Professional Documents
Culture Documents
n untuk buku Zur Genealogie der Moral (1887; On the Genealogy of Morals), karan
gan Friedrich Nietzsche (1844-1900). Hasil-hasil terjemahan tersebut sekurangnya
adalah terjemahan oleh Francis Golffing (New York, 1956), oleh Walter Kaufmann
dan RJ Hollingdale (New York, 1967), oleh Carol Diethe (Cambridge, 1994), dan ol
eh Douglas Smith (Oxford, 1996). Buku Zur Genealogie der Moral terdiri dari satu
Pendahuluan dan tiga Esai, masing-masing Esai merupakan pertanyaan radikal Niet
zsche atas nilai-nilai moral, yang tujuan utamanya adalah untuk meneliti dasar k
onsep dan evolusi dari perkembangan nilai-nilai tersebut.
Resume ini sengaja menggunakan karya terjemahan dari Walter Kaufmann dan RJ Holl
ingdale (Vintage Books: New York, 1967), karena beberapa alasan: Pertama, karena
terjemahan ini oleh beberapa referensi antara lain: Britanica Encyclopedia 2007,
dan The Moral Philosophers: an Introductions to Ethics (Richard Norman, Oxford
University Press: Oxford, 1998) telah didaulat sebagai hasil terjemahan yang relat
if lebih metodis dan komprehensif sehingga setidaknya dapat diasumsikan sebagai
hasil terjemahan yang memiliki nilai-lebih , dalam arti memenuhi persyaratan untuk
dapat dipertanggung-jawabkan secara akademis . Kedua, karena sayang sekali saya tidak b
isa membaca edisi asli buku tersebut yang berbahasa Jerman, dan Ketiga karena sa
ya tidak dapat menemukan terjemahan dalam bahasa Indonesia, kalaupun ada, buku-b
uku terjemahan dalam bahasa Indonesia umumnya diterjemahkan dari bahasa Inggris
(terjemahan kedua) sehingga membuka kemungkinan yang relatif lebih besar bagi te
reduksinya beberapa elemen penting yang kita butuhkan untuk dapat memahami buku
tersebut dengan baik.
Sebagai langkah awal, saya ingin berbagi tentang beberapa hal yang menurut saya
ada baiknya untuk kita tekankan terlebih dahulu sebagai semacam persiapan yang mun
gkin dapat membantu kita dalam mencerna buku On the Genealogy of Morals, menging
at buku ini (seperti juga buku-buku karangan Nietzsche lainnya) dikenal sebagai
teks kontemporer yang cukup sulit dan kontroversial. Beberapa langkah yang dapat k
ita lakukan sebagai tindakan preliminer tersebut adalah: Pertama, tentu saja den
gan memperlakukan karangan ini sebagai bahan kajian filosofis secara obyektif da
n rasional. Kedua, tetap melakukan suatu studi komparatif yang setidaknya memada
i, baik melalui buku-buku karangan Nietzsche yang lain, maupun lewat komentar-ko
mentar dari para pemikir mengenai karangan Nietzsche tersebut. Ketiga, yang menu
rut saya juga tak kalah penting adalah berusaha sedapat mungkin untuk tetap memp
ertahankan obyektivitas kita sebagai pembaca, sebab Nietzsche adalah seorang pen
ulis yang dikenal gemar memamerkan dirinya sebagai pelopor, sebagai seorang pemi
kir yang melakukan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Gaya penulisan
Nietzsche sering terkesan berkobar-kobar dan terkadang bahkan provokatif. Kecender
ungan tersebut tentu saja berhubungan erat dengan keutuhan argumentasi yang hend
ak ia bangun. Namun, kita lebih baik untuk tidak terpengaruh oleh pencitraan dir
i semacam itu demi mempertahankan kejernihan nalar dalam usaha memahami apa yang
sebenarnya ingin disampaikan oleh Nietzsche.
Suatu hal yang agak jarang saya temukan pada resume-resume buku On the Genealogy
of Morals sebelumnya adalah ulasan mengenai bab Pendahuluan yang ditulis Nietzs
che sebagai semacam pengantar untuk masuk kepada masing-masing gagasan utama dal
am ketiga Esai pada karangannya itu, padahal, menurut hemat saya, bab Pendahulua
n ini justru menjadi bagian penting yang sangat membantu kita untuk memahami sub
stansi gagasan yang hendak disampaikan Nietzsche melalui bukunya tersebut, baik
dari masing-masing Esai maupun gagasan secara keseluruhan.
Dalam bab Pendahuluan, Nietzsche mencoba mendudukkan persoalan dengan menyampaik
an maksud dan tujuannya, yakni usaha untuk melacak asal-usul sejarah ide-ide mor
al manusia. Di sini, Nietzsche sebenarnya bukan sekedar merumuskan latar belakan
g, secara implisit ia juga telah mengilustrasikan tentang proses bagaimana ia bisa
sampai kepada pemikiran mengenai genealogi (silsilah) moral sebagai suatu cara
untuk menyoroti hakikat moralitas. Bagi Nietzsche, moralitas bukan merupakan pro
duk abadi dari alasan a priori (seperti halnya para Kantian), melainkan sebuah f
enomena sosial, yang selalu berubah seiring waktu dengan perkembangan sejarah ma
syarakat. Nietzsche justru melihat bahwa perspektifnya yang historikal itu dapat
mengungkap semua kontingensi[1] atas keyakinan moral manusia. Dalam Bagian 5 ba
b Pendahuluan, dengan merujuk kepada tulisan-tulisan sebelumnya yang telah memba
has pertanyaan-pertanyaan historis, ia mengatakan: Meski demikian kepedulian saya
yang lebih nyata adalah kepada sesuatu yang jauh lebih penting daripada sekedar
menjajakan-hipotesis, entah itu kepada diri saya sendiri atau orang lain, tent
ang asal-usul moralitas (atau lebih tepatnya: yang pada akhirnya akan saya kaitk
an semata-mata untuk tujuan kepentingan yang hanya merupakan salah satu di antar
a banyak cara). Apa yang dipertaruhkan adalah nilai moralitas. Pernyataan ini, ak
an nampak menjadi lebih fundamental daripada hanya sekedar pandangan historikal,
hal ini adalah apa yang dia sebut dalam tulisannya yang lain sebagai suatu penil
aian kembali nilai-nilai . Pada awalnya hal itu disajikan sebagai evaluasi dari se
rangkaian nilai tertentu, yang dia usung di bawah judul etika rasa iba (dicontohka
n dengan teori etika Schopenhauer). Apa yang terutama dikukuhkan adalah nilai uneg
oistic (tidak egois), naluri rasa iba, pengorbanan-diri, penyerahan diri (Pendahul
uan: Bagian 5). Richard Norman (dalam buku The Moral Philosophers: an Introducti
ons to Ethics: Oxford, 1998) melihat hal ini sebagai sebuah tujuan dari kontras
yang sangat berbeda antara the Ancients (yang kuno) dan modern gagasan bahwa moralit
as terutama telah dikaitan dengan kebutuhan altruisme, dan pertanyaan tentang me
ngapa tindakan altruistis harus dihargai. Namun demikian, Nietzsche melanjutkan
dengan menunjukkan bahwa keprihatinan yang lebih luas daripada ini bukan hanya e
valuasi atas moralitas rasa iba dan altruisme, tetapi evaluasi atas semua moralit
as. Ia mengatakan: Kita perlu, sebuah kritik terhadap nilai-nilai moral, nilai dar
i nilai-nilai itu sendiri pertama-tama harus dipertanyakan. (Pendahuluan: Bagian
6).
Esai pertama, Good and Evil, Good and Bad ( Baik dan Jahat,
Baik dan Buruk ) mengupas t
ang evolusi dari dua aspek atau kode moral yang berbeda. Yang pertama, ksatria-ar
istokrat/bangsawan atau moralitas tuan/mulia, (master/noble morality) yang berasal
dari penguasa dan penakluk pada masa-masa awal, yang menilai kekuatan, kekayaan,
dan keberhasilan mereka sendiri sebagai yang baik dan kemiskinan dan kemalangan d
ari orang-orang berkuasa yang lain sebagai yang buruk. Rekaan kedua Nietzsche, ada
lah kepanditaan atau moralitas budak (slave morality), terutama atas orang-orang Yah
udi. Moralitas ini berawal dengan kasta pandita, yang membenci kasta ksatria dan
mengutuk kekuatan penuh nafsu mereka (kasta ksatria) sebagai yang jahat, sement
ara menyebut posisi mereka sendiri yang miskin dan tertindas sebagai penyangkala
n-diri yang baik. Didorong oleh ressentiment (kosa kata bahasa Perancis yang nam
paknya memang sengaja dipilih oleh Nietzsche), atau rasa kebencian, moralitas bu
dak adalah jauh lebih dalam dan lebih halus daripada moralitas tuan. Ini adalah
semacam penobatan atas prestasi Kristiani, yang menyatakan bahwa kasih Kristiani
sebenarnya telah lahir dari kebencian. Saat moralitas budak ini berkembang lebi
h mendalam dan lebih luas daripada kepercayaan diri yang biasa dari para penguas
a, Nietzsche khawatir bahwa hal itu akan membuat kita semua akan merasa terbiasa
. Manusia modern, yang telah mewarisi jubah moralitas budak, lebih menyukai keam
anan dan kenyamanan daripada penaklukan dan risiko. Moralitas budak dari kasta p
andita memusatkan perhatian pada kejahatan orang lain dan hukuman di akhirat, ha
l seperti ini tentu akan mengganggu banyak orang dari hasratnya untuk menikmati
masa kini dan memperbaiki diri dalam pengertian moralitas ksatria aristokrat ata
u para penguasa dan penakluk di masa lalu.
Nietzsche mengilustrasikan kontras antara dua jenis moralitas tersebut dengan me
nggunakan perumpamaan antara burung pemangsa dan domba. Nietzsche membayangkan b
ahwa anak domba dapat menilai burung-burung pemangsa sebagai yang jahat karena men
gancam dan membunuh dan menganggap diri mereka sendiri sebagai yang baik karena ti
dak membunuh. Namun, penilaian seperti ini tidaklah berarti bahwa: karena domba
mampu menahan diri dari membunuh maka ia dapat keluar dari semacam perbuatan yan
g menyalahi moral, akan tetapi hanya karena mereka memang tidak mampu untuk mem
bunuh (titik). Demikian pula, kita hanya bisa mengutuk burung pemangsa untuk mem
bunuh jika kita berasumsi bahwa perilaku, burung pemangsa tersebut, adalah suatu s
ifat yang dapat dilepaskan dari perbuatan, pembunuhan. Nietzsche berpendapat bahwa
sesungguhnya tidak ada pelaku di balik perbuatan, ia juga mengambil sebagai con
toh kalimat, kilatan petir.
Tidak ada petir yang terpisah dari cahaya kilat. Asumsi kita bahwa ada pelaku ya
ng entah bagaimana berbeda dari perbuatannya sebenarnya hanyalah sebuah prasangk
a yang terinspirasi oleh subjek-predikat dalam bentuk tata bahasa. Moralitas bud
ak melepaskan subyek dari predikat, pelaku dari perbuatan, dan mengidentifikasi
subyek dengan jiwa, yang kemudian harus bertanggung jawab dalam pengadilan akhir (
akhirat). Sementara moralitas budak menjadi dominan di dunia modern, Nietzsche j
ustru mengharapkan bahwa suatu saat nanti moralitas tuan akan memiliki kebangkit
annya kembali.
Dalam esai kedua, Guilt, Bad Concience, and the Like ( Bersalah,
Rasa Bersalah, dan Se
amnya), Nietzsche mencoba menunjukkan bahwa pada awalnya konsep tentang bersalah
itu tidak memiliki nada moral. Dengan mengidentifikasi beberapa kesamaan dalam
kosa kata Jerman untuk bersalah (schuld/guilt) dan hutang (schulden/debts). Sese
orang yang berhutang adalah bersalah (schuld) dan kreditor bisa melakukan perbuata
n baik lewat hutang dengan cara memberi hukuman kepada terhutang/debitur. Hukuma
n di sini tidak dimaksudkan untuk membuat sang debitur merasa buruk, melainkan h
anya untuk mendatangkan kesenangan (rasa senang) kepada kreditor. Hukuman dengan
demikian adalah kejam tetapi sekaligus ceria/menyenangkan/memberikan perasaan p
uas: tidak ada perasaan keras sesudahnya. Sebuah masyarakat yang memiliki sistem
hukum mirip dengan kreditor: ketika seseorang melanggar hukum, maka mereka tela
h merugikan masyarakat dan pasti akan mendapat hukuman. Konsep keadilan dalam ef
eknya telah mengambil alih hukuman dari tangan individu untuk dapat diklaim send
iri secara langsung, dalam masyarakat, bukanlah individu-individu yang berwenang
, tetapi melalui jalur hukum, dan karena itulah maka ada aturan hukum, bukan huk
uman yang diberikan secara individual, untuk menentukan mengenai apakah sebuah h
ukuman itu tepat atau tidak. Hal ini tercermin pada berbagai hukuman dengan tuju
an berbeda yang telah dijalankan selama berabad-abad, Nietzsche mengamati bahwa
semua konsep-konsep memiliki sejarah yang panjang dan cair di mana konsep-konsep
tersebut telah memiliki banyak makna yang berbeda-beda. Makna konsep-konsep yan
g didikte oleh suatu kehendak untuk berkuasa (will to power), dimana konsep-kons
ep tersebut telah diberi makna atau digunakan oleh kehendak yang berbeda-beda se
suai keinginan mereka masing-masing.
Nietzsche mengidentifikasi asal-usul rasa bersalah (bad consience) sebagai hal y
ang muncul dalam masa transisi dari masyarakat pemburu-pengumpul menuju masyarak
at agraris. Insting hewani manusia akan menjadi tidak lagi menjadi berguna dalam
masyarakat koperasi, dan kita dipaksa untuk memendamnya ke dalam. Dengan berjua
ng melawan dirinya sendiri, maka manusia mengukir kehidupan batin, rasa bersalah
, sensibilitas tentang keindahan, dan rasa berhutang kepada nenek moyang mereka,
proses inilah yang diasumsikan Nietzsche sebagai asal-usul dari agama. Saat ini
, manusia mengarahkan rasa bersalahnya terutama terhadap naluri-naluri hewaninya
, tetapi Nietzsche justru bukan bermaksud mendorong kita untuk mengarahkan rasa
bersalah menjadi penyangkalan-kehidupan atau kekuatan yang menekan naluri kita.
Judul esai ketiga mengusung pertanyaan, What is the Meaning of Ascetic Ideals? (
Apakah Makna dari Asketis Ideal?) Mengapa orang- orang dari berbagai latar buday
a mengejar kehidupan seorang asketis penyangkalan-diri? Nietzsche menunjukkan ba
hwa asketisme sebenarnya meningkatkan perasaan berkuasa dengan memberikan seseor
ang sebuah kendali penuh atas dirinya sendiri. Dalam banyak kasus, kemudian, ask
etisme pada akhirnya adalah peneguhan-kehidupan daripada penyangkalan-hidup. Par
a Asketis Ideal mewujudkan diri secara berbeda di antara berbagai jenis orang. S
emacam filsuf asketisme yang mengarah untuk mengklaim bahwa dunia di sekitar mer
eka hanyalah ilusi. Ini adalah salah satu cara memandang sesuatu, dan Nietzsche
memuji cara memandang suatu masalah dari perspektif yang sebanyak mungkin. Tidak
ada satu cara yang paling tepat untuk melihat kebenaran, jadi yang terbaik adal
ah menjadi lebih fleksibel dalam menentukan sudut pandang kita.