatan dan stuktur tugas dapat dikendalikan secara lebih luas dalam suatu badan usaha/organisasi dan selama anggota kelompok suka melakukan dan penuh kepercayaan terhadap kepimpinannya. LPC dengan Contingency yang Model dari Fiedler dari berhubungan tiga variabel pengaruh melunakkan

12

situasional pada hubungan antara suatu ciri pemimpin (LPC) dan kinerja pengikut. Menurut model ini, para pemimpin yang berskor LPC tinggi adalah lebih efektif untuk situasi-situasi yang secara moderat menguntungkan, skor LPC sedangkan akan para lebih pemimpin dengan rendah

menguntungkan baik pada situasi yang menguntungkan maupun tidak menguntungkan. Leader Member Exchange Theory menjelaskan bagaimana para pemimpin mengembangkan hubungan pertukaran dalam situasi yang berbeda dengan berbagai pengikut. Hersey and Blanchard Situasional Theory lebih memusatkan perhatiannya pada para pengikut. Teori ini menekankan pada perilaku pemimpin dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya dan hubungan pemimpin pengikut. Leader Participation Model menggambarkan bagaimana perilaku pemimpin dalam proses pengambilan keputusan dikaitkan dengan variabel situasi. Model ini menganalisis berbagai pemimpin jenis situasi yang mungkin tugas dihadapi seorang dalam menjalankan kepemimpinannya.

Penekanannya pada perilaku kepemimpinan seseorang yang bersifat fleksibel sesuai dengan keadaan yang dihadapinya. E. Kepemimpinan Contemporary 1. Teori Atribut Kepemimpinan Teori atribusi kepemimpinan mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan suatu atribusi yang dibuat orang atau seorang pemimpin mengenai individu-individu lain yang menjadi bawahannya. Beberapa teori atribusi yang hingga saat ini masih diakui oleh banyak orang yaitu: a. Teori Penyimpulan Terkait (Correspondensi Inference), yakni perilaku orang lain merupakan sumber informasi

13

yang kaya, b. Teori sumber perhatian dalam kesadaran (Conscious Attentional Resources) bahwa proses persepsi terjadi dalam kognisi orang yang melakukan persepsi (pengamatan), c. Teori atribusi internal dan eksternal dikemukakan oleh Kelly & Micella (1980), yaitu teori yang berfokus pada akal sehat. 2. Kepemimpinan Kharismatik Karisma merupakan sebuah atribusi yang berasal dari proses interaktif antara pemimpin dan para pengikut. Atribut-atribut karisma antara lain rasa percaya diri, keyakinan yang kuat, sikap tenang, kemampuan berbicara dan yang lebih penting adalah bahwa atribut-atribut dan visi pemimpin tersebut relevan dengan kebutuhan para pengikut. Berbagai teori tentang kepemimpinan karismatik telah dibahas dalam kegiatan belajar ini. Teori kepemimpinan karismatik dari House menekankan kepada identifikasi pribadi, pembangkitan motivasi oleh pemimpin dan pengaruh pemimpin terhadap tujuan-tujuan dan rasa percaya diri para pengikut. Teori atribusi tentang karisma lebih menekankan kepada identifikasi pribadi sebagai proses utama mempengaruhi dan internalisasi sebagai proses sekunder. Teori konsep diri sendiri menekankan internalisasi nilai, identifikasi sosial dan pengaruh pimpinan terhadap kemampuan diri dengan hanya memberi peran yang sedikit terhadap identifikasi pribadi. Sementara itu, teori penularan sosial menjelaskan bahwa perilaku para pengikut dipengaruhi oleh pemimpin tersebut mungkin melalui identifikasi pribadi dan para pengikut lainnya

14

dipengaruhi melalui proses penularan sosial. Pada sisi lain, penjelasan psikoanalitis tentang karisma memberikan kejelasan kepada kita bahwa pengaruh dari pemimpin berasal dari identifikasi pribadi dengan pemimpin tersebut. Karisma merupakan sebuah fenomena. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan oleh seorang pemimpin karismatik untuk merutinisasi karisma walaupun sukar untuk dilaksanakan. Kepemimpinan karismatik memiliki dampak positif maupun negatif terhadap para pengikut dan organisasi. 3. Kepemimpinan Transformasional Pemimpin pentransformasi (transforming leaders) mencoba menimbulkan kesadaran para pengikut dengan mengarahkannya kepada cita-cita dan nilai-nilai moral yang lebih tinggi. Burns dan Bass telah menjelaskan kepemimpinan transformasional kepemimpinan dalam organisasi dan membedakan dan transformasional, karismatik

transaksional. Pemimpin transformasional membuat para pengikut menjadi lebih peka terhadap nilai dan pentingnya pekerjaan, mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi dan menyebabkan para pengikut lebih mementingkan organisasi. Hasilnya adalah para pengikut merasa adanya kepercayaan dan rasa hormat terhadap pemimpin tersebut, serta termotivasi untuk melakukan sesuatu melebihi dari yang diharapkan darinya. Efek-efek transformasional dicapai dengan menggunakan karisma, kepemimpinan penelitian inspirasional, dan perhatian Tichy yang dan diindividualisasi serta stimulasi intelektual. Hasil Bennis Nanus, Devanna telah memberikan suatu kejelasan tentang cara

15

pemimpin

transformasional

mengubah

budaya

dan

strategi-strategi sebuah organisasi. Pada umumnya, para pemimpin transformasional memformulasikan sebuah visi, mengembangkan melaksanakan sebuah komitmen untuk terhadapnya, mencapai visi strategi-strategi

tersebut, dan menanamkan nilai-nilai baru. F. Issues Kepemimpinan Perawat cenderung terlibat dalam berbagai kegiatan kepemimpinan dalam rutinitasnya sehari-hari. Beberapa secara alami akan mengadopsi gaya kepemimpinan yang efektif, sementara yang lain mungkin menemukan konsep kepemimpinan atau melihat diri mereka sendiri sebagai pemimpin sulit dimengerti. Kepemimpinan yang efektif sangat penting dalam memberikan perawatan yang berkualitas tinggi, menjamin keselamatan pasien dan memfasilitasi pengembangan staf. Dalam praktik keperawatan dan perawatan, siapa saja yang tampak sebagai sebuah otoritas (misalnya, seorang perawat merawat seorang pasien) atau siapa yang bertanggung jawab untuk memberikan bantuan kepada orang lain adalah dianggap sebagai pemimpin dan para pemimpin perawat, yang mendorong kekuatan dan penting untuk perawatan pasien yang baik. Argumen ini terkait dengan Frankel (2008), menegaskan bahwa pemimpin klinis yang dinamis dan dukungan lingkungan klinis sangat penting dalam pengembangan dan pencapaian model praktek terbaik. Apa yang berarti bahwa perawat manejer bertindak dalam lingkungan berbagai organisasi yang bisa memotivasi atau tidak, para perawat manejer untuk mencari kesehatan terbaik, sesuai dengan kualitas keperawatan, lingkungan sosial masyarakat dan profesi keperawatan. Ciri perawat manejer yang kreatif dan inovatif, memanfaatkan pengaruh pribadi mereka untuk memberdayakan orang lain dan menantang status quo, mereka adalah pendengar seumur hidup, berempati, pendukung yang berbicara atas nama pasien mereka, tegas, luar biasa, ulet, mendukung, heroik, dan intuitif dan mendukung tujuan. Kemudian argumen ini menunjukkan pentingnya membudayakan kepemimpinan keperawatan terbaru

16

untuk menyehatkan masyarakat, berbasis praktik keperawatan yang terbaik serta kebutuhan untuk melatih perawat menjadi pemimpin. Valentine (2012, dalam Zydziunaite, 2012), mengatakan bahwa kita membutuhkan perawat manejer untuk isu menggunakan bahwa pengaruhnya, dan dengan memelihara baru kepemimpinan serta keterampilan klinik yang baik. Valentine juga mengangkat profesi keperawatan melatih perawat dalammengoperasikan teknologi terbaru dan peralatan medis yang kompleks. Sebaliknya, jika di ruang bangsal, mereka jarang mendapatkan kesempatan untuk menerapkan prinsip-prinsip dasar kepemimpinan. Keperawatan sebagai profesi akan merugikan perawat baru dengan tidak mengembangkan kemampuan kepemimpinan mereka. Keperawatan memiliki tanggung jawab untuk mendorong dan mendukung anggota baru dari profesi, karena mereka menjadi praktisi klinik yang kompeten. Keperawatan juga harus membuat mereka menjadi pemimpin yang kompeten. G. Studi Kasus dan Pembahasan a. Studi Kasus Ns. Wati lulus pendidikan S1 Keperawatan 2 tahun yang lalu dan langsung bekerja sebagai staff pengajar di suatu AKPER swasta di Medan. Saat ini Ns. Susi diterima bekerja di RS. Muhammadiyah di Kota Medan dan menjabat sebagai Kepala Bidang Perawatan menggantikan Ns. Astuti yang sudah bekerja selama 15 tahun dan 5 tahun menjabat sebagai Kepala Bidang Perawatan. RS. Muhamadiyah merupakan RS umum tipe C dalam waktu dekat akan berubah menjadi tipe B dengan kapasitas 250 tempat tidur, jumlah perawat 200 orang dengan latar belakang pendidikan 75 % SPK dan 25 % DIII keperawatan. BOR saat ini 60%. Sejak menjabat sebagai Kepala Bidang Perawatan. Ns. Wati menemukan banyak hal yang kurang sesuai dengan apa yang telah dipelajarinya selama kuliah di S1 keperawatan. Seperti rasio pasienperawat yang tidak seimbang di tiap ruangan; latar belakang pendidikan kepala ruangan; latar belakang pendidikan kepala ruangan mayoritas SPK; sistem pengembangan karier yang tidak jelas. Komentar-komentar tidak

17

sedap tentang dirinya pun banyak didengarnya, misalnya staf perawat ada yang mengatakan bahwa ia Kepala Bidang yang masih muda, belum banyak pengalaman, belum mengetahui seluk beluk RS. Muhammadiyah, tidak mungkin dapat melakukan sesuatu untuk RS. Muhammadiyah. Saat ini Ns. Astuti (Kepala Bidang Perawatan yang lama) sebagai senior yang dapat menjadi Konsultan Keperawatan di RS. Muhammadiyah. Tugas : 1. Identifikasi kata kunci 2. Identifikasi masalah 3. Identifikasi dampak yang dapat terjadi pada studi kasus di atas 4. Cara Penyelesaiannya (saat ini dan kedepannya) b. Pembahasan 1. Kata Kunci : Orang baru dengan usia yang relatif muda dan menduduki jabatan dengan pengalaman nol tahun. 2. Identifikasi Masalah Kondisi RS (pekerjaan) tidak sesuai dengan teori yang didapatkan selama pendidikan, antara lain : a. rasio jumlah perawat-pasien yang tidak seimbang b. latar belakang pendidikan kepala ruangan yang mayoritas SPK c. sistem pengembangan karir yang tidak jelas d. tidak ada kepercayaan dari bawahan 3. Dampak yang Dapat Terjadi a. hubungan interpersonal menjadi kurang harmonis b. suasana kerja yang tidak kondusif c. motivasi kerja menurun d. kinerja menurun

18

4. Cara Penyelesaian Masalah Langkah awal yang dilakukan oleh Ns. Susi adalah memahami visi, misi, dan budaya organisasi di RS. Muhammadiyah. Proses perubahan menggunakan pendekatan Lippits (1973): a. menentukan masalah b. mengkaji motivasi dan kapasitas perubahan c. mengkaji motivasi change agent dan sarana yang tersedia d. menseleksi tujuan perubahan e. memilih peran yang sesuai dilaksanakan oleh agen pembaharu f. mempertahankan perubahan yang telah dimulai g. mengakhiri bantuan Strategi membuat perubahan yaitu : a. memiliki visi yang jelas b. menciptakan iklim dan budaya organisasi yang kondusif c. sistem komunikasi yang jelas, singkat, dan berkesinambungan d. keterlibatan orang yang tepat Kunci sukses perubahan yaitu: a. mulai dari diri sendiri b. mulai dari hal-hal kecil c. mulai dari sekarang Analisa SWOT dari kasus Ns. Wati di atas: a. Strength (Kekuatan) 1) pendidikan 2) pengetahuan 3) kemampuan menganalisis 4) konsultan (Ns. Astuti) yang berpengalaman 5) legitimasi dari pimpinan b. Weakness (Kelemahan) 1) belum punya pengalaman kerja di RS

19

2) kurangnya dukungan bawahan 3) keterbatasan waktu c. Opportunity (Peluang) 1) status RS yang akan berubah dari tipe C menjadi tipe B d. Threath (Ancaman) 1) motivasi kerja menurun 2) kinerja staf menurun Gaya kepemimpinan yang digunakan adalah kombinasi antara Otoriter dan Demokratis. Gaya kepemimpinan otoriter dimana pemimpin berorientasi pada tugas yang harus segera diselesaikan, menggunakan posisi dan power dalam memimpin. Sedangkan gaya kepemimpinan demokratis dimana pemimpin menghargai sifat dan kemampuan setiap staf, menggunakan pribadi dan posisi untuk mendorong munculnya ide dari staf serta memotivasi kelompok untuk menentukan tujuan sendiri. Oleh karena itu, mereka didorong untuk membuat rencana, melaksanakan dan melakukan pengontrolan sesuai dengan yang disepakati. Gaya kepemimpinan Demokratis, gaya kepemimpinan ini juga dapat digunakan. Misalnya: Ns. Susi mengumpulkan semua staf perawat untuk mendiskusikan tentang perubahan tipe RS dari tipe C ke B dengan didampingi oleh Ns. Astuti (konsultan). Gaya kepemimpinan demokratis ini dikombinasikan juga dengan gaya kepemimpinan Supportive, dimana Ns. Wati berusaha mendekatkan diri kepada bawahan.

DAFTAR PUSTAKA

20

Gillies, D.A. (1994). Nursing management: a system approach. Philadelphia: W.B Saunders Company. Marquis, B.L. (2006) Leadership role and management function in nuring: theory and aplication. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Swansburg, R.C. (1996). Management and leadership for nurse managers. 2nd ed. London: Jones and Bartlett Publishers, Inc. Zydziunaite, V. (2012). Challenges and issues in nursing leadership. Journal of Nursing Care (The International Open Access). OMICS Publishing Group. Diakses di : www.omicsonline.org.

21

You might also like