You are on page 1of 6

Tinjauan Pustaka

INFEKSI NOSOKOMIAL
Lukmanul Hakim Nasution
Departemen / SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan

ABSTRAK
Infeksi nosokomial merupakan suatu keadaan yang penting dalam pelayanan pasien rawat inap di
Rumah Sakit di seluruh dunia karena insidensnya yang sangat tinggi. Di bidang dermatologi, infeksi
nosokomial tidak menjadi perhatian karena tidak menyebabkan kematian secara langsung, tetapi secara umum
menjadi penting karena berhubungan dengan angka kesakitan dan kematian.
Mengetahui berbagai jenis infeksi nosokomial di bidang dermatologi. Infeksi nosokomial bukan hanya
menyerang pasien rawat inap tetapi juga petugas yang berhubungan dengan proses pelayanan, baik petugas
medis maupun nonmedis dan dapat terjadi secara timbal balik. Di bidang dermatologi infeksi nosokomial
dikelompokkan menjadi infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur maupun parasit, dan cara
penularannya.
Infeksi nosokomial di bidang dermatologi perlu menjadi perhatian dalam pelayanan pasien rawat inap di
Rumah Sakit. Pemahaman tentang tindakan pencegahan diperlukan untuk mengatasi infeksi nosokomial
tersebut. (MDVI 2012; 39/1:36-41)

ABSTRACT
Nosocomial infection is an important condition in inward patient service around the world because of
its high incidence. In dermatology, this condition is lack of attention because it doesnt cause mortality
directly, but commonly this infection become very important because of its relationship with morbidity and
mortality rate.
To understand various type of nosocomial infections in dermatology. Nosocomial infection doesnt
affect only inward patient in a hospital but also official that always related with the service process, whether
medic or non medic and resiprocal. In dermatology, nosocomial infection is classified into infection that are
caused by bacterial, viral, fungal and parasite, and their transmission into host.
Nosocomial infection in dermatology need more attention in inward patient service. Precaution of
consideration is needed to overcome this condition. (MDVI 2012; 39/1:36-41)

Alamat penulis:
Jl. Bunga Lau No.17 Medan
Telp.061-8360381
Email: lukmanulnst@yahoo.com

36

LH Nasution

PENDAHULUAN
Infeksi nosokomial terjadi di seluruh dunia, baik di
negara sedang berkembang maupun negara maju.1
Berbagai penelitian yang dilakukan di seluruh dunia
menunjukkan bahwa infeksi nosokomial merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas.2 Selain itu,
infeksi nosokomial dapat menambah keparahan penyakit
dan stres emosional yang mengurangi kualitas hidup
pasien. Bertambahnya lama hari perawatan, penggunaan
obat dan pemeriksaan laboratorium karena adanya infeksi
nosokomial menyebabkan peningkatan biaya perawatan
pasien.3,4
Di bidang dermatologi, infeksi nosokomial tidak
menjadi perhatian karena tidak menyebabkan kematian
secara langsung, tetapi secara umum menjadi penting
karena berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas.
Pasien rawat inap di bangsal dermatologi rentan terhadap
infeksi nosokomial pada beberapa dermatosis karena terjadi
pengelupasan luas kulit yang merupakan sawar protektif.
Selain itu, penggunaan kortikosteroid dan obat
imunosupresif lainnya dalam jangka panjang pada beberapa
penyakit kulit merupakan faktor risiko terjadinya infeksi
nosokomial.5

DEFINISI
Istilah nosokomial berasal dari bahasa Yunani yaitu
nosokomeion yang berarti rumah sakit (nosos = penyakit,
komeo = merawat). Infeksi nosokomial dapat diartikan
infeksi yang berasal atau terjadi di rumah sakit.2,6,7 Infeksi
yang timbul dalam kurun waktu 48 jam setelah dirawat di
rumah sakit sampai dengan 30 hari lepas rawat dianggap
sebagai infeksi nosokomial.1
Suatu infeksi pada pasien dapat dinyatakan sebagai
infeksi nosokomial bila memenuhi beberapa kriteria :
1. Pada waktu pasien mulai dirawat di rumah sakit tidak
didapatkan tanda klinis infeksi tersebut.
2. Pada waktu pasien mulai dirawat di rumah sakit tidak
sedang dalam masa inkubasi infeksi tersebut.
3. Tanda klinis infeksi tersebut baru timbul sekurangkurangnya 48 jam sejak mulai perawatan.
4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa infeksi
sebelumnya.8-11

EPIDEMIOLOGI
Studi prevalensi pada tahun 1987 yang dilakukan
dengan bantuan World Health Organization (WHO) pada 55
rumah sakit di 14 negara yang mewakili 4 wilayah WHO
(Eropa, Mediterania Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik
Barat) mendapatkan rerata 8,7% pasien rumah sakit
mengalami infeksi nosokomial. Dari hasil survei tersebut

Infeksi nosokomial

didapatkan frekuensi tertinggi infeksi nosokomial dilaporkan


oleh rumah sakit di wilayah Mediterania Timur dan Asia
Tenggara berturut-turut 11,8% dan 10,0%, sedangkan
prevalensi di wilayah Eropa dan Pasifik Barat berturutturut 7,7% dan 9,0% .3,4
Penelitian oleh Lynch dkk. pada tahun 1997
memperoleh prevalensi terkecil infeksi nosokomial yang
ditemukan pada beberapa negara di Eropa dan Amerika
berkisar kurang dari 1%, sedangkan prevalensi tertinggi
ditemukan pada negara di Asia, Amerika Latin, Afrika
bagian Sahara sebesar 40%.4
Di Italia, sekitar 6,7% pasien rawat inap mengalami
infeksi nosokomial pada tahun 2000 (sekitar 450.000
700.000 pasien), yang menyebabkan kematian pada 4500
7000. Di Perancis, prevalensi infeksi nosokomial
sebesar 6,87% pada tahun 2001 dan meningkat menjadi
7,5% pada tahun 2006.1 Di Indonesia, penelitian yang
dilakukan di 11 rumah sakit di DKI Jakarta pada tahun
2004 menunjukkan bahwa 9,8% pasien rawat inap
mendapat infeksi nosokomial.12
Penelitian WHO dan lainnya menunjukkan bahwa
prevalensi tertinggi infeksi nosokomial terjadi pada unit
rawat intensif/ ICU, bangsal bedah, dan ortopedi; lebih
dari 30% infeksi nosokomial terjadi di ICU.1,3,4,9 Infeksi
nosokomial tersering adalah infeksi pada luka operasi,
infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas bawah, dan
infeksi pada aliran darah.3,9

PEMBAGIAN INFEKSI NOSOKOMIAL


Menurut sistem National Nosocomial Infections
Surveillance (NNIS) dari Centers for Diseases Control
and Prevention (CDC) tahun 1994, ada 13 lokasi utama
dan 48 lokasi spesifik infeksi nosokomial.10
Tabel 1. Daftar kode lokasi utama infeksi nosokomial dan lokasi
spesifik infeksi nosokomial pada kulit dan jaringan
lunak.10
Kode
UTI
SSI
PNEU
BSI
BJ
CNS
EENT
GI
LRI
REPR
SST
- SKIN
- ST
- DECU
- BURN
- BRST
- UMP
- PUST
- CIRC
SYS

Lokasi infeksi nosokomial


Urinary Tract Infection
Surgical Site Infection
Pneumonia
Bloodstream Infection
Bone and Joint Infection
Central Nervous System Infection
Eye, Ear, Nose, Throat, or Mouth Infection
Gastrointestinal System Infection
Lower Respiratory Tract Infection, Other Than Pneumonia
Reproductive Tract Infection
Skin and Soft Tissue Infection
Skin
Soft tissue
Decubitus ulcer
Burn
Breast abscess or mastitis
Omphalitis
Infant pustulosis
Newborn circumcision
Systemic Infection

37

MDVI

Vol. 39. No.1 Tahun 2012: 36-41

PATOGENESIS

3.

Infeksi nosokomial disebabkan oleh virus, jamur,


parasit; dan bakteri merupakan patogen paling sering pada
infeksi nosokomial.2,8 Patogen tersebut harus diperiksa
pada semua pasien dengan demam yang sebelumnya
dirawat karena penyakit tanpa gejala demam.8
Faktor predisposisi terjadinya infeksi nosokomial pada
seseorang antara lain :
a. Status imun yang rendah (pada usia lanjut dan
bayi prematur).
b. Tindakan invasif, misalnya intubasi endotrakea,
pemasangan kateter, pipa saluran bedah, dan
trakeostomi.
c. Pemakaian obat imunosupresif dan antimikroba.
d. Transfusi darah berulang.8,9

4.

Penularan oleh patogen di rumah sakit dapat terjadi


melalui beberapa cara :
1. Penularan melalui kontak merupakan bentuk
penularan yang sering dan penting infeksi
nosokomial. Ada 3 bentuk, yaitu:
a. Penularan melalui kontak langsung:
melibatkan kontak tubuh dengan tubuh
antara pejamu yang rentan dengan yang
terinfeksi.
b. Penularan melalui kontak tidak langsung:
melibatkan kontak pada pejamu yang rentan
dengan benda yang terkontaminasi misalnya
jarum suntik, pakaian, dan sarung tangan.
c. Penularan melalui droplet, terjadi ketika
individu yang terinfeksi batuk, bersin,
berbicara, atau melalui prosedur medis
tertentu, misalnya bronkoskopi.
2. Penularan melalui udara yang mengandung
mikroorganisme yang mengalami evaporasi, atau
partikel debu yang mengandung agen infeksius.
Mikroorganisme yang terbawa melalui udara
dapat terhirup pejamu yang rentan yang berada
pada ruangan yang sama atau pada jarak yang
jauh dari sumber infeksi. Sebagai contoh
mikroorganisme Legionella, Mycobacterium
tuberculosis, Rubeola, dan virus varisela

38

Penularan melalui makanan, air, obat-obatan dan


peralatan yang terkontaminasi.
Penularan melalui vektor, misalnya nyamuk,
lalat, tikus, dan kutu.2,9,13

Bagan 1. Sumber infeksi di rumah sakit11

Bagan 2. Rantai penularan infeksi nosokomial12

Beberapa jamur, misalnya Candida albicans, Aspergillus


sp., Cryptococcus neoformans, Cryptosporidium yang
merupakan organisme oportunistik dapat menyebabkan
infeksi selama pasien mendapat pengobatan dengan
antibiotika spektrum luas dan dalam keadaan imunosupresif
berat.2,9

LH Nasution

Infeksi nosokomial

Tabel 1. Mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial.8


Lokasi
Saluran
kemih

Jenis mikroorganisme
Gram-negative enteric
Jamur
Enterococci

Persentase
50%
25%
10%

Luka operasi

Staphylococcus aureus
Pseudomonas
Coagulase-negative Staphylococci
Enterococci, jamur, Enterobacter,
dan Escherichia coli

20%
16%
15%
< 10%

Darah

Coagulase-negative Staphylococci
Enterococci
Jamur
Staphylococcus aureus
Enterobacter species
Pseudomonas

40%
11,2%
9,65%
9,3%
6,2%
4,9%

GEJALA KLINIS
Tanda dan gejala sistemik infeksi nosokomial sama
dengan infeksi lainnya, yaitu demam, takikardia, takipneu,
ruam kulit, dan malaise.8 Gejala dan tanda tersebut timbul
dalam waktu 48 jam atau lebih setelah pasien di rawat di
rumah sakit, atau dalam 30 hari setelah pasien keluar dari
rumah sakit.1
Sumber infeksi nosokomial dapat dicurigai jika
terdapat penggunaan alat dalam prosedur medis, sebagai
contoh pemasangan pipa endotrakeal yang dapat dihubungkan dengan sinusitis, otitis, trakeitis, dan pneumonia;
pemasangan kateter intravaskular dapat menyebabkan
flebitis; kateter Foley dapat dihubungkan dengan infeksi
saluran kemih oleh karena kandida.8

INFEKSI NOSOKOMIAL DALAM BIDANG


DERMATOLOGI
Kulit dan epitel saluran nafas, saluran cerna, dan
saluran kemih merupakan sawar fisik yang melindungi
pejamu dari lingkungan luar. Epidermis dapat mencegah
penetrasi mikroba ke kulit.14
Beberapa dermatosis ditandai dengan adanya
pengelupasan kulit yang luas sehingga rentan terhadap
infeksi nosokomial. Laporan penelitian oleh Asati dkk. tahun
2008 yang dilakukan di bangsal dermatologi semua Fakultas
Kedokteran di India memperoleh 40 dari 860 pasien rawat
inap (4,65%) mengalami sepsis nosokomial; kebanyakan
pasien menderita penyakit vesikobulosa (42,5%),
eritroderma (25%), dan nekrosis epidermal toksik
(22,5%). Dari 40 pasien, 17 (42,5%) di antaranya
mengalami sepsis berat, dan 15 (37,5%) meninggal.5

Sarcoptes scabiei sering menyebabkan wabah skabies


di rumah sakit. Penularan skabies terjadi melalui kontak kulit
dengan kulit serta kontak seksual.2,15 Skabies Norwegia
merupakan sumber utama penularan skabies pada pasien lain
dan tenaga medis karena memiliki jumlah tungau sebesar 2
juta pasien dibandingkan dengan 10-15 tungau pada skabies
klasik.15
Skabies nosokomial sering ditemukan. Dilaporkan
adanya 19 wabah skabies yang terjadi di 16 rumah sakit.
Pada semua wabah yang terjadi, sumber utama penularan
adalah pasien imunokompromais, terutama pasien
HIV/AIDS atau pasien usia lanjut, pasien yang mendapat
pengobatan glukokortikoid dalam jangka panjang atau
pasien dengan penyakit kronis. Skabies nosokomial
memiliki gambaran klinis yang tidak khas. Kebanyakan
skabies pada pasien HIV/AIDS didiagnosis salah sebagai
dermatitis seboroik atau eksema, dan baru dicurigai
sebagai skabies ketika tidak ada respons terhadap terapi
yang diberikan.15
Pada ulkus dekubitus sering terjadi infeksi nosokomial.
Bakteri yang sering diisolasi adalah S. aureus (yang paling
sering), Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Proteus
mirabilis, Enterobacter cloacae, Serratia marcescens,
Streptococcus group G, Staphylococcus grup A,
Enterococcus, dan Acinetobacter sp. Bakteri anaerob juga
dapat ditemukan. Ulkus dekubitus dapat menyebabkan
bakterimia dan menimbulkan komplikasi, misalnya
osteomielitis, endokarditis, sepsis, dan kematian.16
Penggunaan glukokortikoid dan obat imunosupresif
lainnya dalam jangka panjang pada beberapa penyakit kulit
merupakan faktor risiko terjadinya infeksi nosokomial.5
Glukokortikoid berinteraksi dengan faktor transkripsi yang
berperan penting dalam respons inflamasi. Melalui
penghambatan activator protein-1 (AP-1) dan nuclear factor
(NF)-kB, glukokortikoid dapat menurunkan transkripsi
berbagai gen penghasil sitokin, molekul adhesi (intracellular
adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan E-selectin), enzim
peradangan dan growth factor. Glukokortikooid juga
menghambat tumor necrosis factor- (TNF- ), granulocytemacrophage colony stimulating factor, dan berbagai
interleukin (IL-1, IL-2, IL-6, dan IL-8).17,18 Selain itu,
glukokortikoid juga mencegah aktivasi dan proliferasi sel T
melalui penghambatan produksi IL-2 dan reseptor IL-2.19
Efek imunosupresif dari glukokortikoid meningkatkan
kerentanan pasien terhadap berbagai infeksi bakteri, virus,
jamur, dan parasit.17
Obat imunosupresan lainnya, misalnya siklofosfamid bekerja sebagai imunosupresan dengan membunuh
sel limfosit yang teraktivasi, juga sebagai depresan
sumsum tulang.19
Di bidang dermatologi, penggunaan dermoskopi yang
berkontak langsung dengan permukaan kulit mungkin
merupakan sumber penularan infeksi nosokomial. Staufer
dkk. pernah mengisolasi Staphylococcus aureus dan

39

MDVI

organisme lainnya dari dermoskopi yang menggunakan


minyak mineral sebagai minyak imersinya.20
Penelitian prospektif oleh Dettenkofer dkk. terhadap
1450 pasien di bangsal dermatologi dari bulan November
1999 sampai Desember 2000 memperoleh 37 kasus
infeksi nosokomial dari 35 pasien (33 pasien dengan satu
infeksi nosokomial dan 2 pasien dengan dua infeksi
nosokomial). Dua puluh satu kasus (57%) mengalami
infeksi pada tempat operasi, 8 kasus (22%) mengalami
infeksi saluran kemih, 7 kasus (19%) mengalami infeksi
pada kulit dan jaringan lunak lainnya, dan satu kasus
mengalami infeksi pada aliran darah. Mikroorganisme
patogen yang paling sering diisolasi adalah Staphylococcus
aureus (40%) dan Escherichia coli (18%).21

TATALAKSANA
Pengobatan infeksi nosokomial bergantung pada
etiologi yang mendasarinya. Infeksi nosokomial pada
daerah bedah atau ulkus dekubitus dapat dilakukan
debridement. Sampel dari jaringan harus di kultur untuk
identifikasi patogen yang dicurigai.8
Pada skabies nosokomial dapat diobati dengan
antiskabies topikal atau oral. Penggunaan antiskabies
topikal, yaitu permetrin 5%, dan lindan 1% dianjurkan 2
kali selang seminggu, sedangkan sulfur presipitatum 5-10%
selama 3 hari berturut-turut. Ivermektin oral diberikan
dengan dosis 200 g/kgBB sebagai dosis tunggal dan dapat
diulang dalam 10-14 hari. Ivermektin oral diindikasikan
pada pasien imunosupresif, penyakit yang berat, pada
keadaan wabah dan kasus dengan lesi yang berat.16,22
PENCEGAHAN
Pencegahan infeksi nosokomial memerlukan rencana
yang terintegrasi dan terprogram, terdiri atas:
1. Membatasi penularan organisme dari atau antar pasien
dengan cara mencuci tangan, menggunakan sarung
tangan, tindakan aseptik, isolasi pasien, sterilisasi, dan
desinfeksi.
2. Mengontrol risiko penularan dari lingkungan.
3. Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotik profilaksis yang tepat, nutrisi yang cukup, dan vaksinasi.
4. Mengurangi risiko infeksi endogen dengan cara
mengurangi prosedur invasif dan menggunakan
antimikroba secara optimal.
5. Pengamatan infeksi, identifikasi, dan pengendalian
wabah.
6. Pencegahan infeksi pada tenaga medis.
7. Edukasi terhadap tenaga medis.23

40

Vol. 39. No.1 Tahun 2012: 36-41

Pengurangan penularan infeksi dari orang ke orang dapat


melalui :
1. Mencuci tangan. Tangan tidak pernah bebas dari
berbagai macam kuman. Kuman tersebut dapat
berasal dari benda atau alat yang terkontaminasi, atau
merupakan flora normal. Kebiasaan cuci tangan
sebelum melakukan suatu pekerjaan menjadi penting
dalam upaya pencegahan infeksi. Kepatuhan mencuci
tangan pada tenaga medis belum optimal karena
beberapa alasan, yaitu kurangnya peralatan yang
tersedia, alergi terhadap bahan pembersih tangan,
kurangnya pengetahuan tenaga medis mengenai
prosedur cuci tangan, dan lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk mencuci tangan.
2. Higiene personal. Kuku harus bersih dan dipotong
pendek, kumis, dan janggut harus dipotong pendek
dan bersih serta rambut harus diikat.
3. Pakaian. Bahan pakaian harus dari bahan yang
mudah dicuci dan didekontaminasi. Pakaian harus
diganti setelah terpajan darah, menjadi basah karena
keringat berlebihan, atau terpajan cairan lainnya.
4. Penggunaan masker bertujuan untuk melindungi
pasien dan tenaga medis. Penggunaan masker oleh
tenaga medis saat bekerja di ruang operasi dan saat
merawat pasien imunokompromais memberikan
perlindungan untuk pasien. Tenaga medis harus
memakai masker ketika merawat pasien dengan
infeksi yang ditularkan melalui udara, atau ketika
melakukan bronkoskopi. Pasien dengan infeksi yang
ditularkan melalui udara harus menggunakan masker
ketika berada di luar ruang isolasi.
5. Penggunaan sarung tangan perlu saat melakukan
tindakan bedah, merawat pasien imunokompromais,
dan saat melakukan tindakan invasif.
6. Tindakan injeksi yang aman dengan menggunakan
jarum dan spuit steril; jika mungkin gunakan yang
sekali pakai.23,24
Untuk mengurangi penularan mikroorganisme dari
peralatan dan lingkungan, diperlukan tindakan pembersihan,
desinfeksi dan sterilisasi. Kebijakan dan prosedur tertulis
yang diperbaharui secara rutin harus dikembangkan pada
setiap fasilitas rumah sakit.23
Pasien dengan skabies harus diisolasi selama 24 jam
setelah pengobatan. Tenaga medis harus menggunakan
sarung tangan saat kontak dengan pasien dan selama 24
jam setelah pengobatan. Pada skabies Norwegia, selain
sarung tangan, tenaga medis juga harus menggunakan
baju panjang dan sepatu tertutup. Pakaian dan peralatan
tidur harus dicuci dengan air panas dan dijemur. Barang
yang tidak bisa dicuci harus diberi insektisidal misalnya
kloramine 5%, dan disimpan di dalam kantung plastik
selama 10 hari atau dalam lemari pendingin pada suhu
200C selama 72 jam.15

LH Nasution

KESIMPULAN
Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang berasal
atau terjadi di rumah sakit. Dalam bidang dermatologi,
infeksi tersebut tidak menjadi perhatian karena tidak
menyebabkan kematian secara langsung, tetapi secara
umum menjadi penting karena berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas. Pengelupasan kulit yang luas
pada beberapa dermatosis, dan penggunaan glukokortikoid atau obat imunosupresif lainnya dalam jangka
panjang pada beberapa penyakit kulit merupakan faktor
risiko terjadinya infeksi nosokomial. Beberapa penyakit
kulit juga dapat menimbulkan infeksi nosokomial. Pemahaman akan tindakan pencegahan diperlukan untuk
mengatasi infeksi nosokomial.

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.

3.

4.

5.

6.

7.
8.
9.

Nosocomial infection. [disitasi 21 Januari 2009]. Tersedia


dari : www.en.wikipedia.org/wiki/Nosocomial_infection.
Epidemiology of nosocomial infections. Dalam : Ducel G,
Fabry J, Nicolle L, penyunting. Prevention of hospitalacquired infections, a practical guide. Edisi ke-2. Malta :
World Health Organization; 2002. h. 4-8. [disitasi 21
Januari
2009].
Tersedia
dari
:
www.who.int/csr/resources/publications/drugresist/en/who
cdscsreph200212.pdf.
Introduction. Dalam : Ducel G, Fabry J, Nicolle L,
penyunting. Prevention of hospital-acquired infections, a
practical guide. Edisi ke-2. Malta : World Health
Organization; 2002. h. 1-3. [disitasi 21 Januari 2009].
Tersedia
dari
:
www.who.int/csr/resources/publications/drugresist/en/who
cdscsreph200212.pdf.
Preventing nosocomial infections. [disitasi 22 Januari
2009].
Tersedia
dari
:
www.reproline.jhu.edu/english/4morerh/4ip/IP_manual/20
_Nosocomial.pdf.
Asati DP, Sharma VK, Khandpur S, Khilnani GC, Kapil A.
Clinicoetiological study of nosocomial sepsis in dermatology
ward. 13th International congress on infectious diseases
abstracts, poster presentations 2008:e353.
Bhatia A. Nosocomial infections and IV infusion systems.
2004. [disitasi 25 Januari 2009]. Tersedia dari :
www.expresshealthcaremgmt.com/20040915/management02.
shtml.
Satyaputra DW. Pengendalian infeksi nosokomial di RSU
Bekasi. Cermin Dunia Kedokteran 1993;82:18-20.
Nguyen QV. Hospital-acquired infections. Last updated
2009 Jan 14. [disitasi 22 Januari 2009]. Tersedia dari :
www.emedicine.medscape.com/article/967022-overview.
Broaddus E, Fu R. Hospital-acquired infections. [disitasi
21
Januari
2009].
Tersedia
dari
:
www.case.edu/med/epidbio/mphp439/Hospital_Acquired_
Infections.htm.

Infeksi nosokomial

10. CDC definitions of nosocomial infections. [disitasi 23 Januari


2009].
Tersedia
dari
:
www.medicalcollege.kku.edu.sa/pgcme/Nosocomial/CDC
Definitions.pdf.
11. Hasbullah T, Pengendalian infeksi nosokomial di RS
Persahabatan Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran.
1993;82:8-12.
12. Infeksi nosokomial dan kewaspadaan universal. [disitasi
26
Januari
2009].
Tersedia
dari
:
www.spiritia.or.id/cst/dok/ku1.pdf.
13. Williams WW. Guideline for infection control in hospital
personnel. [disitasi 25 Januari 2009]. Tersedia dari :
www.wonder.cdc.gov/wonder/PrevGuid/p0000446/p0000
446.asp.
14. Modlin RL, Kim J, Maurer D, Bangert C, Stingl G. Innate
and adaptive immunity in the skin. Dalam : Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell
DJ, penyunting. Fitzpatricks dermatology in general
medicine. Edisi ke-7. New York : McGraw Hill; 2008. h.
95-114.
15. Vorou R, Remoudaki HD, Maltezou HC. Nosocomial
scabies. Journal of Hospital Infection. 2007; 65: 9-14.
16. Phillips TJ, Odo LM. Decubitus (pressure) ulcers. Dalam :
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ, penyunting. Fitzpatricks dermatology in
general medicine. Edisi ke-7. New York : McGraw Hill;
2008. h. 878-86.
17. Jackson S, Gilchrist H, Nesbitt LT. Update on the dermatologic use of systemic glucocorticosteroids. Dermatologic
Therapy 2007; 20: 187-205.
18. Helmy N, Munasir Z. Pemakaian cetirizine dan
kortikosteroid pada penyakit alergi anak. Dexa Media.
2007; 20: 68-73.
19. Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. Edisi ke-7. Jakarta :
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2004. h. 409-29.
20. Kelly SC, Purcell SM. Prevention of nosocomial infection
during dermoscopy?. Dermatol Surg. 2006; 32: 552-5.
21. Dettenkofer M, Wilson C, Ebner W, Norgauer J, Ruden H,
Daschner FD. Surveillance of nosocomial infections in
dermatology patients in a German University hospital. Br
J Dermatol. 149: 620-3.
22. Stone SP, Goldfarb JN, Bacelieri RE. Scabies, other mites,
and pediculosis. Dalam : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting.
Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ke-7.
New York : McGraw Hill; 2008. h. 2029-37.
23. Prevention of nosocomial infection. Dalam : Ducel G,
Fabry J, Nicolle L, penyunting. Prevention of hospitalacquired infections, a practical guide. Edisi ke-2. Malta :
World Health Organization; 2002. h. 30-7. [disitasi 21
Januari
2009].
Tersedia
dari
:
www.who.int/csr/resources/publications/drugresist/en/who
cdscsreph200212.pdf
24. Musadad DA, Lubis A, Kosnodiharjo. Kebiasaan cuci
tangan petugas rumah sakit dalam pencegahan infeksi
nosokomial. Cermin Dunia Kedokteran. 1993; 82: 28-31.

41

You might also like