You are on page 1of 37

A.

Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

Petunjuk pemakaian:
1. Soft file ini bukan sebagai bahan referensi (sumber
rujukan). Baik sebagai sumber rujukan pada diskusi
(lisan) maupun dalam membuat karya tulis (makalah).
Kecuali, sebagai bahan referensi (sumber rujukan) untuk
karya tulis mahasiswa khusus pada mata kuliah Filsafat
Ilmu PAI smstr III kelas F, G, dan H serta mata kuliah
Filsafat Pendidikan PAI smstr III kelas A, B, C, dan D di
STAIN Kediri.
2. Soft file ini sebagai bahan salah satu bacaan dasar
mahasiswa supaya dapat memahami arah perkuliahan
Filsafat Ilmu PAI smstr III kelas F, G, dan H serta
Filsafat Pendidikan PAI smster III kelas A, B, C, dan D
di STAIN Kediri tahun 2015.
3. Soft file ini tidak boleh disebarkan kepada siapapun,
kecuali kepada teman sekelas pada mata kuliah Filsafat
Ilmu PAI smstr III kelas F, G, dan H serta mata kuliah
Filsafat Pendidikan kelas A, B, C, dan D di STAIN
Kediri tahun 2015.
Ilmu Filsafat merupakan studi praktik berpikir radikal. Manfaat
berpikir radikal salah satunya ialah untuk menemukan hakikat sesuatu
hal secara utuh. Dengan memahami sesuatu secara utuh, diharapkan
hasil dari pemikiran itu akan membawa maslahat bagi seluruh manusia.
Oleh sebab itu, bagi siapapun yang ingin berfilsafat seharusnya banyak
membaca dari berbagi macam sumber rujukan sebagai bahan acuan
dalam berpikir. Bukan hanya dari satu jenis sumber yang akan
mengungkung pemikiran manusia, bahkan bisa jadi menyebabkan
manusia menjadi fanatik buta terhadap sesuatu itu.

Semoga bermanfaat...

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

Prawacana
Thomas Kuhn merupakan salah satu tokoh filosof modern yang ide-idenya (teori) sampai sekarang
ini masih diakui oleh dunia. Ia merupakan salah satu tokoh yang mampu mengkritisi paradigma
posistivisme yang dominasinya berpengaruh luar biasa di barat. Dari gagasannya, dapat ditarik sebuah
pendapat bahwa ilmu itu tidak ada yang fixed (pasti) di dunia ini termasuk ilmu agama. Ilmu
menurut gagasannya tidak hanya berkembang ke depan tapi bisa juga ke samping. Ilmu tidak
didasarkan pada kaidah benar-salah, akan tetapi mengacu pada paradigma apa yang digunakan.
Dengan paradima itu, seorang atau para ilmuwan akan menjadikannya sebagai dasar (pedoman)
dalam melihat sekaligus memahami realitas (fenomena). Selain itu, dengan paradigma maka ilmuwan
akan bisa menentukan metode apa yang akan mereka gunakan dalam mendekati masalah.
Dalam wacana ini, apa yang dimaksud dengan kebenaran ialah sesuatu yang masih dijadikan
pedoman oleh ilmuwan untuk memandu mereka dalam pengembangan ilmu. Suatu kebenaran
akan senantiasa dipegang teguh selama paradigma baru yang lebih unggul belum ditemukan. Di
mana, manfaat hadirnya paradigma baru yang lebih unggul ialah untuk menggantikan paradigma lama
yang sudah tidak layak lagi digunakan dalam memandu ilmuwan. Dengan adanya pergeseran
paradigma (dari paradigma lama menuju paradigma baru) inilah suatu ilmu akan senantiasa
berkembang.
Tulisan yang anda baca ini menyuguhkan tentang beberapa gagasan Kuhn dari berbagai sudut
pandang. Meski masih ada beberapa kelemahan, diharapkan tulisan ini tetap membawa manfaat bagi
mahasiswa. Terutama, sebagai dasar dekonkonstruksi pemikiran bahwa ilmu yang menjadi ciptaan
manusia itu sesungguhnya memiliki keterbatasan. Bilapun memiliki keunggulan, sesungguhnya yang
mengunggulkan adalah manusia itu sendiri melalui komunitas (masyarakat) ilmiah yang mereka
bentuk. Sebaliknya, bilapun memiliki kelemahan, sesungguhnya yang melemahkan ialah manusia itu
sendiri melalui komunitas (masyasrakat) ilmiah yang mereka bentuk sehingga kemudian kadangkala
mereka juga akan menawarkan ilmu baru yang bisa jadi lebih unggul.[]

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

(catatan: nomor halaman daftar isi di bawah ini tidak menunjukkan nomor halaman yang
sebenarnya. Dalam artian, antara nomor halaman dalam bentuk soft file ini berbeda dengan
nomor halaman dalam bentuk cetakan buku/print out)
Daftar Isi

Persembahan ..........................................................................................................................................
Kata Pengantar Penerbit .......................................................................................................................
Kata Pengantar Ahli ..............................................................................................................................
Kata Pengantar Penulis .........................................................................................................................
Daftar Isi ................................................................................................................................................. i
Daftar Gambar dan Tabel .................................................................................................................... v

Bab I Pendahuluan ...................................................................................................................... 1


A. Pengertian Pengembangan Pendidikan Agama Islam .................................................. 2
B. Urgensi Pengembangan Pendidikan Agama Islam ....................................................... 4
C. Kerangka Acuan Pengembangan Pendidikan Agama Islam ....................................... 5
D. Ruang Lingkup Pengembangan Pendidikan Agama Islam ......................................... 9
E. Hal-hal yang Terkait dengan Pengembangan Pendidikan Agama Islam ................... 11
F. Sistematika Isi Buku .......................................................................................................... 14
Daftar Rujukan ........................................................................................................................... 17

Bab II Gagasan Thomas S. Kuhn tentang Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan .......................................................................................................................... 18
A. Konsep Dasar .................................................................................................................... 20
1. Nomenklatur yang Digunakan Thomas S. Kuhn ................................................... 20
2. Pengertian Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan ....................................... 26
B. Penelusuran Alam Pikir Thomas S. Kuhn ..................................................................... 28
1. Konsep Pencarian Kebenaran Vs. Puzzle-solving Milik Thomas S. Kuhn ........... 28
2. Posisi Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn ............................................. 29
3. Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn .... 30
C. Paralelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn dengan Pengembangan Pendidikan Agama
Islam ................................................................................................................................... 31
1. Patokan Parelelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn Terhadap Pengembangan Pendidikan Agama Islam .................................................................................................... 33
2. Nilai-nilai Dasar Pengembangan Pendidikan Agama Islam ................................. 34
3. Reinterpretasi Ayat Kauliyah dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam . 35
4. Penggunaan Ayat Kauniah dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam ... 36
5. Peran Komunitas Ilmiah dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam ....... 38
D. Penutup ............................................................................................................................... 39
Daftar Rujukan ........................................................................................................................... 40

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

Bab III Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan Beragam (Multiple Intelligences) ............................................................................... 43
A. Konsep Dasar ..............................................................................................................
1. Pengertian Kecerdasan Beragam .........................................................................
2. Pengertian Pembelajaran Pendidikan Agama Islam .........................................
3. Perubahan Paradigma Kecerdasan ........................................................................
4. Otak sebagai Kunci Utama Kecerdasan ...............................................................
5. Dasar Hukum Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Beragam ...
B. Paradigma Baru Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan
Beragam ..........................................................................................................................
C. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan Beragam yang Ideal .....................................................................................................................................
D. Penutup .........................................................................................................................
Daftar Rujukan ....................................................................................................................

46
46
47
48
50
51
52
56
64
66

Bab IV Masalah Terorisme dan Pengembangan Human Security Melalui


Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan .............................. 68
A. Konsep Dasar ...............................................................................................................
1. Pengertian Terorisme .............................................................................................
2. Pengertian Human Security .......................................................................................
3. Pengertian Pendidikan Agama Islam ....................................................................
4. Tujuan Pendidikan Agama Islam ..........................................................................
5. Melacak Akar Terorisme .......................................................................................
6. Teror Atas Nama Agama ......................................................................................
B. Pengembangan Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan .....................
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan ........................
2. Agama dan Kekerasan ............................................................................................
3. Urgensi Pendidikan Agama Islam dalam Membangun Budaya Nirkekerasan ..............................................................................................................................
4. Upaya Pengembangan Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan ....
C. Pencegahan Terorisme dan Pengembangan Human Security Melalui Pendidikan
Agama Islam ...................................................................................................................
D. Penutup .............................................................................................................................
Daftar Rujukan ...............................................................................................................

70
70
72
73
74
75
77
79
79
80
82
84
87
91
93

BAB V Pendidikan Islam di Indonesia: Pesantren, Madrasah, dan Sekolah ..................................................................................................................... 97


A. Konsep Dasar ................................................................................................................
1. Bentuk Pendidikan Islam di Indonesia .................................................................
2. Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia .....................................................
3. Karakteristik Pendidikan Agama Islam di Pesantren, Madrasah, dan Sekolah ..............................................................................................................................
4. Tujuan Pendidikan Agama Islam di Pesantren, Madrasah, dan Sekolah .........
5. Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Pesantren, Madrasah, dan Sekolah.................................................................................................................................
B. Kecenderungan Masyarakat dalam Memilih Bentuk Pendidikan Islam ..................
C. Konsep Bentuk Pendidikam Islam yang Ideal ...........................................................
1. Konsep Pendidikan Agama Islam di Pesantren ...................................................
2. Konsep Pendidikan Agama Islam di Madrasah ..................................................
3. Konsep Pendidikan Agama Islam di Sekolah ......................................................
D. Penutup ..............................................................................................................................
Daftar Rujukan ........................................................................................................................

100
100
104
105
111
112
116
117
117
118
119
121
123

BAB VI Pemikiran Tentang Pengembangan Program Studi pada Perguruan


Tinggi Agama Islam .................................................................................. 126
A. Konsep Dasar ............................................................................................................... 128
1. Hal-hal Terkait dengan Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia ........... 128

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

2. Landasan Fondasional Pengembangan Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama Islam ...................................................................................................... 129
3. Landasan Operasional Pengembangan Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama Islam ...................................................................................................... 133
B. Langkah-langkah Pengembangan Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama
Islam .............................................................................................................................. 136
1. Pengembangan Program Studi Tipe 1 ............................................................... 137
2. Pengembangan Program Studi Tipe 2 ............................................................... 137
3. Pengembangan Program Studi Tipe 3 ............................................................... 138
C. Menuju Kualitas Lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam yang Integratif dan
Mandiri dalam Keilmuan ............................................................................................ 138
D. Penutup ........................................................................................................................ 140
Daftar Rujukan ................................................................................................................... 141

BAB VII Penutup ......................................................................................................... 143


Indeks .............................................................................................................................. 144
Tentang Penulis ....................................................................................................................................... 147

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

Daftar Tabel dan Daftar Gambar

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kategorisasi Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Lembaga Pendidikan .......
Gambar 1.2 Langkah-langkah Research and Development Menurut Sugiyono .........................................
Gambar 1.3 Piramida Sistematika Pengembangan PAI Melalui Empat Perspektif ..........................
Gambar 2.1 Bukit Paradigma: Skema Diskontinuitas Perkembangan Ilmu Pengetahuan ...........
Gambar 2.2 Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Thomas S. Kuhn ...............................
Gambar 3.1 Identifikasi Paradigma Baru Kecerdasan ...........................................................................
Gambar 3.2 Posisi Peserta Didik dalam Bingkai Pendidikan Agama Islam .......................................
Gambar 3.3 Dua Jenis Makna Kesuksesan .........................................................................................
Gambar 4.1 Mekanisme Psikologi Teroris dalam Mengkonstruk Pembenaran Diri ........................
Gambar 4.2 Upaya Pemutusan Mata Rantai Ideologi Teroris Melalui Pendidikan ...........................
Gambar 5.1 Konsumen Fanatik Bentuk Pendidikan Pesantren, Madrasah, dan Sekolah ...............
Gambar 5.2 Mekanisme Lama Bentuk Pendidikan Indonesia .............................................................
Gambar 5.3 Mekanisme Baru (Sebagai Adaptasi) Sistem Pendidikan Indonesia ..............................
Gambar 6.1 Pola Upgrade Dosen PTAI yang Diambil atau Berasal dari PTU ..................................
Gambar 6.2 Pola Upgrade Dosen PTAI yang Mengajar Mata Kuliah Keagamaan ............................

6
23
31
54
61
100
113
122
174
176
227
235
236
263
263

DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Perbedaan Sistem Pendidikan Islam dengan Sistem Pendidikan Barat ............................ 106
Tabel 3.2 Penerapan Teori Kecerdasan Beragam dalam Pembelajaran PAI ...................................... 117
Tabel 3.3 Penerapan Teori Kecerdasan Beragam dalam Lingkup Satu Tema (materi) .................... 119
Tabel 3.4 Kecerdasan pada Manusia Purba dan Spesises Selain Manusia .......................................... 123
Tabel 3.5 Tipologi Pemikiran Pendidikan Islam dengan Bentuk Tabel .............................................. 125
Tabel 5.1 Kasus Tertentu: Terjadi Kelunturan Identitas/Karakteristik ............................................. 208
Tabel 5.2 Nilai-nilai Karakter pada Sekolah Berbasis Pesantren (SMK Salafiyah Pati Jawa Tengah) ............................................................................................................................................ 235
Tabel 6.1 Pengembangan Prodi Berdasarkan Nilai Kesejarahan Perkembangan Ilmu Pengetahuan
dalam Dunia Islam .................................................................................................................... 262

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

BAB II
GAGASAN THOMAS S. KUHN TENTANG REVOLUSI
PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
Oleh: A. Rifqi Amin
Kajian filsafat ilmu, khususnya filsafat ilmu keagamaan Islam bagi pengembangan
Pendidikan Agama Islam1 merupakan kebutuhan mendasar. Yakni, sebagai pisau
analisa dalam menemukan hakikat dan nilai kebenaran menurut paradigma2 manusia.
Diharapkan, kebenaran yang menjelma menjadi ilmu pengetahuan dan produknya bisa
bermanfaat bagi sendi kehidupan manusia. Oleh karena itu, sebagai awal penguraian
(starting point) isi buku ini, memahami terlebih dahulu gagasan Thomas Samuel Kuhn3
dirasa sangat penting. Bagaimanapun, pemikiran kontemporer Kuhn sangat bermanfaat
dalam memahami filsafat ilmu dengan cara yang baru.4 Kendati dapat dipahami bahwa
pemikiran Kuhn bukanlah pemikiran bebas dari kritik. Dengan demikian, mendalami
mekanisme revolusi perkembangan ilmu pengetahuan di Bab ini bisa menjadi dasar
untuk mengkaji dan mengembangkan sejumlah teori pada Bab-bab berikutnya.
Lebih lanjut, tulisan ini difokuskan pada penelusuran peran Kuhn terkait gagasannya
yang cemerlang. Hasil kemampuan berfikirnya salah satunya terinspirasi dari
pendalamannya terhadap kajian sejarah ilmu pengetahuan5 menjadi landasan

Yang dimaksud Pendidikan Agama Islam di sini meliputi pendidikan makro sekaligus pendidikan mikro.
Di mana pendidikan makro salah satunya menelaah bidang pendidikan tertentu dalam wilayah luas.
Misalnya, lingkup kajiannya pada jenjang pendidikan dasar seperti menelaah SD dan SMP. Tentu ini akan
sedikit banyak berbeda bila mengkaji MI (Madrasah Ibtidaiah) dan MTs (Madrasah Tsanawiyah). Oleh
karena itu, ilmu yang dibutuhkan untuk pengembangannya pu juga akan berbeda. Yakni, membutuhkan
ilmu-ilmu seperti psikologi, sosiologi, manajemen, filsafat, dan beberapa lainnya. Sedangkan pendidikan
mikro salah satunya mengkaji pendidikan dalam wilayah sempit. Misalnya, hanya menelaah individunya
saja yaitu salah satunya terkait dengan bakat-minat serta perubahan sikapnya, sehingga ilmu yang
diperlukan untuk pengembangannya lebih sedikit seperti psikologi saja.
2
Mengenai paradigma PAI sebagai salah satu ilmu sosial, maka Tobroni menuliskan bahwa Ilmu sosial
menurut Giddent memiliki multi paradigma. Paradigma adalah pangkal tolak (starting point) dan sudut
pandang (point of view) dalam mengkaji suatu hal. Perbedaan paradigma bukan hanya akan
menghasilkan pemahaman yang berbeda, melainkan juga nilai dan norma berbepa pula. Contoh ekstrem
diibaratkan ada beberapa orang buta yang berusaha memahami seekor gajah. Ada yang meraba
belalainya, telinganya, kakinya, perutnya dan ekornya, dan lantas masing-masing mendefinisikan gajah.
Hasilnya adalah masing-masing memiliki pemahaman, pengertian dan perlakuan berbeda terhadap gajah.
Dalam kehidupan sosial, paradigma yang berbeda akan menyebabkan keyakinan, nilai, dan norma yang
berbeda
pula.
Lihat,
Tobroni,
Paradigma
Pemikiran
Islam,
dalam
http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/12/01/paradigma-pemikiran-islam/, 1 Desember 2010, diakses tanggal
19 Februari 2015.
3
Thomas Samuel Kuhn penulis buku The Structure of Scientific Revolutions, terbit pertama kali tahun
1962. Untuk bukunya edisi kedua tahun 1970 terdapat beberapa penambahan. Buku tersebut telah
diterjemahkan lebih dari dua puluh bahasa dan terjual lebih dari satu juta copy (salinan). Lihat, N. M.
Swerdlow, Thomas S. Kuhn 1922-1996 a Biographical Memoir (tanpa kota: National Academy of
Sciences: 2013), hlm 15.
4
Kuhn telah berjasa besar, terutama dalam mendobrak citra filsafat ilmu sebagai logika ilmu dan
mendobrak citra bahwa ilmu adalah suatu kenyataan yang punya kebenaran seakan-akan sui-generis,
objektif. Disamping itu, teori yang dibangun Kuhn mempunyai implikasi yang sangat besar dan luas dalam
bidang-bidang keilmuan yang beraneka ragam. Lihat, Zubaedi, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene
Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 210-211.
5
Sejarah ilmu pengetahuan adalah studi tentang sejarah perkembangan sains dan pengetahuan ilmiah,
termasuk ilmu alam dan ilmu sosial... Dari abad ke-18 sampai akhir abad ke-20, sejarah sains, khususnya
ilmu fisika dan biologi, sering disajikan dalam narasi progresif yang mana teori yang benar menggantikan
keyakinan yang salah. Interpretasi sejarah yang lebih baru, seperti dari Thomas Kuhn, menggambarkan
sejarah sains dalam istilah yang lebih bernuansa, seperti paradigma-paradigma yang saling bersaing atau
sistem konseptual dalam matriks yang lebih luas yang mencakup tema intelektual, budaya, ekonomi dan
politik luar sains. Pendapat Thomas Kuhn lainnya adalah pengetahuan ilmiah bergerak melalui
pergeseran paradigma dan belum tentu progresif. Oleh karena itu, sejak publikasi Kuhn The Structure
of Scientific Revolutions pada tahun 1962, sejarawan, sosiolog, dan filsuf sains telah mendebat makna

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

sekaligus peletup keberanian ilmuwan agamais dalam mengintegrasikan ilmu agama


dengan ilmu pengetahuan. Lebih gamblangnya, teori Kuhn tentang revolusi ilmu
pengetahuan menjadi jawaban atas keraguan dari beberapa kalangan tentang
keabsahan integrasi antara dua ilmu. Selain juga, teori Kuhn bisa menjadi kritik atas
dominasi luar biasa ilmu pengetahuan, utamanya yang lahir dari rahim positivisme.
Misalnya, karena kegagalan ilmu pengetahuan sekuler dalam menyelesaikan masalah
kehidupan yang begitu kompleks dan rumit, menyebabkan timbulnya perubahan
gagasan. Kemudian, muncullah gagasan baru sebagai pemecah masalah tersebut,
yakni salah satunya pengintegrasian antara agama dengan ilmu.
Bisa dikatakan gagasan Kuhn tentang ilmu pengetahuan telah mendobrak persepsi
manusia di abad modern ini yang terlalu mengagungkan ilmu pengetahuan. Bahkan
mengagungkan rasionalitas manusia-manusia, sehingga dianggap sebagai mahkluk tak
terbatas. Dengan demikian, sangat wajar bila setelah periode Kuhn banyak ilmuwan
tak terkecuali ilmuwan agamais terpengaruh oleh gagasannya. Utamanya para
ilmuwan dan pemikir yang resah dengan kegagalan ilmu pengetahuan umum. Yakni,
dalam mengatasi adanya bencana sosial dan bencana alam yang salah satunya
ditimbulkan oleh produk-produk ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan kata lain, Kuhn
telah menginspirasi masyarakat atau komunitas ilmuwan, terutama terkait konsep
cerdasnya tentang revolusi ilmu pengetahuan atau pergeseran paradigma (paradigm
shift)
Selama ini ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang bebas nilai, harus
independen, dan empiris. Namun, menurut Kuhn ilmu pengetahuan tidak akan bisa
bebas dari yang namanya paradigma. Kendati disadari atau tidak, paradigma yang
dipegang individu selalu dipengaruhi oleh sesuatu di luar dirinya. Misalnya, organisasi
(kelompok) yang ia ikuti, ideologi yang ia anut, alur logika yang digunakan, otoritas
(tokoh) yang ia percayai, hingga fanatismenya terhadap sesuatu. Dengan demikian,
tidak ada satu ilmu pengetahuan pun yang hanya bisa dijelaskan dengan satu teori saja,
terlebih hanya melalui pembuktian empiris. Sebagaimana menurut Tamtowi, bahwa
pergeseran paradigma (shifting paradigm) merupakan perubahan yang bersifat mistik
dan tidak bisa dijangkau oleh rasio, maka ia berada dalam bidang psychology of
discovery dan dibangun di atas logic of discovery.6 Dengan kata lain, pergeseran
paradigma tidak dapat dipaksan dengan menggunakan logika (rasional),7 karena setiap
paradigma bersifat incommensurable (tidak dapat dibandingkan). Dapat disimpulkan,
revolusi ilmu pengetahuan bisa terjadi karena faktor psikologis, agamais, filosofis,
sosiologis, historis, dan sebagainya yang berada dalam wadah paradigma sehingga
ikut berperan mendorong perubahan.
Bagaimanapun, ilmu pengetahuan terbangun tidak hanya karena manusia telah
memiliki kesadaran (pencerahan) berpikir dan berlogika. Pengembangan ilmu
pengetahuan juga didasarkan pada motif tertentu. Salah satunya karena ingin
memperbaiki paradigma lama yang bila tetap digunakan akan membahayakan bagi
keadaan terbaru. Hal ini bukan berarti paradigma lama itu adalah sesuatu yang salah,
karena bisa disingkirkan oleh paradigma baru. Melainkan, paradigma lama adalah
sesuatu yang dianggap benar (bermanfaat) di tempat dan masa kejayaanya terdahulu.
Dapat disimpulkan, peluang adanya gugatan (kegelisahan) atas keganjilan (anomali)
yang terjadi pada setiap paradigma senantiasa ada. Di mana, kadang bukti empiris tak
bisa menjawab atas keganjilan itu, tak pelak penggunaan nilai kemanusiaan
dan
objektivitas
dari
sains.
Lihat,
Anonim,
Sejarah
Sains,
dalam
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_sains, diakses tanggal 16 Februari 2015.
6
Moh. Tamtowi, Urgensi Scientific Research Programme Imre Lakatos bagi Pengembangan Studi Islam,
Jurnal
Substantia,
Vol
12,
No.
1,
April
2011:
hlm
32-41,
hlm.
33,
dalam
http://www.substantiajurnal.org/index.php/subs/article/download/54/52, didownload 21 Desember 2014.
7
[pergeseran paradigma] Ini bukan proses rasional; ada langkah imajenatif dan tak terduga ke dalam
yang tidak diketahui, semua dipengaruhi oleh metafora, perumpamaan, dan asumsi yang diambil dari
bidang lain. Kuhn tampaknya menyarankan bahwa faktor-faktor estetika, sosial, sejarah, dan psikologi
juga terlibat, sehingga cita-cita ilmu murni adalah sebuah angan-angan. Lihat, Karen Armstrong, Masa
Depan Tuhan: Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme, dalam The Case for God; What
Religion Really Means, terj. Yuliani Liputo (Bandung: Mizan Cet. III, 2011), hlm. 456.

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

(etika/moral) yang dianggap subjektif lebih tepat untuk digunakan sebagai pemecah
masalah.
Sebagai penutup, Bab ini merupakan usaha penulis dalam mencoba menelusuri
pokok-pokok pemikiran Kuhn, kemudian dikaitkan dengan pengembangan PAI. Yakni,
tentang pentingnya gagasan revolusi ilmu pengetahuan bagi kesejahteraan kehidupan
manusia. Dengan kata lain, akan dibahas sejauh mana peran konsep revolusi ilmu
pengetahuan milik Kuhn tersebut bisa digunakan dalam masa kekinian. Termasuk di
dalamnya akan dibahas tentang penggunaan konsep pergeseran paradigma8 ke dalam
dunia Pendidikan Agama Islam. Mengingat, selama ini PAI masih dianggap masih
mengalami banyak permasalahan. Salah satu sebabnya tidak ada perubahan
paradigma lama PAI, atau paling tidak perubahan tersebut masih terjadi secara raguragu atau malu-malu. Meski kenyataan sekarang paradigma baru PAI yang belum
dimunculkan secara masif merupakan sebuah kebutuhan. Oleh karena itu, Bab ini
selain sebagai dasar juga diupayakan menjadi pendorong terhadap pengembangan PAI,
sehingga bisa bermanfaat bagi pemecahan masalah kontemporer.
A. Konsep Dasar
1. Nomenklatur yang Digunakan Thomas S. Kuhn
Nomenklatur adalah pemberian nama/kode (tata nama) yang dipakai pada
bidang ilmu tertentu. Biasanya pembentukan nama tersebut disusun sebagai ciri
khas bagi objek studi pada cabang ilmu pengetahuan tertentu.9 Pada setiap
gagasan yang dibangun, biasanya Kuhn menggunakan istilah yang butuh
pemahaman tersendiri. Hal ini karena beberapa nomenklatur yang diusung oleh
Kuhn masih sangat asing bagi masyarakat awam. Bahkan beberapa diantaranya
baru dapat dipahami maksudnya secara utuh setelah dijelaskan runtutan
mekanismenya. Oleh karena itu, sebelum membahas pokok persoalan secara
detail, perlu didalami terlebih dahulu nomenklatur yang sering digunakan oleh
Kuhn. Diantaranya sebagai berikut:
a. Paradigma (paradigm)
Paradigma (P)10 adalah bagian dari teori lama yang pernah digunakan
serta dipaparkan berdasarkan pengujian-pengujian dan interpretasi dari sikap
anggota masyarakat ilmiah yang sudah ditentukan (disepakati) sebelumnya.
Selain itu paradigma dipakai sebagai kesuluruhan manifestasi keyakinan, nilai,
teknik, dan lain-lain yang telah diakui bahkan dilakukan oleh anggota-anggota
masyarakat ilmiah.11 Dengan demikian dalam paradigma ada serangkaian
keyakinan yang diadopsi ilmuwan untuk praktik ilmiah, selain juga digunakan
sebagai contoh riset terdahulu sehingga menjadi inspirasi dan pemandu riset

Menurut Kuhn, ide pergeseran paradigma diartikan sebagai peralihan secara terus-menerus (berturutturut) dari satu paradigma ke paradigma yang lain melalui revolusi. Hal itu merupakan hal biasa dalam
pola perkembangan saat tercapai ilmu matang. Saat ini, kemungkin studi Islam di Indonesa menunjukkan
dinamika. Bahkan mulai mencapai tahap kematangannya. Menurut Khun, perlu ada pergeseran
paradigma ketika para ilmuwan menemukan anomali yang belum terpecahkan dan adanya arus
paradigma baru yang menantang paradigma lama. Oleh karena itu, disiplin ilmu lama (paradigma lama)
berhak dilempar ke atas meja krisis. Lihat, Muhammad Sirozi, In Search of a Distinctive Paradigm for
Indonesia
Islamic
Studies:
Some
Note
From
13th
AICIS
2013,
dalam
http://diktis.kemenag.go.id/aicis/index.php?artikel=lihat&jd=4#.VOqakfmsUyY, diakses tanggal 23 Februari
2015.
9
Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring), KBBI Offline Versi 1.5, dalam http://kbbioffline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
10
Huruf p kapital dengan font bold (cetak tebal) yang berada dalam tanda baca kurung seperti berikut ini
(P) merupakan singkatan dari kata paradigma. Untuk pembahasan selanjutnya masih terdapat huruf
atau gabungan huruf yang cara penulisannya berpola sama dengan singakatan tersebut. Salah satu
contohnya (IN) yang merupakan singkatan dari ilmu pengetahuan normal. Teknik penyingkatan tulisan
seperti itu dimaksudkan untuk mempermudah penggambaran gagasan perkembangan ilmu pengetahuan
ke dalam bentuk gambar bukit paradigma yang akan dibahas pada halaman berikutnya.
11
Zubaedi, Filsafat Barat: Dari, hlm. 201.

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

mereka.12 Dapat disimpulkan bahwa paradigma merupakan konsensus


pemahaman (penafsiran) masyarakat ilmiah tentang suatu pandangan dasar
atau cara berfikir mengenai pokok persoalan pada kajian-kajian ilmu tertentu.13
Paradigma jugalah yang menjadi roh atau sumber kehidupan sehingga suatu
teori bisa terbangun. Tidak hanya itu, paradigma ternyata bisa menjadi gen
konstruksi sosial, sehingga menentukan corak (warna), sifat, dan bentuk ilmu
pengetahuan berikutnya.
Menurut Kuhn, apa yang benar menurut paradigma lama belum tentu benar
menurut paradigma baru (adanya relativisme).14 Itu artinya paradigma tidak
selalu terikat pada nilai benar atau salah. Akan tetapi dapat terbimbing oleh
sesuatu yang baik atau yang terbaik bagi perkembangan ilmu pengetahuan
selanjutnya. Dengan kata lain, penelitian yang akan dilakukan ilmuwan
seharusnya tidak hanya untuk menemukan kebenaran dan kecanggihan.
Namun, juga untuk memberikan nilai manfaat bagi kehidupan manusia. Hal ini
bukan berarti bahwa paradigma dalam menyelesaikan masalah keilmuan tidak
benar-benar objektif. Alasannya, nilai objektifnya tersebut bisa didapat pada
penggunaan metode tertentu yang disepakati dan dapat dipahamai bersama
oleh masyarakat ilmiah. Pada akhirnya, paradigma akan menentukan metode
apa yang cocok lalu disepakati mereka untuk dipakai dalam pemecahan suatu
masalah.
Kuhn juga mengatakan bahwa membandingkan paradigma satu dengan
lainnya bukanlah hal yang mudah karena semua yang menyusun paradigma
sangat berbeda dan tidak analog. Lebih rinci, salah satu prasyarat terjadinya
percepatan pergantian atau pergeseran paradigma dari yang lama menuju yang
terbaru adalah melalui dunia pendidikan (akademis). Hal ini karena hampir tidak
mungkin illmuwan dapat bekerja secara cepat jika melalui jalur otodidak. Yakni,
tanpa menggunakan konsep yang sudah mapan, tanpa latihan, dan dimulai
dengan sesuatu yang masih benar-benar baru (prematur).15 Dapat dikatakan,
paradigma merupakan konstelasi (tatanan) beberapa gagasan yang saling
terhubung disertai dengan asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh para ilmuwan
di zamannya.16 Oleh karena itu, antara paradigma lama dengan paradigma baru

12

Dian
Basuki,
Jejak
Paradigma
Kuhn,
dalam
http://indonesiana.tempo.co/read/21561/2014/09/05/desibelku.1/jejak-paradigma-kuhn, 05 September
2014, diakses tanggal 23 September 2014.
13
Setiap komunitas ilmiah pasti diselimuti atau dipengaruhi oleh paradigma, sehingga paradigma dapat
menjadi pemandu komunitas ilmiah dalam memahami segala sesuatu, termasuk memandang fenomena.
14
Basuki, Jejak Paradigma Kuhn, diakses tanggal 23 September 2014.
15
Surjani Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains: Menciptakan Masyarakat Sadar Sains (Jakarta: Indeks,
2010), hlm. 123.
16
A paradigm, in Thomas Kuhns view, is not simply the current theory, but the entire worldvew in which it
exists, and all of the implications which come with it. This view implies that developing or changing
scentific paradigm is not an overnight job for every researchers, because it will take time for investigation,
discussion, and dissemmination. It is also not a simple process, because it will involve and require social
and political context and construction... It requires long term commitment, intensive researches, and
extensive discussions, considering many opinions, and involving scholars of various disciplines. For this
reason, a long term planning and action plans will pave the way for thedevelopment of a unique paradigm
for Indonesian Islamic studies that can produce open minded attitude and broad understanding of Islamic
teachings. In a long term, Azyumardi believes, such a paradigm will develop and promote moderate Islam
(wasatiyyah Islam) that can be a model for other Muslim countries. Dari penjelasan tersebut dapat
dipahami bahwa sebuah paradigma dalam pandangan Thomas Kuhn, adalah bukan sekedar teori yang
muncul saat ini, tetapi seluruh cara pandang (worldview) ilmuwannya di mana ia eksis (berada), dan
semua implikasinya yang datang dengannya. Pandangan ini mengimplisitkan bahwa mengembangkan
atau mengubah paradigma lama bukanlah pekerjaan semalam untuk setiap peneliti-peneliti, karena hal
tersebut akan memerlukan waktu untuk agenda penelitian, diskusi, dan penyebarannya. Hal itu juga
bukan proses yang simple, karena itu akan melibatkan dan memerlukan konteks sosial dan politik... Serta
memerlukan komitmem jangka panjang, penelitian intensif, dan diskuksi yang luas, mempertimbangkan
banyak opini, dan melibatkan sarjana dari berbagai disiplin ilmu. Untuk alasan ini, perencanaan jangka
panjang dan tindakan terencana akan membuka jalan untuk pengembangan paradigma yang unik pada
studi Islam di Indonesia yang dapat memproduk pola tingkah terbuka dan pemahaman orisinil tentang
pengajaran Islam. Dalam jangka panjang, Azyumardi percaya, paradigma seperti itu akan berkembang

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

tidak bisa saling mengklaim mana yang baik dan yang benar. Bagaimanapun di
antara keduanya adalah sama-sama benar dan baik untuk tempat dan zaman
yang menaunginya.
Dapat disimpulkan, fungsi paradigma adalah menyuplai teka-teki (puzzle)
bagi para ilmuwan untuk dipecahkan. Paradigma juga menyediakan alat
sebagai solusi bagi mereka.17 Untuk memecahkan teka-teki (puzzle solving)
tersebut dibutuhkan dugaan dasar dan dugaan teoritis. Di mana pada setiap
teka-teki karakternya berbeda satu sama lain. Artinya, paradigma menjadi
dasar dalam melihat, memahami, dan mepersepsi realitas (fenomena). Dengan
kata lain, paradigma menjadi wordwiew (cara pandang terhadap dunia) untuk
menentukan metode apa yang akan dipakai pada penelitian. Dengan landasan,
setiap paradigma selalu berbeda tergantung waktu dan tempatnya. Setiap
kelompok atau komunitas ilmiah pun paradigmanya berbeda. Bahkan setiap
individu ilmuwan dalam satu komunitas pun paradigmanya dimungkinkan bisa
berbeda. Oleh karena itu, paradigma bisa menentukan sifat dan karakter ilmu
pengetahuan yang dibangun. Bisa dikatakan, ilmu pengetahuan merupakan
sekumpulan teori-teori yang terbalut dalam sebuah paradigma yang ada pada
masing-masing ilmuwan.
b. Ilmu Pengetahuan Normal (normal science)
Yang dimaksud dengan normal adalah didasarkan pada aturan atau pola
yang umum, sehingga tidak ada penyimpangan dari suatu norma atau kaidah. 18
Bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan normal (IN) merupakan kumpulan teori
yang sudah mapan atau diakui oleh komunitas ilmiah. Sedang menurut Surjani
yang dipahami dari Kuhn bahwa ilmu pengetahuan normal adalah kegiatan
ilmiah dalam masyarakat ilmiah, mereka bekerja dalam strukturnya sendiri,
bidang kajian tersendiri, dengan hukum serta teori yang mendasari kenyataan
menurut topik bahasan mereka.19 Dapat diartikan, bahwa ilmu pengetahuan
normal merupakan ilmu pengetahuan yang dasarnya masih dikaji dan
digunakan oleh ilmuwan karena metode dan isinya masih layak untuk dijabarkan
serta dikembangkan secara mendalam.
Ilmu pengetahuan normal merupakan ilmu pengetahuan yang pemikiran
atau teorinya mendominasi teori lainnya. Dengan kata lain, mayoritas komunitas
atau beberapa aliran pemikiran lain mengakui hegemoni bahkan berkiblat
kepada ilmu pengetahuan normal tersebut. Hal ini bisa terjadi karena ilmu
pengetahuan normal menjanjikan pemecahan masalah yang lebih akurat dan
menawarkan penelitian yang lebih maju. Bisa dikatakan bahwa pada normal
science ini masyarakat ilmiah tunduk pada paradigma yang paling berhasil
dalam memecahkan masalah daripada yang ditawarkan oleh paradigma lainnya
yang dianggap sebagai paradigma gagal (PG). Keberhasilan di sini, tidak harus
sangat berhasil secara sempurna dalam menangani satu atau sejumlah
masalah. Melainkan, dicukupkan pada paradigma tersebut mampu memberikan
janji akan keberhasilan yang dapat ditemukan pada contoh-contoh pilihan dan
yang masih belum lengkap.20
dan menyebarkan Islam moderat yang dapat menjadi model bagi negara-negara Muslim lainnya. Lihat,
Muhammad Sirozi, In Search of a Distinctive Paradigm for Indonesia Islamic Studies: Some Note From
13th AICIS 2013, dalam http://diktis.kemenag.go.id/aicis/index.php?artikel=lihat&jd=4#.VOqakfmsUyY,
diakses tanggal 23 Februari 2015.
17
Anonim, Thomas Kuhn, dalam http://plato.stanford.edu/entries/thomas-kuhn/, 13 Agustus 2011,
diakses 23 September 2014.
18
Kamus Besar Bahasa, didownload tanggal 21 April 2014.
19
Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains:, hlm.123
20
Yeremias Jena, Thomas Kuhn Tentang Perkembangan Sains dan Kritik Larry Laudan, Jurnal Melintas
(Jakarta: Departement of Ethics/Philosophy, Atma Jaya Catholic University, 28 Februari, 2012), hlm. 161181,
dalam
https://www.academia.edu/4171062/Thomas_Kuhn_Tentang_Perkembangan_Sains_dan_Kritik_Larry_La
udan, didownload tanggal 23 September 2014.

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

Pada lingkup ilmu pengetahuan normal ini, ilmuwan tidak bersikap terlalu
kritis terhadap paradigma yang membangun ilmu pengetahuan tersebut. Hal ini
karena mereka kesulitan menemukan kelemahannya, sehingga ilmu
pengetahuan tersebut telah dinyatakan sebagai kesepakatan umum (general
agreement). Namun, lambat laun jika dikaji terus-menerus maka bisa saja
ditemukan sebuah keganjilan (anomali) pada ilmu pengetahuan normal ini. Di
mana para ilmuwan tidak lagi mampu menjelaskan dan memecahkan keganjilan
tersebut dengan teori-teori lamanya. Selanjutnya, ilmu pengetahuan normal
yang dipenuhi oleh anomali ini akan dipertanyakan eksitensinya. Mumpuni untuk
tetap digunakan atau bisa digantikan dengan teori lain yang menentangnya.
Hal tersebut menurut Nurkhalis bukan berarti normal science bertujuan
mematikan diri sendiri, akan tetapi justru menghendaki adanya revolusi sains.21
Dengan kata lain, di dalam lingkup normal science terdapat keinginan untuk
regenerasi ilmu pengetahuan, sehingga pengembangan ilmu pengetahuan tidak
berhenti sampai di situ saja. Di mana revolusi itu sangat penting dilakukan agar
diperoleh suatu ilmu yang tepat untuk memecahkan solusi sesuai permasalahan
baru yang dihadapi. Dapat disimpulkan bahwa normal science adalah ilmu
pengetahuan atau sekumpulan teori yang sudah mapan. Artinya, di dalamnya
terdapat usaha tersistem yang kokoh untuk menjelaskan manfaat paradigma
yang digunakan sebagai cara memecahkan masalah. Implikasinya, ia bisa
menjadi dasar bagi sejumlah teori lain, baik untuk pengembangan teori maupun
untuk pembenaran teori.
c. Anomali (anomalous/anomaly)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia anomali (An) berarti terjadinya
penyimpangan dan keganjilan dari yang normal.22 Sedangkan menurut Kuhn,
anomali adalah terjadinya ketidakselarasan antara kenyataan yang ada
(fenomena)dengan paradigma-paradigma yang digunakan ilmuwan. Dengan
kata lain, anomali adalah sebagai syarat awal (permulaan) terjadinya proses
penemuan baru. Yakni, ketika ada kesesuaian atau keterjalinan antara fakta
baru dengan teori yang baru.23 Dapat digambarkan pada kondisi ini seorang
atau komunitas ilmuwan menemukan kejanggalan dalam mempertahankan
keampuhan paradigma yang ia gunakan untuk membangun teori. Di sisi lain,
secara naluriah individu ilmuwan tidak akan mau menjatuhkan atau menolak
teori yang ia bangun sendiri. Implikasinya, ia akan mencari bukti, argumen, dan
teori-teori yang kuat untuk menjaga teori yang dibangunnya agar tetap valid.
Dapat disimpulkan bahwa anomali adalah berkurangnya atau bahkan
hilangnya kemampuan paradigma lama dalam memecahkan persoalan (tekateki) yang ada pada ilmu normal. Dalam kondisi ini, komunitas ilmuwan
menyangsikan kekuatan paradigma yang selama ini digunakan. Hal itu terjadi
karena paradigma tersebut tidak mampu lagi menerangkan atau menjadi
pemandu dalam memahami bermacam fenomena terbaru. Dengan kata lain,
proses adanya anomali karena para ilmuwan menemukan berbagai kejanggalan
pada ilmu pengetahuan normal. Di mana kejanggalan tersebut tidak dapat
dijelaskan dengan paradigma yang selama masa tersebut digunakan oleh
masyarakat ilmiah sebagai pedoman mereka. Oleh karena itu, para ilmuwan
dipaksa untuk melakukan pembaruan dengan menggali paradigma baru
(menemukan teori baru) agar lebih cocok bagi kehidupan kontemporer.

21

Nurkhalis, Konsep Epistemologi Paradigma Thomas Kuhn, Jurnal Subtantia, vol. 14, No. 2, Oktober
2012
(Banda
Aceh:
IAIN
Ar-Raniry),
hlm.
210-223,
dalam
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=265995&val=7080&title=KONSEP%20EPISTIMOLO
GI%20PARADIGMA%20THOMAS%20KUHN, didownload tanggal 21 Desember 2014.
22
Kamus Besar Bahasa, didownload tanggal 21 April 2014.
23
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, terj. Tjun Surjaman, (Bandung: Remaja
Rosdakarya Cet. VII, 2012), hlm. 52-53.

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

Namun demikian, syarat terjadinya anomali tidak serta merta hanya karena
paradigma yang masih digunakan tersebut mendapat kritik. Bagaimanapun,
sanggahan atau kritik saja tidak cukup untuk melemahkan gagasan yang
dilontarkan ilmuwan lain. Meski bantahan tersebut menggunakan beberapa teori
sebagai argumentasinya. Perlu alasan mendasar dan urgen suatu gagasan
harus segera diganti dengan gagasan lain. Salah satunya adalah adanya
realitas bahwa masyarakat luas sangat memerlukan solusi baru untuk
memecahkan masalah yang baru. Sebagaimana pernyataan terdahulu bahwa
suatu penelitian atau kajian bukan untuk mencari kebenaran, akan tetapi
mencari nilai kemanfaatan (untuk memecahkan permasalahan atau puzzle
solving). Alasan lainnya, kritik yang ditujukan pada gagasan (paradigma) lama
harus agresif dalam membombardir hal-hal yang paling vital pada objek
terdalamnya.
Hal ini berarti bahwa sampai kapanpun tidak ada paradigma yang terbaik,
utuh, dan terlepas dari anomali. Akibatnya, suatu teori atau gagasan yang
dibalut oleh paradigma lama akan senantiasa berpeluang diperbarui oleh
paradigma baru. Senyampang paradigma baru tersebut mampu menggempur
lalu menciptakan krisis pada ilmu pengetahuan normal. Dengan kata lain, bila
memenuhi syarat maka secara terus-menerus akan terjadi pergeseran dari satu
paradigma ke paradigma lain. Yakni, paradigma yang dipandang lebih cocok
digunakan untuk memecahkan masalah terbaru. Dengan demikian, dalam
pengembangan ilmu pengetahuan faktor kesadaran dan ketulusan akan
adanya anomali adalah sangat penting. Di mana anomali diawali tidak hanya
dengan kritik belaka terhadap gagasan yang ada. Melainkan, mesti ditindak
lanjuti dengan penelitian atau kajian mendalam untuk menemukan teori baru
sehingga mampu menimbulkan krisis.
Dapat disimpulkan, perbedaan antara anomali dengan krisis adalah
anomali timbul karena faktor ditemukannya kelemahan dari dalam paradigma
lama. Dampaknya, banyak ilmuwan yang meragukan keampuhan paradigma
lama dalam memecahkan masalah. Sedangkan adanya krisis karena faktor
serangan dari luar paradigma lama. Yakni, ditemukannya tawaran yang lebih
segar oleh paradigma baru dalam memecahkan masalah baru. Bisa dikatakan,
anomali menjadi penggugah ilmuwan untuk menawarkan paradigma baru agar
anomali yang terjadi segera normal seperti sedia kala. Bila tawaran itu mampu
menggoyang"atau mengubrak-abrik paradigma lama maka inilah yang disebut
dengan keadaan krisis.
d. Krisis (crisis)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata krisis (Kr) salah satunya
punya arti keadaan genting; kemelut, dan keadaan suram (tentang ekonomi,
moral, dan sebagainya).24 Kata krisis bisa juga berarti pertama masa gawat,
kedua saat genting, dan ketiga kemelut, kegentingan, kegawatan.25 Secara
detail Nurkhalis menyatakan bahwa krisis merupakan gejala kebaruan yang
timbul secara tak terduga dan berulangkali disertai muatan teori-teori terbaru.
Lebih rinci, suatu krisis bisa terjadi bila hal-hal baru tersebut tidak dapat
diterangkan (dijinakkan) oleh paradigma lama, sehingga ketidakpercayaan
terhadap paradigma lama tersebut mulai bermunculan. Faktor lainnya adalah
terjadi ketidaksesuaian antara teori dengan fakta. Selain daripada itu, karena
sekumpulan gejala anomali (anomaly) secara fundamental serta terus-menerus
begitu nyata (memuncak) ada pada diri paradigma lama. Dengan demikian,
tidak ada pergeseran paradigma (revolusi) tanpa adanya krisis, karena dalam
hal ini peran anomoli saja tidak cukup.26 Dapat dikatakan adanya krisis adalah
24

Kamus Besar Bahasa, didownload tanggal 21 April 2014.


John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2013), hlm. 155.
26
Nurkhalis, Konsep Epistemologi Paradigma, Jurnal Subtansia, didownload 21 Desember 2014.
25

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

sebagai salah satu faktor penentu sebuah paradigma lama harus diganti dengan
kandidat paradigma terbaru (sebagai calon pengganti) atau tidak.
Lebih gamblang, dalam komunitas ilmuwan, Khun menyatakan ada
beberapa individu yang lebih kritis dari pada yang lainnya. Mereka lebih peka
dan mensinyalir adanya anamoli dalam paradigma yang selama ini dipegang
oleh komunitas, sehingga harus ditindaklanjuti dengan usaha penemuan baru.
Di sisi lain, kebanyakan masyarakat ilmiah secara reflek akan menentang setiap
perubahan konseptual. Dengan demikian, dalam masyarakat ilmiah terdapat
dua unsur, yaitu individu ilmuwan yang kritis dan individu yang konservatif.27
Sebagaimana pernyataan Muslih bahwa fenomena krisis terjadi tatkala
menumpuknya anomali, sebagai akibat dari sikap kritis komunitas ilmiah,
menimbulkan krisis kepercayaan terhadap paradigma [lama]. Paradigma mulia
diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuwan mulai keluar dari jalur ilmu
normal.28 Bisa dikatakan, peristiwa genting antara paradigma satu dengan
paradigma lain seperti inilah yang disebut dengan pertarungan/perbandingan
paradigma atau pertentangan paradigma (PP).
Lebih lanjut, ketika menghadapi situasi krisis, para ilmuwan dihadapkan
beberapa pilihan yang dilematis. Yakni, akan setia pada paradigma lama
dengan berbagai argumentasinya atau menerima paradigma baru. Bisa juga
dengan menemukan, mengembangkan, dan merumuskan paradigma lain yang
dirasa lebih tepat dalam memecahkan masalah daripada kedua paradigma
sebelumnya. Namun, bila dalam perjalanan selanjutnya ternyata paradigma
baru (calon pengganti paradigma lama) tersebut gagal menjaga kewibaannya
dalam menaungi ilmu pengetahuan maka paradigma lama bisa kembali bangkit
lagi. Hal inilah yang disebut dengan penguatan/peneguhan paradigma atau
afirmasi paradigma (AP).
Dalam menanggapi fenomena di atas, Kuhn menyatakan bahwa ada
diskontinuitas ketika para ilmuwan menghadapi masa-masa krisis.29
Diskontinuitas ini terjadi karena munculnya beberapa gagasan (teori) baru yang
tak terkontrol, sehingga berpeluang besar menggantikan paradigma lama. Di
mana sejumlah gagasan baru ini muncul dari beberapa arah yang sebagian
darinya menentang paradigma lama. Di sinilah terjadi ketidaksinambungan
munculnya ilmu pengetahuan, disebabkan serangan paradigma baru dilakukan
secara tiba-tiba (tak terduga) dan berbeda dengan yang sebelumnya.
Ketidaksinambungan terjadi bisa juga karena komunitas ilmuwan mencari
berbagai cara untuk menyelesaikan masalah tersebut, sehingga kegagalan
paradigma lama bisa diselesaikan oleh calon paradigma baru. Sekali lagi, hal ini
bukan berarti paradigma lama tidak mendapatkan tempat. Bagaimanapun
paradigma lama tetap bernilai dan bermanfaat di zaman dan tempatnya ketika ia
masih jaya. Sedangkan, untuk zaman dan tempat terbaru (sekarang ini)
paradigma lama tersebut sebagian atau bahkan keseluruhan darinya sudah
tidak tepat untuk digunakan lagi. Meski banyak kasus, dapat terjadi paradigma
lama menginspirasi (menyemangati) lahirnya paradigma baru.
e. Revolusi Ilmu Pengetahuan (revolutionary science/scientific revolution)
Revolusi ilmu pengetahuan (Rev) adalah terjadinya lompatan-lompatan dan
perubahan-perubahan secara drastis. Menurut Kuhn proses revolusi ilmu
pengetahuan hampir sama dengan proses terbentuknya sejarah ilmu
pengetahuan dan tentu sejarah masyarakat yang bersifat diskontinu.30 Dalam
27

Anonim,
The
Structure
of
Scientific
Revolutions,
dalam
http://en.wikipedia.org/wiki/The_Structure_of_Scientific_Revolutions, diakses tanggal 23 September 2014.
28
Mohammad Muslih, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat Ilmu, Hunafa: Jurnal Studia Islamika,
Vol.
8,
No.
1,
Juni
2011:
hlm.
53-80,
ISID
Gontor
Ponorogo,
dalam
http://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/84/75, diakses tanggal 21 Desember 2014.
29
Basuki, Jejak Paradigma Kuhn, diakses tanggal 23 September 2014.
30
Zubaedi, Filsafat Barat: Dari, hlm. 181.

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

konteks perkembangan ilmu pengetahuan apapun, Kuhn telah membuka lebar


(open-ended) peluang terjadinya revolusi. Di mana revolusi merupakan sesuatu
yang sangat bernilai bagi terjadinya perkembangan tersebut. Dengan kata lain,
sesungguhnya perkembangan ilmu pengetahuan itu tidak lepas dari proses
revolusi.31 Selain dari pada itu, Kuhn menekankan bahwa revolusi ilmu
pengetahuan melibatkan revisi atas keyakinan (asumsi) dan praktek ilmiah yang
ada.32
Dapat disimpulkan, revolusi ilmu pengetahuan adalah manifestasi atau efek
yang paling mentok dari ketidakselarasan antara paradigma lama dengan
paradigma baru. Yakni, ketika paradigma baru mampu eksis dan diterima oleh
sebagian atau bahkan seluruh kalangan ilmuwan. Dengan itu, maka dapat
dikatakan suatu revolusi telah terjadi. Namun kalau sebaliknya, maka paradigma
lama tetap digunakan atau akan digantikan oleh paradigma baru yang lainnya.
Dengan kata lain, dalam revolusi terjadi penjungkirbalikan paradigma yang ada
(lama) oleh paradigma baru yang benar-benar berbeda dengan sebelumnya,
baik itu isinya maupun pada metodenya.33 Pada kategori revolusi ilmu
pengetahuan ini sikap kritis, kesadaran, dan usaha sungguh-sungguh individu
dan masyarakat ilmiah untuk memecahkan masalah sangat berperan penting.
Setalah itu, apabila ada kesepakatan maka akan terjadinya perpindahan
komunitas ilmiah, dari komunitas paradigma lama menuju paradigma yang baru.
Yakni, memungkinkan ilmuwan untuk mengekspolrasi persoalan baru yang
berbeda hasilnya jika tetap menggunakan paradigma lama. Hal ini karena
dengan menggunakan paradigma baru mereka seakan-akan ditransformasikan
ke wilayah lain. Meski kenyataannya tempatnya tetap pada yang lama. Akan
tetapi, karena paradigmanya (perlengkapan) berbeda dari yang lama maka
wilayah tersebut tampak berbeda pula dengan sebelumnya. Bahkan, dengan
paradigma baru tersebut ilmuwan mampu menyentuh sesuatu yang
sebelumnya tidak pernah mereka sentuh.34 Dari sudut pandang lain, pernyataan
tersebut dirasa terlalu kaku tatkala dibandingkan dengan ungkapan
Shuttleworth:
Kuhn originally believed that a paradigm would make a sudden leap
from one to the next, called a shift, and he believed that the new
paradigm could not be built upon the foundations of the old. Probably
the best example of this is in physics. Newton's Laws were an example
of a paradigm, and scientists worked upon his principles for centuries.
The discovery of the internal structure of the atom started to find holes
in the theory, and Einstein provided the 'out of the box thinking' that
dragged the paradigm in another direction. However, Kuhn later
conceded that the process might be more gradual. For example,
Relativity did not completely prove Newton wrong, but added to it and
adapted it. Even the Copernican revolution was a little more gradual
before completely throwing out Ptolemy's beliefs. Taking the Chinese
researcher example, there is now a better integration between eastern
and western medical philosophies, so the paradigms are merging.35

31

Ibid., hlm.183-184.
Anonim, Thomas Kuhn, diakses 23 September 2014.
33
Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains:, hlm. 120.
34
Sebagaimana pernyataan Choudhury bahwa with the change in paradigm and a newer way of looking
at the world, come about reorganizations and transformations. In such changes, new rules, institutional
structures, human convictions and instruments to enforce the new ways of thinking arise. Ia juga
mengutip pendapat Thomas Kuhn yang menyatakan It is rather as if the professional community had
been suddenly transported to another planet where familiar objects are seen in a different light and are
joined by non-familiar ones as well. Lihat, Masudul Alam Choudhury, The Universal Paradigm and the
Islamic Word-System: Economy, Society, Ethics, and Science (Singapore: World Scientifc, 2007), hlm. 13.
35
Martyn Shuttleworth, What Is a Paradigm?, dalam https://explorable.com/what-is-a-paradigm, diakses
tanggal 23 September 2014.
32

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

Dari pernyataan tersebut, dapat dijelaskan bahwa Khun awalnya meyakini


bahwa pergeseran paradigma terjadi dengan adanya lompatan secara tibatiba. Ia pun awalnya percaya bahwa paradigma baru tidak bisa dibangun di atas
dasar paradigma lama. Namun, Kuhn lantas mengakui bahwa proses revolusi
dimungkinkan terjadi dengan bertahap. Contoh yang paling mudah adalah teori
relativitas Einstein tidak sepenuhnya menjadikan (membuktikan) bahwa teori
Newton salah. Bagaimanapun, dalam teori relativitas juga terdapat penambahan
dan adaptasi dari teori Newton. Contoh lainnya adalah ketika peneliti China
melakukan integrasi antara filsafat medis Timur dengan Barat dengan cerdas,
sehingga terjadi penggabungan paradigma. Oleh karena itu, dalam revolusi ilmu
pengetahuan suatu paradigma tidak harus diganti seluruhnya. Akan tetapi
sebagian saja sudah cukup bila dengan sebagian paradigma yang diganti
tersebut mampu mengungguli paradigma lama dalam memecahkan masalah.
Dari semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam revolusi
ilmu pengetahuan tidak ada kematangan ilmu atau immatur science (IS). Hal
ini karena setiap kali ilmu pengetahuan berada pada posisi matang akan selalu
rentan ditandingi oleh paradigma baru yang lebih menjanjikan. Dengan kata lain,
kematangan suatu ilmu dianggap berlaku hanya di zaman (waktu) dan tempat
(ruang) ketika ia masih jaya. Ilmu tersebut tidak akan dianggap matang lagi di
zaman dan tempat lain karena paradigma baru ternyata lebih matang.
Kenyataan ini terjadi disebabkan para ilmuwan dari satu generasi ke generasi
lainnya pada dasarnya ingin terus-menerus mengadakan pengembangan.
Bahkan, kadang sepenuhnya terjadi penolakan dari hasil temuan ilmuwanilmuwan sebelumnya. Implikasinya, sebuah kebenaran yang diakui oleh
ilmuwan zaman sekarang belum tentu akan diakui sebagian atau seluruh
kebenerannya oleh ilmuwan masa mendatang.
2. Pengertian Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, revolusi berarti perubahan mendasar
dalam suatu bidang tertentu. Sedangkan kata perkembangan terkait erat dengan
kata berkembang yang salah satunya memiliki arti menjadi bertambah
sempurna tentang pribadi, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya. Bisa juga
diartikan menjadi banyak (merata, meluas, dsb). Sedangkan ilmu pengetahuan
artinya kumpulan berbagai pengetahuan yang disusun secara logis dan tersistem
dengan memperhitungkan sebab serta akibat.36 Kata lain yang biasanya sebagai
pengganti kata ilmu pengetahuan adalah sains. Di mana sains berarti pertama
ilmu pengetahuan pada umumnya, kedua pengetahuan sistematis tentang alam
dan dunia fisik, temasuk ilmu tentang makhluk hidup dan benda mati secara detail
(ilmu pengetahuan alam), ketiga pengetahuan sistematis yang diperoleh dari
observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar
atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari, dan sebagainya.37
Dalam pembahasan buku ini disengaja tidak menggunakan kata sains
sebagai pengganti kata ilmu pengetahuan. Alasannya sederhana, karena kata
sains lebih cenderung pada lingkup kajian ilmu pengetahuan alam dan kurang
menekankan ilmu pengetahuan sosial. Adapun, kata scientific dalam bukunya
Kuhn yang paling terkenal berjudul The Structure of Scientific Revoluions
memiliki arti (secara) ilmiah, pendekatan secara ilmiah.38 Sedangkan kata ilmiah
itu sendiri berarti bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat
(kaidah) ilmu pengetahuan.39 Oleh karena itu, untuk mempertegas diri dari kesan

36

Kamus Besar Bahasa, didownload tanggal 21 April 2014.


Ibid.
38
Echols dan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, hlm. 504.
39
Kamus Besar Bahasa, didownload tanggal 21 April 2014.
37

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

keperpihakan dengan ilmu alam40 saja maka dalam buku ini sengaja
menggunakan kata ilmu pengetahuan sebagai pengganti dari kata sains.

Pembahasan ini diawali dengan pernyataan Kuhn bahwa revolusi


perkembangan ilmu pengetahuan itu tidak terjadi secara kumulatif atau linier
(kontinu), tapi terjadi secara non kumulatif dan diskontinu.41 Hal ini menunjukkan
perkembangan ilmu pengetahuan bukan berasal dari gabungan beberapa ilmu
pengetahuan yang telah ada. Lalu disimpulkan ilmu yang datangnya paling akhir
itu adalah yang benar atau yang paling matang. Namun, perkembangan ilmu
pengetahuan terjadi secara revolusioner. Yakni, terjadi perubahan secara
mendasar (terjadi pertentangan) antara paradigma lama dengan paradigma yang
baru.42 Di mana terdapat lompatan-lompatan yang tak teratur dalam proses
kelahiran ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, mekanisme revolusi ilmu
pengetahuan dapat disamakan dengan revolusi sosial dan politik.
Bagi Kuhn, penemuan teori tidak menjadi kekuatan pendorong ilmu
pengetahuan ke arah kemajuan. Bagaimanapun, ilmu pengetahuan bukanlah
kumpulan kestabilan dan terus menerus ditambah dengan penemuan baru. Akan
tetapi, ilmu pengetahuan merupakan serangkaian selingan yang dimulai dari
revolusi intelektual para pemikir. Setelah ada revolusi, konsep baru akan
menggantikan konsep ilmu pengetahuan lama, sehingga terjadi pergantian konsep
yang berbeda secara terus-menerus. Hal itu akan terus terjadi sepanjang
kehidupan sejarah manusia.43 Dengan demikian, senyampang para ilmuwan dari
generasi ke generasi terus aktif melakukan pengembangan dan pembaruan
gagasan, selama itu pula peluang revolusi perkembangan ilmu pengetahuan terus
berlangsung.
Kembali ditegaskan, perkembangan ilmu pengetahuan merupakan proses
yang tak menentu, sulit untuk ditebak, dan terjadi tanpa keteraturan yang mana
bisa terjadi sewaktu-waktu.44 Agar tercipta pemahaman yang jelas tentang
mekanisme revolusi perkembangan ilmu pengetahuan maka perlu dipaparkan
skema yang diberi nama Bukit Paradigma dari hasil analisis penulis sebagai
berikut:

40

Perkembangan ilmu pengetahuan bisa terjadi salah satunya ada ketidakpercayaan komunitas
masyarakat ilmuwan (komunitas ilmiah) terhadap teori-teori tertentu. Asumsinya, ilmu pengetahuan bisa
terbentuk karena senantiasa dibangun atau diisi atas kumpulan beberapa teori. Implikasinya, terdapatnya
proses pengembangan ilmu pengetahuan oleh ilmuwan disebabkan adanya proses pengembangan teoriteori yang sudah ada. Tentunya, sebuah teori itu dibangun berdasarkan dari hasil proses tindakan
(penelitian) ilmiah. Dengan demikian, pengembangan ilmu pengetahuan harus dilakukan secara
komprehensif. Tidak hanya didasarkan pada salah satu aspek ilmu-ilmu alam (sains) atau metode tertentu
saja. Namun juga melihat pengaruh ilmu-ilmu sosial yang kemungkinan mendominasi suatu teori
tersebut.
41
James A. Marcum, Thomas Kuhns Revolution: An Historical Philosophy of Science (New York:
Coontinum, 2005), hlm. 68, 75.
42
Basuki, Jejak Paradigma Kuhn, diakses tanggal 23 September 2014.
43
Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains:, hlm.119
44
Anonim, Pemikiran Karl Poper dan Thomas Kuhn tentang Science. Apa Persamaan dan
Perbedaannya?,
dalam
http://www.wisnudewobroto.com/pemikiran-karl-popper-dan-thomas-kuhntentang-%E2%80%9Dscience%E2%80%9D-apa-persamaan-dan-perbedaannya/, diakses tanggal 23
September 2014.

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

Keterangan:
P1
: Paradigma Pertama (ke-1)
IN
: Ilmu Pengetahuan Normal
IS
: Ilmu pengetahuan yang tak pernah matang/mapan (immature science)
An
: Keganjilan (anomali) yang ditemukan pada IN
Kr
: Krisis, kegagalan P dalam menjelaskan secara tepat tentang Anomali
Rev : Revolusi, meninggalkan paradigma lama menuju paradigma baru
PP
: Pertentangan antar Paradigma (paradigma lama Vs paradigma baru)
P2
: Paradigma ke-2 (paradigma baru yang berhasil menggantikan P1)
PG
: Paradigma baru yang gagal menggantikan paradigma lama
AP2 : Afirmasi (bangkitnya) paradigma lama (P2), paradigma baru gagal (PG) dalam
merevolusi
P3
: Paradigma ke-3 (paradigma terbaru yang berhasil menggantikan P2)
PPS : Pergeseran paradigma sebagian (tidak seluruhnya tergantikan oleh paradigma
baru)
Gambar 2.1 Bukit Paradigma: Skema Diskontinuitas Perkembangan Ilmu
Pengetahuan
Dari gambar di atas dapat disimpulkan, bahwa antar paradigma secara luas
tidak saling berhubungan, akan tetapi berdiri sendiri. Kendati harus diaku sebagian
dari kaki bukit paradigma terjadi keterkaitan antara paradigma lama dengan
paradigma penggantinya. Di sinilah letak revolusionernya, karena paradigma
bertugas membimbing jalannya perkembangan ilmu pengetahuan secara terusmenerus. Dari hal tersebut, dapat dikatakan revolusi perkembangan ilmu
pengetahuan adalah perubahan mendasar tentang kumpulan-kumpulan paradigma
yang tersusun berdasarkan konteks masyarakat ilmiah (karena paradigma
terbentuk dari konteks masyarakat).45 Artinya, dalam revolusi perkembangan ilmu
pengetahuan terdapat unsur-unsur perubahan secara mendasar bahkan saling
bertolak belakang. Perubahan itu terjadi secara undetermination (tidak tentu
arahnya) dan berjalan dengan mandiri. Hal itu disebabkan karena adanya
kegagalan paradigma (isi dan metodenya) yang lama dalam mempertahankan diri
dari paradigma baru. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan bisa dikatakan mengalami
perkembangan bila terjadi pergantian paradigma. Meski perlu ditekankan kembali
bahwa paradigma lama seringkali memberi inspirasi dan modalitas (nampak di kaki
bukit paradigma terutama pada kolong bagian Rev) bagi berkembangnya
paradigma baru.

45

Menurut Wittegenstein sebagaimana dikutip Maksum, arti kebenaran bukan kesesuaian teori dengan
data empiris. Namun, kebenaran ditentukan oleh konteks, dalam bingkai linguistik (language-game) dan
bingkai sosio-kultur (form of life). Penggunaan bingkai komunitarian ini kemudian dipakai oleh Thomas
Kuhn. Bahkan, menurutnya data empiris menjadi data empiris bila ada bingkai itu (theory-ladenness).
Lihat, Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2008), hlm. 259.

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

B. Penelusuran Alam Pikir Thomas S. Kuhn


1. Konsep Pencarian Kebenaran Vs Puzzle-Solving Milik Thomas S. Kuhn
Menurut Kuhn, yang namanya kebenaran tunggal (objektif) itu tidak pernah
ada. Karena bagaimanapun konsep kebenaran yang ada sekarang ini dibangun
terdiri atas paradigma-paradigma yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat
ilmiah/akademis (ilmuwan). Dengan kata lain, menurut Kuhn kebenaran tunggal
yang dianut positivisme46 merupakan suatu paradigma ilmu pengetahuan yang
tetap mapan karena mendapat dukungan dan dimapankan pihak kalangan
komunitas ilmuwan. Oleh karena itu, paradigma merupakan alat yang menjadi
kerangka konseptual dalam memahami kebenaran alam semesta. Artinya,
ilmuwan atau masyarakat ilmiah dalam melakukan penelitian tidak bisa lepas dari
paradigma. Secara otomatis kebenaran ilmu tidaklah mutlak-tunggal, tapi relatifplural, maka kebenaran yang ada akan terus-menerus diteliti atau dikritisi oleh
komunitas ilmiah lain.47 Dari sini, sebagian dari kalangan mengatakan dengan
tegas bahwa Kuhn merupakan filsuf penganut relativisme.48 Bahkan disebut
pengusung irasionalisme dalam ilmu pengetahuan.
Hal ini berarti dalam benak Kuhn, istilah pencarian kebenaran mendapat
penolakan darinya. Namun, yang ada adalah pemecahan teka-teki (PuzzelSolving).49 Di mana, pada hakikatnya manusia mengembangkan ilmu pengetahuan
bukan untuk menemukan kebenaran, lalu menyalahkan yang tidak benar. Akan
tetapi penelitian atau pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan untuk
memecahkan masalah sosial. Dengan kata lain, seringkali ilmuwan ingin atau
sedang menemukan sesuatu karena memang pada saat itu masyarakat
membutuhkan temuan tersebut untuk kehidupan mereka yang lebih baik.
Implikasinya, saat proses pemecahan teka-teki itu kadang metode ilmiah tidak
penting. Yang terpenting adalah bagaimana ilmuwan mampu membangun konsep
dari segala sudut. Termasuk di dalamnya konteks dan sejarah ilmu pengetahuan
yang dapat memecahkan teka-teki tersebut, sehingga hasilnya bisa dimanfaatkan
oleh masyarakat.
46

Selama ini ilmu pengetahuan berkembang dinaungi oleh paradigma yang dianut oleh positivisme. Yakni,
bahwa kebenaran itu harus bersifat mutlak-tunggal (pasti). Di mana, suatu kebenaran (ilmu) bisa diakui
keabsahannya bila ilmu tersebut lolos dari ujian verifikasi, standar keilmuan, dan uji kebenaran lainnya.
Ciri lainnya adalah suatu ilmu itu harus diperoleh memulai syarat-syarat tertentu, menggunakan prosedur
ilmiah, bersifat netral, dan bebas nilai. Implikasinya, ada penolakan atau penerimaan terhadap teori
tertentu, sehingga yang ditolak tersebut harus ditinggalkan dan dibuang sepenuhnya. Dengan kata lain,
sesuatu yang tidak bisa diraba melalui prosedur ilmiah dinyatakan sebagai sesuatu yang salah dan tidak
bermakna sama sekali. Hal inilah yang ujungnya menyebabkan terjadinya penyeragaman berfikir, bahkan
penyeragaman dalam tataran praktik. Bila paradigma tersebut dituangkan dalam dunia PAI maka bisa
berakibat pada ketidakabsahannya PAI diakui sebagai sebuah ilmu. Dengan kata lain, menurut positivistik
kajian PAI tidak lebih dari gagasan omong kosong yang tidak dapat dibutkikan kebenarannya secara
empiris.
47
Andri,
Paradigma
Ilmu
Thomas
Kuhn
dan
Karl
Popper,
dalam
https://mhs.blog.ui.ac.id/andri.septian/2010/10/08/paradigma-ilmu-thomas-kuhn-dan-karl-popper/,
08
Oktober 2010, diakses tanggal 23 September 2014.
48
Kebenaran ilmiah itu bersifat relatif dan ilmu pengetahuan perlu terus menerus diadakan penelitian
(research) untuk menemukan kebenaran baru, merevisi dan menyempurnakan temuan yang sudah ada.
Lihat, Tobroni, Paradigma Pemikiran Islam, diakses tanggal 19 Februari 2015. Selain itu menurut Ben
Dupr menjelaskan bahwa Kuhn sendiri berusaha menjauhkan dirinya dari pemahaman relavistik atas
karyanya, perhatian tentang bagaimana ilmu pengetahuan berkembang melahirkan keraguan pada
gagasan bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk menemukan secara objektif fakta-fakta yang benar
tentang bagaimana segala sesuatu berada di dunia... Pandangan umumnya adalah kebenaran dari
sebuah teori ilmu pengetahuan merupakan masalah mengenai seberapa baik teori itu berdiri
berdampingan dengan observasi-observasi netral dan objektif tentang dunia. Tetapi bagaimana jika tidak
ada fakta-fakta netral dan garis yang tegas antara teori dan data? Bagaimana jika, sebagaimana
dinyatakan oleh karya Kuhn, setiap observasi itu merupakan theory-laden (mengandung banyak teori)?
Lihat, Ben Dupr, 50 Gagasan Besar yang Perlu Anda Ketahui, dalam 50 Big Ideas You Really Need to
Know, terj. Benyamin Hadinata (tanpa kota: Esensi, 2010), hlm. 54.
49
Anonim, Scientific Revolution, dalam http://www.slideshare.net/anjanaaaaaaa/thomas-kuhn-andparadigm-shift?qid=5bd4b765-3538-461d-8888-ea9308659f26&v=qf1&b=&from_search=3,
diaskes
tanggal 23 September 2014.

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

Dapat disimpulkan, karena paradigma masing-masing ilmuwan maupun


paradigma yang disepakati (konsensus) dalam masyarakat ilmiah ikut andil dalam
perumusan teori ilmiah (yang diyakini kebenaran), maka subjektivitas memiliki
peranan. Nilai subjektivitas muncul bisa berupa pengaruh dari ideologi, psikologis,
otoritas, dan fanatisme yang ada pada komunitas ilmiah tersebut. Nilai-nilai
subjektivitas inilah yang penulis yakini sebagai salah satu penyebab
perkembangan ilmu pengetahun terjadi secara revolusioner bukan secara
evolusioner. Meskipun dalam dinamika tersebut diperlukan beberapa waktu yang
berbeda dalam tahap-tahapannya, karena kemampuan dan kecepatan perumus
paradigma baru berbeda-beda pada tiap zamannya. Dengan demikian kebenaran
tidak ada yang abadi, karena yang abadi adalah dinamika ilmu pengatahuan itu
sendiri beserta perubahan paradigma ilmuwan dari masa ke masa yang disertai
dengan interpretasinya.
2. Posisi Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn
Salah satu ciri utama konstruk ilmu pengetahuan yang diciptakan Kuhn
beserta aktivitas ilmiahnya adalah tidak mengabaikan peranan sejarah ilmu.
Menurutnya, mempelajari sejarah ilmu pengetahuan tak akan bisa lepas dari
memahami dua istilah penting. Yakni, pertama discovery yang artinya kebaruan
fakta atau penemuan. Lalu yang kedua invention, artinya kebaruan teori atau
penciptaan. Di mana menurut Kuhn penemuan-penemuan (discovery) sebagai
salah satu unsur pembangunan ilmu pengetahuan bukanlah peristiwa-peristiwa
yang dapat diabaikan begitu saja.50 Bagaimanapun sebagian besar penciptaan
(invention)51 teknologi sekarang ini bisa ada karena berkat adanya sejarah ilmu
pengetahuan terdahulu. Walaupun sebagian besar penemuan ilmuwan terdahulu
sifatnya masih dasar. Dengan kata lain penciptaan (invention) merupakan bagian
dari tahap-tahap pengembangan atau lebih tepatnya pergeseran yang berasal
dari penemuan (discovery) sebelumnya. Dimana struktur pentahapannya selalu
berulang dan berpola sama. Yakni, antara discovery dan invention terjadi
keterjalinan yang sangat erat.
Selanjutnya, pernyataan tentang ilmu pengetahuan terikat pada sejarah ilmu,
berimplikasi pada ilmu pengetahuan juga terikat dengan nilai, ideologi, sosiologis,
otoritas, dan latar belakang kehidupan penemunya. Alasannya, mempelajari
sejarah secara otomatis akan mempelajari sebanyak-banyaknya lingkup
kehidupan yang menyertai tokohnya. Semakin banyak atau lengkap dan
komperhensifnya data sejarah maka bisa dikatakan isi kajian sejarah tersebut
otentik. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan tidak bisa bebas nilai, utamanya tidak
bisa terbebas dari pengaruh paradigma penemu-penemunya yang mereka
peroleh sejak masih kecil hingga dewasa. Implikasi lainnya adalah karena
mempelajari sejarah pasti mempelajari ruang dan waktu tentang zaman
sebelumnya, maka ilmu pengetahuan juga terikat oleh ruang dan waktu. Itu
artinya, bisa saja paradigma sebagai pengkonstruk ilmu pengetahuan belum tentu
dapat digunakan pada waktu yang lain. Konsekuensinya, bila ditemukan
permasalahan yang berbeda dengan waktu yang berbeda pula, maka penggunaan
paradigma lain merupakan kewajiban.
Akhirnya, melalui konsep The Structure of Scientific Revolutions,
sesungguhnya perkembangan ilmu pengetahuan menemui jalan terjal. Selama ini
ilmuwan menyembah ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah yang seakan tak
50

Thomas S. Kuhn, The Structure of, terj. Tjun Surjaman, hlm. 52.
Perbedaan Invetioan dengan Discovery adalah pada hak paten atau hak ciptanya. Di mana untuk
discovery tidak bisa diurus hak patennya karena secara asali produk yang ditemukan tersebut sudah
tersedia di alam. Sedangkan invention bisa diurus hak patennya karena produk itu adalah murni dari
hasil intelektual penciptanya. Secara detail, kata Invention diserap oleh bahasa Indonesianya menjadi
invensi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata invensi memiliki arti penciptaan atau perancangan
sesuatu yang sebelumnya tidak ada; reka cipta. Lihat, Kamus Besar Bahasa, didownload tanggal 21
April 2014.
51

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

terbantah dan sudah mapan. Kini, dengan nomenklatur paradigma milik Kuhn
ilmuwan bisa menghargai subjektifitas. Yakni, dimungkinkan bagi ilmuwan untuk
mengungkapkan bias dan memodifikasi model.52 Oleh karena itu, menurut
kacamata Kuhnian53 bahwa klaim kebenaran pada satu teori yang diyakini abadi
dan tak tergoyahkan tidaklah tepat. Bagaimanapun suatu saat pasti akan ada
revolusi (penjungkirbalikan) ilmu pengetahuan.
Dapat dikatakan, ilmu pengetahuan kapanpun berpeluang untuk direvolusi.
Yakni, ketika paradigma atau teori yang lama bisa menggantikan paradigma yang
sama sekali baru (paradigma matang/dewasa yang lainnya). Oleh karena itu,
dapat dikatakan akan selalu ada pertandingan paradigma. Kapan pun itu setiap
paradigma pasti rentan terkena keganjilan atau penyimpangan (anomali) dari apa
yang dinamakan kenormalan (ilmu normal). Di mana paradigma yang paling cocok
dan terbaru akan menggantikan paradigma yang lama. Sebaliknya, ketika
paradigma baru tidak cukup matang dan tidak lebih baik dari paradigma lama
maka paradigma lama akan tetap digunakan oleh komunitas ilmuwan. Kalau itu
terjadi berakibat perkembangan ilmu pengetahuan tidak berjalan untuk sementara
waktu hingga ditemukan paradigma baru.
3. Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn
Dalam kajian sejarah ilmu pengetahuan, runtutan perkembangannya tidak
berdiri sendiri atau terpisahkan satu satu sama lain. Asumsinya, kekuatan ilmu
pengetahuan terletak pada sifat dan mekanisme revolusinya. Di mana,
perkembangan ilmu pengetahuan diperoleh bila teori yang ada bisa ditinggalkan
dan sepenuhnya diganti oleh teori yang lebih sesuai. Menurut Kuhn unsur
terpenting dalam sebuah perkembangan ilmu adalah adanya masyarakat illmiah
atau komunitas ilmiah. Baik itu dalam lingkungan formal seperti kampus dan
lembaga penelitian, maupun lingkungan nonformal seperti kehidupan masyarakat
secara luas. Masyarakat ilmiah menjadi faktor terbentuknya struktur ilmiah baru
dan dapat berkembang dalam kurun waktu tertentu. Semua itu tergantung pada
kaidah ilmiah yang berlaku di masyarakat tersebut.54
Berdasarkan pandangan Kuhn, perkembangan ilmu pengetahuan terjadi
secara revolusioner. Yakni, ketika ada peralihahan dari satu paradigma ilmu
pengetahuan ke paradigma ilmu pengetahuan lainnya yang lebih mumpuni. Di
mana, di dalamnya juga diselingi oleh paradigma ilmu normal sebagai ilmu yang
sementara mapan sebagai penjaga peradaban di zaman atau periodenya. Untuk
lebih jelas dan detailnya pembahasan, maka penulis paparkan tahap-tahap
perkembangan menurut Kuhn sebagai berikut:55
1. Fase pra-paradigma, pada tahap ini perkembangan ilmu pengetahuan berada
pada episode cukup lama. Di mana penelitian keilmuan dilakukan tanpa arah
dan tujuan tertentu. Pada episode ini, muncul berbagai aliran pemikiran yang
saling bertentangan konsepsinya tentang masalah-masalah dasar disiplin ilmu
dan metode apa yang cocok digunakan untuk mengevaluasi teori-teori.
2. Fase ilmu normal, pada masa ini mulai muncul salah satu aliran pemikiran
(teori) yang kemudian mendominasi disiplin ilmu lainnya. Di mana teori ini
menjanjikan pemecahan masalah yang lebih handal dan bisa terciptanya masa
depan ilmu yang lebih maju.
3. Fase anomali dan krisis, pada periode ini baik secara praktik ilmiah maupun
teoritis ilmu pengetahuan normal yang ada tidak mampu lagi untuk diandalkan
dalam memecahkan masalah yang baru. Kemudian, tatkala masalah yang
begitu sulit dan tidak dapat dipecahkan membuat para ilmuwan menemui jalan
52

Anonim,
Thomas
S.
Kuhn,
dalam
http://www.goodreads.com/review/show/191787098?book_show_action=true&page=1, diakses tanggal 23
September 2014.
53
Khunian adalah sebutan bagi siapa saja yang menjadi pendukung bahkan pengikut filsafat yang
dicanangkan Thomas Samuel Kuhn.
54
Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains:, hlm. 199.
55
Jena, Thomas Kuhn Tentang, Jurnal Melintas, didownload tanggal 23 September 2014.

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

buntu. Dari situ muncullah krisis dalam masyarakat ilmiah tersebut. Mereka
mulai meragukan paradigma yang telah ada selama ini. Pada titik jenuh,
muncullah ilmuwan yang saling bersaing satu sama lain untuk memecahkan
masalah krisis yang mereka hadapi. Dari situ, ilmuwan yang mampu
menemukan ilmu atau teori-teori yang digunakan dan diakui oleh komunitas
ilmiahlah yang akan menjadi paradigma baru dalam ilmu pengetahuan.
4. Fase munculnya paradigma baru, di sini ilmuwan sudah mampu memecahkan
masalah krisis yang dihapadapi pada fase sebelumnya. Awalnya sebagian
komunitas ilmiah tidak menerima (meragukan) paradigma baru ini. Akhirnya,
karena bermanfaatnya paradigma baru itu maka perlahan-lahan paradigma baru
tersebut diterima.
Agar lebih mudah dalam memahami tahap-tahap perkembangan ilmu
pengetahuan menurut Khun, maka perlu diuraikan dalam gambar berikut ini:56

P1

IN
Pr

An
Pr

Kr
Pr

Rev
Pr

P2
Pr

Pr

Keterangan:
P1
: Paradigma awal yang diterima
IN
: `Ilmu-ilmu normal
An
: Penyimpangan (anomali)
Kr
: Krisis (kegagalan P1 dalam menjelaskan secara tetap mengenai
penyimpangan atau An)
Rev
: `Menyangsikan P1 sehingga menemukan gagasan baru
P2
:
Paradigma baru, diharapkan mampu menyelesaikan persoalanpersoalan yang tidak dapat dipecahkan oleh P1
Pr
: Periode (masa/waktu)
Gambar 2.2 Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Thomas S. Kuhn
(diadaptasi dari pemaparan Muhaimin)
Dari gambar57 tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk mengganti paradigma
lama ke paradigma baru diperlukan beberapa tahapan-tahapan yang harus dilalui.
Meskipun seperti dalam pembahasan sebelumnya dalam setiap tahapan
(periode)58 pada kasus paradigma tertentu masing-masing berbeda masa atau
waktu prosesnya. Inilah yang berarti bahwa ilmu pengetahuan terikat oleh waktu
atau tahapan (periode). Artinya, proses pergeseran dari satu periode ke periode
lain akan menentukan proses perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini sama
seperti revolusi-revolusi di bidang lainnya seperti kasus revolusi pada bidang sosial
atau poitik, yang juga membutuhkan waktu. Bahkan, untuk satu jenis revolusi yang
sama membutuhkan sejumlah waktu yang berbeda bila diterapkan di tempat lain.
Semuanya tergantung pada paradigma yang digunakan oleh mayoritas
masyarakat.

56

Muhaimin, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Maliki Malang, Pemaparan pada Orientasi Program Studi
Mahasiswa Baru Semester Ganjil tahun akademik 2014-2015, tanggal 11 September 2014.
57
Gambar tersebut hampir sama dengan gambar yang dibuat oleh Tobroni. Lihat, Tobroni, Paradigma
Pemikiran Islam, diakses tanggal 19 Februari 2015.
58
Kuhns distinctions between normal science, crisis, and revolution are often misconstrued as a rigid
periodization of the development of scientific disciplines. Normal science and crisis are instead ways of
doing science. One or the other may typically predominate within a field at any given time, but they can
also coexist. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa Kuhn membedakan antara ilmu
pengetahuan normal, krisis, dengan revolusi yang sering disalahpahami sebagai pereodiasi rigid (kaku)
pada pengembangan disiplin ilmu. Di mana, salah satu dari mereka bisa mendominasi lainnya yaitu dari
segi waktunya, meski tak jarang satu sama lain juga bisa saling hidup berdampingan dalam satu waktu.
Lihat, Josephrouse, Kuhns Philosophy of Scientific Practice, dalam Thomas Kuhn, ed. Thomas Nickles
(New York: Cambridge University, 2003), hlm. 113.

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

C. Paralelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn dengan Pengembangan Pendidikan


Agama Islam
Antara paradigma Pendidikan Agama Islam59 dengan paradigma pendidikan
sekuler (yang cenderung positivistik) sesungguhnya sangat berbeda. Kajian
positivistik salah satunya berparadigma hegemonik dan empiris, sedang PAI salah
satunya berparadigma teologis.60 Perbedaan tersebut menyebabkan PAI di mata
positivistik bukan sebagai kajian dari ilmu pengetahuan karena kajiannya tidak
empiris dan tidak memenuhi standar ilmiah (dipenuhi unsur metafisika dan
transendetal).61 Hal ini dalam kacamata Kuhn, bukan berarti dari salah satu keduanya
terdapat kebenaran, sedang yang satunya sebagai pihak yang salah. Namun
keduanya memiliki kaidah atau pola pikir sendiri yang telah disepakati oleh masingmasing komunitas pendukungnya.62 Sebagaimana pernyataan Tobroni bahwa
paradigma dapat dijadikan asumsi atau proposisi, bahkan dari itu bisa menjadi
pijakan dalam berbagai kegiatan ilmiah. Selanjutnya ia menjelaskan secara detail:
Berangkat dari konsep tentang paradigma ini lantas melahirkan konsep-konsep
turunannya seperti world view (pandangan dunia), frame work (kerangka kerja),
logical frame work analysis dan mindset. Misalnya, keyakinan bahwa kitab suci
merupakan wahyu dari Tuhan dan memiliki kebenaran, lantas dijadikan rujukan
dalam berfikir, bersikap, dan berperilaku. Pola pikir yang berpedoman pada
59

Berdasarkan pemaparan Sirozi dalam acara AICIS ke-13 di Mataram bahwa agenda konferensi tersebut
menekankan gagasan pergeseran paradigma untuk studi Islam di Indonesia. Untuk mencapainya
diperlukan penggalangan kesadaran kolektif serta pembangunan perspektif umum tentang pentingnya
sebuah gagasan baru. Koferensi itu juga menunjukkan bahwa paradigma baru studi Islam di Indonesia
dibutuhkan untuk mengidentifikasi, merefleksikan, dan merepresantasikan pengalaman sejarah,
sosiologis, antropologis, dan budaya sebagai karakteristik utama Islam di Indonesia. Hal itu juga
menggambarkan bahwa Islam di Indonesia adalah berkarakter pluralistik dan moderat. Oleh karena itu,
paradigma baru dibutuhkan untuk kontekstual dan yang relevan dengan karakteristik ini. Dengan
paradigma yang khas tersebut dapat dikembangkan melalui analisis komprehensif dan pemahaman
tentang karakteristik unik dari Islam Indonesia. Lebih lanjut, studi Islam tidak dapat dikembangkan hanya
dengan mengadopsi atau meniru paradigma timur tengah atau paradigma Barat. Dalam hal ini, diperlukan
studi Islam di Indonesia untuk menggabungkan studi normatif dan empiris dengan pendekatan
multidisipliner. Salah satunya menggunakan metode ilmiah yang diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu
sosial modern, ilmu alam, dan kemanusian harus ditelaah secara hati-hati dan dikritisi. Kemudian
dikombinasikan dengan nilai-nilai Islam, sehingga melahirkan model pengetahuan integratif. Yakni,
kombinasi ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum atau antara ayat Kauliyah dengan ayat Kauniyah.
Lihat, Sirozi, In Search of a Distinctive, diakses tanggal 23 Februari 2015.
60
Idealnya paradigma teologi tidak hanya pada tataran keilmuan atau materi yang dikaji, akan tetapi
menyentuh pada tataran praktis. Harapannya, suatu paradigma yang dipegang tidak hanya di dalam
wilayah abstrak saja. Bisa juga suatu paradigma yang ada (diakui bersama), oleh oknum pelaku
pengembangan pendidikan dimanipulasi (manipulasi psikologis). Yakni, sesuatu yang awalnya oleh
paradigma yang ia pegang sesuatu itu adalah haram-buruk menjadi mubah-netral. Untuk memuluskan
cara itu perlu pencarian pembenaran-pembanaran, baik secara psikologis, keilmuan, atau ideologi.
Misalnya, seorang kepala sekolah untuk memuluskan agar lembaganya mendapat akreditasi A rela
menyuap assessor. Dalihnya adalah supaya bisa membuat pendidik dan peserta didik percaya diri ketika
tampil di masyarakat. Contoh lainnya, seorang pendidik yang awalnya bertekad untuk mengabdikan diri
secara tulus, pada akhirnya terbawa arus berlomba-lomba dengan menghalalkan segala cara agar
mendapatkan tunjangan sertifikasi guru. Bahkan, setelah beberapa tahun karena ada peningkatan
kesejahteraan hidup menyebabkan mereka bertindak negatif. Salah satunya, digunakan untuk selingkuh.
Padahal, seharusnya uang rakyat itu difungsikan untuk menunjang keprofesionalan pendidik.. Oleh
karena itu, diperlukan pengelolaan dan pengembangan SDM (terutama pendidik) agar mereka bisa
memanajemen uang.
61
Jika ingin disebut ilmiah, maka metafisika, seni, tradisi dan termasuk agama harus mengikuti patokpatok ilmiah secara rigid sebagaimana sains. Di sini [menurut pandangan posivistik] derajat sains
memang menjadi lebih tinggi dari segalanya. Maka pendidikan Islam sebagai pendidikan yang berbasis
Islam, akan sangat sulit memasuki diskursusnya [wacana], atau paling tidak perjuangan penuh liku harus
terlebih dulu dilaluinya. Lihat, Muslih, Pendidikan Islam dalam, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, diakses
tanggal 21 Desember 2014.
62
He claims that normal science can succeed in making progress only if there is a strong commitment by
the relevant scientific community to their shared theoretical beliefs, values, instruments and techniques,
and even metaphysics. Dari penjelasan itu dapat dipahami bahwa Kuhn mengklaim ilmu pengetahuan
normal dapat sukses dalam membuat kemajuan bila ada komitmen yang kuat dari komunitas Ilmiah.
Tentunya, mereka harus pula mempertajam keyakinan-keyakinan teoritis, nilai-nilai, alat dan teknik, dan
bahkan metafisika. Lihat, Anonim, Thomas Kuhn, diakses 23 September 2014.

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).
keyakinan akan kebenaran firman Tuhan, disebut paradigma teologis, yaitu
pandangan dunia dan mindset yang muncul dari sebuah keyakinan teologis,
bersumber dari Tuhan.63

Hampir sama dengan pernyataan Muslih, pada wilayah paradigma sesungguhnya


peran kesejarahan ilmu pengetahuan menjadi terbukti. Yakni, ada beberapa faktor
lain di luar keilmuan (standar ilmiah) yang merupakan kesatupaduan dalam
membangun ilmu. Misalnya, faktor ekonomi, politik, budaya, dan ideologi. Atas dasar
ini maka semakin terbuka jalan bagi bangunan ilmu pengetahuan untuk menerima
berbagai nilai. Termasuk nilai etika-religius sebagaimana yang didamba-dambakan
pendidikan Islam. Oleh karena itu, berdasar dari paradigma Kuhnian maka tidak
benar bila semua aktivias pendidikan itu disamaratakan (dianggap sama).
Bagaimanapun, meski dalam suatu lingkup pendidikan itu berbasis logika, teori, dan
tarekat (jalan) yang sama tapi masing-masing tradisi (organisasi dan pengalaman
beragama) mengusung paradigmanya sendiri-sendiri. Dengan demikian, wajar
seandainya terdapat perbedaan dalam model pendidikan seperti model pendidikan
salaf (ortodoks), khalaf (modern), Maarif (NU), Muhammadiyah, Gontor, dll. Lahirnya
berbagai model pendidikan ini terkait erat dengan pemahaman keislaman sekaligus
pemahaman tentang hakikat ilmu.64
Ia juga menambahkan bahwa paradigma dalam dunia pendidikan menjadi basis
filosofis dan sosiohistoris sekaligus. Dengan demikian, peran dan posisi eksistensi
pendidik (ustaz, guru, dan dosen), pengelola (penyelenggara, yayasan, organisasi
afiliasi, dan sebagainya) tidak dapat diabaikan. Bahkan hal itu semuanya menjadi
bagian tak terpisahkan dalam pengembangan keilmuaan dan proses pendidikan. Dari
sini dapat dipahami bahwa meskipun metodologi itu penting, akan tetapi bukanlah
segala-galanya, bagaimanapun keberadaan pendidik jauh lebih penting daripada
metodologi. Selain itu, dalam perspektif filsafat ilmu kontemporer, setiap model
pendidikan mestinya memberi perhatian lebih secara bersamaan pada tiga elemen
filsafat. Di antaranya teori serta metodologi pendidikan, filsafat serta sosiologi
pendidikan, dan teologi serta metafisika pendidikan. Tiga hal itu membawa dunia
pendidikan tampil lebih bercirikhas, kokoh, dan tidak pragmatis. Hal ini karena
keyakinan
hingga
keimanan
Islam
sebagai
dasar
teologis-metafisik
penyelenggaranya punya posisi yang kuat. Yakni, sebagai bagian tak terpisahkan
dalam proses pendidikan yang dikembangkannya.65
Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa pengembangan PAI tidak boleh
berhenti sampai di sini. Hal ini karena selama ini ada anggapan bahwa ilmu Islam,
termasuk pendidikan Islam telah mengalami kemandekan atau mencapai titik
kulminasi (puncak). Artinya, tidak ada yang boleh mengotak-atik metodologi dan teori
dalam PAI. Padahal, pengembangan PAI dalam artian metodologi dan teorinyamerupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat dewasa ini. Asumsinya, dengan
stagnannya segala apa yang ada dalam PAI berimplikasi pada berhentinya
kesadaran intelektual (ilmu pengetahuan dan teknologi) umat Islam. Di mana umat
Islam tidak ada yang mampu menjadi penemu di berbagai bidang IPTEK. Bila
dikaitkan dengan pemikiran Kuhn, maka bisa dikatakan ilmu PAI sekarang ini berada
pada fase anomali (anomaly). Yakni, masa di mana PAI telah mengalami beberapa
goncangan dan pertanyaan substansial yang menyerangnya. Hal itu terjadi karena
ilmu PAI sekarang ini dianggap tidak mampu lagi menopang permasalahan yang
terjadi pada masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan ilmu PAI mutlak dilakukan
agar menghasilkan gagasan PAI yang terbaru,66 yang diharapkan bisa mengatasi
segala permasalahan masyarakat luas.
63

Tobroni, Paradigma Pemikiran Islam, diakses tanggal 19 Februari 2015.


Muslih, Pendidikan Islam dalam, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, diakses tanggal 21 Desember 2014.
65
Muslih, Pendidikan Islam dalam, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, diakses tanggal 21 Desember 2014.
66
Apabila konsep tentang pergeseran paradigma milik Kuhn digunakan untuk memahami pendidikan
Islam, maka PAI harus selalu diteliti, dikaji, dan dievaluasi secara berkelanjutan. Bagaimanapun, adanya
permasalahan bidang pendidikan yang senantiasa berkembang mengharuskan adanya pengembangan
64

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

Dengan demikian, dapat disimpulkan paradigma PAI adalah pandangan


mendasar yang terkait dengan permasalahan utama dalam suatu ilmu pendidikan,
dengan menggunakan ajaran Islam sebagai asasnya. Bisa dikatakan seseorang
boleh menggunakan berbagai sudut pandang (kajian ilmu) dalam melihat, meneliti,
dan mengetahui permasalahan PAI. Kemudian mencari solusinya dengan
menggunakan berbagai pendekatan yang memungkinkan. Di mana semuanya itu,
baik cara mengetahui maupun memecahkan masalahnya tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, PAI sebagai sebuah ilmu sekaligus keyakinan dan
pengalaman dalam beragama tidak bisa dimiliki atau diklaim oleh komunitas tertentu
saja.67 Implikasinya, siapapun boleh melakukan pengembangan PAI sesuai dengan
paradigma masing-masing komunitas. Namun sekali lagi, pengembangan tersebut
tidak bertentangan dengan prinsip utama ajaran Islam. Dengan kata lain, dalam
konteks ilmu PAI maka ajaran Islam yang universal (tidak parsial) berwenang
memandu dan mengkonstruk pengembangan ilmu pendidikan. Secara detail terkait
pembahasan itu, berikut ini beberapa hal terkait pengembangan PAI yang
diparalelisasikan dengan pemikiran Kuhn:
1. Patokan Paralelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn Terhadap Pengembangan
Pendidikan Agama Islam
Memang harus diakui Kuhn merupakan ahli fisika, yang selanjutnya menjadi
pengajar sejarah filsafat ilmu (cenderung ilmu alam). Karya-karya tulisnya sebelum
buku terkenalnya The Structure of Scientific Revolutions (1962) pun dipenuhi
oleh kajian ilmu-ilmu kealaman di antaranya tentang Copernican Revolution,
Galileo, Kepler, Descartes, Newton, dll. Di mana sebagian besar bahasannya
tersebut tentang fisika dan astronomi.68 Menyikapi kenyataan itu, menurut Gray
Gutting, dkk. sebagaimana dikutip oleh Yusuf Suyono bahwa tesis [pemikiran]
Kuhn bisa juga diaplikasikan pada penelitian-penelitian bidang sejarah, ekonomi,
politik, sosiologi, filsafat, budaya, dan agama. Selain dari pada itu, Suyono
menambahi bahwa:69
Namun hal itu tidak harus diartikan sebagai aplikasi total secara
serampangan. Setidaknya dari segi term-termnya seperti discovery
teori dan metode pendidikan. Lihat, Tobroni, Paradigma Pemikiran Islam, diakses tanggal 19 Februari
2015.
67
Menurut Amin Abdullah sebagaimana ditulis Suharyanta dan Sutarman bahwa konsep pendidikan
agama yang rahmatan lil al-alamin merupakan wahyu Tuhan yang menjanjikan kebahagiaan hidup
manusia dengan memberikan konsep aturan kehidupan yang berupa aturan dan nilai-nilai ajaran agama
meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun
budaya secara global. Sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan, dan pengetahuan dalam segala
aspeknya memang berasal dari agama. Agama tidak pernah mengajarkan bahwa wahyu Tuhan hanya
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Menurut pandangan ini, sumber pengetahuan ada dua
macam, yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal dari manusia.
Perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentris. Agama memberikan aturan bagaimana sebuah
kebenaran ilmu dapat diukur, bagaimana ilmu diproduksi, dan bagaimana seharusnya tujuan-tujuan ilmu
diarahkan. Dimensi aksiologi [kebermanfaatan ilmu] dalam teologi ilmu ini penting untuk digarisbawahi,
sebelum manusia keluar mengembangkan ilmu [termasuk pengembangan pendidikan Islam]. Selain
ontologi dan epistemologi keilmuan, agama sangat menekankan dimensi aksiologi keilmuan. Ilmu yang
lahir dari induk agama harus menjadi ilmu yang objektif. Dalam artian, bahwa ilmu yang dihasilkan
tersebut tidak dirasakan oleh pemeluk agama lain, non agama, dan anti agama sebagai nilai normativitas
semata, tetapi sebagai gejala keilmuan objektif, meliputi sisi historisitas-empirisitas. Maka objektifikasi
ilmu merupakan hasil dari pemikiran dari orang-orang beriman untuk seluruh manusia yang bersifat
menyejukkan dan damai bukan sebaliknya. Jadi, hakikatnya pengetahuan itu haruslah objektif, artinya
harus dapat dirasakan dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Lihat, Suharyanta dan Sutarman,
Relevansi Epistemologi Keilmuan Integratif-interkonektif Amin Abdullah bagi Ilmu Pendidikan Islam,
Mukaddimah,
Vol.
18,
No.
1,
2012:
hlm.
55-76,
dalam
http://www.aljamiah.org/mukaddimah/index.php/muk/article/download/6/6, didownload tanggal 18 Februari
2015.
68
Swerdlow, Thomas S. Kuhn 1922-1996, hlm. 5-13.
69
Yusuf Suyono, Studi Perbandingan Rislat al-Tauhd dan The Reconstruction of Religious Thought in
Islam, (Disertasi Doktor, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005), hlm. 13-14, dalam
http://digilib.uin-suka.ac.id/14350/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf, diakses tanggal 18
Februari 2015.

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).
(penemuan) dan invention (penciptaan) adalah hanya bisa diaplikasikan
dalam ilmu fisika, dan tidak mungkin bisa diaplikasikan dalam ilmu tauhid
secara total. Demikian pula term anomali sebuah penyimpangan dari
suatu paradigma menurut tesis [pemikiran] Kuhn, paling-paling bisa
diartikan perbedaan pendapat dalam aplikasinya pada ilmu tauhid atau ilmu
kalam. Krisis dalam tesis Kuhn, paling-paling dimaknai sebagai perbedaan
pendapat yang tidak bisa dikompromikan lagi, sehingga pendapat
belakangan berdiri sendiri dan pada gilirannya mendapat dukungan serta
pengikut dan akhirnya menjadi aliran. Sebagai contoh, sejarah berdirinya
aliran Mutazilah yang dimulai dari perbedaan pendapat antara Wil ibn
A serta temannya Amr Ibn Ubaid dengan asan al-Bariy mengenai
orang yang berdosa besar,...

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik benang merahnya, gagasan Kuhn tidak
semuanya mutlak bisa digunakan dalam pengembangan PAI. Bagaimanapun,
nilai-nilai pokok Islam dalam PAI seperti akidah (ketauhidan), tidak bisa direvolusi.
Kajian monoteisme dalam Islam mesti dibebaskan dari berbagai macam bentuk
ancaman krisis, bahkan anomali (keganjilan) sekalipun. Dengan demikian, akidah
Islam harus dijaga secara terus menerus oleh komunitas Muslim agar terhindar
dari kritik dan penyimpangan. Asumsinya, agama Islam (rukun Islam dan rukun
iman) adalah doktrin atau dogma yang harus ditanamkan secara kuat dan kokoh
pada generasi umat Islam melalui pendidikan. Di satu sisi lain, pendidikan Islam
bukanlah dogma sehingga ia pantas dimasukkan pada jajaran ilmu yang
berpeluang untuk direvolusi. Pada akhirnya, fungsi agama dalam pengembangan
PAI adalah sebagai pemandu periset (komunitas ilmiah) dan pelaku
pengembangan. Oleh sebab itu, kepercayaan tentang Islam sebagai agama yang
kebenarannya bersifat mutlak, tak tergantikan, dan tidak terikat oleh tempat
maupun waktu harus mendarah daging serta didakwahkan secara turun-temurun.
Hal penting lain yang perlu ditegaskan adalah bahwa Islam bukanlah sebuah
paradigma. Melainkan, pemahaman dan pengalaman umat Islam tentang agama
Islamlah yang disebut sebagai paradigma. Fungsi Islam adalah sebagai pedoman
mutlak umat Islam dalam membangun paradigma. Sedangkan paradigma
bermanfaat memandu umat Islam dalam memahami teks, mengamalkan, dan
mengembangkan peradaban serta kehidupannya. Tentu, salah satu diantaranya
pengembangan pendidikan Islam. Dari itu, maka pemikiran Kuhn dalam
pengembangan PAI dapat disejajarkan (paralel) dengan konsep agama Islam
(secara historis dan nilai) yang mengusung semangat pembaharuan 70 termasuk
di dalamnya discovery dan invention di segala tempat dan waktu. Oleh
karena itu, pengembangan PAI bukanlah perbuatan dosa bahkan bisa bernilai
ibadah bila diniatkan sepenuhnya untuk mencari rida Allah dan mengesakan-Nya.
Asumsinya, seseorang yang melakukan pengembangan PAI dengan tetap
berteguh mengesakan Allah SWT, pasti menjadikan pengembangan itu sebagai
upaya untuk mendekatkan diri pada-Nya.
2. Nilai-nilai Dasar Pengembangan Pendidikan Agama Islam
Dalam pelaksanaan proses pembelajaran perlu adanya desain ulang. Di mana
tatkala dikaitkan dengan konsep Kuhn, salah satu contohnya pendidik dapat
merangsang peserta didiknya dengan menunjukkan data-data anomali. Dari data
tersebut diharapkan pendidik mampu mengubah paradigma (nilai kehidupan,
mental, dan kognisi) peserta didik ke arah yang lebih baik. Asumsinya, selama
peserta didik tidak mau merubah paradigmanya (merevolusi) ke arah yang lebih
70

Roda intelektual Islam selalu mengalami perkembangan ke arah pemikiran yang dinamis.
Bagaimanapun, Islam sesungguhnya inheren (berhubungan erat) dengan kemajuan. Banyak ayat al
Quran maupun Hadith yang mendorong ummat Islam untuk melakukan pengembangan. Dengan kata
lain, Islam dengan sangat tegas dan lugas tidak menyukai kemapanan (status quo). Lihat, Mujtahid,
Islam
dan
Nalar
Ilmiah,
dalam
http://old.uinmalang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1943:islam-dan-nalar-ilmiah2&catid=35:artikel&Itemid=210, 12 Februari 2011, diakses tanggal 18 Februari 2015.

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

unggul, maka tingkat pengetahuannya akan tetap seperti semula, tidak terjadi
perkembangan.71 Pendidik juga harus menyadarkan mereka bahwa kebenaran
ilmu itu bersifat tentatif. Oleh karena itu, semangat untuk mencari anomali
senantiasa terus dilakukan, kemudian disusul dengan spirit penciptaan. Di mana,
mencipta atau merubah tidak hanya di bidang sosial, akan tetapi di bidang
teknologi hingga ilmu alam seperti fisika, kimia, dan biologi. Nilai-nilai dasar
sebagai intagible assets seperti itu selayaknya tidak hanya ditanamkan dan dimiliki
oleh peserta didik. Namun, pendidik beserta seluruh manusia yang terlibat
langsung dalam pengembangan PAI perlu mempunyai jiwa tersebut.
Menurut Amin Abdullah, sebagaimana yang ia pahami dari pemikiran Kuhn
bahwa seorang pelaku lapangan menurut penulis termasuk salah satunya adalah
pendidik (ustad, guru, dosen, dll) kebanyakan masih terbiasa memecahkan
masalah melalui cara-cara yang umum (konvensional). Yakni, cara-cara yang
baku, mapan, dan senantiasa ingin tetap dipertahankan oleh para praktisi di
lapangan. Hal ini terjadi karena mereka terpenjara oleh aktivitas rutin, sehingga
mereka tidak menyadari munculnya anomali-anomali yang hadir dalam wilayah
ilmu pengetahuan normal. Hanya kalangan terbatas, yang umumnya para
pengamat, peneliti, dan kritikus yang mengetahui di mana adanya anomali-anomali
tersebut. Selain itu, ia menegaskan bahwa pergeseran paradigma dalam wilayah
kebudayaan dan peradaban atau menurut penulis pada lingkup kecil adalah
lembaga pendidikan harus melalui media dialog peradaban. Bukan lewat
benturan peradaban atau benturan kebudayaan yang selama ini sering-sering
didengungkan. Dengan proses dialog yang bersifat terbuka serta proses take and
give antar berbagai peradaban, maka proses pergeseran paradigma akan berjalan
wajar, alami, dan menguntungkan kedua belah pihak. Serta tidak mengakibatkan
gejolak sosial yang cenderung negatif.72
Dari pernyataan itu, semestinya nilai-nilai dasar ditanamkan kepada seluruh
pelaku pengembangan PAI. Salah satunya yaitu kepada peserta didik. Diharapkan
mereka mampu merubah paradigma lama yang sudah mengalami fase krisis (tidak
lagi handal dalam memecahkan masalah). Salah satunya paradigma yang
cenderung pasif-pesimis-permisif diubah menjadi aktif-optimis-progesif. Dengan
itu peserta didik akan mempunyai mental pembaharu yang tidak mudah ikut arus
yang menjurus negatif. Misalnya, melalui penekanan dan pemberian semangat
bahwa Jika ingin memperoleh sesuatu yang lebih baik harus berusaha dulu,
berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenangsenang kemudian. Bisa juga pemberian motivasi Pengembangan diri adalah
kewajiban! Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari besok harus lebih
baik dari hari ini. Teknik pengembangan seperti itu didasarkan dari pandangan
sebagian kalangan bahwa gagasan Kuhn merupakan pengetahuan yang bersifat
apriori. Artinya, suatu paradigma tidak harus dibangun dari sesuatu yang empiris,
tapi bisa dicukupkan pada asumsi-asumsi (praduga) dasar yang dipegang teguh
bersama.
Dengan penekanan dan penanaman nilai-nilai dasar secara terus menerus
serta menggunakan berbagai metode, diharapkan lambat laun orientasi kehidupan
peserta didik berubah. Yakni, yang awalnya hanya ingin menjadi figuran dalam
kehidupan ini berubah tekat menjadi salah satu bagian dari pemain utama
kehidupan. Dapat dikatakan, paradigma lama peserta didik diguncang tidak
menggunakan cara pendoktrinan secara frontal. Melainkan, dengan cara
menggunggah peserta didik supaya bisa menemukan sendiri solusi dari anomalianomali kehidupan yang diajukan. Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai dasar
dilakukan secara halus. Khawatirnya, bila diguncang dengan cara pendoktrinan
secara langsung bisa jadi peserta didik atau orang tuanya (masyarakat) akan
71

Zubaedi, Filsafat Barat: Dari, hlm. 209.


M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam: Di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Cet. III, 2004),
hlm. 110-111.
72

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

menentang doktrin tersebut. Kendati demikian, tidak serta merta peserta didik
diberi kebebasan untuk menemukan kebenaran secara liberal. Bagaimanapun
otoritas pendidik untuk mendoktrin akidah keislamannya harus tetap ada.
Tergantung pada jenjang pendidikannya dan latar belakang kehidupan peserta
didik itu sendiri.
3. Reinterpretasi Ayat Kauliyah dalam Pengembangan PAI
Agama Islam merupakan agama yang benar dan sempurna. Oleh sebab itu,
tak seorangpun bisa mengadakan pembaruan terhadap teks Islam atau ayat
Kauliyah.73 Akan tetapi yang perlu diperbarui adalah paradigma manusia
terhadap agama. Serta bukan dinamika al Quran yang harus digugat untuk
menghadapi perkembangan zaman. Melainkan, dinamika umat Islam dalam
memahami teks al Quran-lah yang harus dimulai dan terus-menerus dilakukan
sepanjang zaman.74 Pernyataan ini hampir sama maksudnya dengan pandangan
Kuhn, bahwa kunci utama perubahan revolusioner ini ada pada metodologi. Alam
tidak terlalu berubah namun metode pencarian penjelasan akan gejala alam
kadang-kadang revolutif.75 Dengan kata lain, bukan teks al Quran-nya yang
dirubah tapi metodologi dalam memahami teksnya yang harus dirubah
(direvolusi).
Berdasarkan pemaparan di atas, ketika dalam proses pengembangan PAI
ditemukan anomali (keganjilan) atas paradigma manusia tentang isi al Quran,
maka perlu diadakan reinterpretasi terhadap teksnya.76 Bagaimanapun, tafsir
merupakan ilmu, sebagaimana dengan ilmu lainnya. Walaupun tak dapat
dinafikkan bahwa konteks dan kualitas perumusnya di zaman dulu dengan
sekarang tentu jauh berbeda. Proses tersebut dilakukan agar pembelajaran PAI
bisa kontekstual dan memiliki nilai praktis bagi masyarakat. Serta tentunya agar
PAI tidak dicap bertentangan dengan ilmu pengetahuan lain. Misalnya, bagaimana
pendidik PAI bisa menjelaskan keberadaan fosil manusia purba yang nyatanyatanya memang benar keberadaannya tak terpungkiri. Sedangkan di dalam al
Quran secara qathi belum pernah ditemukan penjelasan tentang keberadaan
fosil tersebut. Oleh karena itu, wajar bila ada penafsiran pada ayat-ayat terentu
terkait keberadaan fosil.
Lebih ekstrim daripada pernyataan itu, Mujtahid menyampaikan kritik akal
Islam berupaya untuk membongkar mitos pemikiran (ijtihad) yang sudah tidak
relevan dengan dinamika masyarakat sekarang. Dengan demikian, tujuan utama
kritik akal Islam adalah membebaskan pemikiran dari segala macam citra dan
gambaran yang sempit, karena tidak mungkin bagi akal Islam, berpikir jernih
73

Ayat Kauliyah adalah ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah SWT dalam bentuk al Quran (wahyu) yang
bersifat
tetap
(mutlak).
Manusia
wajib
bertadabur
terhadapnya
dengan
hati.
Lihat,
http://menaraislam.com/content/view/209/1/, diakses 25 Februari 2014.
74
Ahmad Muflih Saefuddin, Pembaharuan Pemikiran Islam: Sebuah Pengantar, dalam Percakapan
Cendekiawan tentang Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 15.
75
Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains:, hlm. 121.
76
Misalnya, secara qathi Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al Baqarah:
275). Dengan kata lain, secara jelas (mutlak) dapat dimengerti dan tidak bisa disanggah lagi bahwa riba
itu merupakan perbuatan haram. Akan tetapi, pemahaman (interpretasi) sebagian umat Islam terhadap
istilah riba itu sendiri masih mengalami perbedaan pendapat. Terlebih, pada era modern ini mulai marak
adanya bunga pada bank dan sistem perkreditan pada jual beli motor, rumah, mobil, dan sebagainya.
Apakah bunga bank atau sistem perkreditan seperti itu dikatagorikan sebagai riba yang diharamkan
secara mutlak sehingga tidak boleh dilakukan? Atau itu suatu perbuatan yang disamakan dengan riba
tapi dengan alasan demi kebaikan dan asas keterpaksaan sehingga boleh dilakukan? Ironis, selama ini
umat Islam masih hanya berkutat pada perselisihan yang tidak jauh terkait dengan hal-hal semacam itu.
Asumsinya, alangkah lebih baik bila umat Islam memberikan solusi nyata atas permasalahan itu. Dengan
tidak hanya memperdebatkan interpretasinya (penafsiran) tentang suatu hal-hal baru yang muncul
belakangan. Lebih dari sekedar itu, seharusnya umat Islam mampu mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi (salah satunya melalui pendidikan) sehingga bisa memberikan bukti nyata berupa wujud
peradaban Islami. Misalnya mendirikan bank berbasis Islam, lembaga hutang-piutang (kredit) berbasis
Islam, atau menderikan perusahaan yang sekiranya segala apa yang ada di dalamnya tidak menimbulkan
kekhawatiran akan melanggar ketentuan dari Allah.

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

selama citra-citra semacam ini melekat dalam akal mereka. Ia melanjutkan bahwa
dengan mengkritik akal Islam (hasil pemikiran umat Islam) bisa membedakan
antara teks/wahyu dengan sejarah serta analisisnya. Dengan demikian,
seharusnya wahyu diposisikan kembali pada tempat semula yang bersifat
transenden. Alasannya, wahyu telah mengalami relasi dengan sejarah manusia
yang bermuatan ideologi, politik, dan kepentingan lainnya sehingga mengalami
reduksi nilai di dalamnya. Oleh karena itu, semua teologisme termasuk
epistemologi seperti fiqh, tafsir, dan sebagainya masih perlu dikritisi dalam konteks
hari ini. Bagaimanapun, semuanya merupakan ciptaan manusia, sehingga layak
untuk diletakkan di atas meja kritisisme. Pada akhirnya, revolusi ilmiah tidak akan
hilang dari panggung dunia pemikiran Islam sepanjang dinamika kehidupan ini
tetap berlangsung.77
4. Penggunaan Ayat Kauniah dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam
Ayat Kauniah78 adalah ayat-ayat di luar teks al Quran sebagai tanda
Kemahabesaran Allah SWT sekaligus pembenar kandungan al Quran yang
sebagiannya bersifat mungkin untuk dikembangkan. Bisa berbentuk benda
(zat/materi), peristiwa, dan mekanisme (sistem). Manusia wajib bertafakur
terhadap sebagiannya dengan akal.79 Dengan demikian, daftar muatan
pengembangan PAI sebenarnya tidak berhenti pada aspek normatif dan doktrin
ajaran agamanya saja. Namun, bagaimana menjadikan peserta didik mampu
memahami, menghayati, dan memanfaatkan alam ini menjadi lebih baik. Yakni,
dengan cara pengembangan ilmu pengetahuan yang muaranya bisa terciptanya
produk yang berguna bagi kehidupan manusia.
Apabila pernyataan itu dikaitkan dengan konsep paradigma Kuhn seperti
pembahasan sebelumnya maka perkembangan ilmu pengetahuan itu tidak
pernah bisa lepas dari nilai. Termasuk di dalamnya nilai-nilai agama, sosial, dan
kemanusiaan. Dengan kata lain ilmu pengetahuan tidak bisa berdiri sendiri. Nilai
tersebut memiliki peran yang sangat signifikan dalam menentukan arah
perkembangan ilmu pengetahuan. Bisa dikatakan, tanpa adanya unsur nilai
menyebabkan kehadiran ilmu pengetahuan akan hampa, tanpa makna. Adanya
hanya kepuasaan, kesenangan, kebenaran palsu, dan kehidupan mapan yang
semu. Bahkan ketika terus-menerus dibiarkan akan berujung pada bencana
kehidupan manusia. Oleh karena itu, memfungsikan ayat Kauniah sebagai sesuatu
yang sakral80, dijunjung tinggi, dan mengadakan penafsiran mendalam
(penggalian ilmu pengetahuan) terhadapnya merupakan tindakan terpuji.
Selanjutnya, semangat penggalian ilmu pengetahuan itu salah satunya dengan
cara peniruan (kajian) terhadap pengembangan ilmu pendidikan sekuler. Kendati,
sesungguhnya tidak semua ilmu pendidikan sekuler (utamanya dari Barat)81 dapat
menjawab permasalahan dan pertanyaan yang problematis. Utamanya persoalan
77

Mujtahid, Islam dan Nalar diakses tanggal 18 Februari 2015.


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ayat kauniah salah satunya berarti bukti yang ada dalam alam
nyata atau maujud (seperti binatang, bulan, matahari) Lihat, Kamus Besar Bahasa, didownload tanggal
21 April 2014.
79
Anonim, Ayat Kauniyah, dalam http://an-naba.com/ayat-kauniyah-2/comment-page-1/, diakses 25
Februari 2014.
80
Nilai kesakralannya adalah ayat kauniyah seperti halnya ayat kauliyah keduanya sama-sama berasal
dari Allah. Oleh karena itu, mensakralkan ayat kauniyah merupakan tindakan terpuji, tentunya bila
diniatkan untuk mencari ridha Allah. Salah satunya, diwujudkan dengan cara bangga menciptakan IPTEK,
hingga kemudian dimanfaatkan dan dikembangkan sesuai dengan nilai-nilai Islam.
81
Ilmu di Barat berkembang secara sekuler dan menafikan sama sekali peran agama. Sekularisasi ilmu
akan menimbulkan problema teologis yang sangat krusial, karena banyak ilmuwan Barat yang merasa
tidak perlu lagi menyinggung atau melibatkan Tuhan dalam argumentasi ilmiah mereka. Bagi mereka
Tuhan telah berhenti menjadi apapun, termasuk menjadi pencipta dan pemelihara alam semesta. Lihat,
Mohammad Kosim, Menyoal Islamiasai Sains di Madrasah (Studi Atas Kandungan Agama Islam dalam
Buku Ajar Sains di Madrasah Aliyah), Annual International Conference on Islamic Studies Chapter I:
Religion
&
Science:
Integrasion
Through
Islam
Studies,
hlm
109-124,
dalam
diktis.kemenag.go.id/aicis/file/dokumen/114162031651650DIES.pdf, diakses tanggal 18 Februari 2015.
78

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

yang terkait dengan keyakinan dan pengalaman orang dalam beragama. Mengapa
manusia ini harus hidup? Dari mana alam semesta ini diciptakan? Mengapa
manusia di zaman modern, penuh intelektualitas, dan berperadaban tinggi tapi
masyarakatnya masih tetap gemar berperang? Mengapa mayoritas manusia di
dunia ini mau beragama (percaya hal gaib)? Apa manfaat terjadinya fenomena
menakjubkan (ajaib dan jarang terjadi) bagi kehidupan manusia? dll. Terkadang
justru pendidikan agama utamanya di negara-negara berkembang yang handal
dalam mengkaji dan menjelaskan masalah-masalah itu. Dengan kata lain, hanya
agamalah yang sanggup menenangkan keresahan mayoritas manusia ketika
menghadapi dialektika seperti itu.
Upaya kritik yang lebih ekstrem dari itu adalah berupa pertanyaan adakah
keterkaitan antara mekanisme takdir dengan teori peluang? Misal, secara
kenyataan atau kepastian (takdir) bung Karno salah satu mantan Presiden RI
menikahi ibu Fatmawati, lalu apa akibatnya (peluang yang terjadi) bila beliau tidak
memperistrinya? Apakah menyebabkan tidak akan pernah ada proklamasi
kemerdaan Indonesia? Apakah nasib negara Indonesia akan jauh berbeda seperti
sekarang ini? Ataukah ada pergeseran ruang dan waktu yaitu proklamasi tidak
dilakukan pada tanggal 17 Agustus? Apapun jawabannya, yang pasti bila itu terjadi
maka Megawati (mantan Presiden RI) tak akan lahir, begitu pula Puan Maharani
(cucu Bung Karno). Dengan kata lain, bila perubahan sedikit itu (tidak menikahnya
bung Karno dengan Fatmawati) memang terjadi, akan sangat mempengaruhi
keadaan Indonesia dan kemungkinan juga dunia. Artinya, dengan tindakan
(perlakukan) sekecil apapun terhadap sesuatu akan berdampak pada perubahan
bidang lainnya meski sedikit. Bahkan bukan kemustahilan hasilnya jauh berbeda
dari kenyataan sekarang ini. 82
Dapat disimpulkan, runtutan akibat (efek) karena adanya perubahan sekecil
apapun di masa lalu baik yang bersifat kemungkinan maupun yang pastitidak
bisa terelakkan. Dengan kata lain, perubahan sekecil apapun di suatu zaman dan
tempat dapat berefek pada perubahan yang besar untuk beberapa puluh, ratusan,
hingga ribuan tahun berikutnya. Begitu pula apa yang manusia lakukan sekarang
ini. Sekecil apapun yang diperbuatnya di kala ini bisa berakibat besar di kemudian
hari. Inilah penguat pendapat bahwa takdir sudah ditentukan secara detail, baik
dari segi waktu, tempat, dan dimensinya. Bergeser sedikit saja (waktu dan tempat)
maka tentu takdir akan mengalami perubahan yang besar. Sistem yang teramat
rumit itu memperlihatkan bahwa adanya keterlibatan Maha Cerdas untuk mengatur
takdir itu agar tidak bergeser sedikit pun. Asumsinya, bila ada kesalahan dalam
mengatur mekanisme takdir (bergeser sedikit saja) bisa berakibat fatal. Yakni,
runtutan akibat yang bisa merubah nasib dunia ini tidak seperti seharusnya.
Dari penjelasan di atas, umat Islam sepatutnya meyakini bahwa konsep
pengembangan pendidikan Islam suatu saat hasilnya pasti jauh lebih bermanfaat
dari ilmu pendidikan sekuler. Utamanya bisa membentuk manusia bermental utuh
dan seimbang. Yakni, yang tidak ingin sukses di akhirat saja, atau sebaliknya di
dunia saja. Dapat disimpulkan, untuk memenuhi tantangan itu PAI harus bisa
membentuk manusia yang ahli dalam ilmu umum tetapi tidak mengalami
kegersangan hidup karena ilmunya dipadukan dengan nilai-nilai agama. Bisa juga
membentuk ahli agama Islam yang berwawasan dan berbudaya IPTEK, sehingga

82

Penjelasan dan pertanyaan tersebut terinspirasi dari chaos theory dan gagasan tentang mekanisme
butterfly effect yang secara tidak sengaja ditemukan oleh Edward Lorenz. Menurut Dupr, dipaparkan
bahwa terdapatnya sensitivitas yang mengejutkan dari sistem [kehidupan] terhadap peristiwa-peristiwa
kecil di dalamnya... [selain itu] ketidakmampuan praktisnya dalam mengidentifikasi penyebab-penyebab
setiap peristiwa dalam sistem itu. Sungguh, dengan adanya kenyataan bahwa peristiwa-peristiwa yang
sangat kecil dapat menyebabkan efek-efek yang besar dan bahwa peristiwa-peristiwa kecil semacam itu
mungkin melampau kekuatan-kekuatan deteksi kita dalam prinsip, maka barangkali akan didapati
kemudian bahwa sistem itu, meskipun sepenuhnya deterministik seluruhnya tidak dapat diramalkan.
Lihat, Dupr, 50 Gagasan Besar, hlm. 227.

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

kajian keagamaannya digunakan untuk mendorong umat Islam memanfaatkan dan


menciptakan IPTEK secara benar menurut akidah Islam.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh pemaparan Nurcholis Madjid bahwa
penggunaan ayat-ayat Allah yang Kauliyah beserta kauniah perlu dipahami dan
diberi interpretasi sesuai dengan kenyataan terkini. Dengan interpretasi beserta
reinterpretasi tersebut menjadikan agama mampu dan sejajar atau bahkan
posisinya lebih tinggi dan teratas dalam berdialog dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.83 Dengan demikian, pengembangan PAI itu bersifat
open-ended. Artinya, senantiasa terbuka untuk dikritik, direduksi, dan dirubah.
Begitu pula pendidikan sekuler maupun pendidikan Islam dalam wilayahnya
sebagai ilmu dan produk (konsep serta benda) atau karya manusia tidak bisa
terus-menerus menghindarkan diri dari ketentuan itu. Di mana, dalam kaidah
seperti itu peran ilmu sejarah, psikologi, dan sosiologi sangat penting.
Bagaimanapun, pengalaman dinamika pendidikan Islam terdahulu hingga
pendidikan Islam sekarang ini sangat bertalian erat. Oleh karena itu,
pengembangan PAI tidak bisa berdiri sendiri hanya dengan menggunakan
pemahaman (tafsir) manusia terhadap ayat Kauliyah (wahyu). Masih diperlukan
kajian PAI di bidang lain yang bercorak interdisipliner. Yakni, kajian mendalam
terhadap ayat Kauniah beserta ilmu-ilmu yang menyertainya untuk ikut andil dalam
pengembangan PAI.
5. Peran Komunitas Ilmiah dalam Pengembangan PAI
Dalam bahasa Indonesia istilah komunitas ilmiah memiliki padanan kata yang
artinya tidak jauh beda dengan masyarakat ilmiah, komunitas akademis, dan
masyarakat akademis. Komunitas ilmiah erat kaitannya dengan aktivitas (praktik)
ilmiah, metode ilmiah, sikap ilmiah, dan produk (berbentuk teori atau benda) ilmiah.
Menurut penulis, sebagaimana hasil pemahaman dari pembahasan-pembahasan
sebelumnya, dapat dirumuskan bahwa komunitas ilmiah PAI memiliki arti
sekelompok orang ahli yang aktivitas dan kajiannya terfokus dalam bidang PAI,
dengan ciri utamanya memiliki paradigma yang sama terutama terkait praduga
(asumsi), nilai, aturan (norma), tujuan, metode (model), dan keyakinan (faith)
mereka. Biasanya, komunitas ilmiah PAI saling berinteraksi (berargumen) satu
sama lain melalui wadah dunia akademis (pendidikan, profesi, dll), media tulismenulis (jurnal, buku, makalah, laporan penelitian, dll), dan forum ilmiah lainnya.
Dengan demikian, tatkala komunitas ilmiah PAI memiliki paradigma yang sama,
misalnya ilmu PAI sekarang ini tidak perlu dikembangkan, berdampak suatu
pengembangan PAI tidak akan terjadi. Namun, jika ada satu anggota (ilmuwan)
komunitas ilmiah yang keluar jalur utama(mainstream) lalu diikuti oleh mayoritas
komunitas ilmiah PAI, maka suatu proses pengembangan telah terjadi.
Pengembangan PAI dalam bidang tertentu bisa pula terprakarsai adanya aklamasi
atau konsensus secara alami maupun yang terencana dari mayoritas komunitas
ilmiah PAI untuk mengadakan pembaharuan.
Menurut kacamata penulis, suatu komunitas ilmiah PAI pada saat ini telah
menunjukkan keberagamannya. Yakni, komunitas ilmiah PAI yang konservatif
(tradisional) berfungsi sebagai kritik dan pengerem atas keblabasannya
pembaharuan, komunitas ilmiah PAI yang moderat (akomodatif) berfungsi
penyeimbang, dan komunitas ilmiah PAI yang liberal (modernis) berfungsi sebagai
pembaharu. Di mana, ketiga macam komunitas tersebut saling berdialektika satu
sama lain dengan mengajukan argumen supaya gagasan mereka diterapkan di
ranah nyata. Implikasinya, karena paradigma dari ketiga jenis komunitas ilmiah PAI
itu berbeda, mengakibatkan masing-masing teori yang dibangun (dikembangkan)
akan berbeda pula. Selain itu bisa jadi metode, tujuan, nilai, dan sebagainya yang
mereka gunakan dalam memahami PAI pun akan berbeda. Oleh sebab itu, tidak
83

Nurcholis Madjid, Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum, dalam Dinamika Pemikiran
Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 58.

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

mengherankan ketika cara pandang sekaligus perlakukan mereka terhadap PAI


juga tidak sama. Apabila perbedaan tersebut tidak ada titik temu (kesepakatan)
maka menjadi suatu kepastian adanya beberapa varian ilmu PAI versi konservatif,
paradigma akomodatif, dan liberal. Serta, tidak menutup kemungkinan adanya
varian-varian lain yang salah satunya merupakan sintesis dari beberapa model
tersebut.
Dapat dikatakan, peran penting komunitas ilmiah dalam pengembangan PAI
adalah sebagai sumber paradigma, sehingga apapun hasilnya dapat dijadikan
panduan bagi praktisi PAI. Dengan kata lain, pengembangan PAI utamanya
dalam scope luas tidak akan bisa berlangsung baik tatkala tidak didukung
mayoritas komunitas ilmiah. Meski sekalipun pengembangan itu hanya pada
wilayah instruksional (pembelajaran di kelas) tetap membutuhkan penguat dari
komunitas ilmiah. Bagaimanapun, kemampuan dan wawasan mayoritas pendidik
bisa berkembang karena adanya paradigma yang diusung oleh komunitas ilmiah
PAI. Yakni, paradigma tersebut mereka dapatkan ketika membaca buku, mengikuti
seminar, diklat (workshop), dan tentunya juga paradigma yang berasal dari
kampus ketika mereka masih proses kuliah. Oleh karena itu, permasalahan dalam
dunia PAI harus diselesaikan oleh ahlinya, terlebih lagi adanya kesepakatan dari
komunitas ilmiah PAI. Ibaratnya, seorang yang sakit gigi akan sangat kurang
optimal penanganannya ketika paradigma pengobatan yang digunakan
menggunakan paradigma dokter umum. Penanganan dan penyembuhannya akan
bisa berjalan baik dan berefek samping paling sedikit kalau ditangani oleh dokter
gigi.
Dapat disimpulkan, keberadaan komunitas ilmiah PAI merupakan cermin bagi
dunia pendidikan Islam. Apabila komunitas ilmiahnya aktif dalam mengadakan
pengembangan PAI secara positif dan konsisten, maka lambat laun akan
menghasilkan proses pendidikan Islam yang baik dalam segala aspeknya.
Sebaliknya, ketika komunitas ilmiah PAI tidak peka (sensitif) terhadap perubahan
masyarakat dan merasa perlu mempertahankan paradigma lama, dampaknya
proses pendidikan Islam akan mengalami stagnansi. Hasilnya, generasi umat
Islam tidak akan memiliki perbedaan yang jauh dengan generasi-generasi
sebelumnya dalam mengatasi masalah. Padahal, paradigma umat Islam terdahulu
belum tentu handal untuk digunakan dalam pemecahan masalah di masa kini.
Oleh karena itu, regenerasi komunitas ilmiah PAI perlu terus dilakukan dan
dikembangkan. Alasannya, tanpa adanya komunitas ilmiah PAI yang berkualitas,
maka sebuah paradigma berkualitas tidak akan pernah ada. Merekalah yang
berperan memilihara bahkan seharusnya juga mengembangkan ilmu
pengetahuan. Secara moral, mereka adalah pengemban tugas penting untuk
membawa umat Islam menyusul dari ketertinggalan yang jauh hingga akhirnya
bisa mendahului. Pada akhirnya, umat Islam mampu mendukung bahkan pantas
ikut serta aktif dalam memajukan negara Indonesia.
D. Penutup
Dari semua pembahasan sebelumnya dapat simpulkan bahwa gagasan
paradigma juga revolusi ilmu pengetahuannya telah membuka jalan lebar bagi
segala macam ilmu untuk ikut serta dalam pengembangan diri. Bagaimanapun,
Allah SWT telah memberi dan menunjukkan berbagai fenomena kehidupan,
sehingga tugas ilmuwan adalah membuat teorinya. Termasuk di dalamnya ilmu
Pendidikan Agama Islam yang selama ini dianggap sebagai ilmu dogmatis yang
tidak dapat dianggap (tidak memenuhi syarat) sebagai ilmu pengetahuan.
Ilmu Pendidikan Agama Islam sebagai salah satu alat agama Islam untuk
mengembangkan ajarannya perlu diinovasi dan diperbarui. Yakni, salah satunya
dengan cara reinterpasi atau penafsiran ulang terhadap sebagian paradigma lama
yang dipandang sudah tidak mampu lagi memecahkan masalah kekinian. Dengan
kata lain, bila melihat konteks kehidupan masyarakat sekarang ini kebutuhan

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

terhadap revolusi perkembangan ilmu pengetahuan Pendidikan Agama Islam


merupakan hal yang mendesak.
Ide-ide Kuhn tersebut memang di satu sisi oleh kalangan positivistik tidak bisa
dikatan ilmiah. Namun, berkat ide-ide yang cermelangnya tersebut, Khunian bisa
menyentuh konteks masyarakat yang tidak bisa dijangkau oleh kaum positivistik.
Misalnya, apakah kaum positivistik bisa menyentuh aspek sosiologis, psikologis,
dan kepercayaan yang menancap kuat (benar-benar ada) pada suatu fenomena
secara tepat dan mendalam. Selain itu dari gagasan Khun tersebut, sebenarnya
ilmuwan diajak untuk berfikir kritis. Di mana, dengan sikap kritis itu kemungkinan
besar intensitas perkembangan ilmu pengetahuan akan berjalan dinamis sesuai
zamannya.

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

Daftar Rujukan

Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring), KBBI Offline Versi 1.5, dalam
http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21
April 2014.
Abdullah, M. Amin. Falsafah Kalam: Di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Cet. III, 2004.
Andri,

Paradigma
Ilmu
Thomas
Kuhn
dan
Karl
Popper,
dalam
https://mhs.blog.ui.ac.id/andri.septian/2010/10/08/paradigma-ilmu-thomas-kuhndan-karl-popper/, 08 Oktober 2010, diakses tanggal 23 September 2014.

Anonim, Ayat Kauniyah, dalam http://an-naba.com/ayat-kauniyah-2/comment-page-1/,


diakses 25 Februari 2014.
Anonim, Pemikiran Karl Poper dan Thomas Kuhn tentang Science. Apa Persamaan
dan Perbedaannya?, dalam http://www.wisnudewobroto.com/pemikiran-karlpopper-dan-thomas-kuhn-tentang-%E2%80%9Dscience%E2%80%9D-apapersamaan-dan-perbedaannya/, diakses tanggal 23 September 2014.
Anonim, Scientific Revolution, dalam http://www.slideshare.net/anjanaaaaaaa/thomaskuhn-and-paradigm-shift?qid=5bd4b765-3538-461d-8888ea9308659f26&v=qf1&b=&from_search=3, diaskes tanggal 23 September 2014.
Anonim, Sejarah Sains, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_sains, diakses
tanggal 16 Februari 2015.
Anonim,
The
Structure
of
Scientific
Revolutions,
http://en.wikipedia.org/wiki/The_Structure_of_Scientific_Revolutions,
tanggal 23 September 2014.

dalam
diakses

Anonim, Thomas Kuhn, dalam http://plato.stanford.edu/entries/thomas-kuhn/, 13


Agustus 2011, diakses 23 September 2014.
Anonim,
Thomas
S.
Kuhn,
dalam
http://www.goodreads.com/review/show/191787098?book_show_action=true&pa
ge=1, diakses tanggal 23 September 2014.
Armstrong, Karen. Masa Depan Tuhan: Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan
Ateisme, dalam The Case for God; What Religion Really Means, terj. Yuliani
Liputo. Bandung: Mizan Cet. III, 2011.
Basuki,
Dian.
Jejak
Paradigma
Kuhn,
dalam
http://indonesiana.tempo.co/read/21561/2014/09/05/desibelku.1/jejak-paradigmakuhn, 05 September 2014, diakses tanggal 23 September 2014.
Choudhury, Masudul Alam. The Universal Paradigm and the Islamic Word-System:
Economy, Society, Ethics, and Science. Singapore: World Scientifc, 2007.
Dupr, Ben. 50 Gagasan Besar yang Perlu Anda Ketahui, dalam 50 Big Ideas You
Really Need to Know, terj. Benyamin Hadinata. Tanpa kota: Esensi, 2010.
Echols, John M.dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia,
2013.

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

Http://menaraislam.com/content/view/209/1/, diakses 25 Februari 2014.


Jena, Yeremias. Thomas Kuhn Tentang Perkembangan Sains dan Kritik Larry Laudan,
Jurnal Melintas (Jakarta: Departement of Ethics/Philosophy, Atma Jaya Catholic
University,
28
Februari,
2012),
hlm.
161-181,
dalam
https://www.academia.edu/4171062/Thomas_Kuhn_Tentang_Perkembangan_Sa
ins_dan_Kritik_Larry_Laudan, didownload tanggal 23 September 2014.
Josephrouse, Kuhns Philosophy of Scientific Practice, dalam Thomas Kuhn, ed.
Thomas Nickles. New York: Cambridge University, 2003.
Kosim, Mohammad. Menyoal Islamisasi Sains di Madrasah (Studi Atas Kandungan
Agama Islam dalam Buku Ajar Sains di Madrasah Aliyah), Annual International
Conference on Islamic Studies Chapter I: Religion & Science: Integrasion
Through
Islam
Studies,
hlm
109-124,
dalam
diktis.kemenag.go.id/aicis/file/dokumen/114162031651650DIES.pdf,
diakses
tanggal 18 Februari 2015.
Kuhn, Thomas S. The Structure of Scientific Revolutions, terj. Tjun Surjaman. Bandung:
Remaja Rosdakarya Cet. VII, 2012.
Madjid, Nurcholis. Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum, dalam
Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Maksum, Ali. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme.
Jogjakarta:Ar-Ruzz Media, 2008.
Marcum, James A.Thomas Kuhns Revolution: An Historical Philosophy of Science. New
York: Coontinum, 2005.
Muhaimin, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Maliki Malang, Pemaparan pada
Orientasi Program Studi Mahasiswa Baru Semester Ganjil tahun akademik 20142015, tanggal 11 September 2014.
Mujtahid,
Islam
dan
Nalar
Ilmiah,
dalam
http://old.uinmalang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1943:islam-dannalar-ilmiah-2&catid=35:artikel&Itemid=210, 12 Februari 2011, diakses tanggal 18
Februari 2015.
Muslih, Mohammad. Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat Ilmu, Hunafat: Jurnal
Studia Islamika, Vol. 8, No. 1, Juni 2011: hlm. 53-80, ISID Gontor Ponorogo,
dalam http://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/84/75, diakses
tanggal 21 Desember 2014.
Nurkhalis, Konsep Epistemologi Paradigma Thomas Kuhn, Jurnal Subtantia, vol. 14,
No. 2, Oktober 2012 (Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry), hlm. 210-223, dalam
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=265995&val=7080&title=KON
SEP%20EPISTIMOLOGI%20PARADIGMA%20THOMAS%20KUHN, didownload
tanggal 21 Desember 2014.
Saefuddin, Ahmad Muflih. Pembaharuan Pemikiran Islam: Sebuah Pengantar, dalam
Percakapan Cendekiawan tentang Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia.
Bandung: Mizan, 1991.

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner


(Yogyakarta: LKiS, 2015).

Sirozi, Muhammad. In Search of a Distinctive Paradigm for Indonesia Islamic Studies:


Some
Note
From
13th
AICIS
2013,
dalam
http://diktis.kemenag.go.id/aicis/index.php?artikel=lihat&jd=4#.VOqakfmsUyY,
diakses tanggal 23 Februari 2015.
Shuttleworth, Martyn. What Is a Paradigm?, dalam https://explorable.com/what-is-aparadigm, diakses tanggal 23 September 2014.
Suharyanta dan Sutarman, Relevansi Epistemologi Keilmuan Integratif-interkonektif
Amin Abdullah bagi Ilmu Pendidikan Islam, Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012:
hlm.
55-76,
dalam
http://www.aljamiah.org/mukaddimah/index.php/muk/article/download/6/6,
diakses tanggal 18 Februari 2015.
Suyono, Yusuf. Studi Perbandingan Rislat al-Tauhd dan The Reconstruction of
Religious Thought in Islam, (Disertasi Doktor, Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga
Yogyakarta,
2005),
hlm.
13-14,
dalam
http://digilib.uinsuka.ac.id/14350/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf,
diakses
tanggal 18 Februari 2015.
Swerdlow, N. M. Thomas S. Kuhn 1922-1996 a Biographical Memoir. Tanpa kota:
National Academy of Sciences: 2013.
Tamtowi, Moh. Urgensi Scientific Research Programme Imre Lakatos bagi
Pengembangan Studi Islam, Jurnal Substantia, Vol 12, No. 1, April 2011: hlm 3241,
hlm.
33,
dalam
http://www.substantiajurnal.org/index.php/subs/article/download/54/52,
didownload 21 Desember 2014.
Tobroni,
Paradigma
Pemikiran
Islam,
http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/12/01/paradigma-pemikiran-islam/,
Desember 2010, diakses tanggal 19 Februari 2015.

dalam
1

Wonorajardjo, Surjani. Dasar-dasar Sains: Menciptakan Masyarakat Sadar Sains.


Jakarta: Indeks, 2010.
Zubaedi, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala
Thomas Kuhn. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.

You might also like