You are on page 1of 5

Jurnal ELKHA Vol.3, No.

1, Maret 2011
43
Sintesis Polimer Konduktif sebagai Bahan Baku
untuk Perangkat Penyimpan Energi Listrik
Berlian Sitorus
1)
, Veinardi Suendo
2)
dan Ferdinand Hidayat
3)
1)
Jurusan Kimia, Fakultas MIPA Universitas Tanjungpura
Jl. Ahmad Yani Pontianak 78124
e-mail: berlian.sitorus@gmail.com
2)
Departemen Kimia, Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesha 10 Bandung 40132
Abstract Penggunaan material anorganik menjadi
sebuah masalah ketika baterai tidak dapat diolah secara
alamiah, efisiensinya yang rendah dan biaya produksi
yang tinggi. Solusi alternatif pembuatan baterai adalah
dengan menggunakan material organik berupa polimer
konduktif sebagai bahan baku. Polimer konduktif dapat
secara luas diproduksi dengan biaya yang relatif lebih
murah, dan bersifat organik. Akan tetapi polimer
konduktif memiliki keterbatasan dalam hal konduktivitas
yang relatif rendah sehingga perlu dilakukan proses
doping untuk meningkatkan konduktivitasnya. Pada
penelitian ini dilakukan sintesis untuk menghasilkan
polimer konduktif yang merupakan perpaduan
polianilina dan selulosa dengan dua metoda perlakuan
yang berbeda yakni menggunakan sonik dan tanpa
sonik. Dari hasil analisis terhadap frekuensi, hambatan
maupun konduktifitas terhadap polimer yang dihasilkan
dari kedua perlakuan disimpulkan bahwa polimer yang
dihasilkan dengan menggunakan sonik akan
menghasilkan polimer dengan sifat konduktifitas yang
lebih baik yakni 1,02x10
-4
dibandingkan 1,79x10
-5
tanpa
sonik. Nilai hambatan.
Kata kunci- Polimer konduktif, konduktifitas, sonik
1. Pendahuluan
Krisis energi yang merupakan salah satu isu
permasalahan global yang terjadi dewasa ini telah
memunculkan alternatif pengembangan perangkat
penyimpan energi yang terbarukan. Salah satu perangkat
penyimpan energi yang menjadi fokus pengembangan
adalah baterai. Pengembangan baterai masih terfokus
pada material berbasis anorganik seperti baterai Ni, Ni-
Cd, dan Li-ion. Penggunaan material anorganik menjadi
sebuah masalah ketika baterai tidak dapat diolah secara
alamiah, efisiensinya yang rendah dan biaya produksi
yang tinggi. Solusi alternatif pembuatan baterai adalah
dengan menggunakan material organik berupa polimer
konduktif sebagai bahan baku [1].
Pengembangan baterai dari bahan organik menjadi
pilihan alternatif sejak publikasi nobel oleh [2]. Polimer
konduktif seperti polianilina, poliasetilena, polipirole,
merupakan polimer organik yang memiliki kemampuan
menghantarkan arus listrik dengan sistem konjugasi
ikatan rangkap. Polimer konduktif dapat secara luas
diproduksi dengan biaya yang relatif lebih murah, dan
bersifat organik. Akan tetapi polimer konduktif memiliki
keterbatasan dalam hal konduktivitas yang relatif rendah
sehingga perlu dilakukan proses doping untuk
meningkatkan konduktivitasnya.
Pada penelitian [3] dilaporkan bahwa nilai hambatan
pada polianilina (PANI) yang didoping satu kali adalah
sebesar 1240 /cm
2
. Nilai hambatan mengalami
penurunan saat polianilina didoping dua kali menjadi
108 /cm
2
. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses
doping dapat menurunkan nilai hambatan polianilina.
2. Teori Dasar
2.1 Konduktivitas Material Polimer
Sifat elektronik suatu bahan dapat ditentukan
berdasarkan struktur elektroniknya. Pada suatu senyawa
logam, terjadi overlap antara orbital-orbital sejenis
dengan atom berlainan untuk membentuk orbital
molekul. Proses ini akan membuat rapatan struktur yang
tinggi pada logam, sehingga elektron dapat dengan
mudah mengalir secara terus-menerus pada logam. Pada
logam, celah pita antara HOMO dan LUMO mendekati
nol, sehingga dengan medan listrik yang kecil sekalipun,
elektron akan terdistribusi dengan mudah. Hal ini
membuat sifat logam menjadi lebih konduktor. Pada
material semikonduktor, celah pita antara HOMO dan
LUMO lebih besar dibandingkan dengan logam. Aliran
elektron akan lebih mudah mengalir bila terjadi
peningkatan temperatur pada material semikonduktor.
Hal ini dikarenakan energi kalor akan memaksa elektron
dari HOMO menuju orbital LUMO, sehingga elektron
dapat mengalir. Gambar 1 oleh [2] memperlihatkan
bahwa material isolator memiliki celah pita paling lebar
dibandingkan dengan semikonduktor dan konduktor.
Perbedaan jarak yang relatif jauh antara orbital HOMO
dan LUMO, memperkecil kemungkinan perpindahan
elektron. Perpindahan elektron membutuhkan energi
yang sangat tinggi, sehingga material seperti ini lebih
digolongkan sebagai isolator.
Pada polimer konduktif, perpindahan elektron dari
orbital HOMO menuju LUMO, dibantu oleh suatu atom
dopan. Berdasarkan jenis atom dopannya,
semikonduktor terbagi menjadi semikonduktor tipe p
dan tipe n. Semikonduktor tipe n terjadi pada suatu
material dengan memiliki banyak elektron sehingga
atom dopan berada dekat dengan orbital LUMO,
sedangkan pada semikonduktor tipe p terjadi pada
Jurnal ELKHA Vol.3, No.1, Maret 2011
44
material dengan kondisi sedikit elektron sehingga atom
dopan berada dekat dengan orbital HOMO.
Gambar 1. Perbedaan celah pita konduktor, semi konduktor
dan isolator
2.2 Polimer Konduktif
Beberapa jenis polimer memiliki daya hantar listrik
yang mirip dengan daya hantar listrik senyawa logam.
Polimer dengan potensial konduktivitas menjadi
penelitian setelah adanya publikasi oleh [2] yang
memaparkan tentang pengembangan senyawa-senyawa
organik yang dapat menghantarkan arus listrik seperti
sifat logam. Contoh polimer yang dapat menghantarkan
arus listrik antara lain adalah polipirole, poliasetilena,
dan polianilina. Prinsip kerja polimer konduktif adalah
karena adanya karena ikatan rangkap terkonjugasi pada
suatu rantai polimer. Sehingga atom karbon mengikat
atom karbon lain dengan ikatan tunggal dan ganda
secara bergantian (berselang-seling) yang dapat
mempengaruhi sifat konduktif pada polimer
terkonjugasi. Penambahan senyawa kimia berupa doping
akan merubah kerapatan elektron pada ikatan atau
*
polimer terkonjugasi sehingga terjadi perubahan
konduktifitas polimer dari semikonduktif menjadi
konduktif.
Dewasa ini, polimer konduktif menjadi fokus yang
mulai dikembangkan dalam skala laboratorium, dengan
polimerisasi pirole dan anilina pada larutan elektrolit [1-
4]. Polianilina merupakan polimer konduktif dengan tipe
p yang mana pada kondisi normal akan memiliki jumlah
hole yang lebih banyak dibandingkan dengan elektron.
Hal ini akan menyebabkan dominasi hole sebagai
pembawa muatan, sehingga konduktivitas sampel dapat
diintrepretasi sebagai konduktivitas hole.
Polimer konduktif menjadi salah satu alternatif yang
dapat digunakan untuk mengatasi masalah penyimpanan
energi listrik, karena sifatnya yang ringan, fleksibel,
murah dan gampang untuk diproduksi. Selain itu
penggunaan polimer yang berasal dari alam merupakan
salah satu solusi untuk menggunakan material yang
ramah lingkungan.
2.3 Pengukuran Konduktivitas Polimer
Pengukuran konduktivitas sampel material pada
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
EIS (Electrochemical Impedance System). Penggunaan
EIS dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
penumpukan pembawa muatan pada salah satu elektroda
sehingga hasil yang dimunculkan akan menjadi lebih
akurat. Prinsip dasar metode ini adalah pengukuran
impedansi sel pada rentang frekuensi tertentu, yang
dianalisis dengan model sirkuit elektronik khusus bagi
sistem untuk menentukan nilai-nilai parameter pada
sirkuit sel tersebut. Nilai impedansi terdiri dari nilai real
dan nilai imajiner. Bagian real menyatakan resistansi
bahan dan bagian imajiner menyatakan kapasitansi dari
bahan. Konfigurasi kedua nilai tersebut pada suatu
sirkuit dapat diketahui setelah dilakukan pengukuran
dan analisis bentuk kurva impedansi.
Hasil yang ditampilkan pada EIS adalah nilai sudut
dan nilai hambatan. Nilai tersebut kemudian dikonversi
menjadi nilai hambatan real dan nilai hambatan
imaginer. Melalui hasil pengolahan EIS, dapat diketahui
konduktivitas sampel dari konversi hambatan real
menggunakan persamaan :
...................... (1)
dimana:
: konduktivitas (S/cm)
R : resistansi real ()
l : jarak antar elektroda / ketebalan smapel (cm)
A : luas permukaan sampel (cm
2
)
Hubungan antara frekuensi pengukuran terhadap
konduktivitas material secara umum dapat dijelaskan
dengan persamaan :
E = h. f ............................... (2)
E : energi
h : konstanta planck
f : frekuensi
Berdasarkan persamaan tersebut, terlihat bahwa semakin
besar nilai frekuensi, maka energi yang dipancarkan
akan semakin besar. Hal ini mempengaruhi nilai
resistansi dan konduktivitas, dimana :
E = V
2
. t . R
-1
............................... (3)
V : Tegangan (V)
t : waktu (s)
R : hambatan ()
Kenaikan frekuensi akan meningkatkan energi kinetik
spesi pada material sehingga terjadi transfer muatan
yang tinggi pada daerah antar muka. Kondisi ini
menjelaskan terjadinya aliran elektron dari kondisi
HOMO menuju kondisi LUMO semakin besar.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin besar
frekuensi yang diberikan kepada material, maka akan
meningkatkan aliran muatan atau nilai konduktivitas
material tersebut.
2.4 Swelling dan Sonik
Swelling atau pengembangan selulosa merupakan suatu
metode yang digunakan untuk mendapatkan serat
selulosa yang teregenerasi, delignifikasi selulosa dan
modifikasi selulosa pada kondisi fase reaksi homogen
maupun heterogen. Pada selulosa yang sudah mengalami
pengembangan umumnya akan terjadi perubahan
supramolekul pada strukturnya [5].
Sifat kristalin alami pada material menyebabkan
material tersebut memiliki tingkat kelarutan yang rendah
A
l
x
R
1

Jurnal ELKHA Vol.3, No.1, Maret 2011
45
pada pelarut konvensional. Penetrasi pelarut ke dalam
material memerlukan interaksi molekul yang kuat.
Pengukuran interaksi pelarut dengan selulosa dapat
dianalisis melalui pengukuran volume pengembangan.
Interaksi antara selulosa dan pelarut dipengaruhi oleh
volume molar, kelarutan, dan interaksi dipole cairan.
Pada proses pengembangan, pelarut harus masuk ke
dalam jaringan serat selulosa. Mekanisme masuknya
suatu pelarut ke dalam serat selulosa dapat terjadi
melalui tiga mekanisme. Pertama, aliran bebas pelarut
dibawah tekanan gradien dan kapilaritas material.
Kedua, pelarut diuapkan masuk ke dalam jaringan
selulosa. Ketiga, difusi pelarut melalui dinding sel
selulosa.
Proses pengembangan bertujuan sebagai tahap aktivasi
sampel selulosa yang akan digunakan. Pada proses ini,
swelling agent akan berpenetrasi ke dalam struktur serat
selulosa yang memiliki banyak ikatan silang antar
struktur. Swelling agent akan membantu pemutusan
ikatan hidrogen antar molekul pada selulosa sehingga
terdapat ruang antar struktur yang cukup besar untuk
dimasuki oleh molekul anilina.
Sonokimia merupakan suatu metode sintesis material
dengan menggunakan energi ultrasonik (sonik) pada
proses sintesisnya. Ultrasonik dalam bentuk gelombang
akan ditransimisikan melewati suatu media
menggunakan tekanan gelombang dari induksi gerakan
vibrasi molekul. Pada keadaan tersebut gelombang akan
menyebabkan molekul melakukan bending (penekukan)
dan stretching (perengganggan) stuktur molekul
medium dengan variasi waktu. Secara umum, frekuensi
ultrasonik berada pada rentang 20kHz-10MHz dan
terbagi menjadi 3 bagian, yaitu ultrasonik frekuensi
rendah (20 100 kHz), ultrasonik frekuensi sedang (100
kHz - 2 MHz) dan ultrasonik frekuensi tinggi (2 - 10
MHz). Frekuensi yang memiliki rentang 20kHz - 2MHz
inilah yang digunakan dalam sonokimia.
Prinsip dasar sonokimia adalah penggunaan frekuensi
ultrasonik untuk membentuk gelembung udara pada
cairan yang kemudian gelembung akan pecah secara
mikroskopik dalam rentang waktu yang singkat.
Pecahan ini akan memberikan efek tekanan yang tinggi
dan efek kimia. Umumnya energi ultrasonik ini dapat
digunakan untuk modifikasi senyawa organik maupun
anorganik seperti proses aglomerasi, difusi, reduksi
material dan pemecahan mekanik.
3. Metode Penelitian
3.1 Pembuatan Komposit Dengan Swelling Sonic +
Asam Sonic
Sebanyak 0,5 gr sampel selulosa di swelling dengan
35 ml DMSO selama 1 jam menggunakan ultrasonic
220W. Campuran kemudian ditambahkan dengan 50 ml
HCl 2M dan disonic selama 1 jam. Selanjutnya
ditambahkan anilina dengan variasi konsentrasi 0,1 g;
0,2 g; 0,3 g dan ditetesi dengan Ammonium persulfate
dengan perbandingan mol terhadap anilina 3:4.
Polimerisasi dilakukan selama 150 menit dengan variasi
suhu (suhu ruang dan suhu 0
0
C) kemudian campuran
disaring menggunakan corong bunchner. Hasil komposit
kemudian dicuci dengan HCl sebanyak 100 ml dan
dilanjutkan dengan aseton 100 ml. Komposit kemudian
dikeringkan pada suhu 60
0
C selama 3 jam. Sampel
selanjutnya disebut sebagai A.
3.2 Pembuatan Komposit Tanpa Swelling
Sebanyak 0,5 gr sampel selulosa ditambahkan
dengan anilina dengan variasi konsentrasi 0,1 g; 0,2 g;
dan 0,3 g dan didiamkan selama 1 jam. Selanjutnya
dimasukkan dalam 50 ml HCl dan ditetesi dengan
Ammonium persulfate dengan perbandingan mol
terhadap anilina 3:4. Polimerisasi dilakukan selama 150
menit kemudian campuran disaring menggunakan
corong bunchner. Hasil komposit kemudian dicuci
dengan HCl sebanyak 100 ml dan dilanjutkan dengan
aseton 100 ml. Komposit kemudian dikeringkan pada
suhu 60
0
C selama 3 jam. Sampel selanjutnya disebut
sebagai B.
3.3 Pengukuran Konduktifitas, Hambatan dan Frekuensi
Pada penelitian ini digunakan sinyal gelombang dari
potensial AC dengan amplitudo 1 V dan rentang
frekuensi dari 20 kHz hingga 200 MHz. Grafik yang
dimunculkan pada hambatan real terhadap hambatan
imaginer menunjukkan grafik semi lingkaran. Perilaku
ini dapat dihubungkan dengan disperse frekuensi akibat
dari kekasaran permukaan material.
4. Hasil dan Pembahasan
Pada penelitian ini, dilakukan variasi perlakuan
pada proses sintesis material komposit antara lain proses
swelling, sonikasi dan jumlah anilina yang ditambahkan.
Perlakuan awal pada sampel selulosa adalah proses
penggembungan (swelling) sebelum digunakan sebagai
matriks material komposit. Selulosa memiliki ikatan
silang antar molekul yang menghalangi suatu molekul
untuk masuk dan berinteraksi dengan selulosa. Oleh
karena itu, perlu suatu proses untuk memutuskan ikatan
hidrogen dan mengaktifkan gugus hidroksil pada
selulosa sehingga molekul anilina dapat masuk ke dalam
selulosa. Penggembungan serat selulosa dapat dilakukan
dangan bantuan swelling agent [5].
Pada penelitian ini dilakukan variasi proses
perlakuan sonikasi terhadap bahan-bahan. Pada
perlakuan sonikasi, terjadi induksi vibrasi ultrasonik
pada medium cair sehingga muncul tekanan yang
menyebabkan kecepatan alir cairan ke dalam padatan
menjadi lebih tinggi. Proses sonikasi akan membuat
penetrasi DMSO lebih mudah untuk memasuki daerah
antar jaringan selulosa sehingga dengan adanya tahapan
ini, proses penggembungan akan menjadi lebih cepat
dan efisien.
Berdasarkan hasil penelitian [6] yang menggunakan
proses sonikasi untuk penetrasi anilina ke dalam matriks
TiO
2
, anilina dapat masuk ke dalam pori TiO
2
dengan
lebih optimal. Hal tesebut menjadi acuan untuk penetrasi
anilina dan asam menggunakan sonikasi ke dalam
selulosa yang sudah mengalami penggembungan. Tabel
1 menunjukkan pengaruh perbedaan konsentrasi anilina
terhadap frekuensi offset dengan dua perlakuan yang
Jurnal ELKHA Vol.3, No.1, Maret 2011
46
berbeda yakni A : swelling + sonikasi sedangkan B :
dengan melalui tanpa sonikasi. Frekuensi offset
merupakan frekuensi pengukuran pada saat nilai
hambatan paling minimum. Pada keadaan tersebut,
konduktivitas material berada pada kondisi optimum.
Nilai hambatan real berbanding terbalik dengan nilai
konduktivitas. Konduktivitas merupakan ukuran
kemampuan suatu material untuk menghantarkan arus
listrik.
Hasil pengolahan data pada Tabel 1 menunjukkan
bahwa kenaikan konsentrasi anilina sebanding dengan
kenaikan frekuensi offset. Berdasarkan hasil
pengamatan, terlihat bahwa nilai frekuensi offset kondisi
B adalah lebih optimal dibandingkan dengan kondisi A.
Nilai tertinggi dengan perlakuan A = 141600 sedangkan
B = 474300. Keduanya dicapai pada konsentrasi 0,3 mol
anilina. Pengaruh protonasi pada selulosa yang sudah
menggembung meningkatkan jumlah anilina yang
masuk ke dalam struktur selulosa sehingga polianilina
yang terbentuk mencapai kondisi optimal. Kondisi
tersebut memerlukan frekuensi yang semakin besar
untuk meningkatkan energi kinetik elektron pada
polianilina.
Tabel 1. Konsentrasi vs Frekuensi Offset
Mol anilina C aniline F A F B
0,001 0,0066667 8934 7096
0,002 0,0133333 22440 59710
0,003 0,02 141600 474300
Berdasarkan hasil percobaan, terlihat bahwa pada
setiap kondisi perlakuan terdapat kenaikan nilai
frekuensi kritis terhadap konsentrasi. Peningkatan
konsentrasi anilina akan meningkatkan jumlah
polianilina yang terbentuk, sehingga memerlukan
frekuensi yang semakin besar untuk mengeksitasi
elektron dari kondisi HOMO menuju kondisi LUMO.
Hal ini akan meningkatkan konduktivitas masing-
masing bahan.
Pengaruh frekuensi offset yang berbeda pada
konsentrasi yang sama tersebut dapat diakibatkan
adanya pengaruh DMSO sebagai swelling agent pada
larutan. Keberadaan senyawa lain pada proses
polimerisasi akan menurunkan kristalinitas bahkan
jumlah yield yang didapatkan. Kondisi tersebut
menyebabkan frekuensi yang dibutuhkan untuk
menentukan nilai kapasitansi polianilina tidak lebih
besar dibandingkan dengan perlakuan tanpa DMSO.
Secara umum kapasitansi material meningkat sebanding
dengan konsentrasi anilina yang ditambahkan.
Pengaruh antara konsentrasi terhadap R offset
digambarkan pada Tabel 2. R offset merupakan
hambatan real pada material. Pada kondisi tersebut
hambatan mulai mengalami penurunan hambatan secara
drastis. Saat hambatan paling menurun, konduktivitas
material akan meningkat hingga kondisi maksimum.
Kenaikan konsentrasi anilina berbanding terbalik
terhadap hambatan realnya. Peningkatan konsentrasi
anilina akan meningkatkan jumlah polianilina yang
terbentuk sehingga jumlah elektron yang mengalir
semakin besar dan hambatan real menjadi semakin kecil.
Tabel 2. Konsentrasi vs Hambatan Offset
Mol anilina C anilina R A R B
0,001 0,006667 1,25 x 10
4
4,45 x 10
5
0,002 0,013333 8,3 x 10
2
6 x 10
3
0,003 0,02 3,3 x 10
2
2 x 10
3
Nilai hambatan yang menurun dengan baik adalah
pada perlakuan A yaitu saat selulosa yang sudah di
swelling mengalami protonasi oleh asam klorida. Hal ini
menunjukkan nilai konduktivitas maksimum terjadi saat
perlakuan A dengan konsentrasi tertinggi. Penambahan
asam pada selulosa dapat mengaktivasi selulosa dengan
memutuskan ikatan hidrogen sehingga anilina dapat
masuk dengan mudah ke dalam jaringan selulosa
kemudian berinteraksi dengan asam dan selulosa [7].
Sedangkan pada kondisi B yang tidak mengalami
swelling dan sonikasi, memberikan hasil hambatan yang
lebih besar dibandingkan dengan kondisi A.
Perbedaan perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan
sonikasi mempengaruhi konduktifitas. Pada perlakuan
A, pengasaman selulosa dengan sonikasi akan membuat
asam terpenetrasi pada setiap bagian selulosa, kemudian
anilina yang ditambahkan akan berinteraksi lebih baik
dengan selulosa terasamkan. Polimerisasi polianilina
berlangsung dengan optimal pada setiap bagian selulosa,
sehingga menghasilkan konduktifitas yang lebih baik.
Sedangkan pada perlakuan B, tanpa pengasaman dan
tanpa sonikasi menjangkau setiap bagian selulosa
sehingga anilina hanya berada pada beberapa bagian
selulosa yang terasamkan. Pengaruh ini hanya akan
membentuk polianilina pada selulosa yang terasamkan.
Hal ini membuktikan bahwa perlakuan sonikasi
dapat membantu molekul asam untuk terpenetrasi
dengan baik pada molekul selulosa sehingga
polimerisasi anilina akan menghasilkan polianilina yang
optimal dan konduktifitas yang lebih tinggi.
0,00E+00
2,00E-05
4,00E-05
6,00E-05
8,00E-05
1,00E-04
1,20E-04
0 0,005 0,01 0,015 0,02 0,025
konsentrasi
k
o
n
d
u
k
t
i
f
i
t
a
s
A B
Gambar 2. Grafik perubahan konduktivitas Vs konsentrasi
dengan 2 perlakuan (A & B)
Pada hasil penelitian terlihat kenaikan konsentrasi
anilina sebanding dengan konduktifitas sampel. Nilai
Semakin banyak anilina yang ditambahkan, maka
Jurnal ELKHA Vol.3, No.1, Maret 2011
47
jumlah polianilina yang terbentuk akan semakin banyak
dan meningkatkan konduktifitas polimer.
4. Kesimpulan
1. Semakin besar konsentrasi anilina yang ditambahkan,
maka konduktifitas semakin besar.
2. Perlakuan sonikasi akan meningkatkan konduktifitas
polimer.
Referensi
[1] Nystrom G., Razaq, A.; Strmme, M.; Nyholm, L.and
Mihranyan, 2009. Ultrafast All-Polymer Paper-Based
Batteries. Nano Letters. Vol 9, No.10 3635-3639, 2009.
[2] Heeger, A. Conductive polymers , The Nobel Prize in
Chemistry, 2000.
[3] Li J., Xueren Qian., Wang LiJuan., dan An, XianHui. XPS
Characterization and Percolation Behavior of Polyaniline-
Coated Conductive Paper. Bioresource Technology, 2010.
[4] Nystrom, G., Razaq, A., Strmme, M., Nyholm, dan L.
Mihranyan. A Nanocellulose Polypyrrole Composite
Based on Microfibrillated Cellulose from Wood. J. Phys.
Chem. B, 114, 41784182, 2010.
[5] Ludmila C. Fidale, Naiara Ruiz, Thomas Heinze, Omar A
and El Seoud. Cellulose Swelling by Aprotic and Protic
Solvents: What are the similarities and Differences?
Macromol. Chem. Phys. 209, 12401254, 2008.
[6] Baig S, Farooq R, and Rehman F. Sonochemistry and its
industrial applications. World Applied Sciences Journal.
10(8) : 936 944, 2010.
[7] Mo, Z., Zhao, Z., Chen, H., Niu, G., Shi, H., 2009,
Heterogeneous preparation of cellulosepolyaniline
conductive composites with cellulose activated by acids
and its electrical properties, Carbohydrate Polymers,
75:660664, 2009.
Biography
Berlian Sitorus lahir di Barus, Indonesia, 10 Oktober 1974.
Memperoleh gelar Sarjana Sains dari Institut Teknologi
Bandung, Indonesia, 1998, M.Si dari Institut Teknologi
Bandung, Indonesia, 2001 bidang ilmu Kimia Fisika Material
dan M.Sc dari Universiteit Gent, Belgia, 2006. Sejak tahun
2002 menjadi dosen di Jurusan Kimia Fakultas MIPA,
Universitas Tanjungpura. Bidang penelitian saat ini adalah
kimia fisika material dan lingkungan.
Veinardi Suendo lahir di Jakarta, Indonesia, 7 November
1975. Memperoleh gelar Sarjana Sains dari Institut Teknologi
Bandung, Indonesia, 1998, M. Eng dari teknik material di Tokyo
Institute of Technology hingga Dr. (doktor) dalam bidang
fisika di Ecole Polytechnique, Perancis. Sejak tahun 1999
menjadi dosen di Jurusan Kimia Fakultas MIPA, di Institut
Teknologi Bandung. Bidang penelitian saat ini adalah kimia
fisika material.
Ferdinand Hidayat lahir di Pontianak, Indonesia, 2 Februari
1990. Mahasiswa S1 Universitas Tanjungpura jurusan Kimia
Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura. Bidang penelitian
saat ini adalah kimia fisika material.

You might also like