You are on page 1of 55

`

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan hasil dan pembahasan dari data yang diolah untuk
mengetahui rantai nilai dan mendapatkan nilai tambah pada sistem industri
peternakan ayam pedaging di Kabupaten Lima Puluh Kota. Dalam bab ini
diuraikan beberapa hal meliputi identifikasi pelaku dalam rantai pasok,
identifikasi komponen pendapatan dan pengeluaran setiap pelaku, pola rantai nilai
dan saluran pemasaran, pembagian nilai tambah setiap pelaku dan distribusi nilai
tambah.

4.1 Identifikasi Pelaku dalam Rantai Pasok


Dalam industri peternakan ayam pedaging terdapat sejumlah pelaku yang
berperan sejak dari penyediaan sarana produksi peternakan, hingga penyaluran
dan pendistribusian produk ayam pedaging kepada konsumen akhir. Pelaku yang
terlibat dalam aliran produksi dan pemasaran tersebut terdiri dari perusahaan
mitra, poultry shop, peternak (produsen), pedagang, konsumen. Disamping itu
terdapat berbagai instansi yang terkait dengan industri peternakan ayam pedaging
seperti Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota, dan Dinas Perindustrian
dan Perdagangan Kabupaten Lima Puluh Kota.

4.1.1

Perusahaan Mitra Peternak


Perusahaan mitra berperan dalam menyediakan sarana produksi peternak

yang ingin mendirikan usaha peternakan ayam pedaging, peternak ini dinamakan
peternak mitra. Perusahaan mitra mendapatkan pasokan dari pemasok bahan
pakan ayam pedaging, pemasok day old chicken (DOC), pemasok obat-obatan

ayam pedaging, dll. Perusahaan mitra menyediakan bahan pakan, day old chicken
(DOC), obat-obatan dan vitamin sedangkan kandang dan perlengkapan kandang
serta tenaga kerja disediakan oleh peternak. Setiap kali menjelang pengiriman
DOC, perusahaan mitra menginspeksi kondisi dan kelengkapan kandang sesuai
dengan standar operasional kandang. Sebelumnya, perusahaan mitra akan
mengadakan perjanjian (kontrak) dengan peternak bahwa hasil ternak (ayam
pedaging yang siap dikonsumsi) akan dijual kepada perusahaan mitra dengan
harga yang telah ditetapkan dan peternak tidak memiliki hak untuk menjual
kepada pihak lain. Dengan adanya perjanjian ini meskipun harga jual dipasaran
lebih tinggi atau lebih rendah dari harga kontrak seluruhnya di tanggung oleh
perusahaan mitra. Pada hasil penelitian, perusahaan mitra yang didapatkan, yaitu
PT Ciomas, PT Ciomas ex PKP dan PT SMU.

4.1.2

Poultry Shop
Poultry shop mendapatkan pasokan bahan pakan ayam pedaging, pasokan

day old chicken (DOC), pasokan obat-obatan ayam pedaging, dll. Pemasok bahan
pakan merupakan perusahaan besar yang terdapat di Indonesia, yaitu PT Japfa
Comfeed Indonesia; dan PT Charoen Pokphand. Sedangkan pemasok obat-obatan,
yaitu PT Mensana. Pemasok memasarkan produknya melalui perusahaan mitra
yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota.
Pelaku ini sangat dibutuhkan oleh peternak mandiri, yaitu peternak yang
tidak bekerjasama dengan perusahaan mitra. Peternak mandiri juga memasarkan
hasilnya sendiri kepada pelaku lain dan menetapkan harga jual sendiri. Dalam
pelaksanaannya,

peternak

mandiri

menentukan

harga

jual

dengan

mempertimbangkan harga jual yang ditawarkan oleh perusahaan mitra. Hali ini
perlu dilakukan karena jika peternak mandiri menawarkan harga terlalu tinggi,
maka ayam tidak laku dijual di pasaran sehingga harus tetap dipelihara di kandang
yang menyebabkan tambahan biaya pakan dan biaya lainnya.
4.1.3
Peternak

Peternak ayam pedaging terdiri menjadi dua macam, yaitu peternak mitra
dan peternak mandiri. Peternak merupakan pelaku yang memiliki peranan paling
penting karena peternak merupakan produsen pada rantai nilai sistem industri
peternakan ayam pedaging. Jumlah peternak ayam pedaging di Kabupaten Lima
Puluh Kota adalah 862 peternak (Dinas Peternakan, 2013). Pada saat penelitian
dilakukan ditemukan bahwa jumlah peternak mitra jauh lebih banyak
dibandingkan dengan peternak mandiri. Hal ini terjadi karena banyaknya peternak
mandiri yang mengalami kerugian karena harga pakan dan bahan kebutuhan
lainnya yang tinggi sedangkan harga jual yang rendah. Harga jual tidak dapat
dikendalikan sepenuhnya oleh peternak mandiri bahkan cukup sering terjadi harga
jual tidak mampu menutupi biaya produksi. Salah satu penyebabnya adalah
kesulitan peternak mandiri dalam memasarkan hasil ternak. Karena itu, banyak
peternak mandiri yang beralih ke peternak mitra, karena merasa lebih
menguntungkan jika bekerja sama dengan perusahaan mitra atau beralih pada
usaha lainnya.
4.1.4

Pedagang Pengumpul (Tauke)


Pedagang pengumpul atau disebut juga tauke merupakan pelaku yang

mengumpulkan ayam pedaging dari beberapa perusahaan mitra di Kabupaten


Lima Puluh Kota. Pedagang pengumpul (tauke) mendatangi peruahaan mitra
untuk mengetahui harga jual ayam pedaging kemudian membeli ayam pedaging
dari perusahaan mitra. Perusahaan mitra memberikan informasi kepada peternak
untuk mengeluarkan ayam dari kandang. Kemudian, pedagang pengumpul (tauke)
menjemput ayam pedaging di kandang peternak. Setelah pengumpul mendapatkan
ayam pedaging, maka ayam akan didistribusikannya kepada pelaku rantai nilai
selanjutnya, yaitu pedagang besar dan pedagang kecil. Pedagang pengumpul
(tauke) mendistribusikan ayam ke pedagang-pedagang yang berdomisili di daerah
Padang, Bukittingi, Pekanbaru, Dumai, Duri, dll. Pedagang di daerah tersebut
sebagai penentu harga jual ayam pedaging.

4.1.5

Pedagang
Pelaku ini terbagi menjadi dua, yaitu pedagang besar dan pedagang kecil.

Perbedaan antara pedagang besar dan pedagang kecil adalah jumlah ayam yang
dijual, dimana pedagang besar menjual ayam dalam jumlah besar sedangkan
pedagang kecil dalam jumlah kecil dan biasanya diperutukan langsung untuk
konsumen sebagai konsumsi sendiri. Pedagang besar ayam pedaging terdapat
ditempat daerah pusat pusat konsumsi dan daerah sentra produksi. Pedagang
besar mendapatkan barang dari tauke ayam pedaging, sedangkan pedagang kecil
memperoleh ayam pedaging dari tauke atau dari pedagang besar. Pedagang besar
menjual ayam kepada pedagang kecil atau konsumen besar, seperti hotel, restoran
dan rumah makan. Sedangkan pedagang kecil menjual ayam kepada konsumen
sesuai dengan harga pasaran di daerah masing-masing. Harga yang diperoleh
pedagang kecil telah dikendalikan oleh para pedagang besar dan tauke sehingga
konsumen hanya bisa mendapatkan harga pastinya dari pedagang kecil.
4.1.6

Konsumen
Pelaku rantai nilai terakhir dalam industri ayam pedaging adalah

konsumen. Konsumen terbagi menjadi dua macam, yaitu konsumen besar dan
konsumen kecil. Dimana yang termasuk ke dalam konsumen besar adalah
konsumen untuk rumah makan sedangkan untuk konsumen kecil adalah
kebutuhan konsumsi rumah tangga. Konsumen dapat membeli ayam pada
pedagang besar dan pedagang kecil di daerah masing-masing, seperti di pasar
daerah ataupun tukang sayur.
4.2 Pola Rantai Nilai dan Saluran Pemasaran
Pola rantai nilai merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengetahui
pola, peranan, dan aktivitas yang dilakukan oleh setiap pelaku bisnis yang terdapat
dalam rantai nilai industri ayam pedaging. Secara keseluruhan, rantai nilai pada

industri ayam pedaging ditunjukkan pada Gambar 4.1. Berbagai aktivitas yang
terdapat pada satu rantai nilai bertujuan untuk menciptakan dan meningkatkan
nilai tambah serta keunggulan kompetitif bagi perusahaan atau pelaku yang
terdapat dalam satu rantai nilai. Selain itu, dapat diketahui posisi tawar masingmasing pelaku pada rantai nilai industri peternakan ayam pedaging sehingga
kedepannya dapat dilakukan perbaikan dalam hubungan antar aktor yang terlibat
dalam satu rantai nilai tersebut, jika memang ada hubungan antar aktor yang tidak
saling menguntungkan.
Hasil analisis pemetaan rantai nilai yang dilakukan pada sistem industri
peternakan ayam pedaging, terdapat delapan aktor yang terlibat dalam rantai nilai,
yaitu 1) Peternak, seperti Peternak Mitra; dan Peternak Mandiri; 2) Perusahaan
Mitra, seperti PT Ciomas; PT Ciomas ex. PKP; dan PT SMU 3) Tauke, seperti
Tauke Ajo; Tauke Alvin; dan Tauke Dian 4) Pedagang Besar, seperti Pasar Pagi;
Pasar Raya; Balai Baru; dan Pasar Siteba 5) Pedagang Kecil 6) Konsumen Besar
dan 7) Konsumen Kecil. Pemasaran ayam pedaging yang dilakukan bukan hanya
untuk daerah Kabupaten Lima Puluh Kota, tetapi daerah di luar Kabupaten Lima
Puluh Kota, seperti Jakarta, Padang, Pekanbaru, Duri, dan Dumai. Secara
keseluruhan, rantai nilai pada industri ayam ras pedaging ditunjukkan pada
Gambar 4.1:

Gambar 4.1 Rantai Nilai Sistem Industri Peternakan Ayam Ras Pedaging di
Kabupaten Lima Puluh Kota
Gambar 4.1 merupakan hasil penelitian menunjukkan pola rantai nilai
sistem industri peternakan ayam pedaging dimulai dari pembelian sarana produksi
oleh peternak kepada perusahaan mitra atau poultry shop untuk dibudidayakan.
Selain sarana produksi, poultry shop juga menyediakan perlengkapan kandang,
seperti tempat minum, tempat makan, dan peralatan ayam pedaging lainnya.
Setelah ayam pedaging nasuk kedalam masa panen, peternak menjual ayam
pedaging melalui pedagang pengumpul. Pengangkutan ayam pedaging biasanya
dilakukan oleh pedagang pengumpul yang membeli kepada peternak dengan
menggunakan mobil bak terbuka seperti mobil L300 dan mobil diesel. Dapat
dilihat bahwa peternak sebagai produsen, perusahaan mitra sebagai stakeholders,
dan konsumen sebagai pasar akhir. Bagi peternak mandiri sebagai pelaku
produsen ayam pedaging juga sebagai penentu harga awal untuk harga ayam
pedaging itu sendiri yang menjual hasil panennya ke pedagang pengumpul.

Sedangkan untuk peternak mitra sebagai pelaku produsen ayam pedaging tidak
dapat sebagai penentu harga awal untuk harga ayam pedaging itu sendiri karena
telah ditentukan oleh perusahaan mitra sebagai stakeholders yang menetapkan
harga jual hasil panennya kepada pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul
membawa ayam dari Kabupaten Lima Puluh kota memiliki risiko bagi pedagang
pengumpul, seperti risiko ayam mati selama diperjalanan akan mengurangi
pendapatan dari pedagang pengumpul. Ayam pedaging yang terdapat di pedagang
pengumpul kemudian didistibusikan kepada pedagang besar dan pedagang kecil
agar dapat didistribusikan kepada konsumen akhir.
Konsumen sangat berperan penting dalam menentukan jumlah kebutuhan
permintaan ayam pedaging di pasaran. Melalui permintaan dari konsumen
mengakibatkan harga ayam pedaging di pasaran sering mengalami fluktuasi. Oleh
karena itu, konsumen ayam pedaging yang terdapat pada Kabupaten Lima Puluh
Kota ataupun di daerah pemasaran lainnya pada saat ini membutuhkan
ketersediaan ayam pedaging secara berkala. Jika terjadi fluktuasi harga, banyak
pelaku yang merasa dirugikan karena harga dapat berubah menjadi lebih tinggi
ataupun lebih rendah dari harga biasa yang ada.
Tabel 4.1 merupakan saluran rantai nilai industri peternakan ayam
pedaging di Kabupaten Lima Puluh Kota. Saluran pemasaran yang terdapat di
Kabupaten Lima Puluh Kota melibatkan seluruh pelaku produsen dan
stakeholders. Para stakeholders membantu peternak dalam memasarkan ayam
pedaging dengan cepat ke tangan konsumen akhir, akan tetapi jika semakin
panjang saluran pemasaran maka semakin tinggi harga yang akan diterima
konsumen.

Tabel 4.1

Saluran Rantai Nilai Industri Peternakan Ayam

Pedaging

Pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa industri peternakan ayam pedaging
menggunakan berbagai macam saluran pemasaran dalam mendistribusikan
produknya. Hal ini dimaksudnkan agar jumlah penjualan produk semakin besar,
sehingga nilai tambah yang dihasilkan semakin besar juga. Dalam pemilihan
saluran pemasaran terdapat perbedaan pelaku didalamnya dikarenakan perbedaan
harga jual ayam pedaging, jauh dekatnya jarak dalam hal pengangkutan ayam dan
transportasi, serta wilayah yang dituju untuk dilakukan pendistribusian ayam.
Proses pemasaran ayam pedaging kepada konsumen akhir diawali dengan
pembelian ayam pedaging oleh pedagang pengumpul yang melalui perusahaan
mitra

ataupun

peternak

itu

sendiri.

Kemudian

pedagang

pengumpul

mendistribusikan kepada pedagang besar atau pedagang kecil untuk dapat


menjualnya kepada konsumen akhir. Perbedaan saluran pemasaran bertujuan
untuk memudahkan pedagang pengumpul untuk menyalurkan ayam secara luas ke
wilayah pemasaran di luar daerah Kabupaten Lima Puluh Kota, seperti daerah
Padang, Bukittinggi, Pekanbaru, Dumai, dan Duri. Berdasarkan hasil penelitian
dari keseluruhan sampel peternak yang diperoleh 100% responden menjual ayam

pedaging kepada pedagang pengumpul (tauke). Kemudian terdapat 66,67%


responden pedagang pengumpul yang menjual hasil ternak kepada pedagang besar
dan 33,33% responden pedagang pengumpul yang menjual hasil ternak kepada
pedagang kecil. Setelah itu terdapat 66,67% responden pedagang besar yang
menjual hasil ternak kepada pedagang kecil dan 33,33% responden pedagang
besar yang menjual hasil ternak kepada konsumen akhir. Terakhir, seluruh
pedagang kecil menjual semua hasil ternak kepada konsumen besar atau kecil.
Pemasaran ayam pedaging yang sebagian besar dikuasai oleh pedagang
pengumpul disebabkan karena peternak mitra tidak memiliki kewenangan untuk
menjual hasil ternak dengan sendirinya sehingga pemasaran telah diatur oleh
perusahaan mitra. Perusahan mitra yang akan mencari penyalur ayam pedaging
kepada

konsumen

sehingga

memudahkan

mitra

untuk

memasarkannya.

Perusahaan mitra dengan menjual ayam pedaging kepada pedagang pengumpul


tidak perlu mencari pasar yang berlokasi jauh dan dapat menghemat waktu
penjualan. Pedagang pengumpul mampu menampung banyak ayam karena
pedagang pengumpul sudah memiliki pelanggan tetapnya sehingga ayam dapat
cepat dipasarkan dan perusahaan mitra tidak perlu khawatir dengan adanya
produk yang tidak laku dijual di pasar. Selain itu juga, bagi peternak mandiri hasil
ternak langsung didistribusikan kepada pedagang pengumpul alasannya agar
peternak tidak menambahkan biaya transportasi pengiriman ayam ke wilayah
pasaran yang dituju dalam biaya produksinya sehingga tidak membuat harga ayam
menjadi lebih mahal, selain itu lebih meningkatkan efektif dan efisien peternak
dalam beternak ayam pedaging.

4.2.1

Aliran Aktivitas

dalam

Peternakan Ayam Pedaging

Rantai

Pasok

Sistem

Industri

Aliran aktivitas dalam rantai pasokan sistem industri peternakan ayam


pedaging berguna untuk melihat aliran rantai pasok dari awal sampai akhir. Aliran
aktivitas terdiri dari aliran barang, aliran uang dan aliran informasi.
4.2.1.1

Aliran Barang

Bahan utama yang didistribusikan dalam rantai pasok berawal dari


perusahaan pemasok yang terdiri dari pemasok bahan, pemasok day old chicken
(DOC), dan pemasok obat-obatan dan vitamin. Kemudian pemasok akan
mendistribusikan barangnya kepada perusahaan mitra dan poultry shop (PS). Pada
sistem perusahaan mitra dimana peternak yang bekerja sama dengan mitra akan di
berikan seluruh bahan serta perjanjian kontrak antar mitra dengan peternak selama
satu periode pembesaran ayam pedaging. Peternak mitra tidak mengeluarkan
modal untuk pembelian bahan hanya menyediakan kandang dan peralatan
kandang sesuai dengan standar operasional perusahaan (SOP) yang telah ada.
Sedangkan untuk peternak mandiri harus menyediakan modal untuk membeli
bahan di poultry shop (PS) dan penyediaan kandang serta peralatan kandang.
Kemudian produk yang dihasilkan oleh peternak mitra didistrinbusikan
kembali kepada perusahaan mitra karena perusahaan mitra yang memiliki
kewenangan untuk memasarkan produk tersebut, peternak tidak tahu berapakah
harga ayam di pasaran. Sedangkan pada peternak mandiri akan mendistribusikan
secara langsung hasil produk ke pasaran. Harga ayam di pasaran berfluktuatif,
dimana saat harga tinggi peternak mandiri akan mendapatkan keuntungan
sedangkan saat harga rendah peternak mandiri akan mendapatkan kerugian.
Karena terjadi ketidak stabilan harga ini yang menyebabkan peternak mandiri
banyak yang gulung tikar atas usahanya karena pendapatan yang diterima tidak
sebanding dengan pengeluarannya yang besar. Harga bahan yang tinggi
disebabkan oleh seluruh bahan ayam pedaging disediakan oleh perusahaan.
Perusahaan telah mengalami perkembangan yang sangat pesat sekali di kanca
sistem indutri peternakan ayam pedaging saat ini.

Perusahaan yang menetapkan berapa harga jual dari bahan tersebut.


Dimana perusahaan melihat dari kebutuhan bahan serta ketersediaan bahan. Jika
bahan sulit untuk didapatkan, maka harga bahan akan meninggi dan peternak
mandiri tidak akan melakukan pembesaran ayam karena besar resiko yang akan
diterima karena harga jual ayam tidak meningkat. Sedangakn untuk sistem
perusahaan mitra ini bernaung terhadap perusahaan pemasok, dimana perusahaan
pemasok menerima bahan dari perusahaan sehingga perusahaan mitra tidak
masalah jika harga bahan sedang tinggi. Sedangkan untuk penentuan harga jual
ayam di pasaran yang memiliki kuasa untuk menetapkannya adalah perusahaan
mitra karena peternak mandiri mengikuti harga pasar yang ditawarkan oleh
perusahaan mitra. Jika harga ayam peternak mandiri lebih tinggi dari harga yang
ditawarkan oleh perusahaan mitra, maka produk tidak laku jual, konsumen akan
mencari harga yang rendah, yaitu yang ditawarkan oleh perusahaan mitra.
Hasil produk dari perusahaan mitra dan peternakan mandiri kemudian
didistribusikan kepada pedagang pengumpul (tauke). Hasil produk dikirimkan
kepada pedagang besar dan pedagang kecil di dalam daerah Kabupaten Lima
Puluh Kota dan di luar daerah Kabupaten Lima Puluh Kota. Terdapat pedagang
besar yang mendistribusikan ayam kepada pedagang kecil (pengecer). Kemudian
pedagang menditribusikan ayam pedaging kepada konsumen besar, seperti rumah
makan dan restoran serta konsumen kecil seperti kebutuhan rumah tangga.
4.2.1.2

Aliran Uang

Modal merupakan komponen terpenting dalam rantai pasok sistem industri


peternakan ayam pedaging di Kabupaten Lima Puluh Kota yang digunakan untuk
peternak mandiri membeli bahan, peternak menyediakan kandang dan peralatan
kandang, peternak dalam melakukan pembesaran ayam pedaging, pedagang
pengumpul (tauke) yang melakukan pembelian hasil produk kepada peternak dan
perusahaan mitra, pedagang yang membeli ayam pedaging dari pedagang

pengumpul (tauke). Modal usaha untuk pembelian sarana produksi dan upah
tenaga kerja menggunakan modal sendiri.
Aliran uang yang terjadi dalam rantasi pasok sistem industri peternakan
ayam pedgaing di Kabupaten Lima Puluh Kota bersifat searah. Kelancaran aliran
uang dari pedagang pengumpul (tauke) kepada perusahaan mitra ataupun dari
pedagang pengumpul kepada peternak mandiri sangat baik, maka pendistribusian
ayam pedaging akan lancar. Berdasarkan hasil penelitian aliran uang yang terdapat
pada pedagang pengumpul (tauke) kepada perusahaan mitra ataupun peternak
mandiri kurang lancar.
Pedagang pengumpul (tauke) kepada perusahaan mitra ataupun peternak
mandiri membeli ayam pedaging melakukan pembayaran dengan sistem cicilan
atau dibayar di belakang, dimana pedagang pengumpul (tauke) mebayar uang
muka kepada perusahaan mitra ataupun peternak mandiri kemudian menjualkan
ayam pedaging tersebut kepada pedagang sampai habis terjual dengan harga jual
yang sesuai dengan pasaran sehingga keuntungan yang didapatkan dari hasil
jualan tersebut akan di bayarkan kembali kepada perusahaan mitra ataupun
peternak mandiri. Aliran uang dipengaruhi oleh permintaan, sehingga ketika
permintaan meningkat, maka aliran uang lancar dan ketika permintaan ayam
pedaging menurun, maka aliran uangpun tersendat. Keterbatasan modal yang
terjadi dalam rantai pasok ini sering terjadi sehingga terjadi kemacetan
pendistribusian produk kepada konsumen di pasaran.
4.2.1.3

Aliran Informasi

Aliran informasi merupakan komponen yang sangat penting untuk


diperhatikan untuk mencapai tujuan dari rantai pasok. Jika terjadi aliran informasi
yang baik, maka dapat terciptanya hubungan yang baik kepada setiap pelaku
rantai pasok. Aliran informasi pada rantai pasok sistem industri peternakan ayam
pedaging di Kabupaten Lima Puluh Kota terdiri dari informasi harga ayam di

pasaran, informasi permintaan ayam pedaging, informasi sarana produksi,


informasi teknis beternak ayam pedaging.
Informasi mengenai harga ayam dan jumlah permintaan ayam merupakan
hal yang penting untuk di ketahui oleh seluruh anggota rantai pasok. Pedagang
besar atau pedagang kecil sebagai pihak yang berhubungan langsung dengan
konsumen mampu menyampaikan hal tersebut secara transparan kepada seluruh
pelaku rantai pasok sistem industri peternakan ayam pedaging. Selama ini
penyampaian informasi harga ayam dilakukan dalam pergaulan keseharian pelaku
rantai pasok, dimana dapat dilihat berapa permintaan ayam di pasaran dan berapa
banyak penawaran ayam yang ada.
Aliran informasi dalam bentuk sarana produksi dan informasi teknis
beternak ayam pedaging biasanya diperoleh secara turun temurun dan dari
pergaulan keseharian pelaku rantai pasok dengan masyarakat sekitar. Selain itu
juga, bentuk sarana produksi dan informasi teknis beternak ayam pedaging dapat
diperoleh informasi dari pemberian informasi yang dilakukan oleh perusahaan
mitra kepada peternak binaannya. Dengan dilakukannya pembinaan tersebut,
dapat di latih kemampuan seseorang untuk mampu dalam beternak ayam
pedaging.

4.3 Analisis Pendapatan dan Pengeluaran Setiap Pelaku


Pendapatan adalah aliran masuk harta-harta (aktiva) yang timbul dari
penyerahan barang atau jasa yang dilakukan oleh suatu unit usaha selama satu
periode tertentu (Baridwan, 2000). Pengeluaran adalah pendapatan lazim dalam
perusahaan dan merupakan jumlah kotor yang dibebankan kepada pelanggan atas
barang dan jasa (Simamora, 2001). Seluruh pelaku yang terlibat dalam rantai nilai
industri peternakan ayam pedaging di Kabupaten Lima Puluh Kota memiliki
pendapatan dan pengeluaran untuk menjalankan usahanya. Pendapatan dan
pengeluaran yang diterima oleh setiap pelaku rantai pasok berbeda-beda.

4.3.1

Analisis Pendapatan dan Pengeluaran Perusahaan Mitra


Perusahaan mitra merupakan pelaku sistem industri peternakan ayam

pedaging yang menyediakan pasokan bahan yang dibutuhkan oleh peternak,


seperti pakan ayam pedaging, day old chicken (DOC), serta obat-obatan dan
vitamin. Biaya pendapatan yang didapatkan oleh perusahaan mitra berasal dari
penjualan bahan peternakan ayam pedaging yang dijualnya kepada peternak dan
penjualan ayam pedaging kepada pedagang pengumpul (tauke). Sedangkan untuk
pengeluarannya adalah seperti perusahaan mitra membayar gaji karyawan, biaya
pembelian bahan, biaya operasional perusahaan mitra, dan biaya invesatsi. Biayabiaya tersebut yang didapatkan dan dikeluarkan oleh perusahaan mitra setiap
periodenya.
Tabel 4.2 Pendapatan dan Pengeluaran Masing-Masing Perusahaan
Mitra
No

Uraian

Pendapatan
Penjualan Ayam
Pedaging (Rp/Tahun)
Total Pendapatan
(Rp/Tahun)
Biaya Tenaga Kerja
(Rp/Tahun)
Biaya Operasional
Mitra (Rp/Tahun)
Biaya Bahan
Biaya Pakan Starter
(Rp/Tahun)
Biaya Pakan Finisher
(Rp/Tahun)
Biaya OVK
(Rp/Tahun)
Biaya DOC
(Rp/Tahun)

2
3
4

Mitra A

Perusahaan Mitra
Mitra B

Mitra C

Rp147,262,500,000 Rp154,912,500,000 Rp161,032,500,000


Rp147,262,500,000 Rp154,912,500,000 Rp161,032,500,000
Rp

888,000,000

Rp

852,000,000

Rp

42,000,000

Rp

44,400,000

Rp 1,261,200,000
Rp

36,000,000

Rp 5,506,000,000

Rp 4,326,400,000

Rp 17,832,000,000

Rp 7,368,000,000

Rp 5,683,200,000

Rp 26,442,000,000

Rp 2,025,000,000

Rp 1,890,000,000

Rp 1,350,000,000

Rp 4,075,000,000

Rp 20,076,000,000

Rp 14,655,000,000

Total Biaya Bahan


(Rp/Tahun)
Total Biaya Produksi
(Rp/Tahun)
Pendapatan

Rp 8,974,000,000

Rp 81,975,600,000

Rp 60,279,000,000

Rp 9,904,000,000
Rp 7,358,500,000

Rp 82,872,000,000
Rp 72,040,500,000

Rp 61,576,200,000
Rp 99,456,300,000

Data yang di ambil pada perusaahaan mitra di Kabupaten Lima Puluh


Kota sebanyak 3 data, yaitu Mitra A, Mitra B dan Mitra C. Ketiga perusahaan
mitra ini merupakan perusahaan mitra yang memiliki populasi terbanyak di
Kabupaten Lima Puluh Kota. Berdasarkan Tabel 4.2 menunjukkan bahwa
penjualan perusahaan mitra paling sedikit adalah mitra A dan penjualan
perusahaan mitra paling banyak adalah mitra C. Total biaya produksi perusahaan
mitra paling banyak adalah mitra A dan total biaya produksi perusahaan mitra
paling sedikit adalah mitra C. Sehinga pendapatan perusahaan mitra paling sedikit
adalah mitra A dan pendapatan perusahaan mitra paling banyak adalah mitra C.
Perusahaan mitra C telah mampu menjadikan perusahaan mitra yang unggul
dibandingkan lainnya.
Tabel 4.3 Rata-Rata dan Persentase Biaya Perusahaan Mitra
No
1

2
3
4

Uraian
Pendapatan
Penjualan Ayam Pedaging
(Rp/Tahun)
Total Pendapatan
(Rp/Tahun)
Biaya Tenaga Kerja
(Rp/Tahun)
Biaya Operasional
(Rp/Tahun)
Biaya Bahan
Biaya Pakan Starter
(Rp/Tahun)
Biaya Pakan Finisher
(Rp/Tahun)
Biaya OVK (Rp/Tahun)
Biaya DOC (Rp/Tahun)

Rata-Rata Biaya
Perusahaan Mitra

Rp154,402,500,000
Rp154,402,500,000
Rp 1,000,400,000
Rp

40,800,000

Rp 22,554,800,000
Rp 33,164,400,000
Rp 1,755,000,000
Rp 19,602,000,000

Persentase Biaya
Perusahaan
Mitra (%)

100%
100%
1.28%
0.05%

28.87%
42.45%
2.25%
25.09%

Total Biaya Bahan


(Rp/Tahun)
Total Biaya Produksi (Rp/Tahun)
Pendapatan
Berdasarkan Tabel 4.3 seluruh

Rp 77,076,200,000

98.67%
Rp 78,117,400,000
100%
Rp 76,285,100,000
49.41%
pendapatan rata rata perusahaan mitra

sampel adalah sebesar Rp 154.402.500.000 per tahun dengan pengeluaran rata


rata sebesar Rp. 78.117.400.000 per tahun. Pengeluaran yang paling tinggi terletak
pada pembelian bahan terutama pembelian bahan pakan finisher ayam pedaging
sebesar 42,45% dari total pengeluaran. Selain itu diikuti dengan pembelian bahan
pakan starter ayam pedaging sebesar 28.87%. Pada perusahaan mitra besarnya
pembelian pakan disebabkan karena pakan merupakan komponen paling penting
dalam meningkatkan produktivitas ayam pedaging. Jika kebutuhan pakan terhadap
ayam kurang, maka dapat mempengaruhi kesehatan ayam dan bobot ayam juga
kurang baik. Sehingga pendapatan perusahaan mitra kini mencapai 49,41% dari
hasil pengurangan pendapatan dengan pengeluaran. Perusahaan mitra telah
mendapatkan pendapatan hampir mencapai setengah dari penjualan yang ada
sehingga perusahaan mitra sudah mampu untuk mendapatkan keuntungan yang
besar.

4.3.2

Analisis Pendapatan dan Pengeluaran pada Tingkat Poultry Shop


Pendapatan pada poultry shop (PS) adalah penjualan bahan peternakan

ayam pedaging yang dibeli oleh peternak mandiri, seperti pakan, day old chicken
(DOC), obat-obatan dan vitamin. Pengeluaran poultry shop (PS) adalah seperti
poultry shop (PS) membayar gaji karyawan, biaya pembelian pakan, day old
chicken (DOC), obat-obatan dan vitamin., biaya operasional poultry shop (PS),
dan biaya investasi. Biaya ini yang didapatkan dan dikeluarkan oleh poultry shop
setiap periodenya.

Tabel 4.4 Pendapatan dan Pengeluaran pada Tingkat Poultry Shop


(PS)
No
1

3
4
5
6

Poultry Shop (PS)

Uraian
Pendapatan
Penjualan Pakan Ayam Pedaging
(Rp/Tahun)
Penjualan DOC (Rp/Tahun)
Penjualan OVK (Rp/Tahun)
Penjualan Peralatan Ayam Pedaging
(Rp/Tahun)
Total Pendapatan (Rp/Tahun)
Pembelian
Pembelian Pakan Ayam Pedaging
(Rp/Tahun)
Pembelian DOC (Rp/Tahun)
Pembelian OVK (Rp/Tahun)
Pembelian Peralatan Ayam Pedaging
(Rp/Tahun)
Total Pembelian (Rp/Tahun)
Biaya Tenaga Kerja (Rp/Tahun)
Biaya Operasional PS (Rp/Tahun)
Biaya Penyusutan Kendaraan
(Rp/Tahun)
Biaya Sewa Toko (Rp/Tahun)
Total Biaya Produksi (Rp/Tahun)
Pendapatan

PS 1

PS 2

Rp 900,000,000
Rp 360,000,000
Rp 78,000,000

Rp1,140,000,000
Rp 420,000,000
Rp 102,000,000

Rp 60,000,000
Rp 398,000,000

Rp 72,000,000
Rp1,734,000,000

Rp 756,000,000
Rp 240,000,000
Rp 60,000,000

Rp 960,000,000
Rp 300,000,000
Rp 84,000,000

Rp 36,000,000
Rp1,092,000,000
Rp 120,000,000
Rp 36,000,000
Rp
7,000,000

Rp 48,000,000
Rp1,392,000,000
Rp 72,000,000
Rp 60,000,000
Rp
6,000,000

Rp

Rp

8,000,000

Rp1,263,000,000
Rp 135,000,000

10,000,000

Rp1,540,000,000
Rp 194,000,000

Berdasarkan Tabel 4.4 data yang di ambil pada poultry shop (PS) di
Kabupaten Lima Puluh Kota sebanyak 2 data, yaitu PS A dan PS B. Berdasarkan
hasil penelitian menunjukkan bahwa penjualan poultry shop (PS) paling sedikit
adalah PS A dan penjualan perusahaan mitra paling banyak adalah PS B. Total
biaya produksi poultry shop (PS) paling banyak adalah PS B dan total biaya
produksi perusahaan mitra paling sedikit adalah PS A. Sehinga pendapatan
poultry shop (PS) paling sedikit adalah PS A dan pendapatan poultry shop (PS)
paling banyak adalah PS B.Kkeseimbangan antara pendapatan dengan
pengeluaran yang dilakukan oleh PS B.

Tabel 4.5 Rata-Rata dan Persentase Biaya Poultry Shop (PS)


No
1

3
4
5
6

Uraian

Pendapatan
Penjualan Pakan Ayam Pedaging
(Rp/Tahun)
Penjualan DOC (Rp/Tahun)
Penjualan OVK (Rp/Tahun)
Penjualan Peralatan Ayam Pedaging
(Rp/Tahun)
Total Pendapatan (Rp/Tahun)
Pembelian
Pembelian Pakan Ayam Pedaging
(Rp/Tahun)
Pembelian DOC (Rp/Tahun)
Pembelian OVK (Rp/Tahun)
Pembelian Peralatan Ayam
Pedaging (Rp/Tahun)
Total Pembelian (Rp/Tahun)
Biaya Tenaga Kerja (Rp/Tahun)
Biaya Operasional (Rp/Tahun)
Biaya Penyusutan Kendaraan
(Rp/Tahun)
Biaya Sewa Toko (Rp/Tahun)
Total Biaya Produksi (Rp/Tahun)
Pendapatan

Biaya Poultry
Shop (PS)

Rp1,020,000,000
Rp 390,000,000
Rp 90,000,000
Rp

66,000,000

Rp1,566,000,000
Rp 858,000,000
Rp 270,000,000
Rp 72,000,000
Rp

42,000,000

Rp1,242,000,000
Rp 96,000,000
Rp 48,000,000
Rp

6,500,000

Rp
9,000,000
Rp1,401,500,000
Rp 164,500,000

Persentase
Biaya Poultry
Shop (%)

65.13%
24.90%
5.75%
4.21%
100%

61.22%
19.27%
5.14%
3.00%
88.62%
6.85%
3.42%
0.46%
0.64%
100%
10.50%

Berdasarkan Tabel 4.5 seluruh pendapatan rata rata poultry shop (PS)
sampel adalah sebesar Rp 1.566.500.000 per tahun dengan pengeluaran rata rata
sebesar Rp. 1.401.500.000 per tahun. Pengeluaran yang paling tinggi terletak pada
pembelian bahan terutama pembelian bahan pakan ayam pedaging sebesar
61,22% dari total pengeluaran. Selain itu diikuti dengan pembelian DOC sebesar
19,27%. Pendapatan poultry shop (PS) mencapai 10,50% dari hasil pengurangan
pendapatan dengan pengeluaran. Pada poultry shop (PS) besarnya pembelian
pakan disebabkan karena pakan merupakan komponen paling penting dalam
meningkatkan produktivitas ayam pedaging. Keuntungan poultry shop (PS) dalam
menjual bahan peternakan ayam pedaging yang diperoleh masih sangat minim

jika dibandingkan dengan total pengeluaran yang harus dikeluarkan. Sehingga


poultry shop tidak hanya menjual bahan peternakan ayam pedaging saja, tetapi
menjual bahan peternakan ayam petelur, ayam kampong, dll untuk meningkatkan
pendapatan.

4.3.3

Analisis Pendapatan dan Pengeluaran pada Tingkat Peternak


Biaya pendapatan yang didapatkan oleh peternak adalah penjualan hasil

ternak ayam pedaging kepada perusahaan mitra, dimana perusahaan mitra yang
akan memasarkan hasil produk tersebut kepada pedagang pengumpul (tauke).
Sedangkan untuk pengeluarannya adalah seperti peternak membayar gaji
karyawan, biaya pembelian bahan, biaya operasional, biaya investasi, dll. Biaya
ini yang didapatkan dan dikeluarkan oleh peternak setiap periodenya.
Tabel 4.6 Pendapatan dan Pengeluaran pada Tingkat Peternak Mitra
No

<= 5000

Kategori Populasi
5001-10000

>10000

Rp 107,918,966

Rp475,712,669

Rp249,634,855

Rp

2,163,600

Rp 11,516,667

Rp 6,170,000

Rp

1,824,000

Rp 10,126,667

Rp 5,670,000

Rp 111,906,566

Rp497,356,002

Rp261,474,855

Rp 25,200,000

Rp 86,000,000

Rp 45,000,000

Rp 11,884,800

Rp 38,546,667

Rp 27,310,000

Rp

4,103,269

Rp 7,494,671

Rp 5,141,636

Rp 20,623,940

Rp 42,170,320

Rp 23,530,765

Rp 61,812,010
Rp 50,094,556

Rp174,211,657
Rp323,144,345

Rp100,982,401
Rp160,492,454

Uraian

Pendapatan
Penjualan Ayam Pedaging
(Rp/Tahun)
Penjualan Kotoran Ayam
(Rp/Tahun)
Penjualan Karung Bekas
(Rp/Tahun)
Total Pendapatan
(Rp/Tahun)
Biaya Tenaga Kerja
2 (Rp/Tahun)
Biaya Operasional
3 Peternakan (Rp/Tahun)
Biaya Penyusutan Pendirian
4 Usaha (Rp/Tahun)
Biaya Penyusutan Investasi
5 (Rp/Tahun)
Total Biaya Produksi (Rp/Tahun)
Pendapatan

Berdasarkan Tabel 4.6 data yang di ambil pada peternakan mitra di


Kabupaten Lima Puluh Kota sebanyak 3 kategori populasi, yaitu populasi
<=5000, 5001-10000, dan >10000. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
bahwa penjualan paling sedikit terdapat pada populasi <=5000 dan penjualan
paling banyak terdapat pada populasi 5001-10000. Total biaya produksi paling
banyak terdapat pada populasi 5001-10000 dan total biaya produksi perusahaan
mitra paling sedikit terdapat pada populasi <=5000. Sehinga pendapatan paling
banyak terdapat pada populasi 5001-10000 dan paling sedikit terdapat pada
populasi <=5000. Populasi <= 5000 memiliki pendapatan yang kecil, karena
jumlah populasi yang kecil sehingga pendapatan yang diperoleh sedikit sedangkan
pengeluarannya banyak, begitu juga sebaliknya pada populasi 5001-10000
memiliki pendapatan yang besar, karena jumlah populasi yang besar, sehingga
pendapatan yang diperoleh besar sedangkan pengeluarannya banyak.
Tabel 4.7 Rata-Rata dan Persentase Biaya Peternak Mitra
No

Uraian

Pendapatan
Penjualan Ayam Pedaging
(Rp/Tahun)
Penjualan Kotoran Ayam
(Rp/Tahun)
Penjualan Karung Bekas
(Rp/Tahun)
Total Pendapatan (Rp/Tahun)
Biaya Tenaga Kerja
2 (Rp/Tahun)
Biaya Operasional Peternakan
3 (Rp/Tahun)
Biaya Penyusutan Pendirian
4 Usaha (Rp/Tahun)
Biaya Penyusutan Investasi
5 (Rp/Tahun)
Total Biaya Produksi (Rp/Tahun)
Pendapatan

Biaya Peternak

Persentase Biaya
Peternak (%)

Rp277,755,497

95.70%

Rp

6,616,756

2.28%

Rp

5,873,556

2.02%

Rp290,245,808

100%

Rp 52,066,667

46.35%

Rp 25,913,822

23.07%

Rp

5,579,859

4.97%

Rp 28,775,008

25.62%

Rp112,335,356
Rp177,910,452

100%
61.30%

Berdasarkan Tabel 4.7 seluruh pendapatan rata rata peternakan ayam


mitra sampel adalah sebesar Rp 290.245.808 per tahun dengan pengeluaran rata
rata sebesar Rp 112.335.356 per tahun. Pengeluaran yang paling tinggi terletak
pada pembayaran biaya tenaga kerja sebesar 46,35% dari total pengeluaran. Selain
itu diikuti dengan biaya penyusutan investasi 25,62%. Sedangkan pendapatan
yang paling tinggi terletak pada penjualan ayam pedaging sebesar 95,70%.
Pendapatan peternakan ayam mitra mencapai 61,30% dari hasil pengurangan
pendapatan dengan pengeluaran. Keuntungan peternakan mitra telah mendapatkan
pendapatan lebih dari setengah dari penjualan yang ada. Ini yang menyebabkan
banyak peternakan mitra di Kabupaten Lima Puluh Kota. Walalupun keuntungan
peternakan mitra sudah melebihi dari setengah hasil penjualan, tetapi peternak
tetap mengalami kerugian karena banyaknya ayam yang mati. Jika ayam banyak
yang mati, maka peternak merugi karena pengeluaran pembelian bahan terlalu
banyak dan hasil penjualan berkurang. Persentase kematian ayam pedaging di
tingkat mitra sekitar 4%. Persentase kematian di tingkat peternakan mitra lebih
besar dibandingkan pada tingkat peternak mandiri karena jumlah populasi
peternakan yang terlalu banyak sehingga dalam melakukan pembesaran selama
masa panen anak kandang kurang dapat mengelola ayam dengan baik.
Tabel 4.8 merupakan pendapatan dan pengeluaran pada tingkat peternak
mandiri dalam rantai nilai sistem industri peternakan ayam pedaging:
Tabel 4.8 Pendapatan dan Pengeluaran pada Tingkat Peternak
Mandiri
No
1

Kategori Populasi
<= 5000
5001-10000

Uraian
Pendapatan
Penjualan Ayam Pedaging
(Rp/Tahun)
Penjualan Kotoran Ayam
(Rp/Tahun)
Penjualan Karung Bekas
(Rp/Tahun)
Total Pendapatan
(Rp/Tahun)

Rp184,882,500

Rp371,025,000

Rp

360,000

Rp

Rp

2,880,000

Rp188,122,500

540,000

Rp 2,520,000
Rp374,085,000

Bahan
Biaya Pakan Starter
(Rp/Tahun)
Biaya Pakan Finisher
(Rp/Tahun)
Biaya OVK (Rp/Tahun)
Biaya DOC (Rp/Tahun)
Total Biaya Bahan
(Rp/Tahun)
Biaya Tenaga Kerja
3 (Rp/Tahun)
Biaya Operasional Peternak
4 (Rp/Tahun)
Biaya Penyusutan Pendirian
5 Usaha (Rp/Tahun)
Biaya Penyusutan Investasi
6 (Rp/Tahun)
Total Biaya Produksi (Rp/Tahun)
Pendapatan

Rp 19,222,500

Rp 34,750,000

Rp 32,700,000

Rp 55,165,000

Rp 7,200,000
Rp 93,600,000

Rp 14,400,000
Rp185,940,000

Rp152,722,500

Rp290,255,000

Rp 18,000,000

Rp 18,000,000

Rp 10,020,000

Rp 21,000,000

Rp

3,214,286

Rp

4,588,235

Rp

1,641,641

Rp

7,532,480

Rp185,598,427
Rp 2,524,073

Rp341,375,715
Rp 32,709,285

Tabel 4.8 merupakan data yang di peroleh pada peternakan mandiri di


Kabupaten Lima Puluh Kota sebanyak 2 kategori populasi, yaitu populasi
<=5000, dan 5001-10000. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa
penjualan paling sedikit terdapat pada populasi <=5000 dan penjualan paling
banyak terdapat pada populasi 5001-10000. Total biaya produksi paling banyak
terdapat pada populasi 5001-10000 dan total biaya produksi perusahaan mitra
paling sedikit terdapat pada populasi <=5000. Sehinga pendapatan paling banyak
terdapat pada populasi 5001-10000 dan paling sedikit terdapat pada populasi
<=5000. Populasi <= 5000 memiliki pendapatan yang kecil, karena jumlah
populasi yang kecil sehingga pendapatan yang diperoleh sedikit sedangkan
pengeluarannya banyak, begitu juga sebaliknya pada populasi 5001-10000
memiliki pendapatan yang besar, karena jumlah populasi yang besar, sehingga
pendapatan yang diperoleh besar sedangkan pengeluarannya banyak. Hasil
penelitian untuk peternak mandiri didapatkan sama dengan peternakan mitra,
karena populasi 5001-10000 memiliki pendapatan paling besar dibandingkan
lainnya.
Tabel 4.9 Rata-Rata dan Persentase Biaya Peternak Mandiri

No
1

3
4
5
6

Uraian
Pendapatan
Penjualan Ayam Pedaging (Rp/Tahun)
Penjualan Kotoran Ayam (Rp/Tahun)
Penjualan Karung Bekas (Rp/Tahun)
Total Pendapatan (Rp/Tahun)
Bahan
Biaya Pakan Starter (Rp/Tahun)
Biaya Pakan Finisher (Rp/Tahun)
Biaya OVK (Rp/Tahun)
Biaya DOC (Rp/Tahun)
Total Biaya Bahan (Rp/Tahun)
Biaya Tenaga Kerja (Rp/Tahun)
Biaya Operasional Peternak
(Rp/Tahun)
Biaya Penyusutan Pendirian Usaha
(Rp/Tahun)
Biaya Penyusutan Investasi
(Rp/Tahun)
Total Biaya Produksi (Rp/Tahun)
Pendapatan

Biaya Peternak

Persentase Biaya
Peternak (%)

Rp 277,953,750
Rp
450,000
Rp
2,700,000
Rp 281,103,750

98.88%
0.16%
0.96%
100%

Rp 26,986,250
Rp 43,932,500
Rp 10,800,000
Rp 139,770,000
Rp 221,488,750
Rp 18,000,000

10.24%
16.67%
4.10%
53.05%
84.06%
6.83%

Rp

15,510,000

5.89%

Rp

3,901,261

1.48%

Rp

4,587,061

1.74%

Rp 263,487,071
Rp 17,616,679

100%
6.27%

Berdasarkan Tabel 4.9 seluruh pendapatan rata rata peternakan ayam


mandiri sampel adalah sebesar Rp 281.103.750 per tahun dengan pengeluaran rata
rata sebesar Rp 263.487.071 per tahun. Pengeluaran yang paling tinggi terletak
pada pembelian biaya bahan terutama pada pembelian DOC sebesar 53,05% dari
total pengeluaran. Selain itu diikuti dengan pembelian pakan finisher ayam
pedaging sebesar 16,67%. Sedangkan pendapatan yang paling tinggi terletak pada
penjualan ayam pedaging sebesar 98,88%. Pendapatan peternakan ayam mandiri
hanya mencapai 6,27% dari hasil pengurangan pendapatan dengan pengeluaran.
Keuntungan yang didapatkan peternakan jauh dari yang diharapkan karena terlalu
sedikit pendapatan yang diterima dalam beternak ayam pedaging. Banyak
peternak mandiri yang gulung tikar karena terlalu sedikitnya pendapatan yang
diterima. Jika ayam banyak yang mati, maka peternak merugi karena pengeluaran
pembelian bahan terlalu banyak dan hasil penjualan berkurang. Persentase
kematian ayam pedaging di tingkat mandiri sekitar 2%, ini dikarenakan jumlah

populasi peternakan yang tidak terlalu banyak sehingga dalam melakukan


pembesaran selama masa panen anak kandang dapat mengelola ayam dengan
baik.

4.3.4

Analisis Pendapatan dan Pengeluaran pada Tingkat Pedagang

Pengumpul (Tauke)
Biaya pendapatan yang didapatkan oleh pedagang pengumpul (tauke)
adalah penjualan hasil ternak ayam pedaging yang telah dikumpulkan dari
perusahaan mitra kepada pedagang di berbagai daerah. Sedangkan untuk
pengeluarannya adalah seperti pedagang pengumpul (tauke) membayar gaji
karyawan, biaya pembelian hasil ternak ayam pedaging, biaya operasional, biaya
investasi, dll. Biaya ini yang didapatkan dan dikeluarkan oleh pedagang
pengumpul (tauke) setiap periodenya.
Tabel 4.10 Pendapatan dan Pengeluaran pada Tingkat Pedagang
Pengumpul (Tauke)
No

Pedagang Pengumpul (Tauke)

Uraian

Tauke A
1

2
3
4
5

Penjualan
Penjualan Ayam Pedaging
(Rp/Tahun)
Total Pendapatan
(Rp/Tahun)
Harga Beli Ayam
(Rp/Tahun)
Biaya Tenaga Kerja
(Rp/Tahun)
Biaya Operasional
(Rp/Tahun)
Biaya Penyusutan
Biaya Penyusutan
Keranjang Ayam
(Rp/Tahun)
Biaya Penyusutan

Tauke B

Tauke C

Rp1,579,200,000

Rp1,600,560,000 Rp1,648,896,000

Rp1,579,200,000

Rp1,600,560,000 Rp1,648,896,000

Rp1,360,800,000

Rp1,364,040,000 Rp1,404,480,000

Rp

96,000,000

Rp 100,800,000 Rp 120,000,000

Rp

26,400,000

Rp

30,000,000 Rp

36,000,000

Rp
Rp

1,540,000
17,142,857

Rp
Rp

2,420,000 Rp
18,750,000 Rp

1,888,000
25,500,000

Investasi (Rp/Tahun)
Total Biaya Penyusutan
(Rp/Tahun)
Total Biaya Produksi
(Rp/Tahun)
Pendapatan

Rp

18,682,857

Rp1,501,882,857
Rp 77,317,143

Rp

21,170,000 Rp

27,388,000

Rp1,516,010,000 Rp1,587,868,000
Rp 84,550,000 Rp 61,028,000

Tabel 4.10 merupakan data yang di ambil pada pedagang pengumpul


(tauke) di Kabupaten Lima Puluh Kota sebanyak 2 data, yaitu Tauke A, Tauke B
dan Tauke C. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penjualan
pedagang pengumpul (tauke) paling sedikit adalah Tauke A dan penjualan
pedagang pengumpul (tauke) paling banyak adalah Tauke C. Total biaya produksi
pedagang pengumpul (tauke) paling banyak adalah Tauke C dan total biaya
produksi pedagang pengumpul (tauke) paling sedikit adalah Tauke A. Sehinga
pendapatan pedagang pengumpul (tauke) paling sedikit adalah Tauke C dan
pendapatan pedagang pengumpul (tauke) paling banyak adalah Tauke B.
Keseimbangan antara pendapatan dengan pengeluaran yang dilakukan oleh Tauke
B.
Tabel 4.11 Rata-Rata dan Persentase Biaya Pedagang Pengumpul
(Tauke)
No
1

2
3
4
5

Uraian
Pendapatan
Penjualan Ayam Pedaging (Rp/Tahun)
Total Pendapatan (Rp/Tahun)
Harga Beli Ayam (Rp/Tahun)
Biaya Tenaga Kerja (Rp/Tahun)
Bahan Operasional (Rp/Tahun)
Biaya Penyusutan
Biaya Penyusutan Keranjang Ayam
(Rp/Tahun)
Biaya Penyusutan Investasi
(Rp/Tahun)
Total Biaya Penyusutan (Rp/Tahun)
Total Biaya Produksi (Rp/Tahun)

Biaya Pedagang
Pengumpul
(Tauke)

Persentase
Biaya Tauke
(%)

Rp 1,609,552,000
Rp 1,609,552,000
Rp 1,376,440,000
Rp 105,600,000
Rp
30,800,000

100%
100%
89.66%
6.88%
2.01%

Rp

1,949,333

Rp

20,464,286

Rp
22,413,619
Rp 1,535,253,619

0.13%
1.33%
1.46%
100%

Pendapatan

Rp

74,298,381

4.62%

Berdasarkan Tabel 4.11 seluruh pendapatan rata rata pedagang


pengumpul (tauke) sampel adalah sebesar Rp 1.609.552.000 per tahun dengan
pengeluaran rata rata sebesar Rp 1.535.253.619 per tahun. Pengeluaran yang
paling tinggi terletak pada pembelian ayam pedaging sebesar 89,66% dari total
pengeluaran. Selain itu diikuti dengan biaya tenaga kerja sebesar 6,88%.
Pendapatan pedagang pengumpul (tauke) didapatkan dari penjualan ayam
pedaging sebesar 100%. Pendapatan pedagang pengumpul (tauke) hanya
mencapai 4,62% dari hasil pengurangan pendapatan dengan pengeluaran.
Keuntungan yang didapatkan pedagang pengumpul (tauke) jauh dari yang
diharapkan karena terlalu sedikit pendapatan yang diterima menjadi pedagang
pengumpul (tauke) ayam pedaging. Maka dari itu, pedagang pengumpul (tauke)
tidak hanya menjual ayam pedaging saja tetapi menjual hasil ternak lainnya untuk
mendapatkan tambahan pendapatan.

4.3.5

Analisis Pendapatan dan Pengeluaran pada Tingkat Pedagang


Biaya pendapatan yang didapatkan oleh pedagang adalah penjualan ayam

pedaging yang telah didistribusikan dari pedagang pengumpul (tauke) untuk


pedagang besar dan pedagang kecil sedangkan untuk pedagang kecil mendapatkan
pasokan dari pedagang besar. Sedangkan untuk pengeluarannya adalah seperti
pedagang membeli peralatan pedagang, biaya pembelian ayam pedaging, biaya
operasional, biaya investasi, dll. Biaya ini yang didapatkan dan dikeluarkan oleh
pedagang setiap periodenya.
Tabel 4.12 Pendapatan dan Pengeluaran pada Tingkat Pedagang Besar
No
1

Uraian
Pendapatan
Penjualan Ayam
Pedaging

PB 1

Pedagang Besar
PB 2
PB 3

PB 4

Rp616,000,000 Rp853,825,000 Rp943,600,000 Rp562,275,000

(Rp/Tahun)
Total
Pendapatan
(Rp/Tahun)
Harga Beli Ayam
2 (Rp/Tahun)
Biaya
Penyusutan
Peralatan
Pedagang
3 (Rp/Tahun)
Biaya
Operasional
Pedagang Besar
4 (Rp/Tahun)
5 Biaya Sewa Toko
Total Biaya Produksi
(Rp/Tahun)
Pendapatan

Rp616,000,000 Rp853,825,000 Rp943,600,000 Rp562,275,000


Rp577,500,000 Rp790,125,000 Rp815,360,000 Rp529,200,000

Rp

Rp
Rp

600,000 Rp

800,000

9,600,000 Rp 36,000,000
6,000,000 Rp 10,000,000

Rp

900,000

Rp

500,000

Rp 60,000,000 Rp
Rp 12,000,000 Rp

7,200,000
5,000,000

Rp587,700,000 Rp826,925,000 Rp876,260,000 Rp536,900,000


Rp 28,300,000 Rp26,900,000 Rp 67,340,000 Rp 25,375,000

Pemasaran ayam pedaging dari Kabupaten Lima Puluh Kota dipasarkan ke


beberapa wilayah, salah satunya adalah wilayah Kota Padang. Berdasarkan Tabel
4.12 data yang di ambil pada penelitian ini adalah pedagang besar yang terdapat di
Kota Padang. Dimana data yang di ambil sebanyak 4 data, yaitu PB 1, PB 2, PB 3
dan PB 4. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penjualan pedagang
besar paling sedikit adalah PB 4 dan penjualan pedagang besar paling banyak
adalah PB 3. Total biaya produksi pedagang besar paling banyak adalah PB 3 dan
total biaya produksi pedagang besar paling sedikit adalah PB 4. Sehinga
pendapatan pedagang besar paling sedikit adalah PB 4 dan pendapatan pedagang
besar

paling banyak adalah PB 3. Keseimbangan antara pendapatan dengan

pengeluaran yang dilakukan oleh PB 3.


Tabel 4.13 Rata-Rata dan Persentase Biaya Pedagang Besar
No

Uraian

Pendapatan
Penjualan Ayam Pedaging (Rp/Tahun)

Biaya Pedagang
Besar

Rp 743,925,000

Persentase
Biaya
Pedagang
Besar (%)
100%

2
3
4
5

Total Pendapatan (Rp/Tahun)


Harga Beli Ayam (Rp/Tahun)
Biaya Penyusutan Peralatan
Pedagang (Rp/Tahun)
Biaya Operasional Pedagang Besar
(Rp/Tahun)
Biaya Sewa Toko
Total Biaya Produksi (Rp/Tahun)
Pendapatan

Rp 743,925,000
Rp 678,046,250
Rp

700,000

Rp

28,200,000

Rp
8,250,000
Rp 715,196,250
Rp 28,728,750

100%
94.81%
0.10%
3.94%
1.15%
100%
3,86%

Berdasarkan Tabel 4.13 seluruh pendapatan rata rata pedagang besar


sampel adalah sebesar Rp 743.925.000 per tahun dengan pengeluaran rata rata
sebesar Rp 715.196.250 per tahun. Pengeluaran yang paling tinggi terletak pada
pembelian ayam pedaging sebesar 94,81% dari total pengeluaran. Selain itu
diikuti dengan biaya operasional sebesar 3,94%. Pendapatan pedagang besar
didapatkan dari penjualan ayam pedaging sebesar 100%. Pendapatan pedagang
besar hanya mencapai 3,86% dari hasil pengurangan pendapatan dengan
pengeluaran. Keuntungan yang didapatkan pedagang besar jauh dari yang
diharapkan karena terlalu sedikit pendapatan yang diterima menjadi pedagang
besar.

Tabel 4.14 merupakan pendapatan dan pengeluaran pada tingkat pedagang


kecil dalam rantai nilai sistem industri peternakan ayam pedaging:
Tabel 4.14 Pendapatan dan Pengeluaran pada Tingkat Pedagang Kecil
No

Uraian

Pendapatan
Penjualan Ayam
Pedaging
(Rp/Tahun)

PK 1

Pedagang Kecil
PK 2
PK 3

PK 4

Rp242,200,000 Rp367,500,000 Rp224,910,000 Rp126,175,000

Total
Pendapatan
(Rp/Tahun)
Harga Beli
Ayam
2 (Rp/Tahun)
Biaya
Penyusutan
Peralatan
Pedagang
3 (Rp/Tahun)
Total Biaya Produksi
(Rp/Tahun)
Pendapatan

Rp242,200,000 Rp367,500,000 Rp224,910,000 Rp126,175,000


Rp218,400,000 Rp329,175,000 Rp204,592,500 Rp115,500,000

Rp

160,000 Rp

200,000

Rp

120,000 Rp

Rp218,560,000 Rp329,375,000 Rp204,712,500 Rp115,600,000


Rp 23,640,000 Rp 38,125,000 Rp 20,197,500 Rp 10,575,000

Pemasaran ayam pedaging dari Kabupaten Lima Puluh Kota dipasarkan ke


beberapa wilayah, salah satunya adalah wilayah Kota Padang. Data yang di ambil
pada penelitian ini adalah pedagang kecil yang terdapat di Kota Padang. Dimana
data yang di ambil sebanyak 4 data, yaitu PK 1, PK 2, PK 3 dan PK 4.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penjualan pedagang kecil paling
sedikit adalah PK 4 dan penjualan pedagang kecil paling banyak adalah PK 2.
Total biaya produksi pedagang kecil paling banyak adalah PK 2 dan total biaya
produksi pedagang besar paling sedikit adalah PK 4. Sehinga pendapatan
pedagang kecil paling sedikit adalah PK 4 dan pendapatan pedagang kecil paling
banyak adalah PK 2. Keseimbangan antara pendapatan dengan pengeluaran yang
dilakukan oleh PK 2.
Tabel 4.15 Rata-Rata dan Persentase Biaya Pedagang Kecil
No

100,000

Uraian

Pendapatan
Penjualan Ayam Pedaging
(Rp/Tahun)
Total Penjualan (Rp/Tahun)
2 Harga Beli Ayam (Rp/Tahun)
Biaya Penyusutan Peralatan
3 Pedagang (Rp/Tahun)
Total Biaya Produksi (Rp/Tahun)

Biaya Pedagang
Pengumpul
(Tauke)

Persentase
Biaya
Pedagang Kecil
(%)

Rp

240,196,250

Rp
Rp

240,196,250
216,916,875

Rp

145,000

Rp

217,061,875

100%
100%
99.93%
0.07%
100%

Pendapatan

Rp

23,134,375

9.63%

Berdasarkan Tabel 4.15 seluruh pendapatan rata rata pedagang besar


sampel adalah sebesar Rp 240.196.250 per tahun dengan pengeluaran rata rata
sebesar Rp 217.061.875 per tahun. Pengeluaran yang paling tinggi terletak pada
pembelian ayam pedaging sebesar 99,93% dari total pengeluaran. Biaya
operasional pedagang kecil dianggap tidak ada karena pedagang kecil tidak hanya
menjual ayam di toko tetapi menjual barang-barang kebutuhan lainnya, seperti
sayur mayor dan sembako. Pendapatan pedagang kecil terhadap penjualan ayam
pedaging hanya mencapai 9,63% dari hasil pengurangan pendapatan dengan
pengeluaran. Keuntungan yang didapatkan pedagang kecil sangat sedikit pada
penjualan ayam pedaging. Sehingga pedagang kecil mencari tambahan
pendapatan dengan menjual yang lain.

4.3.6

Analisis Pengeluaran pada Tingkat Konsumen


Konsumen merupakan pelaku terakhir dalam rantai pasok sistem industri

peternakan ayam pedaging. Pada tingkat konsumen tidak terdapat pendapatan


karena konsumen tidak menjual ayam pedaging, namun konsumen hanya untuk
dikonsumsi sendiri atau untuk diolah menjadi makanan atau produk lainnya.
Harga ayam pedaging yang terima oleh konsumen bervariasi, yaitu antara Rp
25.000 Rp 40000 per kg. Biaya pengeluaran konsumen adalah biaya pembelian
yang dilakukan oleh konsumen untuk mencukupi kebutuhannya akan daging
ayam. Konsumen akan mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli daging ayam.
Harga daging ayam berbeda setiap waktunya karena ketersediaan ayam dipasaran
dan kemampuan konsumen untuk membeli ayam.

4.4 Pembagian Nilai Tambah Setiap Pelaku

Pada proses distribusi komoditas peternakan terjadi arus yang mengalir


dari hulu ke hilir, yang berawal dari peternakan dan berakhir pada konsumen
akhir. Komoditas peternakan mendapat perlakuan-perlakuan seperti melakukan
pembesaran selama masa panen, dan melakukan penjualan untuk menambah
kegunaan atau menimbulkan nilai tambah. Sehingga nilai tambah merupakan
adalah suatu pengembangan nilai yang terjadi karena adanya input fungsional,
seperti perlakuan dan jasa yang menyebabkan bertambahnya kegunaan dan nilai
komoditas selama mengikuti arus komoditas pertanian (Hardjanto, 1993). Metode
analisis yang digunakan untuk mengetahui nilai tambah yang diperoleh dari
sistem industri peternakan ayam pedaging sampai masa panen ayam adalah
metode perhitungan nilai tambah model Hayami. Menurut Hayami, et all (1987),
analisis nilai tambah pengolahan produk pertanian dapat dilakukan dengan cara
sederhana, yaitu melalui perhitungan nilai tambah per kilogram bahan baku untuk
satu kali pengolahan yang menghasilkan produk tertentu.
Nilai tambah yang dihasilkan pada industri peternakan ayam pedaging,
selanjutnya didistribusikan kepada pihak-pihak yang terlibat. Setiap pelaku
memiliki distribusi nilai tambah dan keuntungan yang berbeda-beda. Ini dapat
dilihat dari rantai nilai pada masing-masing jalur distribusi. Semakin panjang jalur
distribusi, maka semakin besar pertambahan nilai tambah dari produk tersebut dan
semakin sedikit keuntungan yang bisa diperoleh.
4.4.1

Perusahaan Mitra

Perusahaan mitra merupakan pelaku pada industri peternakan ayam


pedaging yang memfasilitasi sarana produksi kepada peternak mitra. Dalam
penyediaan sarana produksi perusahaan mitra dibutuhkan modal yang besar untuk
membeli sarana produksi, seperti pakan, DOC, serta obat-obatan dan vitamin
untuk ayam pedaging. Selama menjalankan usahanya, perusahaan mitra
mendapatkan imbalan berupa nilai tambah dan keuntungan. Nilai tambah yang
diperoleh perusahaan mitra adalah selisih nilai input yang didapatkan dengan nilai

output yang dikeluarkan untuk menjalankan usaha peternakan ayam pedaging.


Berdasarkan hasil penelitian terdapat tiga kategori perusahaan mitra yang ada di
Kabupaten Lima Puluh Kota untuk menyediakan sarana produksi kepada peternak
mitra, yaitu PT Ciomas, PT Ciomas ax PKP, dan PT MTS.

Rp120,000,000,000
Rp100,000,000,000
Rp80,000,000,000
Rp60,000,000,000
Nilai Tambah (Rp/Tahun)

Keuntungan (Rp/Tahun)

Rp40,000,000,000
Rp20,000,000,000
RpMitra A
Gambar 4.1

Mitra B

Mitra C

Nilai Tambah dan Keuntungan Perusahaan Mitra

Berdasarkan Gambar 4.1 sebaran nilai tambah dan keuntungan terbesar


diterima oleh perusahaan mitra C yaitu sebesar Rp 100.717.500.000 dan
keuntungan sebesar Rp 99.456.300.000. Hal ini disebabkan karena Mitra C telah
lama berdiri dibandingkan kedua mitra yang lainnya, sehingga Mitra C memiliki
pengalaman yang lebih banyak dalam mengembangkan usaha peternakan ayam
pedaging di Kabupaten Lima Puluh Kota. Jika dilihat dari populasi ayam yang
dimiliki oleh ketiga perusahaan mitra, Mitra C memiliki populasi paling sedikit
dibandingkan populasi ayam pada mitra yang lainnya. Dengan populasi yang
sedikit ini Mitra C mampu bersaing dengan perusahaan mitra lainnya dalam
pembesaran bibit ayam. Sehingga Mitra C memiliki bobot ayam yang cukup besar
dan dapat meningkatkan pendapatan perusahaan mitra secara besar. Sebaran nilai

tambah dan keuntungan terkecil diterima oleh perusahaan mitra A yaitu sebesar
Rp 58.246.500.000 dan keuntungan sebesar Rp 57.358.500.000. Hal ini
disebabkan karena banyaknya populasi ayam yang dikelola oleh perusahaan mitra.
Sehingga perusahaan mitra tidak memiliki kebijakan yang ketat kepada peternak
untuk membesarkan bobot ayam sesuai dengan permintaan yang ada.
Selain sebaran nilai tambah dan keuntungan, dapat dilihat dari beberapa
aspek besarnya kontribusi dalam perhitungan nilai tambah pada perusahaan mitra.
Aspek yang ada, yaitu tenaga kerja.

100.00%
90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
Tenaga Kerja
Perusahaan Mitra

50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
Mitra A

Gambar 4.2

Mitra B

Mitra C

Aspek Sebaran Nilai Tambah Perusahaan Mitra

Dapat dilihat pada Gambar 4.2 bahwasannya aspek yang terdapat pada
perusahaan mitra hanya tenaga kerja. Tenaga kerja memiliki kontribusi yang
sangat kecil terhadap perhitungan nilai tambah pada perusahaan mitra. Persentase
tenaga kerja untuk ketiga perusahaan mita sebesar 1,52% untuk Mitra A, 1,17%
untuk Mitra B, dan 1,25% untuk Mitra C. Sehingga aspek tenaga kerja pada
perusahaan mitra yang paling banyak berkontribusi adalah Mitra A karena jumlah
karyawan banyak dan gaji yang dikeluarkan besar.

4.4.2

Poultry Shop (PS)

Poultry shop (PS) merupakan pelaku pada industri peternakan ayam


pedaging yang memfasilitasi sarana produksi kepada peternak mandiri. Dalam
penyediaan sarana produksi perusahaan mandiri dibutuhkan modal yang besar
untuk membeli sarana produksi, seperti pakan, DOC, serta obat-obatan dan
vitamin untuk ayam pedaging. Selama menjalankan usahanya, poultry shop (PS)
mendapatkan imbalan berupa nilai tambah dan keuntungan. Nilai tambah yang
diperoleh Poultry shop (PS) adalah selisih nilai input yang didapatkan dengan
nilai output yang dikeluarkan. Berdasarkan hasil penelitian terdapat dua kategori
Poultry shop (PS) yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota untuk menyediakan
sarana produksi kepada peternak mandiri, yaitu Aneka PS dan Jagad PS.

Rp300,000,000
Rp250,000,000
Rp200,000,000
PS 1
PS 2

Rp150,000,000
Rp100,000,000
Rp50,000,000
RpNilai Tambah (Rp/Tahun)

Gambar 4.3

Keuntungan (Rp/Tahun)

Nilai Tambah dan Keuntungan Poultry Shop (PS)

Berdasarkan Gambar 4.3 sebaran nilai tambah dan keuntungan terbesar


diterima oleh poultry shop (PS) 2 yaitu sebesar Rp 282.000.000 dan keuntungan
sebesar Rp 194.000.000. Hal ini disebabkan karena PS 2 telah lama berdiri

dibandingkan dengan PS 1, sehingga PS 2 memiliki pengalaman yang lebih


banyak dan kuantitas dalam sarana produksi pada PS 2 lebih banyak dibandingkan
PS 1 sehingga jual beli pada PS 2 lebih sering terjadi karena pelanggan yang
dimiliki lebih banyak dibandingkan pada PS 1. Sebaran nilai tambah dan
keuntungan terkecil diterima oleh PS 1 yaitu sebesar Rp 270.000.000 dan
keuntungan sebesar Rp 135.000.000. Hal ini disebabkan karena pelanggan yang
dimiliki masih sedikit dan sarana produksi yang kurang banyak dan lengkap pada
PS 1.
Selain sebaran nilai tambah dan keuntungan, dapat dilihat dari beberapa
aspek besarnya kontribusi dalam perhitungan nilai tambah pada poultry shop (PS).
Aspek yang ada, yaitu tenaga kerja, penyusutan, dan sewa toko.

80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%

PS 1
PS 2

20.00%
10.00%
0.00%

Gambar 4.4

Aspek Nilai Tambah Poultry Shop (PS)

Berdasarkan Gambar 4.4 sebaran nilai tambah terbesar diterima oleh


poultry shop (PS) dalam bentuk keuntungan yaitu sebesar 50% pada PS 1 dan
sebesar 68,79% pada PS 2. Dalam nilai tambah terdapat beberapa faktor yang
menjadi pembagian nilai tambah yang diikuti oleh tenaga kerja sebesar 44,44%

pada PS 1 dan 25,53% pada PS 2, untuk penyusutan sebesar 2,59% pada PS 1 dan
2,13% pada PS 2 dan untuk sewa took sebesar 2,96% pada PS 1 dan 3,55% pada
PS 2. Jika dibandingkan ketiga aspek yang ada bahwasannya aspek tenaga kerja
merupakan aspek terbesar yang menjadi pembagian nilai tambah pada Poultry
Shop (PS). Tenaga kerja dibutuhkan untuk menjaga dan menjalankan usaha
poultry shop. Jumlah karyawan yang terdapat pada PS 2 lebih sedikit dan gaji
yang diberikan juga lebih kecil dibandingkan dengan PS 1 sehingga penerimaan
nilai tambah untuk aspek gaji pada PS 2 lebih sedikit dibandingkan pada PS 1.
Kemudian aspek yang menjadi perhitungan nilai tambah berikutnya adalah
penyusutan dalam bentuk penyusutan kendaraan. Penyusutan kendaraan
dikeluarkan untuk penggantian kendaraan ketika kendaraan tidak mencapai
performansi yang baik untuk menjalankan usaha sehingga perlu dilakukan
anggaran untuk pembelian kendaraan baru. Aspek yang menjadi perhitungan nilai
tambah terakhir adalah sewa toko. Perbedaan harga sewa toko ini disebabkan
karena lokasi yang berbeda diantara keduanya. Pada PS 2 berlokasi di tepi jalan
besar di Kabupaten Lima Puluh Kota pada Kecamatan Mungka, sedangkan pada
PS 1 berlokasi masuk kedalam dari jalan besar di Kabupaten Lima Puluh Kota
pada Kecamatan Guguak. Selain perbedaan lokasi luas bangunan keduanya juga
berbeda, dimana luas bangunan pada PS 2 lebih besar dibandingkan luas
bangunan pada PS 1. Persentase aspek dalam perhitungan nilai tambah ini
menunjukkan bahwa aspek tenaga kerja yang memberikan kontribusi paling besar
dalam penciptaan nilai tambah, karena jumlah tenaga kerja pada industri kecil ini
cukup banyak serta merupakan faktor yang paling penting pada poultry shop (PS).

4.4.3

Peternak

Peternak sebagai pelaku rantai pasok pada industri peternakan ayam


pedaging merupakan pelaku yang bertindak sebagai produsen. Selama
menjalankan usahanya, peternak mendapatkan imbalan berupa nilai tambah dan
keuntungan. Nilai tambah yang diperoleh oleh peternak adalah selisih nilai input

yang didapatkan seperti penjualan ayam pedaging, kotoran dan karung bekas
dengan nilai output yang dikeluarkan seperti pembelian bahan, biaya operasional,
biaya tenaga kerja, dll. Berdasarkan hasil penelitian terdapat dua kategori peternak
yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota, yaitu peternak mandiri dan peternak
mitra. Peternak mitra terdiri dari tiga kategori, yaitu kategori <=5000, 5001-10000
dan >10000. Pengolahan nilai tambah dan keuntungan tertinggi adalah kategori
>10000 sedangkan pengolahan nilai tambah dan keuntungan terendah adalah
kategori <=5000. Gambar merupakan penjelasan dari pengolahan nilai tambah
dan keuntungan pada peternak mitra.

Rp500,000,000
Rp450,000,000
Rp400,000,000
Rp350,000,000
Rp300,000,000
Rp250,000,000
Rp200,000,000
Nilai Tambah (Rp/Tahun)
Rp150,000,000
Rp100,000,000
Rp50,000,000
Rp-

Gambar 4.5

Keuntungan (Rp/Tahun)

Nilai Tambah dan Keuntungan Peternak Mitra

Berdasarkan Gambar 4.5 diketahui bahwasannya peternak mitra kategori


>10000 memperoleh nilai tambah paling besar, yaitu sebesar Rp 458.809.336 dan
keuntungan sebesar Rp 323.144.345. Hal ini disebabkan karena peternak yang
terkategori populasi ini mampu mengelola input yang ada dengan penyediaan
sarana produksi lebih murah dibandingkan kategori populasi yang lainnya serta
penghematan dalam pembelian bahan karena membeli dengan jumlah yang besar

sehingga terdapat potongan harga yang lebih besar diberikan. Persentase kematian
pada peternak mitra yang cukup besar, yaitu sebesar 4% dapat merugikan peternak
mitra karena pengeluaran yang banyak tetapi hasil yang didapatkan kurang
memuaskan. Sehingga pembudidayaan ayam pedaging melalui peternakan mitra
harus lebih baik lagi serta peningkatan pengetahuan dan keahlian peternak lebih
ditingkatkan. Selain itu, peternak mitra kategori <=5000 memperoleh nilai tambah
paling kecil, yaitu sebesar Rp 100.021.766 dan keuntungan sebesar Rp
50.094.556. Hal ini disebabkan karena peternak yang terkategori populasi ini
belom mampu mengelola input yang ada dengan penyediaan sarana produksi
secara lebih murah. Peternak membeli bahan dengan tidak terdapat potongan
harga atau sedikit potongan harga sehingga output yang dikeluarkan menjadi lebih
besar. Dalam peningkatan nilai tambah peternak harus mampu mengelola input
yang ada dengan sebaik mungkin agar pengeluaran output dapat ditekan dengan
sebaik-baiknya.
Selain sebaran nilai tambah dan keuntungan, dapat dilihat dari beberapa
aspek besarnya kontribusi dalam perhitungan nilai tambah pada peternakan mitra.
Aspek yang ada, yaitu tenaga kerja, industri, dan pemerintah.

80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%

<=5000

>10000

5001-10000

30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
Tenaga Kerja

Industri

Pemerintah

Peternak

Gambar 4.6

Aspek Nilai Tambah Peternak Mitra

Berdasarkan Gambar 4.6 sebaran nilai tambah terbesar diterima oleh


peternak mitra dalam bentuk keuntungan yaitu sebesar 50,08% pada kategori
<=5000, 70,43% pada kategori >10000 dan sebesar 68,54% pada kategori 500110000. Dalam nilai tambah terdapat beberapa faktor yang menjadi pembagian
nilai tambah yang diikuti oleh tenaga kerja sebesar 25,19% pada kategori <=5000,
18,74% pada kategori >10000 dan sebesar 19,22% pada kategori 5001-10000,
untuk industri sebesar 20,62% pada kategori <=5000,

9,19% pada kategori

>10000 dan sebesar 10,05% pada kategori 5001-10000 dan untuk pemerintah
sebesar 4,10% pada kategori <=5000, 1,63% pada kategori >10000 dan sebesar
2,20% pada kategori 5001-10000. Jika dibandingkan ketiga aspek yang ada
bahwasannya aspek tenaga kerja merupakan aspek terbesar yang menjadi
pembagian nilai tambah pada peternak mitra. Tenaga kerja dibutuhkan untuk
menjaga kandang, memberi pakan, membersihkan kandang, dan merawat
kandang. Jumlah tenaga kerja diatur oleh berapa banyak populasi ayam pedaging
yang ada, jika populasi ayam <=5000 rata-rata tenaga kerja yang bekerja sebanyak
1 keluarga, jika populasi ayam 5001-10000 rata-rata tenaga kerja yang bekerja
sebanyak 2 keluarga dan jika populasi ayam >10000 rata-rata tenaga kerja yang
bekerja sebanyak 3 keluarga. Sehingga peternak dapat menentukan berapa banyak
tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menjalankan usaha peternakan ayam
pedaging yang dimiliki.
Kemudian aspek yang menjadi perhitungan nilai tambah berikutnya adalah
industri dalam bentuk penyusutan investasi. Penyusutan investasi dikeluarkan
untuk penggantian kandang dan peralatan kandang ketika kandang dan peralatan
kandang harus diganti dengan yang baru karena tidak layak digunakan kembali.
Aspek yang menjadi perhitungan nilai tambah terakhir adalah pemerintah dalam
bentuk pendirian usaha peternakan. Perbedaan aspek ini disebabkan karena luas
bangunan yang ada dan lokasi tempat peternakan. Jika luas bangunan besar, maka
biaya pendirian usaha juga besar begitu juga sebaliknya dan jika lokasi peternakan

jauh dari pemukiman warga, maka biaya pendirian usaha besar begitu juga
sebaliknya. Maka dari itu, lokasi peternakan harus dilihat dengan baik dimana
akan dibangun. Diusahaakan lokas peternak agar jauh dari pemukiman warga
sehingga tidak menggangu kenyamanan masyarakat disekitarnya.
Selain peternakan mitra, terdapat peternakan mandiri yang ada di
peternakan ayam pedaging Kabupaten Lima Puluh Kota. Peternakan mandiri sama
halnya dengan peternakan mitra selama menjalankan usahanya, peternak
mendapatkan imbalan berupa nilai tambah dan keuntungan. Nilai tambah yang
diperoleh oleh peternak adalah selisih nilai input yang didapatkan seperti
penjualan ayam pedaging, kotoran dan karung bekas dengan nilai output yang
dikeluarkan seperti pembelian bahan, biaya operasional, biaya tenaga kerja, dll.
Peternak mandiri terdiri dari dua kategori, yaitu kategori <=5000, dan 500110000. Pengolahan nilai tambah dan keuntungan tertinggi adalah kategori 500110000 sedangkan pengolahan nilai tambah dan keuntungan terendah adalah
kategori

<=5000. Gambar 4.7 merupakan penjelasan dari pengolahan nilai

tambah dan keuntungan pada peternak mandiri.

Rp70,000,000
Rp60,000,000
Rp50,000,000
Rp40,000,000
Rp30,000,000
Rp20,000,000
Rp10,000,000
Rp-

<=5000
5001-10000

Gambar 4.7

Nilai Tambah dan Keuntungan Peternak Mandiri

Berdasarkan Gambar 4.7 diketahui bahwasannya peternak mandiri


kategori 5001-10000 memperoleh nilai tambah paling besar, yaitu sebesar Rp
62.830.000 dan keuntungan sebesar Rp 32.709.285. Hal ini disebabkan karena
peternak yang terkategori populasi ini mampu mengelola input yang ada dengan
penyediaan sarana produksi lebih murah dibandingkan kategori populasi yang
lainnya serta penghematan dalam pembelian bahan karena membeli dengan
jumlah yang besar sehingga terdapat potongan harga yang lebih besar diberikan.
Persentase kematian pada peternak mandiri yang cukup kecil, yaitu sebesar 2%
sehingga dapat menyebabkan kerugian kepada peternak mitra karena pengeluaran
yang banyak tetapi hasil yang didapatkan kurang memuaskan. Sehingga
pembudidayaan ayam pedaging melalui peternakan mitra harus lebih baik lagi
serta peningkatan pengetahuan dan keahlian peternak lebih ditingkatkan. Selain
itu, peternak mandiri kategori <=5000 memperoleh nilai tambah paling kecil,
yaitu sebesar Rp 25.380.000 dan keuntungan sebesar Rp 2.524.073. Hal ini
disebabkan karena peternak yang terkategori populasi ini belom mampu
mengelola input yang ada dengan penyediaan sarana produksi secara lebih murah.
Peternak membeli bahan dengan tidak terdapat potongan harga atau sedikit
potongan harga sehingga output yang dikeluarkan menjadi lebih besar. Dalam
peningkatan nilai tambah peternak harus mampu mengelola input yang ada
dengan sebaik mungkin agar pengeluaran output dapat ditekan dengan sebaikbaiknya.
Selain sebaran nilai tambah dan keuntungan, dapat dilihat dari beberapa
aspek besarnya kontribusi dalam perhitungan nilai tambah pada peternakan
madniri. Aspek yang ada, yaitu tenaga kerja, industri, dan pemerintah.

80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%

<=5000

5001-10000

30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
Tenaga Kerja
Gambar 4.8

Industri

Pemerintah

Peternak

Aspek Nilai Tambah Peternak Mandiri

Berdasarkan Gambar 4.8 hasil yang didapatkan pada peternakan mandiri


berbeda halnya dengan peternakan mitra. Peternakan mandiri dalam sebaran nilai
tambah terbesar diterima oleh tenaga kerja yaitu sebesar 70,92% pada kategori
<=5000, 28,65% pada kategori 5001-10000. Keuntungan peternak yang menjadi
pembagian nilai tambah terbesar yang ada yaitu sebesar 9,95% pada kategori
<=5000, 52,06% pada kategori 5001-10000, untuk industri sebesar 6,47% pada
kategori <=5000,

11,99% pada kategori 5001-10000 dan untuk pemerintah

sebesar 12,66% pada kategori <=5000, 7,30% pada kategori 5001-10000. Jika
dibandingkan ketiga aspek yang ada bahwasannya aspek tenaga kerja merupakan
aspek terbesar yang menjadi pembagian nilai tambah pada peternak mandiri.
Tenaga kerja dibutuhkan untuk menjaga kandang, memberi pakan, membersihkan
kandang, dan merawat kandang. Jumlah tenaga kerja diatur oleh berapa banyak
populasi ayam pedaging yang ada. Tenaga kerja harus diberikan ilmu pengetahuan
dan pelatihan untuk dapat membudidayakan ayam pedaging dengan baik.
Kemudian aspek yang menjadi perhitungan nilai tambah berikutnya adalah
industri dalam bentuk penyusutan investasi. Penyusutan investasi dikeluarkan

untuk penggantian kandang dan peralatan kandang ketika kandang dan peralatan
kandang harus diganti dengan yang baru karena tidak layak digunakan kembali.
Aspek yang menjadi perhitungan nilai tambah terakhir adalah pemerintah dalam
bentuk pendirian usaha peternakan. Perbedaan aspek ini disebabkan karena luas
bangunan yang ada dan lokasi tempat peternakan. Jika luas bangunan besar, maka
biaya pendirian usaha juga besar begitu juga sebaliknya dan jika lokasi peternakan
jauh dari pemukiman warga, maka biaya pendirian usaha besar begitu juga
sebaliknya. Maka dari itu, lokasi peternakan harus dilihat dengan baik dimana
akan dibangun. Diusahakan lokasi peternak agar jauh dari pemukiman warga
sehingga tidak menggangu kenyamanan masyarakat disekitarnya.

4.4.4

Pedagang Pengumpul (Tauke)

Pedagang pengumpul (tauke) sebagai pelaku rantai pasok pada industri


peternakan ayam pedaging merupakan pelaku yang bertindak sebagai distributor.
Selama menjalankan usahanya, pedagang pengumpul (tauke) mendapatkan
imbalan berupa nilai tambah dan keuntungan. Nilai tambah yang diperoleh oleh
pedagang pengumpul (tauke) adalah selisih nilai input yang didapatkan seperti
penjualan ayam pedaging dengan nilai output yang dikeluarkan seperti pembelian
ayam pedaging. Berdasarkan hasil penelitian terdapat tiga pedagang pengumpul
(tauke) yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota. Gambar 4.9 merupakan
penjelasan dari pengolahan nilai tambah dan keuntungan pada pedagang
pengumpul (tauke).

Rp250,000,000
Rp200,000,000
Rp150,000,000
Nilai Tambah (Rp/Tahun)
Rp100,000,000

Keuntungan (Rp/Tahun)

Rp50,000,000
RpToke A
Gambar 4.9

Toke B

Toke C

Nilai Tambah dan Keuntungan Pedagang Pengumpul (Tauke)

Berdasarkan Gambar 4.9 sebaran nilai tambah terbesar diterima oleh


Tauke C yaitu sebesar Rp 208.416.000. Sedangkan keuntungan terbesar diterima
oleh Tauke B sebesar Rp 84.550.000. Hal ini disebabkan karena total pembelian
ayam yang memiliki bobot terbesar pada Tauke C, tetapi frekuensi pembelian
ayam paling sering adalah Tauke B. sehingga nilai tambah yang didapatkan tidak
sebanding dengan keuntungan yang diperoleh.
Selain sebaran nilai tambah dan keuntungan, dapat dilihat dari beberapa
aspek besarnya kontribusi dalam perhitungan nilai tambah pada pedagang
pengumpul (tauke). Aspek yang ada, yaitu tenaga kerja,dan penyusutan.

70.00%
60.00%
50.00%
40.00%

Toke A
Toke B
Toke C

30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
Tenaga Kerja
Gambar 4.10

Penyusutan

Peternakan

Aspek Nilai Tambah Pedagang Pengumpul (Tauke)

Berdasarkan Gambar 4.10 sebaran nilai tambah terbesar diterima oleh


pedagang pengumpul (tauke) dalam aspek tenaga kerja yaitu sebesar 50% pada
Tauke A, 48,81% pada Tauke B dan sebesar 57,58% pada Tauke C. Keuntungan
menjadi pembagian nilai tambah selanjutnya, yaitu sebesar 40,27% pada Tauke A,
40,94% pada Tauke B dan sebesar 29,28% pada Tauke C dan aspek penyusutan
sebesar 9,73% pada Tauke A, 10,25% pada Tauke B dan sebesar 13,14% pada
Tauke C. Jika dibandingkan ketiga aspek yang ada bahwasannya aspek tenaga
kerja merupakan aspek terbesar yang menjadi pembagian nilai tambah pada
pedagang pengumpul (tauke). Tenaga kerja dibutuhkan untuk mengantarkan ayam
pedaging ke beberapa tempat di dalam dan di luar dari daerah Kabupaten Lima
Puluh Kota. Semakin jauh jarak tempuhnya, maka semakin besar gaji yang
diterima oleh karyawan. Kemudian aspek yang menjadi perhitungan nilai tambah
berikutnya adalah penyusutan dalam bentuk penyusutan keranjang dan
penyusutan investasi. Penyusutan dikeluarkan untuk penggantian keranjang dan
perbaikan investasi yang ada saat tidak dapat digunakan kembali sehingga
diperlukan penggantian baru.

4.4.5

Pedagang Besar

Pedagang besar sebagai pelaku rantai pasok pada industri peternakan ayam
pedaging merupakan pelaku yang bertindak sebagai distributor untuk menjangkau
konsumen atau mengirimkan kembali kepada pedagang kecil. Selama
menjalankan usahanya, pedagang besar mendapatkan imbalan berupa nilai tambah
dan keuntungan. Nilai tambah yang diperoleh oleh pedagang besar adalah selisih
nilai input yang didapatkan seperti penjualan ayam pedaging dengan nilai output
yang dikeluarkan seperti pembelian ayam pedaging. Berdasarkan hasil penelitian
terdapat empat pedagang besar yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota. Gambar
4.11 merupakan penjelasan dari pengolahan nilai tambah dan keuntungan pada
pedagang besar.

Rp80,000,000
Rp70,000,000
Rp60,000,000
Rp50,000,000
Rp40,000,000
Nilai Tambah (Rp/Tahun)

Keuntungan (Rp/Tahun)

Rp30,000,000
Rp20,000,000
Rp10,000,000
RpPB 1

Gambar 4.11

PB 2

PB 3

PB 4

Nilai Tambah dan Keuntungan Pedagang Besar

Berdasarkan Gambar 4.11 sebaran nilai tambah dan keuntungan terbesar


diterima oleh PB 3 yaitu sebesar Rp 68.240.000 dan keuntungan sebesar Rp
55.340.000. Hal ini disebabkan karena PB 3 menjual ayam paling besar
dibandingkan yang lainnya. Lokasi penjualan PB 3 merupakan pasar raya kota
padang, dimana pasar ini merupakan pasar tradisional paling penting di Kota

Padang. Sedangkan sebaran nilai tambah dan keuntungan terkecil diterima oleh
PB 4 yaitu sebesar Rp 25.875.000 dan keuntungan sebesar Rp 20.375.000. Hal ini
disebabkan karena PB 4 menjual ayam paling sedikit dibandingkan yang lainnya
dan lokasi penjualan yang cukup jauh dari pusat kota sehingga hanya masyarakat
sekitar yang membeli ayam pedaging pada PB 4.
Selain sebaran nilai tambah dan keuntungan, dapat dilihat dari beberapa
aspek besarnya kontribusi dalam perhitungan nilai tambah pada pedagang besar.
Aspek yang ada, yaitu penyusutan, dan sewa toko.

90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00% Penyusutan

Sewa Toko

Pedagang Besar

30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
PB 1
Gambar 4.12

PB 2

PB 3

PB 4

Aspek Nilai Tambah Pedagang Besar

Berdasarkan Gambar 4.12 sebaran nilai tambah terbesar diterima oleh


pedagang besar dalam bentuk keuntungan yaitu sebesar 81,10% pada PB 3,
78,74% pada PB 4, 77,16% pada PB 1 dan sebesar 61,01% pada PB 2. Dalam
nilai tambah terdapat beberapa faktor yang menjadi pembagian nilai tambah yang
diikuti, yaitu penyusutan sebesar 2,08% pada PB 1, 2,89% pada PB 2, 1,32% pada
PB 3 dan sebesar 1,93% pada PB 4, dan untuk sewa toko sebesar 20,76% pada PB
1, 36,10% pada PB 2, 17,58% pada PB 3 dan sebesar 19,32% pada PB 4. Jika

dibandingkan kedua aspek yang ada bahwasannya aspek sewa toko merupakan
aspek terbesar yang menjadi pembagian nilai tambah pada pedagang besar. Toko
dibutuhkan untuk tempat menjalankan usaha. Lokasi dan luas bangunan yang
berbeda-beda menyebabkan harga sewa toko berbeda-beda disetiap tempat.
Kemudian aspek yang menjadi perhitungan nilai tambah berikutnya adalah
penyusutan dalam bentuk penyusutan peralatan. Penyusutan peralatan dikeluarkan
untuk penggantian peralatan ketika peralatan sudah rusak sehingga perlu
dilakukan anggaran untuk pembelian kendaraan baru. Disamping itu, untuk
pedagang besar tidak terdapat pembagian nilai tambah pada pihak lain, karena
pada sampel yang didapat tidak ada pedagang besar yang memiliki karyawan, dan
kendaraan yang mengalami penyusutan.

4.4.6

Pedagang Kecil

Pedagang kecil sebagai pelaku rantai pasok pada industri peternakan ayam
pedaging merupakan pelaku yang bertindak sebagai distributor untuk menjangkau
konsumen secara langsung. Selama menjalankan usahanya, pedagang kecil
mendapatkan imbalan berupa nilai tambah dan keuntungan. Nilai tambah yang
diperoleh oleh pedagang kecil adalah selisih nilai input yang didapatkan seperti
penjualan ayam pedaging dengan nilai output yang dikeluarkan seperti pembelian
ayam pedaging. Berdasarkan hasil penelitian terdapat empat pedagang kecil yang
ada di Kabupaten Lima Puluh Kota. Gambar 4.13 merupakan penjelasan dari
pengolahan nilai tambah dan keuntungan pada pedagang kecil.

Rp35,000,000
Rp30,000,000
Rp25,000,000
Rp20,000,000
Nilai Tambah (Rp/Tahun)
Rp15,000,000

Keuntungan (Rp/Tahun)

Rp10,000,000
Rp5,000,000
RpPK 1
Gambar 4.13

PK 2

PK 3

PK 4

Nilai Tambah dan Keuntungan Pedagang Kecil

Berdasarkan Gambar 4.13 sebaran nilai tambah dan keuntungan terbesar


diterima oleh PK 2 yaitu sebesar Rp 31.125.000 dan keuntungan sebesar Rp
25.925.000. Hal ini disebabkan karena PK 2 menjual ayam paling banyak
dibandingkan yang lainnya. Lokasi penjualan yang strategis yang mudah
dijangkau oleh konsumen sehingga PK 2 lebih mudah untuk menjual ayam
pedaging. Sedangkan sebaran nilai tambah dan keuntungan terkecil diterima oleh
PK 4 yaitu sebesar Rp 8.275.000 dan keuntungan sebesar Rp 5.175.000. Hal ini
disebabkan karena PK 4 menjual ayam paling sedikit dibandingkan yang lainnya
dan lokasi penjualan yang sulit untuk dijangkau oleh konsumen.
Selain sebaran nilai tambah dan keuntungan, dapat dilihat dari aspek
besarnya kontribusi dalam perhitungan nilai tambah pada pedagang besar. Aspek
yang ada, yaitu penyusutan.

100.00%
90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%

Penyusutan

Pedagang Kecil

30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
PK 1
Gambar 4.14

PK 2

PK 3

PK 4

Aspek Nilai Tambah Pedagang Kecil

Berdasarkan Gambar 4.14 sebaran nilai tambah terbesar diterima oleh


pedagang besar dalam bentuk keuntungan yaitu sebesar 99,10% pada PK 1,
99,36% pada PK 2, 99,14% pada PK 3 dan sebesar 98,76% pada PK 4. Dalam
nilai tambah terdapat faktor yang menjadi pembagian nilai tambah yang diikuti,
yaitu penyusutan sebesar 0,90% pada PK 1, 0,64% pada PK 2, 0,86% pada PK 3
dan sebesar 1,21% pada PK 4, Aspek penyusutan merupakan aspek yang sangat
kecil sebagai pembagian nilai tambah pada pedagang kecil karena kandang yang
digunakan kecil sehingga perbaikan kandang tidak banyak memakan biaya.
Disamping itu, untuk pedagang kecil tidak terdapat pembagian nilai tambah pada
pihak lain, karena pada sampel yang didapat tidak ada pedagang kecil yang
memiliki karyawan, dan kendaraan yang mengalami penyusutan.

4.5 Distribusi Nilai Tambah


Besarnya nilai tambah karena proses pengolahan didapat dari pengurangan
biaya bahan dan input lain terhadap nilai produk yang dihasilkan, tidak termasuk

tenaga kerja. Dengan kata lain nilai tambah menggambarkan imbalan bagi tenaga
kerja, dan modal. Sedangkan distribusi nilai tambah erat hubungannya dengan
teknologi yang diterapkan dalam proses pengolahan, seperti kualitas tenaga kerja
berupa keahlian dan ketrampilan serta kualitas bahan yang digunakan. Penerapan
teknologi yang cenderung padat karya akan memberikan proporsi bagian terhadap
tenaga kerja yang lebih besar daripada proporsi bagian keuntungan bagi
perusahaan, sedangkan apabila yang diterapkan teknologi padat modal, maka
besarnya proporsi bagian pengusaha lebih besar daripada proporsi bagian tenaga
kerja.
Besar kecilnya proporsi tersebut tidak berkaitan dengan imbalan yang
diterima tenaga kerja. Besar kecilnya imbalan tenaga kerja tergantung pada
kualitas tenaga kerja itu sendiri seperti keahlian dan ketrampilan. Kualitas bahan
yang digunakan juga berpengaruh terhadap distribusi nilai tambah apabila dilihat
dari produk akhir. Jika faktor konversi bahan terhadap produk akhir semakin lama
semakin kecil, artinya pengaruh kualitas bahan baku semakin lama semakin
besar.
Distribusi nilai tambah pada sistem industri peternakan ayam pedaging di
Kabupaten Lima Puluh Kota digunakan untuk mengetahui besaran pertambahan
nilai pada setiap pelaku. Pada rantai industri peternakan ayam pedaging dimulai
dari penyediaan bahan baku kepada produsen sampai menghasilkan suatu produk
untuk dijual kepada konsumen. Setiap tingkatan pelaku memiliki perbedaan
disetribusi nilai tambah yang didapatkan. Distribusi nilai tambah dapat dihitung
dengan menyamakan penyebut dari perhitungahnnya dengan menggunakan
ekivalensi ekor ayam pedaging pada masing-masing pelaku. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistika tahun 2014 jumlah populasi ayam pedaging di Kabupaten
Lima Puluh Kota sebanyak 7.112.802 ekor. Tabel 4.16 menjelaskan distribusi nilai
tambah pada sistem industri peternakan ayam pedaging di Kabupaten Lima Puluh
Kota.

Tabel 4.16 Distribusi Nilai Tambah

Berdasarkan Tabel 4.16 dapat dilihat bahwasannya distribusi nilai tambah


paling besar diperoleh perusahaan mitra yaitu sebesar Rp 140.952.938.198 atau
sebesar 49,07%. Perusahaan mitra sudah hampir menguasi setengah dari nilai
tambah yang berada di masing-masing pelaku. Nilai ini didapatkan dari penjualan
bahan untuk peternakan ayam pedaging yang dibeli oleh peternakan mitra dan
penjualan ayam pedaging kepada pedagang pengumpul (tauke). Sedangkan
pengeluaran perusahaan mitra yaitu pembelian bahan untuk peternakan ayam
pedaging dan pembelian ayam pedaging kepada peternak mitra dan kemudian
dijual kepada pedagang pengumpul. Perusahaan mitra mendapatkan pasokan
barang dari perusahaan besar. Perusahaan mitra ini sendiri merupakan anak
perusahaan dari pemasok sehingga perusahaan mitra mendapatkan harga yang
murah dari pemasok dan kelancaran pasokan bahan sehingga dapat dijual kembali
kepada peternak mitra dengan harga yang lebih tinggi untuk mendapatkan
keuntungan yang besar. Sedangkan untuk penjualan ayam pedaging, perusahaan
mitra mampu membeli ayam dengan harga yang rendah kepada peternak mitra
dan menjual dengan harga yang tinggi kepada pedagang pengumpul (tauke).
Pelaku selanjutnya yang memiliki nilai tambah paling besar adalah
pedagang pengumpul (tauke). Pedagang pengumpul (tauke) memperoleh

distribusi nilai tambah sebesar Rp 39.972.366.617 atau sebesar 13,92%.


Pendapatan pedagang pengumpul (tauke) berasal dari penjualan ayam pedaging
kepada pedagang besar atau pedagang kecil. Sedangkan pengeluaran pedagang
pengumpul (tauke) berasal dari pembelian ayam pedaging dari perusahaan mitra
atau dari peternakan mandiri secara langsung. Pedagang pengumpul (tauke)
mendapatkan nilai tambah yang besar karena penjualan ayam yang dilakukan
tidak hanya di dalam Kabupaten Lima Puluh Kota tetapi sampai keluar daerah
Kabupaten Lima Puluh Kota sehingga pedagang pengumpul (tauke) dapat
melakukan permainan harga dipasaran dengan memasarkan ayam kepada
konsumen tidak terlalu banyak sedangkan permintaan ayam meninggi sehingga
harga ayam lebih tinggi dan pedagang pengumpul (tauke) dapat memperoleh
keuntungan yang besar.
Selanjutnya pelaku yang mendapatkan pendapatan besar adalah peternakan
mitra sebesar Rp 33.506.139.123 atau sebesar 11,66%. Jika dilihat dari nilai
tambah yang diperoleh oleh peternakan mitra tidak sebanding dengan nilai tambah
yang didapatkan oleh perusahaan mitra. Nilai tambah peternakan mitra lebih
sedikit dibandingkan perusahaan mitra sedangakan dalam kernyataannya
peternakan mitra yang membesarkan ayam dari mulai DOC sampai ayam siap
panen sedangkan perusahaan mitra tinggal membeli ayam pedaging dan
menjualkannya kembali ke pasaran.
Pelaku selanjutnya adalah poultry shop (PS) memperoleh nilai tambah
sebesar Rp 30.167.731.056 atau sebesar 10,50%. Pendapatan poultry shop (PS)
berasal dari penjualan saran produksi peternakan ayam pedaging kepada peternak
mandiri, seperti pakan, DOC, obat-obatan dan pengeluaran poultry shop (PS)
untuk pembelian kembali sarana produksi dari pemasok bahan.
Pedagang kecil merupakan pelaku selanjutnya yang mendapatkan nilai
tambah, yaitu sebesar 18.532.692.207 atau sebesar 6,45%. Pedagang kecil
mendapatkan pendapatan dari penjualan ayam pedaging kepada konsumen secara

langsung dan pengeluaran pedagang kecil berupa pembelian ayam pedaging dari
pedagang pengumpul (tauke) atau dari pedagang besar. Pedagang kecil yang
terdapat pada penelitian merupakan pedagang kecil yang ada di Kota Padang yang
mendapatkan ayam pedaging dari Kabupaten Lima Puluh Kota. Berdasarkan hasil
peneliatian pedagang kecil menjual ayam dengan populasi kurang dari 30 ekor
setiap hari.
Pelaku selanjutnya adalah pedagang besar memperoleh nilai tambah
sebesar Rp 12.501.527.154 atau sebesar 4,35%. Pedagang besar mendapatkan
pendapatan dari penjualan ayam pedaging kepada pedagang kecil atau konsumen
secara langsung. Pengeluaran pedagang besar adalah pembelian ayam pedaging
kepada pedagnag pengumpul (tauke). Pedagang besar yang terdapat pada
penelitian merupakan pedagang besar yang ada di Kota Padang yang
mendapatkan ayam pedaging dari Kabupaten Lima Puluh Kota. Berdasarkan hasil
peneliatian pedagang kecil menjual ayam dengan populasi kurang dari 80 ekor
setiap hari.
Pelaku rantai pasok terakhir yang mendapatkan nilai tambah pada industri
peternakan ayam pedaging adalah peternakan mandiri sebesar Rp 11.618.893.786
atau sebesar 4,04%. Nilai tambah yang didapatkan peternakan mandiri sangat
kecil disebabkan karena pengeluaran yang ditanggung oleh peternakan sangat
besar, yaitu pembelian pakan, DOC, obat-obatan dan sarana produksi sedangkan
pendapatan yang diperoleh berupa penjualan ayam pedaging, kotoran ayam dan
karung bekas. Pendapatan yang diperoleh peternakan mandiri tidak sebanding
dengan pemasok bahan yang hanya menjual sarana produksi tetapi mendapatkan
nilai tambah yang lebih besar dibandingkan peternakan yang menjadi produsen
pada industri peternakan ayam pedaging.

You might also like