You are on page 1of 5

Ada beberapa buku hasil terjemahan (dalam bahasa Inggris) yang dapat kita temuka

n untuk buku Zur Genealogie der Moral (1887; On the Genealogy of Morals), karan
gan Friedrich Nietzsche (1844-1900). Hasil-hasil terjemahan tersebut sekurangnya
adalah terjemahan oleh Francis Golffing (New York, 1956), oleh Walter Kaufmann
dan RJ Hollingdale (New York, 1967), oleh Carol Diethe (Cambridge, 1994), dan ol
eh Douglas Smith (Oxford, 1996). Buku Zur Genealogie der Moral terdiri dari satu
Pendahuluan dan tiga Esai, masing-masing Esai merupakan pertanyaan radikal Niet
zsche atas nilai-nilai moral, yang tujuan utamanya adalah untuk meneliti dasar k
onsep dan evolusi dari perkembangan nilai-nilai tersebut.
Resume ini sengaja menggunakan karya terjemahan dari Walter Kaufmann dan RJ Holl
ingdale (Vintage Books: New York, 1967), karena beberapa alasan: Pertama, karena
terjemahan ini oleh beberapa referensi antara lain: Britanica Encyclopedia 2007,
dan The Moral Philosophers: an Introductions to Ethics (Richard Norman, Oxford
University Press: Oxford, 1998) telah didaulat sebagai hasil terjemahan yang relat
if lebih metodis dan komprehensif sehingga setidaknya dapat diasumsikan sebagai
hasil terjemahan yang memiliki nilai-lebih , dalam arti memenuhi persyaratan untuk
dapat dipertanggung-jawabkan secara akademis . Kedua, karena sayang sekali saya tidak b
isa membaca edisi asli buku tersebut yang berbahasa Jerman, dan Ketiga karena sa
ya tidak dapat menemukan terjemahan dalam bahasa Indonesia, kalaupun ada, buku-b
uku terjemahan dalam bahasa Indonesia umumnya diterjemahkan dari bahasa Inggris
(terjemahan kedua) sehingga membuka kemungkinan yang relatif lebih besar bagi te
reduksinya beberapa elemen penting yang kita butuhkan untuk dapat memahami buku
tersebut dengan baik.
Sebagai langkah awal, saya ingin berbagi tentang beberapa hal yang menurut saya
ada baiknya untuk kita tekankan terlebih dahulu sebagai semacam persiapan yang mun
gkin dapat membantu kita dalam mencerna buku On the Genealogy of Morals, menging
at buku ini (seperti juga buku-buku karangan Nietzsche lainnya) dikenal sebagai
teks kontemporer yang cukup sulit dan kontroversial. Beberapa langkah yang dapat k
ita lakukan sebagai tindakan preliminer tersebut adalah: Pertama, tentu saja den
gan memperlakukan karangan ini sebagai bahan kajian filosofis secara obyektif da
n rasional. Kedua, tetap melakukan suatu studi komparatif yang setidaknya memada
i, baik melalui buku-buku karangan Nietzsche yang lain, maupun lewat komentar-ko
mentar dari para pemikir mengenai karangan Nietzsche tersebut. Ketiga, yang menu
rut saya juga tak kalah penting adalah berusaha sedapat mungkin untuk tetap memp
ertahankan obyektivitas kita sebagai pembaca, sebab Nietzsche adalah seorang pen
ulis yang dikenal gemar memamerkan dirinya sebagai pelopor, sebagai seorang pemi
kir yang melakukan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Gaya penulisan
Nietzsche sering terkesan berkobar-kobar dan terkadang bahkan provokatif. Kecender
ungan tersebut tentu saja berhubungan erat dengan keutuhan argumentasi yang hend
ak ia bangun. Namun, kita lebih baik untuk tidak terpengaruh oleh pencitraan dir
i semacam itu demi mempertahankan kejernihan nalar dalam usaha memahami apa yang
sebenarnya ingin disampaikan oleh Nietzsche.
Suatu hal yang agak jarang saya temukan pada resume-resume buku On the Genealogy
of Morals sebelumnya adalah ulasan mengenai bab Pendahuluan yang ditulis Nietzs
che sebagai semacam pengantar untuk masuk kepada masing-masing gagasan utama dal
am ketiga Esai pada karangannya itu, padahal, menurut hemat saya, bab Pendahulua
n ini justru menjadi bagian penting yang sangat membantu kita untuk memahami sub
stansi gagasan yang hendak disampaikan Nietzsche melalui bukunya tersebut, baik
dari masing-masing Esai maupun gagasan secara keseluruhan.
Dalam bab Pendahuluan, Nietzsche mencoba mendudukkan persoalan dengan menyampaik
an maksud dan tujuannya, yakni usaha untuk melacak asal-usul sejarah ide-ide mor
al manusia. Di sini, Nietzsche sebenarnya bukan sekedar merumuskan latar belakan
g, secara implisit ia juga telah mengilustrasikan tentang proses bagaimana ia bisa
sampai kepada pemikiran mengenai genealogi (silsilah) moral sebagai suatu cara
untuk menyoroti hakikat moralitas. Bagi Nietzsche, moralitas bukan merupakan pro
duk abadi dari alasan a priori (seperti halnya para Kantian), melainkan sebuah f

enomena sosial, yang selalu berubah seiring waktu dengan perkembangan sejarah ma
syarakat. Nietzsche justru melihat bahwa perspektifnya yang historikal itu dapat
mengungkap semua kontingensi[1] atas keyakinan moral manusia. Dalam Bagian 5 ba
b Pendahuluan, dengan merujuk kepada tulisan-tulisan sebelumnya yang telah memba
has pertanyaan-pertanyaan historis, ia mengatakan: Meski demikian kepedulian saya
yang lebih nyata adalah kepada sesuatu yang jauh lebih penting daripada sekedar
menjajakan-hipotesis, entah itu kepada diri saya sendiri atau orang lain, tent
ang asal-usul moralitas (atau lebih tepatnya: yang pada akhirnya akan saya kaitk
an semata-mata untuk tujuan kepentingan yang hanya merupakan salah satu di antar
a banyak cara). Apa yang dipertaruhkan adalah nilai moralitas. Pernyataan ini, ak
an nampak menjadi lebih fundamental daripada hanya sekedar pandangan historikal,
hal ini adalah apa yang dia sebut dalam tulisannya yang lain sebagai suatu penil
aian kembali nilai-nilai . Pada awalnya hal itu disajikan sebagai evaluasi dari se
rangkaian nilai tertentu, yang dia usung di bawah judul etika rasa iba (dicontohka
n dengan teori etika Schopenhauer). Apa yang terutama dikukuhkan adalah nilai uneg
oistic (tidak egois), naluri rasa iba, pengorbanan-diri, penyerahan diri (Pendahul
uan: Bagian 5). Richard Norman (dalam buku The Moral Philosophers: an Introducti
ons to Ethics: Oxford, 1998) melihat hal ini sebagai sebuah tujuan dari kontras
yang sangat berbeda antara the Ancients (yang kuno) dan modern gagasan bahwa moralit
as terutama telah dikaitan dengan kebutuhan altruisme, dan pertanyaan tentang me
ngapa tindakan altruistis harus dihargai. Namun demikian, Nietzsche melanjutkan
dengan menunjukkan bahwa keprihatinan yang lebih luas daripada ini bukan hanya e
valuasi atas moralitas rasa iba dan altruisme, tetapi evaluasi atas semua moralit
as. Ia mengatakan: Kita perlu, sebuah kritik terhadap nilai-nilai moral, nilai dar
i nilai-nilai itu sendiri pertama-tama harus dipertanyakan. (Pendahuluan: Bagian
6).

Esai pertama, Good and Evil, Good and Bad ( Baik dan Jahat,
Baik dan Buruk ) mengupas t
ang evolusi dari dua aspek atau kode moral yang berbeda. Yang pertama, ksatria-ar
istokrat/bangsawan atau moralitas tuan/mulia, (master/noble morality) yang berasal
dari penguasa dan penakluk pada masa-masa awal, yang menilai kekuatan, kekayaan,
dan keberhasilan mereka sendiri sebagai yang baik dan kemiskinan dan kemalangan d
ari orang-orang berkuasa yang lain sebagai yang buruk. Rekaan kedua Nietzsche, ada
lah kepanditaan atau moralitas budak (slave morality), terutama atas orang-orang Yah
udi. Moralitas ini berawal dengan kasta pandita, yang membenci kasta ksatria dan
mengutuk kekuatan penuh nafsu mereka (kasta ksatria) sebagai yang jahat, sement
ara menyebut posisi mereka sendiri yang miskin dan tertindas sebagai penyangkala
n-diri yang baik. Didorong oleh ressentiment (kosa kata bahasa Perancis yang nam
paknya memang sengaja dipilih oleh Nietzsche), atau rasa kebencian, moralitas bu
dak adalah jauh lebih dalam dan lebih halus daripada moralitas tuan. Ini adalah
semacam penobatan atas prestasi Kristiani, yang menyatakan bahwa kasih Kristiani
sebenarnya telah lahir dari kebencian. Saat moralitas budak ini berkembang lebi
h mendalam dan lebih luas daripada kepercayaan diri yang biasa dari para penguas
a, Nietzsche khawatir bahwa hal itu akan membuat kita semua akan merasa terbiasa
. Manusia modern, yang telah mewarisi jubah moralitas budak, lebih menyukai keam
anan dan kenyamanan daripada penaklukan dan risiko. Moralitas budak dari kasta p
andita memusatkan perhatian pada kejahatan orang lain dan hukuman di akhirat, ha
l seperti ini tentu akan mengganggu banyak orang dari hasratnya untuk menikmati
masa kini dan memperbaiki diri dalam pengertian moralitas ksatria aristokrat ata
u para penguasa dan penakluk di masa lalu.
Nietzsche mengilustrasikan kontras antara dua jenis moralitas tersebut dengan me
nggunakan perumpamaan antara burung pemangsa dan domba. Nietzsche membayangkan b
ahwa anak domba dapat menilai burung-burung pemangsa sebagai yang jahat karena men
gancam dan membunuh dan menganggap diri mereka sendiri sebagai yang baik karena ti
dak membunuh. Namun, penilaian seperti ini tidaklah berarti bahwa: karena domba
mampu menahan diri dari membunuh maka ia dapat keluar dari semacam perbuatan yan
g menyalahi moral, akan tetapi hanya karena mereka memang tidak mampu untuk mem
bunuh (titik). Demikian pula, kita hanya bisa mengutuk burung pemangsa untuk mem
bunuh jika kita berasumsi bahwa perilaku, burung pemangsa tersebut, adalah suatu s

ifat yang dapat dilepaskan dari perbuatan, pembunuhan. Nietzsche berpendapat bahwa
sesungguhnya tidak ada pelaku di balik perbuatan, ia juga mengambil sebagai con
toh kalimat, kilatan petir.
Tidak ada petir yang terpisah dari cahaya kilat. Asumsi kita bahwa ada pelaku ya
ng entah bagaimana berbeda dari perbuatannya sebenarnya hanyalah sebuah prasangk
a yang terinspirasi oleh subjek-predikat dalam bentuk tata bahasa. Moralitas bud
ak melepaskan subyek dari predikat, pelaku dari perbuatan, dan mengidentifikasi
subyek dengan jiwa, yang kemudian harus bertanggung jawab dalam pengadilan akhir (
akhirat). Sementara moralitas budak menjadi dominan di dunia modern, Nietzsche j
ustru mengharapkan bahwa suatu saat nanti moralitas tuan akan memiliki kebangkit
annya kembali.

Dalam esai kedua, Guilt, Bad Concience, and the Like ( Bersalah,
Rasa Bersalah, dan Se
amnya), Nietzsche mencoba menunjukkan bahwa pada awalnya konsep tentang bersalah
itu tidak memiliki nada moral. Dengan mengidentifikasi beberapa kesamaan dalam
kosa kata Jerman untuk bersalah (schuld/guilt) dan hutang (schulden/debts). Sese
orang yang berhutang adalah bersalah (schuld) dan kreditor bisa melakukan perbuata
n baik lewat hutang dengan cara memberi hukuman kepada terhutang/debitur. Hukuma
n di sini tidak dimaksudkan untuk membuat sang debitur merasa buruk, melainkan h
anya untuk mendatangkan kesenangan (rasa senang) kepada kreditor. Hukuman dengan
demikian adalah kejam tetapi sekaligus ceria/menyenangkan/memberikan perasaan p
uas: tidak ada perasaan keras sesudahnya. Sebuah masyarakat yang memiliki sistem
hukum mirip dengan kreditor: ketika seseorang melanggar hukum, maka mereka tela
h merugikan masyarakat dan pasti akan mendapat hukuman. Konsep keadilan dalam ef
eknya telah mengambil alih hukuman dari tangan individu untuk dapat diklaim send
iri secara langsung, dalam masyarakat, bukanlah individu-individu yang berwenang
, tetapi melalui jalur hukum, dan karena itulah maka ada aturan hukum, bukan huk
uman yang diberikan secara individual, untuk menentukan mengenai apakah sebuah h
ukuman itu tepat atau tidak. Hal ini tercermin pada berbagai hukuman dengan tuju
an berbeda yang telah dijalankan selama berabad-abad, Nietzsche mengamati bahwa
semua konsep-konsep memiliki sejarah yang panjang dan cair di mana konsep-konsep
tersebut telah memiliki banyak makna yang berbeda-beda. Makna konsep-konsep yan
g didikte oleh suatu kehendak untuk berkuasa (will to power), dimana konsep-kons
ep tersebut telah diberi makna atau digunakan oleh kehendak yang berbeda-beda se
suai keinginan mereka masing-masing.
Nietzsche mengidentifikasi asal-usul rasa bersalah (bad consience) sebagai hal y
ang muncul dalam masa transisi dari masyarakat pemburu-pengumpul menuju masyarak
at agraris. Insting hewani manusia akan menjadi tidak lagi menjadi berguna dalam
masyarakat koperasi, dan kita dipaksa untuk memendamnya ke dalam. Dengan berjua
ng melawan dirinya sendiri, maka manusia mengukir kehidupan batin, rasa bersalah
, sensibilitas tentang keindahan, dan rasa berhutang kepada nenek moyang mereka,
proses inilah yang diasumsikan Nietzsche sebagai asal-usul dari agama. Saat ini
, manusia mengarahkan rasa bersalahnya terutama terhadap naluri-naluri hewaninya
, tetapi Nietzsche justru bukan bermaksud mendorong kita untuk mengarahkan rasa
bersalah menjadi penyangkalan-kehidupan atau kekuatan yang menekan naluri kita.
Judul esai ketiga mengusung pertanyaan, What is the Meaning of Ascetic Ideals? (
Apakah Makna dari Asketis Ideal?) Mengapa orang- orang dari berbagai latar buday
a mengejar kehidupan seorang asketis penyangkalan-diri? Nietzsche menunjukkan ba
hwa asketisme sebenarnya meningkatkan perasaan berkuasa dengan memberikan seseor
ang sebuah kendali penuh atas dirinya sendiri. Dalam banyak kasus, kemudian, ask
etisme pada akhirnya adalah peneguhan-kehidupan daripada penyangkalan-hidup. Par
a Asketis Ideal mewujudkan diri secara berbeda di antara berbagai jenis orang. S
emacam filsuf asketisme yang mengarah untuk mengklaim bahwa dunia di sekitar mer
eka hanyalah ilusi. Ini adalah salah satu cara memandang sesuatu, dan Nietzsche
memuji cara memandang suatu masalah dari perspektif yang sebanyak mungkin. Tidak
ada satu cara yang paling tepat untuk melihat kebenaran, jadi yang terbaik adal
ah menjadi lebih fleksibel dalam menentukan sudut pandang kita.

Nietzsche memandang kelahiran asketisme sebagai semacam penyakit rohani. Mereka


yang menemukan perjuangan hidup terlalu keras berbalik melawan kehidupan dan men
ganggapnya tercela. Nietzsche melihat mayoritas umat manusia adalah sakit (secar
a rohani) dan pendeta/imam sebagai dokter yang sebenarnya juga sakit. Agama-agam
a mengarahkan sebagian penyakit rohani ini, bukan saja dengan jalan memadamkan k
ehendak melalui meditasi dan pekerjaan, tetapi juga melalui pesta pora atau peray
aan perasaan, hal ini terwujud di dalam kesadaran akan dosa dan rasa bersalah. Ki
ta mengutuk diri sebagai orang-orang berdosa dan secara masokistis menghukum dir
i kita sendiri. Sementara itu, Nietzsche juga memandang sains dan sekularisasi s
ebagai bukanlah alternatif dari cita-cita asketis agama. Mereka hanya mengganti
menyembah kepada Allah dengan penyembahan kepada kebenaran. Semangat yang sehat
bagi Nietzsche justru harus berani mempertanyakan nilai kebenaran. Nietzsche men
yimpulkan dengan mengamati bahwa sementara para asketis ideal mengarahkan kehend
ak-nya melawan kehidupan, tetapi sebenarnya mereka masih melakukan tempaan yang
kuat untuk kehendak: Manusia lebih suka menghendaki ketiadaan daripada tidak memi
liki kehendak sama sekali.
Tinjauan Kritis
Dalam esainya, Nietzsche, Genealogy, History, Michel Foucault mencatat beberapa pe
rbedaan penting dalam karya Nietzsche mengenai konsep genealogi dan asal-usul (o
rigin). Asal-usul merujuk kepada titik awal yang tetap dan, karenanya, esensi as
al dari sesuatu yang terkait dengannya. Misalnya, kisah Adam dan Hawa menempatka
n penciptaan asal-usul manusia di Taman Eden. Tentu saja, kita telah berubah sej
ak zaman Adam dan Hawa, tetapi beberapa fitur esensial tertentu, seperti dosa as
al, akan tetap terbawa bersama kita. Genealogi lebih cocok dengan paradigma evol
usi Darwin. lewat genealogi, tidak ada titik awal yang tetap tidak ada fitur ese
nsial, hanya secara bertahap bahkan sering berkembang acak dari satu kondisi kep
ada yang lain. Kita mungkin memahami tujuan utama Nietzsche dalam buku ini sebag
ai usaha untuk menggeser pemahaman kita tentang moralitas dari model asal kepada
model genealogi. Nietzsche berusaha untuk menunjukkan suatu model kepada kita.
Artinya, kita cenderung untuk memikirkan konsep-konsep moral seperti kebaikan da
n kejahatan sebagai sesuatu yang stabil, yang didasarkan pada beberapa konsep mo
ral yang akan selalu cair, sampai-sampai kata yang baik, misalnya, telah bertent
angan maknanya bagi orang yang berbeda. Konsep-konsep moral kita memiliki silsil
ah panjang dan tidak bermakna tetap. Dengan mencabut gagasan yang baik dan yang
jahat yang muncul entah bagaimana secara independen dari kehendak kita, Nietzsch
e justru hendak mendorong sensibilitas yang lebih besar yang berkaitan dengan ke
hidupan moral kita.
Nietzsche menjelaskan fluiditas konsep-konsep moral dengan mengacu kepada kehend
ak untuk berkuasa. Menurut Nietzsche, kehendak untuk berkuasa adalah dorongan me
ndasar di alam semesta. Setiap kehendak memiliki hasrat untuk kemerdekaan dan un
tuk mendominasi kehendak yang lain, meskipun kehendak bekuasa ini akan mengungka
pkan dirinya dalam berbagai cara. Sebagai contoh, pengacau di sekolah menguasai
kekuatan fisik atas yang lain, sementara kutu buku belajar keras untuk mencapai
semacam kekuasaan intelektual. Karena semua konsep-konsep adalah temuan manusia,
Nietzsche berpendapat, semua konsep itu pada akhirnya adalah ekspresi dari bebe
rapa kehendak atau yang lainnya. Sebagai contoh, konsep yang baik dapat berarti
kekayaan dan kekuatan atau dapat berarti kelembutan dan amal, tergantung pada si
apa yang menafsirkannya. Jika kita tampaknya telah memiliki konsep-konsep moral
yang relatif tetap di zaman ini, itu hanya hasil dari kemenangan moralitas budak
atas segala sudut pandang yang lain. Dengan mengasumsikan bahwa konsep-konsep i
ni memiliki makna yang tetap, kita menyerahkan kehendak kita kepada kehendak ora
ng-orang yang dibatasi oleh konsep-konsep ini. Orang-orang berkemauan keras, men
urut Nietzsche, akan menolak kategori-kategori pemikiran yang disisipkan pada me
reka dan memiliki kemandirian dan kreativitas untuk melihat dunia dari perspekti
f khas mereka sendiri.

Meskipun Nietzsche sering terlihat seolah-olah memuji moralitas bangsawan kuno d


an mengutuk budaya moralitas budak Yudeo-Kristen, tetapi dia tidak bermaksud menga
njurkan untuk hanya kembali begitu saja ke moralitas tuan yang lebih tua. Walaupun
efek luasnya telah merugikan, namun moralitas budak juga terbukti telah membawa s
ejumlah manfaat. Sementara penakluk kuno memiliki kemurahan hati yang lebih jela
s, namun mereka juga dangkal. Manusia telah berkembang menjadi lebih dalam dan l
icik dan hal inilah yang telah memungkinkan manusia untuk memperoleh karakterist
ik yang membedakan kita dari binatang, sebagai hasil dari budak yang berpaling k
e dalam. Mereka yang tidak bisa menyelesaikan proyek kehendak berkuasa mereka ak
an ke luar dan justru mendominasi orang di sekitar proyek mereka itu ke dalam da
n dan memperoleh kekuasaan yang lebih mengerikan atas diri mereka sendiri. Dominas
i moralitas Yahudi-Kristen di era modern merupakan bukti dari bagaimana kekuatan
batin budak jauh lebih kuat daripada kekuatan luar penakluk. Nietzsche menaruh
perhatian pada moralitas budak bukan karena hal itu telah membawa manusia untuk
berpaling ke dalam, tetapi justru karena kita berada dalam bahaya kehilangan per
juangan batin kita. Perjuangan batin yang menyakitkan dan sulit, dan Nietzsche m
elihat dalam asketisme agama, sains, dan filsafat suatu keinginan untuk menyerah
dari perjuangan atau untuk meminimalkan kesulitannya. Nietzsche menegaskan bahw
a kita tidak boleh melihat kemanusiaan sebagai tujuan akhir yang harus diselesai
kan untuk tetapi lebih sebagai sebuah jembatan untuk diseberangi antara hewan da
n apa yang ia katakan sebagai istilah manusia-unggul (bermensch). Kritik Nietzsch
e memang ditujukan terhadap kekuatan penyangkalan-hidup di dalam diri kita, namu
n kekuatan batin yang dibawa oleh moralitas budak kita sebenarnya justru juga bi
sa menjadi anugerah terbesar.
Nietzsche sering menyesalkan bahwa bahasa tidak mampu mengungkapkan apa yang dia
ingin ekspresikan, dan dia meletakkan kesalahan prinsipal itu kepada subjek-pre
dikat dalam tata bahasa. Karena semua kalimat membagi menjadi subjek dan predika
t, kita terbuai ke dalam pemikiran bahwa realitas, juga, menghasilkan bentuk ini
dan bahwa ada pelaku dan perbuatan. Dalam pandangan Nietzsche hanya ada amal-pe
rbuatan dan tidak ada pelaku, dan hal itu sama absurdnya dengan mengatakan bahwa
keberadaan seekor elang adalah berbeda dari tindakan membunuh atau mengatakan b
ahwa keberadaan petir adalah berbeda dari percikan cahayanya. Elang adalah tinda
kan pembunuhan sama seperti kilat adalah kilatan cahaya: kita adalah apa yang ki
ta lakukan. Kita dapat mengatakan Nietzsche adalah seorang metafisika itu sendir
i (bukan metafisikus) kata kerja bukan metafisika kata benda. Sementara kebanyak
an para metafisikus memahami alam semesta terdiri dari banyak hal (kateori-kateg
ori), Nietzsche justru bahwa memahami alam semesta itu sebenarnya terbentuk dari
kehendak. Kita cenderung untuk percaya bahwa ada subyek yang melakukan perbuata
n karena tata bahasa kita menuntut agar kita memberikan subyek untuk kata verba.
Faktanya, Nietzsche menyatakan, tidak ada Aku yang membuat keputusan dan bertinda
k atas mereka. Melainkan, bahwa Aku adalah forum di mana kehendak yang berbeda men
yatakan diri dalam bentuk keputusan dan tindakan. Kerumitan ini terkadang memang
membuat frustrasi, baik bagi Nietzsche dan para pembacanya, sangat sulit untuk
membungkus pikiran kita di sekitar gagasan bahwa tidak ada pelaku di balik perbu
atan karena setiap ekspresi yang tertulis dari gagasan ini bersandar pada strukt
ur tata bahasa yang memperkuat ide sebaliknya.
[1] Dari kata dasar: kontingen; Inggris: contingent. Dari kata kerja bahasa Lati
n contingere (meraba/menyentuh seluruh bagian, terjadi), dari con (dengan) dan t
angere (meraba). Dalam metafisika secara umum, kontingen adalah sesuatu yang bis
a saja terjadi, tetapi tidak pasti terjadi: bisa saja terjadi dan tidak tergantu
ng pada situasi. Sesuatu yang disebut kontingen mencakup semua hal yang tidak ni
scaya dan yang tidak mustahil. (Loren Bagus: 1996)

You might also like