You are on page 1of 27

DNA Arsitektur Nias pada

Lorong Gravitasi
Nusantara Kontemporer
Galih Widjil Pangarsa
Jurusan Arsitektur Universitas Brawijaya
arsiteknusantara.blogspot.com

Galih Widjil Pangarsa


Jurusan Arsitektur
Universitas Brawijaya
arsiteknusantara.blogspot.com
2011

DNA Arsitektur Nias pada

Lorong Gravitasi
Nusantara Kontemporer
(http://www.youtube.com/watch?v=5_esQt-JK2U)

Galih Widjil Pangarsa, Januari 2011


Gambar sampul luar dan dalam: Rumah Ary
Indra dan rumah adat Nias
Desain grafis: Galih Widjil Pangarsa
ISBN [e-book] dalam proses
E-book engine pada
arsiteknusantara.blogspot.com powered by You
Publish
1. Teori arsitektur 2. Arsitektur Jawa
3. Arsitektur Nusantara
4. Ruang di dalam Arsitektur

Foto-foto ilustrasi yang tidak dicantumkan

sumbernya berasal dari sumber bebas (open


source), atau sedang dalam proses pengizinan dari
yang pihak-pihak yang mengklaim memiliki hak
atasnya (yang terkadang, tak lagi memakai/
merawat website mereka). Jika mereka tidak
berhasil dikontak, kami mohon dengan hormat
untuk memahami bahwa para fotografer yang

karyanya terpakai di dalam buku ini pun


memfoto objek-objek arsitektur tanpa
memberikan imbalan apapun kepada pihak-pihak (umumnya rakyat kecil) yang berkaitan
dengan objek foto mereka.

Kami berterimakasih kepada mereka, semoga


amalnya bagi penerbitan e-book untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia ini,
mendapat ganjaran yang lebih baik dan
melimpah dari Allah, Tuhan Yang Maha
Pemurah.

Kematian dan DNA


Arsitektur Tradisional
ampaknya masih banyak yang belum
sepenuhnya menyadari, bahwa kajian
Arsitektur Nusantara bukanlah untuk
mengembalikan masa lalu. Yang mempelajari
sejarah pun, tak jarang terjebak pada
paradigma lama: belajar sejarah adalah untuk
memeti-eskan tipologi tertentu (demi
kepentingan
kolonial yang kadang-kadang dibungkus istilah post-kolonial);
slogan yang dipakai adalah pelestarian, tangible-intangible
heritage, dan seterusnya. Kajian Arsitektur Nusantara dan
induknya, yaitu kajian Sejarah Arsitektur Indonesia, adalah
justru untuk membangun bersama sebuah bidang pijak dalam
rangka mempersiapkan masa depan arsitektur yang lebih baik di
negeri ini. Persis seperti batu pijak pada upacara lompat batu
dari Nias fahombo yang terkenal itu.
Persoalannya, dapatkah kita mengambil hikmah pelajaran dari
masa lalu? Hikmah pelajaran yang perlu dipetik dan dirumuskan
itu sebetulnya adalah inti dasar karakter arsitektural yang unik,

yang hanya dijumpai di suatu tempat. Bila boleh diibaratkan


sebagai kode genetika atau DNA, maka inti dasar karakter
arsitektural itulah yang sebenarnya diperlukan untuk
menumbuh-kembangkan, atau mempertahankan eksistensi
suatu arsitektur Nias, misalnya. Inti dasar itu didapatkan dari
kedalaman yang berbeda-beda, karena arsitektur dapat dilihat
berlapis-lapis. Ada lapis artifact, yaitu dimensi fisiknya saja. Ada
konsep-konsep dasar dan terapan keilmuan yang disepakati
secara sosial (socifact) di bawahnya. Ada pula dimensi filosofi
yang memuat nilai-nilai pembentuk mentalitas (mentifact), yang
terdapati jauh lebih dalam lagi. Pada inti dasar pembentuk
karakter arsitektur pada ketiga dimensi itulah DNA Arsitektur
mesti dipilah dan disusun dengan bijak.
Kematian karakter arsitektur justru berawal dari ketidaktepatan pandangan tentang tradisi. Sering tradisi dimaknai
sebagai sesuatu yang statis. Bahkan, tradisi diagung-agungkan
sebagai kitab suci, yang tak boleh sesenti pun berubah rupa
dan tak bisa sejengkal pun diijinkan untuk bergeser konsep.
Yang baik dan layak dari masa lalau sudah semestinya ditumbuh-kembangkan; yang buruk dan tak layak lagi bagi keluhuran budi manusia, sudah sepantasnya diperbaiki (bukan dibu-ang
begitu saja). Prof. Josef Prijotomo dengan lugas menyata-kan
bahwa Arsitektur Tradisional telah mati. Gantinya, kita
mempunyai Arsitektur Nusantara. Saya mufakat.

Meski arsitektur dari masa


lalu Nusantara sedang sakratul
maut, kita sebetulnya masih
punya kesempatan untuk
menelisik dan merumuskan
DNA Arsitektur tiap
lokalitas. Bahkan jika kelak,
Nusantara-Masa-Lalu telah
benar-benar wafat, kita tetap
bisa membangun
arsitekturnya untuk masa
depan, asalkan DNA-nya
telah terdokumentasikan.
Masa depan yang lebih baik
mesti kita persiapkan bersama
(Pangarsa, 2008a).

Daya Hidup Peradaban


Arsitektur
Berbagai macam filosofi dan paradigma
keilmuan arsitektur boleh dan sah saja untuk
dibangun oleh siapa pun. Termasuk untuk
mempertanyakan: dalam proses perjalanan
sebuah peradaban, apa sih yang sebetulnya
mesti dipertahankan dan apa yang boleh dan
bahkan harus diubah? Sudah barang tentu
yang mengandung nilai-nilai peluhuran
manusia-lah yang mesti dipertahan-lestarikan;
manusia yang luhur pasti bukan yang merusak
alam. Proses kehidupan manusia, secara
mendasar, adalah kesinambung-lanjutan
upaya perbaikan. Sinambung menyangkut
aspek spasial, lanjut berkaitan dengan segi
temporal.
Seperti pada manusia yang jasadnya akan
hancur, begitulah layaknya kita
mendudukkan arsitektur. Yang tak boleh
hancur bahkan mesti ditingkatkan

kualitasnya adalah unsur ruhaniyah si


manusia. Dalam arsitektur sekali lagi
nilai-nilai untuk peluhuran budi-pekerti
manusialah yang pantas dilestarikan. Itulah
yang mesti yang tertuang menjadi konsepkonsep arsitektural. Itu bukan lagi sekedar
DNA. Itu adalah daya hidup peradaban
manusia. Peradaban yang kehilangan
keluhuran budi-pekerti, bukan lagi peradaban
masyarakat manusia, tetapi peradaban
masyarakat raksasa nan buas disebabkan
individualisme liarnya.
Mereka yang memandang arsitektur atau
peradaban hanya sebatas fisik saja pasti
terjebak pada dialektisme yang sebetulnya
hampir tak berguna: tradisional-modern,
lokal-global, memperbandingkan untuk
mempertentangkan langgam-rupa yang satu
dengan yang lain, dan seterusnya. Saya
mengulang pernyataan yang sering saya
sampaikan di berbagai kesempatan, lisan
maupun tulisan. Bahwa sekarang adalah masa
untuk memahami arsitektur secara
lebih esensial, yang menjadikan arsitektur
sebagai bagian dari wujud upaya bahumembahu berbagai kalangan dan lapisan
masyarakat bahkan antarbangsa-bangsa
untuk keluar dari jebakan pengkerdilan dan

penghancuran benih-sifat kemanusiaan.


Arsitektur masa depan adalah arsitektur yang
menjadi bagian dari sumbu pensetimbang
kehidupan masyarakat manusia dan
masyarakat alam. Ilmu arsitektur masa depan
mesti memuat kemajemuk-binekaan lokalitas
dan ketunggal-ikaan universalitas. Tiap
lokalitas pasti mengandung nilai universal;
tiap universalitas pasti mewujud pada keadaan
lokal yang berbeda-beda. Rasionalitas
modernisme yang dikibarkan Renaissance
sudah waktunya ditanggalkan. Tak ada lagi
posisi as above negeri-negeri yang
dipandang maju (berkat rekayasa politik
kebudayaan mereka) dan harus ditaati
negeri-negeri yang sedang berkembang
semata-mata karena yang sedang
berkembang dipaksa ada pada posisi sebagai
pihak so below. Tak ada lagi as above so
below Eropa-Amerika dengan
Eurocentrism-nya terhadap negeri-negeri
non-Eropa. Seluruh bangsa dan negeri di bumi
ini selayaknya berkedudukan sama-sederajat.

Apakah hanya karena ukuran-ukuran


subjektif-global Nias harus dipandang lebih
rendah dari Jerman (yang pernah
mengincarnya untuk dikoloni), atau mesti lebih
rendah dari Amerika? Siapakah yang
mempolitisasikan ukuran-ukuran global?

Ruang-Visual dan
Gravitasi

entu sangat banyak yang dapat dipetik sebagai hikmah pelajaran dari
arsitektur Nias, sebagaimana nyaris tak terbatas pula
butir-butir mutiara kehidupan dari wilayah budaya Nusantara yang lain. Jalan (ewali) di
desa-desa Nias Selatan adalah ruang untuk pertahanan desa, menjemur
bencana, bermain anak-anak, upacara, hasil bumi, berdagang, evakuasi saat
pesta-adat, dan integrasi sosial (owasa); itu adalah ruang simbolis dan politik dengan berbagai
megalit (sobewe hare hare, li batu); juga ruang tempat nenek moyang mereka dipercaya ikut
berpartisipasi pada berbagai aktivitas; ewali termasuk ruang pusat-desa (ewali gorahua)
adalah ruang-publik yang mewadahi hampir seluruh segi kehidupan bersama (Viaro, 2007).
Hikmah pelajaran lain apa yang bisa dipetik?

Kesatu, bahwa ruang bersama itu adalah

ruang sosial untuk tujuan pendidikan


masyarakat pula. Buktinya ada pada
fahombo, tradisi lompat batu yang tersohor.
Seorang pemuda baru diakui sebagai lelaki
dewasa atau prajurit bila telah teruji
fahombo. Seorang pemudi baru dipandang
dewasa bila telah berperan-serta dalam
ritual adat di ruang yang sama. Kedua,
bahwa ada hubungan antar-ruang dalam
dan luar yang sangat serasi lewat ruang di
bawah atap-emper (mbelembele). Ketiga,
bahwa di masa lalu, ternyata ruang-dalam
rumah Nias pernah berfungsi sebagai
ruang-pengawasan (surveillance) terhadap
keadaan di hadapan rumah.
Khususnya tentang tradisi fahombo, ada hal
istimewa. Amatilah bahwa sang peloncat
mesti berkonsentrasi penuh pada dinding
batu yang akan ia lompati. Bila anda
menjadi sang pelompat, pasti pada diri anda
terbentuk sebuah lorong visual; aneka
pemandangan di sebelah-menyebelah anda,
betapa pun menariknya, pasti untuk
sementara harus diabaikan. Bahkan,
sekiranya mata anda bisa menge-zoom
dinding batu itu, pasti anda pun membuat

zoomspace sepanjang jalur berlari anda.


Di buku Arsitektur untuk Kemanusiaan

(Pangarsa, 2008b), saya menulis: Konsep


zoomspace di atas, hampir sama dengan
konsep alur-jelajah visual (visual
scanpaths). Sebuah penelitian cukup
mendalam tentang gerak visual oleh Prof.
Ralf Weber, yang memimpin tim di

Department of Architecture and the


Telerobotics and Neurology Unit of the
School of Optometry, University of

California di Berkeley untuk melaksanakan


penelitian berjudul The Impact of Formal

Properties on Eye Movement During the


Perception of Architecture menemukan

hal penting. Bahwa bahwa pengalaman


visual dalam arsitektur dipengaruhi oleh
beraneka-rupa karakteristik geometrikformal seperti ukuran, kontras, arah,
sumbu-simetri, ketertutupan, dan lain-lain;
faktor-faktor tersebut dapat mengubah
alur-jelajah visual (visual scanpaths) dan
menyebabkan kesadaran dan apresiasi
desain arsitektural tertentu (Weber, 2002).
Temuan penelitian juga menunjukkan pula
bahwa mata manusia tidak melacak
bentuk-bentuk dasar secara lengkap,
namun terfokus pada pus

at tata-susunan keseluruhannya; terfokus pada masa yang terbesar, atau pada objek dengan

beda jarak formal yang cukup besar dari keseluruhan bentuk.


Dengan pengertian di atas, dapatlah diamati bahwa pada si pelompat batu, ruang visual
"hilang" tiba-tiba karena anti-gravitasi dan retro-perspektif. Pada fahombo, ada loncatan ke
arah atas-depan yang esensinya adalah sebuah upaya bebas sementara dari gaya gravitasi,
atau sebuah gerak anti-gravitasi. Sedangkan yang saya maksud retro-perspektif adalah
membaliknya posisi si peloncat saat ia mendarat; pandangannya tertuju pada arah ia datang;
setelah mendarat, kemudian ia berbenah posisi badan ke arah semula. Bagi saya pribadi,
seolah ada pesan lain yang tertangkap dari fahombo. Si peloncat harus bebas. Pertama ia
mesti membebaskan dirinya dari ketakutan; ia mesti berani namun penuh tanggung-jawab
terhadap keselamatan dirinya. Ia bisa melawan hukum alam sesaat saja, tetapi ia akan
kembali menginjakan kakinya di bumi yang menariknya kembali dalam lingkup ketetapan
hukum alam. Saat itu, ia mesti menengok dari mana ia datang, sebelum ia meneruskan arah
langkah (perjalanan hidupnya). Si peloncat harus menjadi manusia bebas (dan
mempertanggung-jawabkan kebebasannya).

Lorong Gravitasi

Playing House

di Jakarta Kontemporer
Semua hal yang dijumpai di Nias seperti saya paparkan di atas adalah sebuah kebetulan
belaka, bila ternyata sama dengan apa yang saya lihat pada rumah tinggal Ary Indra bos
Aboday. Kebetulan itu berawal dari kesempatan pertemuan dengan rekan-rekan SAMM
Pada pertemuan informal itu, Ary mempresentasikan beberapa karyanya untuk sekedar

menjadi bahan diskusi. Ketika saya melihat


dokumentasi rumah Ary, saya cukup
surprised. Bahkan dari Dari sekian karya
yang dipresentasikannya, rumah tinggalnya

yang terletak di perumahan Bumi Serpong


Damai, Tangerang (2010), menarik
perhatian karena beberapa hal..

Keesatu, dari lantai atas ruang dalam rumahnya, ada kualitas


surveillance yang sama dengan rumah Nias. Dari ruang
dalam atas, orang dapat mengawasi ruang luar, termasuk
halamannya yang tanpa pagar. Sekiranya hal ini diterapkan
pada rumah-rumah lain, tentu lingkungan rumah Ary akan
sekualitas dengan ewali.

Keduaprosotan-nya. Ia menamai karyanya


dengan The Playing House; penjelasan Aboday,
biro arsitek tempat Ary menjadi salah satu
principal-nya, di website Dezeen: The house will

be mostly occupied by a multi generation family


of 3. However, the king of the house is a 5 year
old boy who thinks that life is all about play,
hence the design of the house It is his choice of
transportation mode from his bedroom in 2nd
floor to dining room in the 1st floor, instead of the
normal open staircase located between the small
library and living area. Apakah benar itu hanya
rumah untuk bermain? Benarkah tak
ada tujuan pendidikannya? Apakah bukan berarti
pula mendidik anak menjadi bebas dalam arti
bebas dari ketakutan dan bertanggung-jawab atas
keselamatannya sendiri? Bagi saya, dalam suasana
bermain anak-anak itu, tentu masih ada misi
pendidikan keluarga yang dilangsungkan. Jika di
Nias nuansa bermain itu bisa didapatkan dari
ewali, di rumah Ary hanya dapat dirasakan untuk
keluarganya saja. Alangkah indahnya jika konsep
ewali sebagai ruang-bersama untuk social learning
dapat ditransformasikan pula pada perumahan
kontemporer kita.

Untuk saya, yang sangat unik, prosotan


itu menghubungkan dua keadaan spasiovisual atas-bawah dengan memanfaatkan
gravitasi (bergerak searah ke bawah saja).
Saya cenderung menamainya lorong
gravitasi. Apabila pada fahombo Nias, si
pelompat batu tiba-tiba "kehilangan"
ruang visual karena lompatan antigravitasi dan pengalaman retroperspektifnya melewati dinding batu
setinggi 2,3 meter, maka pada prosotan
rumah Ary terjadi hal yang esensinya
sama yaitu tentang gerak-kinetis dan
gravitasi namun perwujudan arsitekturalnya sangat berbeda.
Di rumah Ary, si peluncur, tiba-tiba

kehilangan ruang visual ketika


melewati "lorong gravitasi". Bagi seorang
yang baru pertama kali meluncur lewat
prosotan ini, ada ruang visual baru di
bawah (meski bagi para penghuni
rumah, hal itu menjadi kejadian rutin
sehari-hari yang lambat laun tak lagi
mendatangkan kejutan). Beda
mendasarnya, di Nias ada upaya
melawan gravitasi; di rumah Ary, si
peluncur sekedar mengikuti gravitasi.

Itu yang pertama. Yang kedua, di Nias


tak ada pembelokan perspektif; di
prosotan beton rumah Ary, terjadi
peralihan titik-hilang disebabkan
prespektif yang berbelok bahkan
belokan ini terjadi bersamaan dengan
pengalaman ruang yang lain, yaitu
merambah ke wilayah outdoor. Lebih
unik lagi, ada pengalaman menembus
sapuan cahaya matahari di lorong
gravitasi itu, karena Ary memasang
skylight di bagian atas prosotan
betonnya. Seandainya saja lantai dan
atap prosotan itu dari bahan yang
transparan, tentu pengalaman ruang
dan visual si peluncur lebih kaya lagi.
Sebab, prosotan itu melewati kolam
pula. Namun demikian, beberapa
pembaca Dezeen memberi komentar
dengan nada
mengkhawatirkan jika prosotan beton
yang kasar dan tentu mudah
mengelupas permukaannya itu,
membahayakan para peluncur.
Betulkah bahwa manusia adalah homo
ludens, makhluk yang bermain?

Penutup:
Intuisi dalam Desain Arsitektur
Sepengetahuan saya lewat informasi
internet, hanya ada satu desain lain yang
juga memakai slide atau prosotan, yaitu
sebuah rumah tinggal yang didesain oleh
Level Architects, sebuah biro arsitek di
Yokohama (Designboom, edisi Januari
2011). Tapi desain Level Architects bagi
saya terlalu rasionalistik. Lorong luncuran
yang didesainnya terlalu lebar, sehingga
kesan tarikan gravitasi di dalam sarana
transpor bangunan itu kurang kuat, kurang
dramatis.
Tibalah saat untuk mengajukan pertanyaan
penting. Apakah Ary Indra sengaja
mempelajari Arsitektur Nias dan kemudian
berupaya dengan sengaja untuk
menemukan DNA Arsitektur Nias?
Menurut penuturannya, prosotan itu adalah
untuk memenuhi permintaan anaknya.
Jadi? Ary Indra tampaknya tak punya
kesengajaan agar desainnya ber-DNA

Nias. Di sinilah saya sampai pada


kesimpulan bahwa Ary hanya menyalurwujudkan intuisinya. Mengapa dalam
beberapa hal intuisi itu bisa bersubstansi
sama dengan arsitektur Nias? Mengapa
tidak? Atau, mengapa saya
menghubungkannya dengan Nias? Carilah
di Nusantara, apakah ada tradisi serupa
dengan fahombo. Tampaknya tradisi
lompat batu sebagai edukasi hanya dijumpai
di Nias.
Lalu bagaimana peran intuisi dalam
perancangan arsitektur? Sepanjang
mengikuti pengalaman beberapa rekan
arsitek Indonesia selain Ary Indra seperti
misalnya Eko Prawoto, Adi Purnomo atau
Mamo, tak kurang bukti terbukti bahwa
intuisi memang merupakan hal sangat
mendasar dalam desain arsitektur. Saya
sampai pada sebuah simpulan pada buku
saya (Pangarsa, 2008b): ...di zaman

pendidikan arsitektur yang sangat


rasionalistik di Indonesia ini, ternyata
masih ada arsitek (-arsitek) yang dapat
menumbuh-kembangkan metoda intuitif.
...memakai pendekatan rasionalistik yang
terlalu ketat dalam mendesain khususnya
untuk mendapatkan ide ibarat memakai
baju besi. Lamban tak lincah serta mudah
membuat lelah. Memakai cara intuisi ibarat
melepas panah. Bila terlatih membidik,
sasaran jarak jauh pun cepat-tepat-mudah
tertembus anak panah, dan selesailah
masalah. Bahkan setelahnya pun jiwa
kreatif masih dalam suasana segar, siap
melepaskan ide-ide baru, tak layu-kuyu
seperti yang terjadi dalam proses yang
mengutama-pertamakan programming.
Seperti yang saya alami dahulu kala, sering
membuat pusing; para mahasiswa bisa jadi
sering pula merasakannya. Lebih lanjut
saya tulis pula seperti tiga alinea di bawah.
Seperti halnya Archimedes yang
kegirangan dengan ungkapan eureka-nya,
(para arsitek pasti) pernah mengalami
proses kebetulan-nya sendiri-sendiri
dalam variasi dan tataran yang sangat
beragam, [I]ntuisi mungkin bisa
diibaratkan laksana deret-kali, ia meloncat.

Intuisi datang bertandang di hati siapa saja


yang pantas dan siap menerimanya. Desain
dalam programming yang ketat, ibarat
deret-hitung yang berjalan tertatih-letih.
Sayangnya, panah intuisi kini hampir tak
pernah disadari karena terlalu lama
tersimpan rapat di balik ketat-kakunya baju
besi programming. Bahkan dikenal pun
tidak. Padahal, intuisi tersaksikan dan
teralami pada setiap saat. Kalau pun harus
mengatakan bahwa itu telah dikenal dalam
dunia perancangan arsitektur, paling-paling
hanya dicatat sebagai metoda black box,
tanpa penjabaran lebih dalam.
Pemicu perbuatan desain bisa dari dua arah
deduktif dan/atau induktif yang sama
sekali tak mudah untuk dideteksi: dari titik
mana berawal, simultan atau tidak. Yang
jelas, titik-pangkalnya dua. Pertama, intuisi
yang diuraikan pada suatu ide dan gagasan.
Kedua, tanggapan (atas sesuatu) yang
dikerucutkan pada suatu kerangka
pemahaman. Desain adalah persis seperti
perbuatan manusia yang bisa digolongkan
pada dua tataran: batiniyah dan lahiriyah,
spiritual dan intelektual. Intuisi adalah
spiritual; penjabaran gagasan desain dan
programming adalah intelektual. Keduanya

ada dalam keterpaduan tak terpisahkan


yang sama sekali tidak bisa dan salah
sangat besar apabila dipandang dialektis
sebagai dua kubu atau kutub metoda yang
dipertentangkan.
[I]ntuisi juga berlaku dalam hal membaca
huruf-huruf alam, manusia dan
masyarakatnya, lingkungan arteologis
binaannya, maupun tulisan-harafiah
tipografisnya. Penelitian atau riset baik
dalam aktifitas mendesain mapun dalam
kegiatan yang lain, esensinya membaca
sesuatu. Metodologi dengan filosofi, teori,
paradigma, metoda dan teknik dari jenis
apa pun adalah sekedar alat
memudahkan membaca. Namun ketika si
pembaca menetapkan titik pemahamannya
untuk diuraikan dan/atau
dikerucutkan ia sebenarnya didorong
oleh sesuatu intuisi. Garis besarnya intuisi
adalah keilhaman-spiritual (Pangarsa, 2006:
47).
Jauh lebih rumit lagi jika harus menjawab:
intuisi yang bagaimana yang mesti
diajarkan di sekolah-sekolah arsitektur?
Cukup wajar bila Moore (2003), akhirnya
hanya berani menyatakan bahwa intuisi

adalah a meta-physical concept, that is


deepley problematic educationally . Inilah
pekerjaan besar bersama para aktifis
kampus. Dan sebenarnya, bukan hanya
tentang intuisi yang dibuktikan oleh para
rekan arsitek praktisi. Tetapi juga tentang
penjembatanan (bridging) antara dunia
kampus dengan dunia praksis, sehingga
ilmu yang dikembangkan di kampuskampus kita benar-benar realistis. Dari kilas
balik karya Ary Indra di atas, sesungguhnya
sudah amat jelas bahwa Arsitektur
Nusantara bagai buku empirik yang
menunggu para arsitek dan para ilmuwan
arsitektur untuk turun dari menara gading
masing-masing (termasuk diri saya, tentu
saja) untuk membaca Arsitektur Nusantara
dengan jeli.
Marilah kita turun ke desa-desa Nusantara,
untuk menggali dan menata ulang
Arsitektur Nusantara Masa Depan, daripada
bermimpi untuk menyetarai para
starchitects (para superstar praktisi
arsitektur atau superstar teoritisi, lihat
Pangarsa, 2009b). Yang perlu dijadikan
stardalam pembelajaran arsitektur atau
apa saja, adalah karya desain, bukan
arsiteknya. Lebih bijak mendengar apa yang

dikatakan seseorang dari pada


menghakiminya dengan melihat siapa yang
berbicara.
Dalam istilah yang sering saya pakai, belajar
arsitektur bukan hanya dari buku garing
atau buku kering yaitu publikasi analogdigital buatan manusia (yang di zaman ini
sangat eurocentric), tetapi justru yang
utama ialah dari buku teles atau buku
basah, yaitu alam-budaya Nusantara.
Khususnya bagi para pemuda (bukan dalam
arti usia, namun dalam arti mereka yang
selalu mempunyai semangat perbaikan
untuk masa depan negeri Indonesia yang
lebih baik), saya ucapkan: selamat belajar!

Bacaan Buku Garing


Designboom, House with Slide, http://www.designboom.com/weblog/ cat/9/view/13359/level-architectshouse-with-slide.html).
Dezeen, Playhouse, August 26th, 2010, http://www.dezeen.com/2010/08/26/ playhouse-by-aboday/
Moore, Kathryn, 2003. Overlooking the Visual, Journal of Architecture, Vol 8, Spring 2003, pp 25-40
Pangarsa, Galih Widjil, 2006, Merah-Putih Arsitektur Nusantara, Penerbit Andi, Yogyakarta
________, 2008a, Bahtera Kemanusiaan Nusantara Di Laut Karawitan Arsitektur, (keynote speaker)
Seminar Nasional Jelajah Nusantara, Jurusan Arsitektur ITS, 13-14 Nopember 2008, Surabaya
________, 2008b, Arsitektur untuk Kemanusiaan Teropong Visual Culture. Teropong Visual Culture atas
Karya-karya Eko Prawoto, Surabaya, Wastu Lanas Citra, [ISBN 978-602-8114-24-0]
________, 2009a, Eurocentricm: Kebuntuan Keilmuan Arsitektur (E-article; http://issuu.com/
eurocentrism/docs/) uploaded 9 April 2009
________, 2009b, Starchitect & The Beauty of the Beast (E-article; http://issuu.com/ eurocentrism/ docs/)
uploaded 5 Mei 2009
Viaro, Alain (in collaboration with Arlette Ziegler), 2007, Nias Reconstruction in The Respect of The
Tradition, IUED, Geneva
________, 1980, Urbanisme et architecture traditionnels de lle de Nias, Unesco, Paris
Weber, Ralf, Yun Choi & Lawrence Stark, 2002. The impact of Formal Properties on Eye Movement
During the Perception of Architecture, Journal of Architectural and Planning Research, No 19, Sring
2002, pp 57-69.

You might also like