You are on page 1of 8

ANALISIS KELISTRIKAN ATMOSFER

(STUDI KASUS : HILANGNYA PESAWAT AIRASIA QZ8501)

Oleh :
Dr. Deni Septiadi, M.Si
STMKG (Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), Jakarta.
email : zeptiadi@yahoo.co.id

Semua orang di republik ini bahkan dunia menangis dan tersentak di penghujung tahun 2014,
pesawat AirAsia QZ8501 dengan tipe Airbus A320-200 membawa 155 penumpang dan 7
awak telah hilang kontak pada minggu pagi tanggal 28 Desember 2014 di sekitar wilayah
Selat Karimata. Pesawat awalnya lepas landas pukul 05.35 dari Bandara Juanda dan
seharusnya mendarat di Singapura pukul 07.30 WIB atau menempuh perjalanan sekitar 2
jam.
Pada awalnya semua berjalan dengan baik, pada level ketinggian 22 ribu kaki pesawat yang
awalnya dipandu oleh petugas Air Traffic Control (ATC) Bandara Sultan Hasanuddin,
Makassar kemudian dialihkan ke ATC Jakarta. Kemudian pesawat menanjak di ketinggian 32
ribu kaki dan masuk rute penerbangan internasional yang dikenal dengan M-635.
Pilot mengontak ATC pukul 06.11 WIB dan mengatakan berada pada level 32 ribu kaki,
kemudian meminta izin untuk berbelok ke kiri sejauh 7 Nautical miles dari rute awal dengan
alasan cuaca buruk. Setelah diizinkan, pilot kemudian meminta naik ke ketinggian 38 ribu
kaki, kali ini tidak ada alasan yang disampaikan pilot. Pada pukul 06.14 WIB, ATC merespon
permintaan pilot dengan mengatakan agar AirAsia tetap diketinggian 32 ribu kaki, karena ada
pesawat Garuda Indonesia 500 Jakarta-Pontianak yang terbang memotong pada ketinggian 35
ribu kaki. Pukul 06.16 WIB ATC menghubungi pilot kembali dan mengizinkan naik ke
ketinggian 34 ribu kaki, namun tidak ada jawaban. Kemudian pada pukul 06.17 WIB pesawat
AirAsia QZ8501 tidak terlihat diradar dan terekam posisi terakhir pada koordinat 032246
LS dan 1085007 BT dengan kecepatan 469 knot atau sekitar 869 km/jam.
Ditengah upaya keras BASARNAS dan Tim gabungan yang terdiri dari TNI dan negara
sahabat dalam mengevakuasi korban kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501 SurabayaSingapura, terlintas pertanyaan besar tentang apa yang telah terjadi dengan burung besi
tersebut. Meskipun tentu saja hasil akhir investigasi AirAsia QZ8501 kita serahkan
sepenuhnya pada lembaga berwenang dalam hal ini KNKT.
Sebagian besar berpendapat bahwa cuaca buruk menjadi sebab utama jatuhnya pesawat
AirAsia QZ8501, diantaranya turbulensi dan icing. Namun demikian, tidak lama setelah
kabar hilangnya AirAsia QZ8501, jaringan pemantau cuaca Weather Bug mengatakan petir
menyambar di dekat jalur penerbangan AirAsia QZ8501. Sambaran petir terjadi antara pukul
06.00 dan 06.20 WIB, Minggu (28/12). "Data petir kami mencatat terjadi sambaran petir
dekat jalur penerbangan @AirAsia #QZ8501 antara 23.09 dan 23.20 UTC," tulis Weather
Bug dalam Twitternya @WeatherBug, dikutip dari New Straits Times.
Disampaikan pada Seminar Nasional Untuk Meteorologi Penerbangan (15 Januari 2015)

Gambar 1. Jalur penerbangan AirAsia QZ8501 Surabaya-Singapura.

Gambar 2. Petir disekitar jalur AirAsia QZ8501 Surabaya-Singapura (Weather Bug)


Tentu saja temuan in perlu diklarifikasi dengan data petir yang dimiliki oleh BMKG disekitar
lokasi jatuhnya AirAsia QZ8501.
Sebelumnya berdasarkan hasil citra satelit Multi-functional Transport Satellite (MTSAT)
kanal IR1 yang memiliki panjang gelombang 10,5-11,5 m dengan resolusi 0,05 derajat
(sekitar 5 km lebih) sebagaimana Gambar 3. terindikasi banyak awan konvektif dalam hal ini
awan Cumulonimbus (Cb) disekitar lokasi pesawat AirAsia QZ8501.
Awan-awan Cumulonimbus (Cb) di Indonesia umumnya terbentuk akibat konveksi secara
termal dengan dimensi horizontal awan sel tunggal berkisar antara 2 sampai 8 km. Jika
melihat hasil citra satelit dengan temperatur puncak awan antara -72 sampai dengan -74C,
maka dapat dipastikan bahwa awan tersebut jenis Cumulonimbus (Cb) dengan tiga lapisan.
Lapisan pertama terdiri dari tetes air hasil kondensasi tepat di bawah isoterm 0C; Lapisan
kedua terdiri dari tetes kelewat dingin dan kristal es hasil tetes air yang diekspansi ke atas;
terakhir lapisan ketiga terdiri dari partikel padat yaitu kristal es dan hail. Di ekuator
Disampaikan pada Seminar Nasional Untuk Meteorologi Penerbangan (15 Januari 2015)

ketinggian awan Cumulonimbus (Cb) yang bengis dapat mencapai 12-16 km bahkan lebih
jika melihat rata-rata ketinggian tropopause yang dapat mencapai 18 km.

Gambar 3. Hasil citra satelit kanal IR 1 dengan lokasi kontak terahir AirAsia QZ8501
ditandai dengan x.

Gambar 4. Mikrostruktur awan Cumulonimbus (Cb) sel tunggal.


Tiga sensor yang digunakan adalah sensor petir di Tangerang, Tanjung Pandan dan
Palangkaraya, di mana area target adalah radius 1,0 dari lokasi kontak terakhir (Gambar 1).
Hal ini dilakukan untuk mengurangi bias dan kesalahan posisi petir. Menggunakan radius
tangkapan 1,0 dari area target (kontak terakhir) terlihat cukup banyak aktivitas petir dalam
Disampaikan pada Seminar Nasional Untuk Meteorologi Penerbangan (15 Januari 2015)

hal ini CG+ maupun CG- sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 5. Kemudian analisis
dilakukan pada pukul 04.00, 05.00, 06.00, dan 07.00 WIB (Gambar 6). Antara pukul 06.0007.00 WIB terlihat aktivitas petir baik positif maupun negatif (CG+ dan CG-). Lebih rinci
ketika analisis dilakukan saat terjadi hilang kontak pesawat AirAsia QZ8501 yaitu antara
pukul 06.00-06.15 WIB ada total 12 petir yang terjadi (Tabel 1).

Gambar 5. Grafik aktivitas petir tanggal 28 Desember 2014 pada radius 1,0 dari area target.

Gambar 6. Grafik aktivitas petir pada jam 04.00-08.00 pada radius 1,0 dari area target.

Tabel 1. Aktivitas petir saat hilang kontak pada radius 1,0 dari area target.
Jam
06.00-06.15
06.15-06.30

Jenis petir
CG+
CG4
8
2
5

Total
12
7

Disampaikan pada Seminar Nasional Untuk Meteorologi Penerbangan (15 Januari 2015)

Distribusi petir secara spasial sebagaimana dalam Gambar 7. memperlihatkan sebaran petir
antara pukul 04.00-07.00 WIB dan posisi pesawat AirAsia QZ8501. Posisi petir CG+
maupun CG- terdekat (< radius 0,5) adalah petir sesaat kontak ATC dan pesawat hilang.

Gambar 7. Disribusi sebaran petir CG+ (tanda+) dan petir CG- (tanda -) tanggal 28
Desember 2014 pukul 05.00-07.00 WIB menggunakan radius tangkapan 1,0 dari
lokasi target.
Awan-awan Cumulonimbus (Cb) merupakan representasi awan dewasa (mature) dengan
aliran udara ke atas (updraft) maupun aliran udara ke bawah (downdraft) cenderung
seimbang dan sangat kuat. Dengan temperatur puncak awan antara -72 sampai dengan -74C,
(Gambar 3) proses tumbukan (kolisi) dan tangkapan (koalisesnsi) menjadi sangat aktif.
Interaksi antara pertikel di dalam awan yaitu tetes kelewat dingin, kristal es dan hail
mengakibatkan terjadinya pemisahan muatan baik positif maupun negatif. Bagian atas awan
(top cloud) akan diisi oleh muatan positif sementara bagian tengah awan yaitu lapisan kedua
akan diisi oleh muatan negatif. Beda potensial yang besar antara muatan akan menghasilkan
kilatan-kilatan listrik.
Petir CG- terjadi akibat induksi medan listrik positif di permukaan bumi dengan bagian
tengah/pusat awan (convective core) yang bermuatan negatif. Sementara itu, petir CG+
terjadi akibat induksi medan listrik negatif di permukaan dengan bagian atas awan yang
terkonsentrasi listrik positif sebagaimana dalam Gambar 8.
Jika melihat ketinggian pesawat saat terakhir hilang kontak yaitu pada 32 ribu kaki (~10 km),
maka dapat dipastikan pesawat behadapan dengan lapisan ketiga Cumulonimbus (Cb) yang
dipenuhi muatan listrik positif. Gesekan antara pesawat dan udara dapat menginduksi muatan
yang sudah tersedia, terutama petir CG+ yang berada pada level ke tiga awan (Gambar 9).

Disampaikan pada Seminar Nasional Untuk Meteorologi Penerbangan (15 Januari 2015)

Gambar 8. Elektrifikasi awan secara umum b); Cloud-to-Ground negatif c); Inter-Cloud d)
Cloud-to-Ground positif sebagaimana teori pemisahan muatan dalam Rakov
dan Uman (2003).
Suhu pada jalur di mana petir terbentuk dapat mencapai 10.000 C bahkan lebih, bandingkan
suhu di dalam tanur untuk meleburkan besi adalah antara 1.050 dan 1.100 C. Panas yang
dihasilkan oleh sambaran petir terkecil dapat mencapai 10 kali lipatnya. Panas yang luar biasa
ini menunjukkan bahwa petir dapat dengan mudah membakar dan menghancurkan seluruh
unsur yang ada di muka bumi termasuk pesawat. Cahaya yang dikeluarkan oleh petir lebih
terang daripada cahaya 10 juta bola lampu pijar berdaya 100 watt.

Gambar 9. Ilustrasi ketinggian pesawat QZ8501 saat kontak terakhir dengan ATC.
Lantas jika memang ada indikasi pesawat disambar petir mengapa tidak hancur atau bahkan
leleh dengan suhu yang sedemikian tinggi? Teknologi pesawat modern sudah cukup canggih,
industri pesawat melindungi tubuh dan bagian dalam pesawat dengan penangkal petir yang
disebut Static Discharge. Pesawat tidak akan hancur meski terkena sambaran langsung,
apalagi tubuh pesawat umumnya terdiri dari material komposit yang didesain untuk tidak
menjadi konduktor. Namun demikian, beberapa kemungkinan dapat mengarah pada situasi
Static Discharge tidak sepenuhnya bekerja dan menghalangi petir untuk merusak komunikasi
Disampaikan pada Seminar Nasional Untuk Meteorologi Penerbangan (15 Januari 2015)

serta sistem elektronik pesawat. Indikasi ini digambarkan ketika pesawat hilang kontak tanpa
ada pemberitahuan akan situasi terkahir oleh pilot ke ATC. Bahkan, bisa jadi karena sistem
pesawat tidak bekerja, pilot menerbangkan tanpa arah hanya mengandalkan naluri,
sebagaimana saksi yang melihat pesawat terbang rendah sebelum jatuh ke laut.

Gambar 10. Lokasi terakhir pesawat Air Asia QZ8501 yang direkam situs Flightradar24.
Indikasi lain bahwa petir menjadi penyebab semua ini adalah bukan hanya pesawat AirAsia
QZ8501 saja yang berada pada wilayah konvektif penuh awan-awan Cumulonimbus (Cb).
Ada enam pesawat sebagaimana Gambar 10. yang kesemuanya tidak melaporkan adanya
turbulensi atau situasi pelik yang terjadi. Artinya, situasi ternjadi secara acak padahal berada
pada lokasi yang berdekatan, bukankah itu sifat dari petir ?
Pada kasus pesawat yang disambar petir, jarang pilot atau penumpang yang ada didalamnya
menyadari hal tersebut. Yang harus dilakukan pilot apabila menyadari bahwa pesawat
tersambar petir adalah secepatnya mendaratkan pesawat di bandara terdekat atau bahkan
mendarat darurat mengingat suhu yang sangat panas bahkan dapat menyebabkan beberapa
bagian pesawat yang terkena sambaran hangus atau terbakar. Contoh yang paling nyata
adalah saat pesawat Lion Air nomor penerbangan JT 140 rute Medan-Pekanbaru
ditangguhkan keberangkatannya selama 4 jam, sebabnya adalah salah satu sayapnya di
sambar petir saat akan mendarat di Kualanamu International Airport (KNIA).
Apapun hasil investigasi KNKT nanti, petir merupakan fenomena kelistrikan atmosfer yang
harus diwaspadai demi keselamatan penerbangan. Sambaran langsung ataupun tidak langsung
terhadap pesawat dapat mengakibatkan kerusakan sistem kelistrikan pesawat. Dalam kasus
hilangnya AirAsia QZ8501, pada radius <0,5 memperlihatkan adanya aktivitas CG+ yang
terjadi pada lapisan atas awan dengan permukaan.

Disampaikan pada Seminar Nasional Untuk Meteorologi Penerbangan (15 Januari 2015)

Referensi :
Cramer, J.A. dan Cummins, K. L. (1999) : Longrange and trans-oceanic lightning detection.
Proceedings, 11th International Conference on Atmospheric Electricity,
Guntersville, Ala., U.S., NASA Conference Publ. 250-253.
MacGorman, D. R. dan Burgess, D. W. (1994) : Positive cloud-to-ground lightning in
tornadic storms and hailstorms. Mon. Weather Rev., 122, 16711697.
Rakov, V. A. dan Uman, M. A. (2003) : Lightning : Physics and Effects, Cambridge Univ.
Press, New York, 850.
Septiadi, D., Safwan, H. (2011) : Karakteristik Petir Terkait Curah Hujan Lebat Di Wilayah
Bandung, Jawa Barat, Jurnal Meteorologi dan Geofisika, ISSN 1411-3082, Vol. 12
No.2, 163-170.
Septiadi, D., Safwan, H. dan Bayong, T.H.K. (2011) : Karakteristik Petir Dari Awan ke
Bumi dan Hubungannya dengan Curah Hujan, Jurnal Sains Dirgantara, ISSN 1412808X, Vol. 8 No.2.
Septiadi, D., Safwan, H. dan Bayong, T.H.K. (2010) : The Simulation of Weather Early
Warning System Using Lightning Data in Anticipating of Extreme Weather Event in
Bandung, International Proceedings ISBN : 979-978-3456-68-5 at 5th Kentingan
Physics and Its Applications, Environmentally Friendly Technology and Disaster,
235-238.
Uman, M. A. (1987) : The Lightning Discharge. International Geophysics Series, 39,
Academic Press, 377.

Disampaikan pada Seminar Nasional Untuk Meteorologi Penerbangan (15 Januari 2015)

You might also like