You are on page 1of 31

BAB I

PENDAHULUAN
Acute lung edema adalah akumulasi cairan diparu-paru yang terjadi secara
mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravascular yang tinggi (edema
paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru
non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat. Pada
sebagian besar edema paru secara klinis mempunyai kedua aspek tersebut di atas,
sebab sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan
tekanan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali
untuk menetapkan faktor mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai
pengobatan.1
Menurut Harun S dan Sally N (2009) acute lung edema adalah akumulasi
cairan di intersisial dan alveolus paru yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat
disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena
peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang
mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan
pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia.2
Acute lung edema adalah suatu keadaan gawat darurat dengan tingkat
mortalitas yang masih tinggi. Penatalaksanaan dari acute lung edema sangat penting
untuk mencegah kematian, perawatan terhadap pasien acute lung oedema ditujukan
untuk meminimalkan keluhan dan stres serta untuk membatasi perluasan kerusakan.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi
Edema paru akut adalah akumulasi cairan di intersisial dan alveolus paru yang

terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang
tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler
(edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara
cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan
mengakibatkan hipoksia.2,3
2.3

Klasifikasi
Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus :2

1. Ketidakseimbangan Starling Force


1. Peningkatan tekanan vena pulmonalis
Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal
meningkat sampai melebihi tekanan osmotik koloid plasma, yang biasanya
berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan vena
pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang merupakan batas aman dari
mulai terjadinya edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain:
(1) tanpa gagal ventrikel kiri (mis: stenosis mitral), (2) sekunder akibat
gagal ventrikel kiri, (3) peningkatan tekanan kapiler paru sekunder akibat
peningkatan tekanan arterial paru (sehingga disebut edema paru
overperfusi).
2. Penurunan tekanan onkotik plasma
Hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan
juga peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang sedikit
saja

pada

hipoalbuminemia

akan

menimbulkan

edema

paru.

Hipoalbuminemia dapat menyebabkan perubahan konduktivitas cairan

rongga interstitial sehingga cairan dapat berpindah lebih mudah diantara


sistem kapiler dan limfatik.
3. Peningkatan negativitas dari tekanan interstisial
Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara
pleural. Kedaaan yang sering menjadi etiologi adalah: (1) perpindahan yang
cepat pada pengobatan pneumothoraks dengan tekanan negatif yang besar.
Keadaan ini disebut edema paru re-ekspansi. Edema biasanya terjadi
unilateral dan seringkali ditemukan dari gambaran radiologis dengan
penemuan klinis yang minimal. Jarang sekali kasus yang menjadikan
edema paru re-ekspansi ini berat dan membutuhkan tatalaksana yang cepat
dan ekstensif, (2) tekanan negatif pleura yang besar akibat obstruksi jalan
nafas akut dan peningkatan volume ekspirasi akhir (misalnya pada asma
bronkhial).
2. Gangguan permeabilitas

membran

kapiler

alveoli:

(ARDS

= Adult

Respiratory Distress Syndrome).


Kedaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara
kapiler dan alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgikal tertentu
yang berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan pembatas ini daripada
akibat ketidakseimbangan Straling Force
- Pneumonia (bakteri, virus, parasit)
- Terisap toksin (NO, asap)
- Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi
- Aspirasi asam lambung
- Pneumonitis akut akibat radiasi
- Zat vasoaktif endogen (histamin, kinin)
- Dissemiated Intravascular Coagulation
- Immunologi: pneumonitis hipersensitif
- Shock-lung pada trauma non thoraks
- Pankreatitis hemoragik akut
3. Insufisiensi sistem limfe
- Pasca transplantasi paru
- Karsinomatosis, limfangitis
- Limfangitis fibrotik (siilikosis)
4. Tidak diketahui atau belum jelas mekanismenya
- High altitude pulmonary edema
- Edema paru neurogenik
- Overdosis obat narkotik
3

2.2

Emboli paru
Eklamsia
Pasca anastesi
Post cardiopulmonary bypass

Mekanisme
Pada paru normal (gambar 1), cairan dan protein keluar dari mikrovaskular

terutama melalui celah kecil antara sel endotel kapiler ke ruang interstitial sesuai
dengan selisih antara tekanan hidrostatik dan osmotik protein, serta permeabilitas
membran kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke ruang alveolar
intertisial pada keadaan normal tidak dapat masuk ke ruang alveolar hal ini
disebabkan epitel alveolus terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ketika
cairan memasuki ruang intertisial, cairan tersebut akan dialirkan ke ruang
peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan oleh sistem limfatik ke sirkulasi.
Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik
yang diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari mikrosirkulasi paru sama dengan
tekanan hidrostatik kapiler paru yang dihasilkan sebagian oleh gradien tekanan
onkotik protein.4

Gambar 1. Paru-paru Normal.5


Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru:
1.

Membran kapiler alveoli


Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang
interstitial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam
pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam kedaan
normal terjadi pertukaran dari cairan, koloid dan solute dari pembuluh darah ke
ruang interstitial. Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling dapat

diterapkan pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik.2


2. Sistem Limfatik
Sistem limfatik ini dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan
cairan balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah
interstitial peribronkhial dan perivaskular. Dengan peningkatan kemampuan dari
interstitium alveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini
ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila
kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan
terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg dalam keadaan
istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20ml/jam. Pada percobaan didapatkan
kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200ml/jam pada orang dewasa dengan
ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang kronik, sistem
limfe

akan

mengalami

hipertrofi

dan

mempunyai

kemampuan

untuk

mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah yang lebih besar yang dapat
mencegah terjadinya edema. Sehingga sebagai konsekuensi terjadinya edema
interstitial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi.2
2.4

Etiologi dan Patofisiologi


Edema paru kardiogenik atau edema volume overload dapat terjadi karena

peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan peningkatan


filtrasi cairan transvaskular. Ketika tekanan interstitial paru lebih besar daripada
tekanan pleural maka cairan bergerak menuju pleura visceralis yang menyebabkan
efusi pleura. Sejak permeabilitas kapiler endothel tetap normal, maka cairan edema
yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein yang rendah. Peningkatan
tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan
tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan
tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18 25 mmHg)
menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang intersisial peribronkovaskular.
Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan edema akan
menembus epitel paru, membanjiri alveolus . Kejadian tersebut akan menimbulkan
lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut:5,4

Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya

pasokan oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung.


Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi
pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan
ventrikel kanan melalui mekanime interdependensi ventrikel akan semakin

menurunkan fungsi ventrikel kiri.


Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi
jantung.
Penghapusan cairan edema dari ruang udara paru tergantung pada transpor

aktif natrium dan klorida melintasi barier epitel alveolar. Bagian utama reabsorbsi
natrium dan klorida adalah ion channelsepitel yang terdapat pada membran apikal sel

epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran nafas distal. Natrium secara aktif
ditranspor keluar ke ruang interstitial dengan cara Na/ K-ATPase yang terletak pada
membran basolateral sel tipe II. Air secara pasif mengikuti, kemungkinan
melalui aquaporins yang merupakan saluran air yang ditemukan terutama pada epitel
alveolar sel tipe I.5
Edema paru akut kardiogenik ini merupakan bagian dari spektrum
klinis Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai
munculnya gejala dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung
yang tidak normal.4
Secara patofisilogi edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan
dengan kandungan protein yang rendah ke paru akibat terjadinya peningkatan
tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa
perubahan pada permiabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler dan hasil
akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hiposemia dan sesak nafas.2

Gambar 2. Patofisiologi Edema Paru.5


Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda.
Dikatakan pada stage 1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru akibat

peningkatan tekanan di atrium kiri, dapat memperbaiki pertukaran udara diparu dan
meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada keadaan ini akan
terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik dan disertai ronkhi inspirasi akibat
terbukanya saluran nafas yang tertutup.2
Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edema
interstitial diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstitial yang longgar
dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini akan mengakibatkan
hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dan petanda septum
interlobuler (garis Kerley B). Pada derajat ini akan terjadi kompetisi untuk
memperebutkan tempat antara pembuluh darah, saluran nafas dan peningkatan jumlah
cairan didaerah di interstitium yang longgar tersebut, dan akan terjadi pengisian di
lumen saluran nafas yang kecil yang menimbulkan refleks bronkokonstriksi.
Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi akan mengakibatkan terjadinya
hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang semakin memburuk. Pada
keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya hipoksemia berhubungan dengan
tingkat peningkatan tekanan baji kapiler paru. Sehingga seringkali ditemukan
manifestasi klinis takipnea.2
Pada proses yang terus berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari edema
paru tesebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia
yang berat dan seringkali hipokapnea. Alveolar yang sudah terisi cairan ini terjadi
akibat sebagian besar saluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan mengandung
darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh si pasien. Secara keseluruhan kapasitas
vital dan volume paru semakin berkurang di bawah normal. Terjadi pirai dari kanan
ke kiri pada intrapulmonal akibat perfusi dari alveoli yang telah terisi cairan.
Walaupun hipokapnea yang terjadi pada awalnya, tetapi apabila keadaan semakin
memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea dengan asidosis respiratorik akut apalagi
bila pasien sebelumnya telah menderita penyakit paru obstruktif kronik. Dalam hal ini
terapi morfin yang telah diketahui memiliki efek depresi pada pernafasan, apabila
akan dipergunakan harus dengan pemantau yang ketat.2

Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik


maka sebaliknya edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan
protein masuk ke dalam intersisial paru dan alveolus. Cairan edema paru
nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena membran pembuluh darah lebih
permeabel untuk dilewati oleh molekul besar seperti protein plasma. Banyaknya
cairan edema tergantung pada luasnya edema interstitial, ada atau tidak adanya cidera
pada epitel alveolar dan kemampuan dari epitel alveolar untuk secara aktif
mengeluarkan cairan edema alveolar. Edema paru akibat acute lung injury dimana
terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk
menghilangkan cairan alveolar.5,4
2.5

Diagnosis
Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai

beberapa kemiripan.
1. Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru, misalnya
adanya riwayat sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan gagal
jantung kronis. Edema paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi
hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman
yang menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk dan seperti seseorang
yang akan tenggelam.2,4
2. Pemeriksaan Fisik
Terdapat takipnea, ortopnea (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi atau
tekanan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat
mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau
sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela
interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negatif
intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi, batuk dengan sputum
yang berwarna kemerahan (pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada

10

pemeriksaan paru akan terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau lebih
dan terdapat wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan gallop, bunyi
jantung 3 dan 4. Terdapat juga edema perifer, akral dingin dengan sianosis.2,4
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk mengkaji etiologi
edema paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi / darah
rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa, analisa gas darah, enzim
jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide (BNP). BNP dan
prekursornya Pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema
paru kardiogenik pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan
dengan

pulmonary

artery

occlusion pressure, left

ventricular

end-

diastolic pressure dan left ventricular ejection fraction. Khususnya pada pasien
gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal
jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan sensitifitas 91% dan spesifisitas
93%.4,5 Richard dkk melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi
dengan LV filling pressure.6 Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test
diagnosis rutin untuk menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman
diagnosis dan terapi gagal jantung kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian
menunjukkan bahwa Pro BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif dalam
menyingkirkan gagal jantung dari penyakit lainnya (AHA, 2009).7
4. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar, pedikel
vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis
kerley A, B dan C akibat edema interstisial atau alveolar seperti pada gambaran
ilustrasi 2.5.2,9 Lebar pedikel vaskuler < 60 mm pada foto thorax PosteroAnterior terlihat pada 90% foto thorax normal dan lebar pedikel vaskuler > 85
mm ditemukan 80% pada kasus edema paru. Sedangkan vena azygos dengan
diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan dengan diameter > 10mm sudah
pasti terdapat kelainan, namun pada posisi foto thorax terlentang dikatakan
abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan diameter vena azygos > 3 mm

11

jika dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya terkesan menggambarkan


adanya overload cairan.8
Garis kerley A (gambar 2.6) merupakan garis linear panjang yang
membentang dari perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran
anastomose antara limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat sebagai
garis pendek dengan arah horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut
kostofrenikus yang menggambarkan adanya edema septum interlobular. Garis
kerley C berupa garis pendek, bercabang pada lobus inferior namun perlu
pengalaman untuk melihatnya karena terlihat hampir sama dengan pembuluh
darah.8
Gambaran foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edema paru
kardiogenik dan edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan
yaitu antara lain bahwa edema tidak akan tampak secara radiologi sampai jumlah
air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah tehnik juga dapat mengurangi
sensitivitas dan spesifisitas rontgent paru, seperti rotasi, inspirasi, ventilator,
posisi pasien dan posisi film.5,4
Tabel 1. Beda Gambaran Radiologi Edema Paru Kardiogenik dan Non
Kardiogenik (dikutip dari Lorraineet al, 2005).5
NO.

Gambaran Radiologi

Edema Kardiogenik

Edema Non Kardiogenik

Ukuran Jantung

Normal atau membesar

Biasanya Normal

Lebar pedikel Vaskuler

Normal atau melebar

Biasanya normal

Distribusi Vaskuler

Seimbang

Normal/seimbang

Distribusi Edema

Rata / Sentral

Patchy atau perifer

Efusi pleura

Ada

Biasanya tidak ada

Penebalan Peribronkial

Ada

Biasanya tidak ada

Garis septal

Ada

Biasanya tidak ada

Air bronchogram

Tidak selalu ada

Selalu ada

12

Gambar 3. Ilustrasi Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik.9


Gambar 4. Gambaran Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik.8

5.

Ekokardiografi
Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk mendeteksi disfungsi
ventrikel kiri. Ekokardiografi dapat mengevalusi fungsi miokard dan fungsi katup

sehingga dapat dipakai dalam mendiagnosis penyebab edema paru.4


6. EKG
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia
atau infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi
gambaran ekg biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien
dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non iskemik biasanya menunjukkan
gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas,
dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1

13

minggu. Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi beberapa keadaan
yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial
yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut
dari tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan
metabolik atau ketokolamin.2

14

Gambar 5. Algoritma untuk Differensiasi Klinis Antara Edema Paru Kardiogenik


dan Non Kardiogenik.5
2.6

Penatalaksanaan

15

Penatalaksanaan terutama untuk edema paru akut kardiogenik. Terapi edema


paru akut harus segera dimulai setelah diagnosis ditegakkan meskipun pemeriksaan
untuk melengkapi anamnesis dan pemeriksaan fisik masih berlangsung. Pasien
diletakkan pada posis setengah duduk, harus segera diberi oksigen, nitrogliserin,
diuretic i.v., morfin sulfat, obat untuk menstabilkan hemodinamik, trombolitik dan
revaskularisasi, intubasi dan ventilator, terapi aritmia dan gangguan konduksi, serta
koreksi definitif kelainan anatomi.1
1. Terapi Oksiegen.
Oksigen

(40-50%)

diberikan

sampai

dengan

8L/menit,

untuk

mempertahankan PaO2, kalau perlu dengan masker. Jika kondisi pasien makin
memburuk, timbul sianosis, makin sesak, takipneu, ronki bertambah, PaO2 tidak bias
mempertahankan 60mmHg dengan terpi O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi
CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekut, maka
perlu dilakukan intubasi endotrakeal, suction dan penggunaan ventilator.1
2.

Nitrogliserin sublingual atau intravena.


Nitrogliserin diberikan peroral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah

sistolik cukup baik (>95 mmHg). Nitrogliserin intravena dapat diberikan dimulai
dengan dosis 0.3-0.5 mg/kg BB. Jika nitrogliserin tidak member hasil yang
memuaskan, maka dapat diberikan nitroprusid. 1
3.

Morfin Sulfat.
Diberikan 3-5 mg i.v, dapat diulangi tiap 15 menit. Sampai total dosis 15 mg

biasa cukup efektif. 1


4.

Diuretik i.v
Diberikan furosemid 40-80 mg i.v., bolus, dapat diulangi atau dosis

ditingkatkan setelah 4 jam, atau dilanjutkan dengan drip koninyu sampai dicapai
produksi urin 1 ml/kg BB/jam.1

16

5.

Obat untuk menstabilkan klinis hemodinamik

Nitroprusid i.v: dimulai dosis 0,1 mg/kg BB/menit. Diberikan pada pasien
yang tidak memperlihatkan respons yang baik dengan terpi nitrat atau pada
pasien dengan regurgitasi mitral, regurgitasi aorta, hipertensi berat. Dosis
dinaikkan sampai didapat tekanan darah sitolik 85-90 mmHg pada pasien
yang tadinya mempunyai tekanan darah yang normal atau selama dapat

dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.1


Dopamine 2-5 g/kgBB/menit : atau dobutamin 2-10 mg/kg BB/menit.
Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis, dan kedua obat ini bila
diperlukan dapat diberikan bersama-sama.1
Digitalisasi bila ada fibrilasi atrium atau kardiomegali.1

Gambar 6. Algoritma Penatalaksanaan Edema Paru Akut Kardiogenik. 10

17

Keterangan:

18

1. Pada pasien yang telah mendapatkan pengobatan diuretik, dosis yang


direkomendasikan sebesar 2,5x dari dosis oral yang biasanya diberikan. Dapat
dulang jika diperlukan.
2. Untuk O2 saturasi dengan pulse oximeter <90 atau PaO2 <60 dapat diberikan
oksigen. Oksigen tidak boleh digunakan secara rutin pada pasien non-hipoksemia
karena menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan curah jantung
3. Biasanya dimulai dengan O2 4060%, dititrasi sampai SpO2 >90%; hati-hati pada
pasien yang mempunyai resiko retensi CO2.
4. Contoh, pemberian morfin 48 mg ditambah metocloperamide 10 mg; obeservasi
adanya depresi pernafasan, dapat diulang jika diperlukan.
5. Akral dingin, tekanan darah rendah, produksi urine
6.

yang

sedikit,

bingung/kesadaran menurun, iskemia miokardial.


Contoh, mulai pemberian infus dobutamine 2.5 g/kg/menit, dosis dinaikkan 2x
lipat tiap 15 menit tergantung respon (titrasi dosis dibatasi jika terdapat
takikardia, aritmia atau iskemia). Dosis >20 g/kg/menit jarang sekali diperlukan.
Bahkan dobutamine mungkin memiliki aktivitas vasodilator ringan sebagai akibat

dari stimulasi beta-2 adrenoseptor.


7. Pasien harus diobservasi ketat secara reguler (gejala, denyut dan ritme jantung,
SpO2, tekanan darah sistolik, produksi urine) sampai stabil dan pulih.
8. Contoh, mulai pemberian infus NGT 10 g/menit dan dosis dinaikkan 2x lipat
tiap 10 menit tergantung respon (biasanya titrasi naiknya dosis dibatasi oleh
hipotensi). Dosis >100 g/min jarang sekali dipelukan.
9. Respon yang adekuat ditandai dengan berkurangnya dypsnea, diuresis yang
adekuat (produksi urine >100 mL/jam dalam 2 jam pertama), peningkatan saturasi
O2 (jika hipoksemia) dan biasanya terjadi penurunan denyut jantung dan frekuensi
pernafasan yang seharusnya terjadi dalam 1-2 jam pertama. Aliran darah perifer
juga dapat meningkatkan seperti yang ditandai oleh penurunan vasokonstriksi
kulit, peningkatan suhu kulit, dan perbaikan dalam warna kulit. Serta adanya
penurunan ronkhi.
10. Setelah pasien nyaman dan diuresis yang stabil telah dicapai, ganti terapi iv
dengan pengobatan diuretik oral.

19

11. Menilai gejala yang relevan dengan HF (dyspnea, ortopnea, paroxysmal


nocturnal dyspnoea), komorbiditas (misalnya nyeri dada akibat iskemia miokard),
dan efek samping pengobatan (misalnya simptomatik hipotensi). Menilai tandatanda kongesti/edema perifer dan paru, denyut dan irama jantung, tekanan darah,
perfusi perifer, frekuensi pernapasan, serta usaha pernapasan. EKG (ritme /
iskemia dan infark) dan kimia darah / hematologi (anemia, gangguan elektrolit,
gagal ginjal) juga harus diperiksa. Pulse oximetry (atau pengukuran gas darah
arteri) harus diperiksa dan diperiksakan ekokardiografi jika belum dilakukan.
12. Produksi urine < 100 mL/jam dalam 12 jam pertama adalah respon awal
pemberian diuretik iv yang tidak adekuat (dikonfirmasi melalui kateter urine).
13. Pada pasien dengan tekanan darah masih rendah / shock, dipertimbangkan
diagnosis alternatif (emboli paru misalnya), masalah mekanis akut, dan penyakit
katup yang berat (terutama stenosis aorta). Kateterisasi arteri paru dapat
mengidentifikasi pasien dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang tidak
adekuat ( lebih tepat dalam menyesuaikan terapi vasoaktif).
14. Balon pompa intra aorta atau dukungan sirkulasi mekanik lainnya harus
dipertimbangkan pada pasien yang tidak terdapat kontraindikasi.
15. CPAP or NIPPV harus dipertimbangkan pada pasien yang tidak terdapat
kontraindikasi.Ventilasi non-invasif continuous positive airway pressure (CPAP)
dan non-invasive intermittent positive pressure ventilation (NIPPV) mengurangi
dyspnea dan meningkatkan nilai fisiologis tertentu (misalnya saturasi oksigen)
pada pasien dengan edema paru akut. Namun, penelitian RCT(Randomized
controled trial) besar yang terbaru menunjukkan bahwa ventilsasi non-invasif
atau invasif tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap penurunan angka
kematian bila dibandingkan dengan terapi standar, termasuk nitrat (dalam 90%
dari pasien) dan opiat (di 51% dari pasien). Hasil ini berbeda dengan penelitian
dari metaanalisis sebelumnya dengan studi yang lebih kecil. Ventilasi Non-invasif
dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk meringankan gejala pada pasien
dengan edema paru dan gangguan pernapasan parah atau pada pasien yang
kondisinya gagal membaik dengan terapi farmakologis. Kontraindikasi untuk

20

penggunaan ventilasi non invasif meliputi hipotensi, muntah, kemungkinan


pneumotoraks, dan depressed consciousness.
16. Dipertimbangkan untuk dilakukan pemasangan intubasi endotrakeal dan ventilasi
invasif jika hipoksemia memburuk, gagal upaya pernapasan, meningkatnya
kebingungan / penurunan tingkat kesadaran , dll.
17. Meningkatkan dosis loop diuretik hingga setara dengan furosemide 500 mg (
dosis 250 mg harus diberikan melalui infus lebih dari 4 jam).
18. Jika tidak ada respon terhadap penggandaan dosis diuretik meskipun tekanan
pengisian ventrikel kiri adekuat (baik disimpulkan atau diukur secara langsung)
maka mulai infus dopamin 2,5 g / kg / menit. Dosis yang lebih tinggi tidak
dianjurkan untuk meningkatkan diuresis.
19. Jika langkah 17 dan 18 tidak menghasilkan diuresis yang adekuat dan pasien tetap
terjadi

edema

paru

maka

ultrafiltrasi

terisolasi

venovenous

harus

dipertimbangkan.
2.7.

Prognosis
Hingga saat ini mortalitas akibat edema paru akut termasuk yang disebabkan

kelainan kardiak masih tinggi. Setelah mendapatkan penanganan yang tepat dan cepat
pasien dapat membaik dengan cepat dan kembali pada keadaan seperti sebelum
serangan. Kebanyakan dari mereka yang selamat mengatakan sangat kelelahan pada
saat serangan tersebut. Diantara beberapa gejala edema paru ini terdapat tanda dan
gejala gagal jantung.1
Prognosis jangka panjang dari edema paru akut ini sangat tergantung dari
penyakit yang mendasarinya, misalnya infark miokard akut serta keadaan
komorbiditas yang menyertai seperti diabetes melitus atau penyakiit ginjal terminal.
Sedangkan predictor dari kematian dirumah sakit antara lain adalah : diabetes,
dissfungsi ventrikel kiri, hipotensi atau syok dan kebutuhan akan ventilasi mekanik.1

21

BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien

Nama pasien

: Tn. S

22

Jenis kelamin

: Laki-laki

Umur

: 58 Tahun

Alamat

: Jl. Paus, Pekanbaru

MR

: 887825

Tanggal masuk

: 17 April 2015

Tanggal pemeriksaan : 17 April 2015

Anamnesis
Autoanamnesis
Keluhan utama
Sesak nafas sejak 2 bulan SMRS
Riwayat penyakit sekarang
Sejak 2 bulan SMRS pasien mengeluhkan sesak nafas, sesak hilang timbul,
sesak timbul saat beraktivitas dan emosi, sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dingin,
makanan, debu, asap. Sesak membuat pasien sering terbangun pada malam hari.
Pasien mengaku pernah bengkak pada salah satu kakinya.
Sesak nafas kemudian memberat sejak 3 jam SMRS dan terus menerus.
Pasien mengaku tidur dengan 2 bantal dan lebih senang miring ke kanan.
Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah nyeri ulu hati, perut kembung,
mual muntah (-), nyeri dada menjalar (-), batuk (-), BAK serta BAB tidak ada
keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat HT disangkal

Riwayat Stroke disangkal

Riwayat DM disangkal

Riwayat asma disangkal

23

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat HT disangkal

Riwayat Stroke disangkal

Riwayat DM disangkal

Riwayat asma disangkal

Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi dan kebiasaan

Pekerjaan : Sudah tidak bekerja, pekerjaan sebelumnya sebagai penjaga


terminal

Riwayat merokok (+), merokok 2-3 bungkus perhari, namun telah berhenti
sejak 2 bulan yang lalu

Riwayat minum alkohol (+)

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan umum
Kesadaran

: Komposmentis

Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Tekanan darah

: 130/100 mmHg

Nadi

: 80 x/ menit

Suhu

: 36, 6 derajat celcius

Pernapasan

: 30 x per menit

Pemeriksaan Kepala dan Leher


Konjungtiva

: Tidak anemis

Sklera

: Tidak ikterik

Edema palpebra

: Tidak ada

Eksoftalmus

: Tidak ada

24

Mukosa bibir

: Tidak kering, tidak pucat

JVP

: 5-2 cmH2o (tidak meningkat)

KGB

: Tidak membesar

Kelenjar tiroid

: Tidak membesar

Pemeriksaan Toraks
1. Paru:
Inspeksi

: Bentuk dan gerak simetris kanan dan kiri

Palpasi

: Vokal fremitus sama kanan dan kiri

Perkusi

: Sonor ke redup kedua lapang paru

Auskultasi

: Vesikuler +/+, Ronkhi basah basal +/+, wheezing -/-

2. Jantung:
Inspeksi

: Ictus cordis terlihat di LMCS

Palpasi

: Ictus cordis teraba di LMCS

Perkusi

Batas kanan

: Linea sternalis dextra

Batas kiri

: 2 jari lateral linea midclavicula sinistra

Auskultasi

: BJ I-II irreguler, murmur (-), gallop (+)

3. Abdomen:
Inspeksi

: Permukaan perut datar

Auskultasi

: BU (+) normal

Palpasi

: Supel, NTE (+), hepatomegali (-)

Perkusi

: Timpani seluruh lapang perut

4. Ekstremitas
Akral

: Hangat (+/+)

Edema tungkai

: (-/-)

CRT

: < 2 detik

Clubbing finger

: (-)

25

Pemeriksaan Penunjang
EKG (IGD 17 APRIL 2015)

Interpretasi : Sinus takikardi, axis normal, HR 115x/menit, gel P multiple morfologi,


PR interval 0,16 detik, QRS complex 0,08 detik, ST elevasi di lead I,
aVL,V2,V3,V4,V5,V6
Kesan : Sinus Takikardi + anterolateral acut infarction

Rontgen Toraks

26

Interpretasi :

CTR > 50%, jantung membesar

Trakea di tengah

Kedua hilus tidak menebal

Tidak tampak infiltrat pada kedua lapangan paru

Diafragma bentuk kubah

Sudut costophrenicus lancip

Tulang-tulang dan jaringan lunak baik

Pulmo : paru kanan tampak perselubungan inhomogen

Kesan : Kardiomegali

27

Laboratorium (18/4/2015)
Leukosit

: 10.200 /ul

HB

: 14.3 g/dl

HT

: 44 %

PLT

: 259 /ul

Elektrolit
Na+

: 140 mmol/L

K+

: 3.0 mmol/L

Ca++

: 0.30 mmol/L

RESUME
Tn. S 58 tahun datang ke IGD RSUD AA dengan keluhan sesak nafas sejak 2
bulan SMRS pasien, sesak hilang timbul, sesak timbul saat beraktivitas dan emosi,
sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dingin, makanan, debu, asap. Sesak membuat
pasien sering terbangun pada malam hari. Pasien mengaku pernah bengkak pada
salah satu kakinya. Sesak kemudian memberat sejak 3 jam SMRS dan terus menerus.
Pasien mengaku tidur dengan 2 bantal dan lebih senang miring ke kanan.
Pada pemeriksaan fisik kepala dan leher tidak ditemukan kelainan.
pemeriksaan fisik jantung didapatkan gallop (+), pemeriksaan fisik paru didapatkan
Ronkhi basah basal

+/+, abdomen dan ekstremitas dalam batas normal. Dari

pemeriksaan ekg yang dilakukan, terdapat sinus takikardi + anterolateral acut


infarction. Dari pemeriksaan foto rongten toraks didapatkan kesan kardiomegali.

DAFTAR MASALAH

Acute Lung Edema ec. susp. akut infark miokard anterolateral

28

Sindroma dyspepsia

Rencana Pemeriksaan

Echocardiography

Rencana Penatalaksanaan

Nonfarmakologis :
Istirahat + Memposisikan semi fowler
Diet rendah kalori mudah dicerna
O2 Nasal Kanul 3 lpm
Farmakologis :

IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit

Inj Lasix 1x1 amp

ISDN 2X5 mg

Omeprazol 1x1

Clopidogrel 1x75 mg

Ramipril 1x2,5 mg

Aspilet 1x80 mg

PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
didapatkan bahwa pasien mengalami Acute Lung Edema ec. susp. akut infark
miokard anterolateral dan sindroma dyspepsia. Diagnosis Acute Lung Edema ec.
susp. akut infark miokard anterolateral ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan
yang dialami pasien yaitu sesak nafas yang memberat 3 jam SMRS, dirasakan terus
menerus. Pasien mengaku tidur dengan 2 bantal dan lebih senang miring ke kanan .

29

Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati dan perut kembung sehingga ditegakkan
diagnosis syndroma dyspepsia.
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis Acute Lung Edema karena adanya
keluhan sesak nafas sejak 2 bulan SMRS, sesak hilang timbul, sesak timbul saat
beraktivitas dan emosikeluhan sesak nafas yang memberat 3 jam SMRS bersifat terus
menerus. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravascular yang tinggi (edema
paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru
non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat. Pada
sebagian besar edema paru secara klinis mempunyai kedua aspek tersebut di atas,
sebab sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan
tekanan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya.
Hasil pemeriksaan fisik kepala dan leher tidak ditemukan kelainan.
pemeriksaan fisik jantung didapatkan gallop (+), pemeriksaan fisik paru didapatkan
Ronkhi basah basal +/+, abdomen dan ekstremitas dalam batas normal. Dari
pemeriksaan ekg yang dilakukan, terdapat sinus takikardi + anterolateral acut
infarction. Dari pemeriksaan foto rongten toraks didapatkan kesan kardiomegali. Hal
ini memperkuat diagnosis Acute Lung Edema pada pasien ini

KESIMPULAN
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat
disimpulkan pasien ini mengalami Acute Lung Edema ec. susp. akut infark miokard
anterolateral.

DAFTAR PUSTAKA

30

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi l, Simadibrata M, Alwi l, dkk. Ed. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta : Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam.
2. Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th
Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-1653
3. Soemantri. 2011. Cardiogenic Pulmonary Edema. Naskah Lengkap PKB XXVI
Ilmu Penyakit Dalam 2011. FKUNAIR-RSUD. DR Soetomo Surabaya, hal 11319
4. Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis
VAP.Anestesia & Critical Care.Vol 28 No.2 Mei 2010.52
5. Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005;353:2788-96.
6. Pasquate et al. Plasma surfactant B : A novel Biomarker in Chronic Heart
Failure. Circulation 2004 : 110 : 1091-1096
7. AHA. 2009 Focused Update: ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis and
Management of Heart Failure in Adults. Circulation 2009, 119:1977-2016:
8. Koga dan Fujimoto. Kerleys A, B and C Lines. NEJM. 360;15 nejm.org april 9,
2009
9. Cremers et al. 2010. Chest X-Ray Heart Failure. The Radiology Assistant.
(Online). Tersedia:Http://www.radiologyassistant.nl/en/p4c132f36513d4/ chest-xray-heart-failure.html. (24 November 2012)
10. ESC. 2012. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic
Heart Failure 2012. European Heart Journal (2012) 33, 17871847
doi:10.1093/eurheartj/ehs104

31

You might also like