You are on page 1of 11

Eustasi adalah permukaan laut global.

Perubahan eustasi adalah suatu konsep yang sudah lama diketahui (Suess, 1906) untuk perubahan muka laut relatif terhadap pusat bumi. Perubahan eustasi berkaitan dengan suatu faktor kekuatan/gaya, seperti a) perubahan glasial; b) perubahan steric (thermohaline) dalam volume cekungan lautan; c) deformasi kulit bumi akibat plate rifting (pemekaran lempeng), subduksi, dan collision (tumbukan); e) sedimentasi; dan f) faktor astronomi (teori Milankovitch). Eustasi (eustasy; global eustasy; global sea-level) diukur dari muka air laut hingga suatu datum tetap, biasanya pusat bumi. Eustasi dapat berubah dengan berubahnya volume cekungan (misalnya akibat perubahan volume punggungan tengah samudra) atau berubahnya volume air laut (misalnya akibat glasiasi-deglasiasi). Hal yang perlu dicatat adalah bahwa eustasi dapat naik atau turun sedemikian rupa sehingga menyebabkan berubahnya posisi base-level secaraglobal. Base level sendiri didefinisikan sebagai suatu batas di atas mana proses yang terjadi praktis hanya berupa erosi.

Muka Air Laut Relatif Muka air laut relatif (relative sea-level) diukur dari muka air laut hingga suatu datum lokal yang dapat berubah-ubah posisinya, misalnya batas atas batuan dasar (basement) atau sebuah bidang di dalam tumpukan sedimen dasar laut (Posamentier dkk, 1988). Perubahan muka air laut merupakan pengaruh kombinasi dari eustasi, penurunan cekungan (tektonik, muatan, dan kompaksi), dan pasokan sedimen. Biasanya, suatu perubahan relatif terjadi dalam skala lokal atau regional, tetapi tidak pernah dalam sekala global. Subsidensi, pengangkatan batuan dasar, kompaksi sedimen yang melibatkan bidang acuan pengukuran muka air laut relatif, dan perubahan tektonik, semuanya dapat menyebabkan berubahnya muka air laut relatif. Muka air laut relatif dapat naik karena subsidensi, kompaksi dan/atau turunnya eustasi; muka air laut relatif dapat turun karena adanya pengangkatan dan/atau penaikan eustasi. 2.3.1.2.3 Kedalaman

Endapan ini terbentuk oleh sungai yang membawa bahan ejekta gunung api. Karena itu, dataran ini umumnya cukup subur. Jalur endapan ini menurut Dobby terbagi atas dua bagian : (1) bagian yang sebelah dalam, yang lebih dekat ke pegunungan, dibatasi oleh teras-teras yang hampir sejajar dengan garis pantai; (2) bagian luar merupakan dataran yang tingginya <> Pantai Kapur Utara Pantai utara Jawa merupakan daerah yang relatif tandus karena di sana terdapat alur pegunungan kapur utara. Pantai kapur ini terutama terdapat di daerah Rembang dan Madura. Di pantai Rembang-Bojonegoro dataran endapannya sempit dan pantainya mempunyai tebing agak curam, dibeberapa daerah melebihi 30 m. Di Madura tepian kapur ini tidak merata. Physiographic Zones of Java and Madura menurut Van Bemmelen (1949- 1970) : Legends of The Physiographic Zones : 1. Quaternary Volcanoes 2. Alluvial Plains of Northern Java 3. Rembang Madura Anticlinorium 4. Bogor, North Serayu, and Kendeng Anticlinorium 5. Domes and Ridges in the Central Depression Zone 6. Central Depression Zone of Java and Randublatung Zone 7. Southern Mountains

Struktur Geologi Jawa Timur di dominasi oleh Alluvium dan bentukan hasil gunung api kwarter muda, keduanya meliputi 44,5 % dari luas wilayah darat dan hasil gunung api kwarter tua sekitar 9,78 % dari luas total wilayah daratan. Sementara itu batuan lain hanya mempunyai proporsi antara 0 7% saja. Batuan sedimen alluvium tersebar disepanjang sungai Brantas dan Bengawan Solo yang merupakan daerah subur. Batuan hasil gunung api kwater muda tersebar di bagian tengah wilayah Jawa Timur membujur ke arah timur yang merupakan daerah relatif subur. Batuan Miosen tersebar di sebelah selatan dan utara Jawa Timur membujur ke arah timur yang merupakan daerah kurang subur. Bagi pulau Madura batuan ini sangat dominan dan utamanya merupakan batuan gamping. Jawa Timur dibagi secara bentang fisiografis menjadi enam zona yang membentang barat-timur. 1. Antiklinorium Rembang (Zona Rembang) Zona Rembang merupakan paleo shelf atau paparan (utaranya) dan slope (selatannya) dari sistem Sunda land semasa Paleogen hingga awal Neogen. Selama Neogen akhir zona Rembang selatan hingga Kendeng berangsur menjadi endapan laut dalam. Karena subsidence inilah, maka terjadi kompetisi seleksi alam bagi pertumbuhan karbonat (reefal carbonate) di sepanjang zona Randublatung. Zona ini meliputi pantai utara Jawa yang membentang dari Tuban ke arah timur melalui Lamongan, Gresik, dan hampir keseluruhan Pulau Madura. Merupakan daerah dataran yang berundulasi dengan jajaran perbukitan yang berarah barattimur dan berselingan dengan dataran aluvial. Lebar rata-rata zona ini adalah 50 km dengan puncak tertinggi 515 m (Gading) dan 491 (Tungangan). Litologi karbonat mendominasi zona ini. Aksesibilitas cukup mudah. Karakter tanahnya keras. 2. Zona Depresi Randublatung Secara struktur, ternyata Zona Randublatung adalah sebuah "triangle zona", sebuah zona berbentuk segitiga dengan kedua kakinya merupakan zona-zona sesar yang saling berlawanan kemiringan dan arahnya, bertemu di puncak segitiga. Di Jawa

Tengah-Timur ini, Zona Randublatung berupa zona yang datar yang diapit oleh dua zona perbukitan (Zona Rembang dan Zona Kendeng). Zone Rembang merupakan daerah paparan dan slope yang dicirikan dengan dominasi sesar naik mengarah (vergency) ke selatan. Zone Kendeng merupakan daerah slope dan bathyal dengan dominasi sesar naik mengarah ke utara. Akibatnya, di daerah pertemuan ini, terbentuk sebuah zone sangat sempit, memanjang, dan sangat dalam, inilah Zone Randublatung yaitu sebuah triangle zone yang ideal. Karakter tanahnya lunak karena sebagian besarnya ditutupi oleh batu lempung, aksesibilitas mudah, adanya aliran Bengawan Solo memungkinkan untuk berperan dalam irigasi persawahan. Potensi ada pada areal persawahan. Selain itu, daerah ini berpotensi dalam industri migas karena daerah cekungan ini merupakan tempat terbentuknya minyak. 3. Antiklinorium Kendeng (Zona Kendeng) Secara umum struktur struktur yang ada di Zona Kendeng berupa : Lipatan Lipatan yang ada pada daerah Kendeng sebagian besar berupa lipatan asimetri bahkan beberapa ada yang berupa lipatan overturned. Lipatan lipatan di daerah ini ada yang memiliki pola lipatan menunjam. Secara umum lipatan di daerah Kendeng berarah barat timur. Sesar Naik Sesar naik ini biasa terjadi pada lipatan yang banyak dijumpai di Zona Kendeng, dan biasanya merupakan kontak antar formasi atau anggota formasi. Sesar Geser Sesar geser pada Zona Kendeng biasanya berarah timur laut- barat daya dan tenggara barat laut. Struktur Kubah Struktur Kubah yang ada di Zona Kendeng biasanya terdapat di daerah Sangiran pada satuan batuan berumur Kuarter. Bukti tersebut menunjukkan bahwa struktur kubah pada daerah ini dihasilkan oleh deformasi yang kedua, yaitu pada Kala Plistosen. Menurut Van Bemmelen (1949), Pegunungan Kendeng dibagi menjadi 3 bagian, yaitu bagian barat yang terletak di antara Gunung Ungaran dan Solo (utara Ngawi), bagian tengah yang membentang hingga Jombang dan bagian timur mulai dari timur Jombang hingga Delta Sungai Brantas dan menerus ke Teluk Madura. Daerah penelitian termasuk dalam Zona Kendeng bagian barat. Menurut Harsono P. (1983) Stratigrafi daerah kendeng terbagi menjadi dua cekungan pengendapan, yaitu Cekungan Rembang (Rembang Bed) yang membentuk Pegunungan Kapur Utara, dan Cekungan Kendeng (Kendeng Bed) yang membentuk Pegunungan Kendeng. Formasi yang ada di Kendeng adalah sebagi berikut: Zona perbukitan yang membentang dari Kabupaten Bojonegoro bagian selatan, Jombang, Mojokerto, serta pesisir utara Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, dan Bondowoso. Di daerah ini sangat berpotensi untuk eksploitasi migas seiring dengan ditemukannya beberapa sumur pada Zona Kendeng ini seperti daerah Wunut, Mojokerto dan Tanggulangin, Sidoarjo selatan. Adanya industri migas ini diharapkan dapat memberikan pendapatan lebih pada penduduk sekitar. Pembangunan bendung irigasi dapat diprioritaskan pada zona ini karena di sebelah utaranya adalah Zona Randublatung yang sangat datar dan potensial untuk area persawahan. 4. Zona Pusat Depresi Jawa (Zona Solo, subzona Ngawi) Zona depresi merupakan daerah jajaran gunung api tersier. Dulunya zona depresi merupakan daerah berbukit/bertopografi tinggi lalu runtuh dan muncul gunung api. Zona ini meliputi Madiun, Nganjuk, Ngawi, Kediri. Subzona Ngawi merupakan tempat pengendapan material vulkanik yang berasal dar 5. Gunung Api Kuarter Zona ini meliputi area Gunung Wilis di sebelah barat Magetan, Gunung Wilis di sebelah timur Ponorogo, Gunung Arjuno, Gunung Bromo dan Gunung Semeru dan Gunung Argopuro. Kondisi topografi yang tinggi memungkinkan untuk mendapatkan curah hujan yang cukup tinggi, iklim yang sejuk, tanah hasil pelapukan endapan

vulkanik yang sifatnya subur, dan menyerap air. Potensi bencana yang mengancam adalah letusan gunung api, gempa vulkanik, dan longsor pada lereng-lerengnya. Potensi yang harus dikembangkan adalah perkebunan, pariwisata alam, kehutanan terutama pada daerah puncak gunung, konservasi alam, dan penambangan golongan pasir, batu, dan tras. 6. Pegunungan Selatan Fisiografi Pegunungan Selatan Jawa membujur mulai dari wilayah Yogyakarta di bagian barat hingga daerah Blambangan di ujung timur Jawa Timur. Menampakkan bentukan plato sebagai hasil proses pengangkatan (uplifted peneplain) pada kala Miosen. Sebagai akibat proses pengangkatan, endapan batu gamping yang diselingi batuan vulkanik di dalam laut terangkat menjadi pegunungan. Pegunungan selatan jawa ini masih ada sampai sekarang dengan batuan penyusun yang didominasi oleh kapur. Sehingga daerah-daerah yang ada berkembang menjadi topografi karst dengan sistem drainase bawah tanahnya (subterranean drainage). Zona pegunungan selatan di Jawa Timur membentang dari Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang selatan, dan Jember. Aksesibilitas pada daerah ini sukar karena keadaan morfologinya yang kasar. Selain itu rawan bencana seperti longsor, gempa bumi, dan tsunami. PULAU MADURA Kondisi geografis pulau Madura dengan topografi yang relatif datar di bagian selatan dan semakin ke arah utara tidak terjadi perbedaan elevasi ketinggian yang begitu mencolok. Selain itu juga merupakan dataran tinggi tanpa gunung berapi dan tanah pertanian lahan kering. Iklim di daerah ini adalah tropis dengan suhu rata-rata 26,90C. Secara geologis Madura merupakan bagian jalur geologi sebelah utara Jawa Timur. Karena perbukitan gamping di Rembang dan area sebelah utara Surabaya masih berlanjut ke Pulau Madura. Dari Rembang di barat sampai area Sakala di sebelah timur Kangean merupakan jalur sesar sinistral besar bernama RMKS (Rembang-Madura-Kangean-Sakala) Fault Zone. Pulau Madura merupakan pulau yang mengalami pengangkatan paling kuat. Dengan terangkat paling tinggi melebihi jalur sebelah barat (Rembang-Pangkah) dan sebelah timur (KangeanSakala) maka Pulau Madura muncul dari laut dan menjadi pulau. Dari jalur Rembang-Sakala itu sebenarnya pulau Madura yang muncul pertama, yang lainnya masih laut dangkal baru kemudian menyusul area Rembang-Pangkah muncul dan area Kangean-Sakala.

Mandala Rembang termasuk dalam cekungan Jawa Timur utara. Secara historis penggunaan nama-nama satuan stratigrafis pada zona ini semula hanya digunakan secara terbatas, tak terpublikasikan, pada dilingkungan perusahaan minyak Belanda BPM (Batafsche Petroleum Maatschapij), yaitu pendahulu perusahaan Shell, yang dulu memegang konsesi daerah Cepu. Nama-nama formasi secara resmi baru mulai digunakan oleh Van Bemmelen (1949) dan Stratigraphic Lexicon of Indonesia oleh Marks (1957). Harsono (1983) melakukan perubahan dari nama-nama tak resmi seperti globigerina marl atau Orbitoiden-Kalk dengan memberikan nama yang baru, menetapkan lokasi tipe, sesuai dengan Sandi Stratigrafi Indonesia. Penentuan umur secara teliti dari setiap formasi dengan menggunakan pertolongan fosil foraminifera plangtonik telah dilakukan oleh Harsono (1983). Zona rembang dimulai dari ujung barat perbukitan di selatan Demak, memanjang ke arah timur dan timur laut memasuki wilayah Jawa Timur, memanjang melewati Pulau Madura, terus ke arah timur hingga ke Pulau Kangean. Arah memanjang perbukitan tersebut mengikuti sumbu-sumbu lipatan, yang pada umumnya berarah barat-timur. Di beberapa tempat sumbu-sumbu ini mengikuti pola en echelon yang menandakan adanya sesar geser lateral kiri (left lateral wrenching faulting). Bagian utara dari antiklinorium rembang yang mengandung formasi batuan berumur miosen awal, telah mengalami pengangkatan dan erosi. Suatu kelompok antiklin yang terdapat di bagian selatan dikenal sebagai zona rembang tengah dan selatan, juga sering disebut sebagai Cepu Trend. Batuan tertua yang tersingkap di bagian ini berumur miosen akhir, yang kebanyakan mengandung minyak. Batuan yang berfungsi sebagai reservoar hidrokarbon yang utama di daerah rembang adalah batupasir ngrayong (miosen tengah) sedangkan penyumbat atau (seal)nya adalah batulempung wonocolo yang berumur miosen akhir. Pada zona rembang bagian utara terdapat 2 gunung api pleistosen, yaitu Gunung Muria dan Lasem. Gunung api yang telah padam ini mempunyai komposisi batuan yang lain apabila dibandingkan dengan gunung api yang lain. Komposisinya bukan andesit tetapi berupa batuan beku yang kaya akan leucite (feldspatoid), mirip dengan batuan yang tergolong pada kelompok gunung api mediteranian suite, seperti yang dijumpai di Atlantika. Zona Rembang terbentang sejajar dengan zona Kendeng dan dipisahkan oleh depresi Randublatung, suatu dataran tinggi terdiri dari antiklinorium yang berarah barat-timur sebagai hasil gejala tektonik Tersier Akhir membentuk perbukitan dengan elevasi yang tidak begitu tinggi, rata-rata kurang dari 500 m. Beberapa antiklin tersebut merupakan pegunungan antiklin yang muda dan belum mengalami erosi lanjut dan nampak sebagai punggungan bukit. Zona Rembang merupakan zona patahan antara paparan karbonat di utara (Laut Jawa) dengan cekungan yang lebih dalam di selatan (cekungan Kendeng). Litologi penyusunnya campuran antara karbonat laut dangkal dengan klastika, serta lempung dan napal laut dalam. Stratigrafi Zona Rembang tersusun atas Formasi Ngimbang, F. Kujung, F. Prupuh, F. Tuban, F. Tawun, F. Ngrayong, F. Bulu, F. Wonocolo, F. Ledok, F. Mundu, F. Selorejo, dan F. Lidah. Formasi Kujung Tersusun oleh serpih dengan sisipan lempung dan secara setempat berupa batugamping baik klastik maupun terumbu. Diendapkan pada lingkungan laut dalam sampai dangkal pada kala Oligosen Akhir sampai Miosen Awal.

Formasi Tuban Tersusun oleh lapisan batulempung dengan sisipan batugamping. Semakin ke selatan berubah menjadi fasies serpih dan batulempung (Soejono, 1981, dalam Panduan Fieldtrip GMB 2006). Diendapkan pada lingkungan neritik sedang-neritik dalam. Formasi Tawun Tersusun oleh serpih lanauan dengan sisipan batugamping. Pada bagian atas formasi ini didominasi oleh batupasir yang terkadang lempungan dan secara setempat terdapat batugamping. Satuan di bagian atas ini sering disebut sebagai Anggota Ngrayong. Diendapkan pada laut terbuka agak dalam sampai laut dangkal di bagian atas pada Miosen Tengah (N9-N13) (Rahardjo & Wiyono, 1993, dalam Panduan Fieldtrip GMB 2006). Formasi Tawun dimasa lalu disebut sebagai Lower Orbitoiden-Kalk (Lower OK) dan dimasukkan dalam apa yang disebut Rembang beds (Van Bemmelen, 1949). Selanjutnya Koesoemadinata (1978) menamakannya sebagai Anggota Tawun dari Formasi Tuban. Pada tahun 1983, Harsono menaikkan status anggota ini menjadi Formasi (tabel III.1). Menurut Harsono Formasi Tawun ini tersusun oleh perselingan antara gypsiferous carbonaceous shale dengan struktur gelembur arus, serta batugamping yang kaya akan foraminifera besar golongan Orbitoidae seperi Lepidocyclina. Singkapan yang dijumpai merupakan bagian teratas dari Formasi ini, tersusun oleh batulempung abu-abu kehijauan dengan sisipan batugamping dan batupasir. Didaerah sekitar desa Ngampel terdapat singkapan dari Formasi ini setebal 30 m. Perlapisannya mengandung fosil foraminifera plangtonik yang menunjukkan umur N 8 (Akhir Miosen Awal) berupa kumpulan spesies : Globigerinoides diminutus, Pareorbulina transtoria dan Globigerinoides sicanus. Sedangkan kandungan foraminifera bentoniknya menunjukkan bahwa Formasi ini diendapkan pada kondisi laut sangat dangkal pada kondisi penguapan yang sangat tinggi. Ke arah atas litologi ini ditumpuki oleh batupasir merah hingga merah jambu, dengan gejala struktur silang siur yang menjadi ciri dari batupasir Ngrayong. Formasi Ngrayong Anggota ini juga disebut Upper Orbitoiden-Kalak oleh Trooster (1937), Van Bemmelen (1949) menamakan Upper Rembang beds. Nama batupasir anggota Ngrayong telah diperkenalkan Brouwer (1957), yang mengajukan tipe local pada desa Ngrayong, Jatirogo, dimana susunan utamanya batupasir dengan intercalation batubara dan sandy clay. Harsono (1983), mendeskripsi Ngrayong sebagai anggota formasi Tawun, terdiri dari orbitoid limestone dan shale dalam bagian bawah dan batupasir dengan intercalation batugamping dan lignit di bagian atas. Umur dari unit ini Miosen Tengah, pada area N9-N12. Lingkungan pengendapan dari anggota ini fluvial atau submarine dalam singkapan di sebelah utara (Jatirogo, Tawun) dan menjadi lingkungan laut pada bagian selatan. Di dekat Ngampel sekuen pasir endapan laut yang mendangkal ke atas dari shore face ke pantai akan terlihat anggota ini mungkin berhubungan dengan haitus di atas area mulut laut jawa. Anggota ini merupakan reservoar utama dari lapangan minyak Cepu, tetapi terlihat adanya shale yang hadir di bagian selatan dan timur dari lapangan ini. Ketebalan dari unit ini bervarian (lebih dari 300 m). Formasi Bulu

Semula formasi ini disebut sebagai PlatenComplex oleh Trooster (1937). Tersusun oleh batugamping pasiran yang keras, berlapis baik, berwarna putih abu-abu, dengan sisipan napal pasiran. Pada batugampingnya dijumpai banyak foraminifera yang berukuran sangat besar dari spesies Cycloclypeus (Katacycloclypeus) annulatus berasosiasi dengan fragmen koral dan alga serta foramnifera kecil. Harsono (1983) menggunakan nama Formasi Bulu sebagai nama Resmi, dengan memasang lokasi tipe di Sungai Besek, dekat desa Bulu, Kabupaten Rembang. Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1. Pada peta geologi lembar Rembang (1 : 100.000), formasi ini melampar luas terutama di wilayah antiklonorium Rembang Utara. Satuan ini menebal ke arah barat, mencapai ketebalan hingga 360 m di sungai Larangan. Dibagian timur di sungai Besek dekat desa Bulu ketebalannya hanya 80 meter. Kondisi litologi dan kandungan fosilnya menunjukkan bahwa Formasi ini diendapkan pada laut dangkal, terbuka pada Kala Miosen Tengah Awal Miosen Akhir (N 13 N 15). Formasi Wonocolo Tersusun dari napal kuning-coklat, mengandung glaukonit, terdapat sisipan kalkarenit dan batulempung. Menurut Purwati (1987, dalam Panduan Fieldtrip GMB 2006) lingkungan pengendapan formasi ini adalah neritik dalam hingga bathyal tengah pada Miosen TengahMiosen Atas (N14-N16). Formasi Wonocolo semula disebut sebagai anggota bawah dari Formasi Globigerina oleh Trooster (1937). Formasi ini menumpang secara selaras di atas formasi bulu dan ditumpangi oleh Formasi Ledok. Pada umumnya tersusun oleh napal dan napal lempungan yang tidak berlapis, kaya akan kandungan foraminifera plangtonik. Pada bagian bawahnya dijumpai sisipan batugamping pasiran dan batupasir gampingan dengan ketebalan bervariasi antara 5 20 cm. Urutan ini menunjukkan bahwa selama pengendapannya terjadi kondisi transgresif. Marks (1957) dan Harsono (1983) menyimpulkan bahwa umur dari formasi ini adalah Miosen Tengah Miosen Akhir kisaran umur N 14 N 16. (lihat tabel III.1). Singkapan dari Formasi Wonocolo dijumpai mulai dari daerah Sukolilo, barat daya Pati. Ketebalan dari Formasi ini sangat bervariasi. Ke arah utara formasi ini berubah fasies menjadi batugamping dari Formasi Paciran. Melimpahnya fauna plangtonik pada batuan penyusun formasi ini menunjukkan bahwa pengendapannya berlangsung pada laut yang relatif dalam, wilayah ambang luar hingga batial atas. Formasi Ledok Secara selaras di atas Formasi Wonocolo terdapat Formasi Ledok. Trooster (1937) menganggap satuan ini sebagai anggota dari Formasi Globigerina, namun para peneliti sesudahnya menganggap berstatus formasi (Marks, 1957; Harsono, 1983). Formasi Ledok secara umum tersusun oleh batupasir glaukonitan dengan sisipan kalkarenit yang berlapis bagus serta batulempung yang berumur Miosen Akhir (N 16N 17). Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1. Ketebalan dari Formasi Ledok ini sangat bervariasi. Pada lokasi tipenya, yaitu daerah antiklin Ledok, ketebalannya mencapai 230 m. Di daerah sungai Panowan mencapai 160 m, sedangkan di sungai Cegrok tinggal 50 m. Batupasirnya kaya akan kandungan glaukonit dengan kenampakan struktur silang siur. Di beberapa tempat batupasir tersebut terutama

tersusun oleh hanya oleh test foraminifera plangtonik dengan sedikit mineral kuarsa. Secara keseluruhan bagian bawah dari formasi ini cenderung tersusun oleh batuan yang berbutir lebih halus dari bagian atas, menunjukkan kecendrungan kondisi pengendapan laut yang semakin mendangkal (shallowing-upward sequence). Ke arah utara, seperti halnya Formasi Wonocolo, Formasi Ledok ini juga mengalami perubahan fasies menjadi batugamping dari formasi Paciran. Formasi Mundu Satuan stratigrafi ini semula disebut sebagai Mundu stage oleh Trosster (1937). Selanjutnya oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Globigerina Marls. Oleh Marks (1957) satuan ini diresmikan sebagai Formasi. Formasi ini tersusun oleh napal masif berwarna putih abu-abu, kaya akan fosil foraminifera plangtonik. Secara stratigrafis Formasi Mundu terletak tidak selaras di atas formasi ledok, penyebarannya luas, dengan ketebalan 200 m300 m di daerah antiklin Cepu area, ke arah selatan menebal menjadi sekitar 700 m. Formasi ini terbentuk antara Miosen Akhir hingga Pliosen (N 17N 21), pada lingkungan laut dalam (bathyial). Formasi Selorejo Unit ini pembentukannya disebut Selorejo Beds oleh Trooster, 1937, yang telah diklasifikasikan sebagai anggota dair Formasi Lidah oleh Udin Adinegoro (1972) dan Koesoemadinata (1978). Sejak Harsono (1983) tidak melakukan pengamatan ketidakselarasan antara Formasi Lidah dan Mundu. Dia memasukkan anggota Selorejo dalam Formasi Mundu. Tipe lokalnya dari Desa Selorejo dekat Cepu dan terdiri lebih keras dan lebih lunak antar lapisan, menyisakan kebanyakan glaukonit. Dari foraminifera dianggap lingkungan laut dalam. Satuan batuan ini semula oleh Trooster (1937) disebut sebagai Selorejo beds. Selanjutnya Udin Adinegoro (1972) dan Koesoemadinata (1978) menyebutnya sebagai anggota dari Formasi Lidah. Harsono (1983) menyimpulkan bahwa Selorejo ini merupakan anggota dari Formasi Mundu. Lokasi tipenya terletak di desa Selorejo dekat kota Cepu. Anggota Selorejo ini tersusun oleh perselingan antara batugamping keras dan lunak, kaya akan foraminifera palngtonik serta mineral glaukonit. Penyebaran dari Anggota Selorejo ini tidak terlalu luas, terutama meliputi daerah sekitar Blora, sebelah utara Cepu (desa Gadu) dan di selatan Pati. Ketebalannya berkisar antara 0 hingga 100 meter. Berdasarkan kandungan foraminifera palngtonik, umur dari Anggota Selorejo adalah Pliosen ( N 21). Formasi Lidah Formasi ini terdiri atas batulempung kebiruan, napal berlapis dengan sisipan batupasir dengan lensa-lensa coquina. Dahulu Trooster (1937) menyebutnya sebagai Mergetton, yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu Tambakromo dan TuriDomas. Harsono (1983) kemudian meresmikan satuan ini menjadi berstatus formasi, yaitu Formasi Lidah (tabel III.1). Bagian terbawah dari formasi ini diduga merupakan endapan neritik tengah hingga neritik luar, yang tercirikan oleh banyaknya fauna plangtonik tetapi masih mengandung foraminifera bentonik yang mencirikan air relatif dangkal seperti pseudorotalia sp. dan Asterorotalia sp.

Ke arah atas, terjadi urutan yang mendangkal ke atas (shallowing upward sequence), yang dicirikan oleh lapisan-lapisan yang kaya akan moluska. I.1.7 Formasi Paciran Satuan ini semula oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Karren Limestone. Secara umum penyusunnya terdiri atas batugamping pejal, dengan permukaan singkapansingkapannya mengalami erosi membentuk apa yang disebut sebagai karren surface. Harsono (1983) secara resmi menggunakan nama Paciran dan menempatkannya pada status formasi, dengan lokasi tipenya berada di daerah bukit piramid di sekitar Paciran, kabupaten Tuban. Formasi ini dijumpai hanya dibagian utara dari Zona Rembang. Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1. Umur dari Formasi ini masih memicu terjadinya perbedaan. Harsono (1983) menempatkannya pada Kala PliosenAwal Pleistosen, yang secara lateral setara dengan Formasi Mundu dan Lidah. Namun di beberapa tempat terdapat bukti umur yang menunjukkan bahwa Formasi Paciran telah berkembang pada saat pembentukan Formasi Ledok dan Wonocolo. BAB II STRUKTUR GEOLOGI Pulau jawa mempunyai dua macam konfigurasi struktur (structural grains) yang berbeda. Di bagian utara tercirikan oleh kecendrungan mengikuti arah timur-barat. Pola timurlaut baratdaya diduga mengikuti konfigurasi basement. Basement-nya sendiri diduga merupakan bagian dari kerak benua yang berumur Pre Tersier, tersusun oleh mlange, ofiolit dan bagian dari jenis kerak benua lain. Pola struktur yang berarah timurbarat ini sesuai dengan busur volkanik Tersier yang juga berarah timurbarat (Hamilton, 1978). Cekungan Jawa Timur, dimana Kendeng dan Rembang terletak, kemungkinan terletak pada kerak perantara (intermediate crust) dari kelompok mlange yang berangsur berubah menjadi kerak samudra, yang mungkin terdapat pada penghujung timur dari cekungan ini. Pada bagian barat cekungan Jawa Timur nampak adanya kecendrungan arah morfologi dan struktur timurbarat (gambar IV.1). Hal ini dapat dibandingkan dengan cekungan selatan (Southern Basin). Daratan tersebut mencakup zona Rembang dan Zona Kendeng serta kelanjutannya, yang dibagian utara dibatasi oleh tinggian Kujung-KangeanMadura Sepanjang yang terbentuk sebagai akibat sesar geser (wrench related). Ke arah selatan zona ini dibatasi oleh jalur gunung api kuarter. Cekungan ini kemungkinan terbentuk sejak Eosen hingga akhir Oligosen oleh suatu tektonik ekstensional, yang kemudian diikuti oleh fase tektonik inverse sejak awal Miosen hingga Holosen. Pada fase inversi ini dibagian utara dari cekungan ini mengalami pengangkatan (zona Rembang) sedangkan pada bagian selatannya masih berupa cekungan laut dalam (zona Kendeng). Dalam kerangka tektonik regional maka proses pembentukan struktur Tersier di Pulau Jawa dapat dibagi menjadi 3 periode : 1. Paleogen Extension Rifting 2. Neogen Compressional Wrenching 3. Plio Pleistocene Compressing Thrust Folding Fase ekstensional Paleogene menghasilkan graben / half graben dan sesar-sesar yang mempunyai arah pemanjangan timurbarat. Selanjutnya pada fase kompresi pada Awal

Miosen terjadi reaktivasi dari sesar ekstensional yang sebelumnya telah ada, yang menunjukkan adanya kontrol tektonik terhadap pembentukan awal cekungan. Periode Neogen Compressional Wrenching ditandai oleh pembentukan sesar-sesar geser, yang terutama terjadi akibat gaya kompresif dari tumbukan lempeng Hindia. Sesar geser yang terjadi membentuk orientasi tertentu, yang berhubungan dengan kompresi utama. Sebagian besar pergeseran sesar merupakan reaktivasi dari sesar-sesar normal yang terbentuk pada periode Paleogen. Periode Plio Pleistocene Compressional Thrust Folding ditandai oleh pembentukan lipatan yang berlanjut pada pembentukan sesar-sesar naik. Antiklinorium dan thrust belt yang terjadi memiliki orientasi tertentu yang berhubungan dengan arah kompresi dan kinematika pembentukannya. Pada zaman Neogen cekungan Jawa Timur bagian utara mengalami rezim kompresi yang menyebabkan reaktivasi sesar-sesar normal tersebut dan menghasilkan sesarsesar naik. Pada jaman Pre-Tersier lempeng Jawa Timur mengalami penunjaman dibawah lempeng Sunda, mengkuti arah memanjang zona penunjaman kurang lebih N 600 E, penunjaman ini berakibat pemendekan lempeng pada arah tegaklurus arah penunjaman. Pada saat itu cekungan Jawa Timur barangkali masih berupa cekungan muka busur (fore arc basin). Pada Awal Miosen atau lebih tua, tektonik ekstensi bekerja di zona Rembang. Ekstensi ini kemudian diikuti oleh serangkaian tegasan kompresif yang menjadi aktif sejak Akhir Miosen hingga Holosen dengan arah yang bergeser dari arah timur laut. Kompresi ini juga bekerja pada zona Kendeng sejak Akhir Miosen dan seterusnya. Namun rekaman stratigrafis dari peristiwa ini hanya dapat diamati pada bagian bawah dari Formasi Kerek. Kompresi ini juga menjadi semakin lemah selama pembentukan sedimen yang lebih muda. BAB III. MORFOTEKTONIK Evolusi Morfotektonik zona rembang berdasarkan data stratigrafi dan struktur geologinya dapat dibagi menjadi 4 fase: 1. Fase Tektonik pertama yang terjadi selama tersier sampai awal Oligocene yang mengendapkan formasi Ngimbang dan Kujung yang diendapkan diatas basement yang berupa mlange dan ofiolit. Formasi Ngimbang yang tersusun oleh batupasir dan batulanau yang terdapat sisipan batugamping mengindikasikan bahwa pengendapannya merupakan syn-rift post rift sehingga terbentuk cekungan laut dangkal. Cekungan ini mulai stabil pada saat terendapkannya formasi Kujung yang berupa batugamping. Pada fase ini gaya yang bekerja dominannya adalah gaya ekstensional. Cekungan ini berupa fore arc basin 2. Fase yang kedua terjadi pada oligocen tengah sampai miosen akhir. Pada waktu ini penunjaman lempeng hidia ke pulau Jawa yang oblique. Penunjaman yang oblique ini membentuk struktur lipatan dan sesar yang berarah timur laut barat daya (pola meratus). Pada fase ini rembang masih berupa fore arc basin dan telah memasuki fase sagging inverse. Pada waktu inilah terendapkan formasi Prupuh, Tawun, Ngrayong, Bulu, Wonocolo, dan Ledok. Kedudukan muka air laut pada kala ini relative regresi sehingga menyebabkan pola progadasional yang menyebabkan perebahan facies secara lateral kearah darat ke arah utara. Hal ini dibuktikan dengan adanya perubahan facies dari batugamping (formasi Prupuh) ke batupasir, batulempung yang kaya

mineral Glaukonit (formasi Ngrayong dan ledok). Batupasir ini kemungkinan diendapkan di lingkungan delta. 3. Fase yang ketiga terjadi pada Miosen akhir sampai pleistocen awal. Pada fase ini terjadi transgresi air laut yang menyebabkan kenaikan muka air laut secara relative yang mengendapkan formasi Mundu, Paciran, Selorejo, dan Lidah. Pada fase ini rembang masih berupa fore arc basin. Memasuki pengendapan formasi Pacerain dan selorejo terjadi regresi muka air laut sehingga terjadi perubahan lingkungan pengendapan lagi dari laut dalam (bathial) ke laut dangkal (neritik tengah). 4. Fase yang keempat terjadi pada Pleistocene akhir Holosen. Pada fase ini penunjaman lempeng Hindia sudah tegak lurus dengan pulau jawa sehingga terbentuklah lipatan, sesar, dan struktur-struktur geologinya lainnya yang berarah timur-barat. Penunjaman ini juga menyebabkan terjadinya partial melting, sehingga terjadi vulkanisme di sebelah selatan zona rembang. Sehingga zona rembang berubah menjadi back arc basin. Vulkanis me ini juga menyebabkan terendapkan batuan batuan gunung api seperti tuff, breksi andesit, aglomerat. Dan juga terjadi intrusiintrusi andesit. Peristiwa ini menyebabkan zona rembang menjadi daerah yang prospek dalam eksplorasi hidrokarbon. Dimana formasi Ngimbang merupakan source rock yang poetensial. Pematangan source rock ini disebabkan karena naiknya astenosfer yang diakibatkan penunjaman ini. Daerah back arc basin lebih potensial terjadi pematangan source rock daripada fore arc basin. Sedangkan batuan penutup dan reservoir banyak ditemui di formasi Tawun dan Tuban dimana banyak mengandung batulanau-batulempung sedangkan reservoarnya bayak ditemui pada formasi Ngrayong, dan Ledok yang mengendapkan batupasir. Reservoir lainnya yang berupa batugamping juga ditemukan.

You might also like