Professional Documents
Culture Documents
Petunjuk pemakaian:
1. Soft file ini bukan sebagai bahan referensi (sumber
rujukan). Baik sebagai sumber rujukan pada diskusi
(lisan) maupun dalam membuat karya tulis (makalah).
Kecuali, sebagai bahan referensi (sumber rujukan) untuk
karya tulis mahasiswa khusus pada mata kuliah Filsafat
Ilmu PAI smstr III kelas F, G, dan H serta mata kuliah
Filsafat Pendidikan PAI smstr III kelas A, B, C, dan D di
STAIN Kediri.
2. Soft file ini sebagai bahan salah satu bacaan dasar
mahasiswa supaya dapat memahami arah perkuliahan
Filsafat Ilmu PAI smstr III kelas F, G, dan H serta
Filsafat Pendidikan PAI smster III kelas A, B, C, dan D
di STAIN Kediri tahun 2015.
3. Soft file ini tidak boleh disebarkan kepada siapapun,
kecuali kepada teman sekelas pada mata kuliah Filsafat
Ilmu PAI smstr III kelas F, G, dan H serta mata kuliah
Filsafat Pendidikan kelas A, B, C, dan D di STAIN
Kediri tahun 2015.
Ilmu Filsafat merupakan studi praktik berpikir radikal. Manfaat
berpikir radikal salah satunya ialah untuk menemukan hakikat sesuatu
hal secara utuh. Dengan memahami sesuatu secara utuh, diharapkan
hasil dari pemikiran itu akan membawa maslahat bagi seluruh manusia.
Oleh sebab itu, bagi siapapun yang ingin berfilsafat seharusnya banyak
membaca dari berbagi macam sumber rujukan sebagai bahan acuan
dalam berpikir. Bukan hanya dari satu jenis sumber yang akan
mengungkung pemikiran manusia, bahkan bisa jadi menyebabkan
manusia menjadi fanatik buta terhadap sesuatu itu.
Semoga bermanfaat...
Prawacana
Thomas Kuhn merupakan salah satu tokoh filosof modern yang ide-idenya (teori) sampai sekarang
ini masih diakui oleh dunia. Ia merupakan salah satu tokoh yang mampu mengkritisi paradigma
posistivisme yang dominasinya berpengaruh luar biasa di barat. Dari gagasannya, dapat ditarik sebuah
pendapat bahwa ilmu itu tidak ada yang fixed (pasti) di dunia ini termasuk ilmu agama. Ilmu
menurut gagasannya tidak hanya berkembang ke depan tapi bisa juga ke samping. Ilmu tidak
didasarkan pada kaidah benar-salah, akan tetapi mengacu pada paradigma apa yang digunakan.
Dengan paradima itu, seorang atau para ilmuwan akan menjadikannya sebagai dasar (pedoman)
dalam melihat sekaligus memahami realitas (fenomena). Selain itu, dengan paradigma maka ilmuwan
akan bisa menentukan metode apa yang akan mereka gunakan dalam mendekati masalah.
Dalam wacana ini, apa yang dimaksud dengan kebenaran ialah sesuatu yang masih dijadikan
pedoman oleh ilmuwan untuk memandu mereka dalam pengembangan ilmu. Suatu kebenaran
akan senantiasa dipegang teguh selama paradigma baru yang lebih unggul belum ditemukan. Di
mana, manfaat hadirnya paradigma baru yang lebih unggul ialah untuk menggantikan paradigma lama
yang sudah tidak layak lagi digunakan dalam memandu ilmuwan. Dengan adanya pergeseran
paradigma (dari paradigma lama menuju paradigma baru) inilah suatu ilmu akan senantiasa
berkembang.
Tulisan yang anda baca ini menyuguhkan tentang beberapa gagasan Kuhn dari berbagai sudut
pandang. Meski masih ada beberapa kelemahan, diharapkan tulisan ini tetap membawa manfaat bagi
mahasiswa. Terutama, sebagai dasar dekonkonstruksi pemikiran bahwa ilmu yang menjadi ciptaan
manusia itu sesungguhnya memiliki keterbatasan. Bilapun memiliki keunggulan, sesungguhnya yang
mengunggulkan adalah manusia itu sendiri melalui komunitas (masyarakat) ilmiah yang mereka
bentuk. Sebaliknya, bilapun memiliki kelemahan, sesungguhnya yang melemahkan ialah manusia itu
sendiri melalui komunitas (masyasrakat) ilmiah yang mereka bentuk sehingga kemudian kadangkala
mereka juga akan menawarkan ilmu baru yang bisa jadi lebih unggul.[]
(catatan: nomor halaman daftar isi di bawah ini tidak menunjukkan nomor halaman yang
sebenarnya. Dalam artian, antara nomor halaman dalam bentuk soft file ini berbeda dengan
nomor halaman dalam bentuk cetakan buku/print out)
Daftar Isi
Persembahan ..........................................................................................................................................
Kata Pengantar Penerbit .......................................................................................................................
Kata Pengantar Ahli ..............................................................................................................................
Kata Pengantar Penulis .........................................................................................................................
Daftar Isi ................................................................................................................................................. i
Daftar Gambar dan Tabel .................................................................................................................... v
Bab II Gagasan Thomas S. Kuhn tentang Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan .......................................................................................................................... 18
A. Konsep Dasar .................................................................................................................... 20
1. Nomenklatur yang Digunakan Thomas S. Kuhn ................................................... 20
2. Pengertian Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan ....................................... 26
B. Penelusuran Alam Pikir Thomas S. Kuhn ..................................................................... 28
1. Konsep Pencarian Kebenaran Vs. Puzzle-solving Milik Thomas S. Kuhn ........... 28
2. Posisi Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn ............................................. 29
3. Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn .... 30
C. Paralelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn dengan Pengembangan Pendidikan Agama
Islam ................................................................................................................................... 31
1. Patokan Parelelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn Terhadap Pengembangan Pendidikan Agama Islam .................................................................................................... 33
2. Nilai-nilai Dasar Pengembangan Pendidikan Agama Islam ................................. 34
3. Reinterpretasi Ayat Kauliyah dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam . 35
4. Penggunaan Ayat Kauniah dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam ... 36
5. Peran Komunitas Ilmiah dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam ....... 38
D. Penutup ............................................................................................................................... 39
Daftar Rujukan ........................................................................................................................... 40
Bab III Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan Beragam (Multiple Intelligences) ............................................................................... 43
A. Konsep Dasar ..............................................................................................................
1. Pengertian Kecerdasan Beragam .........................................................................
2. Pengertian Pembelajaran Pendidikan Agama Islam .........................................
3. Perubahan Paradigma Kecerdasan ........................................................................
4. Otak sebagai Kunci Utama Kecerdasan ...............................................................
5. Dasar Hukum Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Beragam ...
B. Paradigma Baru Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan
Beragam ..........................................................................................................................
C. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan Beragam yang Ideal .....................................................................................................................................
D. Penutup .........................................................................................................................
Daftar Rujukan ....................................................................................................................
46
46
47
48
50
51
52
56
64
66
70
70
72
73
74
75
77
79
79
80
82
84
87
91
93
100
100
104
105
111
112
116
117
117
118
119
121
123
2. Landasan Fondasional Pengembangan Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama Islam ...................................................................................................... 129
3. Landasan Operasional Pengembangan Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama Islam ...................................................................................................... 133
B. Langkah-langkah Pengembangan Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama
Islam .............................................................................................................................. 136
1. Pengembangan Program Studi Tipe 1 ............................................................... 137
2. Pengembangan Program Studi Tipe 2 ............................................................... 137
3. Pengembangan Program Studi Tipe 3 ............................................................... 138
C. Menuju Kualitas Lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam yang Integratif dan
Mandiri dalam Keilmuan ............................................................................................ 138
D. Penutup ........................................................................................................................ 140
Daftar Rujukan ................................................................................................................... 141
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kategorisasi Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Lembaga Pendidikan .......
Gambar 1.2 Langkah-langkah Research and Development Menurut Sugiyono .........................................
Gambar 1.3 Piramida Sistematika Pengembangan PAI Melalui Empat Perspektif ..........................
Gambar 2.1 Bukit Paradigma: Skema Diskontinuitas Perkembangan Ilmu Pengetahuan ...........
Gambar 2.2 Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Thomas S. Kuhn ...............................
Gambar 3.1 Identifikasi Paradigma Baru Kecerdasan ...........................................................................
Gambar 3.2 Posisi Peserta Didik dalam Bingkai Pendidikan Agama Islam .......................................
Gambar 3.3 Dua Jenis Makna Kesuksesan .........................................................................................
Gambar 4.1 Mekanisme Psikologi Teroris dalam Mengkonstruk Pembenaran Diri ........................
Gambar 4.2 Upaya Pemutusan Mata Rantai Ideologi Teroris Melalui Pendidikan ...........................
Gambar 5.1 Konsumen Fanatik Bentuk Pendidikan Pesantren, Madrasah, dan Sekolah ...............
Gambar 5.2 Mekanisme Lama Bentuk Pendidikan Indonesia .............................................................
Gambar 5.3 Mekanisme Baru (Sebagai Adaptasi) Sistem Pendidikan Indonesia ..............................
Gambar 6.1 Pola Upgrade Dosen PTAI yang Diambil atau Berasal dari PTU ..................................
Gambar 6.2 Pola Upgrade Dosen PTAI yang Mengajar Mata Kuliah Keagamaan ............................
6
23
31
54
61
100
113
122
174
176
227
235
236
263
263
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Perbedaan Sistem Pendidikan Islam dengan Sistem Pendidikan Barat ............................ 106
Tabel 3.2 Penerapan Teori Kecerdasan Beragam dalam Pembelajaran PAI ...................................... 117
Tabel 3.3 Penerapan Teori Kecerdasan Beragam dalam Lingkup Satu Tema (materi) .................... 119
Tabel 3.4 Kecerdasan pada Manusia Purba dan Spesises Selain Manusia .......................................... 123
Tabel 3.5 Tipologi Pemikiran Pendidikan Islam dengan Bentuk Tabel .............................................. 125
Tabel 5.1 Kasus Tertentu: Terjadi Kelunturan Identitas/Karakteristik ............................................. 208
Tabel 5.2 Nilai-nilai Karakter pada Sekolah Berbasis Pesantren (SMK Salafiyah Pati Jawa Tengah) ............................................................................................................................................ 235
Tabel 6.1 Pengembangan Prodi Berdasarkan Nilai Kesejarahan Perkembangan Ilmu Pengetahuan
dalam Dunia Islam .................................................................................................................... 262
BAB II
GAGASAN THOMAS S. KUHN TENTANG REVOLUSI
PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
Oleh: A. Rifqi Amin
Kajian filsafat ilmu, khususnya filsafat ilmu keagamaan Islam bagi pengembangan
Pendidikan Agama Islam1 merupakan kebutuhan mendasar. Yakni, sebagai pisau
analisa dalam menemukan hakikat dan nilai kebenaran menurut paradigma2 manusia.
Diharapkan, kebenaran yang menjelma menjadi ilmu pengetahuan dan produknya bisa
bermanfaat bagi sendi kehidupan manusia. Oleh karena itu, sebagai awal penguraian
(starting point) isi buku ini, memahami terlebih dahulu gagasan Thomas Samuel Kuhn3
dirasa sangat penting. Bagaimanapun, pemikiran kontemporer Kuhn sangat bermanfaat
dalam memahami filsafat ilmu dengan cara yang baru.4 Kendati dapat dipahami bahwa
pemikiran Kuhn bukanlah pemikiran bebas dari kritik. Dengan demikian, mendalami
mekanisme revolusi perkembangan ilmu pengetahuan di Bab ini bisa menjadi dasar
untuk mengkaji dan mengembangkan sejumlah teori pada Bab-bab berikutnya.
Lebih lanjut, tulisan ini difokuskan pada penelusuran peran Kuhn terkait gagasannya
yang cemerlang. Hasil kemampuan berfikirnya salah satunya terinspirasi dari
pendalamannya terhadap kajian sejarah ilmu pengetahuan5 menjadi landasan
Yang dimaksud Pendidikan Agama Islam di sini meliputi pendidikan makro sekaligus pendidikan mikro.
Di mana pendidikan makro salah satunya menelaah bidang pendidikan tertentu dalam wilayah luas.
Misalnya, lingkup kajiannya pada jenjang pendidikan dasar seperti menelaah SD dan SMP. Tentu ini akan
sedikit banyak berbeda bila mengkaji MI (Madrasah Ibtidaiah) dan MTs (Madrasah Tsanawiyah). Oleh
karena itu, ilmu yang dibutuhkan untuk pengembangannya pu juga akan berbeda. Yakni, membutuhkan
ilmu-ilmu seperti psikologi, sosiologi, manajemen, filsafat, dan beberapa lainnya. Sedangkan pendidikan
mikro salah satunya mengkaji pendidikan dalam wilayah sempit. Misalnya, hanya menelaah individunya
saja yaitu salah satunya terkait dengan bakat-minat serta perubahan sikapnya, sehingga ilmu yang
diperlukan untuk pengembangannya lebih sedikit seperti psikologi saja.
2
Mengenai paradigma PAI sebagai salah satu ilmu sosial, maka Tobroni menuliskan bahwa Ilmu sosial
menurut Giddent memiliki multi paradigma. Paradigma adalah pangkal tolak (starting point) dan sudut
pandang (point of view) dalam mengkaji suatu hal. Perbedaan paradigma bukan hanya akan
menghasilkan pemahaman yang berbeda, melainkan juga nilai dan norma berbepa pula. Contoh ekstrem
diibaratkan ada beberapa orang buta yang berusaha memahami seekor gajah. Ada yang meraba
belalainya, telinganya, kakinya, perutnya dan ekornya, dan lantas masing-masing mendefinisikan gajah.
Hasilnya adalah masing-masing memiliki pemahaman, pengertian dan perlakuan berbeda terhadap gajah.
Dalam kehidupan sosial, paradigma yang berbeda akan menyebabkan keyakinan, nilai, dan norma yang
berbeda
pula.
Lihat,
Tobroni,
Paradigma
Pemikiran
Islam,
dalam
http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/12/01/paradigma-pemikiran-islam/, 1 Desember 2010, diakses tanggal
19 Februari 2015.
3
Thomas Samuel Kuhn penulis buku The Structure of Scientific Revolutions, terbit pertama kali tahun
1962. Untuk bukunya edisi kedua tahun 1970 terdapat beberapa penambahan. Buku tersebut telah
diterjemahkan lebih dari dua puluh bahasa dan terjual lebih dari satu juta copy (salinan). Lihat, N. M.
Swerdlow, Thomas S. Kuhn 1922-1996 a Biographical Memoir (tanpa kota: National Academy of
Sciences: 2013), hlm 15.
4
Kuhn telah berjasa besar, terutama dalam mendobrak citra filsafat ilmu sebagai logika ilmu dan
mendobrak citra bahwa ilmu adalah suatu kenyataan yang punya kebenaran seakan-akan sui-generis,
objektif. Disamping itu, teori yang dibangun Kuhn mempunyai implikasi yang sangat besar dan luas dalam
bidang-bidang keilmuan yang beraneka ragam. Lihat, Zubaedi, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene
Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 210-211.
5
Sejarah ilmu pengetahuan adalah studi tentang sejarah perkembangan sains dan pengetahuan ilmiah,
termasuk ilmu alam dan ilmu sosial... Dari abad ke-18 sampai akhir abad ke-20, sejarah sains, khususnya
ilmu fisika dan biologi, sering disajikan dalam narasi progresif yang mana teori yang benar menggantikan
keyakinan yang salah. Interpretasi sejarah yang lebih baru, seperti dari Thomas Kuhn, menggambarkan
sejarah sains dalam istilah yang lebih bernuansa, seperti paradigma-paradigma yang saling bersaing atau
sistem konseptual dalam matriks yang lebih luas yang mencakup tema intelektual, budaya, ekonomi dan
politik luar sains. Pendapat Thomas Kuhn lainnya adalah pengetahuan ilmiah bergerak melalui
pergeseran paradigma dan belum tentu progresif. Oleh karena itu, sejak publikasi Kuhn The Structure
of Scientific Revolutions pada tahun 1962, sejarawan, sosiolog, dan filsuf sains telah mendebat makna
(etika/moral) yang dianggap subjektif lebih tepat untuk digunakan sebagai pemecah
masalah.
Sebagai penutup, Bab ini merupakan usaha penulis dalam mencoba menelusuri
pokok-pokok pemikiran Kuhn, kemudian dikaitkan dengan pengembangan PAI. Yakni,
tentang pentingnya gagasan revolusi ilmu pengetahuan bagi kesejahteraan kehidupan
manusia. Dengan kata lain, akan dibahas sejauh mana peran konsep revolusi ilmu
pengetahuan milik Kuhn tersebut bisa digunakan dalam masa kekinian. Termasuk di
dalamnya akan dibahas tentang penggunaan konsep pergeseran paradigma8 ke dalam
dunia Pendidikan Agama Islam. Mengingat, selama ini PAI masih dianggap masih
mengalami banyak permasalahan. Salah satu sebabnya tidak ada perubahan
paradigma lama PAI, atau paling tidak perubahan tersebut masih terjadi secara raguragu atau malu-malu. Meski kenyataan sekarang paradigma baru PAI yang belum
dimunculkan secara masif merupakan sebuah kebutuhan. Oleh karena itu, Bab ini
selain sebagai dasar juga diupayakan menjadi pendorong terhadap pengembangan PAI,
sehingga bisa bermanfaat bagi pemecahan masalah kontemporer.
A. Konsep Dasar
1. Nomenklatur yang Digunakan Thomas S. Kuhn
Nomenklatur adalah pemberian nama/kode (tata nama) yang dipakai pada
bidang ilmu tertentu. Biasanya pembentukan nama tersebut disusun sebagai ciri
khas bagi objek studi pada cabang ilmu pengetahuan tertentu.9 Pada setiap
gagasan yang dibangun, biasanya Kuhn menggunakan istilah yang butuh
pemahaman tersendiri. Hal ini karena beberapa nomenklatur yang diusung oleh
Kuhn masih sangat asing bagi masyarakat awam. Bahkan beberapa diantaranya
baru dapat dipahami maksudnya secara utuh setelah dijelaskan runtutan
mekanismenya. Oleh karena itu, sebelum membahas pokok persoalan secara
detail, perlu didalami terlebih dahulu nomenklatur yang sering digunakan oleh
Kuhn. Diantaranya sebagai berikut:
a. Paradigma (paradigm)
Paradigma (P)10 adalah bagian dari teori lama yang pernah digunakan
serta dipaparkan berdasarkan pengujian-pengujian dan interpretasi dari sikap
anggota masyarakat ilmiah yang sudah ditentukan (disepakati) sebelumnya.
Selain itu paradigma dipakai sebagai kesuluruhan manifestasi keyakinan, nilai,
teknik, dan lain-lain yang telah diakui bahkan dilakukan oleh anggota-anggota
masyarakat ilmiah.11 Dengan demikian dalam paradigma ada serangkaian
keyakinan yang diadopsi ilmuwan untuk praktik ilmiah, selain juga digunakan
sebagai contoh riset terdahulu sehingga menjadi inspirasi dan pemandu riset
Menurut Kuhn, ide pergeseran paradigma diartikan sebagai peralihan secara terus-menerus (berturutturut) dari satu paradigma ke paradigma yang lain melalui revolusi. Hal itu merupakan hal biasa dalam
pola perkembangan saat tercapai ilmu matang. Saat ini, kemungkin studi Islam di Indonesa menunjukkan
dinamika. Bahkan mulai mencapai tahap kematangannya. Menurut Khun, perlu ada pergeseran
paradigma ketika para ilmuwan menemukan anomali yang belum terpecahkan dan adanya arus
paradigma baru yang menantang paradigma lama. Oleh karena itu, disiplin ilmu lama (paradigma lama)
berhak dilempar ke atas meja krisis. Lihat, Muhammad Sirozi, In Search of a Distinctive Paradigm for
Indonesia
Islamic
Studies:
Some
Note
From
13th
AICIS
2013,
dalam
http://diktis.kemenag.go.id/aicis/index.php?artikel=lihat&jd=4#.VOqakfmsUyY, diakses tanggal 23 Februari
2015.
9
Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring), KBBI Offline Versi 1.5, dalam http://kbbioffline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
10
Huruf p kapital dengan font bold (cetak tebal) yang berada dalam tanda baca kurung seperti berikut ini
(P) merupakan singkatan dari kata paradigma. Untuk pembahasan selanjutnya masih terdapat huruf
atau gabungan huruf yang cara penulisannya berpola sama dengan singakatan tersebut. Salah satu
contohnya (IN) yang merupakan singkatan dari ilmu pengetahuan normal. Teknik penyingkatan tulisan
seperti itu dimaksudkan untuk mempermudah penggambaran gagasan perkembangan ilmu pengetahuan
ke dalam bentuk gambar bukit paradigma yang akan dibahas pada halaman berikutnya.
11
Zubaedi, Filsafat Barat: Dari, hlm. 201.
12
Dian
Basuki,
Jejak
Paradigma
Kuhn,
dalam
http://indonesiana.tempo.co/read/21561/2014/09/05/desibelku.1/jejak-paradigma-kuhn, 05 September
2014, diakses tanggal 23 September 2014.
13
Setiap komunitas ilmiah pasti diselimuti atau dipengaruhi oleh paradigma, sehingga paradigma dapat
menjadi pemandu komunitas ilmiah dalam memahami segala sesuatu, termasuk memandang fenomena.
14
Basuki, Jejak Paradigma Kuhn, diakses tanggal 23 September 2014.
15
Surjani Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains: Menciptakan Masyarakat Sadar Sains (Jakarta: Indeks,
2010), hlm. 123.
16
A paradigm, in Thomas Kuhns view, is not simply the current theory, but the entire worldvew in which it
exists, and all of the implications which come with it. This view implies that developing or changing
scentific paradigm is not an overnight job for every researchers, because it will take time for investigation,
discussion, and dissemmination. It is also not a simple process, because it will involve and require social
and political context and construction... It requires long term commitment, intensive researches, and
extensive discussions, considering many opinions, and involving scholars of various disciplines. For this
reason, a long term planning and action plans will pave the way for thedevelopment of a unique paradigm
for Indonesian Islamic studies that can produce open minded attitude and broad understanding of Islamic
teachings. In a long term, Azyumardi believes, such a paradigm will develop and promote moderate Islam
(wasatiyyah Islam) that can be a model for other Muslim countries. Dari penjelasan tersebut dapat
dipahami bahwa sebuah paradigma dalam pandangan Thomas Kuhn, adalah bukan sekedar teori yang
muncul saat ini, tetapi seluruh cara pandang (worldview) ilmuwannya di mana ia eksis (berada), dan
semua implikasinya yang datang dengannya. Pandangan ini mengimplisitkan bahwa mengembangkan
atau mengubah paradigma lama bukanlah pekerjaan semalam untuk setiap peneliti-peneliti, karena hal
tersebut akan memerlukan waktu untuk agenda penelitian, diskusi, dan penyebarannya. Hal itu juga
bukan proses yang simple, karena itu akan melibatkan dan memerlukan konteks sosial dan politik... Serta
memerlukan komitmem jangka panjang, penelitian intensif, dan diskuksi yang luas, mempertimbangkan
banyak opini, dan melibatkan sarjana dari berbagai disiplin ilmu. Untuk alasan ini, perencanaan jangka
panjang dan tindakan terencana akan membuka jalan untuk pengembangan paradigma yang unik pada
studi Islam di Indonesia yang dapat memproduk pola tingkah terbuka dan pemahaman orisinil tentang
pengajaran Islam. Dalam jangka panjang, Azyumardi percaya, paradigma seperti itu akan berkembang
tidak bisa saling mengklaim mana yang baik dan yang benar. Bagaimanapun di
antara keduanya adalah sama-sama benar dan baik untuk tempat dan zaman
yang menaunginya.
Dapat disimpulkan, fungsi paradigma adalah menyuplai teka-teki (puzzle)
bagi para ilmuwan untuk dipecahkan. Paradigma juga menyediakan alat
sebagai solusi bagi mereka.17 Untuk memecahkan teka-teki (puzzle solving)
tersebut dibutuhkan dugaan dasar dan dugaan teoritis. Di mana pada setiap
teka-teki karakternya berbeda satu sama lain. Artinya, paradigma menjadi
dasar dalam melihat, memahami, dan mepersepsi realitas (fenomena). Dengan
kata lain, paradigma menjadi wordwiew (cara pandang terhadap dunia) untuk
menentukan metode apa yang akan dipakai pada penelitian. Dengan landasan,
setiap paradigma selalu berbeda tergantung waktu dan tempatnya. Setiap
kelompok atau komunitas ilmiah pun paradigmanya berbeda. Bahkan setiap
individu ilmuwan dalam satu komunitas pun paradigmanya dimungkinkan bisa
berbeda. Oleh karena itu, paradigma bisa menentukan sifat dan karakter ilmu
pengetahuan yang dibangun. Bisa dikatakan, ilmu pengetahuan merupakan
sekumpulan teori-teori yang terbalut dalam sebuah paradigma yang ada pada
masing-masing ilmuwan.
b. Ilmu Pengetahuan Normal (normal science)
Yang dimaksud dengan normal adalah didasarkan pada aturan atau pola
yang umum, sehingga tidak ada penyimpangan dari suatu norma atau kaidah. 18
Bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan normal (IN) merupakan kumpulan teori
yang sudah mapan atau diakui oleh komunitas ilmiah. Sedang menurut Surjani
yang dipahami dari Kuhn bahwa ilmu pengetahuan normal adalah kegiatan
ilmiah dalam masyarakat ilmiah, mereka bekerja dalam strukturnya sendiri,
bidang kajian tersendiri, dengan hukum serta teori yang mendasari kenyataan
menurut topik bahasan mereka.19 Dapat diartikan, bahwa ilmu pengetahuan
normal merupakan ilmu pengetahuan yang dasarnya masih dikaji dan
digunakan oleh ilmuwan karena metode dan isinya masih layak untuk dijabarkan
serta dikembangkan secara mendalam.
Ilmu pengetahuan normal merupakan ilmu pengetahuan yang pemikiran
atau teorinya mendominasi teori lainnya. Dengan kata lain, mayoritas komunitas
atau beberapa aliran pemikiran lain mengakui hegemoni bahkan berkiblat
kepada ilmu pengetahuan normal tersebut. Hal ini bisa terjadi karena ilmu
pengetahuan normal menjanjikan pemecahan masalah yang lebih akurat dan
menawarkan penelitian yang lebih maju. Bisa dikatakan bahwa pada normal
science ini masyarakat ilmiah tunduk pada paradigma yang paling berhasil
dalam memecahkan masalah daripada yang ditawarkan oleh paradigma lainnya
yang dianggap sebagai paradigma gagal (PG). Keberhasilan di sini, tidak harus
sangat berhasil secara sempurna dalam menangani satu atau sejumlah
masalah. Melainkan, dicukupkan pada paradigma tersebut mampu memberikan
janji akan keberhasilan yang dapat ditemukan pada contoh-contoh pilihan dan
yang masih belum lengkap.20
dan menyebarkan Islam moderat yang dapat menjadi model bagi negara-negara Muslim lainnya. Lihat,
Muhammad Sirozi, In Search of a Distinctive Paradigm for Indonesia Islamic Studies: Some Note From
13th AICIS 2013, dalam http://diktis.kemenag.go.id/aicis/index.php?artikel=lihat&jd=4#.VOqakfmsUyY,
diakses tanggal 23 Februari 2015.
17
Anonim, Thomas Kuhn, dalam http://plato.stanford.edu/entries/thomas-kuhn/, 13 Agustus 2011,
diakses 23 September 2014.
18
Kamus Besar Bahasa, didownload tanggal 21 April 2014.
19
Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains:, hlm.123
20
Yeremias Jena, Thomas Kuhn Tentang Perkembangan Sains dan Kritik Larry Laudan, Jurnal Melintas
(Jakarta: Departement of Ethics/Philosophy, Atma Jaya Catholic University, 28 Februari, 2012), hlm. 161181,
dalam
https://www.academia.edu/4171062/Thomas_Kuhn_Tentang_Perkembangan_Sains_dan_Kritik_Larry_La
udan, didownload tanggal 23 September 2014.
Pada lingkup ilmu pengetahuan normal ini, ilmuwan tidak bersikap terlalu
kritis terhadap paradigma yang membangun ilmu pengetahuan tersebut. Hal ini
karena mereka kesulitan menemukan kelemahannya, sehingga ilmu
pengetahuan tersebut telah dinyatakan sebagai kesepakatan umum (general
agreement). Namun, lambat laun jika dikaji terus-menerus maka bisa saja
ditemukan sebuah keganjilan (anomali) pada ilmu pengetahuan normal ini. Di
mana para ilmuwan tidak lagi mampu menjelaskan dan memecahkan keganjilan
tersebut dengan teori-teori lamanya. Selanjutnya, ilmu pengetahuan normal
yang dipenuhi oleh anomali ini akan dipertanyakan eksitensinya. Mumpuni untuk
tetap digunakan atau bisa digantikan dengan teori lain yang menentangnya.
Hal tersebut menurut Nurkhalis bukan berarti normal science bertujuan
mematikan diri sendiri, akan tetapi justru menghendaki adanya revolusi sains.21
Dengan kata lain, di dalam lingkup normal science terdapat keinginan untuk
regenerasi ilmu pengetahuan, sehingga pengembangan ilmu pengetahuan tidak
berhenti sampai di situ saja. Di mana revolusi itu sangat penting dilakukan agar
diperoleh suatu ilmu yang tepat untuk memecahkan solusi sesuai permasalahan
baru yang dihadapi. Dapat disimpulkan bahwa normal science adalah ilmu
pengetahuan atau sekumpulan teori yang sudah mapan. Artinya, di dalamnya
terdapat usaha tersistem yang kokoh untuk menjelaskan manfaat paradigma
yang digunakan sebagai cara memecahkan masalah. Implikasinya, ia bisa
menjadi dasar bagi sejumlah teori lain, baik untuk pengembangan teori maupun
untuk pembenaran teori.
c. Anomali (anomalous/anomaly)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia anomali (An) berarti terjadinya
penyimpangan dan keganjilan dari yang normal.22 Sedangkan menurut Kuhn,
anomali adalah terjadinya ketidakselarasan antara kenyataan yang ada
(fenomena)dengan paradigma-paradigma yang digunakan ilmuwan. Dengan
kata lain, anomali adalah sebagai syarat awal (permulaan) terjadinya proses
penemuan baru. Yakni, ketika ada kesesuaian atau keterjalinan antara fakta
baru dengan teori yang baru.23 Dapat digambarkan pada kondisi ini seorang
atau komunitas ilmuwan menemukan kejanggalan dalam mempertahankan
keampuhan paradigma yang ia gunakan untuk membangun teori. Di sisi lain,
secara naluriah individu ilmuwan tidak akan mau menjatuhkan atau menolak
teori yang ia bangun sendiri. Implikasinya, ia akan mencari bukti, argumen, dan
teori-teori yang kuat untuk menjaga teori yang dibangunnya agar tetap valid.
Dapat disimpulkan bahwa anomali adalah berkurangnya atau bahkan
hilangnya kemampuan paradigma lama dalam memecahkan persoalan (tekateki) yang ada pada ilmu normal. Dalam kondisi ini, komunitas ilmuwan
menyangsikan kekuatan paradigma yang selama ini digunakan. Hal itu terjadi
karena paradigma tersebut tidak mampu lagi menerangkan atau menjadi
pemandu dalam memahami bermacam fenomena terbaru. Dengan kata lain,
proses adanya anomali karena para ilmuwan menemukan berbagai kejanggalan
pada ilmu pengetahuan normal. Di mana kejanggalan tersebut tidak dapat
dijelaskan dengan paradigma yang selama masa tersebut digunakan oleh
masyarakat ilmiah sebagai pedoman mereka. Oleh karena itu, para ilmuwan
dipaksa untuk melakukan pembaruan dengan menggali paradigma baru
(menemukan teori baru) agar lebih cocok bagi kehidupan kontemporer.
21
Nurkhalis, Konsep Epistemologi Paradigma Thomas Kuhn, Jurnal Subtantia, vol. 14, No. 2, Oktober
2012
(Banda
Aceh:
IAIN
Ar-Raniry),
hlm.
210-223,
dalam
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=265995&val=7080&title=KONSEP%20EPISTIMOLO
GI%20PARADIGMA%20THOMAS%20KUHN, didownload tanggal 21 Desember 2014.
22
Kamus Besar Bahasa, didownload tanggal 21 April 2014.
23
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, terj. Tjun Surjaman, (Bandung: Remaja
Rosdakarya Cet. VII, 2012), hlm. 52-53.
Namun demikian, syarat terjadinya anomali tidak serta merta hanya karena
paradigma yang masih digunakan tersebut mendapat kritik. Bagaimanapun,
sanggahan atau kritik saja tidak cukup untuk melemahkan gagasan yang
dilontarkan ilmuwan lain. Meski bantahan tersebut menggunakan beberapa teori
sebagai argumentasinya. Perlu alasan mendasar dan urgen suatu gagasan
harus segera diganti dengan gagasan lain. Salah satunya adalah adanya
realitas bahwa masyarakat luas sangat memerlukan solusi baru untuk
memecahkan masalah yang baru. Sebagaimana pernyataan terdahulu bahwa
suatu penelitian atau kajian bukan untuk mencari kebenaran, akan tetapi
mencari nilai kemanfaatan (untuk memecahkan permasalahan atau puzzle
solving). Alasan lainnya, kritik yang ditujukan pada gagasan (paradigma) lama
harus agresif dalam membombardir hal-hal yang paling vital pada objek
terdalamnya.
Hal ini berarti bahwa sampai kapanpun tidak ada paradigma yang terbaik,
utuh, dan terlepas dari anomali. Akibatnya, suatu teori atau gagasan yang
dibalut oleh paradigma lama akan senantiasa berpeluang diperbarui oleh
paradigma baru. Senyampang paradigma baru tersebut mampu menggempur
lalu menciptakan krisis pada ilmu pengetahuan normal. Dengan kata lain, bila
memenuhi syarat maka secara terus-menerus akan terjadi pergeseran dari satu
paradigma ke paradigma lain. Yakni, paradigma yang dipandang lebih cocok
digunakan untuk memecahkan masalah terbaru. Dengan demikian, dalam
pengembangan ilmu pengetahuan faktor kesadaran dan ketulusan akan
adanya anomali adalah sangat penting. Di mana anomali diawali tidak hanya
dengan kritik belaka terhadap gagasan yang ada. Melainkan, mesti ditindak
lanjuti dengan penelitian atau kajian mendalam untuk menemukan teori baru
sehingga mampu menimbulkan krisis.
Dapat disimpulkan, perbedaan antara anomali dengan krisis adalah
anomali timbul karena faktor ditemukannya kelemahan dari dalam paradigma
lama. Dampaknya, banyak ilmuwan yang meragukan keampuhan paradigma
lama dalam memecahkan masalah. Sedangkan adanya krisis karena faktor
serangan dari luar paradigma lama. Yakni, ditemukannya tawaran yang lebih
segar oleh paradigma baru dalam memecahkan masalah baru. Bisa dikatakan,
anomali menjadi penggugah ilmuwan untuk menawarkan paradigma baru agar
anomali yang terjadi segera normal seperti sedia kala. Bila tawaran itu mampu
menggoyang"atau mengubrak-abrik paradigma lama maka inilah yang disebut
dengan keadaan krisis.
d. Krisis (crisis)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata krisis (Kr) salah satunya
punya arti keadaan genting; kemelut, dan keadaan suram (tentang ekonomi,
moral, dan sebagainya).24 Kata krisis bisa juga berarti pertama masa gawat,
kedua saat genting, dan ketiga kemelut, kegentingan, kegawatan.25 Secara
detail Nurkhalis menyatakan bahwa krisis merupakan gejala kebaruan yang
timbul secara tak terduga dan berulangkali disertai muatan teori-teori terbaru.
Lebih rinci, suatu krisis bisa terjadi bila hal-hal baru tersebut tidak dapat
diterangkan (dijinakkan) oleh paradigma lama, sehingga ketidakpercayaan
terhadap paradigma lama tersebut mulai bermunculan. Faktor lainnya adalah
terjadi ketidaksesuaian antara teori dengan fakta. Selain daripada itu, karena
sekumpulan gejala anomali (anomaly) secara fundamental serta terus-menerus
begitu nyata (memuncak) ada pada diri paradigma lama. Dengan demikian,
tidak ada pergeseran paradigma (revolusi) tanpa adanya krisis, karena dalam
hal ini peran anomoli saja tidak cukup.26 Dapat dikatakan adanya krisis adalah
24
sebagai salah satu faktor penentu sebuah paradigma lama harus diganti dengan
kandidat paradigma terbaru (sebagai calon pengganti) atau tidak.
Lebih gamblang, dalam komunitas ilmuwan, Khun menyatakan ada
beberapa individu yang lebih kritis dari pada yang lainnya. Mereka lebih peka
dan mensinyalir adanya anamoli dalam paradigma yang selama ini dipegang
oleh komunitas, sehingga harus ditindaklanjuti dengan usaha penemuan baru.
Di sisi lain, kebanyakan masyarakat ilmiah secara reflek akan menentang setiap
perubahan konseptual. Dengan demikian, dalam masyarakat ilmiah terdapat
dua unsur, yaitu individu ilmuwan yang kritis dan individu yang konservatif.27
Sebagaimana pernyataan Muslih bahwa fenomena krisis terjadi tatkala
menumpuknya anomali, sebagai akibat dari sikap kritis komunitas ilmiah,
menimbulkan krisis kepercayaan terhadap paradigma [lama]. Paradigma mulia
diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuwan mulai keluar dari jalur ilmu
normal.28 Bisa dikatakan, peristiwa genting antara paradigma satu dengan
paradigma lain seperti inilah yang disebut dengan pertarungan/perbandingan
paradigma atau pertentangan paradigma (PP).
Lebih lanjut, ketika menghadapi situasi krisis, para ilmuwan dihadapkan
beberapa pilihan yang dilematis. Yakni, akan setia pada paradigma lama
dengan berbagai argumentasinya atau menerima paradigma baru. Bisa juga
dengan menemukan, mengembangkan, dan merumuskan paradigma lain yang
dirasa lebih tepat dalam memecahkan masalah daripada kedua paradigma
sebelumnya. Namun, bila dalam perjalanan selanjutnya ternyata paradigma
baru (calon pengganti paradigma lama) tersebut gagal menjaga kewibaannya
dalam menaungi ilmu pengetahuan maka paradigma lama bisa kembali bangkit
lagi. Hal inilah yang disebut dengan penguatan/peneguhan paradigma atau
afirmasi paradigma (AP).
Dalam menanggapi fenomena di atas, Kuhn menyatakan bahwa ada
diskontinuitas ketika para ilmuwan menghadapi masa-masa krisis.29
Diskontinuitas ini terjadi karena munculnya beberapa gagasan (teori) baru yang
tak terkontrol, sehingga berpeluang besar menggantikan paradigma lama. Di
mana sejumlah gagasan baru ini muncul dari beberapa arah yang sebagian
darinya menentang paradigma lama. Di sinilah terjadi ketidaksinambungan
munculnya ilmu pengetahuan, disebabkan serangan paradigma baru dilakukan
secara tiba-tiba (tak terduga) dan berbeda dengan yang sebelumnya.
Ketidaksinambungan terjadi bisa juga karena komunitas ilmuwan mencari
berbagai cara untuk menyelesaikan masalah tersebut, sehingga kegagalan
paradigma lama bisa diselesaikan oleh calon paradigma baru. Sekali lagi, hal ini
bukan berarti paradigma lama tidak mendapatkan tempat. Bagaimanapun
paradigma lama tetap bernilai dan bermanfaat di zaman dan tempatnya ketika ia
masih jaya. Sedangkan, untuk zaman dan tempat terbaru (sekarang ini)
paradigma lama tersebut sebagian atau bahkan keseluruhan darinya sudah
tidak tepat untuk digunakan lagi. Meski banyak kasus, dapat terjadi paradigma
lama menginspirasi (menyemangati) lahirnya paradigma baru.
e. Revolusi Ilmu Pengetahuan (revolutionary science/scientific revolution)
Revolusi ilmu pengetahuan (Rev) adalah terjadinya lompatan-lompatan dan
perubahan-perubahan secara drastis. Menurut Kuhn proses revolusi ilmu
pengetahuan hampir sama dengan proses terbentuknya sejarah ilmu
pengetahuan dan tentu sejarah masyarakat yang bersifat diskontinu.30 Dalam
27
Anonim,
The
Structure
of
Scientific
Revolutions,
dalam
http://en.wikipedia.org/wiki/The_Structure_of_Scientific_Revolutions, diakses tanggal 23 September 2014.
28
Mohammad Muslih, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat Ilmu, Hunafa: Jurnal Studia Islamika,
Vol.
8,
No.
1,
Juni
2011:
hlm.
53-80,
ISID
Gontor
Ponorogo,
dalam
http://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/84/75, diakses tanggal 21 Desember 2014.
29
Basuki, Jejak Paradigma Kuhn, diakses tanggal 23 September 2014.
30
Zubaedi, Filsafat Barat: Dari, hlm. 181.
31
Ibid., hlm.183-184.
Anonim, Thomas Kuhn, diakses 23 September 2014.
33
Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains:, hlm. 120.
34
Sebagaimana pernyataan Choudhury bahwa with the change in paradigm and a newer way of looking
at the world, come about reorganizations and transformations. In such changes, new rules, institutional
structures, human convictions and instruments to enforce the new ways of thinking arise. Ia juga
mengutip pendapat Thomas Kuhn yang menyatakan It is rather as if the professional community had
been suddenly transported to another planet where familiar objects are seen in a different light and are
joined by non-familiar ones as well. Lihat, Masudul Alam Choudhury, The Universal Paradigm and the
Islamic Word-System: Economy, Society, Ethics, and Science (Singapore: World Scientifc, 2007), hlm. 13.
35
Martyn Shuttleworth, What Is a Paradigm?, dalam https://explorable.com/what-is-a-paradigm, diakses
tanggal 23 September 2014.
32
36
keperpihakan dengan ilmu alam40 saja maka dalam buku ini sengaja
menggunakan kata ilmu pengetahuan sebagai pengganti dari kata sains.
40
Perkembangan ilmu pengetahuan bisa terjadi salah satunya ada ketidakpercayaan komunitas
masyarakat ilmuwan (komunitas ilmiah) terhadap teori-teori tertentu. Asumsinya, ilmu pengetahuan bisa
terbentuk karena senantiasa dibangun atau diisi atas kumpulan beberapa teori. Implikasinya, terdapatnya
proses pengembangan ilmu pengetahuan oleh ilmuwan disebabkan adanya proses pengembangan teoriteori yang sudah ada. Tentunya, sebuah teori itu dibangun berdasarkan dari hasil proses tindakan
(penelitian) ilmiah. Dengan demikian, pengembangan ilmu pengetahuan harus dilakukan secara
komprehensif. Tidak hanya didasarkan pada salah satu aspek ilmu-ilmu alam (sains) atau metode tertentu
saja. Namun juga melihat pengaruh ilmu-ilmu sosial yang kemungkinan mendominasi suatu teori
tersebut.
41
James A. Marcum, Thomas Kuhns Revolution: An Historical Philosophy of Science (New York:
Coontinum, 2005), hlm. 68, 75.
42
Basuki, Jejak Paradigma Kuhn, diakses tanggal 23 September 2014.
43
Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains:, hlm.119
44
Anonim, Pemikiran Karl Poper dan Thomas Kuhn tentang Science. Apa Persamaan dan
Perbedaannya?,
dalam
http://www.wisnudewobroto.com/pemikiran-karl-popper-dan-thomas-kuhntentang-%E2%80%9Dscience%E2%80%9D-apa-persamaan-dan-perbedaannya/, diakses tanggal 23
September 2014.
Keterangan:
P1
: Paradigma Pertama (ke-1)
IN
: Ilmu Pengetahuan Normal
IS
: Ilmu pengetahuan yang tak pernah matang/mapan (immature science)
An
: Keganjilan (anomali) yang ditemukan pada IN
Kr
: Krisis, kegagalan P dalam menjelaskan secara tepat tentang Anomali
Rev : Revolusi, meninggalkan paradigma lama menuju paradigma baru
PP
: Pertentangan antar Paradigma (paradigma lama Vs paradigma baru)
P2
: Paradigma ke-2 (paradigma baru yang berhasil menggantikan P1)
PG
: Paradigma baru yang gagal menggantikan paradigma lama
AP2 : Afirmasi (bangkitnya) paradigma lama (P2), paradigma baru gagal (PG) dalam
merevolusi
P3
: Paradigma ke-3 (paradigma terbaru yang berhasil menggantikan P2)
PPS : Pergeseran paradigma sebagian (tidak seluruhnya tergantikan oleh paradigma
baru)
Gambar 2.1 Bukit Paradigma: Skema Diskontinuitas Perkembangan Ilmu
Pengetahuan
Dari gambar di atas dapat disimpulkan, bahwa antar paradigma secara luas
tidak saling berhubungan, akan tetapi berdiri sendiri. Kendati harus diaku sebagian
dari kaki bukit paradigma terjadi keterkaitan antara paradigma lama dengan
paradigma penggantinya. Di sinilah letak revolusionernya, karena paradigma
bertugas membimbing jalannya perkembangan ilmu pengetahuan secara terusmenerus. Dari hal tersebut, dapat dikatakan revolusi perkembangan ilmu
pengetahuan adalah perubahan mendasar tentang kumpulan-kumpulan paradigma
yang tersusun berdasarkan konteks masyarakat ilmiah (karena paradigma
terbentuk dari konteks masyarakat).45 Artinya, dalam revolusi perkembangan ilmu
pengetahuan terdapat unsur-unsur perubahan secara mendasar bahkan saling
bertolak belakang. Perubahan itu terjadi secara undetermination (tidak tentu
arahnya) dan berjalan dengan mandiri. Hal itu disebabkan karena adanya
kegagalan paradigma (isi dan metodenya) yang lama dalam mempertahankan diri
dari paradigma baru. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan bisa dikatakan mengalami
perkembangan bila terjadi pergantian paradigma. Meski perlu ditekankan kembali
bahwa paradigma lama seringkali memberi inspirasi dan modalitas (nampak di kaki
bukit paradigma terutama pada kolong bagian Rev) bagi berkembangnya
paradigma baru.
45
Menurut Wittegenstein sebagaimana dikutip Maksum, arti kebenaran bukan kesesuaian teori dengan
data empiris. Namun, kebenaran ditentukan oleh konteks, dalam bingkai linguistik (language-game) dan
bingkai sosio-kultur (form of life). Penggunaan bingkai komunitarian ini kemudian dipakai oleh Thomas
Kuhn. Bahkan, menurutnya data empiris menjadi data empiris bila ada bingkai itu (theory-ladenness).
Lihat, Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2008), hlm. 259.
Selama ini ilmu pengetahuan berkembang dinaungi oleh paradigma yang dianut oleh positivisme. Yakni,
bahwa kebenaran itu harus bersifat mutlak-tunggal (pasti). Di mana, suatu kebenaran (ilmu) bisa diakui
keabsahannya bila ilmu tersebut lolos dari ujian verifikasi, standar keilmuan, dan uji kebenaran lainnya.
Ciri lainnya adalah suatu ilmu itu harus diperoleh memulai syarat-syarat tertentu, menggunakan prosedur
ilmiah, bersifat netral, dan bebas nilai. Implikasinya, ada penolakan atau penerimaan terhadap teori
tertentu, sehingga yang ditolak tersebut harus ditinggalkan dan dibuang sepenuhnya. Dengan kata lain,
sesuatu yang tidak bisa diraba melalui prosedur ilmiah dinyatakan sebagai sesuatu yang salah dan tidak
bermakna sama sekali. Hal inilah yang ujungnya menyebabkan terjadinya penyeragaman berfikir, bahkan
penyeragaman dalam tataran praktik. Bila paradigma tersebut dituangkan dalam dunia PAI maka bisa
berakibat pada ketidakabsahannya PAI diakui sebagai sebuah ilmu. Dengan kata lain, menurut positivistik
kajian PAI tidak lebih dari gagasan omong kosong yang tidak dapat dibutkikan kebenarannya secara
empiris.
47
Andri,
Paradigma
Ilmu
Thomas
Kuhn
dan
Karl
Popper,
dalam
https://mhs.blog.ui.ac.id/andri.septian/2010/10/08/paradigma-ilmu-thomas-kuhn-dan-karl-popper/,
08
Oktober 2010, diakses tanggal 23 September 2014.
48
Kebenaran ilmiah itu bersifat relatif dan ilmu pengetahuan perlu terus menerus diadakan penelitian
(research) untuk menemukan kebenaran baru, merevisi dan menyempurnakan temuan yang sudah ada.
Lihat, Tobroni, Paradigma Pemikiran Islam, diakses tanggal 19 Februari 2015. Selain itu menurut Ben
Dupr menjelaskan bahwa Kuhn sendiri berusaha menjauhkan dirinya dari pemahaman relavistik atas
karyanya, perhatian tentang bagaimana ilmu pengetahuan berkembang melahirkan keraguan pada
gagasan bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk menemukan secara objektif fakta-fakta yang benar
tentang bagaimana segala sesuatu berada di dunia... Pandangan umumnya adalah kebenaran dari
sebuah teori ilmu pengetahuan merupakan masalah mengenai seberapa baik teori itu berdiri
berdampingan dengan observasi-observasi netral dan objektif tentang dunia. Tetapi bagaimana jika tidak
ada fakta-fakta netral dan garis yang tegas antara teori dan data? Bagaimana jika, sebagaimana
dinyatakan oleh karya Kuhn, setiap observasi itu merupakan theory-laden (mengandung banyak teori)?
Lihat, Ben Dupr, 50 Gagasan Besar yang Perlu Anda Ketahui, dalam 50 Big Ideas You Really Need to
Know, terj. Benyamin Hadinata (tanpa kota: Esensi, 2010), hlm. 54.
49
Anonim, Scientific Revolution, dalam http://www.slideshare.net/anjanaaaaaaa/thomas-kuhn-andparadigm-shift?qid=5bd4b765-3538-461d-8888-ea9308659f26&v=qf1&b=&from_search=3,
diaskes
tanggal 23 September 2014.
Thomas S. Kuhn, The Structure of, terj. Tjun Surjaman, hlm. 52.
Perbedaan Invetioan dengan Discovery adalah pada hak paten atau hak ciptanya. Di mana untuk
discovery tidak bisa diurus hak patennya karena secara asali produk yang ditemukan tersebut sudah
tersedia di alam. Sedangkan invention bisa diurus hak patennya karena produk itu adalah murni dari
hasil intelektual penciptanya. Secara detail, kata Invention diserap oleh bahasa Indonesianya menjadi
invensi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata invensi memiliki arti penciptaan atau perancangan
sesuatu yang sebelumnya tidak ada; reka cipta. Lihat, Kamus Besar Bahasa, didownload tanggal 21
April 2014.
51
terbantah dan sudah mapan. Kini, dengan nomenklatur paradigma milik Kuhn
ilmuwan bisa menghargai subjektifitas. Yakni, dimungkinkan bagi ilmuwan untuk
mengungkapkan bias dan memodifikasi model.52 Oleh karena itu, menurut
kacamata Kuhnian53 bahwa klaim kebenaran pada satu teori yang diyakini abadi
dan tak tergoyahkan tidaklah tepat. Bagaimanapun suatu saat pasti akan ada
revolusi (penjungkirbalikan) ilmu pengetahuan.
Dapat dikatakan, ilmu pengetahuan kapanpun berpeluang untuk direvolusi.
Yakni, ketika paradigma atau teori yang lama bisa menggantikan paradigma yang
sama sekali baru (paradigma matang/dewasa yang lainnya). Oleh karena itu,
dapat dikatakan akan selalu ada pertandingan paradigma. Kapan pun itu setiap
paradigma pasti rentan terkena keganjilan atau penyimpangan (anomali) dari apa
yang dinamakan kenormalan (ilmu normal). Di mana paradigma yang paling cocok
dan terbaru akan menggantikan paradigma yang lama. Sebaliknya, ketika
paradigma baru tidak cukup matang dan tidak lebih baik dari paradigma lama
maka paradigma lama akan tetap digunakan oleh komunitas ilmuwan. Kalau itu
terjadi berakibat perkembangan ilmu pengetahuan tidak berjalan untuk sementara
waktu hingga ditemukan paradigma baru.
3. Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn
Dalam kajian sejarah ilmu pengetahuan, runtutan perkembangannya tidak
berdiri sendiri atau terpisahkan satu satu sama lain. Asumsinya, kekuatan ilmu
pengetahuan terletak pada sifat dan mekanisme revolusinya. Di mana,
perkembangan ilmu pengetahuan diperoleh bila teori yang ada bisa ditinggalkan
dan sepenuhnya diganti oleh teori yang lebih sesuai. Menurut Kuhn unsur
terpenting dalam sebuah perkembangan ilmu adalah adanya masyarakat illmiah
atau komunitas ilmiah. Baik itu dalam lingkungan formal seperti kampus dan
lembaga penelitian, maupun lingkungan nonformal seperti kehidupan masyarakat
secara luas. Masyarakat ilmiah menjadi faktor terbentuknya struktur ilmiah baru
dan dapat berkembang dalam kurun waktu tertentu. Semua itu tergantung pada
kaidah ilmiah yang berlaku di masyarakat tersebut.54
Berdasarkan pandangan Kuhn, perkembangan ilmu pengetahuan terjadi
secara revolusioner. Yakni, ketika ada peralihahan dari satu paradigma ilmu
pengetahuan ke paradigma ilmu pengetahuan lainnya yang lebih mumpuni. Di
mana, di dalamnya juga diselingi oleh paradigma ilmu normal sebagai ilmu yang
sementara mapan sebagai penjaga peradaban di zaman atau periodenya. Untuk
lebih jelas dan detailnya pembahasan, maka penulis paparkan tahap-tahap
perkembangan menurut Kuhn sebagai berikut:55
1. Fase pra-paradigma, pada tahap ini perkembangan ilmu pengetahuan berada
pada episode cukup lama. Di mana penelitian keilmuan dilakukan tanpa arah
dan tujuan tertentu. Pada episode ini, muncul berbagai aliran pemikiran yang
saling bertentangan konsepsinya tentang masalah-masalah dasar disiplin ilmu
dan metode apa yang cocok digunakan untuk mengevaluasi teori-teori.
2. Fase ilmu normal, pada masa ini mulai muncul salah satu aliran pemikiran
(teori) yang kemudian mendominasi disiplin ilmu lainnya. Di mana teori ini
menjanjikan pemecahan masalah yang lebih handal dan bisa terciptanya masa
depan ilmu yang lebih maju.
3. Fase anomali dan krisis, pada periode ini baik secara praktik ilmiah maupun
teoritis ilmu pengetahuan normal yang ada tidak mampu lagi untuk diandalkan
dalam memecahkan masalah yang baru. Kemudian, tatkala masalah yang
begitu sulit dan tidak dapat dipecahkan membuat para ilmuwan menemui jalan
52
Anonim,
Thomas
S.
Kuhn,
dalam
http://www.goodreads.com/review/show/191787098?book_show_action=true&page=1, diakses tanggal 23
September 2014.
53
Khunian adalah sebutan bagi siapa saja yang menjadi pendukung bahkan pengikut filsafat yang
dicanangkan Thomas Samuel Kuhn.
54
Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains:, hlm. 199.
55
Jena, Thomas Kuhn Tentang, Jurnal Melintas, didownload tanggal 23 September 2014.
buntu. Dari situ muncullah krisis dalam masyarakat ilmiah tersebut. Mereka
mulai meragukan paradigma yang telah ada selama ini. Pada titik jenuh,
muncullah ilmuwan yang saling bersaing satu sama lain untuk memecahkan
masalah krisis yang mereka hadapi. Dari situ, ilmuwan yang mampu
menemukan ilmu atau teori-teori yang digunakan dan diakui oleh komunitas
ilmiahlah yang akan menjadi paradigma baru dalam ilmu pengetahuan.
4. Fase munculnya paradigma baru, di sini ilmuwan sudah mampu memecahkan
masalah krisis yang dihapadapi pada fase sebelumnya. Awalnya sebagian
komunitas ilmiah tidak menerima (meragukan) paradigma baru ini. Akhirnya,
karena bermanfaatnya paradigma baru itu maka perlahan-lahan paradigma baru
tersebut diterima.
Agar lebih mudah dalam memahami tahap-tahap perkembangan ilmu
pengetahuan menurut Khun, maka perlu diuraikan dalam gambar berikut ini:56
P1
IN
Pr
An
Pr
Kr
Pr
Rev
Pr
P2
Pr
Pr
Keterangan:
P1
: Paradigma awal yang diterima
IN
: `Ilmu-ilmu normal
An
: Penyimpangan (anomali)
Kr
: Krisis (kegagalan P1 dalam menjelaskan secara tetap mengenai
penyimpangan atau An)
Rev
: `Menyangsikan P1 sehingga menemukan gagasan baru
P2
:
Paradigma baru, diharapkan mampu menyelesaikan persoalanpersoalan yang tidak dapat dipecahkan oleh P1
Pr
: Periode (masa/waktu)
Gambar 2.2 Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Thomas S. Kuhn
(diadaptasi dari pemaparan Muhaimin)
Dari gambar57 tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk mengganti paradigma
lama ke paradigma baru diperlukan beberapa tahapan-tahapan yang harus dilalui.
Meskipun seperti dalam pembahasan sebelumnya dalam setiap tahapan
(periode)58 pada kasus paradigma tertentu masing-masing berbeda masa atau
waktu prosesnya. Inilah yang berarti bahwa ilmu pengetahuan terikat oleh waktu
atau tahapan (periode). Artinya, proses pergeseran dari satu periode ke periode
lain akan menentukan proses perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini sama
seperti revolusi-revolusi di bidang lainnya seperti kasus revolusi pada bidang sosial
atau poitik, yang juga membutuhkan waktu. Bahkan, untuk satu jenis revolusi yang
sama membutuhkan sejumlah waktu yang berbeda bila diterapkan di tempat lain.
Semuanya tergantung pada paradigma yang digunakan oleh mayoritas
masyarakat.
56
Muhaimin, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Maliki Malang, Pemaparan pada Orientasi Program Studi
Mahasiswa Baru Semester Ganjil tahun akademik 2014-2015, tanggal 11 September 2014.
57
Gambar tersebut hampir sama dengan gambar yang dibuat oleh Tobroni. Lihat, Tobroni, Paradigma
Pemikiran Islam, diakses tanggal 19 Februari 2015.
58
Kuhns distinctions between normal science, crisis, and revolution are often misconstrued as a rigid
periodization of the development of scientific disciplines. Normal science and crisis are instead ways of
doing science. One or the other may typically predominate within a field at any given time, but they can
also coexist. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa Kuhn membedakan antara ilmu
pengetahuan normal, krisis, dengan revolusi yang sering disalahpahami sebagai pereodiasi rigid (kaku)
pada pengembangan disiplin ilmu. Di mana, salah satu dari mereka bisa mendominasi lainnya yaitu dari
segi waktunya, meski tak jarang satu sama lain juga bisa saling hidup berdampingan dalam satu waktu.
Lihat, Josephrouse, Kuhns Philosophy of Scientific Practice, dalam Thomas Kuhn, ed. Thomas Nickles
(New York: Cambridge University, 2003), hlm. 113.
Berdasarkan pemaparan Sirozi dalam acara AICIS ke-13 di Mataram bahwa agenda konferensi tersebut
menekankan gagasan pergeseran paradigma untuk studi Islam di Indonesia. Untuk mencapainya
diperlukan penggalangan kesadaran kolektif serta pembangunan perspektif umum tentang pentingnya
sebuah gagasan baru. Koferensi itu juga menunjukkan bahwa paradigma baru studi Islam di Indonesia
dibutuhkan untuk mengidentifikasi, merefleksikan, dan merepresantasikan pengalaman sejarah,
sosiologis, antropologis, dan budaya sebagai karakteristik utama Islam di Indonesia. Hal itu juga
menggambarkan bahwa Islam di Indonesia adalah berkarakter pluralistik dan moderat. Oleh karena itu,
paradigma baru dibutuhkan untuk kontekstual dan yang relevan dengan karakteristik ini. Dengan
paradigma yang khas tersebut dapat dikembangkan melalui analisis komprehensif dan pemahaman
tentang karakteristik unik dari Islam Indonesia. Lebih lanjut, studi Islam tidak dapat dikembangkan hanya
dengan mengadopsi atau meniru paradigma timur tengah atau paradigma Barat. Dalam hal ini, diperlukan
studi Islam di Indonesia untuk menggabungkan studi normatif dan empiris dengan pendekatan
multidisipliner. Salah satunya menggunakan metode ilmiah yang diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu
sosial modern, ilmu alam, dan kemanusian harus ditelaah secara hati-hati dan dikritisi. Kemudian
dikombinasikan dengan nilai-nilai Islam, sehingga melahirkan model pengetahuan integratif. Yakni,
kombinasi ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum atau antara ayat Kauliyah dengan ayat Kauniyah.
Lihat, Sirozi, In Search of a Distinctive, diakses tanggal 23 Februari 2015.
60
Idealnya paradigma teologi tidak hanya pada tataran keilmuan atau materi yang dikaji, akan tetapi
menyentuh pada tataran praktis. Harapannya, suatu paradigma yang dipegang tidak hanya di dalam
wilayah abstrak saja. Bisa juga suatu paradigma yang ada (diakui bersama), oleh oknum pelaku
pengembangan pendidikan dimanipulasi (manipulasi psikologis). Yakni, sesuatu yang awalnya oleh
paradigma yang ia pegang sesuatu itu adalah haram-buruk menjadi mubah-netral. Untuk memuluskan
cara itu perlu pencarian pembenaran-pembanaran, baik secara psikologis, keilmuan, atau ideologi.
Misalnya, seorang kepala sekolah untuk memuluskan agar lembaganya mendapat akreditasi A rela
menyuap assessor. Dalihnya adalah supaya bisa membuat pendidik dan peserta didik percaya diri ketika
tampil di masyarakat. Contoh lainnya, seorang pendidik yang awalnya bertekad untuk mengabdikan diri
secara tulus, pada akhirnya terbawa arus berlomba-lomba dengan menghalalkan segala cara agar
mendapatkan tunjangan sertifikasi guru. Bahkan, setelah beberapa tahun karena ada peningkatan
kesejahteraan hidup menyebabkan mereka bertindak negatif. Salah satunya, digunakan untuk selingkuh.
Padahal, seharusnya uang rakyat itu difungsikan untuk menunjang keprofesionalan pendidik.. Oleh
karena itu, diperlukan pengelolaan dan pengembangan SDM (terutama pendidik) agar mereka bisa
memanajemen uang.
61
Jika ingin disebut ilmiah, maka metafisika, seni, tradisi dan termasuk agama harus mengikuti patokpatok ilmiah secara rigid sebagaimana sains. Di sini [menurut pandangan posivistik] derajat sains
memang menjadi lebih tinggi dari segalanya. Maka pendidikan Islam sebagai pendidikan yang berbasis
Islam, akan sangat sulit memasuki diskursusnya [wacana], atau paling tidak perjuangan penuh liku harus
terlebih dulu dilaluinya. Lihat, Muslih, Pendidikan Islam dalam, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, diakses
tanggal 21 Desember 2014.
62
He claims that normal science can succeed in making progress only if there is a strong commitment by
the relevant scientific community to their shared theoretical beliefs, values, instruments and techniques,
and even metaphysics. Dari penjelasan itu dapat dipahami bahwa Kuhn mengklaim ilmu pengetahuan
normal dapat sukses dalam membuat kemajuan bila ada komitmen yang kuat dari komunitas Ilmiah.
Tentunya, mereka harus pula mempertajam keyakinan-keyakinan teoritis, nilai-nilai, alat dan teknik, dan
bahkan metafisika. Lihat, Anonim, Thomas Kuhn, diakses 23 September 2014.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik benang merahnya, gagasan Kuhn tidak
semuanya mutlak bisa digunakan dalam pengembangan PAI. Bagaimanapun,
nilai-nilai pokok Islam dalam PAI seperti akidah (ketauhidan), tidak bisa direvolusi.
Kajian monoteisme dalam Islam mesti dibebaskan dari berbagai macam bentuk
ancaman krisis, bahkan anomali (keganjilan) sekalipun. Dengan demikian, akidah
Islam harus dijaga secara terus menerus oleh komunitas Muslim agar terhindar
dari kritik dan penyimpangan. Asumsinya, agama Islam (rukun Islam dan rukun
iman) adalah doktrin atau dogma yang harus ditanamkan secara kuat dan kokoh
pada generasi umat Islam melalui pendidikan. Di satu sisi lain, pendidikan Islam
bukanlah dogma sehingga ia pantas dimasukkan pada jajaran ilmu yang
berpeluang untuk direvolusi. Pada akhirnya, fungsi agama dalam pengembangan
PAI adalah sebagai pemandu periset (komunitas ilmiah) dan pelaku
pengembangan. Oleh sebab itu, kepercayaan tentang Islam sebagai agama yang
kebenarannya bersifat mutlak, tak tergantikan, dan tidak terikat oleh tempat
maupun waktu harus mendarah daging serta didakwahkan secara turun-temurun.
Hal penting lain yang perlu ditegaskan adalah bahwa Islam bukanlah sebuah
paradigma. Melainkan, pemahaman dan pengalaman umat Islam tentang agama
Islamlah yang disebut sebagai paradigma. Fungsi Islam adalah sebagai pedoman
mutlak umat Islam dalam membangun paradigma. Sedangkan paradigma
bermanfaat memandu umat Islam dalam memahami teks, mengamalkan, dan
mengembangkan peradaban serta kehidupannya. Tentu, salah satu diantaranya
pengembangan pendidikan Islam. Dari itu, maka pemikiran Kuhn dalam
pengembangan PAI dapat disejajarkan (paralel) dengan konsep agama Islam
(secara historis dan nilai) yang mengusung semangat pembaharuan 70 termasuk
di dalamnya discovery dan invention di segala tempat dan waktu. Oleh
karena itu, pengembangan PAI bukanlah perbuatan dosa bahkan bisa bernilai
ibadah bila diniatkan sepenuhnya untuk mencari rida Allah dan mengesakan-Nya.
Asumsinya, seseorang yang melakukan pengembangan PAI dengan tetap
berteguh mengesakan Allah SWT, pasti menjadikan pengembangan itu sebagai
upaya untuk mendekatkan diri pada-Nya.
2. Nilai-nilai Dasar Pengembangan Pendidikan Agama Islam
Dalam pelaksanaan proses pembelajaran perlu adanya desain ulang. Di mana
tatkala dikaitkan dengan konsep Kuhn, salah satu contohnya pendidik dapat
merangsang peserta didiknya dengan menunjukkan data-data anomali. Dari data
tersebut diharapkan pendidik mampu mengubah paradigma (nilai kehidupan,
mental, dan kognisi) peserta didik ke arah yang lebih baik. Asumsinya, selama
peserta didik tidak mau merubah paradigmanya (merevolusi) ke arah yang lebih
70
Roda intelektual Islam selalu mengalami perkembangan ke arah pemikiran yang dinamis.
Bagaimanapun, Islam sesungguhnya inheren (berhubungan erat) dengan kemajuan. Banyak ayat al
Quran maupun Hadith yang mendorong ummat Islam untuk melakukan pengembangan. Dengan kata
lain, Islam dengan sangat tegas dan lugas tidak menyukai kemapanan (status quo). Lihat, Mujtahid,
Islam
dan
Nalar
Ilmiah,
dalam
http://old.uinmalang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1943:islam-dan-nalar-ilmiah2&catid=35:artikel&Itemid=210, 12 Februari 2011, diakses tanggal 18 Februari 2015.
unggul, maka tingkat pengetahuannya akan tetap seperti semula, tidak terjadi
perkembangan.71 Pendidik juga harus menyadarkan mereka bahwa kebenaran
ilmu itu bersifat tentatif. Oleh karena itu, semangat untuk mencari anomali
senantiasa terus dilakukan, kemudian disusul dengan spirit penciptaan. Di mana,
mencipta atau merubah tidak hanya di bidang sosial, akan tetapi di bidang
teknologi hingga ilmu alam seperti fisika, kimia, dan biologi. Nilai-nilai dasar
sebagai intagible assets seperti itu selayaknya tidak hanya ditanamkan dan dimiliki
oleh peserta didik. Namun, pendidik beserta seluruh manusia yang terlibat
langsung dalam pengembangan PAI perlu mempunyai jiwa tersebut.
Menurut Amin Abdullah, sebagaimana yang ia pahami dari pemikiran Kuhn
bahwa seorang pelaku lapangan menurut penulis termasuk salah satunya adalah
pendidik (ustad, guru, dosen, dll) kebanyakan masih terbiasa memecahkan
masalah melalui cara-cara yang umum (konvensional). Yakni, cara-cara yang
baku, mapan, dan senantiasa ingin tetap dipertahankan oleh para praktisi di
lapangan. Hal ini terjadi karena mereka terpenjara oleh aktivitas rutin, sehingga
mereka tidak menyadari munculnya anomali-anomali yang hadir dalam wilayah
ilmu pengetahuan normal. Hanya kalangan terbatas, yang umumnya para
pengamat, peneliti, dan kritikus yang mengetahui di mana adanya anomali-anomali
tersebut. Selain itu, ia menegaskan bahwa pergeseran paradigma dalam wilayah
kebudayaan dan peradaban atau menurut penulis pada lingkup kecil adalah
lembaga pendidikan harus melalui media dialog peradaban. Bukan lewat
benturan peradaban atau benturan kebudayaan yang selama ini sering-sering
didengungkan. Dengan proses dialog yang bersifat terbuka serta proses take and
give antar berbagai peradaban, maka proses pergeseran paradigma akan berjalan
wajar, alami, dan menguntungkan kedua belah pihak. Serta tidak mengakibatkan
gejolak sosial yang cenderung negatif.72
Dari pernyataan itu, semestinya nilai-nilai dasar ditanamkan kepada seluruh
pelaku pengembangan PAI. Salah satunya yaitu kepada peserta didik. Diharapkan
mereka mampu merubah paradigma lama yang sudah mengalami fase krisis (tidak
lagi handal dalam memecahkan masalah). Salah satunya paradigma yang
cenderung pasif-pesimis-permisif diubah menjadi aktif-optimis-progesif. Dengan
itu peserta didik akan mempunyai mental pembaharu yang tidak mudah ikut arus
yang menjurus negatif. Misalnya, melalui penekanan dan pemberian semangat
bahwa Jika ingin memperoleh sesuatu yang lebih baik harus berusaha dulu,
berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenangsenang kemudian. Bisa juga pemberian motivasi Pengembangan diri adalah
kewajiban! Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari besok harus lebih
baik dari hari ini. Teknik pengembangan seperti itu didasarkan dari pandangan
sebagian kalangan bahwa gagasan Kuhn merupakan pengetahuan yang bersifat
apriori. Artinya, suatu paradigma tidak harus dibangun dari sesuatu yang empiris,
tapi bisa dicukupkan pada asumsi-asumsi (praduga) dasar yang dipegang teguh
bersama.
Dengan penekanan dan penanaman nilai-nilai dasar secara terus menerus
serta menggunakan berbagai metode, diharapkan lambat laun orientasi kehidupan
peserta didik berubah. Yakni, yang awalnya hanya ingin menjadi figuran dalam
kehidupan ini berubah tekat menjadi salah satu bagian dari pemain utama
kehidupan. Dapat dikatakan, paradigma lama peserta didik diguncang tidak
menggunakan cara pendoktrinan secara frontal. Melainkan, dengan cara
menggunggah peserta didik supaya bisa menemukan sendiri solusi dari anomalianomali kehidupan yang diajukan. Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai dasar
dilakukan secara halus. Khawatirnya, bila diguncang dengan cara pendoktrinan
secara langsung bisa jadi peserta didik atau orang tuanya (masyarakat) akan
71
menentang doktrin tersebut. Kendati demikian, tidak serta merta peserta didik
diberi kebebasan untuk menemukan kebenaran secara liberal. Bagaimanapun
otoritas pendidik untuk mendoktrin akidah keislamannya harus tetap ada.
Tergantung pada jenjang pendidikannya dan latar belakang kehidupan peserta
didik itu sendiri.
3. Reinterpretasi Ayat Kauliyah dalam Pengembangan PAI
Agama Islam merupakan agama yang benar dan sempurna. Oleh sebab itu,
tak seorangpun bisa mengadakan pembaruan terhadap teks Islam atau ayat
Kauliyah.73 Akan tetapi yang perlu diperbarui adalah paradigma manusia
terhadap agama. Serta bukan dinamika al Quran yang harus digugat untuk
menghadapi perkembangan zaman. Melainkan, dinamika umat Islam dalam
memahami teks al Quran-lah yang harus dimulai dan terus-menerus dilakukan
sepanjang zaman.74 Pernyataan ini hampir sama maksudnya dengan pandangan
Kuhn, bahwa kunci utama perubahan revolusioner ini ada pada metodologi. Alam
tidak terlalu berubah namun metode pencarian penjelasan akan gejala alam
kadang-kadang revolutif.75 Dengan kata lain, bukan teks al Quran-nya yang
dirubah tapi metodologi dalam memahami teksnya yang harus dirubah
(direvolusi).
Berdasarkan pemaparan di atas, ketika dalam proses pengembangan PAI
ditemukan anomali (keganjilan) atas paradigma manusia tentang isi al Quran,
maka perlu diadakan reinterpretasi terhadap teksnya.76 Bagaimanapun, tafsir
merupakan ilmu, sebagaimana dengan ilmu lainnya. Walaupun tak dapat
dinafikkan bahwa konteks dan kualitas perumusnya di zaman dulu dengan
sekarang tentu jauh berbeda. Proses tersebut dilakukan agar pembelajaran PAI
bisa kontekstual dan memiliki nilai praktis bagi masyarakat. Serta tentunya agar
PAI tidak dicap bertentangan dengan ilmu pengetahuan lain. Misalnya, bagaimana
pendidik PAI bisa menjelaskan keberadaan fosil manusia purba yang nyatanyatanya memang benar keberadaannya tak terpungkiri. Sedangkan di dalam al
Quran secara qathi belum pernah ditemukan penjelasan tentang keberadaan
fosil tersebut. Oleh karena itu, wajar bila ada penafsiran pada ayat-ayat terentu
terkait keberadaan fosil.
Lebih ekstrim daripada pernyataan itu, Mujtahid menyampaikan kritik akal
Islam berupaya untuk membongkar mitos pemikiran (ijtihad) yang sudah tidak
relevan dengan dinamika masyarakat sekarang. Dengan demikian, tujuan utama
kritik akal Islam adalah membebaskan pemikiran dari segala macam citra dan
gambaran yang sempit, karena tidak mungkin bagi akal Islam, berpikir jernih
73
Ayat Kauliyah adalah ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah SWT dalam bentuk al Quran (wahyu) yang
bersifat
tetap
(mutlak).
Manusia
wajib
bertadabur
terhadapnya
dengan
hati.
Lihat,
http://menaraislam.com/content/view/209/1/, diakses 25 Februari 2014.
74
Ahmad Muflih Saefuddin, Pembaharuan Pemikiran Islam: Sebuah Pengantar, dalam Percakapan
Cendekiawan tentang Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 15.
75
Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains:, hlm. 121.
76
Misalnya, secara qathi Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al Baqarah:
275). Dengan kata lain, secara jelas (mutlak) dapat dimengerti dan tidak bisa disanggah lagi bahwa riba
itu merupakan perbuatan haram. Akan tetapi, pemahaman (interpretasi) sebagian umat Islam terhadap
istilah riba itu sendiri masih mengalami perbedaan pendapat. Terlebih, pada era modern ini mulai marak
adanya bunga pada bank dan sistem perkreditan pada jual beli motor, rumah, mobil, dan sebagainya.
Apakah bunga bank atau sistem perkreditan seperti itu dikatagorikan sebagai riba yang diharamkan
secara mutlak sehingga tidak boleh dilakukan? Atau itu suatu perbuatan yang disamakan dengan riba
tapi dengan alasan demi kebaikan dan asas keterpaksaan sehingga boleh dilakukan? Ironis, selama ini
umat Islam masih hanya berkutat pada perselisihan yang tidak jauh terkait dengan hal-hal semacam itu.
Asumsinya, alangkah lebih baik bila umat Islam memberikan solusi nyata atas permasalahan itu. Dengan
tidak hanya memperdebatkan interpretasinya (penafsiran) tentang suatu hal-hal baru yang muncul
belakangan. Lebih dari sekedar itu, seharusnya umat Islam mampu mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi (salah satunya melalui pendidikan) sehingga bisa memberikan bukti nyata berupa wujud
peradaban Islami. Misalnya mendirikan bank berbasis Islam, lembaga hutang-piutang (kredit) berbasis
Islam, atau menderikan perusahaan yang sekiranya segala apa yang ada di dalamnya tidak menimbulkan
kekhawatiran akan melanggar ketentuan dari Allah.
selama citra-citra semacam ini melekat dalam akal mereka. Ia melanjutkan bahwa
dengan mengkritik akal Islam (hasil pemikiran umat Islam) bisa membedakan
antara teks/wahyu dengan sejarah serta analisisnya. Dengan demikian,
seharusnya wahyu diposisikan kembali pada tempat semula yang bersifat
transenden. Alasannya, wahyu telah mengalami relasi dengan sejarah manusia
yang bermuatan ideologi, politik, dan kepentingan lainnya sehingga mengalami
reduksi nilai di dalamnya. Oleh karena itu, semua teologisme termasuk
epistemologi seperti fiqh, tafsir, dan sebagainya masih perlu dikritisi dalam konteks
hari ini. Bagaimanapun, semuanya merupakan ciptaan manusia, sehingga layak
untuk diletakkan di atas meja kritisisme. Pada akhirnya, revolusi ilmiah tidak akan
hilang dari panggung dunia pemikiran Islam sepanjang dinamika kehidupan ini
tetap berlangsung.77
4. Penggunaan Ayat Kauniah dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam
Ayat Kauniah78 adalah ayat-ayat di luar teks al Quran sebagai tanda
Kemahabesaran Allah SWT sekaligus pembenar kandungan al Quran yang
sebagiannya bersifat mungkin untuk dikembangkan. Bisa berbentuk benda
(zat/materi), peristiwa, dan mekanisme (sistem). Manusia wajib bertafakur
terhadap sebagiannya dengan akal.79 Dengan demikian, daftar muatan
pengembangan PAI sebenarnya tidak berhenti pada aspek normatif dan doktrin
ajaran agamanya saja. Namun, bagaimana menjadikan peserta didik mampu
memahami, menghayati, dan memanfaatkan alam ini menjadi lebih baik. Yakni,
dengan cara pengembangan ilmu pengetahuan yang muaranya bisa terciptanya
produk yang berguna bagi kehidupan manusia.
Apabila pernyataan itu dikaitkan dengan konsep paradigma Kuhn seperti
pembahasan sebelumnya maka perkembangan ilmu pengetahuan itu tidak
pernah bisa lepas dari nilai. Termasuk di dalamnya nilai-nilai agama, sosial, dan
kemanusiaan. Dengan kata lain ilmu pengetahuan tidak bisa berdiri sendiri. Nilai
tersebut memiliki peran yang sangat signifikan dalam menentukan arah
perkembangan ilmu pengetahuan. Bisa dikatakan, tanpa adanya unsur nilai
menyebabkan kehadiran ilmu pengetahuan akan hampa, tanpa makna. Adanya
hanya kepuasaan, kesenangan, kebenaran palsu, dan kehidupan mapan yang
semu. Bahkan ketika terus-menerus dibiarkan akan berujung pada bencana
kehidupan manusia. Oleh karena itu, memfungsikan ayat Kauniah sebagai sesuatu
yang sakral80, dijunjung tinggi, dan mengadakan penafsiran mendalam
(penggalian ilmu pengetahuan) terhadapnya merupakan tindakan terpuji.
Selanjutnya, semangat penggalian ilmu pengetahuan itu salah satunya dengan
cara peniruan (kajian) terhadap pengembangan ilmu pendidikan sekuler. Kendati,
sesungguhnya tidak semua ilmu pendidikan sekuler (utamanya dari Barat)81 dapat
menjawab permasalahan dan pertanyaan yang problematis. Utamanya persoalan
77
yang terkait dengan keyakinan dan pengalaman orang dalam beragama. Mengapa
manusia ini harus hidup? Dari mana alam semesta ini diciptakan? Mengapa
manusia di zaman modern, penuh intelektualitas, dan berperadaban tinggi tapi
masyarakatnya masih tetap gemar berperang? Mengapa mayoritas manusia di
dunia ini mau beragama (percaya hal gaib)? Apa manfaat terjadinya fenomena
menakjubkan (ajaib dan jarang terjadi) bagi kehidupan manusia? dll. Terkadang
justru pendidikan agama utamanya di negara-negara berkembang yang handal
dalam mengkaji dan menjelaskan masalah-masalah itu. Dengan kata lain, hanya
agamalah yang sanggup menenangkan keresahan mayoritas manusia ketika
menghadapi dialektika seperti itu.
Upaya kritik yang lebih ekstrem dari itu adalah berupa pertanyaan adakah
keterkaitan antara mekanisme takdir dengan teori peluang? Misal, secara
kenyataan atau kepastian (takdir) bung Karno salah satu mantan Presiden RI
menikahi ibu Fatmawati, lalu apa akibatnya (peluang yang terjadi) bila beliau tidak
memperistrinya? Apakah menyebabkan tidak akan pernah ada proklamasi
kemerdaan Indonesia? Apakah nasib negara Indonesia akan jauh berbeda seperti
sekarang ini? Ataukah ada pergeseran ruang dan waktu yaitu proklamasi tidak
dilakukan pada tanggal 17 Agustus? Apapun jawabannya, yang pasti bila itu terjadi
maka Megawati (mantan Presiden RI) tak akan lahir, begitu pula Puan Maharani
(cucu Bung Karno). Dengan kata lain, bila perubahan sedikit itu (tidak menikahnya
bung Karno dengan Fatmawati) memang terjadi, akan sangat mempengaruhi
keadaan Indonesia dan kemungkinan juga dunia. Artinya, dengan tindakan
(perlakukan) sekecil apapun terhadap sesuatu akan berdampak pada perubahan
bidang lainnya meski sedikit. Bahkan bukan kemustahilan hasilnya jauh berbeda
dari kenyataan sekarang ini. 82
Dapat disimpulkan, runtutan akibat (efek) karena adanya perubahan sekecil
apapun di masa lalu baik yang bersifat kemungkinan maupun yang pastitidak
bisa terelakkan. Dengan kata lain, perubahan sekecil apapun di suatu zaman dan
tempat dapat berefek pada perubahan yang besar untuk beberapa puluh, ratusan,
hingga ribuan tahun berikutnya. Begitu pula apa yang manusia lakukan sekarang
ini. Sekecil apapun yang diperbuatnya di kala ini bisa berakibat besar di kemudian
hari. Inilah penguat pendapat bahwa takdir sudah ditentukan secara detail, baik
dari segi waktu, tempat, dan dimensinya. Bergeser sedikit saja (waktu dan tempat)
maka tentu takdir akan mengalami perubahan yang besar. Sistem yang teramat
rumit itu memperlihatkan bahwa adanya keterlibatan Maha Cerdas untuk mengatur
takdir itu agar tidak bergeser sedikit pun. Asumsinya, bila ada kesalahan dalam
mengatur mekanisme takdir (bergeser sedikit saja) bisa berakibat fatal. Yakni,
runtutan akibat yang bisa merubah nasib dunia ini tidak seperti seharusnya.
Dari penjelasan di atas, umat Islam sepatutnya meyakini bahwa konsep
pengembangan pendidikan Islam suatu saat hasilnya pasti jauh lebih bermanfaat
dari ilmu pendidikan sekuler. Utamanya bisa membentuk manusia bermental utuh
dan seimbang. Yakni, yang tidak ingin sukses di akhirat saja, atau sebaliknya di
dunia saja. Dapat disimpulkan, untuk memenuhi tantangan itu PAI harus bisa
membentuk manusia yang ahli dalam ilmu umum tetapi tidak mengalami
kegersangan hidup karena ilmunya dipadukan dengan nilai-nilai agama. Bisa juga
membentuk ahli agama Islam yang berwawasan dan berbudaya IPTEK, sehingga
82
Penjelasan dan pertanyaan tersebut terinspirasi dari chaos theory dan gagasan tentang mekanisme
butterfly effect yang secara tidak sengaja ditemukan oleh Edward Lorenz. Menurut Dupr, dipaparkan
bahwa terdapatnya sensitivitas yang mengejutkan dari sistem [kehidupan] terhadap peristiwa-peristiwa
kecil di dalamnya... [selain itu] ketidakmampuan praktisnya dalam mengidentifikasi penyebab-penyebab
setiap peristiwa dalam sistem itu. Sungguh, dengan adanya kenyataan bahwa peristiwa-peristiwa yang
sangat kecil dapat menyebabkan efek-efek yang besar dan bahwa peristiwa-peristiwa kecil semacam itu
mungkin melampau kekuatan-kekuatan deteksi kita dalam prinsip, maka barangkali akan didapati
kemudian bahwa sistem itu, meskipun sepenuhnya deterministik seluruhnya tidak dapat diramalkan.
Lihat, Dupr, 50 Gagasan Besar, hlm. 227.
Nurcholis Madjid, Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum, dalam Dinamika Pemikiran
Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 58.
Daftar Rujukan
Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring), KBBI Offline Versi 1.5, dalam
http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21
April 2014.
Abdullah, M. Amin. Falsafah Kalam: Di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Cet. III, 2004.
Andri,
Paradigma
Ilmu
Thomas
Kuhn
dan
Karl
Popper,
dalam
https://mhs.blog.ui.ac.id/andri.septian/2010/10/08/paradigma-ilmu-thomas-kuhndan-karl-popper/, 08 Oktober 2010, diakses tanggal 23 September 2014.
dalam
diakses
dalam
1