Professional Documents
Culture Documents
JURNAL PURIFIKASI
Terbit 2 kali setahun pada bulan Juli dan Desember. Memuat artikel teknologi dan manajemen di
bidang ilmu Teknik Lingkungan dan ilmu lain yang terkait dengan bidang Teknik Lingkungan.
ISSN 1411-3465
Ketua Penyunting
Ellina Sitepu Pandebesie
Dewan Penyunting
Wahyono Hadi (Institut Teknologi Sepuluh Nopember)
Tri Padmi (Institut Teknologi Bandung)
Lieke Riadi (universitas Surabaya)
Joni Hermana (Institut Teknologi Sepuluh Nopember)
Arief Sabdo Yuwono (Institut Pertanian Bogor)
Penyunting Pelaksana
Alia Damajanti
Welly Herumurti
Alamat Penyunting:
Ruang Divisi Jurnal Purifikasi Jurusan Teknik Lingkungan
Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111
Telepon: (031) 5948886 Faksimil: (031) 5928387
Website: http://purifikasi.org/ dan e-mail: purifikasi@its.ac.id
Jurnal Purifikasi diterbitkan sejak Januari 2000 oleh Divisi Jurnal Purifikasi
Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Bekerja sama dengan Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Teknik Lingkungan Indonesia (IATPI)
Jawa Timur
Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah
diketik di kertas HVS ukuran A4 dengan format seperti tercantum pada halaman kulit dalambelakang (Pedoman Penulisan). Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman
format, istilah, dan tata cara lainnya.
ISSN 1411-3465
JURNAL PURIFIKASI
Volume 13 Nomor 2, Desember 2012
Daftar Isi
Hal.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
PENINGKATAN
EFISIENSI
PENYISIHAN
BIOLOGICAL
OXYGEN DEMAND (BOD) DAN TOTAL SUSPENDED SOLID
(TSS) PASCA ANAEROB BERSEKAT DENGAN PROSES AERASI
Nur Indradewi Oktavitri, Nita Citrasari, Agoes Soegianto,
Sumarti Rusdiana, dan Kokoh Wahyu Adillah
1-8
9 - 16
17 - 24
25 - 33
34 - 45
46 - 57
58 - 66
AKLIMATISASI
MIKROALGA
HIJAU
DALAM
LIMBAH
PETERNAKAN UNTUK MENINGKATKAN PENYISIHAN NUTRIEN
DAN PRODUKSI LIPIDA
Irhamni, Elvitria, dan Vera Viena
67 - 74
PENGOLAHAN
AIR
MENGGUNAKAN
MEMBRAN
ULTRAFILTRASI SEBAGAI UPAYA MENDUKUNG GERAKAN
NASIONAL MENGATASI KRISIS AIR BERSIH
Selastia Yuliati
75 87
88 - 95
1. PENDAHULUAN
Air limbah restoran/kantin pada umumnya
langsung dibuang ke badan air, padahal
memiliki beban organik yang tinggi. Badan
air yang menerima air limbah berbadan
organik
tinggi
dapat
menyebabkan
eutrofikasi. Beban air limbah yang tinggi
menurut Foresti et al., (2006), menyatakan
bahwa
proses
anaerob
memiliki
kemampungan pengurangan kandungan bahan
organik dalam jumlah yang besar (di
atas 200 mg/L). Sedangkan Herlambang
(2002) berpendapat bahwa proses aerobik
biasanya digunakan untuk air limbah dengan
BOD yang tidak terlalu besar. Seperti halnya
Chen dan Lo (2006) mengolah air limbah
restoran memiliki Biological Oxygen Demand
(BOD) influen-nya hanya 165 mg/l dengan
proses aerasi. Di lain pihak, pengolahan
anaerob dapat meningkatkan kandungan
fosfat dan nitrat dalam air limbah yang
dihasilkan dari proses penguraian bahan
organik. Sedangkan
proses aerob dapat
menurunkan kandungan fosfat dan nitrat
tetapi tidak dapat untuk berbahan organik
tinggi. Menurut Gaparikov et al., (2005),
kombinasi
keduanya
dapat
mengisi
kelemahan dari tiap proses.
Penelitian ini melakukan inovasi tersebut
berupa kombinasi anaerob bersekat-aerob
agar efisiensi yang lebih tinggi dibanding
anaerob bersekat saja. Maka dari itu
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
kemampuan efisiensi pengolahan anaerob
bersekat saja dibanding anaerob bersekataerob dari air limbah kantin dibanding
efisiensi pengolahan anaerob bersekat-aerob.
Air limbah kantin Fakultas Saintek memiliki
BOD cukup besar yaitu BOD rata-rata lebih
besar dari 200 mg/l (Oktavitri et al., 2010)
sehingga tepat untuk menguji kemampuan
pengolahan anaerob bersekat dengan atau
tanpa ditambahkan proses aerasi untuk
mendegradasi BOD dan Total Suspended
Solid (TSS). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui performa efisiensi penyisihan unit
Freeboard
5
10
5
5
Hari
ke-7
14
21
28
Ekualisasi
Anaerob
bersekat
Anaerob
bersekat-Aerob 321.49
335.83
167.92 3297.35
Konsentrasi BOD
(mg/L)
Selisish
Konsentrasi
Ekualisasi-Anaerob
bersekat
Har
i
ke7
14
21
28
36.6
Selisih Konsentrasi
Ekualisasi-Anaerob 170.0
bersekat Aerob
Konsentrasi BOD
yang tidak terurai
jika TANPA Proses 133.4
Aerob
951.5
2895.6 2177.9
persentase
120.0
100.0
80.0
60.0
40.0
20.0
0.0
14
21
28
Anaerob bersekat
7.4
56.2
42.5
41.2
Anaerob bersekatAerob
34.6
88.6
96.9
64.6
10000.00
9000.00
8000.00
7000.00
6000.00
5000.00
4000.00
3000.00
2000.00
1000.00
0.00
Hari ke-7
14
21
28
Ekualisasi
445.00
9290.00
5027.50
356.67
Anaerob bersekat
314.17
325.83
195.00
158.33
Anaerob bersekat-Aerob
288.89
225.56
156.67
111.11
10000.0
9000.0
8000.0
7000.0
6000.0
5000.0
4000.0
3000.0
2000.0
1000.0
0.0
Hari
ke-7
14
21
28
Selisish Konsentrasi
Ekualisasi-Anaerob
bersekat
130.8
8964.2
4832.5
198.3
Selisih Konsentrasi
Ekualisasi-Anaerob
bersekat Aerob
156.1
9064.4
4870.8
245.6
25.3
100.3
38.3
47.2
100.0
80.0
60.0
40.0
20.0
0.0
14
21
28
Anaerob
bersekat
29.4
96.5
96.1
55.6
Anaerob
bersekatAerob
35.08
97.57
96.88
68.85
10
1. PENDAHULUAN
UBEP Tanjung merupakan salah satu unit
bisnis
PT
Pertamina
EP
yang
menyelenggarakan kegiatan usaha sektor hulu
bidang minyak dan gas bumi di Kabupaten
Tabalong Kalimantan Selatan. Dalam
operasinya, PT Pertamina UBEP Tanjung
selain memproduksi 131 barel minyak per
hari (PT Pertamina, 2012) juga menghasilkan
beberapa jenis limbah yang salah satunya
berupa limbah lumpur berminyak (oily
sludge) dari operasional Waste Pit sebanyak
2,33 m/hari (Mizwar dan Rohman, 2010)
yang hanya ditimbun dalam kolam
penampung dan menumpuk selama bertahuntahun. Lumpur tersebut merupakan akumulasi
dari proses pengendapan komponen limbah
cair yang mayoritas terkumpul pada unit
sedimentasi dan bak ekualisasi pada proses
pengolahan limbah cair pengeboran dan
perawatan sumur (acidizing, fracturing dan
cementing).
Menurut PP No. 18 Tahun 1999 dan PP No.
85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), limbah
lumpur berminyak termasuk kedalam daftar
Limbah B3 dengan kode D220. Kandungan
terbesar dalam limbah lumpur berminyak
adalah
petroleum
hydrocarbon
(PT
Pertamina, 2001) dan logam berat (Prasetya et
al., 2006; Budiarjo, 2007) yang dapat diolah
melalui proses stabilisasi/solidifikasi berbasis
semen (Karamalidis dan Voudrias, 2007).
Stabilisasi/ solidifikasi diyakini dapat
membatasi pergerakan unsur dan senyawa B3 dengan membentuk ikatan massa monolit
dengan struktur yang kekar (Spence dan Shi,
2006).
Mekanisme utama dalam pengikatan logam
berat dalam limbah lumpur berminyak oleh
semen adalah melalui proses adsorpsi,
absorpsi, pengendapan, pertukaran ion,
macroencapsulation, microencapsulation dan
pembentukan kompleks (Abbassa et al., 2010).
Untuk meningkatkan nilai manfaatnya, limbah
METODA
11
Tabel 2. Hasil Analisis Kandungan Logam
Berat Dalam Limbah Lumpur Berminyak
Pasir
Semen
A-1
24
56
20
A-2
32
48
20
A-3
40
40
20
B-1
27
63
B-2
36
B-3
Parameter
Satuan
Hasil
Analisis
Baku
Mutu
Arsen (As)
mg/l
Barium (Ba)
mg/l
100
10
Cadmium (Cd)
mg/l
0.5
54
10
Chromium (Cr)
mg/l
45
45
10
Copper (Co)
mg/l
10
C-1
25
60
15
Lead (Pb)
mg/l
C-2
34
51
15
C-3
43
42
15
Mercury (Hg)
mg/l
0.05
0.2
SNI
80
20
Selenium (Se)
mg/l
PS
90
10
Silver (Ag)
mg/l
Zinc (Zn)
mg/l
50
12
KODE
A-1
#1
9.18
#2
9.20
#3
9.17
Rerata
9.18
A-2
7.80
7.83
7.78
7.80
A-3
7.78
7.81
7.79
7.79
B-1
8.59
8.60
8.62
8.60
B-2
7.74
7.76
7.77
7.76
B-3
7.40
7.43
7.42
7.42
KODE
C-1
7.84
7.81
7.83
7.83
A-1
3.59
C-2
7.70
7.69
7.72
7.70
A-2
2.55
2.56
2.55
2.55
C-3
7.55
7.53
7.55
7.54
A-3
2.48
2.50
2.48
2.49
SNI
10.43
10.40
10.45
10.43
B-1
3.30
3.30
3.31
3.30
PS
8.88
8.89
9.00
8.92
B-2
2.55
2.55
2.56
2.55
B-3
1.90
2.00
2.00
1.97
C-1
2.77
2.78
2.77
2.77
2.48
2.47
2.48
2.48
C-3
2.22
2.25
2.23
2.23
SNI
4.52
4.50
4.55
4.52
PS
5.25
5.25
5.23
5.24
Porositas (%)
#2
#3
3.61
Rerata
3.60
3.60
9.00
8.00
7.00
1
9.18
7.80
7.79
8.60
7.76
7.42
7.83
7.70
7.54
4.00
Porositas (%)
10.00
3.50
3.00
2.50
2.00
1.50
1
3.60
2.55
2.49
3.30
2.55
1.97
2.77
2.48
2.23
#2
#3
Rerata
A-1
2.55
2.56
2.55
2.55
A-2
2.15
2.17
2.18
2.17
A-3
2.09
2.10
2.08
2.09
B-1
2.35
2.35
2.34
2.35
B-2
2.08
2.07
2.07
2.07
B-3
1.88
1.87
1.87
1.87
C-1
2.25
2.25
2.24
2.25
C-2
1.97
1.97
1.99
1.98
C-3
1.98
1.99
1.99
1.99
SNI
2.87
2.88
2.88
2.88
PS
3.81
3.81
3.83
3.82
3.00
2.50
2.00
13
Hasil pengukuran densitas seperti terlihat
pada Tabel 6 dan Gambar 4 menunjukkan
bahwa seluruh sampel memiliki nilai densitas
yang lebih rendah daripada bata beton
berlubang standar SNI maupun PS. Nilai
densitas rata-rata sampel berkisar antara 1,11
1,38 gr/cm, sedangkan standar PU 1,56
gr/cm, dan PS 3,81 gr/cm.
Gambar 4 menunjukkan bahwa densitas
sampel bata beton berlubang semakin kecil
seiring dengan peningkatan jumlah limbah
lumpur yang digunakan. Nilai densitas akan
mempengaruhi berat total perluasan pasangan
dinding yang secara langsung akan
mempengaruhi konstruksi bangunan pada saat
bata beton berlubang diaplikasikan di
lapangan.
Hasil uji kuat tekan sampel bata beton
berlubang sebagaimana disajikan pada Tabel
7 dan Gambar 5 menunjukkan bahwa seluruh
sampel memiliki kuat tekan yang lebih rendah
daripada standar SNI. Kuat tekan sampel
berkisar antara 13,33 35,11 kg/cm,
sedangkan standar PU 44,45 kg/cm, dan PS
25,92 kg/cm.
Tabel 6. Hasil Uji Densitas
1.50
1
2.55
2.17
2.09
2.35
2.07
1.87
2.25
1.98
1.99
Densitas (gr/cm)
KODE
#1
#2
#3
Rerata
A-1
1.37
1.38
1.38
1.38
A-2
1.17
1.19
1.17
1.18
A-3
1.12
1.14
1.16
1.14
B-1
1.29
1.27
1.29
1.28
B-2
1.19
1.15
1.17
1.17
B-3
1.09
1.11
1.13
1.11
C-1
1.17
1.17
1.19
1.18
C-2
1.14
1.16
1.17
1.16
C-3
1.14
1.13
1.13
1.13
SNI
1.55
1.56
1.58
1.56
PS
1.33
1.33
1.35
1.34
Densitas (gr/cm)
1.60
1.40
1.20
1.00
1
1.38
1.18
1.14
1.28
1.17
1.11
1.18
1.16
1.13
#2
#3
Rerata
A-1
34.67
36.00
34.67
35.11
A-2
30.22
28.00
28.44
28.89
A-3
15.56
14.67
15.33
15.19
B-1
22.22
22.67
21.33
22.07
B-2
22.67
21.33
23.11
22.37
B-3
13.33
12.89
13.78
13.33
C-1
27.56
29.78
28.89
28.74
C-2
25.33
24.44
28.89
26.22
C-3
14.22
13.33
14.67
14.07
SNI
43.56
46.67
43.11
44.45
PS
26.22
25.33
26.22
25.92
14
40.00
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
1
35.11
28.89
15.19
22.07
22.37
13.33
28.74
26.22
14.07
15
A-1
A-2
C-1
C-2
Baku
Mutu
mg/l
< 0.002
< 0.002
< 0.002
< 0.002
mg/l
0.04
0.05
0.04
0.055
100
mg/l
< 0.006
< 0.006
< 0.006
< 0.006
mg/l
< 0.015
< 0.015
< 0.015
< 0.015
mg/l
tt
tt
tt
tt
10
mg/l
0.0089
0.0091
0.009
0.0091
mg/l
0.00031
0.00033
0.00028
0.00033
0.2
mg/l
tt
tt
tt
tt
mg/l
tt
tt
tt
tt
mg/l
0.083
0.085
0.079
0.09
50
Satuan
4. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa; (1) bata
beton berlubang yang dihasilkan memiliki
berat, porositas, serapan air, dan densitas yang
lebih rendah daripada bata beton berlubang
standar SNI maupun pasaran, (2) semua bata
beton berlubang yang dihasilkan memenuhi
baku mutu TCLP berdasarkan PP No.85 tahun
1999, dan (3) kuat tekan bata beton berlubang
dengan komposisi lumpur:pasir:semen sebesar
24%:56%:20% memenuhi kualifikasi mutu
tingkat II SNI 03-0349-1989 sehingga dapat
digunakan untuk konstruksi yang memikul
beban, tetapi penggunaannya hanya untuk
konstruksi yang terlindung dari cuaca luar.
DAFTAR PUSTAKA
Abbasa, Z.T.; Maqsooda; M.F. Alib (2010).
The Demetallization of Residual Fuel Oil
and Petroleum Residue. Petroleum Science
and Technology. 28 (17). 1770 - 1777.
16
Beton.
Abstract
Domestic activities, industry and agriculture are causing many of the rivers in Indonesia have been
contaminated by organic wastewater. It causes the water hyacinth thrive in water sources such as
rivers and lakes. The purpose of this study was to determine the rate of decrease in organic carbon
content to produce biogas which can be used as an alternate, energy. Experiments conducted on three
reactors, two test reactor (reactor A and B) and one control reactor (reactor C). Raw materials as
much as 15 kilograms of water hyacinth per reactor. A reactor was added Microorganisms M-16 and
stirring. Reactor B was added Microorganisms M-16 and without stirring. Stirring is done ten rounds
with a 360 rotating drum every day. The study was conducted over 60 days. The parameters
analyzed were temperature, moisture content, pH and gas production were measured every day.
Carbon and nitrogen were measured every 5 days. The results showed a decrease in the carbon
content of 2.7 faster Reactor A and Reactor B Reactor 2 is faster than C. Formation of biogas in the
reactor A 1.8 more than the reactor C and B Reactor 1.4 more than on Reactor C.
Keywords: composting, microorganisms M-16, stirring, water hyacinth
18
1.
PENDAHULUAN
19
Perlakuan
Pengadukan dan
Penambahan
Mokroorganisma
Penambahan
mikroorganisma
1.
Enceng
gondok
bertangkai
Gambar
panjang
2.
Enceng
gondok
bertangkai
20
30
Kadar C (%)
25
Reaktor
A
Reaktor
B
Reaktor
C
20
15
10
5
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Waktu Pengamatan ke-
menunjukkan
bahwa
pengadukan
berpengaruh pada laju pengomposan, dimana
pengadukan dapat meratakan mikroorganisme
dan suhu ke seluruh bagian sampel.
Penurunan kandungan C organik diikuti
penurunan kandungan air seperti yang dapat
dilihat pada Gambar 2. Mikroorganisme
memanfaatkan air untuk aktivitasnya. Reaksi
biokimia akibat aktivitas mikroorganisme
yang terjadi dalam proses pengomposan
meningkatkan suhu proses. Air yang
terbentuk pada proses ini, sebagian terdapat
dalam bentuk uap air, air yang tertahan dalam
timbunan bahan baku dan sebagian lagi
membentuk lindi. Lindi yang terbentuk
dialirkan ke luar reaktor.
Tingkat kematangan kompos salah satunnya
ditunjukkan oleh kadar air yang mendekati
angka 50-60% (SNI, 2004). Pada penelitian
ini kadar air belum mencapai standar SNI. Hal
ini disebabkan sebagian lindi yang terbentuk,
tertahan di dalam reaktor. Karena itu, untuk
memperoleh hasil kompos yang dihasilkan
masih perlu proses pematangan, untuk
menstabilkan kompos dan mengurangi kadar
airnya.
Pengaruh Suhu Terhadap
Kandungan C organik.
Penurunan
30
80
20
70
15
60
50
10
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Waktu Pengomposan (hari)
Reaktor A
Reaktor C
Reaktor B
Reaktor B
Reaktor A
Reaktor C
30
40
25
30
20
20
15
10
25
90
50
Suhu (C)
100
21
10
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Waktu Pengomposan (hari)
Reaktor A
Reaktor C
Reaktor B
Reaktor B
Reaktor A
Reaktor C
Pengaruh pH Terhadap
Kandungan C organik
Penurunan
22
10
9
8
25
pH
30
20
7
6
15
5
4
10
0
12
11
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Waktu Pengomposan (hari)
Reaktor A
Reaktor B
Reaktor C
Reaktor A
Reaktor B
Reaktor C
30
300
Gas (mL)
200
20
150
100
15
50
0
25
250
10
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Waktu Pengomposan (hari)
Reaktor A
Reaktor B
Reaktor C
Reaktor A
Reaktor B
Reaktor C
350
23
50
40
Reaktor A
30
Reaktor B
20
Reaktor C
10
0 1 2 3 4 5 6 7 8 910111213
Waktu Pengamatan ke-
4. KESIMPULAN
Pada penelitian ini diperolah hasil bahwa
penambahan
mikroorganisma
dan
pengadukan dapat
meningkatkan laju
pengomposan enceng gondok. Reaktor A
lebih cepat di dalam pengomposan karena
dapat menurunkan karbon dan nitogen dalam
rasio C/N dengan 2,7 kali dan Reaktor B 2
kali lebih cepat dibandingkan dengan Reaktor
C. Sedangkan dari pembentukan gasnya
24
26
1. PENDAHULUAN
Jutaan sampah dibuang ke lingkungan setiap
harinya. Sebagian besar sampah ditumpuk
dalam bentuk landfill di permukaan tanah,
dibuang ke sungai atau laut tanpa penenganan
terlebih dahulu. Sampah merupakan masalah
yang paling serius terutama untuk daerah
perkotaan yang berpenduduk padat. Salah satu
penanganan sampah dapat dilakukan melalui
proses pembakaran di dalam sebuah
incinerator (alat pembakaran sampah).
Gas-gas hasil pembakaran sampah dalam
incinerator unumnya mengandung: (1) debu;
(2) gas-gas seperti sulfur dioksida (SO2),
nitrogen oksida (NOx), carbon monoksida
(CO), asam hydroklorik; (3) dan logam-logam.
Semua gas-gas tersebut di atas sangat
berbahaya karena dapat berekasi dengan
radikal bebas di udara membentuk asam yang
dapat menyebabkan terjadinya hujan asam dan
penipisan
lapisan
ozone
sehingga
menyebabkan terjadinya panas global bumi
serta dapat menyebabkan berbagai penyakit
seperti iritasi pernapasan, batuk dan
sebagainya yang dapat meningkatkan angka
kematian.
Berbagai teknologi proses penyisihan gas hasil
pembakaran telah dilakukan. Proses yang
umum digunakan adalah proses kering dan
proses basah. Penggunaan proses kering
mempunyai beberapa keunggulan dari proses
basah antara lain: (1) murah; (2) mudah
penanganan; dan (3) tidak menghasilkan
limbah cair. Salah satu proses pemisahan gas
secara kering yang efektif, sederhana, mudah
penanganan dan murah adalah menggunakan
reaktor bag filter dengan menggunakan
absorbent Ca(OH)2. Namun demikian proses
ini juga mempunyai beberapa kelemahan
antara lain adalah rendahnya konversi sorbent
dan effisiensi pemisahan gas (Mariana et al.,
2003; Seno et al., 1996; Uchida et al., 1979).
Untuk meningkatkan efisiensi pemisahan gas
dan meningkatkan reaktifitas sorbent (konversi
kalsium), berbagai variasi bahan tambahan
(additive) dapat ditambahkan ke dalam
D.E.
Slurring
27
28
1. Ca(OH)2 + additive
2. Water
5
3. Mixer
4. Water bath
5. Heater
6. Magnetic stirrer
2
3
6
sampah
Kompresor
Fixed Bed
Reactor
Inpektor
Analisa
29
CO(g)+Ca(OH)2(s) Ca(CO)3(s)+H2(g)..(1)
Karbonmonoksida dioksidasi dan berlaku
sebagai donor electron selama pertumbuhan
berbagai bakteri Clostridia.
30
Spesies
seperti
Carboxydomonas,
Hydrogennomonas, Bacillus dan bakteri
pengoksidasi tanah dapat mengoksidasi gas
CO menjadi CO2 (Hubley, 1974).
CO(g)+1/2O2(g) CO2(g) ..(4)
Di samping hal tersebut di atas penyerapan gas
SO2, CO dan HC lebih tinggi menggunakan
modifikasi sorbent Ca(OH)2/DE/kompos
dikarenakan porositas sorbent Ca(OH)2+DE
lebih besar dibandingkan sorbent Ca(OH)2
murni. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisa
SEM yang ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6 menunjukkan bahwa porositas
Terhadap
31
(a)
(b)
32
Pengaruh
Temperatur
Konsentrasi Gas yang Terserap
Terhadap
60
DE
50
Kompos
4. KESIMPULAN
Ca(OH)2 + DE
40
DAFTAR PUSTAKA
30
20
10
0
0
25
50
75
100
125
150
STemperatur (T)
33
1. PENDAHULUAN
Kebisingan ditimbulkan oleh berbagai sumber
bising, antara lain: kegiatan transportasi,
kegiatan industri, kegiatan perdagangan dan
lain-lain. Di daerah urban seperti Surabaya,
kebisingan lalu lintas merupakan penghasil
bunyi yang paling banyak menyumbang
kebisingan.
Kebisingan
yang
tidak
dikendalikan akan menyebabkan dampak
negatif. Dalam jangka pendek, kebisingan
dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada
penerimanya dan dalam jangka panjang akan
menyebabkan berbagai kerusakan fisik
maupun mental bagi penerimanya.
Hal ini tidak terkecuali terjadi di Jalan Raya
Mulyosari (Surabaya Timur). Perkembangan
ruko di Jalan Raya Mulyosari sangat pesat,
sehingga meningkatkan volume kendaraan
yang melintas di sepanjang Jalan Raya
Mulyosari. Hal ini dapat mengakibatkan
meningkatnya kebisingan, tingkat kebisingan
yang terjadi 77,39 dB(A) (Podallah, 2011).
Nilai tersebut menunjukan bahwa tingkat
kebisingan di Jalan Raya Mulyosari sudah
melebihi dari baku mutu menurut Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No.48
Tahun 1996, yaitu 55 dB(A) untuk area
pemukiman dan 65 dB(A) untuk area
perdagangan.
Untuk mengurangi kebisingan dapat dibangun
barier. Barrier dapat berupa pagar, dinding,
tanggul (gundukan tanah), tanaman yang
rimbun atau bangunan antara sumber bising
dengan penerima. Salah satu faktor yang
mempengaruhi efisiensi barrier dalam
mereduksi kebisingan adalah tinggi barrier
dan jarak barrier ke sumber bunyi (Bies,
2009). Ruko dapat berfungsi sebagai
bangunan penghalang kebisingan (barrier)
yang memisahkan antara sumber bising dan
tempat-tempat yang sensitif terhadap bising
(rumah sakit, pemukiman dan sekolah).
Menurut Raichel (2006).
Efektifitas pemanfaatan suatu barrier untuk
mereduksi kebisingan, perlu dilakukan sebuah
35
36
Keterangan:
1.1, 1.2, dan 1.3 Sumber
2, 3, 4, 5, 6, dan 7: Penerima
37
Sumber
Penerima
(dB)A))
Ket
1,1
13,2
Celah
1,2
19,1
Belakang ruko
1,3
9,5
Celah
1,1
14,0
Belakang ruko
1,2
21,0
Belakang ruko
1,3
8,5
Celah
1,1
11,8
Celah
1,2
14,1
Belakang ruko
1,3
4,4
Celah
R. Circle K
(5-9m)
R. Martabak Alim
(9-13 m)
Holland
(13-16m)
Titik
Ruko
Sumber
Penerima
Keterangan
(dB)
R. Parahita
1,1
6,5
Celah
(0-4m)
1,2
17,3
Belakang Ruko
1,3
2,9
Celah
R. BRI
1,1
17,8
Belakang Ruko
(4-8m)
1,2
18,2
Belakang Ruko
1,3
17,5
Belakang Ruko
R. Melawai
1,1
8,4
Celah
(8-12m)
1,2
14,1
Belakang Ruko
1,3
10,9
Celah
Tabel 3. Attenuasi Bunyi karena Jarak di Ruko dengan Variabel Ketinggian Ruko
Titik
Ruko
R. Circle K
(0-4m)
R.Martabak
Alim
(4-8m)
R. Holland
(8-12m)
SL
Jarak
SL 1
SL 2
r1
r2
Attenuasi
Sumber
Penerima
(dB(A))
(dB(A))
(m)
(m)
(dB)
1,1
73,3
60,9
3,0
51,9
12,4
1,2
75,3
63,0
3,0
49,9
12,2
1,3
73,8
60,7
3,0
60,4
13,0
1,1
74,9
61,6
3,0
60,2
13,3
1,2
75,4
62,7
3,0
55,4
12,3
1,3
75,2
62,1
3,0
60,4
13,0
1,1
73,7
61,8
3,0
46,7
11,9
1,2
72,8
61,1
3,0
44,5
11,7
1,3
74,2
62,2
3,0
46,9
11,9
Tabel 4. Attenuasi Bunyi karena Jarak di Ruko dengan Variabel Jarak Ruko-Jalan
38
Titik
Ruko
R. Parahita
(0-4m)
R. BRI
Mulyosari
(4-8m)
R. Melawai
(8-12m)
SL
Jarak
SL 1
SL 2
r1
r2
Attenuasi
Sumber
Penerima
(dB(A))
(dB(A))
(m)
(m)
(dB)
1,1
72,6
56,9
3,0
58,7
12,9
1,2
71,3
58,3
3,0
59,9
13,0
1,3
72,7
60,0
3,0
55,1
12,6
1,1
76,1
64,2
3,0
47,0
11,9
1,2
73,5
61,4
3,0
48,4
12,1
1,3
71,3
59,3
3,0
47,3
12,0
1,1
71,3
59,3
3,0
47,9
12,0
1,2
72,4
60,4
3,0
47,0
11,9
1,3
71,8
59,6
3,0
48,8
10,9
39
Tabel 5. Presentase (%) Reduksi Kebingan dengan Variabel Ketinggian dan Jarak Ruko
Titik
Sumber
Penerima
I (dB)
Attenuasi
(dB)
%
Reduksi
1,2
19,1
12,2
56,0
1,1
14,0
13,3
5,0
R. Martabak Alim
1,2
21,0
12,7
65,9
R. Holland (13-16m)
1,2
14,1
11,7
20,6
1,1
14,0
13,3
5,0
1,2
1,3
21,0
12,7
65,9
1,2
14,1
11,7
20,6
Ruko
Variabel Tinggi
R. Circle K (5-9m)
Variabel Jarak
Parahita (0-4 m)
BRI (4-8 m)
Melawai (8-12 m)
Tinggi
(m)
7,8
9,63
21,0
18,7
7,8
6,89
19,1
16,8
Ruko Holland
7,8
13,59
14,1
19,8
Variabel Jarak
BRI Mulyo
6,04
7,5
18,2
17,5
Melawai
9,4
7,5
14,1
16,5
Parahitha
3,94
7,5
14,3
18,2
Ruko
Variabel Tinggi
Ruko M.Alim
Ruko Circle K
Mulyo
Reduksi Kebisingan
Lapangan
Fresnel
(dB)
(dB)
40
41
Tabel 7 Perbandingan Besar Attenuasi Bunyi karena Jarak dan tinggi Antara Kondisi
di Lapangan dengan Rumus Fresnel
Ruko
Variabel Tinggi
Ruko M.Alim
Ruko Circle K
Mulyo
Ruko Holland
Variabel Jarak
Melawai
Parahitha
Reduksi Kebisingan
Lapangan
Fresnel
(dB)
(dB)
sumber
Penerima
8,5
13,0
13,2
12,4
9,5
13,0
11,8
11,9
4,4
11,9
1,1
8,4
12,0
1,3
10,9
10,9
1,1
6,5
12,9
1,3
2,9
12,6
42
43
44
Prasetio,
Lea.2003.Akustik.
FMIPA-ITS
Surabaya:
45
1.
PENDAHULUAN
47
48
Lahan
Terhadap
Untuk
49
Prosentase
6,46%
5,88%
1,74%
4,81%
3,43%
0,21%
0,19%
0,41%
0,51%
3,97%
2,40%
0,23%
1,86%
0,10%
1,91%
1,38%
6,65%
19,86%
10,38%
6,64%
2,79%
3,33%
2,02%
6,42%
0,64%
5,80%
100,00%
Nasional
94.820
82.377
4.802
61.664
2.099
2.540
1.400
10.015
36.449
19.769
3.370
31.640
117
13.085
3.970
62.299
84.402
148.001
98.515
23.150
6.594
17.350
52.617
18.125
879.170
Regional
16.200
25.609
12.180
3.517
5.824
1.481
640
1.148
18.793
11.722
1.130
111
499
16.649
11.450
19.875
13.500
56.287
16.940
27.925
5.835
14.450
39.613
25.520
346.898
Lokal
16.030
16.030
50
51
Ketinggian
Kriteria Skor
& pembobotan
Kelerengan
Kriteria Skor
& pembobotan
Curah Hujan
Guna Lahan
Zona rawan
luapan
Jenis Tanah
Kriteria Skor
& pembobotan
Kriteria Skor
& pembobotan
Model
Konseptual
Penentuan
Kawasan
Aplikasi
GIS
Aplikasi
Wilayah
Kawasan
sangat
rawan
Kawasan
Rawan
Kawasan
Menengah
Kawasan
Kriteria Skor
& pembobotan
Kriteria Skor
& pembobotan
Kelerengan
Jenis Tanah
Intensitas
Hujan
Model
Penentuan
Peruntukkan
lahan
Aplikasi
Konversi
GIS
Kawasan
Budidaya
Kawasan
Lindung
52
Luasan (km2)
Prosentase
3,32
2,13
0,06
5,51
60,25 %
38,66 %
1,09 %
100,00 %
53
Kelerengan
(sumber: kepmentan
no.837 th 1980)
Curah Hujan
(sumber: kepmentan
no.837 th 1980
Guna Lahan
(sumber: PP no.47 th
97dan Asdak,1995)
Atribut
Keterangan
Skor
< 1,68m
1,68-10m
10-50m
50-100m
>100m
<2%
2-15%
15-25%
25-45%
>45%
> 3,48 mm/hari hujan
2,77 3,48 mm/hari hujan
2,07 2,77 mm/hari hujan
1,36 2,07 mm/hari hujan
<1,36 mm/hari hujan
pertambangan
industri
Residential Area
tegalan
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
3
54
Jenis Variabel
Atribut
Keterangan
Skor
pertanian
hutan
Dalam zona sungai kecil (<30m)
Di luar zona sungai kecil (<30m)
Dalam zona sungai besar (>30m)
Di luar zona sungai besar (>30m)
Alluvial, Tanah Glei, Panasol,
Hidromorf Kelabu
Lateria Air Tanah
Latosol, Andosol, Lateritic, Gromosol,
Podsolik
Regosol, Litosol, Organosol, Renzina
c = 0,3
c = 0,05
Lebar sempadan0-50m
Lebar sempadan > 50m
Lebar sempadan0-100m
Lebar sempadan>100m
Daya serap sangat rendah
Daya serap rendah
Daya serap sedang
Daya serap tinggi
Daya serap sangat tinggi
2
1
5
1
5
1
5
4
3
2
1
Peta DEM
Peta Kelerengan
Peta Curah Hujan
Zona Rawan
Luapan
Jenis Tanah
Penggunaan Lahan
Peta Kelerengan
Peta Jenis Tanah
Peta Curah Hujan
MODEL HIDROLOGI
Data Fisik DAS
Rekaya
sa
Skoring&Pembobotan
Tak
sesuai
Aplikasi HEC-HMS
Overlay &
Penjumlahan
Skoring&Pembobotan
validasi
Aplikasi HEC-RAS
Overlay&
Penjumlahan
Meluap
Kapasitas sungai
Tak
sesuai
Menampung
KAWASAN RAWAN
BANJIR
PERUNTUKKAN
LAHAN
PROPORSI LAHAN
OPTIMAL
55
Gambar 5. Perbandingan peruntukkan lahan ideal guna lahan tahun 2010 di kota Samarinda
Tabel 3. Penggunaan Lahan yang Tidak sesuai di Kota Samarinda
Guna Lahan
Permukiman
Industri
Pertambangan
TOTAL
Luas(ha)
2.528,90
220,08
27.915,39
30.664,37
Luas (Km2)
17,28
11,27
39,05
15,17
2th
275,2
214,2
525,9
362,6
5th
337,2
262,9
643,4
412,6
50th
378,5
295,4
721,5
443,7
100th
382,0
298,0
728,0
446,3
56
Luas (Km2)
Sub DAS 5
Sub DAS 6
Sub DAS 7
Sub DAS 8
Sub DAS 9
Sub DAS 10
Sub DAS 11
Sub DAS 12
Sub DAS 13
Sub DAS 14
Sub DAS 15
Sub DAS 16
Sub DAS 17
Sub DAS 18
Sub DAS 19
Sub DAS 20
Sub DAS 21
Sub DAS 22
DAS Karangmusmus
12,60
22,99
11,30
19,28
12,72
18,81
6,48
28,78
8,70
7,00
14,83
14,12
12,69
17,46
8,09
5,51
6,51
5,22
320,00
2th
159,2
427,0
229,3
393,5
303,1
331,4
157,2
527,9
341,3
221,2
242,3
376,1
265,7
387,7
183,0
132,5
93,9
132,4
1.210,7
5th
181,5
486,9
281,8
480,9
370,6
376,6
178,9
729,9
391,4
251,3
276,3
453,0
320,8
466,9
220,6
159,7
113,1
159,4
1.486,3
50th
195,4
524,2
316,5
539,3
415,7
404,7
192,4
1.057,3
422,7
270,1
297,4
600,4
426,3
619,4
292,9
210,0
149,9
211,3
1.669,2
100th
196,5
527,3
319,4
544,1
419,4
407,0
189,1
1.133,7
425,2
271,6
298,7
641,4
455,4
661,6
312,9
226,4
160,1
225,7
1.684,4
Luasan
(km2)
Prosentase
2,38
2,13
0,06
0,94
5,51
43,19 %
38,66 %
1,09 %
17,06 %
100,00 %
3. KESIMPULAN
Model
simulasi
guna
lahan
untuk
pengendalian banjir perkotaan merupakan
model yang dapat digunakan untuk
menentukan proporsi/komposisi masingmasing jenis lahan, berupa luasan lahan yang
optimal dapat menghasilkan debit sesuai
dengan kapasitas bangunan pengendali yang
ada. Secara umum faktor yang berpengaruh
terhadap tingkat kerawanan banjir adalah
ketinggian (elevasi), kelerengan (slope), curah
hujan, guna lahan, kawasan rawan luapan, dan
jenis tanah. Berdasarkan hasil dari model
penentuan kawasan rawan banjir, maka
pengaruh masing-masing faktor terhadap
kerawanan banjir yang dinyatakan dalam
persen yaitu ketinggian 40%, kelerengan
10%, curah hujan 10%, guna lahan 20%,
57
1.
PENDAHULUAN
59
60
menghambat
resistivitas).
listrik
(konduktivitas
atau
61
Koordinat
Lintang Selatan
Bujur Timur
(LS)
(BT)
Ketinggian
Jarak
dpl (m)
175
GL1
4,0300
114,6390
GL2
4,029
114,644
750
4,028
114,648
21
1100
GL4
4,073
114,6360
29
875
GL5
4,0720
114,6390
18
1200
GL6
4,007
114,643
37
1900
GL7
4,098
114,631
190
GL8
4,0900
114,6440
11
1700
GL9
4,0800
114,6570
18
3200
GL3
Gambar 2.
seperti
yang
ditampilkan
software.
Selanjutnya software dioperasikan sesuai
prosedur.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil akhir pengolahan data adalah berupa
kurva nilai resistivitas pada tiap-tiap lapisan
bumi (Gambar 3). Pada pembahasan ini hanya
ditampilkan contoh pengolahan data pada satu
titik penelitian, yakni lintasan GL1.
62
63
64
P1P2/2
R(ohm)
k (m)
Rho(Ohm.m)
1
1.5
2
2.5
3
4
5
6
6
7
8
9
10
12
15
15
20
25
30
40
50
60
60
70
80
90
100
120
150
150
200
0.2
0.3
0.3
0.3
0.3
0.3
0.3
0.3
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
3
3
3
3
3
3
3
12
12
12
12
12
12
12
30
30
9.533
7.096
3.655
2.344
1.611
0.886
0.524
0.323
1.17
0.747
0.489
0.332
0.246
0.144
0.078
0.166
0.086
0.059
0.044
0.031
0.027
0.023
0.099
0.087
0.075
0.059
0.057
0.069
0.021
0.037
0.052
7.543
11.314
20.481
32.267
46.671
83.338
130.481
188.100
45.257
62.281
81.924
104.186
129.067
186.686
292.757
113.143
204.810
322.667
466.714
833.381
1,304.810
1,881.000
452.571
622.810
819.238
1,041.857
1,290.667
1,866.857
2,927.571
1,131.429
2,048.095
71.906
80.286
74.858
75.633
75.188
73.838
68.372
60.756
52.951
46.524
40.061
34.590
31.750
26.883
22.835
18.782
17.614
19.037
20.535
25.835
35.230
43.263
44.805
54.184
61.443
61.470
73.568
128.813
61.479
41.863
106.501
Kedalaman
(m)
Resistivitas m
1
2
3
4
5
6
0,00 0,20
0,20 0,98
0,98 7,17
7,17 10,02
10,02 88,04
88,04 - 130
11,33
289,47
18,91
2,91
1044,08
109,47
Jenis batuan
65
Kedalaman Lapisan
(m)
88,04
Ketebalan Lapisan
(m)
41,96
GL2
750
12,03
7,36
Sedang
GL3
1100
1,51
30,93
Besar
GL4
875
4,01
10,02
Sedang
GL5
1200
3,71
17,72
Besar
GL6
1900
55,04
48,77
Besar
GL7
190
11,17
136,83
Besar
GL8
1700
7,22
13,63
Sedang
GL9
3200
12,47
116,03
Besar
Titik Lokasi
Potensi
Besar
Kedalaman Lapisan
(m)
Ketebalan Lapisan
(m)
Nilai Resistivitas
(m)
GL1
88,04
41,96
109,47
GL2
12,03
7,36
55,40
GL3
1,51
30,93
113,15
GL4
4,01
10,02
22,56 144,65
GL5
3,71
17,72
78,57 114,70
GL6
55,04
48,77
101,89 186,50
GL7
11,17
136,83
45,67 74,74
GL8
7,22
13,63
29,46 114,73
GL9
12,47
116,03
10,63 91,57
Gambar 4. Peta Kontur kedalaman air tanah di daerah pesisir Kec. Panyipatan Kabupaten Tanah
Laut Kalimantan Selatan
66
4. KESIMPULAN
Keberadaan air tanah pada sembilan titik
penelitian menunjukkan daerah pesisir di
Kabupaten Tanah Laut mempunyai potensi air
tanah yang layak untuk dimanfaaatkan
sebagai sumber air bersih.
Potensi besar sebanyak 6 titik dari 9 titik
penelitian (dengan ketebalan lapisan air di
atas 15 m), yakni berada pada titik GL1, GL3,
GL5, GL6, GL7 dan GL9. Potensi sedang
(dengan ketebalan lapisan air tanah antara 5
15 m) berada pada titik GL2, GL4 dan GL8.
Keberadaan air tanah berada pada kisaran
kedalaan 1 80 m. Lokasi yang terkena
intrusi air laut yaitu pada titik lintasanGL1
pada kedalaman 0,98-7,17 m dan titik GL7
pada kedalaman 4,85-11,17 m dengan nilai
resistivitas berturut-turut 2,91 m dan 0,44
m.
DAFTAR PUSTAKA
Teknik
68
1. PENDAHULUAN
Eutrofikasi pada badan air (misalnya danau
atau aliran sungai) dapat terjadi pada kondisi
kaya nutrien dalam sistem yang menimbulkan
perkembangan
alga
(algal
bloom).
Pertumbuhan alga yang berlebih dapat
menyebabkan penurunan pada kualitas air,
seperti; menurunnya kejernihan air, bau,
penurunan
kandungan
oksigen,
dan
kemungkinan dapat membunuh ikan. Sumbersumber nutrien tersebut dapat berasal dari
instalasi pengolahan limbah, detergen
buangan rumah tangga, septik sistem,
sedimen, kotoran ternak, dan penggunaan
pupuk komersil (Hoyle, et al., 2003).
Penggunaan mikroalga untuk pengolahan
limbah
cair
menawarkan
beberapa
keuntungan lebih daripada pengolahan limbah
secara tradisional, diantaranya dalam hal
efektifitas biaya untuk menyisihkan BOD,
Posfor, Nitrogen dan dapat menghilangkan
bakteri patogen dibandingkan sistem lumpur
aktif. Melalui proses pengolahan limbah cair
dngan alga dapat ditumbuhkan biomassa
dalam jumlah besar (Woertz, 2007). Alga
secara alamiah bekerja untuk mereduksi kadar
Nitrogen dan Posfor pada limbah cair
peternakan (Johnson, 2009). Nutrien seperti
nitrogen dan posfor dapat dihilangkan dari
limbah cair dengan beberapa cara. Cara yang
paling umum adalah dengan menghilangkan
nitrogen melalui proses denitrifikasi yang
mereduksi nitrat menjadi nitrogen gas, yang
dilepaskan ke atmosfer (Metcalf dan Eddy,
2004).
Biomassa mikroalga mengandung sejumlah
besar senyawa seperti protein dan lipid.
Mikroalga memiliki kemampuan untuk
menyerap berbagai bentuk nitrogen, dan
posfor, dimana mikroalga ini dapat
menggunakan berbagai senyawa organik,
khususnya
senyawa
eutrofik
yang
mengandung nitrogen dan posfor sebagai
sumber karbon (Lee, et al., 1998). Mikroalga
pada dasarnya memanfaatkan berbagai
senyawa organik terutama pada perairan yang
tercemar senyawa organik mengandung
69
2. METODA
Bahan
Sampel mikroalga hijau diperoleh dari kolam
terbuka di wilayah Darussalam, Banda Aceh.
Sampel mikroalga diambil menggunakan net
planton
dan
dicentrifuge.
Mikroalga
campuran yang diperoleh kemudian dikultur
didalam media pertumbuhan BG-11 (Rippka
dkk.,1979), dengan komposisi (g/L): NaNO3
1,5; Na2HPO4 0,04; MgSO4.7H2O 0,075;
ZnCl2 dihidrat 0.036; asam sitrat 0,006; ferric
ammonium citrate, 0.006; Na2-EDTA 0.001;
Na2CO3 0.02; dan larutan trace metal 1 ml
(H3BO3 2.86 g, MnCl2.4H2O 1.81 g,
ZnSO4.7H2O 0.222 g, Na2MoO4.2H2O 0.390
g, CuSO4.5H2O 79 mg and Co(NO3)2.6H2O
49.4 mg per liter) pada pH 7,4. Kloroform,
Metanol (p.a). Bahan kimia ini keseluruhan
diperolah secara komersil dari Merck.
Sampel limbah cair hasil peternakan diperoleh
dari kandang peternakan sapi di Darussalam,
Banda Aceh. Limbah peternakan ini disaring
sebelum digunakan dalam perlakuan.
Prosedur Penelitian
Analisa Karakteristik Limbah (sebelum dan
sesudah perlakuan)
Limbah cair peternakan dibuat dalam
konsentrasi yang berbeda (100%, 50%, dan
25% v/v) untuk melihat pengaruh konsentrasi
(1)
Parameter pH limbah sebelum
diinokulasi diukur dengan pH meter.
(2)
Analisa NH4, NO3, PO4 (mg/L),
dilakukan dengan cara APHA (2005) sebelum
diinokulasi dengan isolat. Pengukuran
parameter nutrien limbah pada kultur
perlakuan dilakukan setelah mencapai fase
stasioner.
Aklimatisasi Mikroalga
70
Antara
ntara
Absorbansi
K a n d u n g a n B io m a s s a ( g /L )
1.4
1.2
1
0.8
y = 2.2942x - 0.0466
R2 = 0.9853
0.6
0.4
0.2
71
0
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
002
Absorbansi (A)
Gambar 3. Kurva kalibrasi absorbansi (A)
terhadap kandungan biomassa kering alga
(g/L) pada limbah peternakan
Kontrol
LP50
LP100
LP25
002
001
001
001
001
001
000
000
000
0
10
12
14
16
72
002
Kontrol
LP50
LP100
LP25
002
001
001
001
001
001
000
Gambar
0005. Pengaruh konsentrasi media
terhadapkandungan
biomassa alga yang tidak
000
diaklimatisasi
dalam
masa
kultivasi 16 hari
0
2
4
6
8 10 12 14 16
Masa Kultivasi (hari)
Konsentrasi limbah peternakan 100%, mulamula kandungan bahan organik yang tinggi
belum mampu terdegradasi sempurna oleh
mikroalga sehingga butuh waktu 5 hari untuk
dapat
beradaptasi
sampai
tercapai
pertumbuhan biomassa tertinggi pada 15 hari.
Kandungan biomassa pada media tumbuh,
limbah cair peternakan sangat dipengaruhi
oleh siklus pencahayaan dan konsentrasi
limbah, dimana pada kondisi pekat 100%
limbah dan siklus cahaya 24 jam, mikroalga
masih tetap beradaptasi pada kondisi
turbiditas tinggi dan mulai tumbuh baik pada
hari ke-5.
Konsentrasi limbah yang sama dan
pencahayaan 8 jam, kandungan biomassa
meningkat lebih tinggi dari pada siklus 24 jam
dipengaruhi oleh faktor tingginya kandungan
nutrien yang terdapat didalam limbah
peternakan sehingga dengan pencahayaan
kontinyu mikroalga terus memakan nutrien
yang ada sehingga setelah nutrien habis
pertumbuhan akan menurun, sedangkan
dengan pencahayaan 12 jam mikroalga lokal
ini masih dapat beristirahat sambil terus
berasimilasi memanfaaatkan nutrien dalam
limbah cair peternakan sebagai sumber
makanannya.
Penyisihan Nutrien oleh Mikroalga Hijau
Limbah peternakan diperoleh dari kolam
penampungan limbah peternakan warga di
wilayah Kota Banda Aceh dengan ciri fisik
berwarna hitam kecoklatan yang mengandung
endapan organik berwarna hijau, berbau
menyengat dan bercampur antara feses
dengan urin ternak.
73
100
9,6
1120
628
1,0
8,208
6,836
Kontrol
8,2
10
4
0,82
0,622
0,946
Kontrol
(BG-11)
8,2
4,8
1
0,401
0,16
0,767
LP100
9,6
82,86
100
81,9
ND
ND
LP50
9,4
91,67
99,68
77,58
89,18
ND
LP25
9,0
80
76,19
59,44
89,85
ND
(BG11)
8,2
50
75,19
51,1
74,28
18,92
ND = tidak terdeteksi.
4. KESIMPULAN
Pertumbuhan
mikroalga
hijau
yang
diaklimatisasi dan yang tidak diaklimatisasi
74
76
1. PENDAHULUAN
Kebutuhan akan air bersih untuk setiap
tahunnya semakin meningkat sebanding
dengan bertambahnya jumlah penduduk baik
itu di pedesaan ataupun masyarakat yang
hidup di perkotaan. Air bersih merupakan
kebutuhan vital bagi penduduk tersebut karena
air dipergunakan untuk berbagai keperluan
hidup sehari-hari seperti mencuci, mandi, dan
air minum ataupun untuk keperluan industri
dan laboratorium. Air bersih yang disuplai
melalui perusahaan air minum (PDAM) Tirta
Musi sampai saat ini belum dirasakan
mencukupi akan kebutuhan masyarakat, oleh
karena itu sebagian dari warga khususnya
yang hidup diperkotaan masih banyak
mengkonsumsi air yang tidak layak
dipergunakan, seperti air sumur keruh dan air
yang terdapat di rawa-rawa disekitar
pemukiman. Pemenuhan kebutuhan air bersih
dan sanitasi bagi masyarakat perkotaan
ataupun pedesaan yang ada di Sumatera
Selatan masih sangat sedikit, sehingga belum
memenuhi taraf kehidupan mengingat
terbatasnya teknologi pengolahan air bersih
yang selama ini masih menggunaan metoda
konventional.
Air yang digunakan pada umumnya tidak
memenuhi standar kesehatan yang diizinkan
oleh Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (DEPKES RI) untuk dikonsumsi hal
ini dikarenakan air tersebut memiliki tingkat
kekeruhan dan kandungan alkali yang sangat
tinggi serta bahan pencemar seperti logamlogam berat (Pb, Fe, Zn dan phenol) yang
ditimbulkan akibat adanya air buangan
industri, dimana logam-logam tersebut
terbawa oleh arus air pada saat timbulnya
musim hujan, sehingga air sering dikonsumsi
oleh warga yang berada disekitar pemukiman
ikut tercemar. Beberapa ciri-ciri air sungai
yang keruh sebelum dilakukan pengolahan
adalah sebagai berikut (Hartono, 1980): pH air
antara 3 5, kandungan garam (NaCl) 250
ppm / 10 liter air baku, warna keruh
(kecoklatan) dan berbau (kadar Fe) atau logam
berat lainnya, kandungan alkali (Cl, Mg, Na)
77
78
Prosedur Percobaan
Karakterisasi Membran
Karakterisasi membran bertujuan untuk
menentukan uji kelayakan membran sebelum
dipergunakan.
Karakterisasi membran ini
meliputi; Penentuan ukuran dan jumlah pori
membran menggunakan Scanning Electron
icroscoy (SEM), menentukan kandungan air
membran secara gravimetris, menentukan
ketebalan membran menggunakan jangka
sorong sebanyak 10 kali pengukuran,
ketebalan membran merupakan rata-rata hasil
pengukuran, pengujian sifat fisik meliputi
pengujian kuat tarik dan kuat tekan serta fluks
membrane yang diukur dengan cara
menampung voleme permeat untuk setiap
volume 10 ml sampai tercapainya kondisi
tunak. Fluks air diukur dalam satuan L/m2.
jam.
79
Jumlah
dan
Densitas
80
Jv Rata-rata
Rata
(l/m2 detik)
6,75 x 10-3
7,22 x 10-3
7,89 x 10-3
8,05 x 10-3
8,33 x 10-3
pH
5
4
Air
Payau
3
2
1
0
Gambar 1. Foto
permukaan
dan
penampang lintang membran PSF dengan
menggunakan SEM pada variasi konsentrasi
17 % PSF, 66% DMAc dan 17% PEG
Fluks Air murni (JV)
Fluks didefinisikan sebagai solute yang dapat
menembus membran tiap satuan luas membran
persatuan waktu. Fluks volume dihitung
berdasarkan grafik volume permeat Vs waktu
dari tiap-tiap
tiap tempuhan dengan tekanan
operasi yang bervariasi. Fluks (Jv) rata-rata
rata
membran yang dihasilkan sebesar 6,56 x 10 -3
l/m2 detik.
10
20
Waktu pengamatan (hari)
30
40
35
Warna Unit Pt-Co
mencapai 77,94%,
lebih besar bila
dibandingkan dengan penurunan pH dari air
payau yang rata-rata turun hanya mencapai
30,14%. pH air baku pada keadaan awal tidak
memenuhi standar baku mutu air bersih,
namun setelah dilakukan pengolahan maka pH
air telah memenuhi standar baku mutu air
bersih.
81
30
Air Gambut
25
20
Air Payau
15
Air Sungai
Musi
10
5
0
0
10
20
30
82
40
30
25
Air gambut
20
Air payau
15
Air musi
10
5
0
0
10
20
30
Kekeruhan (NTU)
35
3000
2500
Air Gambut
2000
Air Payau
1500
Air Musi
1000
500
0
0
20
40
Gambar 5.
Grafik hubungan penurunan
kandungan zat padat terlarut (TDS) terhadap
waktu pengamatan (sampling)
450
400
Kesadahan (mg/l)
83
350
Air Gambut
300
250
Air Payau
200
Air Sungai
Musi
150
100
50
0
0
10
20
30
84
Konsentrasi C l (mg/l)
1000
800
Air Gambut
600
Air Payau
400
Air Sungai
Musi
200
0
0
10
20
30
20
Logam Fe (mg/l)
25
Air
Gambut
Air Payau
15
10
Air Sungai
Musi
5
0
0
10
20
30
Kandungan Mn (mg/l)
2.5
2
1.5
Air Gambut
Air Payau
Air Musi
0.5
85
0
10
20
30
120
100
Rejeksi (%)
80
Air
Gambut
60
40
20
0
0
10
20
30
86
Tabel 2. Hasil Analisa Air Minum dari Air Olahan Sungai Musi
Parameter
Satuan
pH
warna
Pt-co
kekeruhan
TDS
Kesadahan
Cl
Fe
Mn
Cu
Amonia
Zn
NTU
Mg/l
Mg/l
Mg/l
Mg/l
Mg/l
Mg/l
Mg/l
Mg/l
5,21
Kuning kecoklatan
47,7
438,9
905
381,67
42,60
2,91
55,99
112,33
13,77
6,5 7,5
Tidak
berwarna
5
250
200
250
0,3
0,4
2,0
1,5
3,0
6,12
Tidak
berwarna
1,89
3,55
4,040
1,330
0,197
0,056
0,143
1,023
0,156
Membrane,
Proceedings
Symposium on Ultrafiltration.
A.C.S.
87
Abstrak
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menentukan apakah sistem simplified sewerage dan smallbore sewer
dapat diaplikasikan pada kawasan perumahan yang mempunyai kontur bergelombang. Pada saat ini,
sebagian kawasan sudah mendapat pelayanan penyaluran dan pengolahan air limbah, sedangkan sebagian
rumah menggunakan tangki septik. Pembagian wilayah pengembangan dilakukan dengan membagi area
bagi menjadi tiga zona pelayanan, yakni wilayah pelayanan I, II dan III. Pengumpulan data dilakukan untuk
memperoleh peta kawasan, peta topografi, jumlah rumah, jumlah penduduk, karakteristik air limbah dan
kapasitas air limbah. Hasil kajian aspek teknis, wilayah pelayanan yang telah menggunakan tangki septik
dilayani dengan small bore sewer dan daerah pelayanan baru menggunakan sistem simplified sewerage.
Instalasi pengolahan air limbah menggunakan Anaerobic Baffle Reactor. Debit air limbah yang masuk ke
pengembangan IPAL eksisting sebesar 0,027 m3/detik. Sedangkan debit yang masuk pada unit IPAL
wilayah I adalah 0,017 m3/detik. Karena wilayah studi mempunyai topografi yang bergelombang, maka
penanaman pipa ada yang mencapai kedalaman lebih dari 4 m, sehingga tujuan penerapan simplified
sewerage dan smallbore sewer untuk memperoleh penanaman pipa yang dangkal tidak tercapai. Masih
diperlukan pemompaan di beberapa titik terendah.
Kata kunci: air limbah, komunal, kontur bergelombang, pengolahan, sistem penyaluran air limbah
Abstract
The purpose of this paper is to determine whether the simplified sewerage and smallbore sewer system can
be applied to residential area that has height difference contour. At this time, some areas have got
sewerage and wastewater treatment, while most homes use septic tanks. Development zoning is done by
dividing the area into three zone services, namely service area I, II and III. The data was collected to
obtain area maps, topographic maps, the number of houses, number of inhabitant , the wastewater
characteristics and wastewater capacity. Area used septic tanks served by small bore sewer and new
service area served by simplified sewerage system. Wastewater treatment plant was using Anaerobic Baffle
Reactor. Wastewater discharge into WWTP existing is 0.027 m3/second, while wastewater discharge into
WWTP region I is 0.017 m3/second . Because the study area has height difference contour, pipeline depth
reaches more than 4 m, so that the objective application of simplified sewerage and smallbore sewer pipe
to obtain a shallow depth not achieved. It is required pumping at a low level.
Keywords: communal, height difference contour, treatment, sewerage systems, wastewater
1. PENDAHULUAN
Sumber utama dari air limbah domestik
berasal dari area permukiman dan area
komersial (Metcalf dan Eddy, 2004). Air
limbah domestik penduduk permukiman
tersebut berasal kegiatan mandi, cuci, kakus
(MCK). Air limbah domestik tersebut jika
tidak dikelola secara tepat dapat mencemari
lingkungan. Fasilitas sistem pengolahan air
limbah permukiman yang ada di Indonesia saat
ini rata rata masih menggunakan sistem onsite, seperti tangki septik, cubluk, bahkan
masih ditemukan masyarakat yang membuang
air limbah domestik langsung ke sungai.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
terhadap tingkat pencemaran dari rumah
tangga yang masih menggunakan tangki septik
diperoleh hasil bahwa effluent tangki septik
berperan dalam peningkatan konsentrasi
nutrient beracun pada air sungai (Withers et
al., 2011).
Pengelolaan air limbah domestik akan lebih
efektif dan efisien baik dari segi biaya,
ketersediaan lahan permukiman maupun
operasional pemeliharaan jika dikelola secara
komunal (Suriyachan et al., 2012). Solusi yang
paling efektif adalah pembangunan Instalasi
Pengolahan
Air
Limbah
komunal.
Pembangunan IPAL tersebut dapat mencegah
dan mengurangi terjadinya pencemaran
lingkungan dari air limbah domestik serta
mengatasi keterbatasan lahan di permukiman.
Upaya meningkatkan efektifitas IPAL dapat
dilakukan dengan perencanaan Sistem
Penyaluran Air Limbah secara efektif dan
efisien (Massoud et al., 2008).
Membangun hubungan yang baik antara
penyedia sarana sanitasi dengan masyarakat
setelah sistem berjalan merupakan hal penting
karena sistem sanitasi dapat berjalan dengan
baik ketika pemerintah, kontraktor dan
pengguna sarana sanitasi dapat berinteraksi
secara produktif (Paterson et al., 2007).
Tantangan sanitasi di negara berkembang
89
adalah
mengimplementasikan
teknologi
sanitasi di suatu wilayah, dimana kondisi
sosial ekonomi masyarakat beragam serta
cepatnya perubahan tata guna lahan
menyebabkan pemilihan sistem sanitasi
menjadi suatu tugas yang kompleks. Terpisah
dari faktor teknik dan penghasilan masyarakat,
aspek isu lingkungan, kemampuan institusi
dan pilihan teknologi oleh masyarakat
menentukan keberlangsungan lama tidaknya
suatu sistem sanitasi dapat berjalan (Loetscher
dan Jurg, 2002).
Pada perencanaan ini akan direncanakan
pengelolaan dan pengembangan SPAL
komunal untuk air limbah domestik untuk
kawasan perumahan. Direncanakan SPAL
komunal
yang
akan
dikembangkan
menggunakan sistem simplified sewerage.
Sistem simplified sewerage merupakan sistem
penyaluran air limbah dengan menggunakan
diameter pipa kecil serta kedalaman
penanaman pipa yang minimum (Mara dan
Guimaraes, 1999; Hughes et al., 2006). Karena
kemiringan (slope) yang digunakan hampir
sama untuk setiap sambungan, galian tanah
yang dilakukan untuk jaringan pipa relatif
dangkal. Hal tersebut dapat mengurangi biaya
konstruksi pembangunan jaringan pipa
(Turker, 2011). Penerapan sistem simplified
sewerage pada perencanaan ulang dan
pengembangan SPAL -IPAL komunal di
kawasan perumahan dapat mengurangi biaya
konstruksi, operasi dan pemeliharaan SPAL.
Sedangkan untuk kawasan yang sudah
menggunakan tangki septic, digunakan sistem
small bore sewer.
Tujuan dari perencanaan ini adalah
merencanakan pengembangan SPAL komunal
air limbah domestik suatu kawasan
perumahan. Air limbah di alirkan ke IPAL
komunal. Perencanaan skala komunal dibuat
dengan
harapan
pengelolaan
dan
pengoperasian SPAL - IPAL komunal dapat
diterapkan dengan pemberdayaan masyarakat.
90
2. METODA
91
Luas Area
(ha)
4,54
26,63
5,9
92
D
terpasang
(mm)
150
200
150
200
150
200
Panjang
Pipa
(m)
430
1.220
91
827
54
1147
Gambar 2. Sistem penyaluran air limbah dan lokasi Instalasi Pengolahan Limbah
93
94
Melalui
perhitungan
dimensi
pipa
diperoleh slope pipa untuk masing-masing
masing
jalur pipa. Namun karena nilai slope pipa
yang diperoleh terlalu kecil, maka
digunakan slope pipa berdasarkan literatur,
yakni 0,0034 untuk diameter pipa 150 mm
dan 0,0044 untuk diameter pipa 200
2 mm
(Metcalf dan Eddy, 2004).
2004) Kecepatan
aliran memenuhi kecepatan minimum
sebesar 0,6 m/detik.
Perencanaan SPAL dilengkapi beberapa
bangunan pelengkap, antara lain manhole,
bangunan penggelontor dan jembatan pipa.
Selain manhole lurus, SPAL juga
dilengkapi dengan manhole pada belokan
pipa,
a, manhole di pertigaan atau
percabangan pipa serta drop manhole
untuk pipa percabangan yang memiliki
beda tinggi antar ujung pipa satu dengan
yang lain lebih dari 0,5 m.
Total jumlah manhole yang diperlukan
untuk wilayah pelayanan I adalah 49
manhole, terdiri
rdiri dari 9 buah manhole lurus,
15 buah manhole belokan, 10 buah
manhole percabangan dan 15 buah drop
manhole.. Jumlah manhole untuk wilayah
pelayanan II adalah 96 manhole, terdiri
dari 31 buah manhole lurus, 20 buah
manhole belokan, 16 buah manhole
percabangan dan 29 buah drop manhole.
manhole
Sedangkan untuk wilayah pelayanan III
total manhole sebanyak 34 buah, terdiri
dari 6 buah manhole lurus, 8 buah manhole
belokan, 4 buah manhole percabangan dan
16 buah drop manhole.
Pada wilayah pelayanan II terdapat
t
jalur
pipa yang dilengkapi dengan jembatan
pipa karena terdapat sungai yang melintasi
mel
bagian tengah perumahan. Diameter pipa
pada jembatan pipa adalah 200 mm dan
kecepatan aliran 0,8 m/detik. Gambar 2
merupakan gambar tipikal jembatan pipa.
Kedalaman Penanaman
an Pipa
Setelah dilakukan perhitungan dimensi
pipa dan manhole, dilakukan pula
Operasi
dan
95
Penulis
A
Agoes Soegianto
Ali Masduqi
Author/
Co-author
Co-author
Judul Artikel
Andy Mizwar
Author
Anton Kuswoyo
Author
B
Bakhtiar
Hal
18
58 66
9 16
58 66
9 16
17 24
D
Dafit A.
Prasetyo
Co-author
Didik Bambang
Supriyadi
E
Eddy Setiadi
Soedjono
Co-author
88 95
Elvitriana
Co-author
67 74
34 45
Penulis
H
Harismayanti
Nurul Aulia
I
Irhamni
K
Kokoh Wahyu
Adillah
M
Mariana
N
Nita Citrasari
Nur Indradewi
Oktavitri
R
Riana
Purwandani
S
Selastia Yuliati
Sumarti
Rusdiana
Author/
Co-author
Judul Artikel
Author
88 95
Co-author
67 74
Co-author
1-8
Author
Hal
25 33
Co-author
18
Author
18
Author
34 - 45
Co-author
75 87
Co-author
1-8
Penulis
Author/
Co-author
Susi A. Wilujeng
Author
T
Taufiqur
Rohman
V
Vera Viena
Z
Zulfakar
Judul Artikel
Hal
17 24
9 16
Author
67 74
46 57
INDEKS KEYWORDS
JURNAL PURIFIKASI Volume 13 No. 2 Desember Tahun 2012
Keywords
Penulis
Hal
75
air tanah
aklimatisasi
Selastia Yuliati
Harismayanti Nurul Aulia dan Eddy Setiadi
Soedjono
Nur Indradewi Oktavitri, Nita Citrasari, Agoes
Soegianto, Sumarti Rusdiana, dan Kokoh Wahyu
Adillah
Anton Kuswoyo dan Ali Masduqi
Irhamni, Elvitriana, dan Vera Viena
B
barrier
banjir
bata beton berlubang
34
46
9
17
1
F
fixed bed reactors
Mariana
25
G
geolistrik schlumberger
GIS
58
46
I
intrusi air laut
inverse fasa
58
75
34
88
A
air bersih
air limbah
air limbah kantin
E
eceng gondok
efesiensi removal BOD
dan TSS
K
Kebisingan
Komunal
Kontur bergelombang
L
limbah domestik
limbah cair peternakan
88
1
58
67
88
88
67
M
membran
mikroalga
mikroorganisma M-16
Keywords
Selastia Yuliati
Irhamni, Elvitriana, dan Vera Viena
Susi A. Wilujeng dan Dafit A. Prasetyo
Penulis
75
67
17
Hal
model hidrologi
Zulfakar
46
N
nutrien
67
17
pengomposan
penyerapan gas
perkotaan
perumahan singhasari
residence
pesisir
polysulfon
produksi lipid
R
reduksi kebisingan
34
88
9
58
T
tanah menggunakan model
Zulfakar
46
U
ultrafiltrasi
Selastia Yuliati
75
P
pengadukan
pengolahan
S
sistem penyaluran air limbah
solidfikasi
sorbent Ca(OH)2/tanah
diatome/kompos
stabilisasi
sumber air
88
17
25
46
88
58
75
67
9
25
Pedoman Penulisan
JUDUL ARTIKEL (seluruh huruf kapital, 14 pt, bold. Judul dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris)
(Kosong satu, spasi satu,14 ft)
Nama penulis satu1), penulis dua2), penulis tiga3) (12pt, bold). Ditulis lengkap, tanpa gelar akademik
atau sebutan
1)
1. Pendahuluan
Berisi latar belakang masalah atau state of the art,
yang didukung oleh beberapa sumber pustaka yang
sesuai dengan masalah yang sedang diteliti.
Tinjauan pustaka masuk di dalam latar belakang,
tidak ditulis secara terpisah. Berisi permasalahan
baru, bukan hanya mentransfer informasi dari
sumber-sumber pustaka lain. Oleh karena itu,
penulis harus menulis dengan kalimatnya sendiri
didukung oleh berbagai pustaka.
Pendahuluan juga berisi perumusan masalah
penelitian yang menunjukkan kepentingan dan
keterbaruan penelitian. Perumusan masalah ini
berisi pemenuhan kesenjangan teori, metoda atau
yang lainnya. Perumusan masalah merupakan hasil
pemikiran penulis, oleh karena itu tidak ada sitasi
sumber pustaka di dalamnya.
Fluorapatite (Ca5(PO4)3F)
Flotation
80
Fraction (%)
H2PO4
N2
ga
60
2SO4
CaSO4(aq)
H3PO4
40
Portlandite (Ca(OH)2)
Hydroxyapatite (Ca5(PO4)3OH)
Humidifie
20
+
CaHPO4
H2SO4
+
CaF
Flow
meter
10
11
12
13
pH
Artikel
dikirim
melalui
email
ke
purifikasi@its.ac.id yang tidak lebih dari 2MB.
Semua tabel dan gambar dikirim dalam bentuk jpg.
4. Simpulan dan Saran (jika ada)
Simpulan menunjukkan keterbaruan dan unggulan
dari hasil penelitian. Bukan berupa data.
Sisa SO4
mg/L
612,56
% penyisihan
0,7:1
593,52
7,26
1:0,1
605,31
5,42
2:0,1
596,61
6,78
4,29
Daftar Pustaka
Disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini
dan diurutkan secara alfabetis dan kronologis,
seperti contoh berikut ini:
Allison, J.D., Brown, D.S. and Novo Gradao,
K.J.
(1991).
MINTEQA2/PRODEFA2,
A
Geochemical assessment model for environmental
system: version 3.0 users manual. Environmental
Research Laboratory USEPA .
Burns, R.T., Celen, M.I and Buchanan, J.R.
(2003). Optimization of phosphorus precipitation
Formulir Berlangganan
FORMULIR BERLANGGANAN
(..................................................)
(..................................................)