You are on page 1of 30

MAKALAH

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Disusun oleh:
-

Irmanto
/ 14504241007
Bakti Andika A. F. / 14504241009
Rahmat Mubarok/ 14504241010
Deni Restu W.
/ 14504241011
Ryan Kuntoro
/ 14504241012

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
Pendidikan Kewarganegaraan bab Konstitusi Negara ini dengan baik meskipun
banyak kekurangan didalamnya.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Yogyakarta, 10 Oktober 2015

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................

DAFTAR ISI................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG......................................................................
B. PEMBATASAN MASALAH...........................................................
C. RUMUSAN MASALAH.................................................................

4
5
5

BAB II LANDASAN TEORI


A. PENGERTIAN.................................................................................

B. KONSTITUSI YANG DIGUNAKAN DI INDONESIA.................

Konstitusi Madinah.............................................................................
Republik Indonesia Pertama..............................................................

10

Republik Indonesia Kedua................................................................

11

Republik Indonesia Ketiga................................................................

12

Republik Indonesia Keempat............................................................

14

Republik Indonesia Kelima...............................................................

14

Republik Indonesia Keenam.............................................................

15

C. KAJIAN AMANDEMEN.................................................................

16

BAB III MASALAH DAN ANALISA MASALAH


Masalah dan Analisa Masalah.................................................................... 22
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN ...............................................................................

29

B. SARAN...........................................................................................

29

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................

30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dewasa ini banyak masyarakat Indonesia yang mengabaikan arti dari
pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi. Bahkan bukan
hanya mengabaikan, namun banyak juga yang tidak mengetahui makna dari dasar
negara dan konstitusi tersebut. Golongan masyarakat yang demikian sepertinya
kurang pemahaman pendidikan tentang dasar negara kita itu. Sesungguhnya bila
seluruh warga negara Republik Indonesia mampu memahami, menganalisis dan
menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat bangsanya secara
berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita dan tujuan nasional seperti yang
digariskan di dalam Pembukaaan UUD 1945, maka mereka sudah tentu dapat
menghayati filsafat dan ideologi Pancasila sehingga menjiwai tingkah lakunya
selaku warga negara R.I dalam melaksanakan segala kegiatannya sebagai
cerminan dari nilai-nilai pancasila dan UUD 1945. Terlebih di era globalisasi ini
masyarakat dituntut untuk mampu memilah-milah pengaruh positif dan negatif
dari globalisasi tersebut. Dengan pendidikan tentang dasar negara dan konstitusi
diharapkan

masyarakat

Indonesia

mampu

mempelajari,

memahami

dan

melaksanakan segala kegiatan kenegaraan berlandasakan dasar negara dan


konstitusi, namun tidak kehilangan jati dirinya, apalagi tercabut dari akar budaya
bangsa dan keimanannya.
Dasar Negara menjadi sumber bagi pembentukan konstitusi.Konstitusi
adalah salah satu norma hukum dibawah dasar Negara. Dalam arti yang luas :
konstitusi adalah hukum tata negara, yaitu keseluruhan aturan dan ketentuan
(hukum) yang menggambarkan sistem ketatanegaraan suatu negara. Dalam arti
tengah : konstitusi adalah hukum dasar, yaitu keseluruhan aturan dasar, baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis.
Dalam arti sempit : konstitusi adalah Undang-Undang Dasar, yaitu satu
atau beberapa dokumen yang memuat aturan-aturan yang bersifat pokok. Dengan
demikian, konstitusi bersumber dari dasar Negara.norma hukum dibawah dasar
Negara isinya tidak boleh bertentangan dengan norma dasar. Isi norma tersebut

bertujuan mencapai cita-cita yang terkandung dalam dasar Negara. Dasar Negara
merupakan cita hukum dari Negara. Terdapat hubungan-hubungan yang sangat
terkait antara keduanya yang perlu kita ketahui..
B. Pembatasan Masalah
Agar mendapatkan gambaran dan kerangka yang jelas mengenai ruang
lingkup pembahasan, maka perlu kiranya diberi batasan-batasan menyangkut
permasalahan yang akan diungkap dalam makalah ini yaitu dibatasi pada masalah
dasar negara dan konstitusi.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pengertian judul yang telah
diuraikan, dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas pada penulisan
kali ini. Adapun yang akan dibahas dan menjadi rumusan masalah pada makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Konstitusi?
2. Bagaimana kedudukan dan nilai-nilai yang terkandung dalam Konstitusi di
Indonesia (UUD 1945)?
3. Bagaimana hasil amandemen UUD 1945 dan kajian tentang amandemen
tersebut ?
.

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian dan Konsep Dasar Konstitusi

Istilah dalam bahasa Inggris constitution atau dalam bahasa Belanda


constitutie secara harafiah sering diterjemahkan dalam bahasa Indonesia UndangUndang Dasar. Permasalahannya penggunaan istilah undang-undang dasar adalah
bahwa kita langsung membayangkan sesuatu naskah tertulis. Padahal istilah
constitution bagi banyak sarjana ilmu politik merupakan sesuatu yang lebih luas,
yaitu keseluruhan peraturanperaturan baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagimana suatu pemerintahan
diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Pengertian konstitusi itu dalam praktik
ketatanegaraan pada umumnya dipahami secara (i) lebih luas daripada undangundang dasar atau (ii) sama dengan pengertian undang-undang dasar.
Kata konstitusi dapat mempunyai arti lebih luas daripada pengertian
undang-undang dasar karena pengertian undang-undang dasar hanya meliputi
naskah tertulis saja dan di samping itu masih terdapat konstitusi yang tidak
tertulis, yang tidak tercakup dalam undang-undang dasar 1. Para penyusun
Undang-Undang Dasar 1945 menganut arti konstitusi lebih luas daripada undangundang dasar karena dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dikatakan
bahwa
Undang-Undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari
hukumnya dasar negara itu. Undang-Undang Dasar adalah hukum yang tertulis,
sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar berlaku juga Hukum Dasar yang
tidak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam
praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis.
Namun, dalam masa Republik Indonesia Serikat, yaitu antara 27
Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950, penyusun Konstitusi RIS
menerjemahkan secara sempit istilah konstitusi sama dengan undang-undang
dasar. Hal ini terbukti dengan disebutnya istilah Konstitusi Republik Indonesia
1

H. Kaelan, M. S. : Pendidikan Pancasila, Pardigma, Yogyakarta, 2004, hlm. 180.

Serikat bagi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat 2. Menurut E.C.S


Wade dalam bukunya Constitutional Law 3, undang-undang dasar adalah naskah
yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan
suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut.

Ditinjau dari segi kekuasaan undang-undang dasar dapat dipandang


sebagai lembaga atau kumpulan asas-asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan
itu dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan. Mengacu konsep trias politika,
kekuasaan dibagi antara badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Undang-undang
dasar menentukan bagaimana pusat-pusat kekuasaan itu bekerja sama dan
menyesuaikan diri satu sama lain. Undang-undang dasar merekam hubunganhubungan kekuasaan dalam suatu negara.
Dalam negara yang menganut asas demokrasi konstitusional undangundang dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan
pemerintahan sedemikian rupa sehingga penyelenggara kekuasaan tidak bersifat
sewenang-wenang. Dengan demikian, hak-hak warga negara diharapkan
terlindungi. Pembatasan-pembatasan ini tercermin dalam undang-undang dasar.
Jadi, dalam anggapan ini undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khusus
dan merupakan perwujudan atau manifestasi dari hukum yang tertinggi yang
harus ditaati, tidak hanya oleh rakyat, tetapi oleh pemerintah serta penguasa
sekalipun.
Setiap undang-undang dasar memuat ketentuan-ketentuan mengenai soalsoal sebagai berikut: (i) organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara
badan legislatif, eksekutif dan yudikatif; dalam negara federal pembagian
kekuasaan antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian; prosedur
penyelesaian masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah
dan sebagainya, (ii) hak-hak asasi manusia, (iii) prosedur mengubah undangundang dasar, (iv) ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu
dari undang-undang dasar untuk menghindari terulangnya kembali hal-hal yang
baru saja diatasi, dan (v) memuat cita-cita rakyat dan asas asas ideologi negara

Totopandoyo, 1981, hlm. 25-26.

Miriam Budiardjo.2003.Dasar-dasar Ilmu Politik.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

(Miriam Budiardjo.2003.Dasar-dasar Ilmu Politik.Jakarta: PT Gramedia Pustaka


Utama).
Undang-Undang Dasar 1945 mengandung semangat dan merupakan
perwujudan dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945; merupakan rangkaian kesatuan pasal-pasal yang

bulat dan terpadu. Di dalamnya, menurut Noor MS Bakry 4, berisi materi yang
pada dasarnya dapat dibedakan menjadi empat hal, yaitu (i) pengaturan tentang
fungsi sistem pemerintahan negara, (ii) ketentuan fungsi dan kedudukan lembaga
negara, (iii) hubungan antara negara dengan warga negaranya, dan (iv) ketentuan
hal-hal lain sebagai pelengkap.
B. Konstitusionalisme dan piagam madinah
1. Sejarah Lahirnya Kontitusi Madinah
Piagam Madinah merupakan konstitusi tertulis pertama dalam sejarah
umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam
arti modern. Sejarah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW dan umat
Islam selama kurang lebih 13 tahun di Mekah terhitung sejak pengangkatan
Muhammad SAW sebagai Rosul, sebelum mempunyai kekuatan dan
kekuasaan politik yang menguasai suatu wilayah. Umat Islam menjadi
komunitas yang bebas dan merdeka setelah pada tahun 622 M hijrah ke
Madinah, kota yang sebelumnya disebut Yarsib. Tak lama sesudah hijrah ke
Madinah, Muhammad SAW membuat suatu piagam politik untuk mengatur
kehidupan bersama di Madinah yang dihuni beberapa macam golongan yakni
golongan muslim pendantang, golongan muslim Madinah dan golongan
Yahudi. Piagam ini dibuat atas persejuan bersama antara Nabi Muhammad
SAW dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah yang secara formal ditulis
dalam suatu naskah yang disebut Shahifah.
Para ahli menyebut Piagam ini dengan istilah yang bermacam-macam.
Montgomery Watt menyebutnya The Constitusion Of Medina; Zainal Abidin
Ahmad memakai perkataan Piagam sebagai terjemahan dari kata al-shahifah.
Sebagai dukumen resmi yang berisi pokok-pokok pedoman kenegaraan
4 Noor MS. Bakry,
1994, itu
hlm.tepat
120. juga disebut sebagai Konstitusi Madinah) 5.
menyebabkan
Piagam

2. Materi Muatan Konstitusi Madinah


Secara keseluruhan, Konstitusi Madinah berisi 47 Pasal yang menggambarkan
prinsip-prinsip Negara Modern dengan Nabi sebagai Kepala Negara yang
warganya terdiri dari berbagai macam golongan, keturunan, budaya maupun
agama yang dianutnya. Menurut Hasan Ibrahim Hasan

merumuskan empat

prinsip muatan materi Konstitusi Madinah, yakni: seluruh kaum Muslimin dari
berbagi golongan adalah satu umat yang bersatu; saling tolong menolong dan
saling melindungi di antara rakyat yang baru itu atas sadar keagamaan;
masyarakat

dan

negara

berkewajiban

atas

setiap

rakyat

untuk

mempertahankan keamanan dan melindungi dari serangan musuh; persamaan


dan kebebasan bagi kaum Yahudi dan pemeluk-pemeluk agama lainnya di
dalam urusan dunia bersama kaum Muslim.
Dari uraian diatas maka jelaslah bahwa Piagam Madinah menerapkan paham
konstitusionalisme, yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan
jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi. Konstitusionalisme yang dianut
oleh negara Madinah, telah merangkum semua sifat yang dibutuhkan oleh
organisasi kenegaraan, baik sifat proklamasi, deklarasi, perjanjian atau
pernyataan-peryataan lain termuat dalam piagam itu. Oleh karena kualitasnya
yang serba mencakup ini, Piagam Madinah diakui sebagai konstitusi tertulis
pertama di dunia 7.

C. Konstitusi-Konstitusi Yang Pernah Digunakan Di Indonesia


5

Asshiddiqie,
2006, hlm.16. dasar jika tidak lagi mencerminkan konstelasi
Suatu undang-undang

6 Idris,atau
2009,
hlm.
27.
politik
tidak
memenuhi
harapan aspirasi rakyat dapat dibatalkan dan diganti
dengan
undang-undang
dasar44baru. Sebagai contoh, sesudah dibebaskan dari
7 Hamidi,
Malik, 2009. hlm.
pendudukan tentara Jerman, Prancis menganggap perlu untuk mengadakan
undang-undang dasar baru yang mencerminkan lahirnya negara Prancis baru. Hal
ini juga terjadi di Indonesia. Miriam Budiardjo (Miriam Budiardjo.2003.Dasardasar Ilmu Politik.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), sehubungan dengan
undang-undang dasar yang digunakan di Indonesia, mengemukakan tahap-tahap
sebagai berikut: (i) tahun 1945, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia secara
defacto hanya berlaku di Jawa, Madura, dan Sumatra, (ii) tahun 1949, UndangUndang Dasar Republik Indonesia secara defacto berlaku di seluruh Indonesia,
kecuali Irian Barat, dan (iii) tahun 1959, Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia 1945 dengan demokrasi terpimpin, disusul Demokrasi Pancasila, mulai


1963 berlaku di seluruh Indonesia termasuk Irian Barat. Apabila ditinjau dari
sudut perkembangan sejarah demokrasi Republik Indonesia, Miriam Budiardjo
(2007:105) membagi dalam tiga tahap, yaitu (i) masa 1945-1959 sebagai Republik
Indonesia ke-I (Demokrasi Parlementer) yang didasari tiga Undang-Undang
Dasar, yaitu UUD 1945, 1949 dan 1950, (ii) masa 1959-1965 sebagai Republik
ke-II (demokrasi Terpimpin) yang 140 didasari Undang-Undang Dasar 1945, dan
(iii) masa 1965 sampai sekarang sebagai Republik Indonesia ke-III (Demokrasi
Pancasila yang didasari oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pemikiran ini
disampaikan pada tahun 1970-an jauh hari sebelum jatuhnya rezim Suharto,
sehingga jika kita tinjau saat ini dapat ditambahkan masa Republik ke-III yaitu
periode antara tahun 1965 dan 1998. Kemudian tahun 1998 sampai saat ini dapat
ditambahkan masa Republik ke-IV dengan menggunakan Undang-Undang Dasar
1945 pascaamandemem (Demokrasi masa transisi).
Menurut Jimly Assidiqie8, jika ditinjau dari sudut perkembangan naskah
undang-undang dasar, sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sampai sekarang tahaptahap sejarah konstitusi Indonesia dapat dikatakan telah melewati enam tahap
perkembangan, yaitu (i) periode tanggal 18 Agustus 1945 27 Desember 1949,
(ii) periode tanggal 27 Desember 1949 17 Agustus 1950, (iii) periode tanggal 17
Agustus 1950 5 Juli 1959, (iv) periode tanggal 5 Juli 1959 19 Oktober 1999,
(v) periode tanggal 19 Oktober 1999 10 Agustus 2002, dan (vi) periode tanggal
10 Agustus 2002 sampai dengan sekarang. Pada periode pertama berlaku UUD
1945, pada periode kedua berlaku Konstitusi RIS 1949, pada periode ketiga
berlaku Undang-Undang Dasar Sementara 1950, pada periode keempat berlaku
kembali UUD 1945 beserta penjelasannya. Setelah itu UUD 1945 diubah berturutturut pada tahun 1999, 2000, 2001, 2002 dengan menggunakan naskah yang
berlaku mulai 5 Juli 1959 sebagai standar dalam melakukan perubahan di luar teks
yang kemudian dijadikan lampiran yang tak terpisahkan dari naskah UUD 1945.
Dengan demikian, menurut Jimly Assidiqie9 , kurun waktu selama terjadi

10

perubahan UUD 1945 dalam satu rangkaian kegiatan itu, dapat disebut sebagai
satu kesatuan periode tersendiri, yaitu periode konstitusi transisional.
Republik Pertama : UUD 1945
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang pertama adalah UUD
1945
disahkan
tanggal 18 Agustus 1945, berlaku secara nasional
8 Jmlyyang
Assidiqie,
2007, hlm.pada
73.
sampai dengan tanggal 27 Desember 1949. Naskah undang undang dasar pertama
tersebut disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Penyusunan naskah Rancangan Undang-Undang Dasar 1945 dimulai dari
pembentukan BPUPKI yang dilantik pada tanggal 28 Mei 1945. Pembentukan
badan ini merupakan realisasi janji Pemerintah Jepang akan memberikan
kemerdekaan kepada Indonesia kelak kemudian hari. BPUPKI mengadakan
sidang-sidang yang dapat dikelompokkan menjadi dua masa persidangan, yaitu
sidang pertama mulai dari tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan 1 Juni 1945 dan
masa persidangan kedua mulai tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945. Dari
persidangan-persidangan BPUPKI tersebut berhasil menyusun naskah komplit
Rancangan Undang-Undang Dasar yang meliputi (i) pernyataan Indonesia
merdeka, (ii) pembukaan Undang-Undang Dasar, dan (iii) Undang-Undang Dasar
yang terdiri atas pasal-pasal (Noor Ms Bakry, 1994: 23). Dengan selesainya
tugas BPUPKI, pemerintah Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) yang bertugas untuk mempersiapkan segala sesuatu yang
9

Noor
MS. Bakry, 194,
hlm. 23.kemerdekaan
berhubungan
dengan

Indonesia. Pada sidang tanggal 18 Agustus

PPKI berhasil mengesahkan naskah Undang-Undang Dasar 1945 dari naskah


Rancangan Undang-Undang Dasar hasil kerja BPUPKI dengan beberapa
perubahan di sana sini. Perubahan itu terutamatentang dasar negara yang semula
berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya sebagai mana termuat dalam Piagam Jakarta diubah menjadi
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 berlakulah UndangUndang Dasar 1945. Menurut ketentuan undang-undang dasar ini sistem
pemerintahan Indonesia bersifat presidensiil. Artinya, para menteri tidak

11

bertanggungjawab kepada badan legislatif, tetapi hanya bertindak sebagai


pembantu presiden. Lebih lanjut, mulai bulan November 1945, berdasarkan
maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, Pengumuman Badan
Pekerja 11 November 1945, dan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November
1945, tanggung jawab politik terletak di tangan para menteri. Keadaan ini
merupakan awal dari suatu sistem pemerintahan parlementer yang praktis
dipertahankan sampai tahun 1959 pada masa Undang-Undang Dasar 1945
dinyatakan berlaku kembali, melalui Dekrit Presiden. Jadi, mulai 14 November
1945 sampai 27 Desember 1949 sistem pemerintahan yang diselenggarakan
berlainan dengan sistem pemerintahan sebagaimana diatur dalam naskah UndangUndang Dasar 194510.
Republik Kedua : Konstitusi RIS (27 Desember 1945-17 Agustus 1950)
Dalam kondisi Indonesia baru saja menyatakan kemerdekaan, Belanda
berkeinginan untuk berkuasa lagi di Indonesia, yaitu melalui Agresi I pada tahun
1947 dan Agresi II pada tahun 1948. Karena mendapat perlawanan sengit bangsa
Indonesia, Belanda gagal menguasai Indonesia. Pada tahun 1949 diadakan
Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Salah satu hasil KMB itu
ialah pendirian negara Republik Indonesia Serikat. Rancangan naskah Konstitusi
Republik Indonesia Serikat juga diputuskan dalam KMB dan disepakati mulai
berlaku
tanggal
Desember
10 Miriampada
Budiardjo,
2007,27
hlm.
115-116. 1949.
Dengan berdirinya negara Republik Indonesia Serikat (RIS), negara
Republik Indonesia (RI) secara hukum masih tetap ada. Negara RI berubah status
menjadi salah satu negara bagian dari negara RIS. Undang-Undang Dasar 1945
yang semula berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia mulai tanggal 27 Desember
1949 hanya berlaku dalam wilayah Negara Bagian Republik Indonesia saja.
Negara RIS dengan Konstitusi RIS-nya berlangsung sangat pendek karena
memang tidak sesuai dengan jiwa proklamasi kemerdekaan yang menghendaki
negara kesatuan, tidak menginginkan negara dalam negara, sehingga beberapa
negara bagian meleburkan diri lagi dengan Republik Indonesia. Semangat

12

kebersamaan ini nampak dengan adanya ketetapan Presiden RIS tentang


penggabungan negara-negara bagian ke dalam Republik Indonesia sebagai
berikut.
(1) Tanggal 9 Maret negara bagian dan daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Madura,
Subang, dan Padang masuk ke dalam Republik Indonesia.
(2) Tanggal 11 Maret 1950, memasukkan negara Pasundan menjadi daerah
Republik Indonesia.
(3) Tanggal 24 Maret 1950, memasukkan Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan
menjadi daerah Republik Indonesia.
(4) Tanggal 4 April 1950, Bangka , Belitung, Riau, Banjar, Dayak Besar, Kota
Waringin, Kalimantan Tenggara masuk dalam daerah Republik Indonesia.
Dengan demikian, hanya negara bagian Indonesia Timur dan negara
bagian Sumatera Timur saja yang belum masuk ke dalam Republik Indonesia
yang berpusat di Yogyakarta. Pada tanggal 19 Mei 1950 disusunlah Piagam
Persetujuan antara Pemerintah RIS yang sekaligus mewakili negara bagian
Indonesia Timur menyatakan menyetujui membentuk negara kesatuan. Tindak
lanjut dari Piagam Persetujuan tersebut terbentuklah negara Kesatuan dengan
berdasar Undang-Undang Dasar Sementara 1950 tanggal 17 Agustus 195011.
Republik Indonesia Ketiga: UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959)
Negara kesatuan yang merupakan perubahan ketatanegaraan dari negara
serikat itu menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang di dalam
pembukaannya memuat dasar negara Pancasila, tetapi pelaksanaan sistem
pemerintahannya menggunakan sistem kabinet parlementer. Dengan demikian,
sistem kabinet parlementer itu tidak cocok dengan jiwa Pancasila. Akibatnya,
kabinet terjadi jatuh bangun; bahkan rata-rata umur tiap-tiap kabinet itu kurang
dari satu tahun. Noor Ms Bakry12 memaparkan bahwa dari tahun 1950 sampai
tahun 1959 telah terjadi pergantian kabinet sebanyak 7 kali, sehingga stabilitas

13

nasional menjadi sangat terganggu. Pergantian kabinet itu dapat dikemukakan


berikut ini.
(1) Kabinet Natsir (6 September 1950 sampai dengan 27 April 1951)
(2) Kabinet Sukiman (27 April 1951 sampai dengan 3 April 1952)
(3) Kabinet Wilopo (3 April 1952 sampai dengan 1 Agustus 1953)
(4) Kabinet Alisastroamidjojo I (1 Agustus 1953 sampai dengan 12 Agustus 1955)
(5) Kabinet Burhannudin Harahap (12 Agustus 1955 sampai dengan 24 Maret
1956)
(6) Kabinet Alisastroamidjojo II (24 Maret 1956 sampai dengan 9 April 1957)
(7) Kabinet Djuanda (9 April 1957 sampai dengan 10 Juli 1959).
Seperti halnya dengan Konstitusi RIS tahun 1949, Undang Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun1950 juga bersifat sementara. Sifat
kesementaraan ini disebutkan dalam Pasal 134, di mana diharuskan Konstituante
bersama-sama dengan Pemerintah menyusun Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar yang berlaku saat itu,
yaitu UUDS 1950. Berbeda dengan pada masa berlakunya Konstitusi RIS tahun
1949 yang tidak sempat merealisasikan pembentukan konstituante atau lembaga

11 Noor Ms Bakry, 2001, hlm. 34.

pembentuk undang-undang dasar, di bawah UUDS 1950 sebagai realisasi dari

12 Noor Ms Bakry, 2001, hlm. 36.

Pasal 134, pemilihan umum berhasil dilaksanakan.


Pemilihan umum pertama di Indonesia diadakan pada tanggal 29
September 1955 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan tanggal
15 Desember 1955 untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di dalam
Dewan Konstituante yang akan membentuk Undang-Undang Dasar baru sebagai
pengganti Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Konstituante sebagi Dewan
Penyusun Undang-Undang dasar dalam sidangnya sejak tahun 1956 sampai tahun
1959 belum berhasil membuat undang-undang dasar baru karena selalu
mengalami kesulitan, yaitu tidak pernah tercapai kesepakatan. Pihak-pihak yang

14

berbeda pendapat tidak pernah mencapai suara dari jumlah anggota Konstituante.
Keadaan ini jika diteruskan akan menemui jalan buntu dan membahayakan
kelangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu, Presiden Soekarno
mencari jalan keluarnya dengan mengekuarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang
berisikan pernyataan sebagai berikut: (i) menetapkan pembubaran Konstituante,
(ii) menetapkan UUD 1945 berlaku lagi terhitung mulai tanggal penetapan Dekrit,
dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, serta (iii) menetapkan dalam waktu
sesingkat-singkatnya pembentukan MPRS dan DPAS. Dekrit ini mendapat
dukungan sebagian besar rakyat Indonesia. Yang lebih penting lagi, melalui Dekrit
ini terjadi perubahan ketatanegaraan Indonesia, yaitu naskah Undang-Undang
Dasar 1945 menjadi berlaku kembali sebagai hukum tetinggi dalam negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Republik Indonesia Keempat: UUD 1945 Orde Lama (1959-1965)
Ciri-ciri periode ini ialah adanya dominasi yang sangat kuat dari presiden,
terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan
meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Undang-Undang Dasar
1945 memberi kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan selama
sekurang-kurangnya

lima

tahun.

Akan

tetapi

Ketetapan

MPRS

No.

III/MPRS/1963 yang mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah


membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini. Tahun 1960 Presiden Soekarno
membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum, padahal dalam
penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa
presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian. Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong yang menggantikan Dewan Perwakilan Rakyat hasil
pemilihan umum ditonjolkan peranannya sebagai pembantu presiden, sedangkan
fungsi kontrolnya ditiadakan. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dijadikan
menteri sehingga fungsi mereka lebih sebagai pembantu presiden dari pada wakil
rakyat. Kuatnya posisi presiden juga merambah dalam bidang-bidang lain di luar
bidang eksekutif. Berdasarkan Undang-Undang No. 19 tahun 1964 presiden diberi
wewenang untuk campur tangan di bidang yudikatif. Di samping itu, masih

15

banyak lagi penyimpangan-penyimpangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945


sebagaimana dibeberkan oleh Miriam Budiardjo13. Puncaknya pecahnya peristiwa
G 30 S/PKI telah mengakhiri periode demokrasi terpimpin dan membuka jalan
untuk di mulainya masa demokrasi Pancasila.
Republik Kelima : UUD 1945 Orde Baru (1966-1998)
Pergeseran kekuasaan dari Soekarno ke Suharto menimbulkan perubahan
orde dari orde lama ke orde baru. Implementasi Undang-Undang Dasar 1945
mengalami beberapa koreksi. Orde baru mempunyai tekad untuk melakukan
koreksi atas berbagai penyimpangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pada
masa orde lama. Pada mulanya orde baru berupaya untuk memperbaiki nasib
bangsa dalam berbagai bidang kehidupan. Rakyat pun dapat merasakan adanya
peningkatan kondisi di berbagai bidang kehidupan melalui serangkaian program
yang dituangkan dalam GBHN dan repelita. Namun dalam perjalanannya, orde
baru berubah wajah menjadi kekuasaan yang otoriter. Penafsiran pasal-pasal UUD
1945 dimanipulasi untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan. UndangUndang Dasar 1945 yang singkat dan fleksibel mudah disalahtafsirkan dan
menguntungkan penguasa, disakralkan untuk tidak diamandemen bukan demi
kebaikan rakyat, tetapi demi kekuasaan itu sendiri. Pengalaman pada masa
ordelama, dengan Undang-Undang Dasar 1945 posisi presiden yang sangat kuat,

13 Miriam Budiardjo, 2007, hlm. 71.

terulang lagi pada masa orde baru. Posisi legislatif berada di bawah presiden. Hak
asasi rakyat juga dibatasi. Kekuasaan tanpa kontrol akibatnya pemerintahan orde
baru cenderung melakukan penyimpangan di berbagai aspek kehidupan. Korupsi
kolusi, dan nepotisme (KKN) merajalela. Akibatnya, terjadi ketidakmerataan hasil
pembangunan, melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin, utang semakin
membengkak, dan akhirnya menumpuk menjadi krisis multidimensi. Dengan
dipelopori oleh mahasiswa, rakyat menuntut reformasi di segala bidang. Akhirnya
rezim orde baru tumbang dengan mundurnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.
Republik Keenam : UUD 1945 Diamandemen (1998-sekarang)

16

Pengalaman sejarah pada masa lalu, baik masa orde lama maupun masa
orde baru, menunjukkan bahwa penerapan pasal-pasal Undang-Undang Dasar
1945 yang memiliki sifat multiinterpretable atau dengan kata lain ber-wayuh arti
mengakibatkan terjadinya sentralisasi kekuasaan di tangan presiden. Hal ini yang
melatarbelakangi perlunya dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang
Dasar 1945. Amandemen merupakan keharusan karena hal itu akan mengantar
bangsa Indonesia kearah tahapan baru penataan terhadap ketatanegaraan (Kaelan,
2004: 177). Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh
bangsa Indonesia sejak tahun 1999, di mana amandemen yang pertama dilakukan
dengan memberikan tambahan dan perubahan terhadap 9 pasal Undang-Undang
Dasar 1945. Selanjutnya, amandemen kedua dilakukan pada tahun 2000,
amandemen ketiga dilakukan tahun 2001, dan amandemen terakhir dilakukan
tahun 2002 dan disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Oleh karena itu, naskah
resmi Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 menurut
Jimly Assiddiqie (Asshiddiqie,Jimly.Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia.
Jakarta:Sinar Grafika.2010) terdiri atas lima naskah, yaitu (i) naskah UndangUndang Dasar 1945 seperti yang diberlakukan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
(ii) naskah Perubahan Pertama UUD 1945 yang disahkan pada tahun 1999, (iii)
naskah Perubahan Kedua UUD 1945 yang disahkan pada tahun 2000, (iv) naskah
Perubahan Ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tahun 2001, dan (v) naskah
Perubahan Keempat UUD 1945 yang disahkan pada tahun 2002.
Kajian Hasil Amandemen UUD 1945
Meskipun tuntutan amandemen terhadap UUD 1945 semakin menguat,
MPR sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan amandemen
terhadap UUD 1945 tidak gegabah dalam melaksanakannya demi menjaga
kelangsungan hidup negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam melakukan
amandemen ada kesepakatan bersama anggota MPR yang dituangkan dalam
kesepakatan dasar anggota Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR dalam menyusun
rancangan naskah perubahan UUD 1945, yaitu (i) tidak mengubah Pembukaan
UUD 1945, (ii) tetap mempertahankan negara Kesatuan Republik Indonesia, (iii)

17

mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial, (iv) penjelasan UUD 1945


ditiadakan serta hal-hal normatif dalam Penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal,
dan (v) perubahan dilakukan dengan cara adendum14.
Proses amandemen UUD 1945 terjadi secara bertahap selama empat kali,
yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Amandemen pertama yang disahkan
pada 19 Agustus 1999, berisi sembilan pasal. Ketentuan yang diubah dalam
kesembilan pasal tersebut berkenaan dengan 16 butir. Amandemen kedua UUD
1945 yang disahkan pada 18 Agustus 2000 berkenaan dengan 59 butir ketentuan
yang diatur dalam 25 pasal. Amandemen ketiga UUD 1945 yang disahkan pada 9
November 2001 menyangkut 23 pasal yang berkaitan dengan 68 butir ketentuan.
Amandemen keempat UUD 1945 yang disahkan pada 10 Agustus 2002
menyangkut 18 pasal yang berkenaan dengan 31 butir ketentuan15. Keseluruhan
amandemen Undang-Undang Dasar 1945 itu pada dasarnya meliputi (i) ketentuan
mengenai hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, serta
mekanisme hubungannya dengan negara dan prosedur untuk mempertahankannya
apabila hak-hak itu dilanggar, (ii) prinsip-prinsip dasar tentang demokrasi dan rule
of law serta mekanisme perwujudannya dan pelaksanaannya, seperti melalui
pemilihan umum, dan lain-lain, serta (iii) format kelembagaan negara dan
mekanisme hubungan antar organ negara serta sistem pertanggungjawaban para
pejabatnya.
Dengan
perkataan
lain,
14
Sekretariat Jenderal
MPR-RI,
2003, hlm.
25.
15
Jimlyamandemen
Assidiqie, 2007, pertama
hlm. 101.
dalam

menurut Jimly Assidiqie 16, apa yang diatur

sampai dengan amandemen keempat Undang-Undang

Dasar 1945 mencakup semua hal yang menjadi pokok materi semua undangundang dasar negara modern di dunia.
Dengan amandemen UUD 1945, lembaga MPR mengalami transformasi
kedudukan dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga permusyawaratan
rakyat yang lebih lemah kedudukannya. MPR menjadi salah satu organ negara
yang menjalankan tugas-tugas konstitusional yang kedudukannya sederajat
dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. MPR secara sukarela mengurangi
kekuasaannya sendiri berdasarkan Undang-Undang Dasar, misalnya, Presiden dan
Wakil Presiden yang semula dipilih oleh MPR diubah menjadi dipilih langsung

18

oleh rakyat. MPR mengurangi lagi kewenangannya sendiri dengan menegaskan


status hukum dan materi ketetapan MPR/S yang pernah ditetapkan dan sekaligus
mengakhiri kewenangannya sendiri untuk menetapkan ketetapan MPR yang
bersifat mengatur di masa-masa selanjutnya. Setelah amandemen MPR hanya
memiliki kekuasaan melakukan perubahan undang-undang dasar, melantik
presdien dan wakil presiden, dan memberhentikan presiden/wakil presiden seusai
masa jabatannya atau jikalau melanggar konstitusi. Oleh karena itu, presiden
bersifat Neben bukan Untergeornet dengan MPR karena presiden dipilih langsung
oleh rakyat. Susunan keanggotaan MPR mengalami perubahan dari yang semula
terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan utusan golongan,
menjadi anggota DPR ditambah dengan DPD. Pengurangan wewenang MPR
merupakan konsekuensi logis dari perubahan pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa Kedaulatan ditangan rakyat dan dilakukan menurut UndangUndang Dasar. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam
negara Republik Indonesia pemegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan adalah
ditangan rakyat dan realisasinya diatur dalam undang-undang dasar negara.
Sebelum dilakukan amandemen kekuasaan tertinggi dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Pembagian kekuasaan sebagaimana diatur dalam UUD 1945 adalah sebagai
berikut: (i) kekuasaan eksekutif didelegasikan kepada presiden (Pasal 4 ayat (1)
UUD 1945), (ii) kekuasaan legislatif didelegasikan kepada presiden, DPR
dan DPD (Pasal 5 ayat (1), pasal 19 dan pasal 22C UUD 1945), (iii) kekuasaan
yudikatif didelegasikan kepada Mahkamah Agung (pasal 24 ayat (1) UUD 1945),
(iv) kekuasaan inspektif atau pengawasan didelegasikan kepada Badan Pemeriksa
Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat (UUD 1945 pasal 20 A ayat (1) yang
menyatakan
bahwa
16
Jimly Assidiqie,
2007, .
hlm. DPR
115.

juga memiliki fungsi pengawasan, yang artinya DPR

melakukan pengawasan terhadap Presiden selaku eksekutif), serta (v) UUD 1945
hasil amandemen tidak ada kekuasaan konsultatif, yang sebelum diamandemen
didelegasikan kepada Dewan Pertimbangan Agung karena berdasarkan kenyataan
pelaksanaan kekuasaan konsultatif tidak jelas fungsinya. Menurut Kaelan

19

(2004:184), mekanisme pendelegasian yang demikian ini dalam khasanah ilmu


hukum tatanegara dan ilmu politik dikenal dengan istilah distribution of power
yang merupakan salah satu unsur mutlak dari negara demokrasi.
Dalam kaitan dengan kekuasaan kehakiman ada dua lembaga baru setelah
amandemen UUD 1945, yaitu Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi. Komisi
Yudisial ialah suatu komisi yang bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Keanggotaan Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan
persetujuan DPR. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Dibentuknya Mahkamah Konstitusi
merupakan langkah maju dalam lembaga peradilan di Indonesia (Kaelan, 2004:
205).
Kekurangcermatan para perumus amandemen UUD 1945 adalah mengenai
Pasal 28 yang berbunyi Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undangundang. Menurut latarbelakang perumusannya pada tahun 1945 dulu, pasal ini
dimaksudkan untuk melindungi hak asasi manusia, tetapi dengan modifikasi
sedemikian rupa sehingga tidak langsung selesai dengan pemuatannya dalam
UUD 1945. Menurut Jimly Assidiqie (2007: 135) jaminan hak asasi manusia
dimaksud masih digantungkan kepada pengaturannya lebih lanjut dengan undangundang. Dengan amandemen UUD 1945, substansi ketentuan pasal 28 dimuat
secara tegas dalam pasal 28 E ayat (3) yang berbunyi Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Seharusnya
rumusan Pasal 28 tersebut dihilangkan karena telah digantikan oleh Pasal 28E
ayat (3). Kekurangan yang lain adalah mengenai susunan dan sistematika UUD
1945 setelah diamandemen menjadi rancu dan tidak proporsional (Jimly
Assidiqie, 2007: 134). Bab III berjudul Majelis Permusyawaratan Rakyat,

20

sedangkan tentang Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam Bab VII, dan untuk
Dewan Perwakilan Daerah sebagai lembaga baru diciptakan bab baru, yaitu Bab
VIIA. Hal itu rancu dan tidak proposional karena DPR, DPD dan MPR itu samasama merupakan lembaga negara dalam ranah kekuasaan legislatif. Sementara itu,
Bab IV, yang sebelumnya berjudul Dewan Pertimbangan Agung, dihapus sama
sekali dari naskah UUD 1945, sehingga susunan UUD 1945 meloncat dari Bab III
tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara langsung ke Bab V tentang Kementerian
Negara.
Adanya kekurangan dalam amandemen UUD 1945 adalah merupakan hal
yang manusiawi karena banyaknya materi yang diubah, dikurangi, atau ditambah
dengan amandemen pertama sampai keempat. Bertolak dari kekurangan inilah,
kemudian dibentuk Komisi Konstitusi yang akan membantu melakukan koreksi
dan mengatasi kekuarangan-kekurangan itu untuk amandemen mendatang.

17 Jimly Assidiqie, 2007, hlm. 135.

BAB III
ANALISA MASALAH
A. Masalah
1. Masalah Konstitusi Tak Pernah Berakhir
2. Pemilu dan Potensi Krisis Konstitusi di Indonesia
3. Mahkamah Konstitusi dan Keadaan Darurat Korupsi di Indonesia
B. Analisa Masalah
1. Masalah Konstitusi Tak Pernah Berakhir
Proses desakralisasi konstitusi sejak reformasi sampai saat ini belum
berjalan. Selain itu, ideologi di Indonesia belum berjalan sebagai mana
yang diharapkan, hal ini dapat dilihat masih banyak aksi tarik-menarik
kepentingan di kalangan elit politik, baik di pusat maupun di daerah.

21

Konstitusi tidak harus lengkap akan tetapi harus menyangkut filosofi dan
kepentingan orang banyak, kata dosen Ilmu Politik sekaligus pengamat
politik UIN Jakarta Andi Safrani SH MCCL.
Sebagai pengamat politik, Andi mengungkapkan, bahwa ideologi di
Indonesia mengalami stagnanisasi yang cukup panjang. Sejak pascareformasi sampai saat ini banyak kebijakan yang belum terealisasikan
bahkan yang ada hanyalah kompromi politik.
Penerapan hukum belum berjalan, penerapan tersebut hanya simbol belaka.
Idealnya, penerapan konstitusi tidak boleh bertentangan dengan yang
undang-undang yang sudah ada, dan harus sejalan dengan kondisi
lingkungan dan kemaslahatan masyarakat.
Kita harus mengakui, konstitusi kita masih sangat ringkas, artinya masih
banyak konstitusi negara yang fundamental yang masih sangat jauh atau
belum sempurna. Misalnya adanya resuffle sejumlah menteri yang masih
menganut paham parlementer, katanya.
Masalah hukum merupakan masalah yang sangat sensitif sekali. Masalah ini
menyangkut kepentingan para elit politik dan masih banyaknya multitafsir
tentang amandemen tersebut.
Proses pembuatan undang-undang di Indonesia itu ada dua macam antara
lain, atas inisiatif pemerintah dan DPR. Akan tetapi pembuatan undangundang lebih didominasi atas inisitif pemerintah.
Tentang proses pembuatan undang-undang di Indonesia. Menurutnya,
sebelum undang-undang di sahkan, undang-undang di analisis terlebih
dahulu oleh staf ahli agar tidak bertentang dengan undang-undang yang lain,
dan menyangkut kemaslahatan masyarakat, serta jangan sampai ada
multitafsir peraturan.
2. Pemilu dan Potensi Krisis Konstitusi di Indonesia

22

Secara sederhana krisis konstitusi dapat terjadi apabila belum ada norma
atau aturan yang mengatur scara eksplisit maupun implisit tentang suatu
permasalahan konstitusi. Dalam persepktif teori, KC Wheare dalam
karyanya moderen constitution mengatakan bahwa konstitusi merupakan
kumpulan peraturan yang mengatur pemerintahan negara. Lebih luas lagi
Van Apeldorn mengatakan bahwa konstitusi memuat baik peraturan tertulis
(writen) maupun tidak tertulis (unwriten). Secara sederhana konstitusi dapat
dipahami sebagai aturan dasar (baik tertulis ataupun tidak) dengan tujuan
mengatur penyelenggaraan pemerintahan negara yang memiliki kedudukan
hirarkis tertinggi dalam sebuah negara. Jika menggunakan pendekatan dari
teori ini, maka harusnya konstitusi memuat aturan yang bersifat detil
sehingga meminimalisir potensi terjadinya krisis konstitusi.
Lalu bagaimana dengan potensi potensi krisis konstitusi lainnya yang bisa
saja muncul. Jika konstitusi hasil perubahan kita saat ini dianalisis lebih
lanjut, maka banyak sekali ditemukan titik krisis lainnya. Misalnya pada
pengaturan tentang pemilu. Baik konstitusi maupun undang-undang
kepemiluan, baik presiden maupun pemilu legislatif tidak mengatur apabila
ternyata penyelenggaran pemilu gagal dan tidak menghasilkan perwakilan
di parlemen atau bahkan tidak menghasilkan presiden.
Jika mengacu pada aturan konstitusi saat ini, maka dalam Pasal 6A (3)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dengan tegas
menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden dinyatakan terpilih, apabila
memperoleh lebih dari lima puluh persen suara nasional (suara mayoritas
mutlak) dan 20 persen disetiap wilayah provinsi. Jika dianalisis konstruksi
pasal ini maka dapat dipahami bahwa pertama, presiden terpilih apabila
berhasil memperoleh suara mayoritas mutlak dari total suara yang masuk.
Kedua, angka atau persentase suara ini merupakan ketentuan yang mutlak
dan rigid. Artinya, presentasi angka ini tidak dapat diubah apabila tidak ada
satupun pasangan calon yang memperoleh suara mutlak mayoritas.
Walaupun pada ketentuan pasal lainnya dalam konstitusi khususnya dalam
Pasal 6A (4) yang mengidentifikasikan bahwa pemilu presiden di Indonesia

23

dengan prinsip two round system memungkinkan pasangan calon presiden


dan wakil presiden dipilih kembali pada putaran selanjutnya, Tetapi
permasalahannya angka presentasi yang diamanahkan dalam konstitusi
merupakan ketentuan yang bersifat mutlak dan berlaku sama pada ketentual
pasal sebelumnya. Jika kasus seperti ini timbul maka dapat dipastikan
pemilu dalam keadaan deadlock.
Kondisi seperti ini bisa saja muncul mengingat Pemilu 2014, konstituen
terbesarnya diisi oleh segmentasi pemilu pemula. Disamping itu
meningkatnnya angka golput (berkaca pada pemilu kada) di hampir seluruh
wilayah Indonesia menambah beban berat suksesi penyelenggaran Pemilu
2014.
Bertitik tolak dari hasil analisis ini, maka timbul pertanyaan apabila tidak
ada satu pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berhasil
memperoleh suara seperti yang telah diamanatkan dalam konstitusi, maka
pemilu dapat dipastikan gagal karena tidak dapat menghasilkan presiden dan
wakil presiden. Pertanyaannya adalah, siapa atau lembaga mana yang
kemudian dapat menjalankan pemerintahan mengingat di dalam negara
tidak dibenarkan terjadinya kekosongan jabatan (vacum of power), apalagi
tidak ada presiden dan wakil presiden. Secara teori dalam negara dengan
sistem pemerintahan presidensil, presiden memiliki peranan yang sangat
penting untuk menentukan jalannya pemerintahan.
Secara yuridis normatif jika mengacu pada ketentuan konstitusi dan undangundang, maka dapat dipastikan tidak ada lembaga yang berwenang
menjalankan pemerintahan sebab pemilu tidak menghasilkan apapun.
Apakah kemudian benar pendapat Prof. Yusril dengan mengembalikan
fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara menjadi solusi untuk
mengatasi kegagalan Pemilu 2014 ini? Apakah mungkin dalam waktu yang
relatif singkat MPR melakukan perubahan terhadap konstitusi untuk
kemudian mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara?
Permasalahan-permasalahan ini seyogyanya tidak dipandang sederhana,
mengingat dampak yang akan timbul sangatlah kompleks. Apa yang terjadi
pada Australia pada tahun 1975 dan Russia pada tahun 1993 yang

24

mengakibatkan negara besar ini chaos, setidaknya dapat dijadikan


pembelajaran bahwa krisis konstitusi merupakan permasalahan yang serius
dan harus segera diantisipasi segala kemungkinan yang akan muncul.
3. Mahkamah Konstitusi dan Keadaan Darurat Korupsi di Indonesia
Sudah berbulan-bulan, media massa memberitakan tentang kasus korupsi.
Dari pemberitaan itu, terlihat jelas sangat banyak elit dan pemimpin kita
yang terlibat korupsi. Mulai elit di pusat pemerintahan nasional hingga
daerah. Demikian pula melibatkan elit politik DPR RI, birokrat, dan
pengusaha.
Berita yang sangat mengejutkan, bahkan Akil Mochtar (Ketua Mahkamah
Konstitusi) tertangkap tangan melakukan korupsi. Suatu lembaga yang
sangat terhormat dengan kekuasaan yang sangat besar, justru terbukti
melakukan tindakan korupsi.
Sebagaimana diketahui, fungsi dan wewenang Mahkamah Konstitusi
adalah: berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
keputusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang

Dasar

1945

(UUD

1945),

memutus

sengketa

kewewenangan lembaga negara yang kewewenangannya diberikan oleh


UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil Pemilihan Umum. Berkewajiban memberi keputusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam: menguji undang-undang terhadap
UUD 1945, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara,
berkewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai
politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilu, dan berbagai kekuasaan
yang sangat urgen bagi kepentingan Nasional.
Dengan wewenangnya yang luar biasa, sudah seharusnya, Mahkamah
Konstitusi bisa menjaga diri dari berbabagai kelemahan, terlebih lagi
terhadap korupsi. Tetapi kenyataannya, Mahkamah Konstitusi terlarut
kedalam pusaran masalah korupsi. Sehingga korupsi telah merajalela di
semua sektor kehidupan, baik di yudikatif, eksekutif, dan legislatif.

25

Sehingga tidak salah kalau dikatakan, bahwa Indonesia berada dalam


kondisi, Darurat Korupsi.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa hampir semua lini kehidupan di
Indonesia dewasa ini, harus diselesaikan dengan 'sogokan dan berbagai uang
pelicin' lainnya. Mulai dari mengurus KTP (Kartu Tanda Penduduk) di
Kelurahan, mengurus SIM (Surat Izin Mengemudi), KK (Kartu Keluarga),
masuk sekolah, sampai urusan yang besar, seperti memenangkan tender
suatu proyek, ataupun untuk promosi dan lain sebagainya. Semuanya
membutuhkan sogokan dan uang pelicin.
Sehingga tidak salah kalau para investor yang mau menanamkan modalnya
di Tanah Air harus melalui semua proses tadi. Akibatnya biaya investasi
yang tertulis tidak sebanding dengan real cost (biaya nyata) yang harus
dibayar, karena panjangnnya birokrasi dan semua tahap harus mengeluarkan
uang. Akhirnya, membuat malas para investor untuk menanamkan
modalnya di Tanah Air, dan berpindah ke negara tetangga seperti Malaysia
misalnya kasus pendirian RIM, pabrik BlackBerry.
Untuk membasmi korupsi dan pungutan liar tersebut, sangat tidak mudah
bahkan mustahil, karena kondisi ini telah berurat, berakar dan telah menjadi
budaya. Padahal untuk kemajuan suatu bangsa di zaman modern, budaya
korupsi dan pungutan liar menjadi penghabat yang sangat besar untuk
kemajuan. Hampir semua negara maju di dunia dewasa ini, sangat rendah
tingkat korupsi dan pungutan liarnya. Hal ini disebabkan oleh dua faktor
utama yaitu: 1) Sistem yang transparan, 2) Pemimpin yang kuat dan disiplin
serta antikorupsi.
Sebetulnya Indonesia, mempunyai potensi yang sangat besar untuk menjadi
bangsa yang maju, sejahtera, aman, dan sentosa. Olehnya bangsa ini
membutuhkan pemimpin yang kuat dan anti korupsi, artinya: pemimpin
yang benar-benar berjuang untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa
Indonesia. Yang bertekad membumihanguskan korupsi dan pungli
(pungutan liar) dengan cara memperbaiki sistem pemerintahan menjadi
transparan, dan terkontrol, sehingga orang akan sulit melakukan korupsi

26

karena dengan sistem yang transparan dan terkontrol maka orang yang
korupsi akan langsung ketahuan.
Transparansi sistem keuangan negara, bisa dilihat pada negara maju, seperti
contohnya Amerika Serikat, pengelolaan keungan dan sistem perpajakan,
sangat transparan. Sehingga dalam mengawasi bukan saja tugas pemerintah,
tetapi masyarakat secara keseluruhan. Semua pejabat publik, mulai tingkat
terendah hingga presiden diawasi secara langsung oleh masyakat.
Hal ini karena sistem transparansi keuangan dan perpajakan begitu modern.
Semua transaksi keuangan, pembayaran pajak, sampai pemenangan tender
serta distribusi pembangunan dan penggajian dilakukan secara online dan
transparan. Sehingga terjadi kebocoran sekecil apapun, cepat terdeteksi,
sehingga bisa dilakukan pencegahan.
Demikian pula hukum ditegakkan secara maksimal tanpa pandang bulu dan
strata sosial. Dengan kondisi tersebut, keungan Negara bisa diberdayakan
sebesar-besarkan untuk kepentingan pembangunan nasional, sehingga
Amerika Serikat, menjadi negara maju dan superpower seperti sekarang ini.
Belajar dari kondisi tersebut, sudah saatnya Indonesia menerapkan system
keuangan yang transparan. Untuk mencegah terjadinya kebocoran keuangan
negara akibat korupsi.
Efek dari tidak adanya korupsi, akan menyebabkan keseimbangan dan
pemerataan pembangunan. Sehingga akan terbuka lapangan pekerjaan yang
mencukupi, sehingga setiap orang di Tanah Air akan mempunyai pekerjaan,
yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteran seluruh masyarakat
Indonesia.

27

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam makalah ini banyak hal yang dapat kita jadikan pelajaran bagi
pembaca pada umumnya dan khususnya bagi penulis.Berdasarkan pembahasan
dan penelaahan pada makalah ini maka penulis dapat menyimpulkan beberapa
hal:
1. Konstitusi diartikan sebagai peraturan yang mengatur suatu negara, baik
yang tertulis maupun tidak tertulis. Konstitusi memuat aturan-aturan
pokok (fundamental) yang menopang berdirinya suatu negara.
2. Antara negara dan konstitusi mempunyai hubungan yang sangat erat.
Karena melaksanakan konstitusi pada dasarnya juga melaksanakan dasar
negara.
3. Pancasila sebagai alat yang digunakan untuk mengesahkan suatu
kekuasaan dan mengakibatkan Pancasila cenderung menjadi idiologi
tertutup, sehingga pancasila bukan sebagai konstitusi melainkan UUD
1945 yang menjadi konstitusi di Indonesia.

28

B. Saran
Setelah menyimpulkan hasil pembahasan dari makalah ini berdasarkan
teori-teori yang ada, maka penulis mencoba untuk memberikan masukan atau
saran sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah, kami menyarankan agar berhati-hati dalam melakukan
perubahan ataupun melaksanakan Undang-Undang agar tetap terjalin
keselarasan antara Dasar Negara dan Konstitusi.
2. Bagi pembaca, penulis menyarankan agar dapat mengambil hal-hal positif
dari makalah ini untuk pembelajaran dan lebih banyak membaca buku
yang berkaitan dengan Dasar Negara dan Konstitusi agar lebih memahami
makna dari kedua hal tersebut.
Demikianlah makalah Konstitusi Negara Indonesia kami tulis dengan
harapan dapat menjadi manfaat bagi setiap pembaca khususnya penulis. Bila ada
kesalahan dalam penulisan makalah ini kami memohon maaf, karena kebenaran
datangnya dari Allah sedangkan kesalahan datangnya dari kami pribadi selaku
penulis.

29

DAFTAR PUSTAKA

Sunarso dkk. 2013. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: UNY

Press.
Asshiddiqie,Jimly.Konstitusi

dan

Jakarta:Sinar Grafika.2010
Mahfud,Moh.Amandemen

konstitusi

Konstitusionalisme
Menuju

Indonesia.
Reformasi

TataNegara.Yogyakarta:UII Press

30

You might also like