Raden Samba dalam penggambaran wayang kulit buatan Kaligesing Purworejo,
koleksi museum Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Samba Raden Samba dan Gunadewa adalah saudara kandung, lahir dari rahim Dewi Jembawati yang berpasangan dengan Prabu Kresna, Raja Dwarawati. Walupun keduanya sama-sama tampan, Gunadewa mempunyai ekor panjang dan kulinya penuh bulu seperti layaknya seekor kera. Keadaan Gunadewa yang demikian tersebut dapat dimaklumi karena Dewi Jembawati adalah anak Kapi Jembawan yang adalah seekor kera prajurit Prabu Ramawijaya. Oleh karena keadaan yang demikian, Prabu Kresna dan juga Dewi Jembawati lebih menyayangi Raden Samba. Dengan perhatian dan kasih sayang yang berlebih dari Prabu Kresna, Samba tumbuh menjadi pemuda yang kurang mandiri dan manja. Sejarah hidup Samba tidaklah mulus, bahkan dapat dikatakan kelam. Pasalnya ia mencintai Hagnyanawati, isteri Prabu Setija, kakaknya sendiri lain ibu. Cinta Samba itulah yang kemudian berujung maut. Dikarenakan tidak rela Samba memadu kasih dengan istrinya, Prabu Setija murka, dan Samba menjadi korban. Peristiwa tersebut dapat diibaratkan seperti kriwikan dadi grojogan. Peristiwa yang semula kecil, dengan amat cepat menjadi besar. Berawal dari permusuhan adik dan kakak kemudian berkembang menjadi perang besar yang disebut dengan perang Gujalisuta, perang antara bapak dan anak yang masing-masing melibatkan negara besar. Kisah tersebut dalam pewayangan diberi judul Samba Sebit. Samba dibunuh secara aniaya oleh Setija kakaknya. Semasa hidupnya Samba tinggal di ksatriyan Paranggaruda. Dengan Hagnyanawati Samba meninggalkan anak satu yang diberi nama Danurwenda. herjaka HS
Dewi Durgandini (1) Prabu Basuparicara atau Prabu Basupati Raja negara Cediwiyasa yang kemudian bernama negara Wirata, adalah anak Prabu Basukesthi atau Prabu Basukiswara. Prabu Basuparicara adalah sosok raja yang dapat dikatakan istimewa. Keistimewaan tersebut dikarenakan ia dapat mengetahui bahasa binatang. Oleh karenanya Prabu Basuparicara harus pandai-pandai memanfaatkan kelebihan yang ia miliki. Karena jika tidak, mendengar apa yang dibicarakan antara para binatang, akan memecah konsentrasi dan membuat hidup ini tidak nyaman. Sadar akan hal itu, sang Prabu Basuparicara berusaha untuk mengesampingkan kelebihannya dalam hal mendengarkan pembicaraan para binatang, untuk lebih mengutamakan perhatiannya kepada Negara dan keluarga, terlebih kepada Dewi Girika istrinya. Namun ternyata pengalihan perhatihan yang dipaksakan beresiko pula. Dikarenakan terlalu mencintai istrinya, ke mana pun Prabu Basuparicara pergi, bayangan Dewi Girika tak pernah lepas dari pikirannya. Demikian juga ketika Prabu Basuparicara berburu di hutan, kecantikan wajah dan kemolekan tubuh istrinya tak pernah bisa lepas dari pikirannya. Semakin besar niatnya untuk melepaskan bayang-bayang Dewi Girika di dalam pikirannya, semakin besar pula kerinduan Prabu Basuparicara kepada istrinya. Kerinduan puncak dari seorang suami kepada istri, berubah menjadi bongkahan nafsu yang tumpah dari kelelakiannya. Akibatnya, air kama Prabu Basuparicara jatuh di atas dedaunan pohon talas yang banyak tumbuh di pinggir hutan. Di mata Prabu Basuparicara kama yang jatuh itu adalah wujud kerinduannya kepada istri yang amat dicintanya, oleh karenanya Sang Prabu ingin menyampaikan kerinduan itu kepada Dewi Girika. Dengan kelebihannya atas bahasa binatang, Prabu Basuparicara memanggil burung Gagak untuk mengantarkan air kama yang sudah dibungkus dengan daun talas kepada istrinya. Maka terbanglah burung Gagak tersebut membawa kerinduan Prabu Basuparicara kepada Dewi Girika. Di tengah perjalanan, burung Gagak tersebut diterjang oleh burung Elang, maka jatuhlah kama yang dibawa dengan paruhnya ke sungai Gangga. Di sungai Gangga, hiduplah seekor ikan besar yang lain dari pada ikan-ikan yang ada di sungai tersebut. Ikan istimewa tersebut adalah jelmaan dari bidadari Adrika yang puluhan tahun lalu dikutuk oleh Dewa. Ia dapat pulih kembali menjadi bidadari, jika ia dapat melahirkan anak manusia. Dalam masa penantian yang tak kunjung selesai, tiba-tiba dihadapan mulutnya jatuhlah segumpal kama yang dibungkus dengan daun talas. Dengan naluri yang ada, ikan kutukan itu menyambar daun talas. Sebentar kemudian, daun talas yang berisi kama Prabu Basuparicara tersebut berada di perut ikan. Tkeajaiban terjadi, tak berapa lama dari peristiwa tersebut, ikan kutukan tersebut mengandung dan melahirkan anak manusia kembar, laki-laki dan perempuan. Seperti yang sudah dijanjikan, bersamaan dengan lahirnya anak kembar tersebut, ikan tersebut pulih wujud semula, menjadi bidadari Adrika. Anak kembar yang dilahirkan Bidadari Adrika tersebut diberi nama Durgandana dan Durgandini. Sebelum naik ke kahyangan, Durgandana dan Durgandini di percayakan kepada Dasabala si tukang perahu, untuk diasuh dan dibesarkan. Kelak jika sudah dewasa haturkan kedua anak tersebut kepada raja Wirata, demikian pesan Bidadari Adrika kepada Dasabala. herjaka HS Durgandini (2) Dasabala si tukang perahu itu mengasuh anak kembar dampit (laki-laki dan perempuan) yang dilahirkan oleh Bidadari Adrika dengan penuh kasih sayang. Kedua anak tersebut tumbuh menjadi remaja yang tampan, cantik serta cerdas. Namun ada satu hal yang memprihatinkan, yaitu keadaan Durgandini. kulitnya mbekisik dan menebarkan bau amis yang menyengat. Oleh karenanya Durgandini juga disebut Laraamis. Hal tersebut berkaitan erat dengan Bidadari Adrika yang melahirkannya ketika sedang menjalani kutukan menjadi seekor ikan. Seperti yang dipesankan bidari Adrika sebelum kembali ke kahyangan, bahwa kelak jika si kembar dampit yaitu Durgandana dan Durgandini sudah dewasa, hendaknya Dasabala menyerahkan kepada raja Wirata. Dasabala tidak tahu, mengapa Durgandana dan Durgandini harus diserahkan kepada raja Wirata yang bertahta? Namun ketidaktahuannya tidak menjadikan Dasabala enggan ketika tiba saatnya, si kembar yang diasuhnya selama belasan tahun harus diserahkan kepada sang raja. Seperti yang diduga dan diragukan sebelumnya, bahwasannya yang diterima oleh raja Wirata hanyalah Durgandana. Sedangkan Durgandini dikembalikan kepada Dasabala, agar dicarikan tabib untuk menyembuhkan penyakitnya. Jika nanti sudah sembuh, bawalah kembali ke istana Selain perasaan iba karena derita Durgandini, Dasabala bahagia, karena masih diberi waktu untuk mendampingi Dewi Durgandini. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan. Dengan kasih sayang yang tak pernah pudar, Dasabala mengajari apa yang menjadi keahlihannya kepada Dewi Durgandini, yaitu mencari ikan dan menjalankan perahu. Dengan ketrampilan menjalankan perahu, Durgandini dapat membantu setiap orang yang kesulitan untuk menyeberang sungai Yamuna. Rupanya profesi sebagai tukang santang oleh Durgandini dijalaninya dengan tulus dan dijadikannya sebagai laku dan permohonan agar dirinya dibebaskan dari penyakit yang mengganggu dan memalukan. Seperti hari-hari biasanya, pagi-pagi benar, Dewi Laraamis telah menyiapkan perahunya. Dari kejauhan nampaklah seorang petapa muda yang berdiri di tepi sungai Yamuna. Dihampirinya petapa itu dengan perahunya. Sesampainya di depan Petapa muda itu, Dewi Durgandini menawarkan jasanya dan mempersilakan petapa muda itu naik di perahunya. Beberapa saat setelah petapa muda itu naik di perahu, mereka berdua saling berkenalan. Aku bernama Durgandini, tetapi banyak orang memanggilku Raraamis. dikarenakan sekujur tubuhku menebarkan bau amis yang menyengat. ucap Durgandini, sesaat setelah orang yang diseberangkan itu memperkenalkan diri bernama Palasara, seorang petapa dari Saptarga di puncak Ngukiretawu. Melihat penderitaan Durgandini, Palasara merasa iba. sebagai petapa muda yang waskita Ia dapat membaca bahwa penuturan Durgandini tersebut merupakan sebuah litani permohonan agar dirinya dilepaskan dari penyakit yang sudah belasan tahun mencengkeram hidupnya. Dengan kesaktiannya, Palasara berhasil menyembuhkan Durgandini. Dasabala bersukacita melihat bahwa putrinya telah terbebas dari mala trimala, sakit-penyakit yang menyiksa tubuhnya. Kini keelokan dan kecantikan Dewi Durgandini nampak memancar dari wajah dan tubuhnya. herjaka HS Durgandini (3) Seiring dengan proses pemulihan Dewi Durgandini dari penyandang kutukan, untuk kembali menjadi bidadari, bersih dari sesuker kotoran jiwa, ada perang besar yang tejadi. Perang antara penyakit atau memala bahkan rajanya penyakit atau Rajamala dengan Palasara. Kesembuhan Dewi Durgandini sama halnya dengan kekalahan si Rajamala. Rajamala bersama perahu dayung yang setiap hari menyatu dengan Dewi Durganini telah dipecahkan oleh petapa sakti Palasara. Perahu yang pecah menjadi dua tersebut mewujud menjadi manusia dan diberi nama Rupakenca dan Kencakarupa, sedangkan dayung perahu berubah wujud menjadi seorang putri dengan nama Dewi Rekatawati. Keempat perwujudan yang telah lama menjadi beban hidup Dewi Durgandini telah dilepaskan, dan selanjutnya diperintahkan untuk mengabdi di kerajaan Wirata. Setelah sembuh dari penyakitknya, Dewi Durgandini memancarkan kecantikan yang luar biasa. Jika sebelumnya, Dewi Durgandini ikut menyangga dosa ibunya Bidadari Adrika yang dikutuk menjadi ikan, sehingga badan sekujur kasar dan amis, kini setelah disembuhkan oleh Palasara, sang Petapa muda, Dewi Durgandini atau Dewi Laraamis, sudah tidak amis lagi. Ia berubah menjadi bidadari muda yang tubuhnya halus mulus dan sangat jelita, mewarisi kecantikan ibunya yang adalah bidadari kahyangan. Kecantikan Dewi Durgandini yang tiba-tiba memancar membuat Palasara terpana karenanya. Pertemuannya dengan Durgandini merupakan peristiwa istimewa yang mampu menggoncangkan hatinya. Walaupun sejak kanak-kanak Palasara telah menjalani laku tapa, belajar mengolah pikir serta mengendalikan rasa, ia tak kuasa menahan goncangan asmara. Ada perasaan yang tumbuh begitu cepat dan dahsyat. Perasaan yang mengkristal dan tertuju hanya kepada satu wajah, satu sosok, satu hati, serta satu nama yaitu Durgandini. Karena tidak kuasa menanggungnya, dengan kepolosan Palasara menyatakan perasaannya kepada dewi Durgandini. Entah karena hutang budi atau perasaan kagum atau sentuhan rasa yang lain, tetapi yang pasti bukan karena ketampanannya, sang Dewi Durgandini mau menerima cinta Palasara. Kedua insan muda tersebut mulai merenda benang harapan akan masa depan yang indah dan membahagiakan. Bersamaan dengan cinta mereka yang tumbuh, Dasabala, orang tua asuh Durgandini ingin membawa anak angkatnya besama dengan Palasara menghadap Prabu Basuparicara raja Wirata. Sesuai dengan janji Prabu Basuparicara, Dewi Durgandini setelah menjadi sembuh diterima di kraton Wirata, termasuk juga Palasara, yang mampu menyembuhkan Durgandini dan juga perwujudan dari penyakit dan perahu dayung Durgandini yaitu: Rajamala, Rupakenca, Kencakarupa dan Rekatawati. Bahkan untuk selanjutnya, ketika Prabu Basuparicara mengetahui bahwa diantara Durgandini dan Palasara ada benih cinta yang mulai bersemi, mereka berdua di resmikan menjadi suami istri. Tak berapa lama kemudian pasangan Palasara dan Durgandini dianugerahi seorang anak laki-laki dan diberi nama Abiyasa. Durgandini menginginkan agar Abiyasa kelak menjadi raja, tidak sengsara seperti dirinya. Namun Palasara tidak demikian, ia berharap agar Abiyasa menjadi seorang petapa atau brahmana seperti dirinya. Perbedaan pendapat antara Dewi Durgandini dan Palasara dalam hal mendampingi dan mengarahkan Abiyasa anaknya, tidak dapat dipersatukan. Keduanya kukuh bertahan dengan pendapatnya masing-masing. Maka kemudian yang terjadi adalah Palasara membawa Abiyasa ke gunung Saptarga dipuncak Wukiretawu, meninggalkan Durgandini seorang anak bidadari yang setahun lalu sangat dicintainya. herjaka HS Durgandini (4) Sang Dewi Durgandini atau Dewi Setyawati memang terpaksa harus merelakan Abiyasa anak satu-satu yang setelah tidak menyusu, dibawa oleh Palasara suaminya ke pertapaan Saptaarga. Lebih baik berpisah daripada harus mendampingi Palasara dan Abiyasa menjadi petapa di gunung Saptaarga, jauh dari keraton Wirata. Baginya, hidup sebagai petapa tidak jauh berbeda dengan hidup menderita seperti yang pernah ia jalani sejak kecil hingga dewasa, yaitu hidup yang dibuang, menjadi penjual jasa penyebrangan dengan perahunya di sungai Yamuna. Maka jika saat ini ia meninggalkan keraton Wirata untuk mengikuti Palasara sama artinya ia sengaja mengulangi penderitaannya. Semenjak Palasara membebaskan penyakit dan penderitaannya, Dewi Durgandini diperkenankan kembali keraton Wirata dan menikmati fasilitas yang ada sebagai putri raja. Pada saat itu Dewi Durgandini ingat sebuah kata-kata yang berisi pengharapan yang senantiasa diucapkan Ki Dasabala ayah angkatnya: Bersabarlah, ada saatnya nanti, penyakit dan segala penistaannya dihapuskan. Dan sekarang saatnya telah tiba, semenjak ia bertemu dan menyeberangkan Palasara. Namun jika kini ia bersama Palasara dan Abiyasa kembali naik perahu menyebrangi sungai Gangga dan sungai Yamuna, meninggalkan Wirata dan menuju Saptaarga, artinya ia siap menderita kembali bersama berbagai hal yang menyakitkan. Aku tidak siap, tidak mau menderita lagi. Aku ingin tinggal di keraton dengan segala kemewahan dan kesenangannya. Durgandini telah menggunakan jalan pikirannya dengan benar, bahwasannya ujung dari sebuah penderitaan dan kesengsaraan adalah kebahagiaan dan kemuliaan. Tidaklah mungkin setelah bahagia dan mulia dicapai, akan kembali menderita. Kemuliaan adalah puncak dari tumpukan kesengsaraan, di mana kesengsaraan tidak ada lagi, yang ada adalah kemuliaan. Ajakan suami untuk meninggalkan keraton dan mengasuh anaknya menjadi petapa dianggap menunda atau bahkan membatalkan kesempatannya untuk merasakan kebahagiaan serta kemuliaan itu. Sebuah pilihan telah diambil, ia telah memilih untuk tidak meninggalkan keraton, baik dengan atau tidak bersama suami dan anak. Hari-harinya dijalani dengan kesendiriannya. Abiyasa memang selalu hadir dalam angannya, namun tidak sebagai petapa kecil, melainkan sebagai calon raja di sebuah negara yang besar. Ketika pada suatu waktu, Dewi Durgandini sedang melakukan sesuci di sungai Gangga, ia bertemu dengan Prabu Sentanu, raja Hastinapura. Dalam pandangan pertama itu Sentanu amat terkejut melihat pancaran wajah Dewi Durgandini yang mirip sekali dengan bidadari Ganggawati isterinya yang telah kembali ke kahyangan. Untuk menyakinkan bahwa yang berada di depannya bukan Batari Ganggawati, Sentanu semakin mendekat memperkenalkan dirinya kepada Durgandini, demikian sebaliknya. Aku bukan Ganggawati sang Prabu, namaku Durgandini atau Setyawati. Pertemuan dan perkenalan diantara keduanya merupakan pertemuan bersejarah, yang nantinya akan membuat sejarah baru kerajaan Hastinapura. Dimulai dari kerinduan Prabu Sentanu kepada Batari Ganggawati dan rasa sepi Dewi Setyawati semenjak ditinggal Palasara suaminya dan Abyasa anaknya, keduanya semakin dekat. Ada kekosongan yang saling mengisi di hatinya. Walaupun wanita di hadapannya bukan Ganggawati, kehadiran Durgandini mampu mengobati kerinduan Sentanu kepada Ganggawati. Demikian sebaliknya, kehadiran Sentanu mampu mengobati rasa sepi Setyawati semenjak kepergian Palasara suaminya, dan Abiyasa anaknya ke Pertapaan Saptaarga. Gayung pun bersambut. Keduanya mulai merenda benang-benang harapan, harapan akan cinta-kasih yang member daya hidup. Adakah yang memberatkan, jika pada suatu waktu aku datang ke Wiratha untuk melamarmu?. Tidak sang Prabu, aku berharap dan bersyukur jika sang Prabu sudi meminangku. Namun sebelumnya saya mohon maaf. Setyawati berhenti sejenak untuk menenangkan hati. Ada satu permohonan yang mungkin sangat memberatkan hati sang Prabu. Permintaan apa, Setyawati? Katakanlah! Aku takut, jika hal ini aku katakana, sang prabu akan mengurungkan niatnya melamar aku. Tidak, Setyawati, apa pun yang akan kau katakan aku tetap akan meminangmu. Sungguhkah itu Sang Prabu?. Prabu Sentanu mengangguk perlahan. Sang Prabu Sentanu, jika kelak Sang Hyang Widdi Wasa mengijinkan kita untuk bersatu dan melahirkan anak laki-laki, aku berharap agar anak kita menjadi raja di Hastinapura Herjaka HS
Seta Raden Seta adalah anak sulung Prabu Matswapati raja Wirata yang berpasangan dengan Dewi Rekatawati. Seta berarti putih, nama tersebut diberikan karena Raden Seta berkulit putih. Selain berarti putih Seta berasal dari kata set atau belatung. Nama tersebut berkaitan dengan kelahiran Seta. Ada yang mengatakan bahwa Seta lahir dari set atau belatung yang ada di tubuh Dewi Durgandini, saudara kembar Prabu Matswapati, jadi tidak dilahirkan oleh Dewi Rekatawati istri Prabu Matswapati. Konon dikisahkan, Dewi Durgandini menderita penyakit kulit, hingga sekujur tubuhnya dikerumuni oleh set dan menebarkan bau amis. Penyakit yang telah menaun tersebut dapat disembuhkan oleh Begawan Palasara. Karena jasanya, Begawan Palasara dinikahkan dengan Dewi Durgandini. Setahun setelah menikah, Dewi Durgandini melahirkan anak yang diberi nama Abiyasa. Pada saat kelahiran Abiyasa ada set yang keluar bersamaan dengan bayi Abiyasa. Diperkirakan bahwa set tersebut merupakan sisa dari penyakit yang pernah diderita oleh Dewi Durgandini. Set tersebut kemudian disabda oleh Begawan Palasara maka jadilah seorang bayi dan diberi nama Seta. Raden Seta kemudian dijadikan anak sulung oleh Prabu Matswapati atau Raden Durgandana, saudara kembar Dewi Durgandini. Seta adalah seorang yang pemberani, mempunyai ilmu-ilmu tingkat tinggi, dan pusaka sakti. Batara Narada pernah meminta bantuan kepada Seta untuk mengundurkan pasukan Pancalaretna pimpinan Prabu Malangkara atau Malangdewa, yang menyerang kahyangan Suduk Pangudal-udal. Atas jasanya mengalahkan Prabu Malangkara, Seta mendapatkan Dewi Kanekawati, putri Batara Narada. Sebagai si sulung, sesungguhnya Seta akan diangkat sebagai putra mahkota, namun ia lebih senang menjalani laku sebagai petapa. Oleh karenanya sebagian besar dari waktunya dihabiskan di pertapaan Suhini, yang terletak di lereng gunung Selaperwata atau gunung Ulu-ulu. Walupun menjadi petapa, Seta adalah beteng Negara Wirata yang kuat dan tangguh. Pernah pada suatu waktu, Seta bersama Bima dan Harjuna berhasil mengundurkan musuh gabungan dari Negara Trigatra dan Negara Hastina yang sudah berhasil menangkap Prabu Matswapati dan hampir saja menduduki kraton Wirata. Ketika perang Baratayuda meletus, Seta diangkat sebagai panglima perang Pandawa untuk yang pertama kalinya. Di medan laga Seta berhasil memporak-porandakan lawan. Raden Rukmarata, putra Prabu Salya gugur di tangan Seta. Resi Bisma yang diunggul-unggulkan di Hastina, jika tidak dibantu ibunya, yaitu Dewi Ganggawati kewalahan tanding dengan Seta. Jika sesuai dengan namanya, Seta artinya putih, maka penggambaran Seta dalam pewayangan berwajah putih. Namun kebanyakan wayang Resi Seta bermuka merah, untuk menggambarkan watak pemberani, tegas getapan. herjaka HS
Matswapati dalam bentuk wayang kulit, koleksi museum Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Matswapati Di wilayah yang terletak di sebelah timur negara Dwarawati dan si sebelah selatan negara Mandura, Raden Srinada membuka hutan dan kemudian membangun sebuah kerajaan yang diberi nama Wirata. Selanjutnya Raden Srinada memerintah kerajaan tersebut dengan gelar Prabu Basurata. Setelah lanjut usia tahta negara Wirata diwariskan kepada salah satu anaknya yang bernama Prabu Basukesti. Selanjutnya, dari tangan Prabu Basukesti, tahta Wirata diwariskan kepada Raden Durgandana yang setelah naik tahta bergelar Prabu Matswapati. Di bawah masa pemerintahan Prabu Matswapati inilah negara Wirata mencapai jaman keemasan. Dikenal diseluru penjuru dunia, disegani oleh lawan maupun kawan. Hal tersebut tidak lepas dari dukungan seluruh kawula Wirata dan peran ketiga putra raja yang menjadi beteng negara Wirata yatiu Raden Seta, Raden Utara dan Raden Wratsangka. Prabu Matwapati banyak membantu Pandawa Lima yang teridi dari Yudistira, Bimasena, Harjuna, Pinten dan Tangsen, pada waktu mereka membuka hutan untuk mendirikan keraton. Juga pada masa Yudistira dan kelima saudaranya dalam pembuangan. Bagi Pandawa, Prabu Matswapati adalah dewa penolong, yang telah mengangkat Pandawa dari dalam keterpurukan. Demikian pula sebaliknya, bagi Prabu Matswapati, Pandawa adalah dewa penyelamat, yang telah menyelamatkan negara dan dirinya dari kehancuran dan kematian, ketika negara Wirata diserbu oleh prajurit gabungan dari negara Trigata dan Negara Hastina yang dipimpin oleh Prabu Susarma. Bima yang pada waktu itu menyamar sebagai jagal di Wirata dan Harjuna yang menyamar sebagai guru tari, berhasil membebaskan Prabu Matswapati yang telah ditawan, dan mengundurkan musuh. Pada peristiwa paling berdarah sepanjang sejarah negara Wirata, yang dikenang dengan sebutan Geger Wirata tersebut, Prabu Matswapati mengira bahwa yang berhasil merebut dirinya dari tangan musuh dan mencerai- beraikan pasukan lawan adalah ketiga anaknya. Maka ketika mengetahui dengan senyatanya bahwa yang menolong dirinya adalah Bima dan Harjuna, ada perasaan bersalah dan beban dosa di hati Prabu Matswapati karena tidak mengenali ksatria utama yang telah bergabung setahun lalu, sebagai pembantu berderajat rendah di Negara Wirata. Semenjak peristiwa tersebut kedekatan hubungan antara Prabu Matswapati dan Pandawa melebihi saudara. Diantara mereka merasa saling berhutang budi. Oleh karenanya ketika perang Baratayuda pecah, Prabu Matswapati beserta seluruh prajuritnya secara resmi menyatakan bergabung dengan Pandawa. Bahkan Prabu Matswapati, Seta, Utara dan Wratsangka bersedia sebagai tawur perang korban perang untuk yang pertama kali. Prabu Matswapati menikah dengan Dewi Rekatawati dan mempunyai empat anak yaitu: Raden Seta, Raden Utara, Raden Wratsangka dan Dewi Utari.. herjaka HS
Dewi Utari, (tanpa samir) dalam bentuk wayang kulit purwa, koleksi museum Tembi Rumah Budaya, buatan Kaligesing Purworejo (foto: Sartono) Utari Dewi Utari adalah putri bungsu dari empat bersaudara, anak pasangan Prabu Matswapati atau Prabu Durgandana, raja negara Wirata dengan permaisuri Dewi Rekatawati, putri angkat Resi Palasara dengan Dewi Durgandini. Ke tiga kakak Dewi Utari adalah Raden Seta, Raden Utara dan Raden Wratsangka. Dewi Utari disebut sebagai babone ratu yaitu yang menjadi induk dari ratu. Hal tersebut dikarenakan ia mendapatkan anugrah Wahyu Hidayat, yang menandai bahwa dirinya kelak akan menurunkan raja besar. Oleh karenanya Kresna yang mengetahui hal itu menginginkan agar Abimanyu, yang akan menurunkan raja dikarenakan mendapatkan anugerah Wahyu Cakraningrat memperistri Utari. Dengan demikian antara Wahyu Cakraningrat dan Wahyu Hidayat akan menyatu di dalam keturunan Abimanyu dan Utari. Jika pun ada yang mengabarkan bahwa perkawinan antara Abimanyu dan Utari melalui sayembara Pondong, tentunya hal tersebut hanyalah sebagai cara untuk mengesahkan perkawinan diantara keduanya. Karena wahyu Hidayat itulah, tidak ada laki-laki yang kuat memondong Utari, kecuali laki- laki yang mendapatkan Wahyu Cakraningrat, yaitu Abimanyu. Walaupun sesungguhnya Abimanyu sudah beristri Siti Sendari, para sesepuh yang berpengaruh yaitu Prabu Kresna dan Prabu Matswapati menyetujui dan mengesahkan perkawinan antara Abimanyu dan Utari. Namun bukan berarti perkawinan Abimanyu dan Utari yang telah diberi restu tersebut berlangsung lancar. Ada dua prahara yang mengiring perkawinan keduanya, yaitu gugurnya Kala Bendana dan dan sumpah Abimanyu. Kala Bendana gugur di tangan Gatotkaca keponakannya dalam upaya menegakkan kejujuran karena mengatakan hal yang sejujurnya bahwa Abimanyu telah beristri Dewi Siti Sundari. Sedangkang Sumpah Abimanyu merupakan penyangkalan dari apa yang dikatakan Kala Bendana di hadapan Dewi Utari yang menyatakan bahwa dirinya belum berisitri. Aku bersumpah jika aku sudah beristri, kelak dalam perang Baratayuda aku akan gugur dengan seribu luka. Demikian sumpah Abimanyu. Dewi Utari adalah seorang putri yang cantik jelita, dan dikasihi dewa. Ia berperangai lembut dan berwatak halus, berwibawa dan setia berbakti. Hasil pernikahan Utari dengan Abimanyu, lahirlah seorang anak laki-laki dan diberi nama Parikessit. Seperti telah diramalkan para cerdik pandai, Parikesit menjadi raja besar di Hastiapura. Herjaka HS
Tokoh Kala Bendana digambarkan pada wayang kulit purwa buatan Kaligesing Purworejo, koleksi museum Tembi Rumah Budaya. (foto: Sartono) Kala Bendana Tokoh yang satu ini erat hubungannya dengan ketokohan Gatotkaca. Kala Bendana termasuk bangsa raksasa dari kerabat bangsawan keraton Pringgandani. Ia adalah saudara bungsu dari Dewi Arimbi ibu Gatotkaca. Sehingga ia adalah paman Gatotkaca. Secara fisik Kala Bendana tidak sempurna, tubuhnya kerdil, tangannya cacat dan bicaranya cedal tidak jelas. Namun ada sesuatu yang sangat bernilai melekat pada dirinya yaitu, jujur dan berani mempertahankan kejujurannya, walau sampai harus mengorbankan nyawanya. Sesuai dengan kapasitasnya, Kala Bendana berpikir dan bertindak dengan cara yang sederharna. Dalam pergaulannya dengan saudara dan sesamanya, Kala Bendana selalu menginginkan ketentraman dan kedamaian. Sikap tersebut nampak jelas saat terjadi pertentangan diantara saudara-saudara perihal pengangkatkan Gatotkaca sebagai raja muda Pringgandani, Kala Bendana bertindak sebagai penengah. Kepada Gatotkaca keponakannya, Kala Bendana menaruh cinta yang tulus. Ia dengan setia menempatkan diri sebagai pamomong. Seperti juga yang dialami oleh kebanyakan pejuang nilai-nilai kejujuran, Kala Bendana mengalami nasib tragis dalam upaya mempertahankan sebuah nilai kejujuran. Kisahnya adalah ketika Kala Bendana mengikuti Gatotkaca dan Abimanyu yang disarankan oleh Batara Kresna untuk mengunjungi Dewi Utari di Negara Wirata. Pertemuan Abimahyu dan Dewi Utari ini merupakan sekenario besar yang disusun Batara Kresna, menyangkut keberadaan wahyu raja. Dasar berpijaknya adalah prediksi masa depan. Batara Kresna mengetahui bahwa jika Abimanyu mengawini Utari, ia akan menurunkan raja besar, yang nantinya akan menduduki Negara Hastina. Oleh karenanya ia menginginkan Abimanyu mengambil istri Dewi Utari anak Prabu Matswapati raja Wirata, yang adalah babone ratu Gayung pun bersambut, dalam perjumpaan yang diatur itu, Abimanyu dan Utari saling jatuh cinta. Mereka berjanji akan melanjutkan percintaan ini ke pelaminan. Namun sebelum melangkah lebih jauh Utari bertanya kepada Abimanyu, apakah dirinya belum mempunyai istri? Abimanyu menjawab belum. Pada hal sesungguhnya Abimanyu sudah mempunyai istri Dewi Siti Sundari. Hal itulah yang kemudian dikatakan yang senyatanya oleh Kala Bendana, bahwa Abimanyu telah berbohong kepada Utari. Gatotkaca yang kala itu mendampingi Abimanyu memperingatkan kepada Kala Bendana untuk diam, tidak usah ikut campur dalam urusan ini. Kala Bendana tidak takut atas peringatan Gatotkaca. Ia tetap mengatakan bahwa Abimanyu sudah mempunyai istri namanya Dewi Siti Sundari, anak Batara Kresna. Gatotkaca yang ditugaskan oleh Batara Kresna mengawal menjaga dan mensukseskan recana tersebut kawatir bahwasannya rencana tersebut akan gagal, gara-gara kejujuran Kala Bendana. Oleh karenanya, sebelum Utari mempercayainya, Kala Bendana diseret ke luar untuk diamankan. Namun entah apa yang terjadi. Apakah ketika Gatotkaca tidak lagi dapat menahan amarah, ajian-ajian sakti yang ada di tubuhnya keluar dengan sendirinya. Seperti misalnya aji Ismu Gunting, yang dapat memutus leher lawan hanya dengan tangannya. Atau aji Narantaka yang dapat menghancurkan lawan hingga jadi debu. Pada kenyataannya Kala Bendana mati di tangan Gatotkaca. Di awal tulisan ini telah disinggung bahwa ketokohan Gatotkaca erat hubungannya dengan ketokohan Kala Bendana. Keduanya sama-sama menjadi pahlawan. Kala Bendana gugur membela nilai kejujuran, sedangkan Gatotkaca gugur membela Negara. Namun ironisnya kepahlawanan Gatotkaca justru tercoreng karena kejujuran Kala Bendana. Kejujuran yang seharusnya dibela oleh seorang pahlawan, termasuk jujur untuk gelar kepahlawannannya. herjaka HS
Gatotkaca, dalam bentuk wayang kulit, hasil karya dari Kaligesing Purworejo, koleksi Museum Tembi Rumah Budaya (Foto: Sartono) Gatotkaca Sejak kekalahannya melawan Dursala, Gatotkaca berguru kepada eyangnya yang bernama Resi Seta, di pertapaan Suhini di gunung Sela Perwata. Untuk mengalahkan aji Gineng yang dimiliki Dursala, Gatotkaca diberi ajian sakti yang bernama Aji Narantaka. Barang siapa terkena ajian ini akan hancur menjadi debu. Ajian ini sesungguhnya merupakan kekuatan alam yang terdiri dari: bumi. api, air dan angin. Siang malam Gatotkaca menjalani laku untuk belajar menggunakan energi bumi yang kuat, energi api yang panas, energi air yang dingin dan energi angin yang ringan. Tahapan demi tahapan, baik lahir maupun batin dijalani oleh Gatotkaca untuk mematangkan Aji Narantaka. Setelah menuntaskan aji Narantaka, Gatotkaca turun gunung dan ingin segera berperang kembali dengan Dursasana yang telah mengalahkannya. Di tengah jalan ia bertemu dengan Dewi Sumpaniwati yang mengungkapkan niatnya agar dirinya dijadikan istri oleh Gatotkaca. Menurut pengakuannya, Dewi Sumpaniwati jatuh hati kepada Gatotkaca sejak ia bermimpi memadu- kasih dengannya. Permohonan Dewi Sumpaniwati ditolak. Saat ini fokus utama tidak pada wanita, melainkan kepada Dursala. Namun Sumpaniwati tidak mau menarik niat, ia bersikeras untuk diperistri Gatotkaca. Gatotkaca marah, dengan nada tinggi ia berkata bahwa dirinya mau memperistri Sumpaniwati asalkan ia kuat menghadapi Aji Narantaka. Pada saat itu Dewi Wilutama masuk ke diri Sumpaniwati sehingga ia kuat menerima aji Narantaka. Semula, ketika pertamakali berjumpa sesungguhnya Gatotkaca mengakui kecantikan Sumpaniwati, hanya saja ia sengaja menolaknya karena ada hal yang lebih mendesak untuk dilakukan terlebih dahulu, yaitu mengalahkan Dursala. Namun dikarena kesaktiannya Sumpaniwati yang kuat menerima aji Narantaka, Gatotkaca berubah pikiran. Dengan serta merta dipondongnya Dewi Sempaniwati yang sintal untuk kemudian dijadikannya istri. Resi Sumpanajati menyetujui putri tunggal diambil istri oleh Raden Gatotkaca. Demikian pula Batara Kresna menyetujui perkawinan tersebut. Oleh Batara Kresna nama Dewi Sumpaniwati diganti dengan nama Dewi Galawati, karena perkawinan ini terlaksana setelah Dewi Sumpaniwati di gala dengan Aji Narantaka. Setelah semuanya selesai, Gatotkaca menuju Tegal Kurusetra untuk menantang Dursala berperang tanding. Walaupun pada akhirnya Dursala dapat dihancurkan dengan aji Narantaka, perang tanding itu cukup memakan waktu lama, keduanya menunjukkan kesaktiannya dengan mengeluarkan jurus-jurus andalan. Gatotkaca dicatat sebagai pahlawan bangsa, karena pengorbanannya dalam membela negara. Sifat kepahlawannannya nampak menonjol ketika terjadi perang Baratayuda. Walau disadari bahwa di dalam tubuhnya telah bersarang warangka pusaka Kuntawijayandanu, Gatotkaca dengan gagah berani menghadapi Adipati Karno. Pada saat senjata pamungkas yang adalah Kuntawijayandanu dibidikkan dan mengancam Padepokan Randu Watangan tempat Puntadewa dan para pepunden berada, Gatotkaca terbang secepat kilat membendung serangan itu. Secepat kilat pula Kuntawijayandanu masuk kesarungnya, kembali ke wadahnya melalui pusar Gatotkaca, dan menjadi satu dengan raga Gatotkaca. Hari kesepuluh sesudah perang Baratayuda berlangsung, Gatotkaca gugur di medan laga ditembus panah Kuntawijayandanu dan jatuh menimpa kereta Adipati Karno. Kematian Gatotkaca disatu sisi telah menyelamatkan Puntadewa namun disisi lain telah membawa banyak korban di pihak Kurawa, Awangga dan juga Pringgandani. Kelak dikemudian hari sifat kapahlawanan Gatotkaca diwarisi oleh Jayasumpena, anaknya hasil perkawinannya dengan Dewi Galawati. herjaka HS Gatotkaca 2 Sejak bayi, Raden Tetuka atau Raden Gatotkaca telah menunjukkan kelebihannya. Tali pusarnya yang tidak dapat dipotong dengan berbagai macam senjata tajam, kecuali dengan sarung pusaka Kunta Wijayandanu, menandakan bahwa ia bukanlah bayi sembarangan. Ditambah lagi dengan melesaknya sarung pusaka Kunta Wijayandanu ke dalam pusar Gatotkaca dan menyatu dengan tubuhnya, menjadikan bayi Gatotkaca tidak sama dengan bayi pada umumnya. Oleh karenanya ia dipilih menjadi jagonya dewa untuk memerangi musuh sakti yang memporak-porandakan kahyangan. Pada mulanya kedua orang tua dari Gatotkaca yaitu Wrekudara dan Arimbi, tidak memperbolehkan Gatotkaca yang masih bayi dijadikan jago oleh para dewa untuk melawan Patih Sekipu dan Prabu Naga Pracona. Namun setelah dijelaskan oleh Batara Narada bahwa hanya bayi Gatotkaca yang dapat mengalahkan Patih Kala Sekipu dan Prabu Naga Pracona, Wrekudara dan Arimbi memperbolehkan bayi Gatotkaca dibawa di kahyangan. Sesampainya di kahyangan, Batara Narada langsung menuju Repat Kepanasan, tempat Prabu Naga Pracona dan Patih Sekipu menunggu jawab, boleh atau tidaknya Dewi Gagar Mayang diboyong ke negara Ngembat Keputihan. Kehadiran Batara Narada bersama Gatotkaca mengejutkan mereka. Terlebih ketika diketahuinya bahwa bayi yang dibawa Narada adalah jagonya para dewa, yang harus terlebih dahulu dikalahkan sebelum memboyong Dewi Gagar Mayang. Ha ha ha, rupanya dewa sudah kehilangan nalar, karena saking takutnya seorang bayi di jadikan jago untuk melawan kami, ledek Prabu Naga Pracona dan Patih Kala Sekipu, beserta bala raksasa. Namun tatkala Kala Sekipu ingin membunuh Gatotkaca dengan sekali gigit, tawa mereka berhenti seketika. Gatotkaca tidak terluka karena gigitan Kala Sekipu. Bahkan ia dapat melepaskan diri dari terkamannya. Kala Sekipu marah, Gatotkaca dibanting hingga pingsan. Narada segera mohon waktu untuk memulihkan tenaga Gatotkaca. Gatotkaca dipasrahkan kepada empu Anggajali agar ditempa di kawah Candradimuka dengan berbagai macam pusaka kahyangan. Pusaka yang dihujamkan tersebut satu-persatu masuk ke tubuh Gatotkaca, seperti warangka Kunta Wijayandanu yang masuk di pusar Gatotkaca. Dalam sekejab Gatotkaca telah menjelma menjadi anak perkasa yang kebal terhadap berbagai macam senjata tajam. Patih Kala Sekipu dibuat semakin kesulitan untuk mengalahkan Gatotkaca. Setiap kali Kala Sekipu menghajarnya, Gatotkaca justru bertumbuh menjadi besar. Hingga akhir menjadi manusia dewasa yang perkasa dan sakti mandraguna. Kala Sekipu dan Naga Pracona mati di tangan Gatotkaca. Sejak peristiwa itu nama Gatotkaca melambung tinggi. Ia dikenal sebagai ksatria muda yang sakti mandraguna, berotot kawat dan bertulang besi. Oleh rakyat Pringgandani yang sebagian besar raksasa, Gatotkaca diangkat menjadi raja. Tidaklah heran, sebagai anak muda yang sakti dan mempunyai jabatan tertinggi, Gatotkaca ingin memamerkan kesaktian dan kekuatannya. Demi tujuan tersebut Gatotkaca mengumpulkan prajurit dan ksatria untuk melakukan latihan perang di Tegal Kurusetra. Tindakan Gatotkaca tersebut sangat mengejutkan. Karena dilakukan di Tegal Kurusetra, beberapa bulan sebelum perang Baratyuda meletus, tanpa memberi tahu terlebih dahulu kepada pihak Kurawa dan juga pihak Pandawa. Tindakan Gatotkaca tersebut telah memancing Dursala calon senapati perang dari pihak Kurawa, yang adalah anak Dursasana, mendatangi perkemahan Gatotkaca untuk menantang perang tanding. Gatotkaca yang adalah jagonya para dewa, sakti mandraguna, otot kawat balung wesi, jatuh terpuruk di kaki Dursala yang mempunyai aji gineng. Gatotkaca merasa malu, dan menyadari bahwa kesaktiannya belum cukup untuk menandingi Dursala. Ia meninggalkan Dursala dan berjanji akan menemuinya kembali untuk mengalahkannya. herjaka HS Gatotkaca Gatotkaca adalah anak Raden Wrekudara atau Bima, dari istri nomor dua yaitu Dewi Arimbi, adik seorang raja raksasa dari Pringgondani. Pada waktu lahir, Gatotkaca telah menunjukkan keistimewaannya dibandingkan dengan bayi pada umumnya. Keistimewaan tersebut nampak pada tali pusar bayi Gatotkaca. Tali pusar yang menyatukan antara pusar Gatotkaca dan plasenta tersebut tidak dapat dipotong dengan berbagai senjata tajam. Oleh karena hal itu, Wrekudara dan juga kerabat Pandawa merasa prihatin dan berupaya mencari senjata yang dapat memotong tali pusar bayi Gatotkaca. Bersamaan dengan kesulitan yang dihadapi para Pandawa, para Dewa pun berada dalam kesulitan. Pasalnya tempat kahyangan para dewa telah dikepung oleh Prabu Naga Pracona bersama dengan Patih Kala Sekipu dan bala tentara raksasa dari negara Ngembat Keputihan. Tak satu pun diantara para dewa yang dapat mengalahkan dan mengusir Patih Kala Sekipu dan Prabu Naga Pracona. Jika Dewi Gagar Mayang tidak diberikan kepada Prabu Naga Pracona, kahyangan akan dibumi hanguskan. Mengetahui akan kesaktian bayi Gatotkaca, Batara Guru mengutus Batara Narada mengirim pusaka sakti yang bernama Kuntawijayandanu kepada Arjuna agar dapat digunakan memotong tali pusar bayi Gatotkaca. Tetapi jika nanti tali pusar bayi telah putus, hendaknya Wrekudara dan para kerabat Pandawa merelakan bayi Gatotkaca dibawa ke kahyangan untuk dijadikan jago para dewa dalam menghadapi musuh sakti. Batara Narada yang turun ke arcapada dengan membawa panah pusaka Kuntawijayandanu yang sedianya akan diberikan kepada Arjuna, ternyata keliru diberikan kepada Suryatmaja. Akibatnya diantara kedua ksatria yang hampir sama wajahnya itu saling berebut pusaka Kuntawijayandanu. Arjuna mendapat warangka atau wadahnya, sedangkan Suryatmaja membawa pusakanya. Atas kejadian tersebut Batara Narada memohon maaf kepada Arjuna dan meyakinkan bahwa dengan wadah Kuntawijayandanu, talipusar Gatotkaca dapat dipotong. Benar apa yang dikatakan Batara Narada, tali pusar Gatotkaca dapat putus dengan warangka Kunta Wijayandanu. Keelokan terjadi, bersamaan dengan putusnya tali pusar Gatotkaca, warangka Kuntawijayandanu hilang musnah, melesak di pusar Gatotkaca. Selanjutnya, bayi Gatotkaca dibawa ke kahyangan. Namun sebelumnya, Gatotkaca yang masih bayi dimasukan ke kawah Candradimuka agar menjadi satria yang sakti mandraguna. Oleh Batara Guru, Gatotkaca diberi pusaka berupa: Caping Basunanda, Kotang Antrakusuma, dan alas kaki bernama Terumpah Padakacerma. Dalam usia yang relatif muda Gatotkaca diwisuda menjadi raja para raksasa di negara Pringgandani yang adalah warisan dari Dewi Arimbi ibunya, dengan gelar Prabu Anom Gatotkaca. Ia beristri tiga orang yakni: Dewi Pergiwa, Dewi Sumpaniwati dan Dewi Suryawati. Dari ketiga istri tersebut Gatotkaca menurunkan tiga anak laki-laki, yakni: Sasikirana, Jayasumpena, dan Suryakaca. Nama lain Gatotkaca adalah: Tutuka, Purubaya, Arimbiatmaja, Krincingwesi, Guruputra, Surya Narada, Senaputra, Bendarares. Menurut cerita wayang versi India, Gatotkaca adalah anak seorang Raseksi Hidimbi, oleh karenanya Gatotkaca lahir sebagai bayi yang berparas raksasa dengan kepala gundul. Sangat berbeda dengan cerita wayang di Jawa bahwa Gatotkaca adalah satria gagah tampan berpakaian serba gemerlap. herjaka HS
Danaraja dalam bentuk wayang kulit, buatan Kaligesing Purworejo, koleksi museum Tembi Rumah Budaya. (foto: Sartono) Danaraja Danaraja atau Wisrawana adalah anak Prabu Lokawarna raja negara Lokapala yang berpasangan dengan Dewi Lokawati. Ketika Dewi Lokawati melahirkan, Batara Brahma datang. Ia menyaksikan bayi yang dilahirkan Dewi Lokawati mirip sekali dengan ayahnya, maka diberilah nama Wisrawana. Nama Wisrawana ini di sesuaikan dengan nama Wisrawa, yang adalah nama ayahnya sebelum menjadi raja. Setelah Wisrawana dewasa, ia mendapat warisan tahta negara Lokapala, dan menjadi raja bergelar Prabu Danaraja atau Danapati. Semenjak tahta pemerintahan negara Lokapala dipasrahkan kepada Wisrawana, Prabu Lokawarna meninggalkan negeri Lokapala untuk bertapa di pertapaan Girijembangan, dengan sebutan Begawan Wisrawa. Salah satu cacatan suram yang pernah menghampiri negara Lokapala dalam pemerintahan Prabu Danaraja adalah, ketika begawan Wisrawa dimohon oleh Prabu Danaraja untuk melamarkan Dewi Sukesi melalui sayembara yang digelar di Negara Alengkadiraja. Pada waktu itu Begawan Wisrawa atas nama Prabu Danaraja anaknya, berhasil memenangkan sayembara dengan membedhah ilmu Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Dengan keberhasilan tersebut, Dewi Sukesi menjadi haknya Begawan Wisrawa. Namun Dewi Sukesi bukanlah barang yang dapat diperlakukan seenaknya oleh Begawan Wisrawa. Ia tidak mau diberikan kepada Danaraja anaknya. Bukankah yang berhasil membedah ilmu Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah Wisrawa? Oleh karenanya Dewi Sukesi memasrahkan jiwa-raga hanya kepada Begawan Wisrawa. Sejatinya Begawan Wisrawa sendiri telah tak berdaya saat membedhah ilmu sakti Sastrajendra dihadapan kemolekan Dewi Sukesi. Ada magnet yang amat kuat, yang tidak mungkin dilepaskan Begawan Wisrawa. Maka pada akhirnya Begawan Wisrawa dengan sadar memilih untuk tidak menyerahkan hasil lamarannya kepada Danaraja anaknya, melainkan hasil lamarantersebut untuk dirinya sendiri. Atas keputusan sang pemenang tersebut, Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi diresmikan menjadi sepasang suami istri oleh Pabu Sumali di negara Alengkadiraja Tentu saja Danaraja menjadi marah, ia mendatangi ayahnya di Alengkadiraja untuk minta pertanggungjawaban sebagai orang tua. Wisrawa merasa bersalah, namun tidaklah mungkin untuk menyerahkan Dewi Sukesi kepada Danaraja. Dan perang tanding pun tidak dapat dihindari. Para Dewa di kahyangan merasa gerah atas perang tanding antara bapak dan anak yang telah berlangsung berhari-hari. Peperangan harus segera dihentikan, demikian Batara Guru yang adalah rajanya dewa memerintahkan kepada Batara Narada patihnya, untuk melerai pertikaian tersebut. Atas perintah Batara Guru, Batara Narada segera turun ke Arcapada (dunia) untuk melerai yang sedang bertikai. Dikatakan kepada keduanya, bahwa kejadian ini sudah sesuai dengan rencana para dewa, jodoh Dewi Sukesi adalah Wisrawa. oleh karenanya Danaraja harus menerima kenyataan ini. Dengan penjelasan Batara Narada, Prabu Danaraja mau menerima kenyataan yang terjadi. Dengan kebesaran hati Prabu Danaraja, ia diangkat menjadi Dewa dengan sebutan Batara Danaraja. Ia menjadi dewanya harta benda, dan tinggal di Kahyangan Wukir Kaliasa dan lebih dikenal dengan sebutan Batara Kwera. herjaka HS
Sembadra dalam rupa wayang kulit buatan Kaligesing Purworejo, koleksi museum Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Sembadra Sembadra adalah anak Basudewa, raja Mandura, yang berpasangan dengan Dewi Badraini. Sembadra adalah seorang putri yang cantik jelita, kulitnya hitam manis. Oleh karena itu ia juga disebut Dewi Rara Ireng, kakak- kakaknya sering memanggilnya dengan sebutan mrenges yang artinya hitam. Walaupun ia anak seorang raja besar, sejak kecil Sembadra tidak pernah merasakan kehidupan di istana. Karena ia dititipkan di Kademangan Widara Kandang bersama dengan kedua kakaknya yaitu Kakrasana dan Narayana, dan diasuh oleh Demang Antyagopa dan Endang Segopi. Penitipan tersebut dilakukan oleh Prabu Basudewa secara rahasia, demi langkah penyelamatan. Dikarenakan ketiga anak Prabu Basudewa tersebut diincar oleh Raden Kangsadewa untuk dibunuh. Ketika kakaknya Narayana menjadi raja Dwarawati, Sembadra ikut kakaknya sampai akhirnya dilamar oleh Arjuna. Walau akhirnya Sembadra menjadi istri Arjuna, pada awalnya Kakrasana tidak menyetujui, karena Sembadra akan dijodohkan dengan Burisrawa anak Prabu Salyantaka raja Mandaraka. Kisah perkawinan Sembadra dengan Arjuna ini terdapat dalam lakon Parta Krama. Parta adalah nama lain dari Arjuna. Diceritakan bahwa barang siapa yang ingin melamar Sembadra, Baladewa mengajukan syarat-buat yang tidak mudah dipenuhi oleh orang-orang pada umumnya, diantaranya: saka domas bale kencana, gamelan lokananta, kereta kencana yang ditarik oleh 144 ekor kuda pancal panggung, yakni kuda yang kakinya berwarn putih mulai dari lutut ke bawah, dan kera putih yang dapat menari di atas pecut penjalin tingal. Dibantu oleh kerabat Pandawa dan para dewa, Arjuna dapat memenuhi semua syarat yang diajukan oleh Kakrasana. Sembadra adalah sosok wanita yang mendapat wahyu raja dan kelak akan menurunkan raja besar, oleh karenanya ia dijuluki dengan babone ratu. Dari perkawinan dengan Arjuna, Sembadra melahirkan seorang anak laki- laki bernama Abimanyu. Nama lain Sembadra adalah: Dewi Bratajaya (ketika masih muda), Lara Ireng (berkulit hitam manis), Kendeng Retnali (ketika menyamar di Kedemangan Widara Kandang) dan Mrenges (biasa dipanggil oleh kakak- kakaknya). herjaka HS
Prabu Setija dalam bentuk wayang kulit purwa buatan Kaligesing Purworejo, koleksi museum Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Setija Setija adalah anak dari Prabu Kresna, raja Dwarawati, yang berpasangan dengan Dewi Pertiwi, seorang bidadari anak Sang Hyang Nagaraja. Setija adalah seorang ksatria gagah, sakti dan tampan. Ia tinggal bersama Dewi Agnyanawati istrinya di kerajaaan Trajutrisna atau sering disebut Kerajaan Surateleng. Setija diangkat menjadi raja oleh para punggawa serta wadyabala negara Trajutrisna yang sebagian besar adalah raksasa, setelah ia berhasil menaklukan Prabu Bomantara raja Trajutrisna sebelumnya. Walaupun Setija adalah seorang raja muda, tampan dan sakti, ia tidak pernah mendapatkan cinta dari seseorang yang seharusnya memberikan cintanya, yaitu Agnyanawati istrinya. Bahkan pada suatu saat, Setija pernah memergoki istrinya sedang memadu kasih dengan Raden Samba adiknya. Pada mulanya Prabu Setija memaafkan perbuatan adiknya terhadap istrinya. Karena sesungguhnya prabu Setija sangat menyayangi Samba adiknya yang amat tampan ini. Namun dikarenakan semakin lama perilaku adiknya dan juga dibarengi dengan perilaku istrinya semakin tidak tahu diri, rasa sayang itu berubah menjadi rasa benci. Harga diri Prabu Setija telah diinjak-injak. Gelombang amarah yang sangat besar telah menggulung prabu Setija, sehingga mata hati menjadi gelap pekat. Wajah rupawan adiknya telah menjelma menjadi sosok iblis menakutkan yang harus segera dilumatkan. Dalam sekejab ketampanan raden Samba hilang, termasuk juga hilangnya keindahan badannya, dan kemudian disusul dengan hilangnya nyawanya. Raden Samba dibunuh oleh prabu Setija dengan cara di juwing-juwing atau di sebit-sebit. Kematian raden Samba membuat prabu Kresna murka. Cara Setija dalam menyelesaikan masalah dianggap salah. Menanggapi kemarahan ayahnya, Setija yang dipengaruhi oleh patih Pancatnyanya, menghadapi kemarahan ayahnya dengan kemarahan pula. Sehingga terjadi perang besar antara negara Dwarawati melawan negara Trajutrisna. Perang besar antara bapak melawan anak yang melibatkan dua negara besar disebut perang Gojali Suta. Dalam peperangan tersebut Kresna berhasil membunuh Setija anaknya atas bantuan dewa dan bantuan Gatutkaca. Herjaka HS Kunti
Kunti atau Dewi Prita adalah anak Raja Kuntiboja dari negara Mandura. Setiap ada tamu kehormatan yang datang di negara Mandura, Kunti lah yang mendapat kepercayaan oleh Prabu Kuntiboja untuk menyambut tamu kehormatan tersebut. Karena perangainya yang lembut, sabar dan mempesona, banyak tamu negara yang memuji cara Kunti menjamu tamu- tamunya. Salah satu tamu kehormatan yang sangat kagum kepada kunthi adalah seorang begawan sakti dan nyentrik bernama Begawan Druwasa. Saking senangnya kepada Kunti, Begawan Druwasa mengangkat Kunti sebagai murid dan memberi mantra sakti aji pameling atau Aditya Herdaya, yang dapat mendatangkan dewa sesuai dengan keinginannya. Disuatu pagi nan cerah, Kunthi sengaja bermalas-malasan di tempat tidur, sehingga hari semakin siang. Sinar matahari mulai menembus celah-celah kamarnya. Oh begitu indah sinar mentari di siang itu, Kunthi terhenyak dari tilam sari dan segera mandi. Masih terpana dengan indahnya sinar surya disiang itu, pada saat mandi Kunti membayangkan betapa indahnya pula Dewa yang berada dibalik keindahan matahari tersebut. Niatnya untuk bertemu dengan dewa Surya semakin kuat, maka kemudian Kunti membaca mantra aji Aditya Herdaya. Selesai mantra dibaca, Dewa Surya datang menemui Kunti. Akibat dari pertemuan tersebut Kunti hamil. Raja Kuntiboja murka, Kunti akan disingkirkan dari negara Mandura, karena telah mencemarkan nama orang tua dan kewibawaan negara Mandura. Namun sebelum Prabu Kuntiboja menghukum Kunti, Begawan Druwasa datang untuk menolong Kunti muridnya. Dengan kesaktiannya, bayi yang ada di dalam kandungan dikeluarkan melalui telinga, sehingga Kunti masih tetap perawan. Bayi yang lahir melalui telinga tersebut diberi nama Karno, yang artinya telinga. Atas perintah Prabu Kuntiboja bayi tersebut di masukan ke dalam kendaga dengan pakaian lengkap kemudian hanyutkan di sungai Gangga. Agar peristiwa memalukan tidak terulang lagi, Prabu Kuntiboja berniat menikahkan Kunti dengan membuka sayembara. Dan sayembara tersebut dimenangkan oleh Pandudewanata. Kunti kemudian dinikahkan dengan Pandudewanata, raja Hastinapura. Dalam perjalanan mengarungi bahtera rumah tangga, Pandudewanata mendapat kutukan dari Resi Kimindamana, bahwa dirinya akan mati mendadak jika melakukan hubungan suami istri. Oleh karena kutuk tersebut, Kunti sebagai pendamping yang setia ingin membesarkan hati Pandu agar jangan putus asa, masih ada harapan untuk masa depan Hastinapura. Masa depan Hastinapura senantiasa gelap adanya, karena kutukan Resi Kimindama, aku tidak mampu memberikan anak keturunan untuk menyambung tahta Hastinapura. Kunti meyakinkan bahwa masih ada harapan untuk masa depan Hastinapura yang cerah. Tiba-tiba wajah Pandu yang murung berubah cerah. Ia teringat akan cerita Kunti tentang mantra sakti aji Aditya Herdaya pemberian Begawan Druwasa. Dengan penuh kesungguhan, Pandu memohon kepada Kunti agar bersedia mengetrapkan mantra aji Aditya Herdaya untuk mendapatkan anak demi masa depan Hastinapura. Karena ketaatannya kepada Pandu, maka kemudian dengan mantra sakti Aditya Herdaya Kunti mendatangkan tiga dewa sesuai dengan keinginan Pandu, yaitu dewa Darma, Dewa Bayu dan dewa Indra. Dari ketiga dewa itulah Kunti melahirkan Puntadewa, Bimasena dan Harjuna. Setelah itu Kunti mengajari Dewi Madrim istri Pandu yang satunya, untuk membaca mantra sakti pemberian Begawan Druwasa. Maka kemudian datanglah dewa kembar yang bernama dewa Aswan dan dewa Aswin. Dari mereka berdua, Dewi Madrim melahirkan anak kembar yang diberi nama Pinten dan Tangsen, atau Nakula dan Sadewa. Kunti adalah seorang wanita yang sabar, taat dan setia pada suami dan sangat mencintai anak-anaknya. Ia adalah sosok pendamping yang mampu memberikan cahaya, dikala pasangannya sedang jatuh dalam gelap. herjaka HS
Pandudewanata dalam bentuk wayang kulit buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Museum Tembi Rumah Budaya. (foto: Sartono) Pandudewanata Raden Pandu adalah anak kedua raja Hastina yang bernama Abiyasa atau Prabu Kresnadwipayana, yang berpasangan dengan salah satu dari ketiga putri negara Kasi atau Giyantipura, yaitu Dewi Ambalika. Raden Pandu mempunyai wajah yang tampan, tetapi mukanya pucat dan lehernya tengeng (kaku selalu menengok). Walaupun mempunyai cacat secara fisik, Pandu adalah satria yang sakti mandraguna serta patuh kepada orang tua. Dikarenakan kakak Pandu buta, maka Raden Pandu menggantikan ayahandanya menjadi raja di Negara Hastinapura dengan gelar Prabu Pandudewanata. Ia beristrikan Dewi Prita atau Dewi Kunti anak raja Mandura Prabu Kuntiboja, yang didapat melalui sayembara di negara Mandura, serta Dewi Madrim, anak Prabu Mandrapati raja Mandaraka. Dari kedua istri tersebut Pandu tidak mendapatkan anak, karena kutukan Resi Kimindama, yang disotkan (dikutukan) setelah Pandu membunuh istri Resi Kimindama dengan panah. Hai Pandu raja yang bodoh! engkau akan binasa ketika melakukan saresmi dengan istrimu. Pandu sangat terkejut, tidak menyangka bahwa sepasang kijang yang sedang berpasihan di rumput hijau tersebut jelmaan Resi Kimindama dan istrinya. Oleh karena kutukan itu, Pandu bersama kedua istrinya yaitu Kunti dan Madrim tidak mendapatkan anak. Kepada siapakah negara Hastina akan diwariskan? Pandu sangat gelisah, sebagai raja besar ia tidak mempunyai keturunan. Ia kemudian meminta kepada Kunthi yang mempunyai aji Aditya Herdaya pemberian Resi Druwasa. Dengan aji tersebut Kunti dapat mendatangkan Dewa sesuai dengan keinginannya untuk memberikan anak. Maka kemudian lahirlah dari rahim Kunti secara berurutan: Puntadewa pemberian Dewa Darma, Bimasena pemberian Dewa Bayu, Harjuna pemberian Dewa Indra, dan disusul anak kembar Nakula dan Sadewa pemberian Dewa Aswan dan Dewa Aswin yang lahir dari rahim Madrim. Kelima anak laki-laki yang lahir dari kedua istri Pandu tersebut disebut Pandawa Lima. Pada saat terjadi perang Pamukswa, perang antara negara Hastina dan negara Pringgondani, Prabu Pandudewanata berhasil membunuh Prabu Tremboko raja raksasa dari Pringgondani. Belum puas atas kematian musuhnya, mayat Prabu Tremboko diinja-injak sepuasnya. Pada waktu menginjak-injak mayat prabu Tremboko, kaki Prabu Pandudewanata menginjak keris Kalanadah yang masih dipegang Prabu Tremboko. Maka jatuhlah Prabu Pandudewanata dan untuk beberapa lama ia menderita sakit... dan kemudian wafat. Ada yang mengatakan bahwa wafatnya Prabu Pandu bukan karena keris Kalanadah, melainkan karena ia sedang saresmi dengan Dewi Madrim istrinya. herjaka HS
Kala yang adalah anak Batara Guru mendapat gelar Batara. Dan ia pun berpakaian seperti layaknya pakaian para dewa, yaitu berjubah, memakai tutup kepala ketu dewa oncit, memakai samir dan praba. Batara Kala dalam bentuk wayang kulit purwa, buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Kala Disuatu hari, ketika Batara Guru dan Dewi Uma terbang bercengkrama di atas alam desa yang indah permai, sampailah mereka berdua dipenghujung hari. Senja temaram yang indah, langit berwarna kemerah-merahan, sungguh pemandangan yang amat indah dan romantis. Kulit Dewi Uma yang tertimpa sinar mentari senja, merona cemerlang bagaikan emas murni. Batara Guru terpana melihat kecantikan Dewi Uma dan keelokan tubuhnya. Darah lelakinya bergolak. Ia lupa akan dirinya yang adalah raja dewa Suralaya, dan memaksa istrinya untuk melayani gejolak nafsunya. Dewi Uma menolak untuk melakukan perbuatan yang tidak pada tempatnya itu. Ia menghindar dari sergapan suaminya yang penuh nafsu birahi, sehingga kama Batara Guru jatuh di samodra. Batara Guru amat marah kepada Dewi Uma. Maka dikutuklah Dewi Uma menjadi raksasa dan diberi nama Batari Durga. Dikisahkan kama salah yang jatuh, mengebur samodra dibarengi dengan badai dahsyat. Lalu kemudian munculah dari samodra sinar putih berujud sosok menakutkan yang bergulung-gulung menuju Kahyangan. Atas perintah Batara Guru Kama Gumlundung demikian cahaya putih itu disebut, dihujami pusaka-pusaka andalan para dewa untuk dibinasakan, agar tidak masuk ke Kahyangan. Namun Kama Gumlundung tidak binasa oleh pusaka- pusaka para dewa yang dihujamkannya, bahkan ia mampu menyerap energi-energi para dewa dan sekaligus keempat energi alam, yaitu Guntur Geni (energi api), Guntur Banyu (energi air), Guntur Bayu (energi angin) dan Guntur Bumi (energi bumi). Dari Guntur Geni ia mendapat kekuatan, dari Guntur Banyu ia mendapat kehidupan, dari Guntur Bayu ia mendapat kecepatan gerak dan dari Guntur Bumi ia semakin tumbuh dan jadilah rasaksa umur belasan tahun. Ia meninggalkan lautan menyusuri rawa-rawa. Para dewa berlari masuk kahyangan. Raksaksa tersebut mengejarnya, sembari mengambil ganggeng dan lumut dan ditempelkan di badannya, untuk menutupi tubuhnya menirukan busana yang dipakai para dewa. Tak beberapa lama raksasa remaja tersebut telah bertemu Batara Guru. Ia ngawu-ngawu sudarma, meminta diaku sebagai anak. Batara Guru tidak dapat mengingkari nya. Ia mengakui dengan jujur bahwa geger kahyangan ini adalah merupakan akibat dari hasil perbuatannya. Oleh karenanya raksasa yang lahir dari kama salah ini diaku sebagai anak dan diberi nama Kala. Batara Guru merasa kawatir, jika hal itu dibiarkan akan menelan banyak korban. Maka, ketika Kala bersujud di hadapan Batara Guru, dipotonglah lidah dan taring Kala yang mengandung bisa itu. Potongan lidah dicipta Batara Guru menjadi senjata panah, dinamakan Pasopati. Kemudian potongan taring sebelah kanan dicipta menjadi senjata keris bernama Kalanadah, dan potongan taring sebelah kiri dicipta menjadi keris bernama Kaladete. Kala didampingi oleh Batari Durga, yaitu penjelmaan dari Dewi Uma, istri Guru yang dikutuk menjadi wanita bermuka raksasa diberi tempat di Pasetran Gandamayit. Ditempat itu mereka berkuasa atas bangsa makhluk halus. Ada yang menyebutkan bahwa tempat tinggal Kala adalah Kahyangan Sela Mangumpeng. herjaka HS
Limbuk dalam bentuk wayang kulit purwa, buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Museum Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Limbuk Limbuk dan Cangik adalah abdi raja yang bertugas melayani bendara- bendara putri di keputren, bersama dengan abdi-abdi putri lainnya. Pasangan Limbuk dan Cangik ini paling populer dibandingkan dengan abdi- abdi putri lainnya. Kepopuleran sepasang abdi tersebut bukan karena kemampuannya yang istimewa, melainkan karena ciri fisik yang dimiliki berbeda dengan abdi-abdi lainnya. Limbuk dalam bahasa Jawa artinya lemu tur wagu yaitu badannya gemuk tetapi kurang proposional. Pada masyarakat Jawa seorang wanita yang mempunyai ciri fisik gemuk tetapi tak beraturan diberi paraban atau sebutan Limbuk. Nama sebutan yang sesuai dengan ciri fisiknya tersebut justru lebih populer ketimbang nama yang sesungguhnya pemberian dari orang tua. Limbuk tergolong abdi wanita yang berparas jelek, namun genit. Oleh karenanya berkali-kali Limbuk batal dilamar. Sebagian orang menganggap bahwa Limbuk adalah anak Cangik. Tetapi ada pula yang menganggap bahwa hubungan Limbuk dan Cangik adalah hubungan teman sekerja. Lepas dari itu semua Limbuk dan Cangik merupakan pasangan yang populer dan digemari orang banyak. Saking populernya hingga ada adegan khusus yang dinamakan Limbukan. Dalam adegan ini, tokoh Limbuk dan Cangik dijadikan sarana untuk memberi informasi, pencerahan dan sekaligus hiburan. Kedua abdi tersebut saling melengkapi. Mereka sangat dekat dengan bendara putrinya. Pada saat bendara putrinya mengalami kebingungan, Cangiklah yang sering diajak berembug untuk memecahkan masalah serta mencari solusi. Sementara itu jika bendara putrinya berduka, Limbuk tampil menghibur dengan bernyanyi dan menari. Selain badannya yang gemuk pating pecotot, Limbuk mempunyai ciri fisik yang lain, yaitu: dahinya lebar, matanya pecicilan, hidung sunthi, rambutnya selalu digelung kecil dan memakai kesemekan serta jarit Banyak orang beranggapan bahwa pasangan Limbuk Cangik bukanlah abdi biasa, mereka merupakan abdi kesayangan, yang berfungsi ganda sesuai dengan kebutuhan bendara putrinya. Peran ganda itulah yang kemudian memposisikan Limbuk dan Cangik selain sebagai abdi yang melayani, juga sebagai orang tua yang memberi solusi dan sekaligus berperan sebagai sahabat yang penghibur, termasuk menghibur masyarakat luas. herjaka HS
Cangik dalam bentuk wayang kulit purwa, buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Museum Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Cangik Diantara abdi raja yang bertugas melayani bendara-bendara putri di keputren, ada dua abdi yang populer, satu diantaranya adalah Cangik. Dinamakan Cangik karena abdi putri yang satu ini mempunyai ciri fisik yang menonjol, yaitu dagunya menjorok ke depan, dalam bahasa Jawa disebut Nyangik. Oleh karena ciri fisik inilah, ia kemudian dikenal dengan nama Cangik. Nama paraban ini lebih populer ketimbang nama asli pemberian orang tua. Selain dagunya yang nyangik, ciri fisik lainnya adalah: dahinya nonong, matanya pecicilan, hidung sunthi, badannya kurus, rambutnya selalu digelung tekuk, kebiasaannya mengenakan kesemekan dan memakai jarit motif kawung. Cangik tergolong abdi yang serba bisa, setia, sabar, periang dan berwawasan luas. Ia sangat dekat dengan bendara putrinya. Pada saat bendara putrinya mengalami kebingungan, Cangik bisa diajak berembug untuk mencari solusi. Ketika bendara putrinya berduka, Cangik tampil bernyanyi dan menari untuk menghiburnya. Banyak orang beranggapan bahwa Cangik bukanlah abdi biasa, ia dapat berperan ganda sesuai dengan kebutuahan bendara putrinya. Bahkan bagi si bendara putri, Cangik dapat dijadikan pengganti orang tuanya dalam hal nasihat-nasihat yang dibutuhkan. Peran ganda itulah yang kemudian memposisikan Cangik sebagai juru penerang dan sekaligus juru penghibur kepada bendaranya dan juga kepada masyarakat luas. herjaka HS
Tokoh Cantrik ditampilkan dalam wayang kulit purwa dengan roman muka yang gembira dengan plelengan. Hidungnya ndelik atau sumpel. Bermulut sunthi dengan kumis tipis, kadang ada yang berjenggot dan berjabang. Perut buncit, memakai rompi dan memakai celana pocong dagelan. Kepalanya memakai kethu, semacam topi. Dipunggungnya, kemana-mana menyandang sabit. (wayang buatan Kaligesing Purworejo, koleksi museum Tembi Rumah Budaya, foto: Sartono) Cantrik Cantrik termasuk panakawan, namun tidak panakawan baku seperti halnya: Semar, Gareng, Petruk dan Bagong (panakawan tengen) atau pun Togog dan Bilung (panakawan kiwa). Cantrik merupakan panakawan morgan atau panakawan sampingan dan tidak baku. Walaupun tidak baku kehadiran Cantrik dalam wayang kulit purwa cukup penting. Ia hadir sebagai pengiring pendeta atau begawan, baik pendeta yang berujud raksasa maupun pendeta yang berujud ksatria, di sebuah pertapaan atau percabaan. Pada pagelaran wayang kulit Purwa, adegan percabaan ini merupakan kelanjutan dari adegan gara-gara, ketika para panakawan tengen (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong) selesai bersenang-senang menghibur, lalu mengantar seorang ksatria menuju percabaan untuk memohon pencerahan kepada pendeta yang bersangkutan. Dalam adegan percabaan ini biasanya seorang dalang memanfaatkan bertemunya Cantrik dan Semar Gareng, Petruk, Bagong dengan guyonan yang lucu dan konyol. Sesungguhnya Cantrik merupakan penggambaran seseorang yang sedang menuntut ilmu kepada pendeta atau begawan di padepokan atau percabaan. Sistem pengajaraannya menggunankan sistem khusus, yaitu sistem pengajaran paguron. Dalam sistem paguron ini, para Cantrik (laki-laki) dan Mentrik (perempuan) juga menjadi bagian dari keluarga, mereka tinggal makan dan bekerja bersama serta berfungsi sebagai pelayan atau pengasuh. Tokoh Cantrik jarang diceritakan secara khusus, kecuali tokoh cantrik yang bernama Janaloka. Cantrik yang satu ini menjadi terkenal karena keinginannya memperistri Endang Pergiwa dan ssaudara kembarnya Endang Pergiwati. Pergiwa dan Pergiwati adalah anak Arjuna dengan Endang Manuhara yang tinggal bersama eyangnya Begawan Sidik Wacana di percabaan Andong Sumiwi. Pada suatu hari kedua putri kembar itu ingin menemui Arjuna ayahnya di keraton Ngamarta. Begawan Sidik Wacana mengutus Cantrikanya untuk mengantar kedua cucunya menemui ayahnya. Namun di tengah jalan Cantrik Janaloka yang seharusnya melindungi Endang Pergiwa dan Endang Pergiwati, malahan berniat memperistrinya. Namun sebelum niat Cantrik Janaloka kesampaian, ia keburu mati ditangan para Korawa. Cerita ini menggambarkan seseorang yang memiliki keinginan, namun tidak ngilo githoke dhewe, tidak melihat kekuatan dan kenyataan yang dimilikinya. Dan juga merupakan penggambaran dari abdi yang tidak setia kepada gurunya yang selama ini telah membimbingnya. Diibaratkan pagar makan tanaman yang seharusnya dijaga malah dirusak sendiri. herjaka HS
Basukarno, sesaat setelah diwisuda menjadi seorang Adipadi (lukisan: Herjaka HS) Kidung Malam 93 Energi Matahari Di siang hari yang terik, Adipati Karno berjalan menyusuri tepi Sungai Gangga. Air sungai yang mengalir tenang mampu menampakkan wajah matahari secara utuh. Adipati Karno memilih memandangi wajah matahari tidak secara langsung, melainkan melalui gambaran yang dipantulkan oleh air sungai Gangga. Entah mengapa hal itu selalu dilakukukan oleh Adipati Karno sejak kanak-kanak hingga sekarang, saat dirinya telah diwisuda menjadi Adipati, oleh Duryudana. Jika ditanya mengapa hal itu dilakukan, Adipati Karno tidak tahu. Hanya saja saat Karno melakukan hal itu, ada getaran energi yang mengalir di dalam tubuh. Energi yang didapat dari pantulan matahari sangat membantu saat dirinya berada pada suasana yang sedang tidak menguntungkan. Seperti misalnya ketika masih remaja. Karno diolok-olok oleh murid-murid Sokalima saat dirinya ingin ikut bergabung belajar ilmu kepada Pandita Durna. Para murid Sokalima yang terdiri dari Kurawa dan Pandawa mengusir Karno dengan kata-kata: Anak kusir diusir, anak ratu dijamu Karno tidak menanggapi olok-olokan tersebut, ia berlari meninggalkan halaman padepokan Sokalima, bukan karena takut, tetapi agar tidak menjadi bulan-bulanan oleh mereka. Jika hatinya sedang kacau seperti itu, ada magnet yang amat kuat agar Karno mengadu kepada matahari. Namun dikarenakan matanya tidak kuat menatap secara langsung, ia menatap matahari melalui pantulan yang ada di air. Ajaibnya, pada waktu Karno melakukan hal itu, kegundahan hatinya segera sirna. Ada energi baru yang memungkinkan Karno untuk menghadapi segala olok-olok dan cercaan hidup dengan dada yang tegap dan penuh percaya diri. Beberapa saat setelah menatap pantulan matahari, Karno pun kembali pada niat semula, yaitu belajar ilmu-ilmu tingkat tinggi di Sokalima. Entah apa yang terjadi kemudian, senyatanya Karno dapat dengan leluasa mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Pandita Durna dari jarak jauh, tanpa diketahui oleh mereka dan tanpa olok-olok dari murid lain. Dengan penuh ketekunan, dalam beberapa waktu, Karno mengalami kemajuan yang pesat di dalam berolah senjata panah, tidak kalah jika dibandingkan dengan muri-murid Sokalima yang lain, bahkan murid-murid terbaik Sokalima, yaitu Ekalaya dan Arjuna Adirata bapaknya dan Nyi Rada Ibunya, tidak tahu apa yang dilakukan Karno anaknya, namun kedua orang tua tersebut melihat bahwa anaknya telah tumbuh menjadi remaja yang tampan, terampil, penuh percaya diri dan yang istimewa bahwa Karno tidak pernah mengeluh dalam segala macam kesulitan hidup. Walaupun Karno tumbuh menjadi remaja yang mempunyai kelebihan dalam segala hal, jika dibandingkan dengan remaja-remaja pada umumnya, Adirata sebagai seorang sais kereta berpandangan sederhana, bahwa Karno diharapkan dapat mewarisi dirinya sebagai sais kereta. Oleh karenanya untuk menunjang hal itu, Adirata membelikan kereta kuda kepada Karno. Menjadi anak yang berbakti kepada orang tua memang tidak mudah. Ada hal-hal yang perlu dikorbankan sebagai tanda bakti kepada orang tua. Seperti halnya yang dialami Karno, disatu sisi ia harus menerima pemberian orang tuanya berupa kereta kuda untuk belajar menjadi sais, disisi lain Karno tidak pernah bermimpi menjadi seorang sais kereta seperti bapaknya. Oleh karenanya agar tidak mengecewakan orang tuanya, Karno selalu menyisihkan waktu untuk berlatih mengendarai kereta kuda, tetapi tidak untuk menjadi sais kereta, melainkan untuk menjadi senapati perang dikelak kemudian hari. herjaka HS Kidung Malam 92 Adipati Karno Basukarno tidak hanya menunjukkan kelasnya dalam hal ilmu berolah senjata panah, tetapi ia pun mampu menguasai dirinya dengan amat matang. Sikap Dewi Durpadi yang merendahkan dirinya di atas panggung sayembara, pada saat Basukarno berhasil menarik dengan sempurna busur pusaka Cempalaradya, serta penolakan Dewi Durpadi yang seharusnya menjadi putri boyongan setelah Basukarno berhasil membidik sasaran dengan tepat, tidak membuatnya menjadi kalap. Walaupun ada perasaan jengkel, Basukarno pemenang sayembara yang dibatalkan tanpa sebab, turun dari panggung kehormatan dengan penuh percayaan diri, tanpa sedikitpun rasa kecewa menggores di wajahnya. Dengan tenang Basukarno meninggalkan panggung kehormatan. Ia tidak mempedulikan penolakan Dewi Durpadi. Baginya yang paling utama adalah mempertontonkan kemampuan ilmunya dihadapan orang banyak. Ia menyeberangi lautan manusia yang memenuhi alun-alun Cempalaradya waktu itu. Ribuan pasang mata mengikuti dan mengamati setiap gerak langkahnya. Demikian juga saat ketika ia meladeni Arjuna untuk beradu kebolehan ilmu memanah. Menyaksikan tingkat ilmu yang dimiliki Basukarno orang-orang dibuat penasaran, benarkah ia seorang sudra? Biarlah semua orang menilaiku demikian, orang sudra! kelas bawah! Hal itu saya sadari bahwa aku memang seorang sudra anak sais kereta kerajaan yang bernama Adirata. Walaupun aku seorang sudra, kata mereka, aku adalah anak yang cerdas berani dan jujur. Aku tumbuh dan dibesarkan dibawah asuhan pasangan Adirata dan Nyai Rada. Setelah menginjak dewasa, Basukarno sering berpetualang sendirian. Belajar kesana-kemari kepada orang-orang berilmu. Ketika pada suatu waktu Karna lewat di Sokalima, ada dorongan yang amat kuat untuk mencecap ilmu kepada Pandita Durna. Namun dikarenakan ia adalah seorang sudra, Basukarno tidak berani berterus terang, karena tahu akibatnya, yaitu ditolak. Oleh karenanya ia memilih belajar secara diam- diam dan sembunyi-sembunyi, agar tidak diketahui oleh siapa pun. Selain berguru kepada Pandita Durna, Basukarno juga berguru kepada Ramaparasu guru sakti yang ahli bermain senjata Kapak dan senjata panah. Seperti halnya ketika belajar di Sokalima, di hadapan Ramaparasu, Basukarno tidak mau berterus terang. ia menyamar sebagai seorang brahmana penggembara. Hal tersebut dilakukan karena Rama Parasu mempunyai dendam pribadi kepada seorang ksatria, dan tidak mau menerima murid seorang ksatria. Maka Karna menyamar menjadi seorang brahmana dan berguru kepada Rama Parasu. Dengan menyamar sebagai brahmana, Basukarno diterima menjadi murid Rama Parasu. Ilmu-ilmu yang diajarkan diserapnya dengan cepat dan tuntas. Jika Basukarno ingin belajar ilmu setinggi mungkin, harapan Adirata sangatlah sederhana dan realistis. Ia menginginkan agar anaknya menjadi seorang sais kereta seperti dirinya. Agar harapan tersebut dapat tercapai, Adirata memberi kereta kuda kepada Basukarno, untuk belajar menjadi sais kereta. Basukarno tidak menolak pembereian ayahnya, malahan ia menggunakan kereka kuda tersebut untuk latihan perang-perangan. Kini, ketika Basukarno telah menjelma menjadi pemuda berilmu tinggi, Sengkuni dan Duryudana telah memeluknya. Di tengah-tengah para Kurawa, Basukarno tidak lagi seorang sudra. Ia telah diangkat menjadi Adipati yang sederajat dengan para ksatria Pandawa. Adipati Karno, demikianlah nama yang pantas disandang setelah pengangkatannya. Adipati Karno sungguh bahagia. Kebahagiaannya tidak semata-mata pengangkatan dirinya sebagai seorang adipati, melainkan dengan pengangkatan dirinya, jalan terbuka lebar untuk dapat berperang tanding melawan Arjuna, dikelak kemudian hari. herjaka HS
Bagong digambarkan pada wayang kulit buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Museum Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Bagong Tokoh Bagong digambarkan sebagai orang yang bertubuh pendek dan gemuk, matanya bundar besar, bibirnya ndower hidungnya kecil dan pesek. Sekilas postur tubuh Bagong mirip dengan Semar, kecuali bagian kepala. Kisah kelahiran Bagong bermula ketika Semar diperintahkan oleh Sang Hyang Tunggal, ayahnya turun ke dunia. Oleh karena sendirian, Semar meminta seorang teman. Sang Hyang Tunggal mengabulkan permintaan Semar dengan memuja bayangan Semar menjadi seorang manusia, yang kemudian diberi nama Bagong. Ada pula yang menceritakan bahwa yang memuja bayangan Semar menjadi Bagong adalah bukan Sang Hyang Tunggal, melainkan Semar sendiri. Hal tersebut dilakukan atas permintaan Petruk anak angkatnya yang tidak terima menjadi adik Gareng. Dikarenakan sebelum badannya rusak, Petruk adalah kakak Gareng dengan nama Raden Pecruk. Agar Petruk tetap menjadi seorang kakak, maka Semar mengangkat anak satu lagi dengan memuja bayangannya sendiri menjadi seorang manusia. Kemudian manusia tersebut diberi nama Bagong dan diangkat menjadi anak nomor tiga, adik Petruk. Bagong bersama Semar Gareng dan Petruk, disebut sebagai prepat Panakawan. Mereka selalu menemani, mendampingi kisah perjalanan hidup seorang ksatria untuk menggapai cita-cita luhur. Selain menemani dan mendampingi, prepat Panakawan juga berperan sebagai penasihat yang memberi solusi bilamana ksatria atau pun raja yang diikutinya menemui kesulitan. Kehadiran Bagong di antara para Panakawan sungguh memberi warna tersendiri dengan sifatnya yang kekanak-kanakan dan lucu. Bagong menjadi tokoh idola, kemunculannya selalu ditunggu-tunggu dikalangan masyarakat luas. Di daerah Banyumas, Bagong populer dengan sebutan Bawor. Kalau di Jawa Barat ia disebut Cepot atau Astrajingga. Sedangkan Jawa Timur Bagong lebih dikenal dengan nama Mangundiwangsa. Bagong. Istri Bagong adalah seoerang Dewi yang cntik bernama Dewi Bagnawati, putri Prabu Balya dari Kerajaan Pucangsewu. herjaka HS
Petruk yang digambarkan dalam bentuk wayang kulit Purwa, buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Museum Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Petruk Petruk adalah adiknya Gareng, anak angkat Semar yang nomor dua. Postur tubuhnya jangkung dengan anggota badan yang serba panjang. Leher panjang, hidung panjang, tangan dan kakinya panjang, rambutnya dikuncir, mata agak sipit, bibirnya selalu mengulum senyum. Saking seringnya tersenyum Petruk senang tersenyum-senyum sendiri, seperti orang yang kehilangan ingatan. Oleh karena perangainya yang lucu, ramah dan murah senyum ia selalu tampil menghibur dan akrab dengan semua orang termasuk anak-anak. Sebelum diangkat anak oleh Semar, Petruk adalah seorang ksatria bernama Bambang Precupanyukilan dari padepokan Kembangsore. Ia adalah sosok pemuda tampan yang gemar memperdalam ilmu dari kerajaan ke kerajaan serta menjalani laku tapa dari hutan ke hutan dan gunung ke gunung. Sebagai anak muda Bambang Precupanyukilan pantas berbangga dengan ketampanannya dan pencapaian ilmunya. Oleh karenanya ketika bertemu dengan Bambang Sukadadi seorang pemuda tampan yang juga gemar menjalani laku tapa seperti dirinya, Bambang Precupanyukilan merasa terancam keberadaannya. Pertemuan sesama pemuda tampan berlimu tinggi tersebut berujung pada perkelahian. Mereka menggunakan cara kekerasan untuk saling memaksakan kehendak, bahwa dirinyalah yang lebih tampan dan lebih sakti. Namun cara itu tidak menyelesaikan masalah. Hingga muka dan badan mereka rusak, belum ada satu diantaranya yang benar-benar mampu membuat lawannya tidak berdaya. Perkelahian terhenti ketika ada lurah cebol berkulit hitam dari Padepokan Karang Kadempel yang bernama Janggan Smarasanta yang menghampiri tempat itu. Bambang Sukadadi dan Bambang Precupanyukilan sepakat meminta lurah Janggan Smarasanta menjadi hakim untuk memutuskan siapakah diantara keduanya yang paling tampan. Janggan Smarasanta mengatakan bahwa keduanya tidak ada yang tampan. Coba lihat wajah kalian pada telaga. Keduanya berlari ke telaga dan mendapati bahwa wajahnya telah rusak akibat perkelahian yang berkepanjangan. Ketampanan yang dianugerahkan telah pergi tanpa membawa rasa syukur dari pemiliknya. Mereka berdua menyadari ketololannya, dan meyesali perbuatannya, untuk kemudian memasrahkan diri kepada Janggan Smarasanta yang adalah titisan Sang Hyang Ismaya. Dengan perasaan iba Lurah Karang Kadempel yang kemudian terkenal dengan nama Semar tersebut mengobati luka keduanya, baik luka batin maupun luka raga. Dengan mantra tembang yang mengalun lembut keduanya tertidur pulas. Ketika Bambang Sukadadi dan Bambang Precupanyukilan berbaring dalam ketenangan jiwa dan ketenangan raga, angan mereka menggembara pada suasana masa lalu yang pernah ditinggali ketika mereka masih kecil. Pada waktu itu mereka berdua bernama Kucir dan Kuncung, anak dari pasangan Gandarwa Bausasra dan Nyi Luntrung yang berkuasa di wilayah gunung Nilandusa. Dikarenakan Gandarwa Bausasra mempunyai istri muda dan berpisah dengan Nyi Luntrung, Kucir dan Kuncing disia-siakan oleh ibu tirinya. Mereka tidak kerasan di rumah dan melarikan diri ke padepokan Karang Kadempel, dan kemudian diangkat anak oleh Lurah Janggan Semarasanta. Selesai menyusuri masa lalunya dari wilayah Gunung Nilandusa, angan Bambang Sukadadi dan Bambang Precupanyukilan meloncat pada masa lalu yang lain, saat mereka menjadi anak raja Jin yang bernama Gandarwa Raja Bali, dengan nama Pecruk dan Penyukilan. Walaupun anak raja Jin keduanya berwajah tampan. Namun ketampanannya tidak digunakan sebagai mana mestinya. Kedua kakak beradik itu senang menakut-nakuti dengan mencegat orang untuk disakiti dan dirampas barang bawaannya. Pada suatu saat ketika sedang melakukan aksi pencegatan, Pecruk dan Penyukilan berhadapan dengan Semar yang baru saja turun dari Kahyangan, maka diganggulah Semar oleh keduanya. Tetapi Semar melawan bahkan Pecruk dan Penyukilan diinjak-injak hingga tubuhnya rusak. Akhirnya Pecruk dan Penyukilan mohon ampun dan mengaku kalah. Oleh Semar, kedua anak itu diampuni asal bersedia menemani menjadi pamomong satria. Pecruk dan Penyukilan bersedia menuruti kehendak Semar. Keduanya diangkat menjadi anak Semar. Penyukilan yang lebih dulu rusak tubuhnya, dianggap sebagai saudara sulung dan diberi nama Gareng. Kemudian Pecruk diangkat menjadi anak nomor dua dengan nama Petruk. Setelah mengingat bahwa dirinya pernah menjadi begal Bambang Precupanyukilan masih menyisakan angannya, bahwa ia pernah menjadi anak raja Gandarwa yang bernama Prabu Suwala dari negara Pecuk Pacukilan, namun ia tidak ingat lagi peristiwa peritiwa penting lainnya yang terjadi dimasa lalu. Memang, dengan mantra kidung yang ditembangkan, Semar sengaja ingin menghapus masa lalu nan getir yang pernah dialami oleh Bambang Sukadadi dan Bambang Precupanyukilan, terlebih ketika mereka kehilangan ketampanannya. Agar untuk selanjutnya mereka dapat menjalani hidup dengan penuh semangat dan sukacita Setelah mantra kidung selesai, Bambang Sukadadi dan Bambang Pecrupanyukilan tersadar dari tidurnya. Masa lalu yang pernah melintas dalam hidupnya hanyalah sebuah mimpi yang akan segera dilupakan. Ibarat seorang bayi yang lahir, mereka tidak ingat lagi masa lalunya. Yang mereka tahu bahwa mereka berdua adalah anak Semar yang diberi nama Gareng dan Petruk. Nama lain dari Petruk adalah: Kantong Bolong, Pentung Pinanggul, Doblajaya, Loncung Boing, Dawala, Udawala. Dengan pasangan Dewi Ambarwati Petruk mempunyai seorang anak laki-laki bernama Lengkungkusuma. Dalam riwayat hidupnya, Petruk pernah menjadi raja di negara Ngrancang Kencana dengan gelar Prabu Welgeduwelbeh. herjaka HS
Penggambaran tokoh Gareng dalam bentuk wayang kulit Purwa, buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Gareng Di padepokan Bluluktiba, tinggallah seorang ksatria muda berwajah tampan bernama Bambang Sukadadi. Sebagian besar dari hidupnya dijalaninya dengan laku tapa. Pada suatu waktu, ketika dalam perjalanan pulang sehabis melakukan tapa, Bambang Sukadadi bertemu dengan seorang pemuda tampan sebaya dirinya, bernama Bambang Precupanyukilan dari padepokan Kembangsore, yang juga gemar menjalani laku tapa. Pertemuan sesama petapa muda tersebut berujung dengan pertengkaran. Masing- masing dari keduanya merasa dirinyalah yang paling tampan, paling sakti dan paling unggul. Untuk membuktikan siapa yang pantas diunggulkan, mereka malakukan perang tanding, satu melawan satu. Konon perang tanding itu amatlah lama. Jika lelah mereka sepakat untuk berhenti, dan kemudian melanjutkan lagi. Beberapa hari berlalu, ketika perang belum juga usai, lewatlah Janggan Smarasanta manusia cebol yang kemudian menjadi tempat menitis Semar Ismaya, dari padepokan Karang Kadempel. Semar tidak sampai hati melihat wajah dan tubuh kedua rusak. Maka Semar mencoba melerainya dengan kata-kata. Apakah yang kalian perebutkan hai anak muda? Ketampanan? Atau kesaktian? Karena sesungguhnya ketampanan dan kesaktian yang dianugerahkan sudah tidak ada padamu. Lihatlah wajahmu telah rusak dan tidak ada pemenang diantara kalian. Mendengar seruan Semar, Bambang Sukadadi dan Bambang Precupanyukilan seperti diberi aba-aba, mereka menghentikan pertengkarannya dan lari untuk mendapatkan permukaan air nan jernih untuk melihat wajahnya. Keduanya lungkai dan lemas mendapati wajahnya yang telah rusak. Mereka menyesali perbuatan bodohnya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Atas penyesalan yang diungkapkan, Semar mengangkat mereka menjadi anaknya. Bambang Sukadadi, yang lebih tua diberi nama Gareng. Sedangkan Bambang Precupanyukilan menjadi adik Gareng bernama Petruk. Mengenai asal-usul Gareng ini ada beberapa versi, ada yang menyebutkan bahwa sebelumnya Gareng ini adalah anak dari pasangan Gandarwa Bausasra dan Nyi Luntrung yang berkuasa di wilayah gunung Nilandusa dengan nama Kucir. Karena disia-siakan Kucir dan Kuncung adiknya di ambil anak oleh Semar dan namamnya diganti dengan Gareng dan Petruk. Sedangkan menurut versi pedhalangan khusunya yang sering diceritakan oleh dalang Jogyakarta, Gareng sebelumnya adalah anak raja Jin yang bernama Gandarwa Raja Bali, dengan nama Penyukilan. Ia berwajah tampan tetapi nakal. Ia memiliki saudara tua bernama Pecruk. Bersama dengan kakaknya itulah ia sering mengganggu orang yang sedang lewat. Pada suatu saat ketika sedang melakukan aksi nakalnya, Pecruk dan Penyukilan berhadapan dengan Semar yang baru saja turun dari Kahyangan, maka diganggulah Semar oleh keduanya. Tetapi Semar melawan bahkan kedua anak itu diinjak-injak hingga tubuhnya rusak. Akhirnya Pecruk dan Penyukilan mohon ampun dan mengaku kalah. Oleh Semar, kedua anak itu diampuni asal bersedia menemani menjadi pamomong satria. Pecruk dan Penyukilan bersedia menuruti kehendak Semar. Keduanya diangkat menjadi anak Semar. Penyukilan yang lebih dulu rusak tubuhnya, dianggap sebagai saudara sulung dan diberi nama Gareng. Kemudian Pecruk diangkat menjadi anak nomor dua. Dari beberapa versi tersebut, Gareng ditempatkan sebagai anak angkat Semar yang nomor satu, dan selalu bersama Semar menjadi pamomong satria berbudi luhur. Dalam pewayangan Gareng digambarkan sebagai seorang yang serba cacat. Matanya juling hidungnya bulat, tangannya ceko atau bengkok, perutnya buncit seperti, kakinya pincang karena sakit bubulen. Namun dibalik semua kekurangan pada fisiknya, Gareng adalah seseorang yang sederhana, rendah hati dan jujur. Dalam pentas wayang kulit purwa, Gareng selalu tampil pada tengah malam saat adegan gara- gara. Ia tampil bersama Semar, Petruk dan Bagong. Gareng mempunyai seorang istri bernama Dewi Sariwati putri Prabu Sarawasesa dari kerajaan Saralengka. Dalam sejarah hidupnya, Gareng pernah menjadi seorang raja bergelar Prabu Pandu Pragola di kerajaan Paranggumiwang. Nama lain Gareng adalah: Nala Gareng, Nalawangsa, Cekruk Tuna, Pancal Pamor, Pegat Waja. herjaka HS
Batara Guru tidak mengendarai Lembu Andini, melainkan mengendarai sepasang Naga, wayang kulit buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Batara Guru Batara Guru adalah raja para dewa, di kahyangan Jonggringsaloka, atau juga sering disebut kahyangan Suralaya. Kedudukannya sebagai penguasa tertinggi ini berkaitan dengan sayembara yang diadakan oleh Sang Hyang Tunggal ayahnya. Pada waktu ke tiga anak pasangan Sang Hyang Tunggal dan Dewi Rekatawati, yaitu Sang Hyang Tejamantri (dari kulit telur), Sang Hyang Ismaya (dari putih telur) dan Sang Hyang Manikmaya (dari kuning telur) telah tumbuh dewasa, mereka memperebutkan penguasa tertinggi di kahyangan Suralaya. Untuk mengatasi agar tidak saling berebut, Hyang Tunggal mengadakan sayembara, barang siapa dapat menelan gunung Saloka dan dengan segera mampu memuntahkannya kembali, ia berhak menjadi penguasa Kahyangan. Sang Hyang Tejamantri sebagai putra tertua mendapat kesempatan pertama. Namun hingga mulutnya robek dan badannya rusak Sang Hyang Tejamantri yang kemudian terkenal dengan nama Togog tidak berhasil menelan gunung Saloka. Kesempatan ke dua diberikan kepada Sang Hyang Manikmaya. Ia berhasil menelan gunung Saloka tetapi tidak dapat mengeluarkan kembali. Gunung Saloka mengeram di pantat Sang Hyang Ismaya, sehingga pantatnya menjadi sangat besar, ia kemudian terkenal dengan nama Semar. Dengan kejadian tersebut Sang Hyang Manikmaya anak yang nomor tiga, dengan sendirinya tidak mendapat kesempatan untuk mengikuti sayembara. Atas kebijaksanaan Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Manikmaya dinobatkan menjadi raja, dengan sebutan Batara Guru. Batara Guru adalah dewa yang berwajah tampan tetapi memiliki taring kecil, bertangan empat dua diantaranya selalu menggenggam pusaka andalan yang berupa cis, bentuknya seperti anak panah bermata tiga dalam ukuran besar. Kedua pusaka itu namanya adalah cis Jaludara dan cis Trisula. Lehernya berwarna biru/nila, serta kakinya apus, tidak kuat menopang badannya, sehingga ia selalu naik seekor lembu namanya lembu Andini. Batara Guru mempunyai banyak nama (dasanama) yang antara lain adalah: Batara Siwah, Sang Hyang Caturboja (bertangan empat), Sang Hyang Jagadnata, Sang Hyang Girinata, Sang Hyang Nilakantha (berleher nila), Sang Hyang Udipati, Batara Trinetra (bermata tiga). Pada dasarnya nama-nama tersebut menggambarkan ciri dan perwatakkan dari Batara Guru yang dikenal di masyarakat. Namun sering juga antara nama yang satu dan nama yang lainnya menunjuk sosok pribadi yang berbeda. Misalnya, nama Batara Guru diberi kesan berbeda dengan Batara Siwa. Walaupun menjadi raja dari para dewa, Batara Guru bukanlah makhluk yang sempurna. Seperti halnya manusia, atau pun dewa lainnya. Ia tidak jarang berbuat salah. Dalam berbagai lakon, Batara Guru beberapa kali melakukan kesalahan, ia sering tidak dapat mengendalikan nafsu birahinya, nafsu amarahnya, dan dendamnya. Menurut mitologi Hindu, Batara Guru ini disebut Dewa Siwa, yaitu salah satu Dewa yang dipercaya sebagai perusak dunia. Dewa pencipta dunia adalah Dewa Brahma dan Dewa pemelihara dunia adalah Dewa Wisnu, selanjutnya ketiga dewa tersebut disebut dengan Tri Murti. Menurut sejarahnya, mengapa Batara Guru mempunyai tangan empat, karena pada waktu itu ia merasa kesulitan untuk menangkap Dewi Uma, bidadari yang amat dicintainya. Pasalnya selain sakti, Dewi Uma sangat licin, sehingga ia selalu dapat melepaskan diri dari tangkapan Batara Guru. Pada hal Dewi Uma telah berjanji, ia mau menjadi istri Batara Guru, jika ia dapat menangkapnya. Atas kesulitan itu, Batara Guru memohon kepada Sang Hyang Wenang kakeknya, agar ia dapat menangkap Dewi Uma. Oleh kakeknya ia diberi tangan empat, yang kemudian dengan keempat tangannya, Batara Guru berhasil menangkap Dewi Uma, dan mengambilnya menjadi istri. Dengan Dewi Uma Batara Guru mempunyai anak yang diantaranya adalah Batara Sambo, Batara Brama, Batara Endra, Batara Bayu, Batara Wisnu, Batara Sakra, Batara Asmara dan Batara Mahadewa. Selain bertangan empat, Batara Guru mempunyai taring akibat dari kutukan Dewi Uma istrinya. Karena pada waktu bercengkerama bersama istrinya, Batara Guru melakukan tindakan atas Dewi Uma seperti layaknya seorang raksasa. Sedangkan leher Batara Guru berwana nila kebiru-biruan, karena ia telah menelan racun yang muncul dari samodra Mantana, tempat para dewa mencari Tirta Amerta. Racun tersebut sengaja ditelan oleh Batara Guru demi penyelamatan para dewa, yang pada waktu itu saling berebut ingin menelan racun, karena dikira Tirta Amerta. Herjaka HS Figur Wayang
Semar dalam penggambaran wayang kulit purwa,buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Semar Pada mulanya Semar adalah dewa berparas tampan, bernama Sang Hyang Ismaya. Ia mempunyai dua saudara laki-laki yang bernama Sang Hyang Tejamantri dan Sang Hyang Manikmaya. Kisah kelahiran Semar berawal dari sebuah telur yang dilahirkan oleh Dewi Rekatawati. Telur tersebut kemudian dipuja oleh Sang Hyang Tunggal. Kulit telur menjadi anak laki-laki tampan yang lahir sulung dan diberi nama Sang Hyang Tejamantri. Disusul oleh kelahiran anak kedua yang berasal dari putih telur yang diberi nama Sang Hyang Ismaya. Sedangkan anak laki-laki tampan nomor tiga berasal dari kuning telur dan diberi nama Sang Hyang Manikmaya. Ketiga laki-laki anak pasangan Sang Hyang Tunggal dan Dewi Rekatawati tersebut setelah dewasa saling berebut kekuasaan di Kahyangan. Untuk mengambil keputusan siapa yang berhak menjadi penguasa tertinggi di Kahyangan, Sang Hyang Tunggal menggelar sayembara. Barang siapa dapat menelan gunung Saloka dan dengan segera memuntahkannya kembali akan di jadikan penguasa tertinggi di kahyangan. Sang Hyang Ismaya berhasil menelah gunung Saloka tetapi tidak berhasil memuntahkan kembali, akibatnya Sang Hyang Ismaya yang sebelumnya tampan berubah wujud menjadi gemuk bulat, pendek, hitam dan berparas jelek. Karena gagal memenangkan sayembara, Sang Hyang Ismaya tidak mendapat kekuasaan di kahyangan, ia diperintahkan turun ke dunia sebagai pamomong para ksatria dan bertempat tinggal di Karang Kadempel atau Karang Kabolotan. Sejak menjadi pamomong, ia tidak pernah lagi disebut- sebut sebagai dewa dengan nama Sang Hyang Ismaya. Semuanya tersamarkan di dalam tugasnya sebagai pamomong atau panakawan. Ia dipanggil dengan nama Semar, dari kata samar atau tidak jelas. Nama lain dari Semar adalah Badranaya yang artinya rembulan, dikarenakan badannya bulat seperti rembulan. Perkawinannya dengan Dewi Kanestren, Semar mempunyai 10 orang anak yaitu: 1. Batara Bongkokan, 2. Batara Patuk, 3. Batara Temburu, 4. Batara Wrehaspati, 5. Batara Yamadipati, 6. Batara Surya, 7. Batara Candra, 8. Batara Kwera, 9. Batara Kamajaya dan 10. Dewi Darmanastiti. Tugas Semar yang terutama dan utama adalah mengantar ksatria yang diemongnya untuk mendapat wahyu. Wahyu yang berdaya guna untuk memayu hayuning bawana. herjaka HS
Togog dalam penggambaran wayang kulit purwa, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Togog Togog digambarkan sebagai seorang yang bertubuh pendek dan gemuk. Mulutnya lebar dan menjorok panjang, bentuknya seperti mulut bunglon. Pada waktu kecil hingga remaja nama Togog adalah Sang Hyang Tejamantri atau Sang Hyang Antaga atau juga Sang Hyang Puguh. Ia berparas tampan, anak dari pasangan Sang Hyang Tunggal dan Dewi Rekatawati. Togog Tejamantri mempunyai dua saudara laki-laki yang bernama Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Manikmaya. Kisah kelahiran Togog berawal dari sebuah telur yang dilahirkan oleh Dewi Rekatawati. Kemudian telur itu dipuja oleh Sang Hyang Tunggal menjadi tiga laki-laki tampan. Kelahiran laki-laki tampan yang nomor satu berasal dari kulit telur dan diberi nama Sang Hyang Tejamantri. Laki-laki tampan yang nomor dua lahir berasal dari putih telur dan diberi nama Sang Hyang Ismaya dan laki-laki tampan nomor tiga lahir berasal dari kuning telur dan diberi nama Sang Hyang Manikmaya. Dari kecil hingga remaja mereka bertiga hidup rukun. Namun setelah dewasa masing-masing dari mereka menginginkan menjadi penguasa tertinggi di Kahyangan. Ketiga anak pasangan Sang Hyang Tunggal dan Dewi Rekatawati tersebut saling berebut tahta. Tidak ada yang mau mengalah. Untuk mengatasi hal itu, Hyang Tunggal membuat sayembara, barang siapa dapat menelan gunung Saloka dan dengan segera memuntahkannya kembali itulah yang berhak menjadi penguasa Kahyangan. Sang Hyang Tejamantri sebagai putra tertua mencoba terlebih dahulu menelan gunung Saloka. Namun hingga mulutnya robek dan badannya rusak, Sang Hyang Tejamantri gagal dalam sayembara tersebut. Oleh karena gagal menjadi penguasa di Kahyangan, Sang Hyang Tejamantri diperintahkan turun ke dunia sebagai pamomong raja. Sejak saat itu ia dikenal dengan nama Togog. Tugasnya adalah sebagai penasehat dan mengingatkan raja yang menjadi momongannya agar senantiasa menghindari tindak kejahatan yang merugikan orang lain. Namun sayang, tidak ada satu raja pun yang mau mendengar dan menuruti nasihat Togog untuk menanggalkan kejahatannya dan beralih pada jalan yang diberkati. Oleh karenanya sampai sekarang Togog dikenal sebagai pamomong raja-raja yang berwatak jahat herjaka HS
Bilung dalam penggambaran wayang kulit purwa, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Bilung Tokoh Bilung digambarkan berperawakan kecil dan pendek, kepalanya penuh dengan penyakit kudis, bibirnya agak lebar dan suaranya melengking sengau. Bilung tidak pernah muncul sendirian. Ia selalu bersama-sama dengan Togog. Hal tersebut dikarenakan tugas yang diemban Bilung adalah untuk mengikuti Togog. Kelahiran Bilung berawal ketika terjadi perebutan kekuasaan di kahyangan antara tiga bersaudara anak dari Sang Hyang Tunggal yang terdiri dari Sang Hyang Antaga atau Sang Hyang Puguh, anak sulung, Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Manikmaya. Mereka bertiga saling berebut menjadi penguasa tertinggi di kahyangan. Dikarenakan tidak ada yang saling mengalah, maka Sang Hyang Tunggal mengadakan sayembara, barang siapa yang dapat menelan gunung Saloka dalam keadaan utuh dan kemudian memuntahkan kembali maka ia akan berhak menjadi penguasa kahyangan. Sang Hyang Puguh dan Sang Hyang Ismaya saling mendahului untuk menelan gunung Saloka. Karena tergesa-gesa, gigi Sang Hyang Puguh cuwil. Kemudian cuwilan gigi itu berubah wujud menjadi seorang laki-laki. Oleh Sang Hyang Tunggal, laki-laki tersebut diberi nama Bilung. Karena gagal menelan gunung Saloka, Sang Hyang Puguh atau Sang Hyang Antaga yang kemudian terkenal dengan nama Togog diperintahkan oleh Sang Hyang Tunggal untuk turun ke dunia menjadi pamomong manusia. Sedangkan Bilung diperintahkan mengikuti Togog turun ke dunia. Tokoh Bilung dan Togog dapat dikatakan sebagai tokoh dwi tunggal, dua tetapi satu, tak terpisahkan. Di mana ada Togog, disitu ada Bilung, demikian juga sebaliknya. Saking menyatunya hubungan antara Togog dan Bilung ada yang mengatakan sebagaimana hubungan antara Bapak dan anak atau hubungan antara kakak dan adik. Dalam mengemban tugas, Bilung dan Togog selalu mengabdi kepada seorang raja yang berperangai jelek dan berhati jahat. Namun walau demikian, Bilung dan Togog tetap menjalankan tugasnya dengan sungguh- sungguh. Sebagai pamomong, nasihat-nasihat baik dan luhur selalu dilontarkan kepada tuannya. Namun bukan salah Bilung dan Togog sebagai pamomong, jika kemudian sang raja yang di emong terjerumus dalam lembah kenistaan, dikarenakan tidak mau mematuhi nasihat-nasihat dari Bilung dan Togog. Bilung juga bernama Sarahita atau Sarawita. Nama tersebut ada kaitannya dengan penjelmaan dari dewa yang bernama Sang Hyang Surata atau Sang Hyang Sarahita. Ada kemungkinan bahwa Sang Hyang Sarahita menjelma pada cuwilan gigi Sang Hyang Antaga, Oleh karena itu ketika menjadi panakawan disebut dengan Bilung Sarahita. Selain sebagai panakawan atau pamomong, kemunculan Bilung juga berperan sebagai penghibur yang lucu, sinis, sekaligus kritis, dalam mengingatkan tuannya dan mengingatkan jamannya. herjaka HS
Aswatama dalam bentuk wayang kulit, buatan Kaligesing Purworejo, Koleksi Tembi Rumah Budaya. (foto: Sartono) Aswatama Aswatama lahir dari seorang Bidadari Wilotama yang sedang dikutuk dewa menjadi seekor kuda sembrani. Ia akan terlepas dari kutukan jika ada seorang laki-laki yang bersedia mengawininnya. Setelah beberapa tahun Bidadari Wilotama menjalani kutukan, bertemulah ia dengan pemuda tampan bernama Kumbayana di pinggir pantai. Pada waktu itu Kumbayana berniat menyeberangi samodra menuju tanah Jawa, namun apa daya ia tidak dapat terbang. Kuda Sembrani bersedia menyeberangkan Kumbayana ke tanah Jawa. Maka digendongnya Kumbayana dipunggung kuda untuk dibawa terbang melintasi samodra. Sejak peristiwa itu, kuda sembrani mengandung. Inilah awal pelepasan dari sebuah kutukan. Bersamaan dengan kelahiran anak yang dikandung, kuda Sembrani tersebut lepas dari kutukan. Ia kembali kewujud semula, menjadi seorang bidadari yang cantik jelita. Kumbayana, ayah dari anak yang dilahirkan, tak kuasa mencegah Bidadari Wilotama istrinya, agar tidak kembali ke Kahyangan. Namun sebelum meninggalkan Kumbayana dan bayinya, bidadari Wilotama memberikan tusuk konde kepada Kumbayana sebagai tanda cinta. Sepeninggal Bidadari Wilotama, Kumbayana memandangi anaknya yang masih bayi dengan seksama. Wajahnya tampan, tetapi rambutnya, seperti rambut kuda. Ia menamakan anaknya, Aswatama. Aswa adalah kuda dan tama atau utama berarti pilihan. Kumbayana yang kemudian terkenal dengan nama Durna, mengasuh Aswatama sendirian hingga dewasa. Durna sangat menyayangi Aswatama, demikian juga sebaliknya. Durna yang kemudian diangkat menjadi guru besar istana Hastinapura, dengantugas utama mengajar para putra raja yaitu Kurawa dan kemenakan raja yaitu Pandawa, menjadikan Aswatama pun bergabung dengan para Kurawa. Jika ayahnya sangat dihormati oleh kedua belah pihak, tidak demikian dengan Aswatama. Keberadaan Aswatama dipandang sebelah mata. Peristiwa yang sangat menyakitkan bagi Aswatama adalah ketika ia melaporkan kecurangan yang dilakukan oleh Prabu Salya pada perang Baratayuda. Dengan mata kepala sendiri, Aswatama yang pada waktu itu menjadi kernet kereta melihat Prabu Salya, yang menjadi kusir kereta, sengaja menarik kendali keras-keras, tepat ketika Adipati Karna sang senopati, melepaskan panah pusaka. Akibatnya senjata pamungkas Adipai Karna meleset dari leher Harjuna. Namun Prabu Duryudana tidak mempercayai laporannya. Malahan Aswatama diusir dari negara Hastina. Oleh karenanya hingga perang Baratayuda usai, dan Duryudana pun telah gugur. Aswatama adalah salah satu sekutu Korawa yang masih hidup. Walaupun Aswatama tidak lagi membela sekutunya, namun karena Durna ayahnya gugur dalam perang besar Baratayuda, ia dendam kepada Pandawa yang telah membunuh ayah tercinta. Untuk membalas dendam itu, ia melandak, atau merangkak sembari membuat lobang di tanah, menyusup ke perkemahan Pandawa pada malam hari. Dikarenakan mereka berbaring tidur dalam kelelahan yang amat sangat, Aswatama berhasil membunuh beberapa orang yaitu Dewi Srikandi, Banowati, Pancawala, termasuk Drestajumena orang yang telah membunuh Resi Durna ayahnya. Namung malang bagi Aswatama, ketika ia akan membunuh Parikesit, bayi Abimanyu yang kelak akan menjadi raja, tiba-tiba bayi itu bangun dan dengan tidak sengaja kakinya menendang panah Pasopati yang ditaruh di ranjang bagian bawah kaki bayi. Panah Pasopati, panah pusaka milik Harjuna, mengenai tubuh Aswatama. herjaka HS
Kartamarma dalam bentuk wayang kulit buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Kartamarma Kartamarma adalah salah satu dari seratus anak bersaudara laki-laki yang lebih populer disebut dengan Kurawa. Anak pasangan Destarastra dan Dewi Gendari ini bertempat tinggal di negara kecil yang ditaklukan Hastina, dan kemudian disebut dengan ksatrian Toyatinalang. Di Hastinapura Kartamarma termasuk tokoh penting. Karena disamping sebagai putra raja, sewaktu yang menjadi raja Destarastra atau juga adik raja saat yang menjadi raja Duryudana, Kartamarma diangkat menjadi panitisastra atau sekretaris negara pada masa pemerintahan Prabu Duryudana. Oleh karenanya ia selalu hadir dalam setiap adegan atau cerita yang mengisahkan para Kurawa. Walaupun Kartamarma tidak mempunyai kesaktian yang menonjol, ia adalah satu-satunya keluarga kurawa yang tidak mati dalam perang Baratayuda. Ketika melihat gelagat bahwa Kurawa bakal kalah, Kartamarma menyingkir ke hutan sembari menunggu perang selesai. Di hutan Kartamarma bertemu dengan Aswatama, anak Pandita Durna. Setelah mendengar kabar bahwa Duryudana telah mati dan perang Baratayuda selesai Kartamarma dan Aswatama bermaksud kembali ke Hastina untuk menjemput Dewi Banowati. Kartamarma ingin mengambil istri, sedangkan Aswatama bermaksud membunuh Banowati. Namun maksud keduanya tidak kesampaian, karena Dewi Banowati telah terlebih dahulu diboyong oleh Arjuna di perkemahan para Pandawa. Akhirnya Kartamarma dan Aswatama merubah rencana. Mereka ingin menyusup ke perkemahan pada malam hari untuk membunuh para pandawa. Dalam penyusupan tersebut Aswatama berhasil membunuh Banowati, Drestajumena dan Srikandi. Sedangkan Kartamarma dengan ditemani Resi Krepa menunggu di luar perkemahan. Keberadaan mereka berdua dipergoki oleh keluarga pandawa. Dihadapan Kartamarma dan Resi Krepa Prabu Kresna mengatakan bahwa dengan menyusup di perkemahan pada malam hari untuk membunuh lawan yang sedang istirahat, merupakan sikap yang tidak terpuji. Sikap yang telah menanggalkan watak ksatria dan watak Pandita. Oleh karenanya Prabu Kresna mengutuk Kartamarma dan Resi Krepa menjadi seekor Kutis hewan pemakan kotoran. Ada yang mengisahkan bahwa Kartamarma atau Kertawarma bukan salah satu anak pasangan Destrarastra dan Gendari, melainkan anak Prabu Herdika seorang raja di Kerajaan Bhoja. Dalam perang Baratayuda, Kertawarma memihak Korawa. Hingga perang berakhir Kertawarma masih selamat. Ia kemudian pulang ke negaranya, untuk tidak berperang lagi. herjaka HS
Sukrasana dalam bentuk wayang kulit purwa, buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya. (foto: Sartono) Sukrasana Akang aku elu akang demikian kata yang sering diucapkan dengan logat cedal oleh Sukrasana kepada Sumantri kakaknya, yang artinya kakang aku ikut kakang. Kata tersebut menggambarkan bahwa Sukrasanan tidak mau berpisah kepada Kakaknya. Ke mana pun Sumantri pergi, Sukrasana selalu ingin ikut. Sukrasana Sumantri adalah dua bersaudara anak Begawan Suwandageni dari pertapaan Girisekar. Kedua kakak beradik satu ayah dan satu ibu itu mempunyai ciri-ciri yang berlawanan. Secara fisik, Sukrasana berbadan pendek dan cebol, berwajah raksasa yang jelek dan menakutkan. Sedangkan Sumantri berwajah tampan dan gagah. Namun walaupun wajahnya buruk, namun Sukrasana sangat sakti, baik budi pekertinya dan penuh welas-asih, tidak seperti Sumantri yang merasa dirinya sakti dan tampan. Pada suatu pagi, ketika Sukrasana bangun, seperti biasanya, pertama-tama yang ia cari adalah Sumantri. Namun pagi itu ia tidak mendapatkannya. Maka kemudian dicarilah sang kakak yang amat dicinta itu. Begawan Suwandageni tidak sampai hati melihat Sukrasana yang kebingungan mencari kakaknya, maka kemudian dikatakanlah bahwa kakaknya pergi meninggalkan Sukrasana, untuk mengabdikan diri ke kerajaan Maespati. Akang aku elu akang Sukrasana menyusul kakaknya ke Kerajaan Maespati. Di sana Sukrasana mendapatkan Sumantri yang sedang bersedih karena telah melakukan kesalahan terhadap raja Maespati dan dipecat dari jabatan prajurit. Sang Raja Maespati Prabu Arjuna Sasrabahu bersabda bahwa satu-satunya jalan agar Sumantri dapat kembali menjadi prajurit, yaitu dengan memindahkan Taman Sriwedari di Kahyangan Utarasegara ke Maespati. Tugas tersebut teramat berat, Sumantri merasa kesulitan untuk melakukannya. Dalam keadaan putusasa, Sukrasana datang dan siap menolong Sumantri, dengan sebuah permintaan agar Sumantri kakaknya tidak lagi meninggalkan Sukrasana. Dan Sumantri menyanggupinya. Dengan kesaktian yang dimiliki Sukrasana dan bantuan para dewa, Taman Sriwedari dapat berpindah tempat, dari Kahyangan Utarasegara ke Maespati, tanpa satu pun daun yang jatuh. Sumantri sangat senang, demikian pula dengan Prabu Arjuna Sasrabahu dan Dewi Citrawati permaisuri raja. Taman tersebut kemudian dijadikan tempat bersenang-senang oleh permaisuri raja dan para putri-putri kerajaan. Pada saat mereka bercengkrama di taman, tiba-tiba mereka pada menjerit ketakutan dan berhamburan keluar taman, sambil berterik Ada hantu Sang Raja memerintahkan agar Sumantri mengusir hantu itu. Sumantri bergegas menuju taman dengan membawa senjata panah yang siap dibidikan, untuk mengusir hantu yang telah membuat onar di Taman Sriwedari. Sesampaianya di taman ia menjumpai yang dimaksud dengan hantu adalah Sukrasana adiknya. akang aku elu akang herjaka HS
Wisanggeni Kisah kelahiran Wisanggeni tidak seperti kisah-kisah kelahiran pada umumnya. Jika pada umumnya kelahiran membawa sukacita, tidaklah demikian dengan kelahiran Wisanggeni. Bayi merah yang menangis lucu, tidak ditimang dipangkuan ibu untuk kemudian di beri asi, tetapi dimasukan di Kawah Candradimuka yang panas membara. Batara Brama kakek sang bayi menyesal telah mengijinkan putrinya Dewi Dresanala yang sedang mengandung diceraikan dengan Arjuna untuk diboyong Dewasrani di Nusarukmi. Oleh karenanya, ketika tiba waktunya Dewi Dresanala melahirkan, bayi itu sengaja dimusnahkan oleh Dewasrani. Anehnya bayi tersebut tidak hancur menjadi abu, malahan tumbuh menjadi besar dan sakti. Ia kemudian diberi nama Wisanggeni, yang artinya inti dari api itu sendiri Wisanggeni yang adalah anak Arjuna merupakan seorang ksatria yang ndugal kewarisan, nakal tetapi sembada. Badannya kecil dan parasnya tampan. Ia tidak bisa bahasa krama, walaupun dengan dewa sekalipun, tetapi jujur dan selalu berpegang pada kebenaran. Sang Hyang Pada Wenang penguasa alam semesta, sangat menyayangi Wisanggeni, oleh karenanya ia diberi kesaktian yang tak terkalahkan. Ia ikut Batara Brama kakeknya tinggal di kahyangan Duksinageni. Wisanggeni mempunyai seorang istri bernama Mustikawati putri Prabu Mustikadarma raja Sonyapura. Watak, solahbawa atau tindak-tanduk dan kesaktian Wisanggeni sama persis dengan kakak sepupunya, yaitu Antasena anak Bima. Keduanya sangat akrab dan kompak, tidak mau berpisah, kemana-mana selalu berdua. Kesaktian Wisanggeni yang tak terkalahkan ini menimbulkan kegelisahan para dewa. Dasar kegelisahan tersebut adalah, jika nanti tiba waktunya perang Baratayuda, Wisanggeni menjadi senapati di pihak Pandawa, maka semua senopati Kurawa tak ada yang dapat menandingi Wisanggeni. Itu artinya bahwa rencana yang telah ditulis dalam Kitab Jitabsara mengenai ketentuan-ketentuan senopati yang nantinya saling berhadapan dari kedua belah pihak dalam perang Baratayuda, tidak berlaku. Dengan alasan itu maka Para dewa memutuskan bahwa Wisanggeni tidak diperbolehkan ikut dalam perang Baratyuda Dikarenakan Wisanggeni adalah titah kesayangan Sang Hyang Pada Wenang, maka Batara Guru sebagai rajanya para dewa mengutus Batara Brama untuk memasrahkan Wisanggeni cucunya kepada Sang Hyang Pada Wenang. Dihadapan Sag Hyang Pada Wenang Wisanggeni bersama Antasena Sepupunya menanyakan apakah perang Baratayuda akan dimenangkan Pandawa? Sang Hyang Pada Wenang menjawab, Pandawa akan menang jika Wisanggeni dan Antasena merelakan diri untuk tidak ikut berperang. Jika tidak ikut berperang lantas apa yang kami kerjakan? Tinggalah di sini, kalian akan melihat kemenangan Pandawa. Wisanggeni dan Antasana mentaati perintah Sang Hyang Pada Wenang. Untuk dapat tinggal selamanya bersama Sang Hyang Pada Wenang dan bersama-sama menyaksikan Pandawa yang jaya di perang Baratayuda, Wisanggeni dan Antasena meracut raganya. Mereka memandang titik diantara dua mata. Semakin lama tubuh Wisanggeni dan Antasena mengecil dan semakin mengecil hingga akhirnya hilang kembali ke asal muasal, alam keabadian. herjaka HS
Jayadrata dalam bentuk wayang kulit, karya dari Kaligesing Purworejo. Koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Jayadrata Kelahiran Jayadrata berawal dari bungkus bayi Bima yang dipecah oleh Gajah Sena atas bantuan Dewa Bayu. Saat bungkus pecah, daging bungkus tersebut terbang terbawa angin oleh karena daya dorong Dewa Bayu yang adalah dewanya angin, sampai di samodera dan jatuh di pangkuan Begawan Sapwani yang sedang bertapa untuk memohon anak. Betapa gembiranya hati Begawan Sapwani, ketika daging bungkus bayi Bima berubah menjadi bayi laki-laki. Bayi tersebut diasuhnya dan diberi nama Bambang Segara, karena didapat di pinggir Segara atau Samodra. Setelah dewasa Bambang Segara mendapat tambahan nama Jayadrata dan tinggal di kasatriyan Banakeling. Jayadrata adalah ksatria yang sakti madraguna. Ia kemudian menjadi raja di negeri Sindu Kalangan dan bergelar Tirtanata, yang artinya raja air. Pernah suatu ketika, Tirtanata gelisah dengan dirinya, dan ingin mencari saudaranya yang bernama Bima. Begawan Sapwani menyarankan agar Tirtanata pergi ke negara Hastina karena Bima ada di negeri itu. Sesampainya di Hastina, Tirtanata tidak ketemu dengan Bima, karena Bima dan para Pandawa hidup dihutan sejak peristiwa Bale Sigala-gala. Tirtanata bertemu dengan Kurawa dan dibujuk oleh Sengkuni agar bergabung dengan Kurawa. Jika Tirtanata mau bergabung dengan Kurawa, Duryudana menjanjikan sebuah kedudukkan di Negara Hastina. Tidak hanya kedudukkan, bahkan Tirtanata dikawinkan dengan Dewi Dursilawati adik Duryudana yang bungsu. Maka sejak saat itulah Tirtanata menjadi sekutu Kurawa. Pada saat perang Baratayuda, Tirtanata juga menjadi senapati perang pihak Hastina. Ia berhasil membunuh anak kesayangan Arjuna, yaitu Abimanyu. Arjuna kemudian dendam, dan bersumpah untuk membunuh Tirtanata sebelum matahari terbenam. Jika sampai dengan matahari terbenam belum dapat membunuh Tirtanata alias Jayadrata, Arjuna akan bunuh diri. Sumpah itu didengar oleh para Kurawa. Maka mereka berupaya menyembunyikan Jayadrata. Begawan Sapwani tidak tinggal diam. Ia merekayasa seribu Jayadrata tiruan untuk mengecoh Arjuna. Melihat banyaknya Jayadrata di medan perang Arjuna kebingungan untuk melepaskan panahnya. Kresna mengetahui semuanya. Maka ditutuplah mata hari yang belum waktunya terbenam dengan senjata Cakra. Medan perang menjadi gelap. Kurawa mengira bahwa hari sudah malam, sehingga Arjuna akan mati membakar diri sesuai dengan sumpahnya karena belum dapat membunuh Jayadrata. Oleh karenanya para Kurawa keluar ke medan perang, termasuk Jayadrata yang asli, untuk melihat Arjuna membakar diri. Pada saat itulah Kresna menunjukkan kepada Arjuna Jayadrata yang asli berada. Maka dilepaslah panah ke leher Tirtanata hingga putus dan kepalanya jatuh ke tanah dan menggelinding di depan Bagawan Sapwani. Bersamaan dengan itu Kresna membuka tutup matahari, dan medan perang pun menjadi terang kembali, karena hari masih sore. Melihat anaknya tinggal kepala Begawan Sapwani menangis seperti anak kecil. Ia tidak terima atas perlakuan Arjuna terhadap anaknya. Maka kemudian mulut Jayadrata diberi pusaka berupa Cis semacam tombak pendek. Dengan cis dimulutnya Jayadrata mengamuk. Semua anak Arjuna mati terkena senjata cis. Melihat kepala Jayadrata memakan banyak korban Bima segera menghabisi kepala Jayadrata yang masih bernyawa dengan Gada Rujak Polo. Jayadrata mati meninggalkan satu istri yaitu Dewi Dursilawati dan dua anak yang bernama Arya Wirata dan Arya Surata. herjaka HS
Dewa Bayu, dalam bentuk wayang kulit buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Dewa Bayu Bayu, Batara atau Dewa Bayu adalah anak Batara Guru dengan Dewi Uma. Dewa Bayu bertubuh gagah perkasa lebih besar dibandingkan dengan dewa- dewa yang lain. Ia memiliki kuku pusaka yang bernama Kuku Pancanaka, dan mengenakan kain bermotif kothak-kothak berwarna-warni, yang disebut kampuh Poleng Bang Bintulu Aji. Dewa Bayu dikenal sebagai dewa yang berkuasa atas angin, oleh karenanya ia juga disebut Hyang Maruta. Maruta artinya angin. Karena kekuasaannya itu, Ia mempunyai aji Sepi Angin yang memungkinkan dirinya dapat bergerak sangat cepat seperti gerakan angin. Dewa Bayu pernah ditugaskan oleh Batara Guru untuk mengasuh anak Dewi Anjani yang bernama Anoman. Di bawah asuhan Dewa Bayu, Anoman yang adalah seekor kera putih, tumbuh menjadi ksatria perkasa yang sakti. Anoman mengenakan kain Kampuh Poleng Bang Bintulu Aji dan pusaka Kuku Pancanaka, sama seperti Dewa Bayu. Sebagai asuhan Dewa Bayu atau Sang Hyang Maruta, Anoman juga mampu bergerak sangat cepat seperti gerakan angin dan mendapat sebutan Maruti. Dalam cacatan yang lain, Dewa Bayu pernah dimohon oleh Kunthi, istri Pandudewanata untuk memberikan keturunannya. Karena semenjak dikutuk oleh Resi Kimindama, Pandudewanata tidak dapat memberikan keturunan. Maka kemudian dari Dewa Bayu itulah Kunthi melahirkan anak nomor dua yang diberi nama Bima. Secara fisik Bima tidak berbeda dengan Dewa Bayu. Gagah perkasa, suaranya besar menggelegar, mempunyai Kuku Pancanaka, mengenakan kain Kampuh Poleng Bang Bintulu Aji. Walaupun badannya berat dan besar, Bima dapat bergerak secepat angin. Nama lain Bima adalah Bayuputra, Bayusiwi, Bayusunu yang artinya anak Bayu. Walaupun Bima tidak berada dalam asuhannya, pada saat saat tertentu Dewa Bayu membantu apa yang dibutuhkan anaknya. Seperti misalnya, ketika bayi Bima mengalami kesulitan memecah bungkus, Dewa Bayu mengirim Gajah Sena, untuk membantu memecah bungkus Bima. Juga ketika Bimasena sedang mencari Tirta Amerta, Dewa Bayu berusaha menguji niat Bima dan memberikan bekal ilmu, dengan cara menjelma menjadi seorang raksasa bernama Rukmakala di hutan Tikbrasara. Selain Anoman dan Bimasena, Dewa Bayu mengasuh empat anak yang lahir dari Istrinya yang bernama Dewi Sumi, yakni Batara Sumarna, Batara Sudarma, Batara Sangkara, dan Batara Bismakara. Bersama Dewi Sumi dan keempat anaknya Dewa Bayu tinggal di Kahyangan Panglawung. Nama lain dari Batara Bayu atau Sang Hyang Maruta adalah Sang Hyang Margana dan Sang Hyang Pagulingan. herjaka HS
Kidung malam 91 Saudara Tua Tidak pernah dibayangkan oleh Patih Sengkuni bahwasanya Kunti dan kelima anaknya masih hidup. Lalu siapakah enam mayat yang hangus terbakar pada peristiwa Bale Sigala-gala beberapa tahun lalu? Masih jelas dalam ingatannya waktu itu ada enam mayat hangus menjadi abu. Berdasarkan temuan itu, Patih Sengkuni mengambil kesimpulan bahwa Kunti dan kelima anak laki-lakinya yang disebut Pandawa Lima mati terbakar. Jikapun ada yang menduga bahwa mayat yang terbakar tersebut bukan mayat dari Pandawa dan kunti melainkan mayat enam orang petapa yang singgah di Bale, mereka tidak berani membuka mulut. Dengan demikian hanya ada satu berita resmi dari istana bahwa Pandawa, pewaris tahta Hastinapura telah mati. Oleh karena kematian Pandawa, maka kemudian Sengkuni berhasil membujuk Destarastra mengangkat Duryudana menjadi putera mahkota. Namun, dengan tidak terduga-duga, Pandawa muncul di Pancalaradya sebagai pemenang sayembara. Maka terkuaklah sebuah kebenaran dan terbukalah mata rakyat Hastinapura, bahwa Pandawa masih hidup, Bahkan Bima menjadi semakin perkasa, telah berhasil melumpuhkan Gandamana sapukawat negara Pancalaradya. Sengkuni harus segera merubah strategi dan menyusun rencana baru, untuk menyingkirkan Pandawa agar tidak mengharubiru atas pengangkatan Duryudana sebagai putera mahkota Hastinapura. Berdasarkan catatan peristiwa yang sudah berlalu, tidaklah mungkin Sengkuni mengandalkan para Kurawa untuk menyingkirkan para Pandawa dengan menggunakan cara-cara yang seharusnya dimiliki oleh seorang ksatria. Karena dengan cara itu para Kurawa yang jumlahnya jauh lebih banyak tidak pernah menang berperang tanding melawan Pandawa. Pada hal diantara Kurawa dan Pandawa telah diajarkan ilmu-ilmu yang sama oleh Pandita Durna di padepokan Sokalima. Namun pada kenyataannya, kemampuan menyerap dan menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan berbeda jauh antara Pandawa dan Kurawa. Jika pun nanti, untuk menyingkirkan Pandawa terpaksa menempuh jalan perang tanding, tentunya bukanlah Kurawa yang melakukan, tetapi Kurawa akan menggunakan orang lain yang dapat mengimbangi kesaktian para Pandawa. Sengkuni telah menemukan orang yang diharapkan dapat menandingi Pandawa, yaitu pemuda rupawan yang bertemu sewaktu mengikuti sayembara di Pancalaradya. Pemuda rupawan yang kemudian diketahui bernama Basukarno tersebut telah menunjukkan kesaktiannya. Ia sesungguhnya adalah pemenang sayembara karena mampu menarik busur pusaka. Namun dikarenakan ia mengenakan pakaian golongan sudra, sang putri Dewi Durpadi yang disayembarakan menolaknya. Tidak hanya kesaktian menarik busur pusaka, Basukarno juga menunjukkan kemahiran berolah senjata panah, ketika ia ditantang oleh brahmana muda berparas tampan. Dengan disaksikan oleh Sengkuni dan para Kurawa Basukarno memamerkan kemampuannya memanah burung sriti yang terbang diudara. Dalam sekali bidik puluhan Sriti jatuh ke tanah. Melihat hal itu hati Brahmana muda tersebut tidak mau kalah, ia kemudian menggunduli pohon angsana dengan panahnya. Saat itu Sengkuni telah curiga bahwa brahmana muda berparas tampan tersebut adalah Arjuna yang sengaja menyamar. Oleh karenanya ia mengajak Basukarno untuk bergabung dengan para Kurawa. Karena ialah orangnya dapat menandingi Arjuna dalam berolah senjata panah. Setelah bergabung dengan para Kurawa, bibit permusuhan dengan Arjuna yang ada di lubuk hati Basukarno dijadikan tunas yang senantiasa disiram oleh Sengkuni dan Duryudana agar tumbuh mengakar dengat kuat. Dengan demikian pada saatnya kelak Basukarno mampu membuat Arjuna dan Pandawa celaka. Basukarno yang adalah anak angkat dari seorang sais kereta kerajaan yang bernama Adirata merasa berharga diantara para Kurawa. Oleh Duryudana Basukarno diangkat menjadi saudara tua dan diberi kedudukan Adipati. Hubungan antara Duryudana dan Basukarno dari hari ke hari semakin akrab. herjaka HS Ralat kidung malam 90 Ada teks yang agak mengganggu pada bagian dialog Destarastra dan Gendari yang tertulis sebagai berikut: Jika benar-benar Kunti dan Pandawa masih selamat apa yang akan kalian lakukan? bagaimana jika mereka menuntut hak tahta Hastinapura? desak Destarastra. Srikandi mengusap dada Prabu Destarastra dengan jari-jarinya yang lembut. Kemudian kepala Gendari dibenamkan ke dada Destarastra yang bidang. Nama Srikandi yang tertulis tersebut salah, yang benar adalah Gendari. Dengan demikian kesalahan telah dibetulkan.
Gandamana dalam rupa wayang kulit, buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Rumah Budaya (foto: Sartono) Gandamana Gandamana dari kata Ganda yang artinya bau dan ana, artinya ada. Keberadaan Gandamana bermula dari seorang dewi cantik bernama Dewi Setyawati, putri raja Wirata yang menderita penyakit aneh, yaitu sekujur tubuhnya mengeluarkan bau amis menyengat. Setelah penyakit tersebut berhasil disembuhkan oleh seorang petapa sakti dari Saptaharga, bau amis tersebut hilang dan mewujud jadi sosok anak laki-laki, diberi nama Gandamana. Tidak jelas kisahnya, tokoh Gandamana ini kemudian diangkat anak oleh Prabu Gandabayu dan dijadikan adik Dewi Gandawati. Gandamana sangat menyayangi Dewi Gandawati. Karena rasa sayang tersebut maka ketika Dewi Gandawati telah memasuki usia dewasa, Gandamana mempunyai permohonan kepada Prabu Gandabayu agar jika kelak ada orang yang ingin meminang Dewi Gandawati, hendaklah Ia mempunyai kesaktian yang paling tidak sama dengan dirinya. Prabu Gandabayu mengabulkan permohonan Gandamana. Maka kemudian dibukalah sayembara, bagi siapa yang dapat mengalahkan Gandamana, berhak menyunting Dewi Gandawati. Tidak mudah untuk mengalahkan Gandamana, karena ia mempunyai dua ajian yang sangat sakti bernama Bandung Bandawasa dan Wungkal bener. Aji Bandawasa mempunyai daya kekuatan yang sebanding dengan kekuatan seribu gajah. Sedangkan aji Wungkal Bener akan menjadikan Gandamana tidak dapat dikalahkan selama ia berada dalam posisi yang benar. Oleh karena kesaktiannya, diantara para pelamar, hanya ada satu orang bernama Sucitra dari negara Hargajembangan, tanah seberang, yang dapat mengalahkan Gandamana. Itu pun tidak terlepas dari bantuan Pandudewanata raja Hatinapura. Atas kemenangannya, Sucitra berhak memperistri Dewi Gandawati. Sebagai ksatria Gandamana menerima kekalahannya, namun sebagai laki-laki ia tidak kuasa menghindar dari rasa kecewa yang dalam. Dewi Gandawati yang selama ini ia sayangi telah menjadi milik orang lain. Harapan untuk senantiasa bersanding dengan Dewi Gandawati, kini tinggalah harapan, karena ia telah dikalahkan. Pandudewanata, sebagai raja besar Hastinapura yang mempunyai ketajaman budi dan hati, mampu melihat bahwa Gandamana berada dalam keterpurukan. Baik terpuruk secara lahir, karena ia telah dikalah oleh Sucitra, maupun terpuruk secara batin, karena ia telah kehilangan Dewi Gandawati. Oleh karena kebaikan dan rasa belas kasihan Pandudewanata, maka diajaknya Gandamana ke Negara Hastinapura untuk menduduki jabatan Patih di sana. Atas janji Pandudewanata, mendung yang menggelayut di hati Gandamana tersibak karenanya. Dengan sukacita Gandamana mengikuti Pandudewanata ke Negara Hastinapura. herjaka HS
Wayang Kulit Prabu Durpada, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Drupada Sucitra adalah seorang remaja dari Atasangin, yang oleh Prabu Baratwaja raja Hargajembangan diangkat anak dan disaudarakan dengan anaknya yang bernama Kumbayana. Selain dijadikan anaknya, kedua remaja tersebut di ajari ilmu yang sama. Sucitra dan Kumbayana tumbuh bersama dan menjadi pemuda yang berilmu tinggi. Pada suatu pagi yang cerah Sucitra meninggalkan bumi Atasangin dan Negara Hargajembangan karena di utus oleh Prabu Baratwaja untuk mengembalikan keris pusaka kepunyaan Begawan Abiyasa di tanah Jawa. Sesampainya di tanah Jawa tepatnya di negara Pancalaradya, Sucitra bertemu dengan Pandudewanata anak Begawan Abiyasa. Pandu menyarankan, sebelum keris pusaka dikembalikan kepada ramanda Abiyasa, Sucitra dapat menggunakan keris tersebut untuk mengikuti sayembara yang diadakan oleh Prabu Gandabayu raja Pancalaradya. Atas bantuan Pandudewanata, Sucitra berhasil memenangkan sayembara dengan mengalahkan Gandamana. Atas keberhasilannya, Sucitra dikawinkan dengan putri kedaton yang bernama Gandawati. Beberapa tahun kemudian Sucitra menggantikan Prabu Gandabayu menjadi raja di Pancalaradya dengan nama Prabu Durpada. Pada awal pemerintahannya, Prabu Durpada diembani oleh patih Gandamana, adik iparnya. Setelah menjadi raja di Pancalaradya yang sebelumnya termasuk wilayah negara Ekacakra, Prabu Durpada tidak pernah lagi kembali ke bumi Atasangin di Negara Hargajembangan. Ia juga tidak ingat lagi dengan Kumbayana sahabatnya yang juga suadara tuanya diwaktu remaja. Oleh karenanya ketika Kumbayana datang di bangsal raja, dan memanggil- manggil dirinya dengan nama kecilnya Sucitra! Sucitra! Sucitra! Prabu Durpada tidak lagi mengenalnya. Bahkan ia menyuruh Gandamana mengusir orang asing yang berlaku tidak sopan pada raja. Demi keselamatan raja, Gandamana menyeret Kumbayana dan menghajarnya, hingga menderita cacat seumur hidup. Sejak peristiwa itu Kumbayana yang kemudian lebih dikenal dengan nama Durna menyimpan dendam yang membara. Diantara dua sahabat lama itu untuk selanjut saling balas-membalas melampiaskan dendamnya. Dengan Dewi Gandawati, Prabu Durpada mempunyai tiga anak yaitu Durpadi, Srikandi dan Drestajumena herjaka HS
Batara Endra dalam rupa wayang kulit, buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Batara Endra Menurut kitab Mahabarata tulisan Wiyasa, Batara Endra merupakan pemuka Dewa yang bertempat tinggal di Kahyangan Indraloka atau Indrabawana dan disebut juga Kahyangan Kaendran. Batara Endra adalah anak dari pasangan Maharesi Kaspaya dan Dewi Aditi. Selain Batara Endra, pasangan Maharesi Kaspaya melahirkan sebelas anak yang lain yaitu : Batara Ariyaman, Batari Datri, Batara Mitra, Batara Angsa, Batara Baruna, Batara Wagu, Batara Surya, Batara Pusa, Batari Sawitri, Batari Twastri, dan Batara Wisnu. Sedangkan di dalam kitab Pedalangan, Batara Endra adalah adik Batara Brama, anak Dewi Uma dan Batara Guru, penguasa para Dewa di Kahyangan Jonggringsaloka. Batara Endra diberi tugas oleh Batara Guru untuk memimpin para Dewa dan melindungi para Bidadari di Kahyangan, dan memberikan hadiah bagi siapa saja yang gemar bertapa, membantu ketentraman dunia serta telah berjasa kepada para dewa Pada waktu Kahyangan diserang Prabu Mahesasura dan Lembusura raja Goa Kiskenda, Batara Endra meminta Subali dan Sugriwa menghadapinya. Setelah kedua kera bersaudara tersebut berhasil membunuh Mahesasura dan Lembusura, Batara Endra menghadiahkan anaknya sendiri yang bernama Dewi Tara, kepada Subali dan Sugriwa. Selain menghadiahkan kepada Subali dan Sugriwa, Batara Endra juga menghadiahkan putrinya yang lain yang bernama Dewi Supraba kepada Arjuna karena jasanya dapat mengalahkan musuh para dewa yaitu Prabu Niwatakawaca raja Imaimantaka. Sebelum menghadiahkan Dewi Supraba, Batara Endra juga memberikan panah Pasopati kepada Arjuna guna menghadapi Prabu Niwatakawaca yang tidak terkalahkan oleh para dewa. Batara Endra mempunyai kendaraan berupa seekor gajah, namanya Erawata. Ia bertempat tinggal di Kahyangan Tinjomaya bersama Dewi Wiyati istrinya, serta anak-anaknya yaitu: Dewi Tara, Dewi Tari, Dewi Supraba, Batara Citrarata, Batara Citragada, Batara Citrasena, dan Batara Jayantara. Selain anak-anak yang lahir dari Dewi Wiyati, sesungguhnya Batara Endra mempunyai satu anak dengan Dewi Kunthi yaitu Arjuna. Pernah pada suatu kali Batara Endra melakukan kesalahan fatal, sehingga membuat Batara Guru murka dan mengutuk Batara Endra menjadi raksasa bernama Rukmaka. Ia baru berubah wujud aslinya sebagai dewa setelah berperang melawan Bima dalam lakon Dewaruci Batara Endra disebut pula sebagai dewa petir dan halilintar. Ia mempunyai senjata bajra berupa tonngkat petir. Nama-nama Batara Endra yang lain adalah: Prabu Sakra karena pernah menjadi raja di Medanggana, Swargapati yang artinya raja surga, Diwapati, dan Meghawahana herjaka HS
Dewi Anjani sebelum berwajah kera, wayang kulit buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya. (foto: Sartono) Anjani Dewi Anjani adalah seorang putri yang cantik jelita dari pertapaan Grastina, kakak dari Guwarsa dan Guwarsi. Ibunya adalah Dewi Indradi dan bapaknya adalah Resi Gotama. Kecantikan Dewi Anjani tidak jauh berbeda dengan kecantikan Dewi Indradi ibunya. Hal tersebut dikarenakan sebelum menjadi istri Resi Gotama, Dewi Indradi adalah seorang Bidadari. Selain kecantikan yang relatif sama, kedua wanita tersebut mempunyai kesenangan yang sama pula. Salah satunya yang menjadi kesenangan mereka adalah melihat-lihat pemandangan alam yang indah. Namun dikarenakan mereka tinggal di pertapaan, maka yang mereka nikmati sebatas keindahan alam yang berada disekitar pertapaan. Ada keinginan yang kuat diantara kedua anak dan ibu tersebut untuk dapat melihat keindahan alam dibelahan dunia lain, tidak hanya di wilayah pertapaan Grastina. Sebagai sosok bidadari, keinginan yang kuat untuk dapat melihat keindahan alam di luar wilayah pertapaan Grastina, sesuai dengan apa yang diinginkan, ternyata mampu mengundang perhatian para dewa, terutama Dewa Surya, yang pada setiap harinya melihat keindahan alam di seluruh muka bumi. Karena perhatian yang berlebihan, Dewa Surya memberikan sebuah benda pusaka yang bernama Cupu Manik Astagina kepada Dewi Indradi. Dengan Benda tersebut Dewi Indradi dapat melihat keindahan alam di mana pun berada sesuai dengan imajinasinya. Ketika pada suatu saat, Dewi Indradi bercengkrama dengan Cupu Manik Astagina, Dewi Anjani memergokinya. Ia sangat terpana dengan Cupu Manik Astagina dan meminta benda tersebut dari ibunya. Setelah Cupu Manik Astagina diberikan kepada Dewi Anjani, benda tersebut diketahui pula oleh kedua adiknya, dan menjadi rebutan. Mengetahui ketiga anaknya berebut benda pusaka milik Dewa Surya, Resi Gotama murka dan membuang Cupu Manik Astagina ke telaga Sumala. Sesampainya di telaga Sumala, Dewi Anjani tidak mendapatkan benda yang diperebutkan. Karena letih kedua tangannya mengambil air telaga untuk membasuh mukanya. Keajaiban terjadi. Muka dan kedua tangannya yang basah karena air telaga, berubah wujud menjadi tangan kera dan muka kera. Hampir bersamaan waktunya dengan perubahan kedua adiknya dari seorang ksatria bernama Guwarsa dan Guwarsi menjadi seekor kera bernama Subali dan Sugriwa. Dengan penyesalan yang dalam Anjani dan kedua adiknya kembali ke pertapaan. Oleh Resi Gotama Dewi Anjani disuruh melakukan tapa nyantuka yaitu bertapa dengan cara seperti katak. Di telaga Nirmala, Dewi Anjani membenamkan badannya yang molek tanpa busana di dalam jernihnya air telaga, sedangkan kepalanya berada di atas permukaan air. Selama bertapa, Dewi Anjani memakan dedaunan yang jatuh di depan mulutnya. Siang maupun malam, Dewi Anjani tak pernah berhenti memohon agar dirinya dipulihkan menjadi seorang putri yang cantik jelita. Keprihatinan Dewi Anjani didengar oleh Batara Guru dewa tertinggi penguasa kahyangan. Ia kemudian turun ke bumi mendekati Dewi Anjani. Melihat tubuh molek tersebut Batara Guru tak kuasa membendung gelora birahinya, maka keluarlah kama Batara Guru dan jatuh menimpa daun sinom dan daun talas yang pernah untuk membungkus janin muda yang gugur dari rahim Dewi Sinta. Kedua daun tersebut jatuh dan hanyut persis di depan mulut Dewi Anjani. Maka kemudian dimakan dedaunan itu. Akibatnya Dewi Anjani hamil. Batara Guru menyadari bahwa kehamilan Dewi Anjani akibat dari perilakunya maka diperintahkannya para Bidadari untuk membantu proses persalinan Dewi Anjani. Maka setelah tiba waktunya, Dewi Anjani melahirkan seorang bayi laki-laki berupa kera berbulu putih kemilau dan diberi nama Anoman. Dewi Anjani dan Anoman kemudian dibawa ke Kahyangan. Peristiwa kelahiran kera berbulu putih menjadi tanda bahwa Dewi Anjani telah berhasil mengeluarkan watak kera yang ada di dalam dirinya. Watak yang saling berebut dan saling menggigit di antara sesama saudara. Kini Dewi Anjani telah dipulihkan seperti sedia kala. Wajahnya kembali cantik, ia tidak lagi mengandung kera di hatinya. Keranya telah diputihkan menjadi sosok Anoman. herjaka HS
Sugriwa, wayang kulit purwa buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Sugriwa Sugriwa adalah anak dari pasangan Resi Gotama dan Dewi Indradi. Seperti juga yang dialami oleh Subali kakaknya, Sugriwa sebelumnya berwajah tampan dengan nama Guwarsi. Ia berubah menjadi seekor kera ketika berebut Cupu Manik Astagina dengan kakaknya di Telaga Sumala. Perubahan wujud dari satria tampan menjadi seekor kera terjadi saat Sugriwa dan kakaknya masuk di air telaga. Di dalam kedalaman air telaga Sumala, Sugriwa tidak menemukan benda yang diperebutkan, yang ditemukan adalah seekor kera besar, sebesar dirinya. Sugriwa segera menyerang kera tersebut, karena mengira bahwa kera itu telah mengambil Cupu Manik Astagina. Demikian pula sebaliknya, Subali pun mempunyai anggapan bahwa kera yang menyerang dirinya itu telah mengambil Cupu Manik Astagina. Oleh karenanya Subali pun membalas serangan Sugriwa. Maka kemudian diantara kakak beradik tersebut terlibat dalam peperangan yang seru. Beberapa waktu kemudian mereka baru menyadari bahwasanya mereka adalah kakak beradik, Guwarsa dan Guwarsi yang telah berubah menjadi kera. Setelah peristiwa itu nama Guwarsa Guwarsi seakan tenggelam berserta ketampanannya. Mereka lebih dikenal dengan nama Subali dan Sugriwa. Oleh Resi Gotama Sugriwa dan juga Subali disarankan untuk bertapa di hutan Sonyapringa yang berada di gunung Argasonya. Di wilayah itulah Sugriwa melakukan tapa untuk memohon agar dirinya dikembalikan ke dalam bentuk semula. Namun bertahun-tahun sudah Sugriwa melakukan tapa, apa yang diharapkan tidak pernah terwujud. Oleh karena tingkah lakunya yang saling berebut saling menggigit dan saling mencakar antara sesama saudara kandung, untuk memiliki sebuah benda yang bukan haknya, Sugriwa lebih sesuai berwujud sebagai seekor kera. Karena sesungguhnya wujud kera adalah wujud kegagalan. Kegagalan untuk mempertahankan jati dirinya sebagai seorang kesatria. Walaupun Sugriwa tetap berujud kera, ia adalah kera yang sakti mandraguna. Kesaktian itu didapat pada waktu ia melakukan tapa. Oleh karena kesaktiannya, Sugriwa dipercaya oleh Dewa untuk membantu Subali dalam menghadapi musuh Kahyangan yaitu Mahesasura, Lembusura dan Jatasura dari kerajaan Goa Kiskenda. Pilihan Dewa memang tepat, Subali dan Sugriwa dapat memporakporandakan prajurit Goa Kiskenda. Patih Jatasura tewas di medan laga. Prabu Lembusura dan Mahesasura melarikan diri masuk ke goa Kiskenda. Dalam pengejaran, Subali menyarankan agar Sugriwa tidak usah ikut masuk ke goa. Sugriwa diperintahkan oleh Subali untuk berjaga-jaga di depan pintu goa. Jika nanti darah yang mengalir ke pintu goa itu warnanya merah, itu adalah darah musuh, artinya aku menang. Tetapi jika darah yang mengalir di pintu goa berwarna putih, itu adalah darahku, artinya bahwa aku mati dalam peperangan. Jika hal itu terjadi, engkau segera menutup pintu goa supaya musuh ikut terkubur di dalam goa, demikian pesan Subali kepada Sugriwa, sesaat sebelum ia memasuki goa. Dengan rasa cemas dan khawatir Sugriwa menunggu di mulut goa, dengan tidak melepaskan pandangannya pada sungai kecil yang mengalir keluar goa. Setelah beberapa lama Sugriwa menunggu, ia dikejutkan oleh mengalirnya darah yang berwarna merah bercampur dengan darah yang berwarna putih. Dengan cepat Sugriwa mengambil kesimpulan, bahwa Subali kakaknya telah mati bersama dengan salah satu musuhnya, Lembusura atau Mahesasura. Maka segeralah ia menutup pintu goa agar musuh yang masih hidup mati terkubur bersama. Selesai menutup Goa, Sugriwa segerah menuju kahyangan. Dengan sedih ia melaporkan bahwa Subali telah mati bersama musuh. Para dewa mempercayai laporan Sugriwa, dan memutuskan bahwa Sugriwa berhak menerima hadiah para dewa sesuai dengan yang dijanjikan kepada Subali, yaitu seorang bidadari yang bernama Dewi Tara dan negara Goa Kiskenda. Belum beberapa lama Sugriwa memboyong Dewi Tara ke negara Goa Kiskenda, Subali datang menyeret Sugriwa dan menghajarnya. Subali merasa dikhianati oleh adiknya. Sugriwa membela diri, bahwa dirinya tidak berniat mencelakai kakaknya. Dengan dasar mengalirnya darah putih Sugriwa beranggapan bahwa Kakaknya dan musuhnya mati bersama. Goblok!! itu bukan darah putih, itu otak Mahesaura dan otak Lembusura yang aku adu kepalanya. Kemarahan Subali mencapai puncak, ia tidak ingin mendengar pembelaan Sugriwa lagi. Hatinya amat panas dipanggang oleh api cemburu, karena Sugriwa telah memperistri Dewi Tara yang selama ini menjadi impian Subali. Dengan hati yang membara kebencian, Subali menyiksa Sugriwa dengan meyepitkannya di dahan pohon nan tinggi. Subali, kakak beradik itu, yang lahir dari satu ayah dan satu ibu, lebih memilih menjadi seekor kera dari pada seorang kesatria. Subali yang adalah seorang Resi dan Sugriwa yang adalah seorang raja, rupanya belumlah dapat membuang watak kera di dalam pribadinya. Subali akhirnya tertembus pusaka Guwawijaya milik Rama, sampai pada tarikan nafas terakhir, Subali masih menampakkan sosok kera yang utuh. Demikian pula Sugriwa yang mati dalam usia tua, belum berubah menjadi sosok kesatria tampan yang bernama Guwarsi. herjaka HS
Subali dalam bentuk wayang kulit, buatan Kaligesing Purworejo koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Subali Subali adalah anak Resi Gotama dari pertapaan Grastina. Ibunya bernama Dewi Indradi. Ia mempunyai dua saudara yaitu Sugriwa dan Anjani. ketika muda Subali bernama Guwarsa dengan wajah tampan. Tetapi sesudah ketiga saudara tersebut saling berebut Cupu Manik Astagina yang dibuang oleh Resi Gotama ke telaga Nirmala, maka wajah ketiga anak Resi Gotama tersebut berubah menjadi kera. Setelah peristiwa itu, Resi Gotama menyuruh Subali untuk bertapa ke hutan Sonyapringga. Di hutan tersebut Subali melakukan tapa ngalong, yaitu bergelantung di atas dahan pohon seperti perilaku binatang Kalong. Beberapa waktu kemudian, Subali menjelma menjadi kera yang sakti. Suatu saat ketika Dasamuka sedang terbang melintas tepat di atas Subali, Dasamuka jatuh ke tanah. Dasamuka kagum atas kesaktian Subali, maka kemudian Dasamuka berguru kepada Subali. setelah menjadi murid Subali, Dasamuka diberi aji yang sangat sakti bernama Aji Pancasona. Barang siapa mempunyai aji Pancosona ia tidak dapat mati jika menyentuh tanah. Ketika Kahyangan diserang oleh Raja Goa Kiskenda yaitu Prabu Mahesasura, Subali diperintahkan oleh dewa untuk menghadapi Mahesasura dengan janji jika berhasil akan diberi seorang Bidadari yang bernama Dewi Tara. Dengan bantuan Sugriwa adiknya, Subali berhasil membunuh Prabu Mahesasura dan Lembusura Pada saat Subali membunuh musuhnya di dalam goa, Sugriwa yang berada di luar goa mengira bahwa Subali telah gugur bersama musuhnya, maka kemudian Sugriwa segera naik ke Kahyangan dan mengambil Dewi Tara. Dengan kejadian tersebut Subali merasa dikianati oleh adiknya, maka dengan amat marah Sugriwa dihajar oleh Subali. Sugriwa melarikan diri untuk mencari bantuan, hingga ketemu Rama. Dengan bantuan Rama Sugriwa dapat Subali. herjaka HS
Indrajit dalam rupa wayang kulit,| koleksi Tembi Rumah Budaya. (Foto: Sartono) Indrajit Indrajit disebut pula Megananda karena keberadaannya dipuja dari sebuah mega. Ia juga disebut Begananda karena Indrajit mempunyai aji yang sangat dahsyat namanya Begananda. Secara lahir Indrajit adalah anak Dasamuka, raja Alengka, namun sesungguhnya ia adalah anak pujan, yaitu anak yang lahir dari hasil pemujaan. Bayi laki-laki Indrajit dipuja oleh Wibisana bersama dengan para dewa dari gumpalan mega, untuk menukar bayi perempuan yang dilahirkan Dewi Tari istri Dasamuka. Penukaran bayi itu dilakukan oleh Wibisana atas persetujuan Dewi Tari, sebagai upaya pencegahan agar Dasamuka tidak mengawini anaknya sendiri, karena menurut ramalan para resi bahwa bayi perempuan itu adalah titisan Dewi Widowati yang kelak akan diperistri Dasamuka. Proses penukaran pun terjadi dengan sangat rahasia. Bayi perempuan, anak Dasamuka yang sesungguhnya dimasukkan ke dalam kotak kendaga dan dihanyutkan ke sungai. Ketika Dasamuka pulang dari lawatannya ke luar daerah, ia sangat marah mendapatinya bayi laki-laki di depan Dewi Tari istrinya. Dasamuka mempercayai ramalan para resi, bahwa anaknya akan lahir perempuan, karena titisan Widowati. Oleh karenanya bayi laki-laki itu bukan anaknya. Ia dengan geram mengambil bayi itu dan membantingnya di lantai. Benturan keras itu tidak membuatnya bayi Indrajit terluka, bahkan sebaliknya. Ia semakin kuat. Setiap kali Dasamuka membantingnya, saat itu pula bayi Indrajit tumbuh semakin kuat dan menjadi besar. Tidak beberapa lama kemudian Indrajit telah menjadi seorang ksatria yang gagah perkasa serta sakti mandraguna. Ia tidak terima atas perlakuan Dasamuka. Maka kemudian terjadilah perang diantara Indrajit dan Dasamuka. Ada kemiripan gerak, watak, karakter dan emosi di antara ke duanya. Melihat kenyataan yang terjadi, akhirnya Dasamuka mengakui bahwa Indrajit adalah anaknya. Bahkan Dasamuka sangat menyayanginya, dan kelak diharapkan dapat meneruskan tahta Alengka. Dengan keberadaan Indrajit, negara Alengka semakin kuat, Indrajit memiliki sifat serakah, juga sewenang-wenang, mirip ayahnya. Ia memiliki tiga panah sakti yaitu: panah Asurastra, bila dilepaskan berubah menjadi rantai yang kemudian mengikat musuh, atau berubah menjadi ular yang melilit musuh. Panah Nagapasa, bila dilepas berubah menjadi ribuan ular dan menyerang musuh. Panah Mahanosara, bila dilepas semua orang yang berada di daerah sasaran akan terserang rasa kantuk yang luar biasa. Indrajit tinggal di kasatrian Bikukung bersama seorang istri yaitu Dewi Sumbaga serta tiga anaknya yakni: Begasura, Dewi Indraji dan Dewi Idrarum. Ketika terjadi perang besar yang dinamakan perang Giriantara, antara Alengka melawan prajurit kera dari Swelagiri, Indrajit menjadi senapati Alengka. Atas kesaktiannya itu ia dengan mudah membunuh prajurit kera dalam jumlah yang besar. Atas saran Wibisana, Lesmana lah yang menghadapi Indrajit dengan panah pusaka Surawijaya. Maka ketika Indrajit terkena panah pusaka milik Lenmana, ia roboh di medan laga. Saat itu pula Wibisana menghampiri keponakkannya yang sudah tidak berdaya, Wibisana memuja jasad Indrajit agar kembali seperti sebelum ia tercipta, yakni segumpal awan di langit biru. herjaka HS
Wibisana dalam bentuk wayang kulit, buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Wibisana Wibisana adalah anak bungsu dari empat bersaudara putra pasangan Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi. Wibisana satria berparas tampan, tidak seperti ke tiga kakaknya yang berwajah raksasa yaitu, Prabu Dasamuka, Raden Kumbakarna, dan Dewi Sarpakenaka. Ketika masih remaja ke empat anak Begawan Wisrawa tersebut melakukan laku tapa di gunung Gohkarna selama bertahun-tahun. Pada akhir tapanya, masing-masing dari mereka mendapat anugerah dari Dewa sesuai dengan keinginannya. Sewaktu Hyang Narada bertanya kepada Wibisana, apa yang diinginkannya? Wibisana menjawab bahwa dirinya ingin menjadi kesatria sejati yang dapat menempatkan nilai-nilai kebenaran di atas nilai-nilai yang lain. Hyang Narada mengabulkan apa yang dimohon Wibisana dan berjanji atas nama para dewa akan senantiasa membantu perjuangan Wibisana dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran di dunia. Ketika pada suatu hari Wibisana mendengarkan ramalan para Resi negara Alengka, yang mengatakan bahwa Negara akan mengalami bencana besar dikarenakan ulah Prabu Dasamuka yang akan mengawini anaknya sendiri, yang sekarang masih dalam kandunag Dewi Tari istri Dasamuka. Hal tersebut dilakukan Dasamuka, karena anak tersebut merupakan titisan Dewi Widowati, yang sejak dari Lokapala selalu dikejar-kejar Dasamuka untuk diperistri. Wibisana berusaha mencegah agar kakaknya tidak melakuan tindakan yang tidak benar, dengan mengawini anaknya sendiri. Karena jika seorang raja mengawini anak kandungnya negara serta rakyatnya akan tertimpa bencana besar. Maka setelah genap waktunya Dewi Tari melahirkan bayi perempuan, Wibisana segera bertindak. Ia, dibantu oleh para Dewa, mencipta bayi laki- laki dari gumpalan mega di langit yang diberi nama Begananda, untuk mengganti bayi perempuan. Sedangkan bayi perempuan anak Dasamuka yang sesungguhnya dihanyutkan di sungai. Bayi perempuan yang kemudian di temukan oleh Prabu Janaka raja Mantili dan diberi nama Dewi Sinta, menjadi istri Rama, dan dicuri oleh Dasamuka di hutan Dandaka untuk diboyong di Alengka. Tidak ada yang tahu bahwa Dewi Sinta adalah anak kandung Dasamuka. Namun Dasamuka tahu bahwa Dewi Sinta adalah titisan Dewi Widowati, dambaan hatinya. Oleh karenanya Dasamuka sangat bernafsu untuk memperistri Dewi Sinta. Wibisana menentang keinginan Dasamuka mengawini Dewi Sinta. Kakanda Prabu hal itu tidak benar. Sebaiknya Dewi Sinta dikembalikan kepada Prabu Rama suaminya. Saran Wibisana membuat Dasamuka murka. Wibisana diusir dari Negara Alengka. Dengan perasaan hancur Wibisana meninggalkan tanah tumpah darahnya. Ia teringat akan kata Hyang Narada, bahwasannya memperjuangkan kebenaran itu tidak mudah. Banyak rintangan dan hambatan yang membutuhkan pengorbanan. Wibisana telah mengorbankan tanah tumpah darahnya, negaranya, saudara-saudaranya. Semuanya ditinggalkan demi sebuah kebenaran. Kemudian Wibisanan bergabung dengan Prabu Rama. Pada saat terjadi perang besar yang dinamakan Perang Giriantara, antara Dasamuka dan bala tentara Alengka melawan Rama serta pasukan kera di pesanggrahan Swelagiri, Wibisana diangkat oleh Rama menjadi penasihatnya, dengan pertimbangan bahwa Wibisana banyak mengetahui seluk beluk istana serta peta kekuatan Negata Alengka. Wibisana juga mengetahui rahasia kekuatan para senopati perang Alengka. Bersama Wibisana, Rama berhasil mengalahkan Dasamuka serta prajurit prajuritnya dengan tidak menghancurkan negara. Sepeninggal Prabu Dasamuka, Wibisana diangkat oleh Rama menjadi raja di Negara Alengka. Nama Alengka kemudian diganti menjadi Singgelapura. Wibisana didampingi seorang istri bernama Dewi Triwati serta kedua putranya yaitu Dewi Trijata dan Raden Denta Wilukrama. Namun sebelum naik tahta di Singgelapura, Rama memberi wejangan Astabrata kepada Wibisana. Astabrata adalah delapan laku watak yang seharusnya diupayakan oleh seorang pemimpin. yaitu: 1. Berwatak Matahari: memberi energi dan daya hidup. 2. Berwatak Bulan: menerangi bagi mereka yang berada dalam kegelapan sehingga memberi rasa keindahan, ketentraman 3. Berwatak Bintang: menjadi penghias dan pedoman arah bagi mereka yang kehilangan arah di malam hari. 4. Berwatak Angin: dapat mengisi setiap ruangan yang kosong dan dapat melakukan tindakan yang teliti, cermat dalam menyelami kehidupan. 5. Berwatak Mendung, berwibawa menakutkan, tetapi sesudah menjadi air dapat menghidupkan segala tumbuhan dan memberi manfaat bagi sesama. 6. Berwatak Api: bertindak tegas, adil, tidak pandang bulu. 7. Berwatak Samudra: mempunyai pandangan yang luas, rata dan sanggup menerima persoalan apapun tanpa kebencian 8. Berwatak Bumi: mempunyai sifat sentosa, suci dan jujur serta memberi anugerah kepada yang berjasa Tidak hanya Wibisana, Setiap pemimpin, bahkan setiap orang, tak terkecuali, dapat menerapkan delapan watak tersebut. Karena sejatinya, bagi mereka yang dapat menerapkan ajaran Astabrata hidupnya akan bermahkota seperti layaknya seorang raja, walaupun ia hanyalah orang biasa nan papa. herjaka HS
Patih Udawa, wayang kulit buatan Kaligesing, Purworejo. Koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Patih Udawa Udawa adalah seorang patih negara Dwarawati, tempat Prabu Kresna menjadi raja. Walaupun jabatan Patih merupakan jabatan tertinggi setelah raja, Ia tidak pernah menggerutu dalam menjalankan tugasnya. Hari- harinya selalu dibarengi dengan kelakar dan sendau gurau. Namun hal tersebut tidak mengurangi ketaatan dan kesetiaannya dalam mengabdi raja. Kresna pun amat menyayangi Udawa. Hubungan mereka tidak sekedar hubungan formal antara patih dan raja, tetapi lebih dari itu. Kresna menganggap Udawa sebagai saudara tua dengan sebutan Kakang Patih, karena memang demikianlah sesungguhnya. Menurut sejarah, Kresna dan Udawa itu merupakan saudara seayah lain ibu. Udawa adalah anak Prabu Basudewa hasil dari hubungannya dengan dayang istana yang luwes, cantik dan pandai menghibur, bernama ken Sayuda. Sedangkan Kresna adalah anak Basudewa yang lahir dari salah satu istrinya bernama Dewi Mahindra. Untuk membuang aib, dikarenakan Ken Sayuda bukan istri Basudewa, ia diterimakan kepada Antagopa, seorang Demang di Widarakandang. Di kademanagan tersebut Ken Sayuda berganti nama, Nyai Sagopi. Setelah tiba waktunya, Nyai Sagopi melahirkan seorang bayi dan diberi nama Udawa. Secara lahir Udawa adalah anak pasangan Demang Antagopa dan nyai Sagopi, namun sejatinya Udawa adalah anak Prabu Basudewa raja Mandura. Walau pun Udawa mengetahui bahwa rajanya adalah adiknya, ia tidak pernah menolak perintahnya, walaupun perintah tersebut bertentangan dengan nuraninya. Salah satu perintah Prabu Kresna yang sangat menyiksa dirinya adalah ketika dalam perang Baratayuda ia diperintah untuk berada di pihak Kurawa. Dengan pertimbangan bahwa Udawa telah mengawini Antiwati putri bungsu Sengkuni, seorang Patih negara Hastinapura, tempat para Kurawa mukti wibawa. Hingga perang Baratayuda usai, Udawa masih selamat, karena memang dia setengah hati dalam berperang melawan para Pandawa. Jabatan Patih Dwarawati masih ia sandang pada usia yang semakin tua. Ia memang berjanji kepada Kresna, bahwa seluruh hidupnya ia darma baktikan kepada Raja Dwarawati. Dan janji itu ia buktikan. Ketika murid Kresna, raja Sriwedari yang bernama Prabu Arjunapati melampiaskan sakit hatinya dan bersama dengan prajuritnya menyerbu Dwarawati, Patih Udawa berusaha dengan seluruh kekuatan membendung serangan itu. Patih Udawa berhadapan dengan Prabu Arjunapati. Diantara keduanya berlangsung perang tanding yang sengit. Tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Bahkan akhir dari perang tanding tersebut, Prabu Arjunapati dan Patih Udawa gugur bersama. Hingga tetes penghabisan ia tumpahkan darahnya di tanah Dwarawati, tempat Udawa mengabdikan diri sejak belia hingga usia senja. herjaka HS
Wayang kulit Purwa Setyaki. Buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya. (Foto: Sartono) Setyaki Setyaki atau Sencaki adalah anak Prabu Setyajid, Raja Negara Lesanpura yang berpasangan dengan Dewi Wresini atau Dewi Sini. Menjelang kelahirannya, Dewi Wresini nyidam, ingin menaiki Harimau yang bernama Singamulangnjaya. Harimau tersebut ketika didekati Dewi Wesrini kelihatan jinak. Namun setelah Dewi Wresini berada di punggungnya, Singamulangnjaya berubah ganas. Ia secara mengejutkan lari dengan kencangnya. Dewi Wresini amat terkejut, ia jatuh dari punggung harimau. Bersamaan dengan itu bayi yang ada di dalam kandungan lahir dipunggung harimau. Singamulangjaya semakin liar. Bayi Setyaki berusaha dimakan. Namun usahanya selalu gagal. Bayi yang masih merah tersebut tidak hancur karena gigitan Singamulangnjaya. Malahan dengan cepat ia tumbuh menjadi besar. Karena merasa dirinya terancam, bayi yang sudah menjadi dewasa itu membela diri dari serangan harimau. Pada akhirnya Setyaki berhasil membunuhnya. Sejak saat itu Setyaki menyandang nama Singamulangnjaya. Selain Singamulangnjaya, Setyaki juga menyandang nama Bima Kunting. Nama itu didapat dari Bimasena, karena Sentyaki kuat mengangkat pusaka Gada Rujak Polo milik Bima. Bebarengan dengan pemberian nama Bima Kunting, Bima memberikan sobekan kampuhnya kepada Setyaki. Dikarenakan tekun menjalani laku tapa, Setyaki muda mendapatkan pusaka ampuh pemberian Dewa yang berupa Gada Wesi Kuning dan panah Nagabanda. Setyaki seorang kesatria yang jujur, tegas, pemberani, menjunjung tinggi sikap perwira dan selalu berpihak kepada kebenaran. Itulah sebabnya Kresna mengangkatnya sebagai dan benteng negara, sapu kawat dan panglima perang negara Dwarawati. Dari istrinya yang bernama Dewi Garbarini putri Prabu Garbanata dari negara Garbaruci, lahirlah anak laki-laki yang bernama Raden Arya Sanga- Sanga. Kelak anak Setyaki tersebut menjadi Patih Negara Hastina pada jaman pemerintahan Prabu Parikesit. Setyaki tinggal di Garbaruci meneruskan mertuanya Prabu Garbanata. Pada saat perang Baratayuda menginjak hari ke 5, Setyaki memohon kepada Prabu Kresna untuk menjadi Senapati perang. Karena pada hari itu anak- anak Setyaki, kecuali Arya Sanga-Sanga mati oleh tangan Burisrawa musuh Setyaki sejak remaja. Permohonan Setyaki dikabulkan oleh Kresna pada hari ke 14. Setyaki menjadi senapati dari pihak Pandawa dan Burisrawa menjadi Senapati dari pihak Kurawa. Sejatinya perang tanding antara Setyaki dan Burisrawa tersebut dimenangkan oleh Burisrawa. Setyaki kala itu sudah tidak berdaya. Burisrawa siap mengayunkan pedangnya ke leher Setyaki. Namun dikarenakan campur tangan Kresna, panah Arjuna telah memutus lengan Burisrawa, sehingga Setyaki berhasil membunuh Burisrawa. Setyaki seorang kesatria jujur, pemberani, dan menjunjung tinggi sikap perwira, namun karena dendamnya kepada Burisrawa, ia telah begitu saja mengabaikan sifat-sifat positif yang selama ini dihidupinya. Setyaki telah membunuh Burisrawa, pada saat Burisrawa tidak berdaya. herjaka HS
Burisrawa dalam bentuk wayang kulit, buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Burisrawa Burisrawa adalah anak nomor empat diantara lima bersaudara, anak dari pasangan Prabu Salya dan Dewi Setyawati, dengan urutan sebagai berikut : Dewi Erawati isteri Prabu Baladewa raja Mandura, Dewi Surtikanti isteri Adipati Karna raja Awangga, Dewi Banowati isteri Prabu Duryudana raja Hastinapura, kemudian Burisrawa dan yang bungsu adalah Raden Rukmarata. Jika empat saudara Burisrawa berparas cantik-cantik dan tampan, tidak demikian halnya dengan Burisrawa. Walaupun ia lehih gagah dan perkasa dibanding Rukmarata, ia bermuka raksasa yang menakutkan. Menurut pendapat banyak orang, Burisrawa adalah korban dari perbuatan orang tuanya pada waktu muda. Saat itu ayah Burisrawa malu mempunyai mertua Bagaspati yang adalah seorang begawan bermuka raksasa. Karena rasa malu itu Salya muda tega membunuh Bagaspati mertuanya. Selain mukanya yang jelek, Burisrawa tidak seberuntung saudara- saudaranya. Sepanjang hidup Burisrawa tidak pernah mendapatkan cinta yang didamba siang malam dari Dewi Sembadra, adik Baladewa. Saat masih remaja ia pernah menggoda gadis pujaannya itu, tetapi ia dihalang-halangi oleh Setyaki adik sepupu Baladewa. Burisrawa pun marah dan berkelahi dengan Setyaki. Keduanya mempunyai kesaktian yang imbang, sama-sama kuat dan tidak ada yang mau mengalah. Perkelahian mereka baru berhenti setelah datang Baladewa orang yang paling ditakuti oleh keduanya untuk melerai. Pada kesempatan itu, Baladewa menjanjikan bahwa kelak Burisrawa akan dikawinkan dengan Sumbadra. Di satu sisi Burisrawa lega atas janji Prabu Baladewa, namun disisi lain ia masih menyimpan dendam yang membara kepada Setyaki. Demikian pula dengan Sentyaki, dendamnya tak pernah padam. Selang beberapa tahun, perkelahian antara ke duanya terjadi lagi ketika Burisrawa mengamuk di Dwarawati, karena kalah bersaing dengan Arjuna dalam memenuhi tukon pengantin yang sesuai dengan permintaan Baladewa. Perkelahian ini pun terpaksa berhenti karena dilerai oleh Baladewa, namun mereka bersumpah, bahwa keduanya akan bertemu lagi dalam perang besar Baratayuda kelak. Dan perang itu adalah perang terakhir, karena tidak akan berhenti lagi sebelum salah satu diantaranya mati. Sumpah Burisrawa dan Setyaki ini menjadi kenyataan. Saat perang Baratayuda berlangsung, Burisrawa menjadi senapati di pihak Kurawa dan Setyaki menjadi senapati di pihak Pandawa, dan ke duanya berperang atas nama dendam. Sesungguhnya dalam perang terakhir itu Burisrawa lebih unggul dalam hal stamina. Setyaki telah kehabisan tenaga dan tak berdaya di bawah cengkeramannya Burisrawa. Namun pada saat kritis, bantuan dari Arjuna datang. Burisrawa mati terkena panah Arjuna, dengan demikian Setyaki terselamatkan. Burisrawa gugur dalam perang besar Baratyuda, meninggalkan satu isteri yaitu Dewi Kiswari anak Prabu Kiswamuka Raja Negeri Cindekembang dan satu anak yang diberi nama Arya Kiswara. Herjaka HS
Laksmana dalam bentuk wayang kulit purwa, buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya. (foto: Sartono) Laksmana Laksmana adalah anak Prabu Dasarata yang lahir dari istri ketiganya yaitu Dewi Sumitrawati. Sejak kecil Laksmana bersama-sama dengan kakak- kakaknya dididik oleh Resi Wasita yang bijaksana dan sakti, oleh karenanya ia tumbuh menjadi satria yang baik, sakti serta jujur. Kasatrian Giri Kastuba adalah tempat tinggal Laksmana, namun ia jarang sekali tinggal di kasatrian tersebut, karena sebagian besar dari hidupnya didarmakan untuk kakak tirinya yaitu Rama. Kemana pun Rama pergi, Laksmana selalu mengikutinya, hingga Laksmana tidak pernah memikirkan diri sendiri. Di Mantili ketika Rama mengikuti sayembara, Laksmana ikut bersamanya. Saat Rama memenangkan sayembara dan memboyong Sinta pulang ke Ayodya, Laksmana pun mengikutinya. Ketika Rama di usir dari Ayodya dan menjalani hidup sengsara di hutan Dandaka, Laksmana dengan setia mengikutinya. Namun rupanya kesetiaan Laksmana yang tulus kepada Rama disikapi berbeda oleh Sinta. Sinta justru merasa tidak nyaman atas keberadaan Laksmana yang tidak mau berpisah dengan Rama suaminya. Bahkan di dalam hatinya, Sinta mempunyai anggapan bahwa Laksmana mencintai dirinya, dan ingin memilikinya. Perasaan Sinta yang tidak senang dengan pribadi Laksmana itulah yang kemudian muncul dalam wujud kata-kata. Kata-kata yang paling tajam menusuk menyakitkan itu terlontar ketika mereka bertiga berada di hutan Dandaka. Pada saat itu mereka dihampiri seekor kijang berbulu emas yang amat lucu. Kijang tersebut mendekati Sinta, namun tidak pernah dapat disentuhnya. Ia sengaja menggoda Sinta. Rama dan Laksmana membantu Sinta untuk menangkap Kijang tersebut, namun tidak berhasil. Kijang berbulu emas yang kelihatan jinak tersebut ternyata gesit luar biasa. Rama panas hatinya, ia merasa dipermainkan oleh kijang emas tersebut. Kemana pun si kijang lari, Rama memburunya, hingga semakin jauh meninggalkan tempat di mana Sinta dan Laksmana berada. Lama ditunggu Rama tidak muncul jua. Kecemasan mulai merambati hati Sinta dan Laksmana. Tiba-tiba dari arah tengah hutan terdengar suara jerit kesakitan. Jangan-jangan itu suara Rama yang sedang dalam bahaya. Sinta gusar, takut, dan mencemaskan keselamatan Rama. Ia menyuruh Laskmana untuk menyusul Rama. Tetapi Laksmana tidak segera pergi. Ia dihadapkan pada dua pilihan sulit. Jika ia menyusul Rama, lalu bagaimana dengan keselamatan Sinta? Dalam suasana seperti ini tidakkah Sinta lebih membutuhkan perlindungan? Karena Laksmana tidak segera pergi menyusul Rama, maka dari mulut Sinta yang mungil itu keluarlah kata-kata tajam menusuk menyakitkan Laksmana. Apakah jika kakanda Rama mati, aku bersedia menjadi istrimu Laksmana? Kata-kata Sinta telah menghujam dalam di hati Laksmana. Ia sedih karena tuduhan Sinta tidak sesuai dengan nuraninya. Kecewa, karena kakak iparnya yang selama ini di hormati dan dihargai telah mengeluarkan kata-kata kasar tak berdasar. Marah, karena ia sebagai lelaki telah diremehkan. Maka dengan suara lantang Laksmana mengucapkan sumpah wadat dihadapan Sinta, disusul dengan memotong planangannya, sebagai tanda bahwa ia tidak akan kawin dengan seorang wanita. Potongan planangan Laksmana diberi nama Laksmana Sadu. Laksmana dan Laksmana Sadu hidup berdampingan tetapi tidak menjadi satu, sehingga tidak dapat saling melengkapi. Sejak peristiwa itu, hingga akhir hidupnya Laksmana tidak beristri. Mungkin hal tersebut sebagai akibat dari hukum karma. Karena beberapa waktu sebelumnya, Laksmana telah menyakiti hati seorang wanita yang jatuh cinta kepada dirinya, dengan menampar hidungnya hingga grumpung tak berhidung. Dengan menutupi bagian hidungnya yang berlumuran darah, wanita jelmaan Sarpakenaka itu mengumpat kutuk bahwa Laksmana tidak akan pernah dapat bercinta dengan wanita. Walaupun dalam hidupnya ada dua wanita yang jatuh hati kepada Laksmana, yaitu Dewi Antrakawulan dan Dewi Trijata, Laksmana tidak pernah dapat menanggapi cinta mereka. Apalagi semenjak Laksmana Sadu daipisahkan secara paksa dari tubuhnya, hidup Laksmana menjadi tidak utuh. Oleh karenanya ketidak utuhan itu, diujung hidupnya, Laksmana terpaksa harus menitis pada manusia selanjutnya yang dapat menyempurnakan hidup. Laksmana menitis pada Arjuna, karena Arjunalah yang dapat mengutuhkan kembali kelelakiannya Laksmana yang telah disia-siakan dalam hidupnya. Sedangakn Laksmana Sadu yang adalah jati diri lelaki itu lebih cocok menitis pada Baladewa yang putih. Dikarenakan sebagai lelaki Baladewa mampu menempatkan kelelakiannya apa adanya dan sesuai dengan hakikatnya. herjaka HS
Tokoh Dursasana dalam bentuk wayang kulit purwa, buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi rumah budaya. (Foto: Sartono) Dursasana Dursasana adalah anak nomor dua dari pasangan Destarastra dengan Dewi Gendari. Ia mempunyai 99 saudara kandung yang disebut Kurawa. Adik Prabu Duryudana raja Hastina ini bertempat tinggal di kadipaten Banjarjungut. Ia beristrikan salah satu putri dari Negeri Kasipura atau Swantipura yang bernama Dewi Saltani. Dari perkawinannya Dursasana mempunyai anak tunggal bernama Raden Dursala. Sepanjang hidupnya Dursasana selalu mendukung semua rencana Duryudana untuk membunuh para Pandawa, yang adalah adik sepupunya. Dursasana berbadan tingi besar. Tangannya tidak mau diam, selalu bergerak-gerak pada setiap aktivitasnya. Pada waktu duduk, pada waktu bicara, bahkan pada saat tidur pun tangan Dursasana selalu bergerak-gerak. Ia dikenal sebagai seseorang yang sangat kurangajar, tidak tahu sopan santun. Catatan dalam sejarah hidupnya yang dinilai sangat keterlaluan dalam ukuran kekurangajaran adalah ketika, para Kurawa yang dibotohi oleh Sengkuni memenangkan permaian dadu. Pada waktu itu Dursasana menjambak rambut Durpadi dan menyeretnya dari keputren ke hadapan orang banyak. Atas hasutan Sengkuni dan Karna, pakaian Durpadi berusaha dilepas oleh Dursasana dihadapan kalayak. Namun keajaiban terjadi, setiap kali Dursasana berhasil menanggalkan pakaian Durpadi, secepat kilat, dengan tidak dapat diikuti oleh pandangan mata, pakaian Durpadi kembali utuh seperti semula. Demikian hingga berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus pakaian Durpadi yang dilepas Dursasana, tidak membuat Durpadi telanjang. Pakaian yang dikenakan masih utuh menempel di badannya. Dursasana kehabisan tenaga, ia terbaring lemas tertimbun pakaian Durpadi yang menggunung. Atas kekurangajaran Dursasana yang kelewat batas, Dursasana menerima hukum karma. Walaupun ia mempunyai pusaka sakti yaitu panah Kyai Barla, ia tak kuasa menandingi kesaktian Wrekudara. Dursasana mati secara mengenaskan di tengah sungai Kelawing atau Cing-Cing Goling. Darahnya dipakai keramas Durpadi yang telah dikurangajari habis-habisan. herjaka HS
Kumbakarna dalam bentuk wayang kulit, buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Kumbakarna Kumbakarna adalah anak nomor dua dari empat bersaudara. Ia dan tiga saudara lainnya yaitu: Dasamuka, Sarpakenaka dan Wibisana merupakan anak-anak yang dilahirkan dari pasangan Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi. Sesungguhnya Begawan Wisrawa tidak berniat memperistri Sukesi. Konon pada awalnya Wisrawa bermaksud melamarkan anaknya. Namun setelah berhadapan dengan Dewi Sukesi, Wisrawa tak kuasa menahan nafsunya. Benih yang disemai oleh Wisrawa ke dalam rahim Sukesi adalah benih nafsu yang tak terkendali. Oleh karenanya keempat anaknya masing- masing mempunyai nafsu yang berlebihan. Kumbakarna mempunyai nafsu yang sangat besar dalam hal makan dan tidur. Walaupun Kumbakarna berujud raksasa menakutkan sebesar gunung anakan, hatinya jujur dan lembut. Ia tidak senang dengan tindakan jahat dan perilaku angkaramurka. Maka ketika Dasamuka kakaknya menculik dewi Sinta isteri Prabu Rama, Kumbakarna tidak setuju. Ia menyarankan agar Sinta dikembalikan kepada Rama. Tetapi saran Kumbakarna ditolak, bahkan ia dimarahi dan diusir oleh Dasamuka. Maka pulanglah Kumbakarna ke Pangleburgangsa dan melakukan tapa tidur sampai berhari-hari. Bersamaan dengan tapanya Kumbakarna, negara Alengka diserbu oleh prajurit kera bala tentara Prabu Rama, dan terjadilah perang besar. Satu demi satu senapati Alengka gugur. Dasamuka kawatir jika hal ini dibiarkan prajuritnya pasti akan habis. Maka diutuslah Indrajit anaknya, untuk membangunkan Kumbakarna. Dengan cara mencabut bulu di jari kaki Kumbakarna, indrajit berhasil membangunkan pamannya. Setelah bangun dari tapa tidur, Kumbakarna diberi makan seribu tumpeng dan ingkung gajah. Dalam sekejap makanan yang disediakan tersebut habis dimakan. Setelah itu, Kumbakarna diperintahan oleh Dasamuka untuk maju berperang. Kumbakarna tersinggung, Ia tidak mau berperang hanya karena telah diberi makan. Maka dari itu makanan yang telah masuk ke dalam perut dimuntahkan kembali dengan bentuk utuh seperti sediakala. Kumbakarna juga tidak mau berperang membela Dasamuka yang menculik Sinta, tetapi Kumbakarna mau berperang untuk membela tanah air yang diserang musuh. Dengan aji Gelapsaketi dan Kalamenga, Kumbakarna masuk ke medan perang. Ribuan prajurit kera mati ditangannya. Rama dan Leksmana cemas, jika dibiarkan prajurit kera akan habis oleh sepak terjang Kumbakarna. Maka kemudian majulah Rama dan Laksmana, menghadang Kumbakarna. Dengan panah saktinya Rama dan Laksmana berhasil memotong kedua tangan Kumbakarna. Tetapi Kumbakarna tetap mengamuk tanpa tangan. Korban semakin bertambah di pihak bala tentara kera. Rama dan Laksmana semakin menggencarkan serangan. Ketika Kumbakarna lengah, panah Rama dan Laksmana berhasil mengenai ke dua kaki Kumbakarna hingga putus. Kumbakarna yang sudah tidak mempunyai kaki dan tangan masih mampu memberikan perlawanan dengan dahsyat. Dengan badannya ia bergulung- gulung membunuh musuh. Bagaikan ilalang yang dibabat petani, para kera mati bergelimpangan di medan pertempuran. Melihat kejadian yang mengenaskan itu Rama tidak membiarkan prajuritnya habis menjadi korban amukan Kumbakarna. Panah andalan yang bernama Guwawijaya dilepaskan kearah leher Kumbakarna. Dan gugurlah adik Dasamuka itu sebagai pahlawan yang membela negara. Kumbakarna meninggalkan satu isteri bernama Dewi Kiswani dan anak laki- laki yaitu, Kumba-kumba dan Aswani Kumba. Mereka tinggal di kasatrian Pangleburgangsa. herjaka HS
Sinta dalam bentuk wayang kulit, buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya (Foto: Sartono) Dewi Sinta (1) Dewi Sinta lahir dari rahim Dewi Tari isteri Dasamuka raja raksasa di negara Alengka. Kelahirannya sudah diramalkan oleh para ahli nujum negara Alengka, bahwa anak di dalam kandungan Dewi Tari tersebut adalah titisan Dewi Widowati yang diincar oleh Dasamuka untuk dijadikan isteri. Karena dipercaya bahwa barangsiapa memperistri Dewi Widowati atau titisannya akan mendapat kemuliaan lahir dan batin. Maka jika ramalan para nujum itu benar, maka dikhawatirkan bahwa anak dewi Tari akan diperistri ole ayahnya sendiri. Apa yang diramalkan para nujum menjadi kenyataan, anak Dewi Tari lahir perempuan, dan merupakan titisan Dewi Widowati. Tandanya adalah, wajahnya cantik jelita dan memancarkan aura sinar pada tubuhnya. Gunawan Wibisana adik Dasamuka yang rupawan sangat cemas bahwa nantinya setelah dewasa, kakaknya akan memperistri anaknya sendiri. Mumpung kakaknya tidak sedang berada di kraton, Gunawan Wibisana memohon ijin kepada Dewi Tari untuk membuang bayi perempuan tersebut dan menggantinya dengan bayi laki-laki. Dewi Tari menyetujui langkah Gunawan Wibisana demi keselamatan bayinya. Maka kemudian bayi tersebut dimasukkan ke dalam kendaga yang indah dan nyaman, dengan diberi beberapa kelengkapan bayi serta mainan yang berbentuk kupat sinta, untuk kemudian dihanyutkan ke sungai. Sebagai pengganti dari bayi yang dilahirkan Dewi Tari, Gunawan Wibisana memohon seorang bayi laki-laki dari sebuah gumpalan mega di langit. Permohonan Gunawan Wibisana di perkenankan, maka berubahlah gumpalan mega tersebut menjadi bayi laki-laki, dan diberi nama Megananda atau Indrajit. Kendaga yang berisi bayi perempuan tersebut terbawa aliran sungai dan masuk ke persawahan bumi Mantili. Pada waktu itu Prabu Janaka raja Mantili, sedang memimpin upacara ritual para petani yang diselenggarakan pada setiap awal musim tanam. Betapa terkejutnya Prabu Janaka, ketika mata bajak yang sedang dijalankan terantuk sebuah kendaga yang berkilau indah. Lebih terkejut lagi setelah diketahui bahwa di dalam kendaga tersebut terdapat seorang bayi perempuan yang cantik bersinar-sinar. Bayi tersebut kemudian dibawa ke dalam kraton dan diangkat anak oleh Prabu Janaka dan diberi nama Sinta, nama yang berasal dari salah satu jenis ketupat yang artinya adalah mata bajak. Prabu Janaka bersama tiga permaisurinya yaitu Dewi Sara, Dewi Tatawi, Dewi Sumerta bersukacita atas kehadiran seorang bayi yang sangat cantik jelita di dalam keluarga mereka, untuk menemani Mayaretna anak semata wayang Prabu Janaka yang lahir dari Dewi Sumerta. herjaka HS Dewi Sinta (2) Melalui ujung mata bajak, Prabu Janaka menemukan seorang bayi, yang kemudian diangkat anak dan diberi nama Sinta. Setelah dewasa Sinta dipinang oleh Rama, putra Prabu Dasarata raja Ayodya, melalui sebuah Sayembara yang diadakan oleh Prabu Janaka. Walaupun Sinta adalah anak raja Alengka yang diangkat anak oleh raja Mantili dan kemudian menjadi menantu raja Ayodya, hidup Sinta tidak pernah lepas dari kesengsaraan. Ketika bayi ia di buang di sungai, kemudian setelah dewasa ia hidup dalam pembuangan di hutan Dandaka mendampingi Rama suaminya dan Laskmana adik Rama. Di hutan Dandaka ia diculik oleh Dasamuka yang adalah ayah Sinta yang sesungguhnya. Namun dalam hal ini Sinta tidak tahu bahwa yang menculik adalah ayahnya. Demikian juga Dasamuka tidak tahu bahwa yang diculik adalah anak kandungnya. Rahasia ini disimpan rapat- rapat oleh Wibisana dan Dewi Tari. Kisah penculikan ini berawal saat Sinta melihat seekor kidang lucu dan bercahaya laksana emas. Ia memohon kepada Rama suaminya untuk menangkap kidang tersebut. Namun ternyata tidak mudah. Seekor kidang yang kelihatan jinak tersebut selalu gagal ditangkap Rama, hingga tidak disadarinya Rama semakin jauh meninggalkan Sinta dan Laksmana. Lama ditunggu dalam suasana cemas Rama tak kunjung datang. Tiba-tiba terdengarlah jerit melengking yang memilukan. Sinta dan Laksmana saling pandang, di dalam hati mereka ada perasaan yang sama. Sama-sama mengkhawatirkan keselamatan Rama. Maka kemudian Sinta menyuruh Laskmana untuk menyusul Rama. Laksmana kebingungan. Jika ia menyusul Rama, lalu bagaimana dengan keselamatan Sinta? Dalam suasana yang mencekam seperti ini tidakkah Sinta yang seharusnya mendapat perlindungan? Dikarenakan Laksmana tidak segera menyusul Rama, Sinta mempunyai prasangka bahwa Laksmana sengaja membiarkan Rama celaka. Maka kemudian keluarah kata-kata dari mulut Sinta: Apakah jika kakanda Rama mati, aku bersedia menjadi istrimu? Tuduhan Sinta atas dirinya itu sungguh sangat menyakitkan dan tak berdasar. Untuk membuktikan bahwa di hati Laksmana tidak terbersit sedikit pun niat untuk memiliki Sinta maka Laksmana menghilangkan ke-lelaki-annya dan berjanji akan hidup wadat. Selanjutnya Laksmana meninggalkan Sinta sendirian, namun sebelumnya ia menggoreskan rajah disekeliling Sinta. Sepeninggal Laksmana Sinta keluar dari goresan rajah yang mengelilinginya karena terpancing rasa belaskasihan dari seorang brahmana tua yang kehausan dan kelaparan. Ternyata brahmana tua tersebut merupakan penjelmaan Dasamuka yang telah menyusun strategi untuk menculik Sinta. Bermula dari pengaduan Sarpakenaka adiknya, yang dipotong hidungnya dalam perang tanding melawan Laksmana, Dasamuka tahu bahwa di tengah hutan Dandaka ada wanita yang sangat cantik. Menurut Sarpakenaka bahwa wanita itu pantas menjadi istri kakanda Dasamuka. Benarlah apa yang dikatakan Sarpakenaka, bahwa wanita itu sangat memikat. Dasamuka bernafsu untuk menculiknya. Dibantu oleh Kala Marica yang menjelma menjadi seekor kidang kencana, untuk memancing Rama dan Laksmana meninggalkan Sinta, Dasamuka berhasil dengan mudah menculik Sinta. Pada saat Sinta dibawa terbang Dasamuka, seekor burung Jatayu berniat menolong Sinta. Maka dengan sayapnya yang besar dan perkasa Jatayu berhasil menjatuhkan Dasamuka dan merebut Sinta. Dalam sekejap Sinta telah berpindah tangan, dari tangan Dasamuka berpindah ke sayap Jatayu. Dikarenakan secara psikologi Sinta mendapat goncangan hebat dan beruntun, maka jiwanya pun tergoncang. Seperti yang di alami Laksmana, niat baik Jatayu justru menimbulkan prasangka buruk di hati Sinta, sehingga keluarlah kata-kata yang menyakitkan dari mulit Sinta. Aku tidak mau menjadi isterinya seorang raksasa apalagi menjadi isterinya seekor burung. Burung Jatayu yang sedang membawa Sinta tergoncang hatinya karena kata-kata Sinta yang merendahkan dirinya. Akibatnya ia lengah, sayapnya berhasil ditebas dengan pedang Mentawa, dan Sinta pun berhasil direbut kembali oleh Dasamuka, untuk dibawa terbang ke negara Alengka. herjaka HS
Anoman, wayang kulit buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya. (foto: Sartono) Anoman Menjadi Senopati Setelah ditolong oleh Garuda Sempati, kekuatan Anoman pulih. Ia terbang meninggalkan Dewi Sayempraba yang hampir saja membunuh dirinya. Sebagai anak asuh Dewa Bayu, yang berkuasa atas angin, Anoman telah diangkat menjadi satu saudara tunggal Bayu dengan saudara Bayu yang lain yaitu: Wil Jajagwreka, Gajah Situbanda, Naga Kuwara, Garuda Mahambira, Begawan Mainaka Bima dan Dewa Ruci, sehingga tidaklah heran jika Kera berbulu puth kemilau tersebut mampu terbang bersama angin dengan amat cepat. Sebentar kemudian ia hilang dari pandangan Dewi Sayempraba. Seperti yang telah diberitahukan dengan rinci oleh Garuda Sempati mengenai letak Negara Alengka tempat Dasamuka bertahta dan letak Taman Argosoka tempat Dewi Sinta disekap, Anoman mengarahkan arahnya ke Taman Argasoka untuk menyampaikan pesan dari Rama kepada Sinta. Pesan itu berujud cicin tanda cinta dan keselamatan. Ketika sampai di Taman Argasoka, Anoman hinggap pada pohon Nagasari. Dibalik rimbunnya pohon, Anoman melihat sosok wanita yang kurus kering, hingga kelihatan tulang iganya. Gelung rambut rusak dan kotor bercampur debu tanah. Pasti wanita inilah yang bernama Dewi Sinta. Anoman sungguh terharu melihat keadaan Dewi Sinta. Perasaan haru dan sedih itulah yang kemudian ditulis oleh Pujangga Yasadipura I dalam Serat Rama dengan sastra tembang macapat jenis lagu Kinanthi, seperti ditulis dibawah ini: 1. Anoman malumpat sampun prapteng witing nagasari, mulat mangandhap katingal, wanodyayu kuru aking, gelung rusak awor kisma, ingkang iga-iga keksi (Anoman melompat di pohon Nagasari, memandang ke bawah melihat wanita cantik kurus kering, gelung rambutnya rusak bercampur debu tanah, tulang iganya kelihatan) 2. Pinandeng sarwi tumungkul, Anoman ngiling-ilingi, sarta mirsakken karuna, sumedhot tyasira nenggih, Iya iki baya-baya Kusuma putri Mantili (Tatapannya selalu menunduk, Anoman memperhatikan serta melihat bahwa ia sedang menangis tersentuh hati Anoman. Benarlah ini putri Mantili) 3. Medhun ing pragak tumungkul, Anoman sarwi ningali, Umengetaken sesambat, Sangsaya inggil hyang rawi, Sakenjing gennya karuna, Kusuma Putri Mantili (turun dari batang pohon, Anoman ingin melihat dan mendengarkan apa yang membuatnya sang Dewi bersedih. Matahari semakin tinggi, sudah sejak pagi Putri Kedaton Mantili menangis Setelah matahari mencapai puncaknya, tangis Dewi Sinta berhenti bersamaan dengan kedatangan Anoman. Wajah Sinta yang kuyu layu tiba- tiba berbinar penuh harap, ketika Anoman menyerahkan cincin dari Rama. Sebagai tanda sebuah pengharapan akan datangnya Rama untuk membebaskan dirinya, Dewi Sinta menitipkan tusuk konde kepada Anoman untuk di berikan kepada Rama. Di Taman Argasoka ini Dewi Sinta ditemani oleh Dewi Trijatha, adik Dasamuka. Trijata diberi tugas oleh kakaknya untuk membujuk Dewi Sinta agar mau menjadi istri Dasamuka dengan sukarela. Anoman jatuh hati kepada Trijata yang sintal cantik, ramah dan menyenangkan. Namun Anoman tidak meuruti gejolak hatinya. Ia terlebih dahulu ingin menyelesaikan tugasnya sebagai duta Rama. Pada akhirnya Anoman berhasil dengan gemilang menjadi duta Rama. Ia, seorang diri mampu memporak-porandakan dan membakar Negara Alengka. Atas prestasinya, Anoman diangkat oleh Prabu Rama menjadi Senapati Negara Pancawati. Anoman yang sudah mengetahui keberadaan Dewi Sinta serta kekuatan Dasamuka dipercaya memimpin penyerangan ke Negara Alengka, untuk merebut Dewi Sinta. Perang besar pun terjadi antara prajurit raksasa dan prajurit kera, antara Dasamuka dan Rama. Perang maha dashyat tersebut dinamakan perang Giriantara. Dalam perang Giriantara Anoman berhasil menghentikan perlawanan Dasamuka yang tidak dapat mati karena daya aji Pancasona. herjaka HS
Anoman dalam bentuk Wayang Kulit Purwa buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Anoman (1) Di sebuah telaga Nirmala ada seorang Dewi muda namanya Dewi Anjani. Ia sedang melakukan tapa Ngodok, yaitu laku tapa dengan merendamkan badannya ke dalam air dan tidak memakai busana. Laku tapa tersebut dilakukan oleh Anjani untuk sebuah permohonan, yaitu agar dirinya dibebaskan dari kutukan. Dewi Anjani yang berparas cantik dikutuk sehingga berubah menjadi berparas kera ketika ia dan dua saudaranya saling berebut pusaka Cupumanik Astagina. Walaupun Anjani berparas kera, kemolekan dan kemulusan tubuh seorang Dewi muda masih nampak kentara di balik jernihnya air telaga. Pada saat itu Batara Guru dewa tertinggi penguasa kahyangan sedang melanglang buwana dan melintas di atas tempat Dewi Anjani yang sedang merendamkan diri tanpa busana di tengah telaga. Melihat tubuh molek tersebut Batara Guru tak kuasa membendung gelora birahinya, maka keluarlah kama Batara Guru dan jatuh menimpa daun talas. Daunt alas tersebut hanyut terbawa arus air telaga, dan menuju ke mulut Dewi Anjani untuk kemudian dimakan. Akibatnya Dewi Anjani hamil. Batara Guru menyadari bahwa kehamilan Dewi Anjani akibat dari perilakunya maka diperintahkannya para Bidadari kahyangan untuk membantu persalinan Dewi Anjani. Namun jika dirunut dengan seksama kehamilan Dewi Anjani tersebut tidak semata-mata karena kama Batara Guru, namun juga karena daun talas. Karena sesungguhnya daun talas yang dimakan Dewi Anjani tersebut mempunyai kisahnya tersendiri. Kisah daun talas bermula ketika Rama dan Sinta diikuti oleh Laksmana adik Rama, meninggalkan Negara Ayodya memasuki hutan Dandaka. Pada waktu itu Dewi Sinta dalam keadaan hamil muda. Dikarenakan hidup susah di hutan maka kandungan Sinta mengalami keguguran. Janin muda yang gugur dari rahim Sinta dibungkus dengan daun talas dan dibuang jauh oleh Laksmana dan jatuh di telaga Nirmala. Daun talas pembungkus janin anak Sinta itulah yang bersama kama Batara Guru kemudian masuk kerahim Dewi Anjani dan membuahkan janin baru yang hidup. Maka setelah tiba waktunya Dewi Anjani melahirkan seorang bayi laki-laki berupa kera berbulu putih kemilau dan diberi nama Anoman. Dewi Anjani dan Anoman kemudian dibawa ke Kahyangan. Sesampainya di Kahyangan Dewi Anjani dibebaskan dari kutuknya. Wajahnya dipulihkan seperti sedia kala berparas seorang Dewi yang molek. Sedangkan Anoman oleh Batara Guru diserahkan kepada Batara Bayu, Dewa penguasaa angin, untuk diasuh dan dididik agar menjadi seorang ksatria sakti dan perkasa yang berwatak luhur dan rendah hati. Oleh Batara Bayu Anoman diajari berbagai ilmu yang mengandalkan kekuatan angin. Oleh karena itu Anoman juga bernama Maruti yang artinya angin, karena diasuh oleh dewa angin. Anoman diberi busana yang serupa dengan busana Dewa Bayu yaitu Kampuh Poleng Bang Bintuluaji, dan Kuku Pancanaka Dari kisah tersebut tidak salah jika Anoman disebut Guru Putra karena anak Batara Guru, juga tidak salah jika disebut Ramandayapati karena anak Rama dan Bayu Suta karena anak Batara Bayu. herjaka HS Anoman (2) Dibawah asuhan Batara Bayu yang berkuasa atas angin, Anoman yang berujud kera berbulu putih tumbuh menjadi remaja yang perkasa. Atas perintah Batara Guru Anoman ditugaskan turun ke dunia untuk membantu Rama memerangi kejahatan. Kedatangan Anoman ke dunia menuju ke kerajaan kera yang berpusat di Goa Kiskenda, yang dirajai oleh Sugriwa uwak Anoman. Pada waktu itu Sugriwa sedang bermusuhan dengan Subali, saudara kembarnya. Oleh karena Sugriwa tidak dapat mengalahkan Subali, Anoman diutus mencari bantuan untuk mengalahkan Subali. Maka kemudian bertemulah Anoman dengan Rama yang sanggup membantu Sugriwa dalam mengalahkan Subali. Setelah Rama berhasil membunuh Subali, Sugriwa dengan seluruh balatentara kera berjanji akan membantu Rama dalam mencari serta merebut Sinta dari tangan Dasamuka Untuk menjajagi kekuatan Dasamuka di Negara Alengka, Anomanlah yang dipercaya Rama untuk menyusup ke Negara Alengka. Perjalanan Anoman sebagai duta Rama dihadang oleh Dewi Sayempraba putri begawan Wiswakrama. Dengan daya pikatnya, Dewi Sayempraba berhasil membujuk Anoman untuk singgah di kediamannya. Anoman, sebagai remaja belia yang belum berpengalaman terlena oleh rayuan Dewi Sayempraba. Dibalik pelayanan yang lembut dan romantis ada niat jahat yang sengaja disembunyikan. Dewi Sayempraba yang adalah isteri Dasamuka bermaksud membunuh Anoman dengan taburan racun pada buah-buahan yang disajikan, agar supaya Anoman gagal menjadi duta Rama dalam memerangi Dasamuka. Dengan tidak menaruh kecurigaan terhadap Dewi Sayempraba, Anoman memakan buah yang disajikan dengan lahapnya. Racun yang ada dalam buah tersebut bereaksi amat cepat. Anoman tiba-tiba menjadi buta dan kehilangan seluruh kekuatannya. Bagai seonggok kain basah Anoman dicampakkan dan sengaja dibiarkan oleh Dewi Sayempraba sampai maut menjemput. Dalam kegelapan dan ketidak berdayaan Anoman dihampiri sosok burung Garuda yang terluka namanya Sempati. Racun yang menjalar disekujur tubuh Anoman dihisap dengan paruh dan bulunya, hingga benar-benar bersih. Tidak beberapa lama kemudian Anoman dapat melihat kembali dan pulih kekuatannya. Selanjutnya Garuda Sempati memberitahukan secara rinci mengenai Negara Alengka termasuk keberadaan taman Argosoka, tempat Dewi Sinta disekap. Setelah semuanya menjadi jelas, Anoman terbang secepat kilat menuju taman Argosoka, meninggalkan Dewi Sayempraba yang telah menyekapnya dengan nikmat dan racun yang mematikan. Dewi Sayempraba kecewa karena telah gagal menjalankan tugasnya untuk menghalangi Anoman menjadi duta ke Negara Alengka. Namun dibalik kegagalannya Dewi Sayempraba mendapatkan apa yang selama ini didambakan yaitu seorang anak, yang sekarang telah tumbuh dalam rahimnya. Benih itu telah disemaikan oleh Anoman herjaka HS
Brahala dalam bentuk wayang kulit, karya Bp. Ngatiman dari Gendeng Bangunjiwa Bantul, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Brahala Brahala adalah sosok raksasa sebesar gunung yang berwajah sangat menakutkan. Ia mempunyai tangan seribu maka disebut pula Balasrewu, yang masing-masing tangannya memegang senjata sakti. Digambarkan pula, kedua matanya melotot menyeramkan. Brahala, di dalam bahasa Jawa merupakan kerata basa dari kata bubrah dan ala yang artinya rusak dan jelek. Sesungguhnya Brahala ini adalah penjelmaan suatu kesaktian yang dimiliki oleh orang yang menjadi titisan Dewa Wisnu. Ada beberapa orang yang menjadi titisan Dewa Wisnu, namun hanya dua orang yang dapat menjelma menjadi Brahala yaitu Harjuna Sasrabahu raja Maespati dan dan Kresna raja Dwarawati. Proses untuk menjadi Brahala disebabkan oleh dua hal yang pertama adalah karena kemarahan besar yang disebut dengan tiwikrama. Tiwikrama yang kemudian mengantar Harjuna Sasrabahu menjadi Brahala terjadi dua kali, yang pertama ketika Prabu Harjuna Sasrabahu marah karena ditantang Sumantri Patihnya. Dan yang kedua saat Harjuna Sasrabahu berhadapan dengan Dasamuka raja Alengka. Demikian pula Kresna, ia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Harjuna Sasrabahu. Dua kali Kresna tiwikrama berubah menjadi Brahala. Yang pertama ketika mencuri Dewi Rukmini dan yang ke dua ketika sebagai duta di Negara Hastinapura. Ketika menjadi duta untuk menagih bumi Hastinapura yang menjadi haknya para Pandawa, sresna sangat marah dikarena dirinya dipermainkan dan di ingkari oleh Duryudana, maka kemudian ia tiwikrama menjadi Brahala, mengamuk dan merobohkan beteng kedaton kraton Hastinapura, hingga menewaskan Destarastra dan Gendari. Namun tidak selalu kemarahan Harjuna Sasrabahu dan Kresna akan menjelnma menjadi Brahala. Seperti yang terjadi ketika Sesaji Raja Suya, Kresna tidak menjelmakan dirinya menjadi Brahala walau pada waktu itu Kresna sangat marah kepada Sri Supala dan bahkan sampai membunuhnya. Selain Tiwikrama (amarah), proses untuk menjadi brahala dapat terjadi karena yang bersangkutan (Harjuna Sasrabahu dan Kresna ) memang berniat mengeluarkan kesaktiannya dengan mengetrapkan mantra sakti dibarengi tiga kali melangkahkan kaki yang disebut dengan Triwikrama. Tri artinya tiga sedangkan krama artinya patrap atau keadaan tubuh. Triwikrama ini dilakukan oleh Harjuna Sasrabahu saat menuruti permintaan Dewi Citrawati isterinya untuk bersenang-senang di sungai Gangga. Pada waktu itu Harjuna Sasrabahu tidak sedang marah, tetapi sengaja mengubah dirinya menjadi Brahala untuk membendung sungai demi kepentingan permaisurinya. herjaka HS
Durmagati dalam bentuk wayang kulit purwa buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) DURMAGATI Durmagati adalah anak Destarastra dan Dewi Gendari, penguasa Kadipaten Gajahoya. Bersama sembilanpuluh sembilan saudara yang lain ia disebut dengan nama para Kurawa. Durmagati tinggal di kasatrian Sobrahblambangan. Walaupun tidak termasuk tokoh utama, Durmagati selalu hadir dalam pasowanan di kraton Hastinapura. Kehadiran tokoh yang satu ini cukup menghibur, karena keluguannya serta kelucuannya. Namun dibalik keluguan dan kelucuan tersebut sesungguhnya Durmagati senantiasa melontarkan kritik kepada petinggi kerajaan yang tidak bertanggungjawab. Termasuk juga yang sering memberikan laporan palsu, merekayasa, menfitnah sampai dengan merencanakan pembunuhan. Herannya, sebagian besar petinggi yang dikritik Durmagati tidak marah, hal tersebut dapat dimaklumi karena cara menyampaikan kritik Durmagati dengan gurauan dan selengekan. Ketika ada perubahan kepemimpinan di Negara Hastinapura, Duryudana kakaknya naik tahta. Kebiasaan Durmagati dalam melontar kritik semakin berani. Yang menjadi sasaran kritik Durmagati antara lain adalah Patih Sengkuni, Pandita Durna, Adipati Karna, dan juga Duryudana. Selain mengkritik, tidak ada satu pun hal besar yang dilakukan oleh Durmagati. Ia sangat penakut, tidak berani menghadapi musuh sendirian. Kecuali jika keroyokan. Dalam perang besar Baratayuda yang melibatkan Negara Hastinapura, Durmagati bersama Jayadrata serta para kurawa yang lain mengeroyok Abimanyu anak Harjuna hingga tewas. Harjuna mengamuk dan menghujankan ribuan anak panah kearah orang-orang yang membunuh Abimanyu. Semua pembunuh Abimanyu tewas, termasuk juga Durmagati. herjaka HS
Tokoh Sarpakenaka dalam bentuk wayang kulit purwa buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Sarpakenaka Sarpakenaka adalah anak ke tiga dari pasangan Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi, menyusul dua kakaknya yang bernama Rahwana atau Dasamuka dan Kumbokarno. Ia berujud raseksi atau raksasa perempuan. Jika Kakak sulungnya dinamakan Rahwana karena ia lahir dihutan dan berupa gumpalan darah, nama Sarpakenaka diberikan karena ia lahir berujud kuku ular. Kuku artinya kenaka dan sarpa artinya ular. Ia adalah sosok raseksi yang jahat bengis dan kejam. Sifat dan watak yang demikian ini mirip sekali dengan watak Rahwana kakaknya. Sarpakenaka sangat sakti. Senjata andalannya adalah kuku beracun di jari-jari tangannya. Sarpakenaka diberi kedudukkan yang tinggi oleh kakaknya di Negara Alengka dan tinggal di Gutaka. Ia adalah wanita yang mempunyai dorongan akan kebutuhan seks lebih besar dibanding dengan kebutuhan seks wanita- wanita dan raseksi-raseksi pada umumnya. Oleh karenanya untuk memenuhi kebutuhan akan seksualitasnya Sarpakenaka mempunyai tiga suami yaitu Kala Nopati, Dusakarana, Kala Dusana, masih ditambah lagi dengan suami simpanannya antara lain Anggisrana dan Kala Marica. Dari sekian suami resmi dan suami simpanan tersebut Sarpakenaka melahirkan satu anak yang diberi nama Dewi Jarini. Pada waktu Negara Alengka diserbu oleh Rama dan puluhan laksa prajurit kera untuk merebut Dewi Sinta yang diculik Dasamuka, Sarpakenaka dipilih menjadi senopati. Dengan kukunya yang beracun ia berhasil membunuh prajurit kera dalam jumlah yang besar. Ketika Sarpakenaka semakin membabi buta, Anoman senapati Prabu Rama dari Pancawati menghadangnya. Maka kemudian pertempuran sengit antara ke dua senapati pun terjadi. Sarpakenaka sulit untuk dikalahkan. Wibisana, adik Sarpakenaka yang membelot kepada Prabu Rama mendekati Anoman untuk menunjukkan celah kelemahan Sarpakenaka kakaknya. Dikatakan oleh Wibisana bahwa kesaktian Sarpakenaka berada di kukunya. Maka untuk mengalahkan Sarpakenaka, jari-jari kukunya harus dipatahkan terlebih dahulu. Dengan segera Anoman melaksanakan apa yang dikatakan Wibisana. Kukusakti pada jarinya yang selama pertempuran selalu dihindari Anoman, kali ini justru menjadi sasaran serangan. Gerakan Anoman yang sangat cepat dan tak terduga arahnya mampu mengecoh Sarpakenaka. Akibatnya kukusakti Sarpakenaka dapat dipatahkan, dan gugurlah Sarpakenaka di Medan laga. herjaka HS
Prabu Dasamuka, sebelah tangannya cacat tidak bisa digerakkan karena terjepit pintu Selamanangkep, wayang kulit buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Dasamuka Dasamuka artinya mempunyai muka sepuluh, nama lain dari Dasamuka adalah Rahwana, yang berarti darah di hutan karena Rahwana dilahirkan di hutan. Ibunya bernama Dewi Sukesi dari Alengka. Dasamuka kemudian menjadi raja di Alengka. Ia adalah seorang raja yang mahasakti, memiliki aji Pancasona. Ajian ini mempunyai daya hidup ketika menyentuh tanah. Walaupun sudah mati jika menyentuh tanah akan hidup kembali. Dasamuka adalah raja besar yang memiliki watak angkara murka, sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Dasamuka mempunyai isteri bidadari kahyangan bernama Dewi Tari. Dengan Dewi Tari Dasamuka mempunyai beberapa anak yaitu: Indrajit, Dewantaka, Tri Sirah, Tri Netra, Tri Jangga, Tri Kaya, Bukbis, Pratalamaryam. Walaupun sudah beristeri seorang Bidadari kahyangan, Dasamuka mempunyai keingingan yang sangat kuat untuk memperisteri bidadari kahyangan yang lainnya yaitu Dewi Sri Widowati. Karena ada anggapan jika dapat memperisteri Dewi Sri Widowati hidupnya akan tentram dan sejahtera. Oleh karenanya sepanjang hidupnya Dasamuka selalu berusaha untuk mendapatkan seorang wanita yang merupakan titisan Dewi Sri Widowati. Namun niat tersebut selalu gagal. Kegagalan demi kegagalan tidaklah menyurutkan niatnya untuk memiliki Dewi Sri Widowati. Bahkan nafsu untuk mengejar titisan Dewi Sri Widowati semakin besar. Pernah suatu ketika Dasamuka naik ke kahyangan untuk mencuri Dewi Sri Widawati. Namun ketika ia akan masuk di pintu Selamanangkep pintu itu menutup dengan sendirinya. Dasamuka terkejut satu tangannya terjepit pintu dan menjadi cacat seumur hidup. Pada suatu ketika diketahui bahwa Dewi Sri Widowati menitis di dalam pribadi Dewi Sinta isteri Rama, Dasamuka berusaha untuk merebutnya. Maka diculiklah Dewi Sinta ketika di tinggal sendirian di hutan Dandaka. Dasamuka berhasil menculik Dewi Sinta dan diboyong ke Negara Alengka, namun tidak berhasil memiliki Dewi Sinta, dikarenakan Dewi Sinta setia kepada Rama, lebih baik mati dari pada diperisteri Dasamuka. Dasamuka kehabisan akal, sampai pada waktu Rama dan balatentaranya menemukan tempat Dewi Sinta disekap, Dasamuka belum berhasil memperisteri Dewi Sinta. Dasamuka mempunyai anggapan jika Rama berhasil dibunuh, tentunya Dewi Sinta mau menjadi isterinya. Maka kemudian Dasamuka bersama para prajuritnya menyerbu Rama dan bala tentaranya yang sedang membuat perkemahan di Swelagiri. Perang besar pun terjadi, demi seorang wanita titisan Dewi Sri Widowati. Perang besar tersebut dinamakan perang Giriantara. Dasamuka maju ke medan perang, mencari Rama. Setelah kedua raja bertemu, terjadilah peramg tanding. Dasamuka beberapa kali mati terkena senjata Rama bernama panah Guwawijaya, namun berulang kali hidup kembali ketika menyentuh bumi. Melihat hal itu, Anoman yang menjadi senopati Rama menindih raga Dasamuka dengan gunung supaya tidak dapat bangun kembali. Herjaka HS
Rama Wijaya dalam bentuk wayang kulit, buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Rama Wijaya Rama Wijaya adalah kesatria titisan Dewa Wisnu. Ia adalah anak Prabu Dasarata, raja Ayodya. Ibunya bernama dewi Sukasalya atau Dewi Raghu. Orang menyebut Rama Wijaya dengan sebutan Raden Regawa yang berarti anak Dewi Raghu. Rama merupakan tokoh utama dalam cerita Ramayana. Ia memiliki saudara lain ibu yaitu Barata anak dari Ibu Dewi Kekayi, serta Lesmana dan Satrugna dari ibu Dewi Sumitrawati. Rama bersaudara sejak kecil dididik oleh Resi Wasista, seorang resi yang sangat sakti pada masa itu. Oleh karena itu Rama, Barata dan Lesmana ketika dewasa menjadi satria pilih tanding, sakti rendah hati dan berbudi luhur. Istri Ramawijaya adalah Dewi Sinta, seorang putri yang sangat cantik, anak angkat Prabu Janaka dari Negara Mantilidirja. Dewi Sinta adalah titisan Dewi Sri Widowati yang menjadi rebutan para raja seribu Negara termasuk Prabu Dasamuka raja raksasa dari Negara Alengkadiraja. Oleh karena nafsu ingin memiliki atas Dewi Sinta yang adalah merupakan titisan Dewi Widawati, Prabu Dasamuka selalu berusaha untuk mencari saat yang tepat untuk menculik Dewi Sinta. Pada suatu saat, ketika Prabu Ramawijaya dan Dewi Sinta berada di dalam hutan, Prabu Dasamuka berhasil menculik Dewi Sinta. Ramawijaya sangat sedih atas hilangnya sang istri. Ia bersama Lesmana adiknya bertekad mencari Dewi Sinta hingga ketemu. Sampai kapan pun pencarian tersebut belum akan berhenti sebelum ketemu. Diceritakan bahwa dalam perjalanan mencari Dewi Sinta, Rama mendapatkan sahabat seorang raja kera bernama Sugriwa yang mempunyai ratusan ribu perajurit kera. Dalam persahabatan tersebut, Sugriwa memohon kepada Ramawijaya untuk membantu mengalahkan kakaknya yang sekaligus adalah musuhnya bernama Subali. Setelah Rama berhasil membunuh Subali, Sugriwa bersama bala tentara kera berjanji akan membantu Ramawijaya mencari Dewi Sinta sampai ketemu. Dalam usaha pencarian Dewi Sinta ini yang sangat besar jasanya adalah Anoman keponakan Sugriwa yang sangat sakti mandraguna. Anoman berhasil menemukan Negara Alengkadiraja tempat Dewi Sinta disekap oleh Dasamuka. Maka kemudian diseranglah Negara Alengkadiraja oleh Prabu Rama, Sugriwa dan balatentaranya. Perang besar terjadi antara pasukan Kera dan pasukan raksasa. Prabu Dasamuka gugur ditangan Anoman. Perang tersebut dikenal dengan nama perang Giriantara atau perang Kudupsari Palwaga. Dewi Sinta berhasil diboyong Ramawijaya kembali ke Ayodya. Rama menjadi raja di Ayodya menggantikan Barata adiknya. Mereka diberi karunia dua anak bernama Batlawa dan Kusiya. Herjaka HS
Kamajaya dalam bentuk wayang kulit purwa buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya. Selain bentuk seperti Lesmana Widagda, Kamajaya digambarkan memakai jubah bermotif dan bersepatu, atau memakai mahkota uncit dengan motif bludiran (foto: Sartono) Kamajaya Batara atau Dewa Kamajaya adalah anak Sang Hyang Ismaya, saudara kandung Yamadipati. Kamajaya adalah salah satu dari Dewa yang berjumlah tigapuluh. Kamajaya merupakan dewa yang paling tampan. Tempat tinggalnya di Kahyangan Cakrakembang. Isterinya bernama Dewi Kamaratih. Sepasang dewa-dewi ini dikenal sebagai dewa asmara atau dewa cintakasih. Sikap saling setia dan saling mencintai diantara mereka patut dijadikan tauladan bagi pasangan suami isteri. Karena sikap keteladanan itulah maka tokoh wayang Kamajaya dan Kamaratih digunakan sebagai symbol dalam upacara perkawinan. Dengan tujuan agar sepasang suami istri itu nantinya selalu rukun sepanjang hidupnya, seperti Kamajaya dan Dewi Kamaratih. Kamajaya memiliki senjata yang sakti yaitu panah Pancawiyasa. Dalam cerita pewayangan Kamajaya pernah dibunuh oleh Batara Guru, pada saat Kahyangan diserang oleh Prabu Nilarudraka. Ketika itu Batara Guru sedang tidur, dan tidak ada Dewa yang berani membangunkannya. Akhirnya Kamajaya melepaskan panah Pancawiyasa untuk membangunkan Batara Guru. Maka bangunlah Batara Guru, tetapi ia langsung murka. Akhirnya Kamajaya dibunuhnya dengan Trinetra. Berdasarkan kitab Smaradahana dikisahkan bahwa Kamajaya yang telah mai dihidupkan kembali oleh Guru atas permohonan para dewa. Kamajaya sangat menyayangi para Pandawa. Beberapa kali ia menyelamatkan Pandawa pada saat genting. Salah satunya adalah ketika negara Amarta ditinggal para Pandawa yang sedang menjalankan tugas dan darmanya sebagai satria, Kamajaya datang menyamar sebagai pandita untuk melindungi para putra Pandawa dan para isteri Arjuna, dari serangan Kurawa. Herjaka HS
Bentuk wayang kulit Arjuna Sasrabahu buatan Kaligesing Purworejo, Koleksi Tembi Rumah Budaya. (foto: Sartono) Harjuna Sasrabahu Harjuna Sasrabahu adalah raja di Negara Maespati menggantikan Prabu Kartawirya orang tuanya. Waktu remaja ia bernama Harjuna Wijaya atau Wingsatibahu yang artinya berbahu seribu. Harjuna Sasrabahu adalah raja titisan Dewa Wisnu yang sangar sakti mandraguna. Jika marah ia berubah wujud menjadi raksasa sebesar gunung yang sangat mengerikan. Patihnya yang bernama Patih Suwanda alias Sumantri pernah mencobai Harjuna Sasrabahu. Namun Sumantri dengan mudah dapat dikalahkan. Harjuna Sasrabahu mempunyai tiga orang isteri yaitu, Dewi Citralangeni dari kerajaan Tanjungpura, Dewi Srinadi anak Begawan Jumanten dari pertapaan Giriretno dan Dewi Citrawati dari Kerajaan Magada. Di antara ketiga istrinya Dewi Citrawatilah putri yang paling cantik, karena ia merupakan titisan Dewi Sri. Oleh karenan Dewi Citrawati diangkat menjadi permaisuri raja. Sang Dewi Citrawati sangat dimanja oleh Harjuna Sasrabahu. Segala keinginannya selalu dipenuhni. Salah satu keinginan Dewi Citrawati yang sungguh merepotkan yaitu memohon kepada raja untuk memindahkan taman Sriwedari yang elok indah. Pernah pada suatu ketika Dewi Citrawati kepengin berenang di sungai. Prabu Harjuna Sasrabahu menuruti keinginan Dewi Citrawati dengan membendung sungai, sehingga air sungai meluap sampai di perkemahan Dasamuka, yang waktu itu sedang mempersiapkan diri menyerang Maespati. Maka akhirnya Negara Maespati diserbu oleh Dasamuka Raja Alengka, dan terjadilah peperangan. Walaupun Dasamuka dapat dikalahkan oleh Harjuna Sasrabahu, ia telah berhasil membunuh Patih Suwanda. Dengan gugurnya Sumantri Harjuna Sasrabahu mengangkat patih yang baru yang bernama Bambang Kartanadi. Pada suatu hari Prabu Harjuna Sasrabahu membunuh seorang petapa yaitu Resi Jamadagni yang sedang menuntut keadilan karena ternaknya dibunuh oleh prajurit Harjuna Sasrabahu. Tetapi pengaduan tersebut malahan membuat Prabu Harjuna Sasrabahu marah dan membunuh Resi Jamadagni. Tindakan Harjuna Sasrabahu yang ceroboh tersebut menyebabkan Batara Wisnu tidak lagi mau menitis kepada Harjuna Sasrabahu. Semenjak Batara Wisnu meninggalkan dirinya, Harjuna Sasrabahu berkurang kesaktiannya. Maka ketika Rama Parasu datang menuntut kematian Jamadagni orang tuanya, Prabu Harjuna Sasrabahu kuwalahan menghadapinya. Bahkan akhirnya Harjuna Sasrabahu mati di tangan Rama Parasu. Bahkan tidak hanya Prabu Harjuna Sasrabahu, semua ksatria Maespati dibunuh Rama Parasu, hingga wangsa Harjuna Sasrabahu surud. herjaka HS
Srikandi dalam bentuk wayang kulit buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya. (Foto: Sartono) Srikandi Nama lengkapnya adalah Dewi Wara Srikandi. Ia adalah anak ke dua dari Prabu Durpada Raja Pancalaradya. Srikandi adalah wanita pemberani dan cekatan. ia sangat pandai memainkan panah. Kepandaiannya berolah senjata panah tersebut didapatkan dari Arjuna, dalam kisah Srikandi Ajar Manah. Ketika dewasa Srikandi dilamar oleh Prabu Jungkung Mardeya raja dari Paranggubarja tetapi Srikandi menolaknya karena ia lebih mencintai Arjuna. Arjuna pun jatuh cinta kepada Srikandi muridnya, dan kemudian melamar Srikandi. Walaupun Srikandi diam-diam telah jatuh cinta kepada Arjuna gurunya, ketika dilamar Srikandi tidak menerima begitu saja lamaran Arjuna, melainkan mengajukan dua syarat kepada Arjuna. Syarat yang pertama Arjuna harus bisa membangun taman Maerakaca. Syarat yang ke dua, Arjuna harus dapat mencarikan sosk wanita yang dapat mengalahkan dirinya. Untuk memenuhi permintaan Srikandi Arjuna mengajukan isterinya yaitu Dewi Larasati. Dewi Larasati ini sangat mahir memainkan senjata panah karena sudah dilatih oleh Arjuna. Perhitungan Arjuna tepat, Larasati dapat mengalahkan Srikandi. Setelah kedua syarat tersebut dipenuhi Dewi Wara Srikandi bersedia menjadi isteri Arjuna. Setelah bergabung dengan Pandawa dan resmi menjadi isteri Arjuna Srikandi menjadi salah satu senopati andalan negara Amarta. Ia mendapat tugas mengamankan seluruh penghuni kasatrian Madukara, tempat tinggal keluarga besar Arjuna. Tetapi sayang, sebagai wanita Srikandi tidak menurunkan anak dari Arjuna. Dalam perang Baratayuda Srikandi adalah satu-satunya senopati wanita dari pihak Pandawa. waktu itu ia melawan Senopati Hastinapura yang saktimandraguna yaitu Resi Bisma. Dalam perang tanding Srikandi berhasil mengalahkan Resi Bisma. Herjaka HS
Wayang kulit purwa tokoh Abimanyu koleksi Tembi Rumah Budaya buatan Kaligesing Purworejo (foto: Sartono) Abimanyu (1) Abimanyu lahir dari Dewi Sembadara, isteri Arjuna. Diantara anak-anak Arjuna, Abimanyu anak yang paling disayangi. Tidak hanya disayangi oleh Arjuna dan Sembadra sebagai orang tuanya, tetapi juga disayangi oleh kerabat Pandawa. Ia disiapkan menjadi raja, dikarenakan Abimanyu adalah satu-satunya keturunan Pandawa yang mendapat wahyu raja yaitu wahyu Cakraningrat. Abimanyu digambarkan sebagai satria yang tampan, sakti, pemberani, pendiam tetapi mudah marah dan ringan tangan. Jika sedang marah tidak ada yang berani mendekat, karena sangat berbahaya. Oleh sebab itu ia dinamakan Abimanyu yang artinya Abi = dekat dan manyu = marah. Ketika masih remaja ia pernah membela dan melindungi ibunya dari ancaman Prabu Angkawijaya raja negara Plangkawati yang ingin memperisteri Dewi Sembadra. Abimanyu berhasil mengalahkan Prabu Angkawijaya. Sejak saat itu kerajaan Plangkawati dikuasai oleh Abimanyu. Rakyat Plangkawati menganggap Abimanyu sebagai pengganti Prabu Angkawijaya. Oleh karenanya mereka menyebut Abimanyu dengan nama Angkawijaya. Setelah dewasa Abimanyu menikah dengan Dewi Siti Sundari anak Prabu Kresna. Namun sayang Siti Sundari mandul sehingga tidak mempunyai keturunan. Prabu Kresna merasa ikut bersalah atas perkawinan Abimanyu dan Angkawijaya yang ternyata anaknya tidak dapat mengandung dan melahirkan benih raja dari Abimanyu. Karena pada mulanya Kresna telah merekayasa perkawinan antara Abimanyu dengan Siti Sundari agar kelak anak keturunannya Siti Sundari dapat menjadi raja di tanah Jawa. Untuk menebus kesalahannya Kresna menganjurkan agar Abimanyu memperisteri Dewi Utari yang mempunyai wahyu ratu yaitu wahyu Widayat. Maka kemudian ketika ada sayembara di negara Wirata, Abimanyu disarankan mengikutinya. Sayembara yang digelar Prabu Matswapati raja Wirata tersebut adalah barang siapa kuat menggendhong Dewi Utari putri raja Prabu Matswapati, berhak memperisteri Dewi Utari. Ribuan peserta mengikuti sayembara tersebut, tetapi tidak ada yang kuat menggendong Dewi Utari. Hal tersebut dikarenakan Dewi Utari telah mendapatkan wahyu Widayat, yang adalah wahyu ratu. Satu-satunya orang yang kuat menggendong wahyu Widayat yang telah manuksma atau menjadi satu raga dan suksma dengan Dewi Utari adalah wahyu Cakraningrat yang telah manuksma di dalam diri Abimanyu. Maka sayembara dimenangkan oleh Abimanyu. Wahyu Widayat bersatu dengan wahyu Cakraningrat, Utari bersatu dengan Abimanyu dan melahirkan Parikesit yang kelak menjadi raja Hastina sesudah perang Baratayuda. herjaka HS Abimanyu (2) Abimanyu telah memenangkan sayembara. Dewi Utari yang disayembarakan berhasil digendong Abimanyu. Paserta sayembara yang terdiri dari para raja dari seribu negara tidak ada yang kuat menggendong Dewi Utari. Hal tersebut dikarenakan di dalam pribadi Dewi Utari telah singgah babone ratu atau induknya raja yang bernama wahyu Widayat. Bagi seorang wanita yang mendapatkan wahyu Widayat ia akan menurunkan seorang raja. Oleh karena wahyu Widayat yang bersemayam tersebut, Dewi Utari menjadi sosok pribadi yang berbobot dan bernilai tinggi. Tidak sembarang orang mampu mengimbangi bobot nilainya, termasuk raja dari seribu negara. Kecuali Abimanyu tentunya. Kemampuan Abimanyu dapat mengimbangi Dewi Utari dan kemudian menggendongnya dikarenakan ada wahyu Cakraningrat yang bersemayam di dalam pribadi Abimanyu. Wahyu Cakraningrat adalah wahyu yang dapat mengantar seseorang menjadi raja atau menurunkan raja. Abimanyu telah mendapatkan wahyu Cakraningrat karena ia tekun menjalani laku tapa. Oleh karenanya ia kuat menggendong Dewi Utari. Memang sudah menjadi kehendak Jawata bahwa Wahyu Cakraningrat bersatu dengan wahyu Widayat. Maka kemudian Abimanyu dan Dewi Utari diresmikan menjadi pasangan suami isteri yang diharapkan bakal menurunkan raja. Sebelum mereka berjanji setia, Dewi Utari bertanya kepada Abimanyu. Apakah Kakanda Abimanyu masih sendirian, dan belum pernah menikah? atas pertanyaan Dewi Utari tersebut seketika Abimanyu terdiam, tidak segera dapat menjawab. Walaupun Abimanyu telah berhasil menggendong Dewi Utari, Abimanyu tidak mempunyai keberanian untuk berkata yang sesungguhnya bahwa Abimanyu telah menikah dengan Dewi Siti Sundari anak Prab Kresna. Abimanyu takut jika Dewi Utari mengetahui hal tersebut, ia akan mengurungkan niatnya dan menolak dirinya menjadi suaminya. Atas pertimbangan itulah maka kemudian Abimanyu dengan tegas mengatakan dan menyatakan bahwa ia belum pernah menikah. Dewi Utari sangsi atas pernyataan Abimanyu, karena ia mendengar kabar bahwa Abimanyu telah pernah menikah. Sumber yang dapat dipercaya mengatakan dengan jujur bahwa isteri Abimanyu adalah Dewi Siti Sundari. Abimanyu mengelak dengan gusarnya. Ia berusaha keras untuk menyembunyikan kejujuran. Sungguh aku berkata dengan jujur bahwa aku belum pernah mempunyai isteri, selain dirimu, kata Abimanyu. Dewi Utari belum percaya. Abimanyu semakin gusar dan bingung. Pada puncak kegusarannya Abimanyu menyatakan sumpah dihadapan Dewi Utari dan alam semesta. Aku bersumpah, jika aku sudah beristeri kelak aku akan mati dalam aniaya yang nista. Alam seakan menggelegar mendengar sumpah Abimanyu. Dewi Utari ketakutan akan sumpah Abimayu. Ia kemudian mendekap Abimanyu erat-erat. Takut kehilangan Abimanyu. Dewi Utari menyadari bahwa dirinya telah jatuh cinta kepada Abimayu. Oleh karenanya ia tidak lagi mempermasalahkan apakah Abimanyu sudah beristeri atau belum. Yang didambakan bahwa mulai sekarang Abimanyu menjadi miliknya dan menjadi suami satu-satunya, tidak ada isteri lain bagi Abimanyu selain dirinya. Pasangan Abimanyu dan Dewi Utari diharapakan oleh para tetua negeri baik negeri Amarta maupun negeri Wirata bakal menurunkan raja besar yang akan merajai di sebuah negara yang besar pula. Herjaka HS Hari Baru Pagi itu hutan Kamiyaka sunggu amat cerah. Aneka burung leluasa berkejar- kejaranan. Burung Urang-urangan, burung kepodang, burung gogik, burung kutilang, dan burung slindhitan. Kicaunya lepas bebas bersautan bertumpangan. Hari baru dan hidup baru telah mulai dititi oleh pasangan yang berbahagia. Mereka bersama alam yang segar dan cerah meluapkan kegembiraannya atas perkawinan Puntadewa dan Dewi Durpadi. Beberapa orang yang masih berada di sekitar rumah kayu tempat Kunti dan Pandawa tinggal, merasakan kegembiraan itu. Mereka sengaja tinggal sampai hari ini agar mendapat kesempatan yang lebih leluasa untuk mendekat dan bertatap muka secara langsung dengan pengantin berdua. Ekspresi wajah mereka yang polos dan tulus menggerakkan hati Puntadewa dan Dewi Durpadi untuk menghampiri orang-orang yang masih berada di tempat itu. Sapaan Puntadewa dan Dewi Durpadi memberi kelegaan, kesejukan dan kegembiraan bagi mereka. Seperti yang diharapkan dan diimpikan, mereka ingin berbicara langsung dengan pewaris Hastinapura yang selama ini telah dianggap mati terbakar pada peristiwa Bale Sigala- gala. Pada kesempatan tersebut Kunti, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa ikut mengucapkan terimakasih atas kedatangan, perhatian dan bantuan yang telah diberikan demi semaraknya upacara perkawinan antara Puntadewa dan Dewi Durpadi. Puntadewa dan Dewi Durpadi merasakan banyak orang mencintai dirinya. Bahkan alam dan burung-burung pun juga mencintai dirinya. Mereka berdua berjanji di dalam hati untuk membalas cinta mereka. Jika pun nanti pada saatnya, kami benar-benar menjadi raja kami akan berusaha mengayomi mereka, mensejahterakan mereka dan mencintai mereka, juga mencintai alam beserta ciptaan yang lain. Aku akan menjadi raja yang memayu hayuning bawana, raja yang mampu membuat dunia menjadi indah baik dan selamat. Janji Puntadewa di dalam hati. Mereka merasa puas dapat bertemu dan mengungkapan doa dan harapannya secara langsung kepada pengantin dan Pandawa. Sebelum matahari berada tepat di atas kepala, mereka memohon diri untuk kembali ke rumah masing-masing. Kabar Kemenangan Bima pada sayembara di Pancalaradya dan dilanjutkan dengan perkawinan Puntadewa dan Dewi Durpadi telah sampai di tahta Hastinapura. Destarastra raja Hastina terkejut bukan kepalang ketika mendengar kabar bahwa Kunti dan Pendawa masih hidup. Ada perasaan bersalah karena ia telah membiarkan Patih Sengkuni dan Dewi Gendari mengangkat Duryudana menjadi pangeran pati untuk disiapkan menduduki tahta, menjadi raja Hastinapura. Pada hal tahta itu titipan dari Pandu adik Prabu Destarastra. Sekali lagi, Destarastra merasa ditipu oleh Patih Sengkuni yang telah meyakinkan pada dirinya belasan tahun lalu bahwa Kunti dan Pandawa mati terbakar. Tetapi pada kenyataannya mereka masih hidup. Bahkan berhasil memenangkan sayembara yang juga diikuti oleh anak-anaknya. Itu artinya bahwa hingga saat ini anak-anaknya masih belum mampu menandingi kemampuan Pandawa. Tidak!!! Tidak boleh Duryudana menduduki tahta. Tahta itu milik anak- anahk Pandu Ada gelombang kemarahan yang sengaja dibendung Destarastra. Ketika Destarastra sulit mengedalikan amarahnya, Dewi Gendari yang piawai mendinginkan hati pasangannya segera meluncurkan kata-kata yang menyejukkan. Jangan cemas dan binggung Kakanda Prabu Destarastra. Memang benar tahta itu milik Pandu ketika itu. Namun sekarang Pandu telah wafat dan tahta warisan dari Ramanda Abiyasa tersebut kosong. Sehingga dengan demikian kedudukan Pandawa dan Kurawa adalah sama, yaitu cucu raja Abiyasa. Diantara para cucu Abiyasa, bukankah Duryudana merupakan cucu yang tertua? Apalagi secara lahir dan batin ia lebih siap menduduki tahta dibandingkan dengan Pandawa yang masih belia dan hidup tidak menentu di hutan. Oleh karenanya Kakanda tidak perlu merasa bersalah, dan menyalahkan aku serta Patih Sengkuni. Pengangkatan Duryudana sudah dipikirkan dengan matang. Gendari! Tidak hanya soal pengangkatan Duryudana, tetapi engkau dan Patih Sengkuni telah menipu aku, dengan mengatakan dan meyakinkan bahwa Kunti dan Pandawa telah mati terbakar. Tetapi pada kenyataannya mereka masih segar bugar. Destarastra berdiri, kata-katanya masih menunjukan kemarahannya Dewi Gendari ikut berdiri sembari memapah Destarastra. Maaf Kakanda, hidup dan mati ada ditangan Tuhan. Aku dan Patih Sengkuni pun merasa tertipu ketika mendengar kabar bahwa Kunti dan Pendawa masih hidup. Ada rasa tidak percaya sebelum membuktikan dan melihat sendiri keberadaan Pandawa. Oleh karenanya ijinkanlah Patih Sengkuni dan Kurawa datang di hutan Kamiyaka untuk membuktikan apakah benar bahwa Kunti dan Pandawa masih selamat Jika benar-benar Kunti dan Pandawa masih selamat apa yang akan kalian lakukan? bagaimana jika mereka menuntut hak tahta Hastinapura? desak Destarastra. Srikandi mengusap dada Prabu Destarastra dengan jari-jarinya yang lembut. Kemudian kepala Gendari dibenamkan ke dada Destarastra yang bidang. Kakanda Prabu serahkanlah perkara ini kepadaku dan Patih Sengkuni. Aku berharap agar Pandawa menyetujui pengangkatan Duryudana. Destarastra menghirup aroma bunga melati dirambut Gendari yang hitam lebat. Suara gemerisik rambutnya menggerakkan tangan Destarastra untuk membelainya. Kemudian bibir mereka berdua pun terdiam. Yang terjadi adalah dialog antar hati nan riuh. Segera sesudah itu, Gendari menemui Patih Sengkuni. Rupanya pembicaraan diantara keduanya sangat rahasia. Terbukti tidak seorang pun yang diperbolehkan mendekat. Apa yang mereka rencanakan hanya mereka berdua yang tahu. Yang pasti tentu tidak demi kebaikan Kunti dan Pandawa herjaka HS Kidung Malam 89 Putri Boyongan Seiring dengan masa perkabungan atas kematian Gandamana, Dewi Durpadi mulai menata hati dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk meninggalkan negara Pancalaradya menjalani darma menjadi putri boyongan. Sebagai hadiah sayembara perang tanding tidak ada pilihan bagi Durpadi kecuali tunduk dan patuh kepada sang pemenang sayembara. Bima yang dalam hal ini sebagai pemenang sayembara akan mempersembahkan kemenangan ini untuk Puntadewa kakaknya. Keikutsertaan Bima dan juga Arjuna dalam sayembara di Pancalaradya tersebut tidak sekedar untuk memenangkan sayembara dan memboyong putri. Seperti niat semula yang disarankan Begawan Abiyasa bahwa hal terutama yang didapat dari kemenangan ini adalah agar rakyat mengetahui bahwa Pandawa belum sirna. Beberapa pekan kemudian Bimasena dengan didampingi oleh Arjuna serta Begawan Abiyasa dan beberapa cantriknya datang ke Pancalaradya untuk memboyong Dewi Durpadi ke hutan Kamiyaka. Tidak ada kemewahan seperti layaknya boyongan putri raja. Yang ada adalah kebersahajaan dan kesederhanaan yang ditunjukkan oleh Begawan Abiyasa. Namun justru Prabu Durpada merasa terharu dan sekaligus gembira menyambut kedatangan Begawan Abiyasa yang dianggap sebagai tamu agung. Bagaimana tidak, Begawan Abiyasa yang adalah raja dan sekaligus pandita, mumpuni dalam berbagai ilmu, amat arif dan bijaksana berkenan rawuh di Pancalaradya. Prabu Baratwaja, orang tua angkat Prabu Durpada, pernah berguru kepada Begawan Abiyasa. Tidak terbayangkan sebelumnya bahwa akhirnya Prabu Durpada dipertemukan dengan Begawan Abiyasa yang selama ini hanya mendengar ceritanya melalui Prabu Baratwaja. Prabu Durpada merasa beruntung dan tersanjung bahwasannya Dewi Durpadi putrinya dipersunting oleh Pandawa. Dengan demikian artinya bahwa ia berbesanan dengan almarhum Prabu Pandudewanata, raja Hastinapura yang telah banyak membantu dirinya. Kejadian ini tidak lepas dari pengorbanannya seorang Gandamana. Sebagai wujud rasa syukurnya atas kedatangan Begawan Abiyasa, Prabu Durpada menyediakan beberapa kereta kencana dan pengawal untuk mengantar Dewi Durpadi ke hutan Kamiyaka, tempat Pandawa berada. Dengan membawa sisa duka yang masih singgah di hatinya karena kematian Gandamana, Dewi Durpadi naik kereta kencana meninggalkan negara Pancalaradya serta kemewahannya menerobos rimbunnya hutan Kamiyaka. Di hutan Kamiyaka Dewi Kunthi, Puntadewa, Nakula, Sadewa dan di bantu beberapa pengikutnya mempersiapkan upacara penyambutan putri boyongan dengan amat sederhana, mengingat bahwa Kunthi dan Pandawa masih dalam masa penyamaran dan keprihatinan. Namun walaupun sangat sederhana, ada ungkapan rasa syukur nan agung dan rasa sukacita yang menggelora, bahwasanya anugerah besar telah diterimanya. Putri raja yang cantik jelita telah di karuniakan dan keberadaannya telah dimaklumkan. Pandawa telah menerima dua anugerah besar, yaitu Dewi Durpadi dan rakyat Hastinapura. Rakyat yang selama telah dibuat lupa kepada Pandawa, mendadak ingatannya dibangkitkan kembali bahwa inilah anak-anak Pandudewanata, pewaris tahta Hastinapura. Mereka tidak mati. Mereka dalam keadaan sehatwalafiat tidak kekurangan suatu apa pun. Siang itu saat yang dinantikan tiba. Kunthi, Puntadewa, Nakula dan Sadewa serta beberapa pengikutnya terkejut. Tak disangka bahwasanya kedatangan Bima, Arjuna dan Abiyasa serta putri boyongan diantar oleh kereta kencana lengkap dengan simbol-simbol kebesaran negara Pancalaradya. Tidak hanya itu bahkan banyak orang yang dengan sukarela mengikuti iring-iringan itu hingga sampai di tempat Kunthi dan anak-anaknya berada. Mereka dengan tulus mengucapkan selamat atas keberhasilan Pandawa memenangkan sayembara dan memboyong putri Pancalaradya. Mereka menganggap bahwa iring-iringan putri boyongan ini sama halnya dengan iring-iringan calon pengantin putri yang dibawa kepada calon pengantin pria untuk dinikahkan. Seperti juga para pengiring pengantin pada umumnya, wajah mereka memancarkan kebahagiaan. Demikian pula halnya dengan para pengiring putri boyongan Dewi Durpadi. Mereka pun ingin merasakan kebahagiaan bersama-sama dengan calon pengantin berdua dan keluarga Pandawa yang berbahagia. Halaman tengah hutan yang sengaja di buat untuk keperluan tempat tinggal Kunthi dan anak-anak penuh dengan orang. Kunthi terharu melihat semuanya itu. tak dapat ditahan air matanya menetes membasahi kedua pipi yang mulai menampakan keriputnya. Dalam sekejap tengah hutan Kamiyaka yang semula hening berubah menjadi meriah. Upacara boyongan dan dilanjutkan dengan upacara perkawinan yang semula direncanakan bersahaja menjadi berlimpah dan yang semula kelihatan sederhana berubah mulia. Kedatangan orang-orang pengiring sukarela yang jumlahnya hampir mencapai ribuan, tidak merepotkan Kunthi. Mereka membawa bekal makanan sendiri-sendiri. Bahkan ada yang dibawa khusus untuk calon pengantin. Dewi Durpadi sebagai putri boyongan memang direncanakan menjadi calon pengantin putri bagi Puntadewa. Demikian halnya Puntadewa telah direncanakan sebagai calon pengantin pria bagi Dewi Durpadi. Keduanya telah direncanakan sejak kedatangan Begawan Abiyasa di hutan Kamiyaka. Dan sekarang tiba saatnya untuk digenapi. Rakyat mengelu-elukannya perkawinan itu. Tengah hutan Kamiyaka yang biasanya gemuruh oleh suara angin saat menerpa pepohonan besar kini bergemuruh oleh suara sorak- sorai bahagia para pengiring pengantin yang terdiri dari sebagian rakyat Pancalaradya, rakyat Hastinapura dan sekitarnya. Puntadewa saudara sulung Pandawa, walaupun telah lama hidup jauh dari kemewahan kraton, ketika ditampilkan menjadi calon pengantin pria, aura wajahnya memancarkan praba sebagai mana keturunan raja. Sehingga dengan demikian menjadi pantaslah bersanding dengan Dewi Durpadi yang adalah putri sulung Prabu Durpada raja Pancalaradya yang sejak lahir hingga dewasa tidak pernah meninggalkan kemewahan. Kedua sejoli itu bagaikan dewa-dewi yang diutus untuk mengusir roh-roh jahat yang singgah di dalam belantara hutan Kamiyaka. Sehingga yang ada tinggalah roh-roh yang ikut mendoakan bagi keselamatan dan kelanggengan pengantin berdua. Sorak-sorai semakin membahana. kemeriahan suasana semakin menyeruak dari hati rakyat, manakala mereka diingatkan bahwa sang pengantin merupakan calon raja Hastinapura. Horee calon raja! Horeee! Hore calon permaisuri! Horeee! Dewi Durpadi lupa akan kesedihanya. Ia tenggelam ke dalam lautan kebahagiaan bersama Puntadewa yang berada disampingnya dan juga sekaligus berada di hatinya. Ia merasa sangat beruntung duduk di pelaminan bersanding dengan satria luhur calon raja yang tampan dan halus. Durpadi berjanji akan mencintai Puntadewa dalam keadaan sehat atau pun sakit dalam suka atau pun duka, dalam untung atau pun malang. Demikian halnya dengan Puntadewa, ia berjanji akan mencintai Durpadi hingga maut memisahkannya Pada saat sukacitanya menjadi penuh berkelebatlah bayangan Gandamana di angannya. Dalam hati Dewi Durpadi berucap, terimakasih paman Gandamana kebahagiaanku ini adalah karena buah dari pengorbananmu. Semoga engkau bahagia di keabadian, seperti kebahagiaannku di hutan Kamiyaka, sekarang ini. herjaka HS
Antasena, wayang kulit purwa corak Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Antasena Antasena adalah anak ke tiga Raden Wrekudara atau Raden Bimasena yang berpasangan dengan Dewi Urang Ayu anak Begawan Mintuna. Ada beberapa nara sumber yang menyebutkan bahwa Dewi Urang Ayu adalah anak Sang Hyang Baruna penguasa laut. Kisah kelahiran Antasena bermula ketika Pandawa yang berjumlah lima orang dan Kurawa yang berjumlah 100 orang sedang berlomba menggali sungai dari Kurujenggala, sebelah utara keraton Hastinapura hingga menyambung ke Sungai Gangga. Begawan Mintuna tergerak hatinya melihat Pandawa yang hanya 5 orang tak sebanding dengan Kurawa yang berjumlah 100 orang. Oleh karena rasa iba, Begawan Mintuna mengerahkan puluhan ribu anak buahnya yang berupa belut dan ketam, untuk membantu Pandawa. Dengan bantuan itu proses penggalian sungai yang di lakukan Pandawa berjalan lancar dan dengan cepat menyambung ke Sungai Gangga. Sungai hasil galian Pandawa diberi nama sungai Serayu. Sedangkan penggalian sungai yang dilakukan oleh para Kurawa tertinggal jauh. Bahkan Kurawa salah sasaran. Penggalian sungai yang seharusnya disambungkan ke Sunggai Gangga malahan disambungkan ke Sungai Serayu buatan Pandawa. Maka Resi Bisma yang menjadi penggagas perlombaan menyatakan Pandawa sebagai pemenang. Keberhasilan Pandawa tak lepas dari bantuan Begawan Mintuna. Selanjutnya Begawan Mintuna berkenan mengambil menantu Bimasena untuk dijodohkan dengan Dewi Urang Ayu putrinya, dan kemudian melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Antasena. Sesuai dengan harapan orang tua, nama Antasena mengandung makna: a berarti tidak, anta berarti batas, dan sena artinya prajurit atau perwira. Dimaksudkan agar Antasena menjadi seorang perwira perajurit yang mempunyai kemampuan tak terbatas. Antasena bertempat tinggal di kasatrian Randu Kumbala. Ketika masih bayi Antasena pernah dijagokan oleh dewa untuk melawan Prabu Kalarudra dari Kerajaan Giri Kedasar. Dalam pertempyran tersebut Antasena berhasil mengalahkan Prabu Kalarudra. Atas jasanya Antasena diberi kerajaan Giri Kedasar dan Begawan Mintuna diangkat menjadi dewa. Antasena adalah satria yang agak bengal tetapi jujur dan pembela kebenaran. Sebagai cucu dewa penguasa laut Antasena memiliki pusaka sangat sakti berupa sungut yang berada dikepala seperti sungut udang. Antasena juga dappat hidup di dalam air karena dengan sendirinya mendapat kesaktian dari kakeknya. Demi mengasah ketajaman batinnya pada usia dewasa Antasena pernah melakukan tapa dengan gelar Begawan Curiganata, seperti gelar yang dipakai oleh Baladewa. Sebelum perang Baratayuda Antasena dan Wisanggeni saudaranya menghadap Sang Hyang Wenang untuk menanyakan peran apa yang bakal mereka jalankan pada perang Baratayuda. Sang Hyang Wenang bersabda bahwa Antasena dan Wisanggeni saudaranya tidak mendapatkan peran apa- apa. mereka masing-masing tidak tampil sebagai senapati, karena ia telah mati sebelum perang terjadi. Kematian Antasena dan Wisanggeni adalah mati mukswa yaitu dengan jalan memandang mata Sang Hyang Wenang sehingga tubuhnya mengecil dan kemudian hilang tidak terlihat. herjaka HS