You are on page 1of 96

LAPORAN PENELITIAN DANA DIPA

INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR


TAHUN 2008

DEKONSTRUKSI SENI PATUNG SATRIA GATOTKACA
DI PERSIMPANGAN JALAN NGURAH RAI TUBAN

Oleh:
Drs. I Ketut Mustika
NIP. 131882106

Dibiayai dari dana Diva ISI Denpasar
Dengan surat perjanjian pelaksanaan penelitian
Nomor, 0230.0/023-34/XX/2008

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
2008

DAFTAR ISI


Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................... i
LEMBARAN PENGESAHAN ..................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka ........................................................................ 6
2.2 Konsep ................................................................................... 14
2.2.1 Patung .................................................................................. 14
2.2.2 Gaya .................................................................................... 14
2.2.3 Perspektif ............................................................................ 14
2.2.4 Bentuk, Fungsi, Makna ....................................................... 16
2.3 Landasan Teori ....................................................................... 17
2.3.1 Teori Dekonstruksi .............................................................. 17
2.3.2 Teori Estetika ..................................................................... 18
2.3.3 Teori Resepsi ....................................................................... 20
2.3.4 Teori Kreativitas.................................................................. 21
2.3.5 Teori Tindakan Komunikatif............................................... 21

BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian................................................................... 27
3.2 Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 27
3. 2.1 Wawancara ......................................................................... 27
3.2.2 Observasi ............................................................................. 28
3.3 Instrumen Penelitian............................................................... 28
3.4 Manfaat Penelitian ................................................................. 29
BAB IV DEKONSTRUKSI
4.1 Pembuatan Gambar seketsa.................................................... 30
4.2 Pembuatan Maket ................................................................... 31
4.3 Proses Pembuatan Rangka Patung ......................................... 31
4.4 Proses Pengecoran Kerangka Patung ..................................... 32
4.5 Proses Pembentukan Figur ..................................................... 33
4.6 Finising Bentuk dan Detail Hiasan ........................................ 33
4.7 Proses Pewarnaan ................................................................... 33
4.8 Alat-alat Kerja Yang Diperlukan ........................................... 34

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ............................................................................ 35
4.2 Saran ....................................................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................
LAMPIRAN FOTO ......................................................................


1

DEKONSTRUKSI SENI PATUNG SATRIA GATOTKACA
DI PERSIMPANGAN JALAN NGURAH RAI TUBAN
LAPORAN PENELITIAN DANA DIPA
Nomor, 0230.0/023-34/XX/2008
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
TAHUN 2008
Oleh:
Drs. I Ketut Mustika

BAB I
PENDAHULUAN


l.1 Latar Belakang
Kebudayaan pada hakekatnya adalah aktivitas manusia yang meliputi seluruh aspek
pikiran, dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada nalurinya, melainkan dicetuskan
melalui proses belajar. Dari keseluruhan aktivitas manusia yang sangat luas tersebut,
kebudayaan bisa dilihat dari wujudnya yakni (1) kebudayaan sebagai suatu komplek ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan lain sebagainya, (2) kebudayaan sebagai suatu aktivitas
kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) kebudayaan sebagai benda-benda
hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1990:186-187).
Keindahan alam Bali mencakup aspek-aspek seperti yang dikemukakan oleh The
Liang Gie (1976 :35) yaitu keindahan seni, keindahan alamnya, keindahan moral dan
intelektualnya. Dari aspek keindahan tersebut menyangkut kaidah estetika yang bersumber
pada filsafat agama Hindu, demikian juga keindahan intelektual tercermin pada makna
gagasan yang menjadi isi pada setiap seni yang tercipta. Estetika adalah sesuatu yang sangat
penting dalam kehidupan manusia. Estetika menggerakkan manusia kearah yang lebih

2

konstruktif dalam berbagai tindakan yang selalu berlandaskan prakerti yang memiliki tiga
sifat atau guna yaitu: Satwa, Rajas, Tamas.
Satwa adalah hakekat segala sesuatu yang memiliki sifat-sifat terang, baik dan
menyenangkan. Rajas adalah sumber aktivitas dan nafsu. Tamas adalah bercirikan kegelapan,
kebodohan, kemalasan dan berat. Semula, kekuatan ketiga guna itu adalah seimbang. Oleh
karena itu prakerti berada dalam keadaan berimbang, dan tidak menimbulkan sesuatu (tenang
dan damai). Kemudian pada prakerti tersebut dimasukkan kekuatan maya. Kekuatan maya
tersebut menyebabkan prakerti bergolak dan terjadilah ketidak seimbangan antar guna-guna
tersebut. Dari pergolakan tersebut terjadilah di seluruh alam semesta ini yang bermacam-
macam corak sesuai dengan pengaruh zaman. Ini yang merupakan dasar peletakkan hubungan
keindahan dengan esensi agama Hindu sebagai Roh karya seni yang lahir dan berkembang
di Bali (Nurkancana, 1995:21).
Untuk dapat memahami dan mengerti keberadaan karya seni dari suatu daerah dengan
seksama, tidak cukup hanya dengan mengalisa bentuk-bentuk karya seninya saja seperti seni
sastra, seni tari, seni pahat, seni warna dan seni-seni lainnya. Pemahaman gaya hidup,
keyakinan (agama) struktur kehidupan dari suatu masyarakat adalah sendi-sendi yang sangat
menentukan sekali dalam proses pencapaian suatu karya budaya. Dengan demikian sangat
penting untuk dipahami supaya dapat mengadakan interperestasi yang tepat.
Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1990 : 203-204) setiap kebudayaan suku
bangsa di dunia memiliki tujuh unsur kebudayaan yang universal yaitu : 1) Bahasa, 2) Sistem
ilmu pengetahuan, 3) Organisasi sosial, 4) Sistem peralatan hidup dan Teknologi, 5) Sistem
mata pencaharian hidup, 6) Sistem religi, 7) Kesenian. Kesenian adalah merupakan salah satu
dari tujuh unsur kebudayaan yang universal tersebut, oleh karena itu seni atau kesenian
merupakan sebuah produk kebudayaan dari setiap suku bangsa di dunia. Untuk itu memahami
fenomena kesenian atau seni tidak bisa dipisahkan dengan latar belakang di mana seni atau
kesenian itu dilahirkan.

3

The Liang Gie (1996 : 46) merangkum pendapat tentang ciri-ciri pokok seni, yaitu : 1)
Seni bersifat kreatif; menciptakan sesuatu realitas baru. 2) Seni bercorak individualitas; terikat
pada perseorangan tertentu dalam penciptaannya maupun penikmatannya. 3) Seni adalah
ekspresif ; menyangkut perasaan manusia dan karena itu penilaiannya juga harus memakai
ukuran perasaan estetis. 4) Seni adalah abadi ; dapat hidup sepanjang massa. 5) Seni bersifat
semesta ; berkembang di seluruh dunia dan sepanjang waktu.Dalam konteks tersebut
Moerdowo (1967 : 18 ) mengelompokkan Bali sebagai salah satu dari suku bangsa di
Indonesia yang memiliki karakteristik seni dan budaya yang menarik perhatian bagi para
wisatawan manca negara untuk melihat paduan estetika budaya yang di ilhami oleh sebuah
frame religiussitas Hinduisme.
Kesenian Bali telah berkembang dengan pesatnya, seiring dengan pesatnya
perkembangan ilmu dan teknologi serta perkembangan di bidang kepariwisataan yang
memberikan dampak yang sangat positif dalam berkreativitas berkesenian. Berdasarkan hal
tersebut Bali terkenal dengan berbagai julukan seperti; Pualu Sorga, Paradise Created, Pulau
seribu Pura, Pulau Pariwisata dan lain sebagainya. Berbicara mengenai seni di Bali, hubungan
agama Hindu dengan seni tidak dapat dipisahkan, karena dengan hal itu dapat menumbuhkan
inspirasi dan rasa seni yang sangat mendalam dalam masyarakat dalam berbagai bidang,
terutama dalam seni pahat atau seni bentuk dan seni-seni lainnya (Mantra, 1991 : 5).
Seni dan agama Hindu khususnya di Bali sangat erat dan saling isi mengisi, karena
pada awalnya karya seni adalah untuk dipersembahkan ( ngayah) kepada yang dipujanya.
Sehingga agama Hindu merupakan sumber dari segala sumber inspirasi dalam berkreativitas
karya seni dalam masyarakat Hindu di Bali. Hanya sekarang tampak pengaruh karya seni
yang bersumber kepada penghidupan rakyat sehari-hari, hal ini dipertegas lagi oleh I Gusti
Bagus Sugriwa (1952 :22) bahwa kesenian Bali atau seni budaya Hindu Bali bergejolak
sampai sekarang, pada hakikatnya adalah anak atau cabang, lapisan luarnya dari agama
Hindu.

4

Oleh karena itu, dalam memahami seni budaya Bali tidak dapat dipisahkan dari
kerangka dasarnya yang menjadi sumber inspirasi penciptaan berbagai karya seni yang
tumbuh dan berkembang di Bali. Seni budaya Bali yang berkembang sejak kedatangan para
wisatawan ke Bali mengakibatkan perkembangan semakin pesat dalam berbagai wujud yang
menjadi gaya tarik bagi wisatawan. Bali yang memiliki unsur estetika yang sangat unik dan
kompleks membuat daya tarik Pulau Bali sebagai daerah tujuan wisata semakin mendunia.
Kesenian Bali telah berkembangan begitu pesatnya, seiring dengan perkembangan
dunia pariwisata, maka dampak dari perkembangan pariwisata tersebut munculah kreatifitas
seni yang mencoba untuk memperindah pulau Bali. Salah satu seni yang turut memperindah
tata ruang kota dan jalan-jalan di Bali adalah seni patung. Secara umum patung-patung yang
menghiasi tataruang di kota Denpasar, baik di wilayah kabupaten Badung maupun di Kodya
dapat di golongkan menjadi : 1) Patung realis, yang bernafaskan perjuangan kemerdekaan R.I.
2) Patung tradisi naturalis ekspresionis, yang bernafaskan falsafah agama Hindu. Salah satu
patung tradisi naturalis ekspresionis yang berdiri megah di persimpangan Jalan Ngurah Rai
Tuban, Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung adalah Patung Satria
Gatotkaca. Patung ini dibuat pada tahun 1993, terbuat dari bahan beton bertulang, bercorak
tradisi naturalistik ekspresionis yang bernafaskan Hinduisme. Pada dasarnya topik Satria
Gatotkaca dipergunakan berdasarkan aspek lingkungan, yaitu berdampingan dengan lapangan
terbang (Air Port Ngurah Rai Tuban). Dengan demikian landasan ide ini di ambil berdasarkan
karya sastra yang bernafaskan Hindu dari epos Mahabharata.
Dalam wira carita Mahabharata ini menampilkan dua tokoh kesatria yang pada
dasarnya merupakan serumpun keluarga yang terbagi menjadi dua yang saling bertentangan.
Disatu pihak dari keluarga Panca Pandawa, yang diwakili oleh raja Pringgodani yaitu
Gatotkaca. Di pihak lawannya adalah keluarga Seratus Kurawa, yang diwakili oleh Adipati
dari Kadipaten Awangsa yaitu Adipati Karna. Dalam konteks mentransformasikan karya
sastra yang bersifat dua demensional, menjadi karya seni tiga demensional juga memerlukan

5

kecermatan yang harus menjadi perhatian yang utama, karena terkait dengan sifat tiga
demensional. Kalau dalam wira carita, yang menjadi momen utama adalah gugurnya
Gatotkaca, karena terkait dengan sifat tiga demensinya maka, dengan demikian momen yang
ditampilkan adalah pada saat kesatriaan-nya Gatotkaca memperlihatkan kesaktian maya-
nya untuk memancing emosi Adipati Karna, supaya melepas/mempergunakan senjata
Kunta Wijayandanu-nya , yang merupakan senjata pamungkas Adipati Karna.
Dengan demikian momen Satria Gatotkaca sangat tepat diwujudkan dalam wujud
karya seni tiga demensional, yang dalam perwujudannya dilapangan terdiri dari : 1)
Gatotkaca sebagai tokoh utama, dari pihak Panca Pandawa, 2) Adipati Karna, tokoh utama ke
dua dari pihak Seratus Kurawa, 3) Prabu Salya, sebagai kusir Adipati Karna, 4) Kereta perang
Adipati Karna yang bernama Jaladra, 5) Enam ekor kuda sebagai penarik kereta Jaladra, 6)
Senjata pamungkas Adipati Karna yang bernama Kunta Wijayandanu. Semua bentuk-bentuk
figur tersebut terkomposisikan secara strukturalistik, sehingga menjadikan suatu unity
komposisi bentuk-bentuk yang sangat indah, naturalis ekspresif, dan bersifat monumental.

1.2 Rumusan masalah :
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka masalah yang akan
dibahas dalam penelitian ini adalah :
1). Bagaimanakah bentuk dekonstruksi seni Patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan
Ngurah Rai Tuban?
2). Bagaimana fungsi dekonstruksi seni patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan
Ngurah Rai Tuban?
3). Apa makna dekonstruksi seni patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan Ngurah Rai
Tuban?



6

BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah proses umum yang kita lalui untuk mendapatkan teori
terdahulu. Dalam buku Ensiklopedia Wayang Indonesia Jilid III, yang disusun tim penulis
Sena Wangi (2003), tokoh Gatotkaca adalah tokoh karakter yang luar biasa, gagah dan
pemberani yang digambarkan sebagai anak yang su putra di keluarga besar Panca Pandawa.
Gatotkaca lahir, karena hasil perkawinan Bima dengan Dewi Arimbi. Begitu Gatotkaca lahir
telah membuat keanehan, karena tali pusarnya tidak dapat diputus dengan segala macam
senjata, dengan demikian keluarga Panca Pandawa sepakat mengutus Arjuna mencari senjata
yang mampu untuk itu. Sementara para dewa-pun tahu tentang hal itu.
Untuk menolongnya, Batara Guru mengutus Sanghyang Narada turun ke bumi
membawa senjata pemotong tali pusar Gatotkaca. Namun Batara Narada membuat kekeliruan,
senjata yang bernama Kunta Wijayandanu itu bukan diberikan kepada Arjuna, melainkan
diberikan kepada Karna yang wajah dan penampilannya mirip Arjuna. Untuk memperoleh
senjata tersebut Arjuna terpaksa merebut dari tangan Karna. Kemudian Arjuna berhasil hanya
mendapatkan sarung (werangka) senjata sakti itu. Sendangkan bilah senjata kunta, dilarikan
oleh Karna. Untunglah ternyata sarung (werangkanya) saja sudah bisa digunakan memotong
tali pusar Gatotkaca. Kemudian, begitu tali pusar itu putus, werangka kunta itu langsung
melesat masuk kedalam pusar Gatotkaca. Setelah tali pusarnya putus, atas seijin keluarga
Pandawa Gatotkaca dibawa Batara Narada Ke Khayangan untuk menghadapi Kala Sakipu dan
Kala Pracona yang mengamuk. Mula-mula Arimbi dan Bima tidak rela anaknya yang baru
lahir dibawa oleh Narada. Namun setelah Narada menjelaskan Kala Sakipu dan Kala Pracona
hanya bisa dikalahkan hanya oleh bayi Tutuka itu, akhirnya baru Bima dan Arimbi
mengizinkannya. Di kahyangan bayi Tutuka langsung ditaruh dihadapkan kedua raksasa sakti

7

itu, bayi tutuka langsung diambil oleh raksasa dan mengunyahnya, tetapi tubuh bayi Tutuka
tetap utuh walaupun dikunyahnya kuat-kuat. Karena kesal, bayi Tutuka itu dibantingnya
dengan sekuat tenaga ke tanah, bayi Tutuka hanya pingsan. Setelah ditinggal pergi oleh kedua
raksasa itu, bayi Tutuka diambil oleh Batara Narada, dimasukkan ke kawah Candradimuka.
Disini Gatotkaca digembleng oleh Begawan Anggajali. Setelah penggemblengan
selesai, begitu muncul dari kawah Candradimuka, bayi itu sudah berubah wujud menjadi
kesatria muda yang yang gagah perkasa. Ia menggunakan Caping Basunanda (penutup
kepala gaib), yang menyebabkan tidak kehujanan dan tidak kepanasan. Ia juga mengguanakan
terompah Padakacarmayang jika digunakan menendang musuhnya akan mati.
Kemudian para dewa menyuruh Gatotkaca berkelahi melawan bala tentara raksasa
pimpinan Prabu Kala Pracona dan Patih Kala Sakipu, akhirnya Kala Pracona dan Kala Sakipu
dapat dibunuh.

Dalam perjalanan hidupnya Gatotkaca mempunyai tiga orang istri. Istri pertamanya
Dewi Pergiwa (anak Arjuna). Istri kedua adalah Dewi Sumpani, istri ketiga Dewi Suryawati
(putri Batara Surya). Dari perkawinannya dengan Dewi Pergiwa melahirkan seorang anak
bernama Saksikirana. Dengan Dewi Sumpani ia mempunyai anak bernama Arya
Jayasumpena. Sedangkan Suryakaca adalah hasil perkawinannya dengan Dewi
Suryawati.Dalam Perang Baratayuda Gatotkaca diangkat menjadi senapati dan gugur pada
hari ke-15 oleh senjata Kunta Wijayandanu yang dilemparkan Adipati Karna. Senjata Kunta
Wijayandanu melesat menembus perut Gatotkaca melalui pusarnya dan masuk kedalam
werangkanya. Saat berhadapan dengan Adipati Karna, sebenarnya Gatotkaca sudah tahu akan
bahaya yang mengancam jiwanya. Karena itu ketika Adipati Karna melemparkan senjata
Kunta, ia terbang amat tinggi. Namun senjata sakti terus saja memburunya, sehingga akhirnya
Gatotkaca gugur. Ketika jatuh kebumi, Gatotkaca berusaha agar jatuh tepat pada tubuh

8

Adipati Karna, tetapi senapati kurawa itu waspada dan cepat melompat menghindar sehingga
yang hancur hanyalah kereta Jaladranya saja.
Sebenarnya, sewaktu berhadakan dengan Gatotkaca, Adipati Karna enggan
menggunakan senjata Kunta. Ia merencanakan hanya menggunakan senjata sakti itu bila
berhadapan dengan Arjuna. Namun ketika Prabu Anom Duryudana menyaksikan betapa
Gatotkaca telah menimbulkan banyak korban, ia mendesak agar Karna menggunakan senjata
pamungkasnya.Akibatnya, setelah Gatotkaca gugur, Adipati Karna tidak lagi memiliki senjata
sakti yang benar-benar diandalkan.Dengan gugurnya Gatotkaca adalah merupakan penentu
kemenangan di pihak Pandawa, karena siapapun yang dijadikan sasaran oleh pelempar senjata
Kunta Wijayandanu, pasti akan gugur. Sedangkan senjata Kunta wijayandanu, dapat
digunakan hanya sekali saja. Sebenarnya senjata itu di peruntukkan pada Arjuna, karena
kejelian kordinator peperangan dari pihak Pandawa yaitu Sri Kresna, maka terselamatkanlah
Arjuna dari sasaran senjata mahadasyat Kunta Wijayandanu. Apabila sampai Arjuna gugur
dalam perang Baratayuda, sudah dapat dipastikan kemenangan berada dipihak Kurawa.
Walaupun Gatotkaca gugur, beliau paling dihormati sebagai pahlawan besar kesatria
sejati oleh keluarga besar Panca Pandawa, dan memiliki banyak gelar seperti ; Prabu Anom
Kacanagara, Tutuka, Guritna, Pangeran Gurubaya, Pangeran Purbaya, Bimasiwi,
Krincingwesi, Arimbiatmaja, dan Bimaputra.

Pada tokoh utama kedua sebagai lawan Gatotkaca yang dipatungkan adalah Adipati
Karna, yang sebenarnya adalah saudara tertua dari Panca Pandawa. Karena, dilahirkan oleh
Dewi Kunti pada waktu masih berstatus brahmacari (sedang menimba ilmu dengan mahaguru
Resi Druwarsa). Dewi Kunti mencoba-coba menggunakan Aji Adityarhedaya, yakni ilmu
untuk mendatangkan dewa yang dikehendakinya, dan berhasil mendatangkan Betara Surya.
Tetapi kedatangan Betara Surya yang tampan itu membuat Dewi Kunti mengandung, pada hal
ia masih gadis.

9

Setelah Prabu Kuntiboja mengetahui prihal musibah yang menimpa putrinya, paduka
marah dan memanggil Maha Guru Resi Druwarsa. Druwarsa dipersalahkan karena mengajari
ilmu tingkat tinggi pada gadis yang belum dewasa. Resi Druwarsa mengaku bersalah dan
berjanji akan bersedia menjamin keutuhan keperawanan Dewi Kunti kelak pada saat
melahirkan. Dengan ilmunya yang tinggi, sesudah masa kehamilannya cukup, Druwarsa
mengeluarkan jabang bayi yang dikandungnya melalui telinga Dewi Kunti. Alasannya, ilmu
masuk dan diresapi oleh Dewi Kunti melalui telinga. Itulah sebabnya, ia diberi nama Karna;
yang artinya telinga. Nama lain baginya adalah Talingasmara, Suryaputra, dan Suryatmaja,
karena anak Kunti itu hasil hubungan dengan Batara Surya.Pada waktu Karna lahir memiliki
tanda khusus pada telinganya berisi Atnting Mustika yang memancarkan sinar kemilau.
Untuk menutupi aib kerajaan, bayi (Karna kecil) dimasukkan kedalam peti dan
dihanyutkan kesungai Gangga, yang kemudian ditemukan, dan dirawat oleh Adirata bersama
istrinya bernama Rhada, seorang sais kereta, itulah sebabnya Karna juga disebut Basukarna
atau Radhea. Karena Karna diangkat anak oleh seorang sais kereta kerajaan, karena Karna
sering diajak keistana kerajaan, disana Karna sering melihat putra-putra Dewi Kunti dan Putra
Dewi Gandari belajar ilmu olah keprajuritan, yang diajar oleh Resi Krepa, dan Begawan
Drona. Pada suatu hari Karna memberanikan diri memohon agar kedua maha guru itu mau
mengangkat Karna juga menjadi muridnya. Tetapi karena Karna hanya anak seorang sais,
maka ia ditolak untuk jadi muridnya.
Pada suatu saat Krepa dan Drona melakukan uji tanding antara murid-muridnya,
ternyata arjuna menjadi murid yang paling pintar, dengan kepintarannya Arjuna menjadi
sombong. Kesombongan Arjuna inilah, Karna menjadi lebih bersemangat untuk belajar ilmu
olah keprajuritan dengan menyamar menjadi seorang brahmana, untuk berguru kepada Rama
Bargawa, dan mendapatkan ilmu Brahmastra, yakni ilmu keterampilan memanah.Sesudah
mewariskannya berbagai ilmunya, Rama Bargawa baru sadar bahwa muridnya bukan seorang
brahmana melainkan seorang kesatria, karena Rama Bargawa sangat benci dengan kesatria,

10

akhirnya Karna dikutuk ; kelak dalam Baratayuda, pada saat yang genting yang menentukan
hidup atau mati, Karna akan lupa mantra ilmu Brahmastra, dan kutukan itu terbukti.

Pada buku Mahabharata, yang ditulis oleh Kamala Subramaniam (2003:509-510), :
Pasukan Pandawa dibakar oleh, Bhisma, Drona dan Aswatama. Tidak ada gunanya bertarung
dengan mereka, tidak ada seorangpun yang bisa melawan mereka. Melihat Irawan mati,
Gatotkaca bangkit dan bertindak. Gatotkaca mengobrak-abrik pasukan kurawa, kemarahan
Gatotkaca ia tumpahkan pada Duryodhana, ia terus manentangnya. Bhisma mendengar suara
keributan dalam pasukan karena Gatotkaca, Bhisma berkata: Aku takut Duryodhana tidak
akan mampu menahan kekuatan putra Bima, tetapi kalau bukan karena sumpah Bima untuk
membunuh Duryodhana, Gatotkaca pasti sudah membunuhnya sejak dulu. Mereka semua ada
disana; Drona, Aswattama, Jayadrata dan masih banyak yang lainnya. Gatotkaca semakin
bersemangat melihat kejadian ini. Ia melawan mereka semua, ia meneriakkan teriakan perang
yang sangat kuat.
Yudhistira mendengar teriakan perang, ia memanggil Bhima dan berkata: Bhima, aku
mendengar suara anakku Ghatotkaca. Aku melihat beberapa pahlawan kurawa berlari
mendekatinya. Aku khawatir akan keselamatannya. Aku tidak bisa mengutus Arjuna, karena
ia sibuk membela putra-putra Drupada melawan kemarahan Bhisma. Aku ingin engkaulah
yang pergi membantu putramu. Bhima segera membantu putranya. Anak dan ayah sekarang
bergabung menjadi pasangan yang tak terkalahkan. Pada saat Bhima mengangkat gadanya
mau membunuh Duryodhana, mereka menghilang begitu juga Bhisma pergi dari
pasukannya.Ghatotkaca terus mengobrak-abrik pasukan kurawa, seperti kucing
mempermainkan tikus, sampai trompet berbunyi tanda hari sudah malam, pasukan masing-
masing kembali kekemahnya.
Art In Indonesia : Continuities and Change : Claire Holt, Pengantar dan Alih Bahasa
Soedarsono (2000), mengemukakan bahwa perkembangan seni di Indonesia merefleksikan

11

kebinekaan budaya yang lahir dalam tingkat kehidupan yang berbeda. Ada beberapa yang
kelihatan kuno tetapi sangat vital, yang menjadi sumber kreatifitas idealisme, dan yang baru
berkembang sangat pesat. Unsur-unsur seni lama dan baru di komodifikasi terstrukturalisasi
sehingga menjadi karya seni yang sangat menarik. Seni tradisional dengan seni ritual seperti
seni patung, seni lukis, seni gerak sampai wayang kulit tahan hidup berdampingan dengan
seni sekuler yang digarap oleh kreator-kreator seni, dari gaya realis, naturalis, ekspresionis
sampai gaya abstrak.
Seni di Indonesia ditata seperti masuk dalam tiga lingkungan yang tumpang tindih
diatur secara kronologis sebagai berikut.
1. Warisan, yang meliputi ciptaan-ciptaan seni dari zaman masa prasejarah Indonesia dan
sejarah kuno yang masih dilestarikan, yang dibuat dari bahan-bahan tahan lama seperti
batu, logam, dan tanah liat.
2. Tradisi-tradisi yang hidup, yang meliputi seni rupa (plastik arts) yang ada di Indonesia
terutama di Bali yang konsepsi bentuk dan isinya diabadikan, walaupun kerap diabadikan
pada medium yang baru.
3. Seni Modern, yaitu sebuah fenomena urban yang telah berkembang di Indonesia.
Manifestasinya hadir bersama dengan bentuk-bentuk tradisi yang vital tampil sangat kuat
pada seni lukis dan seni patung.
Dijelaskan pula bahwa Bali adalah wilayah berbeda dibandingkan dengan Jawa atau
daerah lainnya yang kepercayaan Hindu-nya praktis memudar bahkan melenyap dengan
penyebaran Islam. Kehidupan ritual Hindu di Bali masih tetap bertahan hingga kini, meskipun
menyerap pengaruh Hindu-Budha melalui ekspansi dari kerajaan Majapahit, namun ekspansi
keseniannya memiliki perbedaan dengan Jawa.
Dengan mengutip Stutterheim, bahwa yang ideal dari orang Jawa adalah mencari yang
halus, bahkan yang lembut dan yang rohani, sehingga seninya ditandai dengan ke hati-hatian.
Sebaliknya orang Bali menyukai yang ekspresif, meledak-ledak penuh semangat dengan

12

warna emas dan terang dengan keinginan menghias sangat berlebihan(baroque). Ciri-ciri
baroque yang karakteristik akhirnya menuju seni Bali kontemporer yang khas. Para seniman
Bali sangat cepat mengambil serta meniru setiap pembaharuan yang menyamar khayalan
mereka, terutama yang telah meraih sukses. Sukses dinilai dari dua kreteria yaitu pertama,
bila sebuah karya yang original telah memperoleh persetujuan atau kekaguman dari akhli
khususnya penilai karya-karya seni lokal, dan kedua, bila karya-karya yang meniru gaya-gaya
baru mencapai pasar komersil. Di Bali sebuah seni yang tak resmi dan lucu tampil
berdampingan dengan seni pada bangunan suci (pura) yang bersifat resmi. Pemadatan
dekorasi-dekorasi pura dengan penggabaran duniawi dan lucu tidaklah baru di Bali.

Suradi H.P (1983) dalam bukunya yang berjudul Ida Bagus Nyana Hasil Karya dan
Pengabdiannya, mengungkapkan tentang biografi tokoh nasional Ida Bagus Nyana, seorang
pematung yang kreatif dan sebagai tokoh pembaharuan seni patung Bali. Pada mulanya Ida
Bagus Nyana membuat patung tradisional Bali yang tidak dikerjakan secara pribadi, tetapi
secara bersama-sama dengan teman-temannya. Untuk memperluas pengetahuan dibidang seni
patung, pada tahun 1935 ikut bergabung dalam perkumpulan Pita Maha yang dipimpin oleh
Rudolf Bonnet dan Walter Spies. Kalau sebelumnya Ida Bagus Nyana membuat patung tanpa
teori, tanpa ada yang mengkritik atau menganalisis karya-karyanya, setelah bergabung dengan
Pita Maha terjadi interaksi yang positif, dan secara tidak langsung membawa pengaruh
terhadap kreatifitas seni dan perkembangan karya-karyanya.
Secara visual daya kreatif dari pematung Bali untuk pertama kalinya bereksplorasi
melalui pakem-pakem yang sudah ada dalam seni patung tradisi dan klasik Bali dipelopopri
oleh Ida Bagus Nyana, yang sering dinyatakan sebagai tonggak seni patung Bali modern.
Sejak tahun 1935 atas anjuran Walter Spies, Ida Bagus Nyana mulai melakukan
penyederhanaan bentuk-bentuk wayang klasik dengan mengurangi hiasan-hiasan busananya
sehingga karakter kayunya tampak jelas dan indah tidak ditutupi oleh ukiran-ukiran

13

(ornamennya) busananya. Dengan idealisme seperti demikian Ida Bagus Nyana mengolah
bahan dengan dua cara, pertama idenya muncul dari bentuk bahannya untuk dijadikan karya
seni patung, yang kedua pengolahan bahan sesuai dengan ide yang sudah ada. Dengan cara
kerja mendekonstruktif melalui depormasi komposisi, ornamen maupun proporsi tradisinya
sehingga menghasilkan suatu gaya, yang beliau namakan Gaya Pepulungan yang
dikatagorikan sebagai tonggak seni patung Bali modern.

Linus (1985) dalam penelitian yang berjudul Beberapa Patung Dalam Agama Hindu
Sebuah Pendekatan Dari Segi Arkeologi. Penelitian ini menjelaskan mengenai beberapa
pengertian patung seperti arca, pretima, bedogol, dan togog. Arca dan pretima keduanya
perwujudan dewa dalam bentuk patung yang digunakan sebagai sarana konsentrasi di dalam
persembahyangan agama Hindu. Arca dan pretima dibedakan dari segi ukuran dan bahan.
Arca ukurannya lebih besar, bahan dari kayu pilihan, bisa dari batu. Pretima umumnya
ukurannya lebih kecil dan dibuat dari kayu pilihan, emas, perak, uang kepeng. Pretima juga
biasanya disebut sebagai pralingga, atau petapakan, juga stana dewa.
Sedangkan, bedogol adalah patung yang dibuat dari batu, umumnya batu padas atau
kayu, biasanya dibuat dalam ukuran yang agak besar. Dilihat dari penempatannya tampaknya
bedogol mempunyai fungsi magis dan dekoratif. Apabila bedogol ditempatkan di depan candi
bentar (dedamping pintu masuk), disebut dwarapala, maka bedogol berfungsi magis dan
dekoratif. Togog, adalah patung yang dibuat dalam ukuran yang lebih kecil dari bedogol yang
dominan bersifat dekoratif, dapat dipindah sesuai keinginan.
Linggih (2001) dalam penelitian yang berjudul Patung Dewa Ruci di Persimpangan
JL. Arteri Nusa- Dua Tanah Lot : Analisis Bentuk, Fungsi dan Makna. Pembuatan patung
Dewa Ruci ini di ilhami oleh muatan-muatan estetik dan fungsional. Patung Dewa Ruci
sangat menarik untuk dikaji dari segi estetika Hindu, khususnya dalam konsep rwa bhineda,

14

karena adanya perbedaan-perbedaan yang tidak dapat dipisahkan antara yang sakral dan
sekuler.
Patung Dewa Ruci menunjukkan pemahaman bentuk fisik, dalam cakupan komposisi
dan proporsi dan elemen-elemen estetik yang membentuk karya yang bergaya naturalis
ekspresionis. Patung ini memiliki fungsi sakral dan sekuler. Fungsi sakral kalau mengacu
pada simbol Acintya yang biasanya digunakan dalam upacara agama Hindu, dan fungsi
sekuler mengacu pada penempatan patung tersebut sebagai komponen dekoratif, untuk
memperindah taman kota. Penelitian ini cukup relevan dengan masalah yang dikaji terutama
menyangkut patung beton dan bergaya naturalis ekspresionis.

Swandi (1999) dalam penelitiannya yang berjudul Inovasi Ida Bagus Tilem Dalam
Seni Patung Bali Modern. Penelitian ini dibahas mengenai aktivitas dan kreativitas Ida
Bagus Tilem dalam berkarya seni patung yang bertolak dari konsep penyederhanan bentuk
(deformasi) yaitu sebagai prinsip dasar perubahan inovatif dalam seni patung yaitu perubahan
dari bentuk-bentuk manusia ideal menjadi proporsi yang tidak ideal. Dalam mewujudkan
konsepnya Tilem berusaha memadukan ide yang ada dalam dirinya dengan material yang
dipakai, yaitu bentuk-bentuk kayu yang alami bahkan kayu-kayu yang sudah dimakan rayap
dan borok terkadang melahirkan ide baru dalam karya patungnya yang eksotik dan imajinatif.
Di balik idenya yang murni karya-karya Tilem sangat kreatif dan inovatif, permainan unsur-
unsur estetik dalam bentuk yang dideformasi mengikuti bahan secara alamiah sehingga
menghasilkan patung abstrak atau seni patung Bali modern yang tidak terlepas dari akar
budaya Hindu Bali. Dalam pembangunan pariwisata budaya, dalam seni rupa khususnya seni
patung, Monumen Patung Satria Gatotkaca di Persimpangan JL. Ngurah Rai Tuban,
merupakan wujud nyata adanya perkembangan pariwisata budaya. Yang pada dasarnya adalah
konsep dari cerita klasik Hindu, yang pada perwujudannya mengalami perubahan sesuai
dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi.

15

2. 2 Konsep
2. 2.1 Patung
Dalam Ensiklopedi umum (1973 : 1193), dikatakan patung adalah seni rupa yang
merupakan pernyataan pengalaman artistik lewat bentuk-bentuk tiga demensional. Walaupun
ada pula yang bersifat seni pakai, tapi pada galibnya seni patung adalah tiga demensional
sehingga dengan demikian benar-benar didalam ruang, maka didalam patung tidak ada
problem perspektif seperti halnya seni lukis yang kadang kala ingin membuat kesan
kedalaman dalam karya-karya yang datar saja. Selanjutnya menurut Jack. C. Rick (1959 :3)
esensi seni patung adalah seni yang bersifat tiga demensional yang merupakan organisasi
massa, benda atau volume atau kontur, bidang gelap dan terang dan juga tekstur.

2.2.2 Gaya
Dalam bahasa Inggris gaya disebut dengan style, yang menurut Echols dalam Couto
(1999 : 3) berarti corak, mode, dan gaya, misalnya gaya bahasa, stilistik adalah ilmu gaya
bahasa. Gaya seni adalah suatu keteraturan, suatu pola keindahan yang diabstraksikan dari
suatu karya seni. Yang dimaksud adalah gugusan sifat-sifat yang bertalian dengan ide, tema,
wujud visual yang memberikan ke khasan pada karya seni yang bersangkutan, dan didukung
teknologi kerja yang diperlukan, sehingga menghasilkan karya seni yang memiliki karakter
dan ciri khas tertentu pada zamannya.

2. 2.3 Perspektif
Perspektif umum diartikan sebagai tinjauan, sudut pandang atau pandangan. Sudut
pandang yang dimaksud adalah tergantung permasalahan apa yang dikaji. Suatu masalah atau
obyek peristiwa bisa dipandang dari beberapa sudut pandang atau perspektif. Perspektif juga
bisa diartikan sebagai seperangkat asumsi kerja, suatu teknik pendekatan, atau paradigma
(Paul B. Horton dalam Ram,1999 :16).

16

2. 2. 4 Bentuk, Fungsi, dan Makna
Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana menggunakan pendekatan atau
paradigma budaya bentuk, fungsi, dan makna berdasarkan filsafat ilmu yakni ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.
Aspek bentuk menyoroti apa (ontologinya) yang menggambarkan realitas yang diteliti.
Aspek fungsi menunjukkan bagaimana (epistemologinya) yang menggambarkan metode
yang digunakan, dan aspek makna menyoroti mengapa (aksiologinya) yang
menggambarkan nilai-nilai(Mudana,2003 :89-93, Ratna, 2003: 112-120).

Bentuk, bentuk dapat diartikan sebagai Form dan shape. Form adalah bentuk yang
menunjukkan mahluk hidup, misalnya bentuk binatang maupun manusia. Shape
pengertian bentuk yang menunjukkan benda yang ada dibumi (Bastomi, 1989 : 30).
Menurut Jelantik (1999: 18), bentuk yang paling sederhana adalah titik, titik adalah
komponen penentu, untuk diolah dan ditata sesuai dengan keinginan dalam konteks
seni rupa.

Fungsi, fungsi adalah menerangkan hubungan guna antara sesuatu hal dengan suatu
tujuan tertentu, ada kaitan korelasi antara suatu hal dengan suatu hal yang lain dalam
sistem yang terintegrasi. Berbagai unsur kebudayaan yang ada dalam masyarakat
berfungsi untuk memuaskan hasrat kebutuhan hidup manusia. Unsur kesenian
misalnya, mempunyai fungsi guna memuaskan hasrat manusia akan keindahan.
Dengan demikian pemikiran fungsional selalu menyangkut hubungan pertautan atau
relasi (Peursen, 1988 :85).

Makna, makna terkait suprastruktur dan sistem budaya yang bersifat abstrak. Dengan
kalimat lain, makna selalu diartikan sebagai mangandung nilai-nilai positif, untuk

17

kesejahteraan umat manusia, sebaliknya fungsi mungkin bersifat positif atau negatif.
Dengan kalimat lain lagi, makna mengandung sifat das sollen (apa yang seharusnya
terjadi), sedangkan fungsi mengandung sifat das sein (kejadian sebagai apa adanya).
Tujuan akhir setiap aktivitas kebudayaan dengan demikian adalah makna.

2.3 Landasan Teori
2.3.1 Teori Dekonstruksi
Dekonstruksi, dari akar kata de + constructio (latin). Pada umumnya prefiks de
berarti kebawah, pengurangan, terlepas dari. Constructio berarti: bentuk, susunan, hal
menyususn, hal mengatur. Jadi, dekonstruksi dapat diartikan sebagai b pengurangan atau
penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang sudah baku.
Sebagaimana telah terjadi dalam menterjemahkan istilah-istilah asing, dengan adanya
perbedaan perbendaharaan kata-kata, maka sangat sulit untuk menemukan terjemahan yang
tepat terhadap istilah dekonstruksi tersebut. Dalam teori kontemporer dekonstruksi sering
diartikan sebagai pembongkaran, perlucutan, penghancuran, penolakan, dan berbagai istilah
dalam kaitannya dengan penyempurnaan arti semula.
Cara yang dianggap paling tepat untuk memberikan arti terhadap istilah dekonstruksi ,
demikian juga istilah-istilah lain yang mempergunakan prefiks de seperti; depsikologi,
depersonalisasi, deotomatisasi, dan sebagainya, adalah dengan mengembalikannya pada akar
katanya semula. Dalam mendekonstruksi strukturalisme, misalnya, kegiatan yang dilakukan
secara terus menerus adalah mengurangi intensitas oposisi biner, sehingga unsur-unsur yang
dominan tidak selalu mendominasi unsur-unsur lain.
Benar, dalam dekonstruksi dilakukan semacam pembongkaran, tetapi tujuan akhir
yang hendak dicapai adalah penyusunan kembali kedalam tatanan dan tataran yang lebih
signifikan, sesuai dengan hakikat obyek, sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat
dimanfaatkan semaksimal mungkin. Melalui analisis strukturalisme, tokoh-tokoh yang

18

memperoleh perhatian adalah tokoh utama. Sebaliknya, melalui analisis postrukturalisme,
setiap tokoh adalah tokoh utama dalam peristiwanya masing-masing. Dekonstruksi dalam
hubungan ini berarti sebagai usaha untuk memberikan arti pada kelompok yang lemah, yang
selama ini kurang memperoleh pengertian, bahkan diabaikan sama sekali. Tujuan
dekonstruksi tetap konstruksi, dengan sendirinya dalam bentuk yang berbeda, konstruksi yang
seimbang sekaligus dinamis, bukan konstruksi yang statis sebagaimana yang dimaksudkan
dalam strukturalisme dan pemahaman modernisme pada umumnya. Dengan demikian
Kristeva (1980: 36-37) menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat
destruktif dan konstruktif.
Derrida dalam Piliang (2003: 125-126), lebih memusatkan pemikiran filsafatnya pada
makna atau lebih tepatnya kemustahilan dari sebuah teks. Derrida mengembankan sebuah
lembaran baru filsafat, dengan

2.3.2 Teori Estetika
Estetika Clive Bell dalam Gie (1976 : 74) segala seni penglihatan dan musik sepanjang
masa mempunyai significant form (bentuk penting atau bentuk yang bermakna) sehingga seni
tersebut dihargai orang. Significant form adalah bentuk dari karya seni yang menimbulkan
tanggapan berupa perasaan estetis dalam diri seseorang. Jadi significant form adalah mutlak
bersifat pencapaian penikmatan estetis. Becker dalam Noel (2000: 38) menjelaskan estetika
harus mampu memadukan unsur-unsur seni dan logika, dan berproduksi melalui bahasa rupa,
serta memiliki kepekaan indrawi melalui pengalaman bereksplorasi, berekspresi dan berkreasi
sesuai kebutuhan masyarakat. Pelaku estetika harus mampu berkreasi dalam bahasa rupa
berdasarkan inspirasi yang bersumber pada alam dan lingkungan dalam mengolah medium
seni. Estetika adalah ilmu yang mempelajari tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan
keindahan serta semua aspek dari apa yang disebut keindahan. Dengan demikian kesenian
merupakan suatu wadah yang mengandung unsur-unsur keindahan. Keindahan dari karya

19

buatan manusia dapat memberikan rasa kesenangan dan kepuasan melalui beberapa unsur
mendasar dalam estetika yaitu wujud atau rupa, bobot atau isi dan penampilan (Djelantik,
2004: 15).
Piliang (2003: 185-186) mengemukakan bahwa ada semacam paradoks dalam setiap
upaya pendefinisian estetika posmodernisme. Tampaknya, diskursus posmodernisme adalah
diskursus yang menghindarkan diri dari definisi, yang menjauhkan diri dari pembicaraan
tentang kebenaran diri sendiri, yang melakukan parodi terhadap dirinya sendiri. Akan tetapi,
terlepas dari paradoks atau kontradiksi filosofis ini, ada pertanyaan khusus tentang estetika
yang diharapkan dapat dijawab, yaitu apakah mungkin menyusun dan mengembangkan
konsep-konsep posmodernisme yang khusus tentang estetika, di tengah hiruk-pikuk tuduhan
akan miskinnya kriteria, samar-samarnya nilai kebenaran, moralitas, rasionalitas, dan spiritual
dalam kebudayaan modern?. Apakah mungkin mengembangkan konsep-konsep estetika dari
kebudayaan modern, yang oleh beberapa kritikus dituduh sebagai kebudayaan antiestetika
(Foster)? Apakah mungkin menyusun idiom-idiom estetik dari karya-karya seni posmodern
seperti Memphis, yang para konseptornya secara ironis memberi label pada gerakan mereka
sebagai gerakan menentang estetika? Model kajian akademis tentang estetika apakah yang
dapat dikembangkan dari kebudayaan posmodern yang sering dituduh sebagai kebudayaan
yang tidak bertanggung jawab (irresponsible), yang didalamnya apapun boleh- anything goes!
Atau, model pengalaman dan makna-makna estetik apakah yang dapat ditafsirkan dari karya-
karya seni posmodern yang sering dikatakan bersifat transparan-yang anti-interpretasi
(Foucault, Baudrilard). Perbicangan mengenai estetika posmodern sebagaimana kondisi
posmodern itu sendiri memang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan tak berujung; penuh
dengan jalan berliku, penuh enigma.
Meskipun demikian, yang tidak dapat dibantah lagi dari diskursus posmodern, adalah
bahwa pengetahuan dan teori-teori yang melandasi diskursus posmodern lebih berkaitan
dengan upaya menerangkan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan antara fenomena

20

posmodernisme, konsumerisme, dan obyek-obyek estetik (atau antiestetik) di dalam
masyarakat konsumerisme. Oleh sebab itu di dalam era posmodern tidak dapat dipisahkan
dari keterkaitannya dengan konsumerisme itu sendiri, serta pengetahuan yang melandasinya
dan kekuasaan yang beroprasi di baliknya. Keanekaragaman prinsip atau idiom-idiom estetik
kebudayaan yang mengelilinginya, dari kegalauan epistemologis yang mewarnai produksi dan
reproduksi obyek-obyek estetiknya. Dalam hal ini, dapat dikemukakan argumen, bahwa di
tengah-tengah ekstasi (Barthes), diam (Hasan, Sontag), transparansi (Foucault), imanensi
(Baudrillard), indeterminansi (Rotry), dan skizofrenik (Deleuze & Guattari) yang mewarnai
diskursus posmodern, ada katagori-katagori kebudayaan, idiom-idiom estetik yang dapat
diambil, dikembangkan, diperluas, diperdalam dan diterapkan dalam praktik-praktik
kebudayaan yang lebih luas, khususnya seni. Tujuan dari penggalian idiom-idiom dan bahasa
estetik ini, bukanlah mencari terminal terakhir atau tapal batas terluar dari diskursus estetika
posmodernisme terminal atau tapal batas, dimana bahasa estetik posmodern tidak punya
gerak lebih jauh lagi, akan tetapi hanya untuk pembuka wawasan, bagi penjelajah idiom-
idiom yang lebih kaya.
Teori estetika ini digunakan sebagai landasan dalam mengkaji bentuk dan struktur seni
patung, melelui perpaduan aspek ide dan penerapan elemen-elemen seni rupa, sejauh mana
elemen-elemen estetis ini mampu mewujudkan suatu gaya yang khas yaitu gaya naturalis
dekoratif ekspresif pada patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban.

2.3.3 Teori Resepsi
Kutha Ratna menyebutkan, secara umum teori resepsi diartikan sebagai penerimaan,
penyambutan pemirsa, tanggapan, reaksi, dan sikap pembaca atau penikmat memegang
peranan penting, cara pemberian sesuatu yang bermakna terhadap karya seni, sehingga dapat
memberikan respon terhadapnya (2005: 208). Secara historis teori resepsi sudah
diperkenalkan tahun 1976 oleh H. Robert Jauss, yang pada dasarnya mengungkapkan resepsi

21

deakronik yang lebih menarik dan memberikan pemahaman yang signifikan, khususnya
dalam kaitannya dengan studi kultural; pertama adalah perubahan pandangan terhadap karya
sebagai akibat perubahan horison harapan, paradigma, dan sudut pandang. Kedua, pergeseran
penilaian ini merupakan tolok ukur untuk mengetahui seberapa jauh masyarakat telah
berubah. Dalam proses perubahan inilah dapat diketrahui tokoh dan kekuatan yang berdiri
dibelakangnya.

2. 3.4 Teori Kreativitas
Monrou Beardsley, mengemukakan bahwa sejak awal para seniman telah
mempertahankan tentang sumber tenaga yang mendorong terciptanya benda-benda nyata dari
sesuatu yang abstrak. Pertama, karena adanya dorongan kemanusiaan biasa; yaitu hasrat untuk
mencapai kemasyuran, uang digandrungi, kekuasaan dan lain sebagainya. Dorongan ini
sebenarnya berlaku bagi setiap orang, tetapi seniman mempunyai karakteristik sendiri yang
perlu kajian lebih luas, dan seniman baru meniti karir dengan seniman kawakan serta latar
belakang sosial budaya, ekonomi, dan pendidikan sangat menentukan motifasi seseorang
untuk melakukan kegiatan. Kedua, dorongan yang bersifat rohani; yaitu kebutuhan-kebutuhan
yang dirasakan oleh rohaninya secara mendalam, bahkan mungkin tidak disadarinya.

2.3.5 Teori Tindakan Komunikatif
Secara umum modernisasi dikenal sebagai proses berkembang dan menyebarnya
rasionalitas manusia Barat ke segenap segi kehidupan dan tingkah laku sosial. Max Weber
menyebut proses tersebut sebagai rasionalisasi (rationalizierung). Ini berarti bahwa apa pun
yang ada dan terjadi di dunia ini selalu didekati dan diukur dengan kreteria teknik. Manusia
selalu percaya dan optimistik terhadap rasionya. Rasio menjadi dewa, mitos, dan ideologi
baru. Rasio mengatasi semua pengalaman yang bersifat khusus dan mengasilkan kebenaran-
kebenaran mutlak, universal, dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Namun demikian,

22

Alhumany (1994: 98) menulis, modernisme yang ditandai oleh kepercayaan penuh pada
keunggulan sains, teknologi, dan pola hidup sekular, ternyata tidak cukup kokoh untuk
menopang era industrialisasi yang dikampanyekan dapat membawa kesejahteraan dalam
kehidupan masyarakat. Jurgen Habermas melihat kapitalisme modern sebagai suatu sistem
sosial jahat sebab sistem ini lebih menitikberatkan pada dominasi teknologi dan nalar
instrumental dari pada segi-segi manusiawi.
Di samping itu, ia juga melihat kapitalisme modern mendominasi negara untuk
kepentingan ekonomi dan meningkatkan bidang kehidupan sosial lainnya (Pelly dan Menanti,
1994: 160). Ia mengeritik Marx yang menganggap mekanisme yang membawa dari satu tahap
perkembangan sosial ke tahap berikutnya adalah faktor ekonomi, bukan faktor budaya.
Habermas yang mengajukan pencerahan melalui rasio komunikatif dalam teore kritisnya tidak
dapat dikatakan antimodernitas. Ia mengkritik modernitas sejauh modernitas tersebut
diarahkan oleh sistem kapitalisme yang cacat. Dengan mengutamakan segi-segi instrumental
dan manipulatif yang terwujud dalam sistem ekonomi dan administrasi birokratis, modernitas
kapitalis menindas segi-segi hakiki masyarakat yang pada dasarnya bersifat komunikatif.
Tidak hanya mengkritik rasionalisasi masyarakat, teknokratisme, dan depolitisasi
massa, Habermas juga berbicara tentang demokrasi radikal dan krisis legitimasi serta
kapitalisme. Menurutnya, cacat-cacat modernitas harus diatasi dengan pencerahan lebih lanjut
dalam arti rasio komunokatif yang kritis terhadap rasionalitas yang menyembunyikan
kekuasaan. Habermas memang tidak meninggalkan modernitas dan proyek-proyek
sejarahnya.
Ada dua tugas tindakan komunikatif yang ditempuh untuk mengarahkan
perkembangan politik, ilmu pengetahuan, masyarakat, kebudayaan, menuju sebuah cita-cita
universal yang melandasi segala praksis sosial yang rasional, yaitu masyarakat yang
komunikatif. Mengenai dua tugas tersebut, Habermas (1984: 375) berpendapat sebagai
berikut:

23

Teori tindakan komunikatif (teori kritis) mengambil sikap kritis baik terhadap ilmu-
ilmu sosial dewasa ini maupun kenyataan sosial yang dilukiskannya. Ia kritis
terhadap masyarakat-masyarakat maju sejauh mereka tidak sepenuhnya
memanfaatkan kemampuan belajar kebudayaan yang tersedia bagi mereka itu,
melainkan membenamkan diri ke dalam sebuah pertumbuhan kompleksitas yang
tidak terkendali. Namun, ia juga kritis terhadap pendekatan-pendekatan ilmiah yang
tidak mampu menjelaskan paradoks-paradoks rasionalisasi kemasyarakatan karena
pendekatan-pendekatan itu membuat sistem-sistem sosial yang kompleks sebagai
objek mereka hanya dari salah satu sudut pandang abstrak, tanpa memperhitungkan
asal-usul historis bidang objek mereka (dalam arti sosilogi reflektif)

Komunikasi adalah titik tolak fundamental Habermas yang erat hubungannya dengan
usaha mengatasi kemacetan teori kritis para pendahulunya. Perkembangan filsafat sosial sejak
zaman Marx di abad ke -19 sudah disibukkan dengan usaha mempertautkan teori dan praksis.
Menurut Hardiman, praksis adalah konsep sentral dalam tradisi filsafat kritis. Praksis
bukanlah tingkah laku buta atas naluri belaka melainkan tindakan dasar manusia sebagai
makhluk sosial. Praksis diterangi oleh kesadaran rasional (1993: xix-xx). Habermas sadar
bahwa Hegel yang menjadi Bapak seluruh tradisi ilmu-ilmu sosial kritis memahami praksis
bukan hanya sebagai kerja (Arbeit), melainkan juga sebagai komunikasi
(kommunikation). Para pendahulu Habermas memiliki kelemahan mendasar karena hanya
mampu mengandaikan praksis sebagai kerja (tindakan rasional bertujuan) di samping
hanya mengandaikan rasionalitas sebagai penaklukan, kekuasaan (rasio yang berpusat pada
subjek). Habermas berpegang teguh bahwa kritik hanya bisa maju dengan landasan rasio
komunikatif yang dimengerti sebagai praksis komunikasi atau tindakan komunikatif. Ia
mengubah paradigma kerja dalam teori kritis ke paradigma komunikasi. Dasarnya adalah
distingsi tentang praksis.
Kerja secara mendasar dibedakan dari interaksi. Mengenai kerja yang disebutnya
tindakan rasional bertujuan, Habermas (1990: 59-60) menyatakan:

24

Dengan kerja atau tindakan rasional bertujuan saya memahami tindakan instrumental
atau pemilihan rasional atau gabungan keduanya. Tindakan instrumental ditentukan
oleh aturan-aturan teknis yang berdasarkan pengetahuan empiris. Di dalam setiap hal,
aturan-aturan itu menyatakan prediksi-prediksi bersyarat tentang peristiwa-peristiwa
fisis atau sosial yang dapat diamati. Prediksi-prediksi ini dapat membuktikan tepat
atau keliru. Kelakuan pemilihan rasional ditentukan oleh strategi-strategi yang
didasarkan atas pengetahuan analitis. Strategi-strategi ini menyatakan tak langsung
deduksi-deduksi dari aturan-aturan preferensi (sistem-sistem nilai) dan prosedur-
prosedur pengambilan keputusan; proposisi-proposisi ini baik dideduksikan secara
tepat atau keliru. Tindakan rasional-bertujuan menentukan tujuan-tujuan di bawah
kondisi-kondisi yang telah ada. Tetapi sementara tindakan instrumental mengatur
sarana-sarana yang cocok atau tidak cocok menurut kriteria penguasaan efektif atas
kenyataan, tindakan strategis tergantung hanya pada evaluasi yang tepat atas
pemilihan-pemilihan alternatif yang mungkin, yang dihasilkan dari kalkulasi yang
ditambahkan oleh nilai-nilai dan norma-norma.

Dalam pandangan Habermas, rasionalisasi masyarakat Barat berjalan timpang karena
terlalu menitik beratkan rasionalisasi dalam matra subsistem tindakan rasionalitas-bertujuan,
yakni rekonstruksi sistem-sistem objektif, seperti birokrasi negara dan sistem tekno-ekonomi
kapitalis dengan maksud penguasan alam dan penangan proses-proses sosial tertentu. Sistem-
sistem ini berlangsung menurut logika praksis kerja sosial, dan mereka yang terlibat di
dalamnya melakukan dua macam tindakan kerja yang disebutnya tindakan instrumental,
yakni pengolahan alam dan tindakan strategis, yakni pencapaian target objektif dalam
interaksi sosial. Oleh Weber praksis ini didasari oleh rasionalitas yang disebut
Zweckrationalitaet (Hardiman, 1993).
Nalar instrumental adalah suatu logika penilaian dan cara memandang dunia.
Instrumental mengandung dua demensi, yaitu suatu cara memandang dunia dan suatu cara
melihat pengetahuan teoritis. Nalar instrumental berkepedulian dengan tujuan-tujuan praktis
yang memisahkan fakta dan nilai. Nalar instrumental membahas proses/cara orang melakukan
sesuatu, bukan pada apa yang dilakukannya. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai instrumen,
bukan tujuan, untuk memperoleh hasil-hasil yang belum diketahui sebelumnya. Ilmu

25

pengetahuan tidak mempersoalkan untuk apa digunakan hasil-hasil tersebut. Ia hanya
dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan secara efisien (Pelly dan Menanti, 1994: 158).
Mengenai komunikasi yang disamakan dengan interaksi, Habermas (1990: 60-61)
menjelaskan:
Denganinteraksi, di lain pihak, saya maksudkan tindakan komunikatif, interaksi
simbolis. Tindakan komunikatif itu ditentukan oleh norma-norma konsensual yang
mengikat, yang menentukan harapan-harapan timbal-balik mengenai tingkah-laku dan
yang harus dimengerti dan diketahui sekurang-kurangnya oleh dua subjek yang
bertindak. Norma-norma sosial yang diberlakukan lewat sangsi-sangsi. Makna dari
norma-norma itu diobjektifkan dalam komunikasi lewat bahasa sehari-hari. Sementara
kesahihan aturan-aturan teknis dan strategi-strategi tergantung pada kesahihan
proposisi-proposisi yang secara analitis tepat dan empiris benar, kesahihan norma-
norma sosial didasarkan hanya dalam intersubjektivitas saling pemahaman maksud-
maksud dan diamankan oleh pengetahuan umum mengenai kewajiban-kewajiban.

Meskipun memiliki sejumlah dampak positif yang luas , industri (modern) mendapat
banyak tantangan. Fromm (1996: 6) berpendapat, industri menghasilkan masyarakat
teknologis yang ter-dehumanisasi. Capra (1997: 17) menunjukkan, kemajuan manusia
menimbulkan berbagai krisis dalam masyarakat sehingga terdapat transisi yang terelakkan
dan, untuk itu, dibutuhkan suatu paradigma baru. Menurut Featherstone (1988: 195),
kemajuan tanpa batas industri apa pun menganjurkan pergeseran dan keterputusan zaman dari
kemodernan dan melibatkan kemunculan totalitas sosial baru dengan berbagai prinsip
pengorganisasian yang bisa dibedakan sendiri, seperti yang terdapat pada karya-karya Jean
Baudrillard, Francois Lyotard. Baudrillaed dan Lyotard mengandaikan adanya suatu gerak
maju menuju masa post-industri.
Post-industri dapat dikatakan kata lain dari post-kapitalisme. Dalam hal ini, post-
kapitalisme adalah kapitalisme yang di dalamnya melekat humanisme. Menurut Murchland
(1992: 93-100), kapitalisme bukan saja suatu humanisme yang empiris melainkan juga

26

integral, yang didasarkan atas sepuluh asas, yakni (1) keterasingan, (2) kebebasan, (3)
rasionalitas, (4) naturalisme, (5) moralitas, (6) masyarakat, (7) tradisi, (8) agama, (9)
kreativitas, (10) subjektivitas. Dalam unkapan De Vos (1995: 116), yang harus dibangun
adalah compassionate capitalisme (kapitalisme dengan kepedulian sosial), bukan passionate
capitalism (kapitalisme hawa nafsu). Banyak sekali perdebatan mengenai sejauh mana
modernisme abad kesembilan belas yang harus dipakai (beberapa akhli cenderung kembali
pada golongan seniman pendahulu tahun 1830-an). Ciri-ciri dasar modernisme dapat
diringkas sebagai: suatu kesadaran diri dan refleksifitas estetis; penolakan struktur naratif
demi kepentingan simultanitas dan pemilihan gambar yang simultan (montage); suatu
penyelidikan tentang hakikat realitas yang bersifat paradoksikal, ambigu, dan terbuka tanpa
kepastian; dan penolakan terhadap gagasan tentang kepribadian yang terintegrasi demi
penekanan dan subjek yang mengalami de-strukturisasi dan de-humanisasi (Lunn, 1985: 34).
Salah satu permasalah yang dihadapi ketika mencoba untuk memahami
postmodernisme dalam bidang seni adalah, kebanyakan ciri-ciri ini sesuai dengan berbagai
definisi tentang postmodernisme. Permasalahan yang berkaitan dengan istilah itu,
sebagaimana permasalahan istilah-istilah yang terkait yang kita telah bahas, berkisar pada
masalah kapan sebuah istilah yang didefinisikan secara berlawanan dengan dan
menghidupkan sebuah istilah yang telah mapan mulai memberikan arti sesuatu yang secara
substansial berbeda (Featherstone, 2008: 16). Teori tindakan komunikatif dipergunakan dalam
penelitian ini untuk mengkaji permasalahan ketiga apa makna di bangunnya patung Satria
Gatotkaca di persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban.






27

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian.
Penenlitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan budaya, dengan
menggunakan obejek sebagai sampel yaitu Patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jl.
Ngurah Rai Tuban, Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Dengan dasar
pertimbangan :
1. Patung Satria Gatotkaca adalah dibuat dari sebuah konsep nilai agama Hindu yang
sarat dengan nilai estetika, filosofis Hinduisme serta memiliki bidang telaah dalam
tataran ideologi, bentuk, fungsi dan makna.
2. Patung Satria Gatotkaca adalah hasil karya seniman patung bertarap internasional, dan
hasil karya yang merupakan kolaborasi seni patung tradisional Bali dengan seni
patung modern.
3. Patung Satria Gatotkaca muncul di tengah-tengah masyarakat sekitarnya yang diterpa
arus budaya asing (modern), dan terkait dengan keberadaan Airport Nurah Rai Tuban.

3.2. Teknik Pengumpulan Data
3.2.1 Wawancara
Teknik wawancara atau teknik interview merupakan cara yang dipergunakan oleh
seseorang, dengan tujuan tertentu untuk mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan
dari informan. Wawancara dilakukan dengan cara bercakap-cakap dan berhadapan muka
dengan informan. Wawancara dalam suatu penelitian bertujuan untuk mengumpulkan
keterangan tentang kehidupan manusia serta pendiriannya dalam suatu masyarakat yang
sekaligus merupakan suatu pembantu utama teknik observasi (Koentjaraningrat, 1981: 126).
Di samping itu, wawancara adalah proses percapakan dengan maksud untuk

28

mengkonstruksi orang, kejadian, organisasi, motivasi, perasaan, dan sebagainya yang
dilakukan dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dengan
orang yang diwawancarai/interviewee (Burhan Bungin, 2006: 134). Dalam kaitannya dengan
patung Satria Gatotkaca, teknik ini digunakan untuk memperoleh data atau informasi yang
lengkap dari seniman I Wayan Winten mengenai karya seni patung betonya. Wawancara akan
dilakukan dengan informan kunci, yakni seniman patung beton I Wayan Winten.
3.2.2 Observasi
Pengumpulan data dengan observasi dilakukan melalui pengamatan langsung terhadap
objek yang diteliti. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat
berkenaan dengan keadaan yang sesungguhnya di lapangan. Bungin, ( 2001 :58 ) menjelaskan
metode observasi digunakan dalam mengamati yakni, apa yang mereka lakukan, benda-benda
apa saja yang mereka buat, yang digunakan dalam kehidupan berkesenian. Observasi
dilakukan untuk mendapatkan data tentang kreativitas seni yang dilakukan pematung I Wayan
Winten di studionya, terutama mengenai (1) bentuk patung, (2) Prosespembuatan patung, dan
(3) makna patung betonnya. Untuk hal-hal yang tidak bisa dicatat tentang objek penelitian,
akan dilakukan pemotretan dan perekaman secara audio visual dengan menggunakan
seperangkat alat pemotretan seperti kamera atau handycam, serta alat rekam seperti tape
recorder.

3.3. Instrumen penelitian
Instrumen penelitian adalah alat bantu yang dipakai mengumpulkan data sesuai dengan
jenis data yang akan diambil. Pada penelitian ini instrumen yang digunakan adalah :
a. Alat pencatat untuk pengumpulan data dengan cara observasi dan wawancara. Alat
pencatat untuk teknik wawancara dilengkapi dengan daftar pertanyaan yang terkait

29

dengan dengan variabel dan dilengkapi dengan alat pemotretan untuk merekam
subyek penelitian dalam bentuk foto.
b. Alat pencatat untuk teknik interviu bebas disertai pedoman garis besarnya saja
tentang hal-hal yang akan ditanyakan/diperbincangkan dengan responsden.

3.4. Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang dapat dijelaskan dari hasil penelitian ini, antara lain :
a. Sebagai sumber data yang dapat memberikan informasi tentang karya seni patung Satria
Gatotkaca di Persimpangan Jaln Ngurah Rai Tuban, Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta,
Kabupaten Badung.
b. Sebagai sumbangan pemikiran dalam bentuk tulisan keberbagai pihak yang kompeten,
terutama sebagai sarana pembelajaran bagi anak muda Bali yang akan melanjutkan budaya
pembuatan seni patung monumental sebagai penghias taman juga mengangkat nilai
filosofis budaya Bali dan patung yang menampilkan sosok pahlawan. Juga sumber belajar
bagi mahasiswa dan pelajar dalam pembuatan seni patung monumental tersebut. Karena
belum banyak tulisan yang menyajikan khususnya seni patung monumental di Bali.











30



BAB IV
PROSES DEKONSTRUKSI

4.1 Pembuatan Gambar Sketsa
Dalam pembuatan gambar sketsa berorientasi pada tema dan narasi yang disajikan,
sehingga mewakili karakter tokoh yang akan diwujudkan dalam bentuk patung kelompok.
Proses penggambaran tersebut telah mempertimbangkan bentuk dan wujud, gerak, proporsi,
komposisi, dan fungsi dengan skala 1: 50. Gambar sketsa dengan skal sangat diperlukan,
untuk menghindari kesalahan dalam penentuan proporsi, komposisi, dan penerapan elemen-
elemen decoratifnya, sehingga terwujud karya yang harmonis antara bagian-bagian secara
keseluruhan.
Figur-figur patung yang diwujudkan pada monumen Satria Gatotkaca; (1) Satria
Gatotkaca, tokoh utama dari pihak Pandawa sebagai simbol satria sejati, dalam membela dan
menegakkan kebenaran.,(2) Adipati Karna, tokoh utama kedua yang mewakili pihak Korawa,
sebagai simbol kesetiaan (satia wecana), setia akan janji walaupun dalam hatinya yang paling
dalam sebenarnya ada di pihak pandawa, (3) Prabu Salya, adalah tokoh yang sangat disegani
dipihak Korawa untuk mengendalikan jalanya taktik peperangan dipercaya sebagai
pengendali kereta, (4) Kereta perang yang dipergunakan Adipati Karna bernama kereta
Jaladra, (5) Enam ekor kuda yang diwujudkan adalah sebagai simbol sad ripu, disini
menggambarkan bahwa dari pihak korawa tidak mampu mengendalikan sad ripunya (hawa
naksu) selalu ingin menguasai, sehingga terjadilah perang antara Korawa dengan Pandawa,
(6) Senjata pamungkas Adipati Karna yang bernama Kunta Wijayandanu sebenarnya adalah
simbol kemenangan, karena siapapun yang menjadi sasaran senjata tersebut pasti gugur,
denga satu syarat hanya dapat dipergunakan sekali saja.

31



4.2 Pembuatan Maket
Dalam proses perwujudan karya patung dalam ukuran besar apalagi karya patung
beton bertulang, selain gambar sangat penting diperlukan maket (miniatur) untuk
memperlancar proses pekerjaan. Setelah gambar yang pasti ditetapkan, gambar tersebut
diaplikasikan kedalam patung kecil (maket/miniatur). Pembuatan maket melalui proses
tahapan; satu, membuat kerangka struktur konstruksi dengan besi dan kawat kasa, sesuai
dengan gambar yang telah ditentukan dalam gambar. Dua, kerangka besi di cor dan tempel
dengan adonan PC yang telah disiapkan, yang bersipat untuk memperkokoh kerangka struktur
tesebut, setelah tempelan yang pertama kering baru dapat dilanjutkan dengan pembentukan
bentuk-bentuk figur yang wujudkan secara global. Tiga, untuk pinising bentuk-bentuk figur
tersebut disempurnakan dengan adonan semen dicampur dengan mil dan air secukupnya
untuk mendapatkan kesn yang lebih lembut dan mempermudah memberikan aksen-aksen
anatomi yang diperlukan. Demikian pula dengan pemberian elemen-elemen dekoratip yang
bersifat ornamental sehingga maket menjadi lebih indah dan mendekati kesempurnaan. Empat
setelah maket dalam kondisi kering, maket dapat diberi warna sesuai dengan konsep gambar
yang telah ditentukan untuk dapa memberikan gambaran yang lebih oftimal dalam proses
perwujudan patung yang sebenarnya.

4.3 Proses Pembuatan Rangka Patung
Dalam proses pembuatan patung beton bertulang seperti Patung Satria Gatotkaca di
Persimpangan jalan Ngurah Rai Tuban, mempergunakan dua teknik perangkaan yaitu; satu
dengan perangkaan langsung dan kedua dengan perangkaan ganda. satu, dengan perangkaan
langsung maksudnya adalah, bentuk kerang dibuat langsung sesuai dengan bentuk figur yang
akan patungkan sesuai dengan proporsi dan komposisi gerak yang ditentukan, dengan

32

memperhitungkan teknik kerja dengan teknik tempel pengecoran pada bagian-bagian struktur
konstruksi yang ditentukan. Kedua, dengan perangkaan ganda maksudnya adalah struktur
kerangka utama adalah untuk struktur kerangka yang kedua, dengan demikian adalah
disamping untuk episiensi, juga untuk mempermudah pencarian bentuk kerangka yang
sebenarnya. Didalam mewujudkan kerangka patung tersebut bisa menggunakan kawat tali
(kawat beton) atau dapat pula menggunakan teknik las sebagai pengikat struktur kerangka.
Dalam proses perwujudan kerangka patung tersebut yang paling penting adalah tetap
memperhatikan proporsi dan komposisi gerak yang telah ditentukan dalam miniatur tersebut.
Hal tersebut untuk mengantisipasi dapat mempermudah proses pembentukan figur-figur,
pemberian elemen-elemen dekoratif yang ornamentasi sesuai dengan karakter ketokohannya.
Disamping hal tersebut diatas yang tidak kalah penting dalam perwujudan kerangka
adalah ketepatan penggunaan ukuran besar kecilnya besi sangat membantu mempermudah
pengerjaannya, disamping dukungan peralatan lengkap yang harus dipergunakan. Dalam
tahap akhir struktur kerangka dipasang kawat kasa, kalau bagian-bagian yang akan di cor
kawat kasanya dipasang di luar struktur, kalau bagian-bagian yang tidak di cor kawat kasanya
dipasang di bagian dalam struktur gunanya untuk mempermudah penempelan adonan
berikutnya. Kesemua proses perwujudan kerangka tersebut selalu mengacu pada miniatur
yang telah ditetapkan.

4.4 Proses Pengecoran Kerangka Patung
Pengecoran kerangka patung pada struktur yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu
pada bagian-bagian yang berperan sebagai penyangga beban, serta posisi untuk keseimbangan
patung yang dibuat (untuk kerangka langsung). Sedangkan untuk kerangka ganda, kerangka
struktur konstruksi utama di cor penuh, pengecoran dengan adonan beton (3 pasir + 2 koral +
1 semen dengan air seperlunya). Setelah pengecoran selesai hasil coran tersebut harus di

33

keringkan minimal satu minggu, supaya mendapatkan kekuatan struktur yang maksimal
supaya dalam proses pemebentukan struktur tidak patah.

4.5 Proses Pembentukan Figur
Setelah coran struktur utama kering, pertama yang dilakukan adalah penutupan
permukaan bidang secara menyeluruh, dengan adonan PC (1 semen + 3 Pasir dengan air
seperlunya). Setelah tempelan yang pertama secara menyeluruh setengan kering permukaan
tempelan tersebut dibuat kasar untuk mempermudah penempelan adonan berikutnya.
Kemudian dilakukan pencarian pembentukan secara global secara proposional, serta
dilanjutkan dengan penegasan anatomi secara global, sesuai dengan gerak patung, komposisi,
dan proporsi serta karakter ketokohan yang telah ditentukan dalam miniatur.

4.6 Pinising Bentuk dan Detail Hiasan
Penyelesaian bentuk yang sangat praktis dapat menggunakan adonan semen dengan
mil dengan air secukupnya dengan perbandingan satu berbanding tiga (1 semen + 3 mil)
untuk mendapatkan kekuatan bahan dari terpaan hujan dan teriknya sinar matahari. Dalam
proses pinising bentuk sangat diperlukan ketelitian dan kesabaran karena dalam proses
membentuk sangat dipengaruhi oleh sifat bahan. Demikian pula dalam penyelesaian
ornamenya atau detail hiasannya sangat diperluka ketelatenan dalam memproses tatahannya
karena ditentukan oleh sifat bahan, jangan sampai tatahannya menjadi terlalu kering sehingga
menyelesaikannya menjadi sulit. Dengan demikian perhitungan yang matang sangat perlu
untuk membuat tatahan untuk tujuan praktis dan ekonomis. Kemudian dalam
mempertahankan hasil karya patung dari gangguan cuaca karya patung tersebut dapat dilapisi
dengan menggunakan sika, atau merek pelapis lain.

4.7 Proses Pewarnaan

34

Proses pewarnaan pada patung Satria Gatotkaca di Persimpangan Jalan Ngurah Rai
Tuban, adalah teknik pewarnaan secara langsung karena menggunakan warna mil dan warna
semen putih sehingga dengan demikian warna secara langsung didapat dari adonan mil
dengan semen putih tersebut. Dengan demikian warna menjadi lebih awet karena menyatu
dengan adonan atau warna adonan pinising sekaligus menjadi warna patung itu sendiri.

4.8 Alat-alat kerja yang diperlukan
Dari pembuatan kerangka pasilitas alat-alat yang sangat diperlukan antara lain; tang,
gunting pemotong kawat kasa, palu besi, pliser, kemudian dalam proses pengecoran dan
pembentukan serta pinising peralatan yang diperlukan seperti; cetok berbagai ukuran, palet,
ceper untuk tempat adonannya, seperangkat pahat dengan pengotoknya (palu) untuk
memberikan hiasan onamentalnya.















35



BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Seperti apa yang telah diuraiakan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa, monumen
patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban adalah benda seni budaya
yang merupakan bagian dari obyek pariwisata budaya, yang sangat layak untuk dilestarikan
sesuai dengan kaidah-kaidah estetika, resepsi seni, dan fungsional strukturalnya sehingga
menimbulkan kesan monumental. Termasuk sebagai aikon pariwisata budayanya Bali karena
tempatnya pada pintu masuk kedatangan para wisatawan yang datang dari Airport Ngurah Rai
Tuban
Estetika Clive Bell dalam Gie (1976: 74) segala seni penglihatan dan musik sepanjang
masa mempunyai significant form (bentuk penting atau bentuk bermakna) sehingga seni
tersebut dihargai orang. Significant form adalah bentuk dari karya seni yang menimbulkan
tanggapan berupa perasaan estetis dalam diri seseorang. Jadi dengan demikian significant
form adalah mutlak pencapaian penikmatan estetis, dengan demikian patung satria
Gatotkaca adalah benar-benar significant form , dan sangat representatif.
Memenihi kaidah resepsi seni adalah sebagai penerimaan atau penyambutan
pemirsa, cara pemberian sesuatu yang bermakana terhadap karya seni, sehingga dapat
memberikan respon terhadapnya, dapat memberikan signifikan form, dapat memberikan
perubahan pandangan terhadap karya sebagai akibat perubahan horison harapan, paradigma,
dan sudut pandang. Kemudian pergeseran penilaian merupakan tolok ukur untuk mengetahui
seberapajauh masyarakat telah berubah. Dalam proses perubahan inilah dapat diketahui tokoh
dan kekuatan berdiri dibelakangnya, demikian halnya dengan patung Satria Gatotkaca yang

36

pada awalnya merupakan elemen eksterior, dan simbol lingkungan (Bandara Ngurah Rai),
juga penyambutan wisatawan yang datang ke Bali melalui Bandara Ngurah Rai.

Fungsional Struktural, seperti yang dikemukakan Parson (1988: 11) dapat dicermati
beberapa hal sebagai berikut; Satu, masyarakat harus dipandang sebagai suatu sistem dari
pada bagian yang saling berhubungan satu sama lain, kedua, karena itu hubungan saling
mempengaruhi diantara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik, tiga,
mestipiun integrasi sosial tidak pernah tercapai dengan sempurna, namun secara fundamental
bergerak kearah equilibrium yang bersifat dinamis, empat, walaupun disfungsi, ketegangan
dan penyimpangan senan tiasa terjadi, lama-kelamaan akan teratasi secara sendirinya melalui
penyelesaian dan proses institusionalisasi, lima, perubahan didalam sistem sosial pada
umumnya terjadi secara gradual, melalui penyelesaian yang tidak revolusioner.
Dengan demikian monumen patung Satria Gatotkaca adalah bukti nyata, bahwa
pariwisata budaya Bali dalam seni rupa khususnya seni patung, mampu memposisikan diri
dalam menghadapi tantangan pariwisata bersifat emansifatoris terhadap budaya luar tanpa
tercerabut dari budaya lokal. Disamping karena menyangkut manusia dan masyarakat,
manusia dengan berbagai aspeknya yang merupakan aspek studi sosiologi, analisis sosiologi
terhadap pariwisata sangat penting dilakukan dengan mengingat berbagai alasan berikut;
1. Pariwisata telah menjadi aktivitas sosial ekonomi dominan dewasa ini, bahkan
disebut-sebut sebagai industri terbesar sejak akhir abad 20 (WTO, 2000) yang juga
menyangkut pergerakan barang, jasa dan manusia dalam skala terbesar yang pernah
terjadi dalam sejarah manusia. Sejak beberapa dasawarsa terakhir, pariwisata memang
telah terbukti menjadi industri terbesar diberbagai belahan dunia.
2. Pariwisata bukanlah sesuatu kegiatan yang beroprasi diruang hampa. Pariwisata
sangat terkait dengan masalah sosial, politik, ekonomi, keamanan, dan seterusnya
termasuk berbagai institusi sosial yang mengaturnya.

37

3. Pariwisata bersifat sangat dinamis, sehingga setiap saat memerlukan analisis atau
kajian yang lebih tajam. Sebagai suatu aktifitas dinamis pariwisata memerlukan kajian
terus menerus, sehingga pembangunan pariwisata bisa memberikan manfaat bagi
kehidupan manusia khususnya masyarakat lokal.
4. Pariwisata tidaklah eklusif, dalam arti bahwa pariwisata bukan saja menyangkut suatu
bangsa tertentu saja, melainkan juga dilakukan oleh hampir semua ras, etnik, dan
bangsa, sehingga pemahaman aspek-aspek sosial budaya sangat penting.
5. Pariwisata selalu mempertemukan dua atau lebih kebudayaan yang berbeda, yang
mempunyai perbedaan norma, nilai, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya.
Pertemuan manusia atau masyarakat dengan latar belakang sosial budaya yang
berbeda akan menghasilkan berbagai proses akulturasi, dominasi, asimilasi, adopsi,
adaptasi dalam kaitan hubungan antar budaya, yang merupakan salah satu isu sentral
dalam sosiologi.

4.2 Saran
Keberadaan seni patung, khususnya seni patung beton di Bali sebagai warisan budaya
telah menunjukkan penungkatan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas produk yang
dihasilkan. Walaupun demikian, masih perlu banyak upaya-upaya yang harus dilakukan
dalam menjaga kelestarian dan eksistensinya demi keajegan pariwisata Bali. Dengan
demikian melalui penelitian ini diharapkan muncul peneliti-peneliti lain untuk melengkapi
dan memberikan pendalaman lebih lanjut, sehingga untuk dimasa yang akan datang dapat
memberikan sumbangan pemikiran dan manfaat bagi masyarakat umum, khususnya di jagat
nesi.




38



DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, Irwan, 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Anonim, 1986. Sejarah Bali, Pemerintah Daerah Tingkat satu Propinsi Bali.

Bahari, Nooryan, 2008. Kritik Seni, Wacana Apreasi dan Kreasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Barker, Chris, 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik, terjemahan, Cultural studies: Theory
and Practice, Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.

Djelantik, A.A.M. 2004. Estetika Sebuah Pengantar, Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia.

Driyakara, 1980. Driyakara Tentang Kebudayaan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Ensiklopedia Nasional Indonesia, 1989. Jakarta: PT. Cipta Adi Pusaka.

Gie, the Liang, 1999. Garis Besar Estetika, Ygyakarta : Super Sukses.

Hardiman, Budi F.,1993. Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu, Masyarakat, Politik &
Posmodernisme menurut Jurgen Habermas; Kanisius Yogyakarta.

Kempers, Bernert, 1977. Monumental Bali, Introoduction to Balinise archeology Guide to the
Monumen, Den Haag.

Koentjaraningrat, 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Umum.

Linus, I Ketut, 1985. Beberapa Patung Dalam Agama Hindu, Sebuah Pendekatan dari segi
Arkeologi.

Mariyah, Emiliana, 2007. Estetisasi dan Privatisasi Tempat Ibadah Kawasan Puja Mandala
Nusa Dua Bali, artikel dalam Jurnal Kajian Budaya, Denpasar: Universitas Udayana.

Morgan, M. 1996. Strategi Inovasi Sumber Daya Manusia, Jakarta: PT. Alex Media
Koputindo.

Mudana, I Gede, 2003. Dari Filsafat Ilmu ke Bentuk, Fungsi, dan Makna, dalam Buku
Pemahaman Budaya di Tengah Perubahan. Denpasar: Program S2 dan S3 Kajian
Budaya Universitas Udayana.




39

Singarimbun, Masri., dan Efendi, Sofian. 1989. Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3 ES.

Soekamto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Baru ke Empat, Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada.

Sudarta, G.M, Seni Lukis Bali Dalam Tiga Generasi, Jakarta: Gramedia.

Suradi, HP. 1983. Ida Bagus Nyana: Karya dan Pengabdiannya. Proyek Pengadaan Buku
Pada Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen P&K, Jakarta.

Sugiharto, B.I. 2006. Seni, Ilmu Pengetahuan Dan Peradaban: Dalam Sidang Terbuka Senat
Universitas Katolik Parahyangan Pengukuhan Guru Besar Ilmu Filsafat Bandung, 16
Desember 2006


Informan Wawancara, I Wayan Winten, sebagai seniman patung beton dan kayu, dari Br.
Yang Loni, Teges Ubud Gianyar.



























40










Lampiran Foto 1







Keterangan:
Patung Satria Gatotkaca dari sudut pandang belakang, tampak kegagahan Gatotkaca
sedang mempermainkan Adipati Karna, untuk memancing emosi supaya melepaskan
senjata Konta Wijayandanu, yang merupakan senjata pamungkas adipati Karna,
yang hanya bisa dipergunakan sekali saja.




41











Lampiran Foto 2




Keterangan:
Tampak dari samping kanan (arah timur), Gatotkaca sedang diatas kuda dengan
senjata ditangan, berhadapan dengan Adipati Karna diatas kereta sedang
membentangkan busur , dan menyiapkan anak panah untuk menyerang Gatotkaca.







42







Lampiran Foto 3





Keterangan:
Patung Satria Gatotkaca dari tampak samping kiri (dari arah barat), tampak gerak kuda
yang sangat dinamis karena terkejut dengan gebrakan Gatotkaca , siap tanding dengan
Adipati Karna.


43












Lampiran Foto 4









Keterangan:
Tampak dari arah depan (arah selatan), enam ekor kuda kelihatan gerak yang enerjik,
Gatotkaca diatas kuda berhadapan dengan Adipati Karna. Tampak pula kusir kereta
Adipati Karna sedang memacu kudanya dengan cemeti ditangan.


44











Lampiran Foto 5








45



Keterangan:
Presasti Patung Satria Gatotkaca (arah depan /selatan), yang diresmikan oleh Prof.
Dr.dr Ida Bagus Oka (selaku Gubernur Bali) pada tanggal 21 Oktober 1993




LAPORAN PENELITIAN DANA DIPA
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
TAHUN 2008

DEKONSTRUKSI SENI PATUNG SATRIA GATOTKACA
DI PERSIMPANGAN JALAN NGURAH RAI TUBAN

Oleh:
Drs. I Ketut Mustika
NIP. 131882106

Dibiayai dari dana Diva ISI Denpasar
Dengan surat perjanjian pelaksanaan penelitian
Nomor, 0230.0/023-34/XX/2008

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
2008

DAFTAR ISI


Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................... i
LEMBARAN PENGESAHAN ..................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka ........................................................................ 6
2.2 Konsep ................................................................................... 14
2.2.1 Patung .................................................................................. 14
2.2.2 Gaya .................................................................................... 14
2.2.3 Perspektif ............................................................................ 14
2.2.4 Bentuk, Fungsi, Makna ....................................................... 16
2.3 Landasan Teori ....................................................................... 17
2.3.1 Teori Dekonstruksi .............................................................. 17
2.3.2 Teori Estetika ..................................................................... 18
2.3.3 Teori Resepsi ....................................................................... 20
2.3.4 Teori Kreativitas.................................................................. 21
2.3.5 Teori Tindakan Komunikatif............................................... 21

BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian................................................................... 27
3.2 Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 27
3. 2.1 Wawancara ......................................................................... 27
3.2.2 Observasi ............................................................................. 28
3.3 Instrumen Penelitian............................................................... 28
3.4 Manfaat Penelitian ................................................................. 29
BAB IV DEKONSTRUKSI
4.1 Pembuatan Gambar seketsa.................................................... 30
4.2 Pembuatan Maket ................................................................... 31
4.3 Proses Pembuatan Rangka Patung ......................................... 31
4.4 Proses Pengecoran Kerangka Patung ..................................... 32
4.5 Proses Pembentukan Figur ..................................................... 33
4.6 Finising Bentuk dan Detail Hiasan ........................................ 33
4.7 Proses Pewarnaan ................................................................... 33
4.8 Alat-alat Kerja Yang Diperlukan ........................................... 34

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ............................................................................ 35
4.2 Saran ....................................................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................
LAMPIRAN FOTO ......................................................................


1

DEKONSTRUKSI SENI PATUNG SATRIA GATOTKACA
DI PERSIMPANGAN JALAN NGURAH RAI TUBAN
LAPORAN PENELITIAN DANA DIPA
Nomor, 0230.0/023-34/XX/2008
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
TAHUN 2008
Oleh:
Drs. I Ketut Mustika

BAB I
PENDAHULUAN


l.1 Latar Belakang
Kebudayaan pada hakekatnya adalah aktivitas manusia yang meliputi seluruh aspek
pikiran, dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada nalurinya, melainkan dicetuskan
melalui proses belajar. Dari keseluruhan aktivitas manusia yang sangat luas tersebut,
kebudayaan bisa dilihat dari wujudnya yakni (1) kebudayaan sebagai suatu komplek ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan lain sebagainya, (2) kebudayaan sebagai suatu aktivitas
kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) kebudayaan sebagai benda-benda
hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1990:186-187).
Keindahan alam Bali mencakup aspek-aspek seperti yang dikemukakan oleh The
Liang Gie (1976 :35) yaitu keindahan seni, keindahan alamnya, keindahan moral dan
intelektualnya. Dari aspek keindahan tersebut menyangkut kaidah estetika yang bersumber
pada filsafat agama Hindu, demikian juga keindahan intelektual tercermin pada makna
gagasan yang menjadi isi pada setiap seni yang tercipta. Estetika adalah sesuatu yang sangat
penting dalam kehidupan manusia. Estetika menggerakkan manusia kearah yang lebih

2

konstruktif dalam berbagai tindakan yang selalu berlandaskan prakerti yang memiliki tiga
sifat atau guna yaitu: Satwa, Rajas, Tamas.
Satwa adalah hakekat segala sesuatu yang memiliki sifat-sifat terang, baik dan
menyenangkan. Rajas adalah sumber aktivitas dan nafsu. Tamas adalah bercirikan kegelapan,
kebodohan, kemalasan dan berat. Semula, kekuatan ketiga guna itu adalah seimbang. Oleh
karena itu prakerti berada dalam keadaan berimbang, dan tidak menimbulkan sesuatu (tenang
dan damai). Kemudian pada prakerti tersebut dimasukkan kekuatan maya. Kekuatan maya
tersebut menyebabkan prakerti bergolak dan terjadilah ketidak seimbangan antar guna-guna
tersebut. Dari pergolakan tersebut terjadilah di seluruh alam semesta ini yang bermacam-
macam corak sesuai dengan pengaruh zaman. Ini yang merupakan dasar peletakkan hubungan
keindahan dengan esensi agama Hindu sebagai Roh karya seni yang lahir dan berkembang
di Bali (Nurkancana, 1995:21).
Untuk dapat memahami dan mengerti keberadaan karya seni dari suatu daerah dengan
seksama, tidak cukup hanya dengan mengalisa bentuk-bentuk karya seninya saja seperti seni
sastra, seni tari, seni pahat, seni warna dan seni-seni lainnya. Pemahaman gaya hidup,
keyakinan (agama) struktur kehidupan dari suatu masyarakat adalah sendi-sendi yang sangat
menentukan sekali dalam proses pencapaian suatu karya budaya. Dengan demikian sangat
penting untuk dipahami supaya dapat mengadakan interperestasi yang tepat.
Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1990 : 203-204) setiap kebudayaan suku
bangsa di dunia memiliki tujuh unsur kebudayaan yang universal yaitu : 1) Bahasa, 2) Sistem
ilmu pengetahuan, 3) Organisasi sosial, 4) Sistem peralatan hidup dan Teknologi, 5) Sistem
mata pencaharian hidup, 6) Sistem religi, 7) Kesenian. Kesenian adalah merupakan salah satu
dari tujuh unsur kebudayaan yang universal tersebut, oleh karena itu seni atau kesenian
merupakan sebuah produk kebudayaan dari setiap suku bangsa di dunia. Untuk itu memahami
fenomena kesenian atau seni tidak bisa dipisahkan dengan latar belakang di mana seni atau
kesenian itu dilahirkan.

3

The Liang Gie (1996 : 46) merangkum pendapat tentang ciri-ciri pokok seni, yaitu : 1)
Seni bersifat kreatif; menciptakan sesuatu realitas baru. 2) Seni bercorak individualitas; terikat
pada perseorangan tertentu dalam penciptaannya maupun penikmatannya. 3) Seni adalah
ekspresif ; menyangkut perasaan manusia dan karena itu penilaiannya juga harus memakai
ukuran perasaan estetis. 4) Seni adalah abadi ; dapat hidup sepanjang massa. 5) Seni bersifat
semesta ; berkembang di seluruh dunia dan sepanjang waktu.Dalam konteks tersebut
Moerdowo (1967 : 18 ) mengelompokkan Bali sebagai salah satu dari suku bangsa di
Indonesia yang memiliki karakteristik seni dan budaya yang menarik perhatian bagi para
wisatawan manca negara untuk melihat paduan estetika budaya yang di ilhami oleh sebuah
frame religiussitas Hinduisme.
Kesenian Bali telah berkembang dengan pesatnya, seiring dengan pesatnya
perkembangan ilmu dan teknologi serta perkembangan di bidang kepariwisataan yang
memberikan dampak yang sangat positif dalam berkreativitas berkesenian. Berdasarkan hal
tersebut Bali terkenal dengan berbagai julukan seperti; Pualu Sorga, Paradise Created, Pulau
seribu Pura, Pulau Pariwisata dan lain sebagainya. Berbicara mengenai seni di Bali, hubungan
agama Hindu dengan seni tidak dapat dipisahkan, karena dengan hal itu dapat menumbuhkan
inspirasi dan rasa seni yang sangat mendalam dalam masyarakat dalam berbagai bidang,
terutama dalam seni pahat atau seni bentuk dan seni-seni lainnya (Mantra, 1991 : 5).
Seni dan agama Hindu khususnya di Bali sangat erat dan saling isi mengisi, karena
pada awalnya karya seni adalah untuk dipersembahkan ( ngayah) kepada yang dipujanya.
Sehingga agama Hindu merupakan sumber dari segala sumber inspirasi dalam berkreativitas
karya seni dalam masyarakat Hindu di Bali. Hanya sekarang tampak pengaruh karya seni
yang bersumber kepada penghidupan rakyat sehari-hari, hal ini dipertegas lagi oleh I Gusti
Bagus Sugriwa (1952 :22) bahwa kesenian Bali atau seni budaya Hindu Bali bergejolak
sampai sekarang, pada hakikatnya adalah anak atau cabang, lapisan luarnya dari agama
Hindu.

4

Oleh karena itu, dalam memahami seni budaya Bali tidak dapat dipisahkan dari
kerangka dasarnya yang menjadi sumber inspirasi penciptaan berbagai karya seni yang
tumbuh dan berkembang di Bali. Seni budaya Bali yang berkembang sejak kedatangan para
wisatawan ke Bali mengakibatkan perkembangan semakin pesat dalam berbagai wujud yang
menjadi gaya tarik bagi wisatawan. Bali yang memiliki unsur estetika yang sangat unik dan
kompleks membuat daya tarik Pulau Bali sebagai daerah tujuan wisata semakin mendunia.
Kesenian Bali telah berkembangan begitu pesatnya, seiring dengan perkembangan
dunia pariwisata, maka dampak dari perkembangan pariwisata tersebut munculah kreatifitas
seni yang mencoba untuk memperindah pulau Bali. Salah satu seni yang turut memperindah
tata ruang kota dan jalan-jalan di Bali adalah seni patung. Secara umum patung-patung yang
menghiasi tataruang di kota Denpasar, baik di wilayah kabupaten Badung maupun di Kodya
dapat di golongkan menjadi : 1) Patung realis, yang bernafaskan perjuangan kemerdekaan R.I.
2) Patung tradisi naturalis ekspresionis, yang bernafaskan falsafah agama Hindu. Salah satu
patung tradisi naturalis ekspresionis yang berdiri megah di persimpangan Jalan Ngurah Rai
Tuban, Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung adalah Patung Satria
Gatotkaca. Patung ini dibuat pada tahun 1993, terbuat dari bahan beton bertulang, bercorak
tradisi naturalistik ekspresionis yang bernafaskan Hinduisme. Pada dasarnya topik Satria
Gatotkaca dipergunakan berdasarkan aspek lingkungan, yaitu berdampingan dengan lapangan
terbang (Air Port Ngurah Rai Tuban). Dengan demikian landasan ide ini di ambil berdasarkan
karya sastra yang bernafaskan Hindu dari epos Mahabharata.
Dalam wira carita Mahabharata ini menampilkan dua tokoh kesatria yang pada
dasarnya merupakan serumpun keluarga yang terbagi menjadi dua yang saling bertentangan.
Disatu pihak dari keluarga Panca Pandawa, yang diwakili oleh raja Pringgodani yaitu
Gatotkaca. Di pihak lawannya adalah keluarga Seratus Kurawa, yang diwakili oleh Adipati
dari Kadipaten Awangsa yaitu Adipati Karna. Dalam konteks mentransformasikan karya
sastra yang bersifat dua demensional, menjadi karya seni tiga demensional juga memerlukan

5

kecermatan yang harus menjadi perhatian yang utama, karena terkait dengan sifat tiga
demensional. Kalau dalam wira carita, yang menjadi momen utama adalah gugurnya
Gatotkaca, karena terkait dengan sifat tiga demensinya maka, dengan demikian momen yang
ditampilkan adalah pada saat kesatriaan-nya Gatotkaca memperlihatkan kesaktian maya-
nya untuk memancing emosi Adipati Karna, supaya melepas/mempergunakan senjata
Kunta Wijayandanu-nya , yang merupakan senjata pamungkas Adipati Karna.
Dengan demikian momen Satria Gatotkaca sangat tepat diwujudkan dalam wujud
karya seni tiga demensional, yang dalam perwujudannya dilapangan terdiri dari : 1)
Gatotkaca sebagai tokoh utama, dari pihak Panca Pandawa, 2) Adipati Karna, tokoh utama ke
dua dari pihak Seratus Kurawa, 3) Prabu Salya, sebagai kusir Adipati Karna, 4) Kereta perang
Adipati Karna yang bernama Jaladra, 5) Enam ekor kuda sebagai penarik kereta Jaladra, 6)
Senjata pamungkas Adipati Karna yang bernama Kunta Wijayandanu. Semua bentuk-bentuk
figur tersebut terkomposisikan secara strukturalistik, sehingga menjadikan suatu unity
komposisi bentuk-bentuk yang sangat indah, naturalis ekspresif, dan bersifat monumental.

1.2 Rumusan masalah :
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka masalah yang akan
dibahas dalam penelitian ini adalah :
1). Bagaimanakah bentuk dekonstruksi seni Patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan
Ngurah Rai Tuban?
2). Bagaimana fungsi dekonstruksi seni patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan
Ngurah Rai Tuban?
3). Apa makna dekonstruksi seni patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan Ngurah Rai
Tuban?



6

BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah proses umum yang kita lalui untuk mendapatkan teori
terdahulu. Dalam buku Ensiklopedia Wayang Indonesia Jilid III, yang disusun tim penulis
Sena Wangi (2003), tokoh Gatotkaca adalah tokoh karakter yang luar biasa, gagah dan
pemberani yang digambarkan sebagai anak yang su putra di keluarga besar Panca Pandawa.
Gatotkaca lahir, karena hasil perkawinan Bima dengan Dewi Arimbi. Begitu Gatotkaca lahir
telah membuat keanehan, karena tali pusarnya tidak dapat diputus dengan segala macam
senjata, dengan demikian keluarga Panca Pandawa sepakat mengutus Arjuna mencari senjata
yang mampu untuk itu. Sementara para dewa-pun tahu tentang hal itu.
Untuk menolongnya, Batara Guru mengutus Sanghyang Narada turun ke bumi
membawa senjata pemotong tali pusar Gatotkaca. Namun Batara Narada membuat kekeliruan,
senjata yang bernama Kunta Wijayandanu itu bukan diberikan kepada Arjuna, melainkan
diberikan kepada Karna yang wajah dan penampilannya mirip Arjuna. Untuk memperoleh
senjata tersebut Arjuna terpaksa merebut dari tangan Karna. Kemudian Arjuna berhasil hanya
mendapatkan sarung (werangka) senjata sakti itu. Sendangkan bilah senjata kunta, dilarikan
oleh Karna. Untunglah ternyata sarung (werangkanya) saja sudah bisa digunakan memotong
tali pusar Gatotkaca. Kemudian, begitu tali pusar itu putus, werangka kunta itu langsung
melesat masuk kedalam pusar Gatotkaca. Setelah tali pusarnya putus, atas seijin keluarga
Pandawa Gatotkaca dibawa Batara Narada Ke Khayangan untuk menghadapi Kala Sakipu dan
Kala Pracona yang mengamuk. Mula-mula Arimbi dan Bima tidak rela anaknya yang baru
lahir dibawa oleh Narada. Namun setelah Narada menjelaskan Kala Sakipu dan Kala Pracona
hanya bisa dikalahkan hanya oleh bayi Tutuka itu, akhirnya baru Bima dan Arimbi
mengizinkannya. Di kahyangan bayi Tutuka langsung ditaruh dihadapkan kedua raksasa sakti

7

itu, bayi tutuka langsung diambil oleh raksasa dan mengunyahnya, tetapi tubuh bayi Tutuka
tetap utuh walaupun dikunyahnya kuat-kuat. Karena kesal, bayi Tutuka itu dibantingnya
dengan sekuat tenaga ke tanah, bayi Tutuka hanya pingsan. Setelah ditinggal pergi oleh kedua
raksasa itu, bayi Tutuka diambil oleh Batara Narada, dimasukkan ke kawah Candradimuka.
Disini Gatotkaca digembleng oleh Begawan Anggajali. Setelah penggemblengan
selesai, begitu muncul dari kawah Candradimuka, bayi itu sudah berubah wujud menjadi
kesatria muda yang yang gagah perkasa. Ia menggunakan Caping Basunanda (penutup
kepala gaib), yang menyebabkan tidak kehujanan dan tidak kepanasan. Ia juga mengguanakan
terompah Padakacarmayang jika digunakan menendang musuhnya akan mati.
Kemudian para dewa menyuruh Gatotkaca berkelahi melawan bala tentara raksasa
pimpinan Prabu Kala Pracona dan Patih Kala Sakipu, akhirnya Kala Pracona dan Kala Sakipu
dapat dibunuh.

Dalam perjalanan hidupnya Gatotkaca mempunyai tiga orang istri. Istri pertamanya
Dewi Pergiwa (anak Arjuna). Istri kedua adalah Dewi Sumpani, istri ketiga Dewi Suryawati
(putri Batara Surya). Dari perkawinannya dengan Dewi Pergiwa melahirkan seorang anak
bernama Saksikirana. Dengan Dewi Sumpani ia mempunyai anak bernama Arya
Jayasumpena. Sedangkan Suryakaca adalah hasil perkawinannya dengan Dewi
Suryawati.Dalam Perang Baratayuda Gatotkaca diangkat menjadi senapati dan gugur pada
hari ke-15 oleh senjata Kunta Wijayandanu yang dilemparkan Adipati Karna. Senjata Kunta
Wijayandanu melesat menembus perut Gatotkaca melalui pusarnya dan masuk kedalam
werangkanya. Saat berhadapan dengan Adipati Karna, sebenarnya Gatotkaca sudah tahu akan
bahaya yang mengancam jiwanya. Karena itu ketika Adipati Karna melemparkan senjata
Kunta, ia terbang amat tinggi. Namun senjata sakti terus saja memburunya, sehingga akhirnya
Gatotkaca gugur. Ketika jatuh kebumi, Gatotkaca berusaha agar jatuh tepat pada tubuh

8

Adipati Karna, tetapi senapati kurawa itu waspada dan cepat melompat menghindar sehingga
yang hancur hanyalah kereta Jaladranya saja.
Sebenarnya, sewaktu berhadakan dengan Gatotkaca, Adipati Karna enggan
menggunakan senjata Kunta. Ia merencanakan hanya menggunakan senjata sakti itu bila
berhadapan dengan Arjuna. Namun ketika Prabu Anom Duryudana menyaksikan betapa
Gatotkaca telah menimbulkan banyak korban, ia mendesak agar Karna menggunakan senjata
pamungkasnya.Akibatnya, setelah Gatotkaca gugur, Adipati Karna tidak lagi memiliki senjata
sakti yang benar-benar diandalkan.Dengan gugurnya Gatotkaca adalah merupakan penentu
kemenangan di pihak Pandawa, karena siapapun yang dijadikan sasaran oleh pelempar senjata
Kunta Wijayandanu, pasti akan gugur. Sedangkan senjata Kunta wijayandanu, dapat
digunakan hanya sekali saja. Sebenarnya senjata itu di peruntukkan pada Arjuna, karena
kejelian kordinator peperangan dari pihak Pandawa yaitu Sri Kresna, maka terselamatkanlah
Arjuna dari sasaran senjata mahadasyat Kunta Wijayandanu. Apabila sampai Arjuna gugur
dalam perang Baratayuda, sudah dapat dipastikan kemenangan berada dipihak Kurawa.
Walaupun Gatotkaca gugur, beliau paling dihormati sebagai pahlawan besar kesatria
sejati oleh keluarga besar Panca Pandawa, dan memiliki banyak gelar seperti ; Prabu Anom
Kacanagara, Tutuka, Guritna, Pangeran Gurubaya, Pangeran Purbaya, Bimasiwi,
Krincingwesi, Arimbiatmaja, dan Bimaputra.

Pada tokoh utama kedua sebagai lawan Gatotkaca yang dipatungkan adalah Adipati
Karna, yang sebenarnya adalah saudara tertua dari Panca Pandawa. Karena, dilahirkan oleh
Dewi Kunti pada waktu masih berstatus brahmacari (sedang menimba ilmu dengan mahaguru
Resi Druwarsa). Dewi Kunti mencoba-coba menggunakan Aji Adityarhedaya, yakni ilmu
untuk mendatangkan dewa yang dikehendakinya, dan berhasil mendatangkan Betara Surya.
Tetapi kedatangan Betara Surya yang tampan itu membuat Dewi Kunti mengandung, pada hal
ia masih gadis.

9

Setelah Prabu Kuntiboja mengetahui prihal musibah yang menimpa putrinya, paduka
marah dan memanggil Maha Guru Resi Druwarsa. Druwarsa dipersalahkan karena mengajari
ilmu tingkat tinggi pada gadis yang belum dewasa. Resi Druwarsa mengaku bersalah dan
berjanji akan bersedia menjamin keutuhan keperawanan Dewi Kunti kelak pada saat
melahirkan. Dengan ilmunya yang tinggi, sesudah masa kehamilannya cukup, Druwarsa
mengeluarkan jabang bayi yang dikandungnya melalui telinga Dewi Kunti. Alasannya, ilmu
masuk dan diresapi oleh Dewi Kunti melalui telinga. Itulah sebabnya, ia diberi nama Karna;
yang artinya telinga. Nama lain baginya adalah Talingasmara, Suryaputra, dan Suryatmaja,
karena anak Kunti itu hasil hubungan dengan Batara Surya.Pada waktu Karna lahir memiliki
tanda khusus pada telinganya berisi Atnting Mustika yang memancarkan sinar kemilau.
Untuk menutupi aib kerajaan, bayi (Karna kecil) dimasukkan kedalam peti dan
dihanyutkan kesungai Gangga, yang kemudian ditemukan, dan dirawat oleh Adirata bersama
istrinya bernama Rhada, seorang sais kereta, itulah sebabnya Karna juga disebut Basukarna
atau Radhea. Karena Karna diangkat anak oleh seorang sais kereta kerajaan, karena Karna
sering diajak keistana kerajaan, disana Karna sering melihat putra-putra Dewi Kunti dan Putra
Dewi Gandari belajar ilmu olah keprajuritan, yang diajar oleh Resi Krepa, dan Begawan
Drona. Pada suatu hari Karna memberanikan diri memohon agar kedua maha guru itu mau
mengangkat Karna juga menjadi muridnya. Tetapi karena Karna hanya anak seorang sais,
maka ia ditolak untuk jadi muridnya.
Pada suatu saat Krepa dan Drona melakukan uji tanding antara murid-muridnya,
ternyata arjuna menjadi murid yang paling pintar, dengan kepintarannya Arjuna menjadi
sombong. Kesombongan Arjuna inilah, Karna menjadi lebih bersemangat untuk belajar ilmu
olah keprajuritan dengan menyamar menjadi seorang brahmana, untuk berguru kepada Rama
Bargawa, dan mendapatkan ilmu Brahmastra, yakni ilmu keterampilan memanah.Sesudah
mewariskannya berbagai ilmunya, Rama Bargawa baru sadar bahwa muridnya bukan seorang
brahmana melainkan seorang kesatria, karena Rama Bargawa sangat benci dengan kesatria,

10

akhirnya Karna dikutuk ; kelak dalam Baratayuda, pada saat yang genting yang menentukan
hidup atau mati, Karna akan lupa mantra ilmu Brahmastra, dan kutukan itu terbukti.

Pada buku Mahabharata, yang ditulis oleh Kamala Subramaniam (2003:509-510), :
Pasukan Pandawa dibakar oleh, Bhisma, Drona dan Aswatama. Tidak ada gunanya bertarung
dengan mereka, tidak ada seorangpun yang bisa melawan mereka. Melihat Irawan mati,
Gatotkaca bangkit dan bertindak. Gatotkaca mengobrak-abrik pasukan kurawa, kemarahan
Gatotkaca ia tumpahkan pada Duryodhana, ia terus manentangnya. Bhisma mendengar suara
keributan dalam pasukan karena Gatotkaca, Bhisma berkata: Aku takut Duryodhana tidak
akan mampu menahan kekuatan putra Bima, tetapi kalau bukan karena sumpah Bima untuk
membunuh Duryodhana, Gatotkaca pasti sudah membunuhnya sejak dulu. Mereka semua ada
disana; Drona, Aswattama, Jayadrata dan masih banyak yang lainnya. Gatotkaca semakin
bersemangat melihat kejadian ini. Ia melawan mereka semua, ia meneriakkan teriakan perang
yang sangat kuat.
Yudhistira mendengar teriakan perang, ia memanggil Bhima dan berkata: Bhima, aku
mendengar suara anakku Ghatotkaca. Aku melihat beberapa pahlawan kurawa berlari
mendekatinya. Aku khawatir akan keselamatannya. Aku tidak bisa mengutus Arjuna, karena
ia sibuk membela putra-putra Drupada melawan kemarahan Bhisma. Aku ingin engkaulah
yang pergi membantu putramu. Bhima segera membantu putranya. Anak dan ayah sekarang
bergabung menjadi pasangan yang tak terkalahkan. Pada saat Bhima mengangkat gadanya
mau membunuh Duryodhana, mereka menghilang begitu juga Bhisma pergi dari
pasukannya.Ghatotkaca terus mengobrak-abrik pasukan kurawa, seperti kucing
mempermainkan tikus, sampai trompet berbunyi tanda hari sudah malam, pasukan masing-
masing kembali kekemahnya.
Art In Indonesia : Continuities and Change : Claire Holt, Pengantar dan Alih Bahasa
Soedarsono (2000), mengemukakan bahwa perkembangan seni di Indonesia merefleksikan

11

kebinekaan budaya yang lahir dalam tingkat kehidupan yang berbeda. Ada beberapa yang
kelihatan kuno tetapi sangat vital, yang menjadi sumber kreatifitas idealisme, dan yang baru
berkembang sangat pesat. Unsur-unsur seni lama dan baru di komodifikasi terstrukturalisasi
sehingga menjadi karya seni yang sangat menarik. Seni tradisional dengan seni ritual seperti
seni patung, seni lukis, seni gerak sampai wayang kulit tahan hidup berdampingan dengan
seni sekuler yang digarap oleh kreator-kreator seni, dari gaya realis, naturalis, ekspresionis
sampai gaya abstrak.
Seni di Indonesia ditata seperti masuk dalam tiga lingkungan yang tumpang tindih
diatur secara kronologis sebagai berikut.
1. Warisan, yang meliputi ciptaan-ciptaan seni dari zaman masa prasejarah Indonesia dan
sejarah kuno yang masih dilestarikan, yang dibuat dari bahan-bahan tahan lama seperti
batu, logam, dan tanah liat.
2. Tradisi-tradisi yang hidup, yang meliputi seni rupa (plastik arts) yang ada di Indonesia
terutama di Bali yang konsepsi bentuk dan isinya diabadikan, walaupun kerap diabadikan
pada medium yang baru.
3. Seni Modern, yaitu sebuah fenomena urban yang telah berkembang di Indonesia.
Manifestasinya hadir bersama dengan bentuk-bentuk tradisi yang vital tampil sangat kuat
pada seni lukis dan seni patung.
Dijelaskan pula bahwa Bali adalah wilayah berbeda dibandingkan dengan Jawa atau
daerah lainnya yang kepercayaan Hindu-nya praktis memudar bahkan melenyap dengan
penyebaran Islam. Kehidupan ritual Hindu di Bali masih tetap bertahan hingga kini, meskipun
menyerap pengaruh Hindu-Budha melalui ekspansi dari kerajaan Majapahit, namun ekspansi
keseniannya memiliki perbedaan dengan Jawa.
Dengan mengutip Stutterheim, bahwa yang ideal dari orang Jawa adalah mencari yang
halus, bahkan yang lembut dan yang rohani, sehingga seninya ditandai dengan ke hati-hatian.
Sebaliknya orang Bali menyukai yang ekspresif, meledak-ledak penuh semangat dengan

12

warna emas dan terang dengan keinginan menghias sangat berlebihan(baroque). Ciri-ciri
baroque yang karakteristik akhirnya menuju seni Bali kontemporer yang khas. Para seniman
Bali sangat cepat mengambil serta meniru setiap pembaharuan yang menyamar khayalan
mereka, terutama yang telah meraih sukses. Sukses dinilai dari dua kreteria yaitu pertama,
bila sebuah karya yang original telah memperoleh persetujuan atau kekaguman dari akhli
khususnya penilai karya-karya seni lokal, dan kedua, bila karya-karya yang meniru gaya-gaya
baru mencapai pasar komersil. Di Bali sebuah seni yang tak resmi dan lucu tampil
berdampingan dengan seni pada bangunan suci (pura) yang bersifat resmi. Pemadatan
dekorasi-dekorasi pura dengan penggabaran duniawi dan lucu tidaklah baru di Bali.

Suradi H.P (1983) dalam bukunya yang berjudul Ida Bagus Nyana Hasil Karya dan
Pengabdiannya, mengungkapkan tentang biografi tokoh nasional Ida Bagus Nyana, seorang
pematung yang kreatif dan sebagai tokoh pembaharuan seni patung Bali. Pada mulanya Ida
Bagus Nyana membuat patung tradisional Bali yang tidak dikerjakan secara pribadi, tetapi
secara bersama-sama dengan teman-temannya. Untuk memperluas pengetahuan dibidang seni
patung, pada tahun 1935 ikut bergabung dalam perkumpulan Pita Maha yang dipimpin oleh
Rudolf Bonnet dan Walter Spies. Kalau sebelumnya Ida Bagus Nyana membuat patung tanpa
teori, tanpa ada yang mengkritik atau menganalisis karya-karyanya, setelah bergabung dengan
Pita Maha terjadi interaksi yang positif, dan secara tidak langsung membawa pengaruh
terhadap kreatifitas seni dan perkembangan karya-karyanya.
Secara visual daya kreatif dari pematung Bali untuk pertama kalinya bereksplorasi
melalui pakem-pakem yang sudah ada dalam seni patung tradisi dan klasik Bali dipelopopri
oleh Ida Bagus Nyana, yang sering dinyatakan sebagai tonggak seni patung Bali modern.
Sejak tahun 1935 atas anjuran Walter Spies, Ida Bagus Nyana mulai melakukan
penyederhanaan bentuk-bentuk wayang klasik dengan mengurangi hiasan-hiasan busananya
sehingga karakter kayunya tampak jelas dan indah tidak ditutupi oleh ukiran-ukiran

13

(ornamennya) busananya. Dengan idealisme seperti demikian Ida Bagus Nyana mengolah
bahan dengan dua cara, pertama idenya muncul dari bentuk bahannya untuk dijadikan karya
seni patung, yang kedua pengolahan bahan sesuai dengan ide yang sudah ada. Dengan cara
kerja mendekonstruktif melalui depormasi komposisi, ornamen maupun proporsi tradisinya
sehingga menghasilkan suatu gaya, yang beliau namakan Gaya Pepulungan yang
dikatagorikan sebagai tonggak seni patung Bali modern.

Linus (1985) dalam penelitian yang berjudul Beberapa Patung Dalam Agama Hindu
Sebuah Pendekatan Dari Segi Arkeologi. Penelitian ini menjelaskan mengenai beberapa
pengertian patung seperti arca, pretima, bedogol, dan togog. Arca dan pretima keduanya
perwujudan dewa dalam bentuk patung yang digunakan sebagai sarana konsentrasi di dalam
persembahyangan agama Hindu. Arca dan pretima dibedakan dari segi ukuran dan bahan.
Arca ukurannya lebih besar, bahan dari kayu pilihan, bisa dari batu. Pretima umumnya
ukurannya lebih kecil dan dibuat dari kayu pilihan, emas, perak, uang kepeng. Pretima juga
biasanya disebut sebagai pralingga, atau petapakan, juga stana dewa.
Sedangkan, bedogol adalah patung yang dibuat dari batu, umumnya batu padas atau
kayu, biasanya dibuat dalam ukuran yang agak besar. Dilihat dari penempatannya tampaknya
bedogol mempunyai fungsi magis dan dekoratif. Apabila bedogol ditempatkan di depan candi
bentar (dedamping pintu masuk), disebut dwarapala, maka bedogol berfungsi magis dan
dekoratif. Togog, adalah patung yang dibuat dalam ukuran yang lebih kecil dari bedogol yang
dominan bersifat dekoratif, dapat dipindah sesuai keinginan.
Linggih (2001) dalam penelitian yang berjudul Patung Dewa Ruci di Persimpangan
JL. Arteri Nusa- Dua Tanah Lot : Analisis Bentuk, Fungsi dan Makna. Pembuatan patung
Dewa Ruci ini di ilhami oleh muatan-muatan estetik dan fungsional. Patung Dewa Ruci
sangat menarik untuk dikaji dari segi estetika Hindu, khususnya dalam konsep rwa bhineda,

14

karena adanya perbedaan-perbedaan yang tidak dapat dipisahkan antara yang sakral dan
sekuler.
Patung Dewa Ruci menunjukkan pemahaman bentuk fisik, dalam cakupan komposisi
dan proporsi dan elemen-elemen estetik yang membentuk karya yang bergaya naturalis
ekspresionis. Patung ini memiliki fungsi sakral dan sekuler. Fungsi sakral kalau mengacu
pada simbol Acintya yang biasanya digunakan dalam upacara agama Hindu, dan fungsi
sekuler mengacu pada penempatan patung tersebut sebagai komponen dekoratif, untuk
memperindah taman kota. Penelitian ini cukup relevan dengan masalah yang dikaji terutama
menyangkut patung beton dan bergaya naturalis ekspresionis.

Swandi (1999) dalam penelitiannya yang berjudul Inovasi Ida Bagus Tilem Dalam
Seni Patung Bali Modern. Penelitian ini dibahas mengenai aktivitas dan kreativitas Ida
Bagus Tilem dalam berkarya seni patung yang bertolak dari konsep penyederhanan bentuk
(deformasi) yaitu sebagai prinsip dasar perubahan inovatif dalam seni patung yaitu perubahan
dari bentuk-bentuk manusia ideal menjadi proporsi yang tidak ideal. Dalam mewujudkan
konsepnya Tilem berusaha memadukan ide yang ada dalam dirinya dengan material yang
dipakai, yaitu bentuk-bentuk kayu yang alami bahkan kayu-kayu yang sudah dimakan rayap
dan borok terkadang melahirkan ide baru dalam karya patungnya yang eksotik dan imajinatif.
Di balik idenya yang murni karya-karya Tilem sangat kreatif dan inovatif, permainan unsur-
unsur estetik dalam bentuk yang dideformasi mengikuti bahan secara alamiah sehingga
menghasilkan patung abstrak atau seni patung Bali modern yang tidak terlepas dari akar
budaya Hindu Bali. Dalam pembangunan pariwisata budaya, dalam seni rupa khususnya seni
patung, Monumen Patung Satria Gatotkaca di Persimpangan JL. Ngurah Rai Tuban,
merupakan wujud nyata adanya perkembangan pariwisata budaya. Yang pada dasarnya adalah
konsep dari cerita klasik Hindu, yang pada perwujudannya mengalami perubahan sesuai
dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi.

15

2. 2 Konsep
2. 2.1 Patung
Dalam Ensiklopedi umum (1973 : 1193), dikatakan patung adalah seni rupa yang
merupakan pernyataan pengalaman artistik lewat bentuk-bentuk tiga demensional. Walaupun
ada pula yang bersifat seni pakai, tapi pada galibnya seni patung adalah tiga demensional
sehingga dengan demikian benar-benar didalam ruang, maka didalam patung tidak ada
problem perspektif seperti halnya seni lukis yang kadang kala ingin membuat kesan
kedalaman dalam karya-karya yang datar saja. Selanjutnya menurut Jack. C. Rick (1959 :3)
esensi seni patung adalah seni yang bersifat tiga demensional yang merupakan organisasi
massa, benda atau volume atau kontur, bidang gelap dan terang dan juga tekstur.

2.2.2 Gaya
Dalam bahasa Inggris gaya disebut dengan style, yang menurut Echols dalam Couto
(1999 : 3) berarti corak, mode, dan gaya, misalnya gaya bahasa, stilistik adalah ilmu gaya
bahasa. Gaya seni adalah suatu keteraturan, suatu pola keindahan yang diabstraksikan dari
suatu karya seni. Yang dimaksud adalah gugusan sifat-sifat yang bertalian dengan ide, tema,
wujud visual yang memberikan ke khasan pada karya seni yang bersangkutan, dan didukung
teknologi kerja yang diperlukan, sehingga menghasilkan karya seni yang memiliki karakter
dan ciri khas tertentu pada zamannya.

2. 2.3 Perspektif
Perspektif umum diartikan sebagai tinjauan, sudut pandang atau pandangan. Sudut
pandang yang dimaksud adalah tergantung permasalahan apa yang dikaji. Suatu masalah atau
obyek peristiwa bisa dipandang dari beberapa sudut pandang atau perspektif. Perspektif juga
bisa diartikan sebagai seperangkat asumsi kerja, suatu teknik pendekatan, atau paradigma
(Paul B. Horton dalam Ram,1999 :16).

16

2. 2. 4 Bentuk, Fungsi, dan Makna
Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana menggunakan pendekatan atau
paradigma budaya bentuk, fungsi, dan makna berdasarkan filsafat ilmu yakni ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.
Aspek bentuk menyoroti apa (ontologinya) yang menggambarkan realitas yang diteliti.
Aspek fungsi menunjukkan bagaimana (epistemologinya) yang menggambarkan metode
yang digunakan, dan aspek makna menyoroti mengapa (aksiologinya) yang
menggambarkan nilai-nilai(Mudana,2003 :89-93, Ratna, 2003: 112-120).

Bentuk, bentuk dapat diartikan sebagai Form dan shape. Form adalah bentuk yang
menunjukkan mahluk hidup, misalnya bentuk binatang maupun manusia. Shape
pengertian bentuk yang menunjukkan benda yang ada dibumi (Bastomi, 1989 : 30).
Menurut Jelantik (1999: 18), bentuk yang paling sederhana adalah titik, titik adalah
komponen penentu, untuk diolah dan ditata sesuai dengan keinginan dalam konteks
seni rupa.

Fungsi, fungsi adalah menerangkan hubungan guna antara sesuatu hal dengan suatu
tujuan tertentu, ada kaitan korelasi antara suatu hal dengan suatu hal yang lain dalam
sistem yang terintegrasi. Berbagai unsur kebudayaan yang ada dalam masyarakat
berfungsi untuk memuaskan hasrat kebutuhan hidup manusia. Unsur kesenian
misalnya, mempunyai fungsi guna memuaskan hasrat manusia akan keindahan.
Dengan demikian pemikiran fungsional selalu menyangkut hubungan pertautan atau
relasi (Peursen, 1988 :85).

Makna, makna terkait suprastruktur dan sistem budaya yang bersifat abstrak. Dengan
kalimat lain, makna selalu diartikan sebagai mangandung nilai-nilai positif, untuk

17

kesejahteraan umat manusia, sebaliknya fungsi mungkin bersifat positif atau negatif.
Dengan kalimat lain lagi, makna mengandung sifat das sollen (apa yang seharusnya
terjadi), sedangkan fungsi mengandung sifat das sein (kejadian sebagai apa adanya).
Tujuan akhir setiap aktivitas kebudayaan dengan demikian adalah makna.

2.3 Landasan Teori
2.3.1 Teori Dekonstruksi
Dekonstruksi, dari akar kata de + constructio (latin). Pada umumnya prefiks de
berarti kebawah, pengurangan, terlepas dari. Constructio berarti: bentuk, susunan, hal
menyususn, hal mengatur. Jadi, dekonstruksi dapat diartikan sebagai b pengurangan atau
penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang sudah baku.
Sebagaimana telah terjadi dalam menterjemahkan istilah-istilah asing, dengan adanya
perbedaan perbendaharaan kata-kata, maka sangat sulit untuk menemukan terjemahan yang
tepat terhadap istilah dekonstruksi tersebut. Dalam teori kontemporer dekonstruksi sering
diartikan sebagai pembongkaran, perlucutan, penghancuran, penolakan, dan berbagai istilah
dalam kaitannya dengan penyempurnaan arti semula.
Cara yang dianggap paling tepat untuk memberikan arti terhadap istilah dekonstruksi ,
demikian juga istilah-istilah lain yang mempergunakan prefiks de seperti; depsikologi,
depersonalisasi, deotomatisasi, dan sebagainya, adalah dengan mengembalikannya pada akar
katanya semula. Dalam mendekonstruksi strukturalisme, misalnya, kegiatan yang dilakukan
secara terus menerus adalah mengurangi intensitas oposisi biner, sehingga unsur-unsur yang
dominan tidak selalu mendominasi unsur-unsur lain.
Benar, dalam dekonstruksi dilakukan semacam pembongkaran, tetapi tujuan akhir
yang hendak dicapai adalah penyusunan kembali kedalam tatanan dan tataran yang lebih
signifikan, sesuai dengan hakikat obyek, sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat
dimanfaatkan semaksimal mungkin. Melalui analisis strukturalisme, tokoh-tokoh yang

18

memperoleh perhatian adalah tokoh utama. Sebaliknya, melalui analisis postrukturalisme,
setiap tokoh adalah tokoh utama dalam peristiwanya masing-masing. Dekonstruksi dalam
hubungan ini berarti sebagai usaha untuk memberikan arti pada kelompok yang lemah, yang
selama ini kurang memperoleh pengertian, bahkan diabaikan sama sekali. Tujuan
dekonstruksi tetap konstruksi, dengan sendirinya dalam bentuk yang berbeda, konstruksi yang
seimbang sekaligus dinamis, bukan konstruksi yang statis sebagaimana yang dimaksudkan
dalam strukturalisme dan pemahaman modernisme pada umumnya. Dengan demikian
Kristeva (1980: 36-37) menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat
destruktif dan konstruktif.
Derrida dalam Piliang (2003: 125-126), lebih memusatkan pemikiran filsafatnya pada
makna atau lebih tepatnya kemustahilan dari sebuah teks. Derrida mengembankan sebuah
lembaran baru filsafat, dengan

2.3.2 Teori Estetika
Estetika Clive Bell dalam Gie (1976 : 74) segala seni penglihatan dan musik sepanjang
masa mempunyai significant form (bentuk penting atau bentuk yang bermakna) sehingga seni
tersebut dihargai orang. Significant form adalah bentuk dari karya seni yang menimbulkan
tanggapan berupa perasaan estetis dalam diri seseorang. Jadi significant form adalah mutlak
bersifat pencapaian penikmatan estetis. Becker dalam Noel (2000: 38) menjelaskan estetika
harus mampu memadukan unsur-unsur seni dan logika, dan berproduksi melalui bahasa rupa,
serta memiliki kepekaan indrawi melalui pengalaman bereksplorasi, berekspresi dan berkreasi
sesuai kebutuhan masyarakat. Pelaku estetika harus mampu berkreasi dalam bahasa rupa
berdasarkan inspirasi yang bersumber pada alam dan lingkungan dalam mengolah medium
seni. Estetika adalah ilmu yang mempelajari tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan
keindahan serta semua aspek dari apa yang disebut keindahan. Dengan demikian kesenian
merupakan suatu wadah yang mengandung unsur-unsur keindahan. Keindahan dari karya

19

buatan manusia dapat memberikan rasa kesenangan dan kepuasan melalui beberapa unsur
mendasar dalam estetika yaitu wujud atau rupa, bobot atau isi dan penampilan (Djelantik,
2004: 15).
Piliang (2003: 185-186) mengemukakan bahwa ada semacam paradoks dalam setiap
upaya pendefinisian estetika posmodernisme. Tampaknya, diskursus posmodernisme adalah
diskursus yang menghindarkan diri dari definisi, yang menjauhkan diri dari pembicaraan
tentang kebenaran diri sendiri, yang melakukan parodi terhadap dirinya sendiri. Akan tetapi,
terlepas dari paradoks atau kontradiksi filosofis ini, ada pertanyaan khusus tentang estetika
yang diharapkan dapat dijawab, yaitu apakah mungkin menyusun dan mengembangkan
konsep-konsep posmodernisme yang khusus tentang estetika, di tengah hiruk-pikuk tuduhan
akan miskinnya kriteria, samar-samarnya nilai kebenaran, moralitas, rasionalitas, dan spiritual
dalam kebudayaan modern?. Apakah mungkin mengembangkan konsep-konsep estetika dari
kebudayaan modern, yang oleh beberapa kritikus dituduh sebagai kebudayaan antiestetika
(Foster)? Apakah mungkin menyusun idiom-idiom estetik dari karya-karya seni posmodern
seperti Memphis, yang para konseptornya secara ironis memberi label pada gerakan mereka
sebagai gerakan menentang estetika? Model kajian akademis tentang estetika apakah yang
dapat dikembangkan dari kebudayaan posmodern yang sering dituduh sebagai kebudayaan
yang tidak bertanggung jawab (irresponsible), yang didalamnya apapun boleh- anything goes!
Atau, model pengalaman dan makna-makna estetik apakah yang dapat ditafsirkan dari karya-
karya seni posmodern yang sering dikatakan bersifat transparan-yang anti-interpretasi
(Foucault, Baudrilard). Perbicangan mengenai estetika posmodern sebagaimana kondisi
posmodern itu sendiri memang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan tak berujung; penuh
dengan jalan berliku, penuh enigma.
Meskipun demikian, yang tidak dapat dibantah lagi dari diskursus posmodern, adalah
bahwa pengetahuan dan teori-teori yang melandasi diskursus posmodern lebih berkaitan
dengan upaya menerangkan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan antara fenomena

20

posmodernisme, konsumerisme, dan obyek-obyek estetik (atau antiestetik) di dalam
masyarakat konsumerisme. Oleh sebab itu di dalam era posmodern tidak dapat dipisahkan
dari keterkaitannya dengan konsumerisme itu sendiri, serta pengetahuan yang melandasinya
dan kekuasaan yang beroprasi di baliknya. Keanekaragaman prinsip atau idiom-idiom estetik
kebudayaan yang mengelilinginya, dari kegalauan epistemologis yang mewarnai produksi dan
reproduksi obyek-obyek estetiknya. Dalam hal ini, dapat dikemukakan argumen, bahwa di
tengah-tengah ekstasi (Barthes), diam (Hasan, Sontag), transparansi (Foucault), imanensi
(Baudrillard), indeterminansi (Rotry), dan skizofrenik (Deleuze & Guattari) yang mewarnai
diskursus posmodern, ada katagori-katagori kebudayaan, idiom-idiom estetik yang dapat
diambil, dikembangkan, diperluas, diperdalam dan diterapkan dalam praktik-praktik
kebudayaan yang lebih luas, khususnya seni. Tujuan dari penggalian idiom-idiom dan bahasa
estetik ini, bukanlah mencari terminal terakhir atau tapal batas terluar dari diskursus estetika
posmodernisme terminal atau tapal batas, dimana bahasa estetik posmodern tidak punya
gerak lebih jauh lagi, akan tetapi hanya untuk pembuka wawasan, bagi penjelajah idiom-
idiom yang lebih kaya.
Teori estetika ini digunakan sebagai landasan dalam mengkaji bentuk dan struktur seni
patung, melelui perpaduan aspek ide dan penerapan elemen-elemen seni rupa, sejauh mana
elemen-elemen estetis ini mampu mewujudkan suatu gaya yang khas yaitu gaya naturalis
dekoratif ekspresif pada patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban.

2.3.3 Teori Resepsi
Kutha Ratna menyebutkan, secara umum teori resepsi diartikan sebagai penerimaan,
penyambutan pemirsa, tanggapan, reaksi, dan sikap pembaca atau penikmat memegang
peranan penting, cara pemberian sesuatu yang bermakna terhadap karya seni, sehingga dapat
memberikan respon terhadapnya (2005: 208). Secara historis teori resepsi sudah
diperkenalkan tahun 1976 oleh H. Robert Jauss, yang pada dasarnya mengungkapkan resepsi

21

deakronik yang lebih menarik dan memberikan pemahaman yang signifikan, khususnya
dalam kaitannya dengan studi kultural; pertama adalah perubahan pandangan terhadap karya
sebagai akibat perubahan horison harapan, paradigma, dan sudut pandang. Kedua, pergeseran
penilaian ini merupakan tolok ukur untuk mengetahui seberapa jauh masyarakat telah
berubah. Dalam proses perubahan inilah dapat diketrahui tokoh dan kekuatan yang berdiri
dibelakangnya.

2. 3.4 Teori Kreativitas
Monrou Beardsley, mengemukakan bahwa sejak awal para seniman telah
mempertahankan tentang sumber tenaga yang mendorong terciptanya benda-benda nyata dari
sesuatu yang abstrak. Pertama, karena adanya dorongan kemanusiaan biasa; yaitu hasrat untuk
mencapai kemasyuran, uang digandrungi, kekuasaan dan lain sebagainya. Dorongan ini
sebenarnya berlaku bagi setiap orang, tetapi seniman mempunyai karakteristik sendiri yang
perlu kajian lebih luas, dan seniman baru meniti karir dengan seniman kawakan serta latar
belakang sosial budaya, ekonomi, dan pendidikan sangat menentukan motifasi seseorang
untuk melakukan kegiatan. Kedua, dorongan yang bersifat rohani; yaitu kebutuhan-kebutuhan
yang dirasakan oleh rohaninya secara mendalam, bahkan mungkin tidak disadarinya.

2.3.5 Teori Tindakan Komunikatif
Secara umum modernisasi dikenal sebagai proses berkembang dan menyebarnya
rasionalitas manusia Barat ke segenap segi kehidupan dan tingkah laku sosial. Max Weber
menyebut proses tersebut sebagai rasionalisasi (rationalizierung). Ini berarti bahwa apa pun
yang ada dan terjadi di dunia ini selalu didekati dan diukur dengan kreteria teknik. Manusia
selalu percaya dan optimistik terhadap rasionya. Rasio menjadi dewa, mitos, dan ideologi
baru. Rasio mengatasi semua pengalaman yang bersifat khusus dan mengasilkan kebenaran-
kebenaran mutlak, universal, dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Namun demikian,

22

Alhumany (1994: 98) menulis, modernisme yang ditandai oleh kepercayaan penuh pada
keunggulan sains, teknologi, dan pola hidup sekular, ternyata tidak cukup kokoh untuk
menopang era industrialisasi yang dikampanyekan dapat membawa kesejahteraan dalam
kehidupan masyarakat. Jurgen Habermas melihat kapitalisme modern sebagai suatu sistem
sosial jahat sebab sistem ini lebih menitikberatkan pada dominasi teknologi dan nalar
instrumental dari pada segi-segi manusiawi.
Di samping itu, ia juga melihat kapitalisme modern mendominasi negara untuk
kepentingan ekonomi dan meningkatkan bidang kehidupan sosial lainnya (Pelly dan Menanti,
1994: 160). Ia mengeritik Marx yang menganggap mekanisme yang membawa dari satu tahap
perkembangan sosial ke tahap berikutnya adalah faktor ekonomi, bukan faktor budaya.
Habermas yang mengajukan pencerahan melalui rasio komunikatif dalam teore kritisnya tidak
dapat dikatakan antimodernitas. Ia mengkritik modernitas sejauh modernitas tersebut
diarahkan oleh sistem kapitalisme yang cacat. Dengan mengutamakan segi-segi instrumental
dan manipulatif yang terwujud dalam sistem ekonomi dan administrasi birokratis, modernitas
kapitalis menindas segi-segi hakiki masyarakat yang pada dasarnya bersifat komunikatif.
Tidak hanya mengkritik rasionalisasi masyarakat, teknokratisme, dan depolitisasi
massa, Habermas juga berbicara tentang demokrasi radikal dan krisis legitimasi serta
kapitalisme. Menurutnya, cacat-cacat modernitas harus diatasi dengan pencerahan lebih lanjut
dalam arti rasio komunokatif yang kritis terhadap rasionalitas yang menyembunyikan
kekuasaan. Habermas memang tidak meninggalkan modernitas dan proyek-proyek
sejarahnya.
Ada dua tugas tindakan komunikatif yang ditempuh untuk mengarahkan
perkembangan politik, ilmu pengetahuan, masyarakat, kebudayaan, menuju sebuah cita-cita
universal yang melandasi segala praksis sosial yang rasional, yaitu masyarakat yang
komunikatif. Mengenai dua tugas tersebut, Habermas (1984: 375) berpendapat sebagai
berikut:

23

Teori tindakan komunikatif (teori kritis) mengambil sikap kritis baik terhadap ilmu-
ilmu sosial dewasa ini maupun kenyataan sosial yang dilukiskannya. Ia kritis
terhadap masyarakat-masyarakat maju sejauh mereka tidak sepenuhnya
memanfaatkan kemampuan belajar kebudayaan yang tersedia bagi mereka itu,
melainkan membenamkan diri ke dalam sebuah pertumbuhan kompleksitas yang
tidak terkendali. Namun, ia juga kritis terhadap pendekatan-pendekatan ilmiah yang
tidak mampu menjelaskan paradoks-paradoks rasionalisasi kemasyarakatan karena
pendekatan-pendekatan itu membuat sistem-sistem sosial yang kompleks sebagai
objek mereka hanya dari salah satu sudut pandang abstrak, tanpa memperhitungkan
asal-usul historis bidang objek mereka (dalam arti sosilogi reflektif)

Komunikasi adalah titik tolak fundamental Habermas yang erat hubungannya dengan
usaha mengatasi kemacetan teori kritis para pendahulunya. Perkembangan filsafat sosial sejak
zaman Marx di abad ke -19 sudah disibukkan dengan usaha mempertautkan teori dan praksis.
Menurut Hardiman, praksis adalah konsep sentral dalam tradisi filsafat kritis. Praksis
bukanlah tingkah laku buta atas naluri belaka melainkan tindakan dasar manusia sebagai
makhluk sosial. Praksis diterangi oleh kesadaran rasional (1993: xix-xx). Habermas sadar
bahwa Hegel yang menjadi Bapak seluruh tradisi ilmu-ilmu sosial kritis memahami praksis
bukan hanya sebagai kerja (Arbeit), melainkan juga sebagai komunikasi
(kommunikation). Para pendahulu Habermas memiliki kelemahan mendasar karena hanya
mampu mengandaikan praksis sebagai kerja (tindakan rasional bertujuan) di samping
hanya mengandaikan rasionalitas sebagai penaklukan, kekuasaan (rasio yang berpusat pada
subjek). Habermas berpegang teguh bahwa kritik hanya bisa maju dengan landasan rasio
komunikatif yang dimengerti sebagai praksis komunikasi atau tindakan komunikatif. Ia
mengubah paradigma kerja dalam teori kritis ke paradigma komunikasi. Dasarnya adalah
distingsi tentang praksis.
Kerja secara mendasar dibedakan dari interaksi. Mengenai kerja yang disebutnya
tindakan rasional bertujuan, Habermas (1990: 59-60) menyatakan:

24

Dengan kerja atau tindakan rasional bertujuan saya memahami tindakan instrumental
atau pemilihan rasional atau gabungan keduanya. Tindakan instrumental ditentukan
oleh aturan-aturan teknis yang berdasarkan pengetahuan empiris. Di dalam setiap hal,
aturan-aturan itu menyatakan prediksi-prediksi bersyarat tentang peristiwa-peristiwa
fisis atau sosial yang dapat diamati. Prediksi-prediksi ini dapat membuktikan tepat
atau keliru. Kelakuan pemilihan rasional ditentukan oleh strategi-strategi yang
didasarkan atas pengetahuan analitis. Strategi-strategi ini menyatakan tak langsung
deduksi-deduksi dari aturan-aturan preferensi (sistem-sistem nilai) dan prosedur-
prosedur pengambilan keputusan; proposisi-proposisi ini baik dideduksikan secara
tepat atau keliru. Tindakan rasional-bertujuan menentukan tujuan-tujuan di bawah
kondisi-kondisi yang telah ada. Tetapi sementara tindakan instrumental mengatur
sarana-sarana yang cocok atau tidak cocok menurut kriteria penguasaan efektif atas
kenyataan, tindakan strategis tergantung hanya pada evaluasi yang tepat atas
pemilihan-pemilihan alternatif yang mungkin, yang dihasilkan dari kalkulasi yang
ditambahkan oleh nilai-nilai dan norma-norma.

Dalam pandangan Habermas, rasionalisasi masyarakat Barat berjalan timpang karena
terlalu menitik beratkan rasionalisasi dalam matra subsistem tindakan rasionalitas-bertujuan,
yakni rekonstruksi sistem-sistem objektif, seperti birokrasi negara dan sistem tekno-ekonomi
kapitalis dengan maksud penguasan alam dan penangan proses-proses sosial tertentu. Sistem-
sistem ini berlangsung menurut logika praksis kerja sosial, dan mereka yang terlibat di
dalamnya melakukan dua macam tindakan kerja yang disebutnya tindakan instrumental,
yakni pengolahan alam dan tindakan strategis, yakni pencapaian target objektif dalam
interaksi sosial. Oleh Weber praksis ini didasari oleh rasionalitas yang disebut
Zweckrationalitaet (Hardiman, 1993).
Nalar instrumental adalah suatu logika penilaian dan cara memandang dunia.
Instrumental mengandung dua demensi, yaitu suatu cara memandang dunia dan suatu cara
melihat pengetahuan teoritis. Nalar instrumental berkepedulian dengan tujuan-tujuan praktis
yang memisahkan fakta dan nilai. Nalar instrumental membahas proses/cara orang melakukan
sesuatu, bukan pada apa yang dilakukannya. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai instrumen,
bukan tujuan, untuk memperoleh hasil-hasil yang belum diketahui sebelumnya. Ilmu

25

pengetahuan tidak mempersoalkan untuk apa digunakan hasil-hasil tersebut. Ia hanya
dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan secara efisien (Pelly dan Menanti, 1994: 158).
Mengenai komunikasi yang disamakan dengan interaksi, Habermas (1990: 60-61)
menjelaskan:
Denganinteraksi, di lain pihak, saya maksudkan tindakan komunikatif, interaksi
simbolis. Tindakan komunikatif itu ditentukan oleh norma-norma konsensual yang
mengikat, yang menentukan harapan-harapan timbal-balik mengenai tingkah-laku dan
yang harus dimengerti dan diketahui sekurang-kurangnya oleh dua subjek yang
bertindak. Norma-norma sosial yang diberlakukan lewat sangsi-sangsi. Makna dari
norma-norma itu diobjektifkan dalam komunikasi lewat bahasa sehari-hari. Sementara
kesahihan aturan-aturan teknis dan strategi-strategi tergantung pada kesahihan
proposisi-proposisi yang secara analitis tepat dan empiris benar, kesahihan norma-
norma sosial didasarkan hanya dalam intersubjektivitas saling pemahaman maksud-
maksud dan diamankan oleh pengetahuan umum mengenai kewajiban-kewajiban.

Meskipun memiliki sejumlah dampak positif yang luas , industri (modern) mendapat
banyak tantangan. Fromm (1996: 6) berpendapat, industri menghasilkan masyarakat
teknologis yang ter-dehumanisasi. Capra (1997: 17) menunjukkan, kemajuan manusia
menimbulkan berbagai krisis dalam masyarakat sehingga terdapat transisi yang terelakkan
dan, untuk itu, dibutuhkan suatu paradigma baru. Menurut Featherstone (1988: 195),
kemajuan tanpa batas industri apa pun menganjurkan pergeseran dan keterputusan zaman dari
kemodernan dan melibatkan kemunculan totalitas sosial baru dengan berbagai prinsip
pengorganisasian yang bisa dibedakan sendiri, seperti yang terdapat pada karya-karya Jean
Baudrillard, Francois Lyotard. Baudrillaed dan Lyotard mengandaikan adanya suatu gerak
maju menuju masa post-industri.
Post-industri dapat dikatakan kata lain dari post-kapitalisme. Dalam hal ini, post-
kapitalisme adalah kapitalisme yang di dalamnya melekat humanisme. Menurut Murchland
(1992: 93-100), kapitalisme bukan saja suatu humanisme yang empiris melainkan juga

26

integral, yang didasarkan atas sepuluh asas, yakni (1) keterasingan, (2) kebebasan, (3)
rasionalitas, (4) naturalisme, (5) moralitas, (6) masyarakat, (7) tradisi, (8) agama, (9)
kreativitas, (10) subjektivitas. Dalam unkapan De Vos (1995: 116), yang harus dibangun
adalah compassionate capitalisme (kapitalisme dengan kepedulian sosial), bukan passionate
capitalism (kapitalisme hawa nafsu). Banyak sekali perdebatan mengenai sejauh mana
modernisme abad kesembilan belas yang harus dipakai (beberapa akhli cenderung kembali
pada golongan seniman pendahulu tahun 1830-an). Ciri-ciri dasar modernisme dapat
diringkas sebagai: suatu kesadaran diri dan refleksifitas estetis; penolakan struktur naratif
demi kepentingan simultanitas dan pemilihan gambar yang simultan (montage); suatu
penyelidikan tentang hakikat realitas yang bersifat paradoksikal, ambigu, dan terbuka tanpa
kepastian; dan penolakan terhadap gagasan tentang kepribadian yang terintegrasi demi
penekanan dan subjek yang mengalami de-strukturisasi dan de-humanisasi (Lunn, 1985: 34).
Salah satu permasalah yang dihadapi ketika mencoba untuk memahami
postmodernisme dalam bidang seni adalah, kebanyakan ciri-ciri ini sesuai dengan berbagai
definisi tentang postmodernisme. Permasalahan yang berkaitan dengan istilah itu,
sebagaimana permasalahan istilah-istilah yang terkait yang kita telah bahas, berkisar pada
masalah kapan sebuah istilah yang didefinisikan secara berlawanan dengan dan
menghidupkan sebuah istilah yang telah mapan mulai memberikan arti sesuatu yang secara
substansial berbeda (Featherstone, 2008: 16). Teori tindakan komunikatif dipergunakan dalam
penelitian ini untuk mengkaji permasalahan ketiga apa makna di bangunnya patung Satria
Gatotkaca di persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban.






27

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian.
Penenlitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan budaya, dengan
menggunakan obejek sebagai sampel yaitu Patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jl.
Ngurah Rai Tuban, Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Dengan dasar
pertimbangan :
1. Patung Satria Gatotkaca adalah dibuat dari sebuah konsep nilai agama Hindu yang
sarat dengan nilai estetika, filosofis Hinduisme serta memiliki bidang telaah dalam
tataran ideologi, bentuk, fungsi dan makna.
2. Patung Satria Gatotkaca adalah hasil karya seniman patung bertarap internasional, dan
hasil karya yang merupakan kolaborasi seni patung tradisional Bali dengan seni
patung modern.
3. Patung Satria Gatotkaca muncul di tengah-tengah masyarakat sekitarnya yang diterpa
arus budaya asing (modern), dan terkait dengan keberadaan Airport Nurah Rai Tuban.

3.2. Teknik Pengumpulan Data
3.2.1 Wawancara
Teknik wawancara atau teknik interview merupakan cara yang dipergunakan oleh
seseorang, dengan tujuan tertentu untuk mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan
dari informan. Wawancara dilakukan dengan cara bercakap-cakap dan berhadapan muka
dengan informan. Wawancara dalam suatu penelitian bertujuan untuk mengumpulkan
keterangan tentang kehidupan manusia serta pendiriannya dalam suatu masyarakat yang
sekaligus merupakan suatu pembantu utama teknik observasi (Koentjaraningrat, 1981: 126).
Di samping itu, wawancara adalah proses percapakan dengan maksud untuk

28

mengkonstruksi orang, kejadian, organisasi, motivasi, perasaan, dan sebagainya yang
dilakukan dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dengan
orang yang diwawancarai/interviewee (Burhan Bungin, 2006: 134). Dalam kaitannya dengan
patung Satria Gatotkaca, teknik ini digunakan untuk memperoleh data atau informasi yang
lengkap dari seniman I Wayan Winten mengenai karya seni patung betonya. Wawancara akan
dilakukan dengan informan kunci, yakni seniman patung beton I Wayan Winten.
3.2.2 Observasi
Pengumpulan data dengan observasi dilakukan melalui pengamatan langsung terhadap
objek yang diteliti. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat
berkenaan dengan keadaan yang sesungguhnya di lapangan. Bungin, ( 2001 :58 ) menjelaskan
metode observasi digunakan dalam mengamati yakni, apa yang mereka lakukan, benda-benda
apa saja yang mereka buat, yang digunakan dalam kehidupan berkesenian. Observasi
dilakukan untuk mendapatkan data tentang kreativitas seni yang dilakukan pematung I Wayan
Winten di studionya, terutama mengenai (1) bentuk patung, (2) Prosespembuatan patung, dan
(3) makna patung betonnya. Untuk hal-hal yang tidak bisa dicatat tentang objek penelitian,
akan dilakukan pemotretan dan perekaman secara audio visual dengan menggunakan
seperangkat alat pemotretan seperti kamera atau handycam, serta alat rekam seperti tape
recorder.

3.3. Instrumen penelitian
Instrumen penelitian adalah alat bantu yang dipakai mengumpulkan data sesuai dengan
jenis data yang akan diambil. Pada penelitian ini instrumen yang digunakan adalah :
a. Alat pencatat untuk pengumpulan data dengan cara observasi dan wawancara. Alat
pencatat untuk teknik wawancara dilengkapi dengan daftar pertanyaan yang terkait

29

dengan dengan variabel dan dilengkapi dengan alat pemotretan untuk merekam
subyek penelitian dalam bentuk foto.
b. Alat pencatat untuk teknik interviu bebas disertai pedoman garis besarnya saja
tentang hal-hal yang akan ditanyakan/diperbincangkan dengan responsden.

3.4. Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang dapat dijelaskan dari hasil penelitian ini, antara lain :
a. Sebagai sumber data yang dapat memberikan informasi tentang karya seni patung Satria
Gatotkaca di Persimpangan Jaln Ngurah Rai Tuban, Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta,
Kabupaten Badung.
b. Sebagai sumbangan pemikiran dalam bentuk tulisan keberbagai pihak yang kompeten,
terutama sebagai sarana pembelajaran bagi anak muda Bali yang akan melanjutkan budaya
pembuatan seni patung monumental sebagai penghias taman juga mengangkat nilai
filosofis budaya Bali dan patung yang menampilkan sosok pahlawan. Juga sumber belajar
bagi mahasiswa dan pelajar dalam pembuatan seni patung monumental tersebut. Karena
belum banyak tulisan yang menyajikan khususnya seni patung monumental di Bali.











30



BAB IV
PROSES DEKONSTRUKSI

4.1 Pembuatan Gambar Sketsa
Dalam pembuatan gambar sketsa berorientasi pada tema dan narasi yang disajikan,
sehingga mewakili karakter tokoh yang akan diwujudkan dalam bentuk patung kelompok.
Proses penggambaran tersebut telah mempertimbangkan bentuk dan wujud, gerak, proporsi,
komposisi, dan fungsi dengan skala 1: 50. Gambar sketsa dengan skal sangat diperlukan,
untuk menghindari kesalahan dalam penentuan proporsi, komposisi, dan penerapan elemen-
elemen decoratifnya, sehingga terwujud karya yang harmonis antara bagian-bagian secara
keseluruhan.
Figur-figur patung yang diwujudkan pada monumen Satria Gatotkaca; (1) Satria
Gatotkaca, tokoh utama dari pihak Pandawa sebagai simbol satria sejati, dalam membela dan
menegakkan kebenaran.,(2) Adipati Karna, tokoh utama kedua yang mewakili pihak Korawa,
sebagai simbol kesetiaan (satia wecana), setia akan janji walaupun dalam hatinya yang paling
dalam sebenarnya ada di pihak pandawa, (3) Prabu Salya, adalah tokoh yang sangat disegani
dipihak Korawa untuk mengendalikan jalanya taktik peperangan dipercaya sebagai
pengendali kereta, (4) Kereta perang yang dipergunakan Adipati Karna bernama kereta
Jaladra, (5) Enam ekor kuda yang diwujudkan adalah sebagai simbol sad ripu, disini
menggambarkan bahwa dari pihak korawa tidak mampu mengendalikan sad ripunya (hawa
naksu) selalu ingin menguasai, sehingga terjadilah perang antara Korawa dengan Pandawa,
(6) Senjata pamungkas Adipati Karna yang bernama Kunta Wijayandanu sebenarnya adalah
simbol kemenangan, karena siapapun yang menjadi sasaran senjata tersebut pasti gugur,
denga satu syarat hanya dapat dipergunakan sekali saja.

31



4.2 Pembuatan Maket
Dalam proses perwujudan karya patung dalam ukuran besar apalagi karya patung
beton bertulang, selain gambar sangat penting diperlukan maket (miniatur) untuk
memperlancar proses pekerjaan. Setelah gambar yang pasti ditetapkan, gambar tersebut
diaplikasikan kedalam patung kecil (maket/miniatur). Pembuatan maket melalui proses
tahapan; satu, membuat kerangka struktur konstruksi dengan besi dan kawat kasa, sesuai
dengan gambar yang telah ditentukan dalam gambar. Dua, kerangka besi di cor dan tempel
dengan adonan PC yang telah disiapkan, yang bersipat untuk memperkokoh kerangka struktur
tesebut, setelah tempelan yang pertama kering baru dapat dilanjutkan dengan pembentukan
bentuk-bentuk figur yang wujudkan secara global. Tiga, untuk pinising bentuk-bentuk figur
tersebut disempurnakan dengan adonan semen dicampur dengan mil dan air secukupnya
untuk mendapatkan kesn yang lebih lembut dan mempermudah memberikan aksen-aksen
anatomi yang diperlukan. Demikian pula dengan pemberian elemen-elemen dekoratip yang
bersifat ornamental sehingga maket menjadi lebih indah dan mendekati kesempurnaan. Empat
setelah maket dalam kondisi kering, maket dapat diberi warna sesuai dengan konsep gambar
yang telah ditentukan untuk dapa memberikan gambaran yang lebih oftimal dalam proses
perwujudan patung yang sebenarnya.

4.3 Proses Pembuatan Rangka Patung
Dalam proses pembuatan patung beton bertulang seperti Patung Satria Gatotkaca di
Persimpangan jalan Ngurah Rai Tuban, mempergunakan dua teknik perangkaan yaitu; satu
dengan perangkaan langsung dan kedua dengan perangkaan ganda. satu, dengan perangkaan
langsung maksudnya adalah, bentuk kerang dibuat langsung sesuai dengan bentuk figur yang
akan patungkan sesuai dengan proporsi dan komposisi gerak yang ditentukan, dengan

32

memperhitungkan teknik kerja dengan teknik tempel pengecoran pada bagian-bagian struktur
konstruksi yang ditentukan. Kedua, dengan perangkaan ganda maksudnya adalah struktur
kerangka utama adalah untuk struktur kerangka yang kedua, dengan demikian adalah
disamping untuk episiensi, juga untuk mempermudah pencarian bentuk kerangka yang
sebenarnya. Didalam mewujudkan kerangka patung tersebut bisa menggunakan kawat tali
(kawat beton) atau dapat pula menggunakan teknik las sebagai pengikat struktur kerangka.
Dalam proses perwujudan kerangka patung tersebut yang paling penting adalah tetap
memperhatikan proporsi dan komposisi gerak yang telah ditentukan dalam miniatur tersebut.
Hal tersebut untuk mengantisipasi dapat mempermudah proses pembentukan figur-figur,
pemberian elemen-elemen dekoratif yang ornamentasi sesuai dengan karakter ketokohannya.
Disamping hal tersebut diatas yang tidak kalah penting dalam perwujudan kerangka
adalah ketepatan penggunaan ukuran besar kecilnya besi sangat membantu mempermudah
pengerjaannya, disamping dukungan peralatan lengkap yang harus dipergunakan. Dalam
tahap akhir struktur kerangka dipasang kawat kasa, kalau bagian-bagian yang akan di cor
kawat kasanya dipasang di luar struktur, kalau bagian-bagian yang tidak di cor kawat kasanya
dipasang di bagian dalam struktur gunanya untuk mempermudah penempelan adonan
berikutnya. Kesemua proses perwujudan kerangka tersebut selalu mengacu pada miniatur
yang telah ditetapkan.

4.4 Proses Pengecoran Kerangka Patung
Pengecoran kerangka patung pada struktur yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu
pada bagian-bagian yang berperan sebagai penyangga beban, serta posisi untuk keseimbangan
patung yang dibuat (untuk kerangka langsung). Sedangkan untuk kerangka ganda, kerangka
struktur konstruksi utama di cor penuh, pengecoran dengan adonan beton (3 pasir + 2 koral +
1 semen dengan air seperlunya). Setelah pengecoran selesai hasil coran tersebut harus di

33

keringkan minimal satu minggu, supaya mendapatkan kekuatan struktur yang maksimal
supaya dalam proses pemebentukan struktur tidak patah.

4.5 Proses Pembentukan Figur
Setelah coran struktur utama kering, pertama yang dilakukan adalah penutupan
permukaan bidang secara menyeluruh, dengan adonan PC (1 semen + 3 Pasir dengan air
seperlunya). Setelah tempelan yang pertama secara menyeluruh setengan kering permukaan
tempelan tersebut dibuat kasar untuk mempermudah penempelan adonan berikutnya.
Kemudian dilakukan pencarian pembentukan secara global secara proposional, serta
dilanjutkan dengan penegasan anatomi secara global, sesuai dengan gerak patung, komposisi,
dan proporsi serta karakter ketokohan yang telah ditentukan dalam miniatur.

4.6 Pinising Bentuk dan Detail Hiasan
Penyelesaian bentuk yang sangat praktis dapat menggunakan adonan semen dengan
mil dengan air secukupnya dengan perbandingan satu berbanding tiga (1 semen + 3 mil)
untuk mendapatkan kekuatan bahan dari terpaan hujan dan teriknya sinar matahari. Dalam
proses pinising bentuk sangat diperlukan ketelitian dan kesabaran karena dalam proses
membentuk sangat dipengaruhi oleh sifat bahan. Demikian pula dalam penyelesaian
ornamenya atau detail hiasannya sangat diperluka ketelatenan dalam memproses tatahannya
karena ditentukan oleh sifat bahan, jangan sampai tatahannya menjadi terlalu kering sehingga
menyelesaikannya menjadi sulit. Dengan demikian perhitungan yang matang sangat perlu
untuk membuat tatahan untuk tujuan praktis dan ekonomis. Kemudian dalam
mempertahankan hasil karya patung dari gangguan cuaca karya patung tersebut dapat dilapisi
dengan menggunakan sika, atau merek pelapis lain.

4.7 Proses Pewarnaan

34

Proses pewarnaan pada patung Satria Gatotkaca di Persimpangan Jalan Ngurah Rai
Tuban, adalah teknik pewarnaan secara langsung karena menggunakan warna mil dan warna
semen putih sehingga dengan demikian warna secara langsung didapat dari adonan mil
dengan semen putih tersebut. Dengan demikian warna menjadi lebih awet karena menyatu
dengan adonan atau warna adonan pinising sekaligus menjadi warna patung itu sendiri.

4.8 Alat-alat kerja yang diperlukan
Dari pembuatan kerangka pasilitas alat-alat yang sangat diperlukan antara lain; tang,
gunting pemotong kawat kasa, palu besi, pliser, kemudian dalam proses pengecoran dan
pembentukan serta pinising peralatan yang diperlukan seperti; cetok berbagai ukuran, palet,
ceper untuk tempat adonannya, seperangkat pahat dengan pengotoknya (palu) untuk
memberikan hiasan onamentalnya.















35



BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Seperti apa yang telah diuraiakan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa, monumen
patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban adalah benda seni budaya
yang merupakan bagian dari obyek pariwisata budaya, yang sangat layak untuk dilestarikan
sesuai dengan kaidah-kaidah estetika, resepsi seni, dan fungsional strukturalnya sehingga
menimbulkan kesan monumental. Termasuk sebagai aikon pariwisata budayanya Bali karena
tempatnya pada pintu masuk kedatangan para wisatawan yang datang dari Airport Ngurah Rai
Tuban
Estetika Clive Bell dalam Gie (1976: 74) segala seni penglihatan dan musik sepanjang
masa mempunyai significant form (bentuk penting atau bentuk bermakna) sehingga seni
tersebut dihargai orang. Significant form adalah bentuk dari karya seni yang menimbulkan
tanggapan berupa perasaan estetis dalam diri seseorang. Jadi dengan demikian significant
form adalah mutlak pencapaian penikmatan estetis, dengan demikian patung satria
Gatotkaca adalah benar-benar significant form , dan sangat representatif.
Memenihi kaidah resepsi seni adalah sebagai penerimaan atau penyambutan
pemirsa, cara pemberian sesuatu yang bermakana terhadap karya seni, sehingga dapat
memberikan respon terhadapnya, dapat memberikan signifikan form, dapat memberikan
perubahan pandangan terhadap karya sebagai akibat perubahan horison harapan, paradigma,
dan sudut pandang. Kemudian pergeseran penilaian merupakan tolok ukur untuk mengetahui
seberapajauh masyarakat telah berubah. Dalam proses perubahan inilah dapat diketahui tokoh
dan kekuatan berdiri dibelakangnya, demikian halnya dengan patung Satria Gatotkaca yang

36

pada awalnya merupakan elemen eksterior, dan simbol lingkungan (Bandara Ngurah Rai),
juga penyambutan wisatawan yang datang ke Bali melalui Bandara Ngurah Rai.

Fungsional Struktural, seperti yang dikemukakan Parson (1988: 11) dapat dicermati
beberapa hal sebagai berikut; Satu, masyarakat harus dipandang sebagai suatu sistem dari
pada bagian yang saling berhubungan satu sama lain, kedua, karena itu hubungan saling
mempengaruhi diantara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik, tiga,
mestipiun integrasi sosial tidak pernah tercapai dengan sempurna, namun secara fundamental
bergerak kearah equilibrium yang bersifat dinamis, empat, walaupun disfungsi, ketegangan
dan penyimpangan senan tiasa terjadi, lama-kelamaan akan teratasi secara sendirinya melalui
penyelesaian dan proses institusionalisasi, lima, perubahan didalam sistem sosial pada
umumnya terjadi secara gradual, melalui penyelesaian yang tidak revolusioner.
Dengan demikian monumen patung Satria Gatotkaca adalah bukti nyata, bahwa
pariwisata budaya Bali dalam seni rupa khususnya seni patung, mampu memposisikan diri
dalam menghadapi tantangan pariwisata bersifat emansifatoris terhadap budaya luar tanpa
tercerabut dari budaya lokal. Disamping karena menyangkut manusia dan masyarakat,
manusia dengan berbagai aspeknya yang merupakan aspek studi sosiologi, analisis sosiologi
terhadap pariwisata sangat penting dilakukan dengan mengingat berbagai alasan berikut;
1. Pariwisata telah menjadi aktivitas sosial ekonomi dominan dewasa ini, bahkan
disebut-sebut sebagai industri terbesar sejak akhir abad 20 (WTO, 2000) yang juga
menyangkut pergerakan barang, jasa dan manusia dalam skala terbesar yang pernah
terjadi dalam sejarah manusia. Sejak beberapa dasawarsa terakhir, pariwisata memang
telah terbukti menjadi industri terbesar diberbagai belahan dunia.
2. Pariwisata bukanlah sesuatu kegiatan yang beroprasi diruang hampa. Pariwisata
sangat terkait dengan masalah sosial, politik, ekonomi, keamanan, dan seterusnya
termasuk berbagai institusi sosial yang mengaturnya.

37

3. Pariwisata bersifat sangat dinamis, sehingga setiap saat memerlukan analisis atau
kajian yang lebih tajam. Sebagai suatu aktifitas dinamis pariwisata memerlukan kajian
terus menerus, sehingga pembangunan pariwisata bisa memberikan manfaat bagi
kehidupan manusia khususnya masyarakat lokal.
4. Pariwisata tidaklah eklusif, dalam arti bahwa pariwisata bukan saja menyangkut suatu
bangsa tertentu saja, melainkan juga dilakukan oleh hampir semua ras, etnik, dan
bangsa, sehingga pemahaman aspek-aspek sosial budaya sangat penting.
5. Pariwisata selalu mempertemukan dua atau lebih kebudayaan yang berbeda, yang
mempunyai perbedaan norma, nilai, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya.
Pertemuan manusia atau masyarakat dengan latar belakang sosial budaya yang
berbeda akan menghasilkan berbagai proses akulturasi, dominasi, asimilasi, adopsi,
adaptasi dalam kaitan hubungan antar budaya, yang merupakan salah satu isu sentral
dalam sosiologi.

4.2 Saran
Keberadaan seni patung, khususnya seni patung beton di Bali sebagai warisan budaya
telah menunjukkan penungkatan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas produk yang
dihasilkan. Walaupun demikian, masih perlu banyak upaya-upaya yang harus dilakukan
dalam menjaga kelestarian dan eksistensinya demi keajegan pariwisata Bali. Dengan
demikian melalui penelitian ini diharapkan muncul peneliti-peneliti lain untuk melengkapi
dan memberikan pendalaman lebih lanjut, sehingga untuk dimasa yang akan datang dapat
memberikan sumbangan pemikiran dan manfaat bagi masyarakat umum, khususnya di jagat
nesi.




38



DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, Irwan, 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Anonim, 1986. Sejarah Bali, Pemerintah Daerah Tingkat satu Propinsi Bali.

Bahari, Nooryan, 2008. Kritik Seni, Wacana Apreasi dan Kreasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Barker, Chris, 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik, terjemahan, Cultural studies: Theory
and Practice, Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.

Djelantik, A.A.M. 2004. Estetika Sebuah Pengantar, Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia.

Driyakara, 1980. Driyakara Tentang Kebudayaan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Ensiklopedia Nasional Indonesia, 1989. Jakarta: PT. Cipta Adi Pusaka.

Gie, the Liang, 1999. Garis Besar Estetika, Ygyakarta : Super Sukses.

Hardiman, Budi F.,1993. Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu, Masyarakat, Politik &
Posmodernisme menurut Jurgen Habermas; Kanisius Yogyakarta.

Kempers, Bernert, 1977. Monumental Bali, Introoduction to Balinise archeology Guide to the
Monumen, Den Haag.

Koentjaraningrat, 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Umum.

Linus, I Ketut, 1985. Beberapa Patung Dalam Agama Hindu, Sebuah Pendekatan dari segi
Arkeologi.

Mariyah, Emiliana, 2007. Estetisasi dan Privatisasi Tempat Ibadah Kawasan Puja Mandala
Nusa Dua Bali, artikel dalam Jurnal Kajian Budaya, Denpasar: Universitas Udayana.

Morgan, M. 1996. Strategi Inovasi Sumber Daya Manusia, Jakarta: PT. Alex Media
Koputindo.

Mudana, I Gede, 2003. Dari Filsafat Ilmu ke Bentuk, Fungsi, dan Makna, dalam Buku
Pemahaman Budaya di Tengah Perubahan. Denpasar: Program S2 dan S3 Kajian
Budaya Universitas Udayana.




39

Singarimbun, Masri., dan Efendi, Sofian. 1989. Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3 ES.

Soekamto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Baru ke Empat, Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada.

Sudarta, G.M, Seni Lukis Bali Dalam Tiga Generasi, Jakarta: Gramedia.

Suradi, HP. 1983. Ida Bagus Nyana: Karya dan Pengabdiannya. Proyek Pengadaan Buku
Pada Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen P&K, Jakarta.

Sugiharto, B.I. 2006. Seni, Ilmu Pengetahuan Dan Peradaban: Dalam Sidang Terbuka Senat
Universitas Katolik Parahyangan Pengukuhan Guru Besar Ilmu Filsafat Bandung, 16
Desember 2006


Informan Wawancara, I Wayan Winten, sebagai seniman patung beton dan kayu, dari Br.
Yang Loni, Teges Ubud Gianyar.



























40










Lampiran Foto 1







Keterangan:
Patung Satria Gatotkaca dari sudut pandang belakang, tampak kegagahan Gatotkaca
sedang mempermainkan Adipati Karna, untuk memancing emosi supaya melepaskan
senjata Konta Wijayandanu, yang merupakan senjata pamungkas adipati Karna,
yang hanya bisa dipergunakan sekali saja.




41











Lampiran Foto 2




Keterangan:
Tampak dari samping kanan (arah timur), Gatotkaca sedang diatas kuda dengan
senjata ditangan, berhadapan dengan Adipati Karna diatas kereta sedang
membentangkan busur , dan menyiapkan anak panah untuk menyerang Gatotkaca.







42







Lampiran Foto 3





Keterangan:
Patung Satria Gatotkaca dari tampak samping kiri (dari arah barat), tampak gerak kuda
yang sangat dinamis karena terkejut dengan gebrakan Gatotkaca , siap tanding dengan
Adipati Karna.


43












Lampiran Foto 4









Keterangan:
Tampak dari arah depan (arah selatan), enam ekor kuda kelihatan gerak yang enerjik,
Gatotkaca diatas kuda berhadapan dengan Adipati Karna. Tampak pula kusir kereta
Adipati Karna sedang memacu kudanya dengan cemeti ditangan.


44











Lampiran Foto 5








45



Keterangan:
Presasti Patung Satria Gatotkaca (arah depan /selatan), yang diresmikan oleh Prof.
Dr.dr Ida Bagus Oka (selaku Gubernur Bali) pada tanggal 21 Oktober 1993

You might also like