You are on page 1of 1

Area Publik:

Okupasi Makin Marak, Pejalan Kaki Resah


Area publik di Jakarta semakin tidak ramah bagi penggunanya. Pejalan kaki harus mengalah ketika berjalan di trotoar dan di jembatan penyeberangan, termasuk di halte. Pejalan kaki terpaksa berbagi ruang dengan pedagang kaki lima dan terkadang pengendara sepeda motor yang melintas di trotoar.

Penyalahgunaan fungsi area publik, Selasa (18/3), terlihat di beberapa lokasi, antara lain di Jalan Jenderal Sudirman (Jakarta Pusat), Jalan S Parman (Jakarta Barat), kawasan Cawang dan Jatinegara (Jakarta Timur), dan Blok M (Jakarta Selatan). Beberapa jembatan penyeberangan orang (JPO) di Jalan Sudirman dipenuhi pedagang kaki lima (PKL). Di JPO Halte Bundaran Senayan, JPO Halte Setiabudi, dan JPO Halte Karet, misalnya, terdapat 8-10 PKL yang menjajakan berbagai macam barang, antara lain payung, DVD film bajakan, aksesori ponsel, dan makanan ringan. Hal ini juga terlihat di JPO Halte UKI Cawang, JPO Pasar Jatinegara, dan JPO Blok M. Pada sore dan malam, di JPO Halte Bundaran Senayan sering terlihat tukang ojek sepeda motor melintas di jembatan itu. Agung (25), karyawan swasta di kawasan Senayan yang setiap hari melewati JPO itu, mengatakan amat terganggu dengan kehadiran sepeda motor. Parahnya lagi, tukang ojek itu selalu membunyikan klakson agar pejalan kaki menghindar. Mereka tidak peduli tanda larangan yang ada di muka jembatan. Penderitaan pejalan kaki tidak berhenti di situ. Ketika berjalan di trotoar pun, mereka harus berbagi jalan dengan tukang ojek yangmangkal, PKL, dan pengendara sepeda motor yang melintas ke trotoar untuk menghindari kemacetan. Sementara itu, kondisi permukaan trotoar terlihat tidak rata dan masih ada lubang galian yang belum ditutup. Di sejumlah tempat di trotoar tersebut tampak kotor oleh tanah bekas galian pemasangan pipa jaringan PT Perusahaan Gas Negara. Kukuh Hadi Santoso, Kepala Satpol PP DKI Jakarta, mengatakan, PKL yang berjualan di zona terlarang, antara lain JPO, trotoar, dan halte, sulit ditertibkan. Padahal, sebulan sekali pihaknya mengundang perwakilan PKL dari lima wilayah di DKI Jakarta untuk diberi pengarahan mengenai larangan itu. Hal ini tercantum dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Kukuh menambahkan, meski PKL telah diberi lokasi pengganti untuk berdagang, antara lain Pasar Blok G Tanah Abang, PKL lebih memilih meninggalkan tempat itu dan kembali ke area publik. Pakar tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, mengatakan, kota berbudaya dan beradab dapat dilihat dari bagaimana pemerintah memenuhi hak pejalan kaki melalui kondisi trotoar yang baik dan terawat. Buruknya kondisi trotoar dan fasilitas pejalan kaki lain membuktikan pemerintah tidak peduli pada kebutuhan masyarakat. Padahal, pejalan kaki adalah kelompok masyarakat yang paling harus dilindungi pemerintah. Bagaimana mau peduli kalau pemerintah sebagai pemangku kebijakan tertinggi jarang berjalan kaki? katanya.

Sumber: Kompas/19 Maret/2014

You might also like