You are on page 1of 108

ISSN 1411-3465

JURNAL PURIFIKASI
Terbit 2 kali setahun pada bulan Juli dan Desember. Memuat artikel teknologi dan manajemen di
bidang ilmu Teknik Lingkungan dan ilmu lain yang terkait dengan bidang Teknik Lingkungan.
ISSN 1411-3465

Ketua Penyunting
Ellina Sitepu Pandebesie

Dewan Penyunting
Wahyono Hadi (Institut Teknologi Sepuluh Nopember)
Tri Padmi (Institut Teknologi Bandung)
Lieke Riadi (universitas Surabaya)
Joni Hermana (Institut Teknologi Sepuluh Nopember)
Arief Sabdo Yuwono (Institut Pertanian Bogor)

Penyunting Pelaksana
Alia Damajanti
Welly Herumurti

Tata Letak dan Website


Didiet Darmawan

Administrasi dan Sirkulasi:


Bruce Dame Laoera, Masupar

Alamat Penyunting:
Ruang Divisi Jurnal Purifikasi Jurusan Teknik Lingkungan
Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111
Telepon: (031) 5948886 Faksimil: (031) 5928387
Website: http://purifikasi.org/ dan e-mail: purifikasi@its.ac.id
Jurnal Purifikasi diterbitkan sejak Januari 2000 oleh Divisi Jurnal Purifikasi
Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Bekerja sama dengan Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Teknik Lingkungan Indonesia (IATPI)
Jawa Timur
Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah
diketik di kertas HVS ukuran A4 dengan format seperti tercantum pada halaman kulit dalambelakang (Pedoman Penulisan). Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman
format, istilah, dan tata cara lainnya.

ISSN 1411-3465

JURNAL PURIFIKASI
Volume 13 Nomor 2, Desember 2012

Daftar Isi
Hal.
1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10

PENINGKATAN
EFISIENSI
PENYISIHAN
BIOLOGICAL
OXYGEN DEMAND (BOD) DAN TOTAL SUSPENDED SOLID
(TSS) PASCA ANAEROB BERSEKAT DENGAN PROSES AERASI
Nur Indradewi Oktavitri, Nita Citrasari, Agoes Soegianto,
Sumarti Rusdiana, dan Kokoh Wahyu Adillah

1-8

PEMANFAATAN LIMBAH LUMPUR BERMINYAK MELALUI


PROSES STABILISASI-SOLIDIFIKASI UNTUK PEMBUATAN
BATA BETON
Andy Mizwar , Taufiqur Rohman , dan Bakhtiar

9 - 16

PENURUNAN KANDUNGAN C ORGANIK DAN PEMBENTUKAN


GAS PADA PROSES PENGOMPOSAN ENCENG GONDOK
Susi A. Wilujeng, Dafit A. Prasetyo

17 - 24

PENYERAPAN GAS CO HASIL PEMBAKARAN SAMPAH


MENGGUNAKAN MODIFIKASI SORBEN
CA(OH)2 DALAM
REAKTOR FIXED BED
Mariana

25 - 33

RUKO SEBAGAI BARRIER UNTUK MEREDUKSI KEBISINGAN


AKIBAT AKFTIFITAS TRANSPORTASI DI JALAN RAYA
Riana Purwandani, Didik Bambang Supriydi

34 - 45

MODEL GUNA LAHAN UNTUK PENGENDALIAN BANJIR


DI PERKOTAAN
Zulfakar

46 - 57

EKSPLORASI AIR TANAH DENGAN METODE GEOLISTRIK


SCHLUMBERGER
DI DAERAH PESISIR KABUPATEN TANAH LAUT
Anton Kuswoyo dan Ali Masduqi

58 - 66

AKLIMATISASI
MIKROALGA
HIJAU
DALAM
LIMBAH
PETERNAKAN UNTUK MENINGKATKAN PENYISIHAN NUTRIEN
DAN PRODUKSI LIPIDA
Irhamni, Elvitria, dan Vera Viena

67 - 74

PENGOLAHAN
AIR
MENGGUNAKAN
MEMBRAN
ULTRAFILTRASI SEBAGAI UPAYA MENDUKUNG GERAKAN
NASIONAL MENGATASI KRISIS AIR BERSIH
Selastia Yuliati

75 87

SISTEM PENYALURAN AIR LIMBAH DOMESTIK KOMUNAL


DENGAN MENGGUNAKAN SIMPLIFIED SEWERAGE DAN
SMALLBORE SEWER
Harismayanti Nurul Aulia dan Eddy Setiadi Soedjono

88 - 95

Indeks Pengarang dan Judul Artikel


Indeks Keywords
Mitra Bestari
Pedoman Penulisan
Formulir Berlangganan

PENINGKATAN EFISIENSI PENYISIHAN BIOLOGICAL


OXYGEN DEMAND (BOD) DAN TOTAL SUSPENDED SOLID
(TSS) PASCA ANAEROB BERSEKAT
DENGAN PROSES AERASI
REMOVAL EFFICIENCY IMPROVEMENT OF BIOLOGICAL
OXYGEN DEMAND (BOD) AND TOTAL SUSPENDED
SOLID (TSS) POST ANAEROBIC SECTIONAL
WITH AERATION PROCESS
Nur Indradewi Oktavitri*1), Nita Citrasari1), Agoes Soegianto1),
Sumarti Rusdiana1), dan Kokoh Wahyu Adillah1)
1)
Program Studi Ilmu dan Teknologi Lingkungan, Departemen Biologi, FST-UA
*)Email : nur_i_d_o@yahoo.com
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan efisiensi penyisihan BOD dan TSS pada
reaktor anaerob bersekat yang ditambahkan proses aerasi. Air limbah yang digunakan adalah air limbah
kantin FST-UA. Analisis BOD dengan analisis titrasi winkler. Analisis TSS menggunakan metode
gravimetri. Analisis dilakukan pada hari ke-7, 14, 21, 28. Hasil penelitian menunjukkan penambahan aerasi
dapat meningkatkan penyisihan BOD dan TSS dan mencapai puncaknya pada hari ke 21, kemudian
menurun. Penyisihan BOD untuk proses anaerob bersekat saja pada hari ke-7 dari 7,4% meningkat setelah
ditambahkan proses aerasi menjadi 34,6%. Pada hari ke-14 proses aerasi memberi kontribusi dari 56,2%
menjadi 88,6%; hari ke-21 proses aerasi meningkatkan efisiensi dari 42,5% menjadi 96,9%. Pada hari ke 28
penyisihan BOD menurun, meskipun proses aerasi masih meningkatkan penyisihan BOD dari 41,2%
menjadi 64,6%. Penyisihan TSS untuk proses anaerob bersekat saja pada hari ke-7 dari 29,4% meningkat
setelah dilakukan proses aerasi menjadi 35,08%. Pada hari ke-14 proses aerasi memberi kontribusi dari
96,5% menjadi 97,57%; hari ke-21 proses aerasi meningkatkan efisiensi dari 96,1% menjadi 96,88% dan
pada hari ke 28 proses aerasi meningkatkan penyisihan TSS dari 55,6% menjadi 68,85%.
Kata kunci: Pengolahan anaerob-aerob, efisiensi removal BOD dan TSS, air limbah kantin
Abstract
The aim of this research was to determine the performance of BOD and TSS removal efficiency in anaerob
baffled-aerob . Wastewater was used in this research from canteen wastewater at FST-UA. BOD analysis
with winkler titration. TSS analysis with gravimetric method. and biofilter anaerob Analyses had been done
in 7, 14, 21, and 28 days. The results showed the addition of aeration could increase the allowance BOD
and TSS and peaked at day 21, then declined. BOD removal, in 7 days BOD removal efficiency from baffled
reactor increased from dari 7,4% became 34,6% cause of contribution of aeration process. In 14 days,
aeration process contributed of increasing BOD removal efficiency from 56,2% became 88,6%. In 21 days,
aeration process increased BOD removal efficiency from 42,5% became 96,9% and in 28 days aeration
increased BOD removal efficiency from 41,2 % became 64,6%. In the other side, in 7 days TSS removal
efficiency from baffled reactor increased from dari 29,4% became 35,08% cause of contribution of aeration
process. In 14 days, aeration process contributed of increasing TSS removal efficiency from 96,5% became
97,57%. In 21 days, aeration process increased TSS removal efficiency from 96,1% became 96,88% and in
28 days aeration increased TSS removal efficiency from 55,6 % became 68,85%.
Keywords: Anaerob-aerob treatment, BOD and TSS removal efficiency, canteen wastewater

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 1-8

1. PENDAHULUAN
Air limbah restoran/kantin pada umumnya
langsung dibuang ke badan air, padahal
memiliki beban organik yang tinggi. Badan
air yang menerima air limbah berbadan
organik
tinggi
dapat
menyebabkan
eutrofikasi. Beban air limbah yang tinggi
menurut Foresti et al., (2006), menyatakan
bahwa
proses
anaerob
memiliki
kemampungan pengurangan kandungan bahan
organik dalam jumlah yang besar (di
atas 200 mg/L). Sedangkan Herlambang
(2002) berpendapat bahwa proses aerobik
biasanya digunakan untuk air limbah dengan
BOD yang tidak terlalu besar. Seperti halnya
Chen dan Lo (2006) mengolah air limbah
restoran memiliki Biological Oxygen Demand
(BOD) influen-nya hanya 165 mg/l dengan
proses aerasi. Di lain pihak, pengolahan
anaerob dapat meningkatkan kandungan
fosfat dan nitrat dalam air limbah yang
dihasilkan dari proses penguraian bahan
organik. Sedangkan
proses aerob dapat
menurunkan kandungan fosfat dan nitrat
tetapi tidak dapat untuk berbahan organik
tinggi. Menurut Gaparikov et al., (2005),
kombinasi
keduanya
dapat
mengisi
kelemahan dari tiap proses.
Penelitian ini melakukan inovasi tersebut
berupa kombinasi anaerob bersekat-aerob
agar efisiensi yang lebih tinggi dibanding
anaerob bersekat saja. Maka dari itu
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
kemampuan efisiensi pengolahan anaerob
bersekat saja dibanding anaerob bersekataerob dari air limbah kantin dibanding
efisiensi pengolahan anaerob bersekat-aerob.
Air limbah kantin Fakultas Saintek memiliki
BOD cukup besar yaitu BOD rata-rata lebih
besar dari 200 mg/l (Oktavitri et al., 2010)
sehingga tepat untuk menguji kemampuan
pengolahan anaerob bersekat dengan atau
tanpa ditambahkan proses aerasi untuk
mendegradasi BOD dan Total Suspended
Solid (TSS). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui performa efisiensi penyisihan unit

anaerob bersekat dan Anaerob bersekat secara


berkala.
2. METODA
Penelitian ini dilakukan selama 8 bulan.
Tempat penelitian ini dilakukan di
laboratorium
lingkungan,
Departemen
Biologi, FST-UA.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah: Aerator, selang aerator, ember, botol
sampel, botol winkler, incubator, labu ukur 1
liter, pipet ukur 10 ml, gelas beaker 500ml,
Erlenmeyer 250 ml, buret. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah akrilik,
pipa, keran, kain perca, air limbah kantin,
kertas label, air suling, KH2PO4, K2HPO4,
Na2HPO4.7H2O, NH4Cl, HCl 1 N, MgSO4.
7H20, CaCl2, FeCl3.6 H2O, NaOH (1 N),
MnSO4. 4H2O, KI, NaN3, Amilum, Na2S2O3,
K2Cr2O7, H2SO4, KF. 2H2O.
Prosedur dalam penelitian ini
Pembuatan reaktor dengan ketentuan sebagai
berikut: (a) Pembuatan reaktor ekualisasi dari
ember dengan ukuran sesuai Tabel 1; (b)
Ukuran reaktor anaerob bersekat ukurannya
sesuai Tabel 1; (c) Pembuatan reaktor aerob
menggunakan akrilik dengan ukuran sesuai
Tabel 1. Perakitan reaktor disusun sesuai
Gambar 1. Pengumpulan air limbah dilakukan
dengan mendatangi tiap warung yang ada di
kantin dan mengumpulkan air limbahnya
dengan jirigen.
Pengumpulan air limbah ini dilakukan tiap
dua hari sekali. Air limbah dalam jirigen
dituangkan ke bak ekualisasi yang telah
disiapkan. Running alat, dengan membuka
keran pada ember hingga air melalui
rangkaian reaktor. Proses aerasi dilakukan
selama 4 jam. Pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan dengan pengambilan
data untuk analisis BOD dan TSS pada titik 1,
2, dan 3 (Gambar 1).

Oktavitri, Peningkatan Efisiensi Penyisihan BOD dan TSS

Tabel 1. Dimensi Reaktor


Alat
Bak ekualisasi
Reaktor anaerob
Sekat
Reaktor Aerob

Dimensi Efektif (cm)


Panjang
Lebar
Tinggi
Diameter: 50 cm
40
50
20
30
15
0,3
35
20
20
30

Freeboard
5
10
5
5

Gambar 1. Reaktor Penelitian

Pengambilan sampel untuk analisis BOD dan


TSS dilakukan pada hari ke 7, 14, 21, dan 28.
Analisis BOD pada tiap sampel dengan cara
titrasi winkler pada hari ke-nol dan setelah
masa inkubasi selama 5 hari pada 20oC.
Analisis TSS dengan metode gravimetri.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan selama 28 hari
dengan pemantauan rutin pada hari ke-7; 14;
21; dan 28 hari. Pemantauan kualitas BOD
pada titik 1, 2, 3 yang terlihat pada Gambar 1.
Setelah diperoleh nilai BOD dan TSS dari
ketiga titik tersebut, maka dilakukan
perhitungan efisiensi removal dari pengolahan
anaerob dan setelah pengolahan aerob. Hasil
dari konsentrasi tiap titik tersebut dapat
dilihat pada Gambar 2 sedangkan selisih nilai
konsentrasi di tiap titik dapat dilihat pada
Gambar 3. Berdasarkan hasil Gambar 2
terlihat bahwa nilai konsentrasi di bak

ekualisasi dari hari ke-7, 14, 21, 28


berfluktuasi. Konsentrasi terendah pada hari
ke-7 yaitu 491,53 mg/L dan konsentrasi
tertinggi pada hari ke-28 yaitu 9319,34 mg/L.
Fluktuasi ini disebabkan karena limbah yang
diolah juga berfluktuasi bahan organiknya.
Air limbah diambil dari air kantin FST UA,
dimana
limbah
yang
dihasilkan
karakteristiknya berdasarkan jenis masakan
dan jumlah pengunjung.
Adanya fluktuasi memberikan kemampuan
penyisihan yang berbeda tiap harinya. Pada
hari ke-7 saat konsentrasi BOD kecil yaitu
sebesar 491,53 mg/L sedangkan outlet
anaerob bersekat sebesar 454,92 mg/L atau
turun hanya sebesar 36,61 mg/L (Gambar 3).
Tetapi saat konsentrasi ekualisasinya naik
menjadi 2938,53 mg/L (pada hari ke-14)
maka penurunan outlet menjadi 1287,36 mg/L
atau penurunan sebesar 1651,2 mg/L dari
konsentrasi awal. Begitu juga untuk pada hari

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 1-8

Konsentrasi BOD (mg/L)

ke-21, yang semula 5331,33 mg/L turun


menjadi 3063,47 mg/L (penurunan sebesar
2267,9 mg/L). Sedangkan saat konsentrasi
semakin tinggi pada hari ke-28, penurunan
juga semakin besar yaitu 3844,1 mg/L dari
awalnya 9319,34 menjadi 5475,26 mg/L.
10000.00
9000.00
8000.00
7000.00
6000.00
5000.00
4000.00
3000.00
2000.00
1000.00
0.00

Hari
ke-7

14

21

28

Ekualisasi

491.53 2938.53 5331.33 9319.34

Anaerob
bersekat

454.92 1287.36 3063.47 5475.26

Anaerob
bersekat-Aerob 321.49

335.83

167.92 3297.35

Konsentrasi BOD
(mg/L)

Gambar 2. Konsentrasi BOD di tiap outlet


reaktor
7000.0
6000.0
5000.0
4000.0
3000.0
2000.0
1000.0
0.0

Selisish
Konsentrasi
Ekualisasi-Anaerob
bersekat

Har
i
ke7

14

21

28

36.6

1651.2 2267.9 3844.1

Selisih Konsentrasi
Ekualisasi-Anaerob 170.0
bersekat Aerob

2602.7 5163.4 6022.0

Konsentrasi BOD
yang tidak terurai
jika TANPA Proses 133.4
Aerob

951.5

2895.6 2177.9

Gambar 3. Selisih Konsentrasi BOD di tiap


titik sampling
Dari Gambar 2 dan Gambar 3 terlihat bahwa
semakin tinggi konsentrasi beban organik
maka beban organik yang disisihkan juga
semakin besar jika dilihat dari selisih
konsentrasi. Seperti halnya dilihat dari nilai

efisiensi penyisihannya dalam persentase,


maka anaerob bersekat mampu menyisihkan
pada hari ke-7 adalah 7,4%; hari ke-14
sebesar 56,2%; hari ke-21 sebesar 42,5%; dan
hari ke-28 menjadi 41,2% (Gambar 4). Pada
hari ke-7 persentase penyisihannya masih
rendah dibawah 50% karena reaktor masih
pada masa aklimatisasi untuk pengolahan
anaerob. Aklimatisasi dikatakan sudah sesuai
pada kisaran 7-14 hari sejak reaktor
dijalankan.
Pada
umumnya,
mikroba
dinyatakan telah mampu beradaptasi untuk
mengolah
air limbah
jika efisiensi
penyisihannya di atas 50%, seperti pada
Gambar 4 di hari ke-14.
Pada hari ke-14, persentase penyisihannya
menurun menjadi kisaran 40%. Hal ini
disebabkan karena beban organik yang
diterima reaktor pada hari 21 dan hari 28
menjadi 2,5 kali hingga 5 kali dari hari ke 14
(Gambar 2). Penerimaan beban organik yang
berlebihan dapat menyebabkan shock loading,
sehingga dapat menurunkan persentase
kemampuan penyisihan, seperti pada Gambar
4. Proses anaerobik ini terdiri dari 3 tahapan
Tiap tahapan tersebut dilakukan degradasi air
limbah dengan mikroba yang berbeda-beda.
Tahapan
tersebut
adalah
hidrolisis;
pembentukan asam; dan pembentukan
methan (Gerardi, 2003).
Proses hidrolisis dan pembentukan asam
dilakukan oleh mikroba anaerob obligat
(Deublein dan Steinhauser, 2008) dimana
waktu regenerasi mikrobanya adalah 15-30
menit
(Gerardi,
2003)
sedangkan
pembentukan methan menurut Deublein dan
Steinhauser (2008) dilakukan oleh bakteri
methan yang memiliki waktu regenerasi
paling lama dalam proses anaerobik yaitu 330 hari. Proses regenerasi mikroba inilah yang
mempengaruhi kelimpahan mikroba pengurai
dalam air limbah. Seperti halnya
yang
disampaikan oleh Gaparikov et al., (2005),
bahwa kelemahan proses anaerobik adalah
memerlukan waktu yang lama. Sedangkan
pada reaktor anaerob bersekat ini waktu
hidroliknya berkisar delapan jam, pada waktu

Oktavitri, Peningkatan Efisiensi Penyisihan BOD dan TSS

yang lebih dari waktu minimum regenerasi


bakteri methan ternyata masih belum mampu
mencapai rata-rata efisiensi penyisihan BOD
hingga di atas 50%. Hal ini disebabkan karena
beban organik yang sangat tinggi sehingga
waktu 8 jam dirasa kurang maksimum untuk
mikroba menguraikan hingga mencapai ratarata diatas 50%. Menurut Herlambang (2002),
pengolahan anaerobik pada umumnya
kemampuan penyisihannya 70-80%. Maka
dari itu pada penelitian ini ditambahkan
proses aerasi hingga 4 jam dimana aerasi
selama 4 jam sesuai yang disarankan oleh
Herlambang (2002). Hal ini bertujuan agar
mikroba yang melakukan regenerasi semakin
banyak sehingga yang mampu menguraikan
bahan organik juga semakin banyak. Pada
umumnya, mikroba yang mampu hidrolisis
dengan baik adalah mikroba aerob serta
mikroba anaerob obligat yang ikut masuk ke
dalam reaktor aerob pasca reaktor anaerob.

sedangkan setelah diaerasi


penyisihan menjadi 88,6%.

persentase

Hal yang sama juga terjadi di hari ke-21 dan


ke-28.
Peningkatan
penyisihan
ini
menunjukkan bahwa aerasi setelah proses
anaerob bersekat dapat meningkatkan
penyisihan bahan organik. Selain tentang
BOD, pengaruh penambahan proses aerasi
juga
dilihat
untuk
parameter
TSS.
Berdasarkan Gambar 5, 6, dan 7 terlihat
bahwa konsentrasi TSS juga tinggi. Nilai
terendahnya adalah 356,67 hingga 9290,0
mg/L. Penelitian ini mengukur Total
Suspended Solid yang terdiri dari partikel
berukuran lebih besar yang termasuk suspensi
kasar.

Pada proses aerasi ini, dilakukan penambahan


asupan oksigen pada reaktor. Asupan oksigen
inilah yang akan mengubah nitrit yang dibawa
dari reaktor anaerob, diubah menjadi nitrat.
Nitrat inilah yang akan dimanfaatkan mikroba
untuk energi dalam proses degradasi. Selain
itu, proses aerasi juga menurunkan jumlah
fosfat yang terlalu tinggi (Herlambang, 2002).
Fosfat yang sudah diuraikan dapat menunjang
pertumbuhan sel-sel baru mikroba.

Nilai TSS mencapai angka ribuan hanya


terjadi sekali yaitu pada hari ke 14
yaitu9290,0 mg/L (Gambar 5), padahal nilai
BOD tidak mencapai angka setinggi itu pada
hari ke-14, melainkan hanya 2938,53 mg/L.
Hal ini menunjukkan bahwa akan ada
kemungkinan nilai TSS tidak seiring dengan
nilai BOD. Hal ini terjadi karena TSS yang
tinggi disebabkan ada sisa makanan yang
tercampur pada air limbah juga yang
ukurannya lebih besar dari pada partikel
tersuspensi ataupun terlarut. Kemampuan
penyisihan dari anaerob bersekat untuk
parameter TSS lebih tinggi dibanding BOD.

Berdasarkan Gambar 3, terlihat bahwa jika


proses anaerob diiringi dengan proses aerob
akan meningkatkan penyisihan. Pada hari ke7 dari semula BOD 491,53 mg/L menjadi
321,49 mg/L, nilainya turun hingga 170,0
mg/L. Pada hari ke-14, juga sama mengalami
peningkatan penyisihan. Konsentrasi awal
diekualisasi adalah 2938,53 mg/L menjadi
335,83 mg/L mengalami penyisihan 2602,7
mg/L. Sedangkan jika tanpa proses aerob
hanya menyisihkan 1651,2 mg/L. Sehingga
proses
aerob
memberikan
kontribusi
penurunan hingga 951,5 mg/L. Sedangkan
persentase penyisihan pada hari ke-14, jika
tanpa proses aerob penyisihan hanya 56,2%

Pada hari ke-7, nilai TSS semula 445,0 mg/L


turun menjadi 314,17 mg/L, sehingga
mengalami penurunan sebesar 130,8 mg/L
(Gambar 6) dan persentase penyisihannya
sebesar 29,4%. Hal ini berbeda dengan BOD
yang hanya memiliki persen penyisihan
sebesar 7,4%. Hal yang lebih mencolok
terlihat pada hari ke 14, 21, 28 dimana
penyisihan anaerob bersekat untuk TSS
mencapai 96,5% pada hari ke-14; 96,1% pada
hari ke-21, serta 55,6% pada hari ke-28
(Gambar 7). Sedangkan untuk BOD
penyisihan tertinggi untuk anaerob bersekat
adalah 56,2%. Hal ini disebabkan TSS
merupakan analisis jumlah kandungan

Prosentase Removal BOD (%)

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 1-8

120.0
100.0
80.0
60.0
40.0
20.0
0.0

14

21

28

Anaerob bersekat

7.4

56.2

42.5

41.2

Anaerob bersekatAerob

34.6

88.6

96.9

64.6

Gambar 4. Efisiensi Penyisihan BOD tiap pengolahan


Konsentrasi Total Solid
(mg/L)

10000.00
9000.00
8000.00
7000.00
6000.00
5000.00
4000.00
3000.00
2000.00
1000.00
0.00

Hari ke-7

14

21

28

Ekualisasi

445.00

9290.00

5027.50

356.67

Anaerob bersekat

314.17

325.83

195.00

158.33

Anaerob bersekat-Aerob

288.89

225.56

156.67

111.11

Gambar 5. Konsentrasi TSS di tiap outlet reaktor


Konsentrasi
Total Solid
(mg/L)

10000.0
9000.0
8000.0
7000.0
6000.0
5000.0
4000.0
3000.0
2000.0
1000.0
0.0

Hari
ke-7

14

21

28

Selisish Konsentrasi
Ekualisasi-Anaerob
bersekat

130.8

8964.2

4832.5

198.3

Selisih Konsentrasi
Ekualisasi-Anaerob
bersekat Aerob

156.1

9064.4

4870.8

245.6

Konsentrasi BOD yang


tidak terurai jika TANPA
Proses Aerob

25.3

100.3

38.3

47.2

Gambar 6. Selisih Konsentrasi TSS di tiap titik sampling

Oktavitri, Peningkatan Efisiensi Penyisihan BOD dan TSS

Pada umumnya dalam penelitian ini, jika


konsentrasi TSS diekualisasi tinggi (hingga
ribuan) maka kemungkinan besar, partikel
yang ada di air limbah mudah untuk
diendapkan. Pemantauan parameter TSS juga
dilakukan setelah proses aerasi selama 4 jam.
Pada hari ke-7 nilai TSS setelah aerasi dari
yang semula (di ekualisasi) adalah 445,0 mg/L
turun menjadi 288,89 mg/L.
Sedangkan jika tanpa aerasi, konsentrasi TSS
turun menjadi 314,17, sehingga proses aerasi
hanya memberikan kontribusi penurunan
sebesar 25,3 mg/L (Gambar 6). Hal yang lebih
mencolok terlihat pada hari 14 saat konsentrasi
TSS mencapai 9290,0 mg/L dengan proses
anaerob bersekat-aerasi turun menjadi 225,56
mg/L sedangkan tanpa proses aerasi, nilai TSS
sudah turun hingga 325,83%. Sehingga proses
aerasi hanya memberi kontribusi penyisihan
100,3 mg/L (Gambar 6).
Persentase penyisihan di hari ke-21, anaerob
bersekat saja sudah mencapai 96,5%
sedangkan jika ditambahkan dengan aerasi
menjadi 97,57%, hanya meningkat 1,07%.
Sedangkan pada hari yang sama di parameter
BOD, meningkat dari 56,2% untuk efisiensi
penyisihan dengan anaerob bersekat saja
menjadi 88,6% pada reaktor anaerob bersekataerob. Sehingga peningkatan penyishan
mencapai 32,4% hampir 30 kali dari
peningkatan penyisihan TSS. Hal ini
menunjukkan bahwa, proses aerasi tidak
memberikan kontribusi penyisihan TSS
sebesar kontribusi penyisihan BOD.
Hal ini kemungkinan disebabkan komposisi
partikel dari penyusun bahan organik yang
terdeteksi oleh BOD. Jika penyusun berupa

suspensi kasar dan halus maka akan dapat


teranalisis oleh TSS, sehingga saat sudah
terurai oleh mikroorganisme akan terlihat
penyisihannya. Sedangkan pada air limbah
yang digunakan dalam penelitian ini, penyusun
bahan organik lebih didominansi partikel
terlarut, sehingga akan ada nilai yang
berkebalikan nilai BOD nya tinggi karena
bahan organik terlarut yang maupun
tersuspensi dalam air, sedangkan TSS tidak
mampu mendeteksi nilai terlarut bahwa
120.0
Prosentase Removal Total Solid
(%)

partikel tersuspensi yang tertahan pada kertas


saring ataupun terlarut. Pada jenis limbah ini
partikel yang berukuran mudah diendapkan,
sehingga dengan waktu detensi reaktor
anaerob yang hanya kisaran 8 jam, sudah
mampu menyisihkan partikel tersebut hingga
50% ke atas.

100.0
80.0
60.0
40.0
20.0
0.0

14

21

28

Anaerob
bersekat

29.4

96.5

96.1

55.6

Anaerob
bersekatAerob

35.08

97.57

96.88

68.85

Gambar 7. Efisiensi Penyisihan TSSS tiap


pengolahan
kandungan organik didominansi oleh partikel
berukuran terlarut sehingga saat analisis TSS
tidak teranalisis sedangkan pada analisis BOD,
ukuran partikel yang larut dalam air dan
organik akan terdeteksi oleh analisis BOD.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui
bahwa penambahan proses aerasi setelah
proses pengolahan anaerob bersekat dapat
meningkatkan efisiensi proses. Persentase
penyisihan BOD untuk proses anaerob
bersekat saja pada hari ke-7 dari 7,4%
meningkat setelah dilakukan proses aerasi

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 1-8

menjadi 34,6%. Pada hari ke-14 proses aerasi


memberi kontribusi dari 56,2% menjadi
88,6%; hari ke-21 proses aerasi meningkatkan
efisiensi dari 42,5% menjadi 96,9% dan pada
hari ke-28 proses aerasi meningkatkan
penyisihan BOD dari 41,2% menjadi 64,6%.
Persentase penyisihan TSS untuk proses
anaerob bersekat saja pada hari ke-7 dari
29,4% meningkat setelah dilakukan proses
aerasi menjadi 35,08%. Pada hari ke-14 proses
aerasi memberikan kontribusi dari 96,5%
menjadi 97,57%; hari ke-21 proses aerasi
meningkatkan efisiensi dari 96,1% menjadi
96,88% dan pada hari ke 28 proses aerasi
meningkatkan penyisihan BOD dari 55,6%
menjadi 68,85%.
Penambahan proses aerasi setelah reaktor
anaerob bersekat memberikan kontribusi lebih
besar untuk parameter BOD dibanding
parameter TSS. Dimana parameter TSS yang
dianalisis dalam penelitian ini hanya partikel
suspense kasar dan halus.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih kepada Program Hibah
Penelitian Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga Tahun 2011, serta
seluruh tim penelitian terutama Dwi Retno A.,
Risvy Valentine I., Febri Eko W., Andianto
Satriyo P., RR. Mutiara S., dan Aulia Hanum.
DAFTAR PUSTAKA
Chen, C. K., dan S.L. Lo (2005). Treating
Restaurant Wastewater Using A Combined
Act ivated Sludge-Contact Aeration
System. Journal of Environmental Biology.
27(2). 167-183.

Deublein, D. dan A.Steinhauser (2008).


Biogas from waste and Renewable
Resources. WILEY-VCH Verlag GmbH &
Co. KGaA, Weinheim. 93-120.
Foresti, E., M. Zaiat, dan M. Vallero (2006).
Anaerobic Process as The Core
Technology For Sustainable Domestic
Wastewater
Treatment:
Consolidate
Applications, New Trends, Perspective,
and Challenges. Environmental Science
and Bio/Technology. 5. 3-19.
Gaparikov, E., . Kapusta, I. Bodk, J.
Derco, dan K. Kratochvl (2005).
Evaluation
of
Anaerobic-Aerobic
Wastewater Treatment Plant Operations.
Journal of Environmental Studies. 14(1).
29-34.
Gerardi, M. H., (2003). The Microbiology of
Anaerobic
Digester.
Wastewater
Microbiology Series. Wiley-interscience.
88.
Herlambang, A. (2002). Teknologi Pengolahan
Limbah
Cair
Industri:
Teknologi
Pengolahan Limbah Cair Industri TahuTempe. Pusat Pengkajian dan Penerapan
Teknologi Lingkungan BPPT dan Badan
Pengadilan
Dampak
Lingkungan
Samarinda.
Oktavitri, NI., A. Soegianto, A.L. Burhan,
TWC. Putranto, N. Citrasari, dan EP.
Kuncoro (2010). Kajian Karakteristik Air
Limbah Kantin Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Airlangga, Laporan
Penelitian, Departemen Biologi Fakultas
Sains
dan
Teknologi
Universitas
Airlangga.

PEMANFAATAN LIMBAH LUMPUR BERMINYAK MELALUI


PROSES STABILISASI-SOLIDIFIKASI UNTUK PEMBUATAN
BATA BETON BERLUBANG
OILY SLUDGE WASTE UTILIZATION
THROUGH STABILIZATION-SOLIDIFICATION PROCESS TO
MAKE HOLLOW CONCRETE BLOCK
Andy Mizwar *1), Taufiqur Rohman 2), dan Bakhtiar 3),
) Program Studi Teknik Lingkungan, Universitas Lambung Mangkurat
) Program Studi Kimia, Universitas Lambung Mangkurat
) PT Pertamina UBEP Tanjung
*)
E-mail: andy.mizwar@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan limbah lumpur berminyak dari operasional waste pit kilang
minyak sebagai bahan campuran dalam pembuatan bata beton berlubang yang ramah lingkungan. Penelitian
ini merupakan penelitian skala laboratorium dengan menerapkan teknik stabilisasi/solidifikasi. Penelitian
dilakukan dengan memvariasikan campuran lumpur, semen dan pasir. Kemudian dicetak dengan ukuran 9
cm x 19 cm x 39 cm. Pengeringan dilakukan selama 28 hari. Pengujian dilakukan terhadap porositas, serapan
air, densitas, kuat tekan dan TCLP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bata beton berlubang yang
dihasilkan memiliki berat, porositas, serapan air, dan densitas yang lebih rendah daripada bata beton
berlubang standar SNI maupun pasaran. Semua bata beton berlubang yang dihasilkan memenuhi baku mutu
TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure) berdasarkan PP No.85 tahun 1999. Kuat tekan bata
beton berlubang dengan komposisi lumpur:pasir:semen sebesar 24%:56%:20% memenuhi kualifikasi mutu
tingkat II SNI 03-0349-1989.
Kata kunci: bata beton berlubang, limbah lumpur berminyak, solidifikasi, stabilisasi
Abstract
This study aims to utilize waste oily sludge pit of operational waste oil refinery as an ingredient in the
manufacture of hollow concrete bricks that are environmental friendly. This research was a laboratory scale
by applying the techniques of stabilization / solidification. The study was conducted by giving variety of mud,
cement and sand mixture. Then printed it with a size of 9 cm x 19 cm x 39 cm. Drying process is carried out
for 28 days. Tests conducted on porosity, water absorption, density, compressive strength and TCLP. The
results showed that the hollow concrete brick weighs, porosity, water absorption, and lower density than
standard hollow concrete brick SNI and the market. All concrete hollow brick produced meets the quality
standard TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure) by PP No.85 of 1999. Compressive strength of
concrete hollow brick with mud composition: sand: cement by 24%: 56%: 20% quality level II qualified SNI
03-0349-1989.
Keywords: hollow concrete bricks, oily sludge waste, solidification, stabilization

10

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 9 - 16

1. PENDAHULUAN
UBEP Tanjung merupakan salah satu unit
bisnis
PT
Pertamina
EP
yang
menyelenggarakan kegiatan usaha sektor hulu
bidang minyak dan gas bumi di Kabupaten
Tabalong Kalimantan Selatan. Dalam
operasinya, PT Pertamina UBEP Tanjung
selain memproduksi 131 barel minyak per
hari (PT Pertamina, 2012) juga menghasilkan
beberapa jenis limbah yang salah satunya
berupa limbah lumpur berminyak (oily
sludge) dari operasional Waste Pit sebanyak
2,33 m/hari (Mizwar dan Rohman, 2010)
yang hanya ditimbun dalam kolam
penampung dan menumpuk selama bertahuntahun. Lumpur tersebut merupakan akumulasi
dari proses pengendapan komponen limbah
cair yang mayoritas terkumpul pada unit
sedimentasi dan bak ekualisasi pada proses
pengolahan limbah cair pengeboran dan
perawatan sumur (acidizing, fracturing dan
cementing).
Menurut PP No. 18 Tahun 1999 dan PP No.
85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), limbah
lumpur berminyak termasuk kedalam daftar
Limbah B3 dengan kode D220. Kandungan
terbesar dalam limbah lumpur berminyak
adalah
petroleum
hydrocarbon
(PT
Pertamina, 2001) dan logam berat (Prasetya et
al., 2006; Budiarjo, 2007) yang dapat diolah
melalui proses stabilisasi/solidifikasi berbasis
semen (Karamalidis dan Voudrias, 2007).
Stabilisasi/ solidifikasi diyakini dapat
membatasi pergerakan unsur dan senyawa B3 dengan membentuk ikatan massa monolit
dengan struktur yang kekar (Spence dan Shi,
2006).
Mekanisme utama dalam pengikatan logam
berat dalam limbah lumpur berminyak oleh
semen adalah melalui proses adsorpsi,
absorpsi, pengendapan, pertukaran ion,
macroencapsulation, microencapsulation dan
pembentukan kompleks (Abbassa et al., 2010).
Untuk meningkatkan nilai manfaatnya, limbah

lumpur berminyak dapat diolah menjadi bahan


bakar alternatif, bahan bangunan maupun
pelapis jalan (Damanhuri dan Adrismar, 2001).
Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan
limbah lumpur berminyak dari operasional
waste pit PT Pertamina UBEP Tanjung
sebagai bahan campuran dalam pembuatan
bata beton berlubang yang ramah lingkungan.
Percobaan dirancang untuk mengetahui
karakteristik fisik-mekanik dan kimia dari bata
beton berlubang yang dihasilkan.
2.

METODA

Penelitian dilaksanakan dalam empat tahapan.


Tahap I pengujian karakteristik limbah lumpur
berminyak, meliputi; pH, kadar air dan
kandungan logam berat. Semua parameter
tersebut diuji dengan mengacu pada Standar
Nasional Indonesia (SNI) dan Standard
Methods (APHA, AWWA and WEF, 1998).
Tahap II pembuatan sampel bata beton
berlubang sesuai prosedur dalam SNI 03-03491989 (BSN, 1989).
Pada penelitian ini, sampel bata beton
berlubang yang dibuat terdiri atas 9 variasi
campuran antara lumpur, pasir dan semen yang
setiap variasi masing-masing dibuat 3 buah
sampel. Sebagai pembanding juga dibuat
masing-masing 3 buah sampel bata beton
berlubang standar SNI dan standar pasaran
(PS) dengan komposisi campuran semen dan
pasir tanpa lumpur.
Komposisi campuran tersebut disajikan pada
Tabel 1. Setiap variasi komposisi dicampur
dengan air (w/c = 0,45) lalu diaduk hingga rata
dan dicetak pada cetakan bata beton berlubang
berukuran 9 cm x 19 cm x 39 cm. Hasil
cetakan disusun di tempat yang teduh untuk
proses pengeringan selama 28 hari. Tahap III
pengujian sampel bata beton berlubang,
meliputi: uji fisik/mekanik (porositas, serapan
air, densitas dan kuat tekan). Uji fisik/mekanik
mengacu pada Standar Nasional Indonesia
(SNI). Tahap IV dilakukan uji TCLP dengan
mengacu pada metode USEPA (1992).

Mizwar, Pemanfaatan Lumpur Berminyak


Tabel 1. Komposisi Campuran Bahan Sampel
Bata Beton Berlubang
Kode

11
Tabel 2. Hasil Analisis Kandungan Logam
Berat Dalam Limbah Lumpur Berminyak

Komposisi Bahan (%)


Lumpur

Pasir

Semen

A-1

24

56

20

A-2

32

48

20

A-3

40

40

20

B-1

27

63

B-2

36

B-3

Parameter

Satuan

Hasil
Analisis

Baku
Mutu

Arsen (As)

mg/l

Barium (Ba)

mg/l

100

10

Cadmium (Cd)

mg/l

0.5

54

10

Chromium (Cr)

mg/l

45

45

10

Copper (Co)

mg/l

10

C-1

25

60

15

Lead (Pb)

mg/l

C-2

34

51

15

C-3

43

42

15

Mercury (Hg)

mg/l

0.05

0.2

SNI

80

20

Selenium (Se)

mg/l

PS

90

10

Silver (Ag)

mg/l

Zinc (Zn)

mg/l

50

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Limbah Lumpur Berminyak
Hasil analisis kadar air menunjukkan bahwa
limbah lumpur berminyak didominasi oleh
air, yaitu sebesar 55,53%. Kandungan air
yang cukup tinggi ini harus direduksi
sedemikian rupa agar dapat memenuhi rasio
perbandingan antara semen dan air sebesar 10
: 4 (Mulyono, 2005).
Nilai pH rata-rata adalah 7,80. Hal ini
menunjukkan
bahwa
limbah
lumpur
berminyak bersifat netral, dimana range pH
masih berada di antara 6 sampai 9. Oleh
karena itu tidak diperlukan proses netralisasi
pH sebelum dimanfaatkan. Berdasarkan hasil
analisis kandungan logam berat, diketahui
bahwa limbah lumpur berminyak yang
dianalisis tidak termasuk dalam kategori
limbah B3. Secara rinci Tabel 2 menunjukkan
semua parameter ujinya memenuhi baku mutu
limbah B3 menurut PP No. 85 Tahun 1999.
Karakteristik Bata Beton Berlubang
(Hollow Block) yang Dihasilkan
Karakterikstik fisik/mekanik bata beton
berlubang sangat ditentukan oleh komposisi
dan berat volume masing-masing bahan baku

yang digunakan (Mulyono, 2005). Dari hasil


penelitian diketahui bahwa berat seluruh
sampel lebih ringan dibandingkan dengan
bata beton berlubang standar SNI. Berat ratarata sampel berkisar antara 7,42 9,18 kg,
sedangkan standar SNI 10,43 kg, dan pasaran
(PS) 8,92 kg. Hasil pengujian secara rinci
dapat dilihat di Tabel 3.
Hal ini terjadi karena adanya subtitusi
penggunaan pasir yang mempunyai berat
volume 1,818 gr/cm dengan limbah lumpur
yang mempunyai berat volume 1,437
gr/cm. Hal ini terlihat pada Gambar 1 yang
menunjukkan bahwa berat sampel semakin
berkurang seiring dengan peningkatan jumlah
limbah lumpur yang digunakan. Hasil
pengukuran porositas sampel menunjukkan
bahwa seluruh sampel memiliki nilai
porositas yang lebih rendah daripada standar
SNI maupun PS.
Nilai porositas rata-rata sampel berkisar
antara 1,97% 3,60%, sedangkan standar
SNI 4,52%, dan PS 5,24% sebagaimana
terlihat pada Tabel 4 dan Gambar 2. Seperti
halnya pada berat, rendahnya nilai porositas
sampel ini juga karena adanya subtitusi pasir
yang mempunyai ukuran butiran 0,2 0,5

12

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 9 - 16

mm dengan limbah lumpur yang mempunyai


ukuran butiran < 0,2 mm.
Tabel 3. Hasil pengujian Berat
Berat Sampel (kg)

KODE

karena adanya subtitusi pasir yang


mempunyai ukuran butiran 0,2 0,5 mm
dengan limbah lumpur yang mempunyai
ukuran butiran < 0,2 mm. Dari Tabel 5 dan
Gambar 3 dapat diketahui bahwa seluruh
sampel memiliki nilai serap air yang lebih
rendah daripada batako standar SNI maupun
standar pasaran. Nilai serap air rata-rata
sampel berkisar antara 1,87% 2,55%,
sedangkan standar SNI 2,88%, dan PS 3,82%.

A-1

#1
9.18

#2
9.20

#3
9.17

Rerata
9.18

A-2

7.80

7.83

7.78

7.80

A-3

7.78

7.81

7.79

7.79

B-1

8.59

8.60

8.62

8.60

B-2

7.74

7.76

7.77

7.76

B-3

7.40

7.43

7.42

7.42

KODE

C-1

7.84

7.81

7.83

7.83

A-1

3.59

C-2

7.70

7.69

7.72

7.70

A-2

2.55

2.56

2.55

2.55

C-3

7.55

7.53

7.55

7.54

A-3

2.48

2.50

2.48

2.49

SNI

10.43

10.40

10.45

10.43

B-1

3.30

3.30

3.31

3.30

PS

8.88

8.89

9.00

8.92

B-2

2.55

2.55

2.56

2.55

B-3

1.90

2.00

2.00

1.97

C-1

2.77

2.78

2.77

2.77

2.48

2.47

2.48

2.48

C-3

2.22

2.25

2.23

2.23

SNI

4.52

4.50

4.55

4.52

PS

5.25

5.25

5.23

5.24

Tabel 4. Hasil Pengujian Porositas


#1

Porositas (%)
#2
#3
3.61

Rerata

3.60

3.60

9.00

8.00

7.00
1

9.18

7.80

7.79

8.60

7.76

7.42

7.83

7.70

7.54

Gambar 1. Perbandingan Jumlah Lumpur


Dengan Berat
Hal ini terlihat pada Gambar 2 yang
menunjukkan bahwa nilai porositas semakin
kecil seiring dengan peningkatan jumlah
limbah lumpur yang digunakan. Nilai
porositas akan mempengaruhi nilai serapan
air dan densitas bata beton berlubang yang
secara langsung akan mempengaruhi kualitas
bata beton berlubang dalam menstabilisasi
logam berat. Seperti halnya pada berat
rendahnya nilai porositas sampel ini juga

4.00
Porositas (%)

Berat Sampel (kg)

10.00

3.50
3.00
2.50
2.00
1.50
1

3.60

2.55

2.49

3.30

2.55

1.97

2.77

2.48

2.23

Gambar 2. Perbandingan Jumlah Lumpur


Dengan Porositas

Mizwar, Pemanfaatan Lumpur Berminyak


Tabel 5. Hasil Uji Serapan Air
Serapan Air (%)
KODE
#1

#2

#3

Rerata

A-1

2.55

2.56

2.55

2.55

A-2

2.15

2.17

2.18

2.17

A-3

2.09

2.10

2.08

2.09

B-1

2.35

2.35

2.34

2.35

B-2

2.08

2.07

2.07

2.07

B-3

1.88

1.87

1.87

1.87

C-1

2.25

2.25

2.24

2.25

C-2

1.97

1.97

1.99

1.98

C-3

1.98

1.99

1.99

1.99

SNI

2.87

2.88

2.88

2.88

PS

3.81

3.81

3.83

3.82

Serapan air (%)

3.00

2.50

2.00

13
Hasil pengukuran densitas seperti terlihat
pada Tabel 6 dan Gambar 4 menunjukkan
bahwa seluruh sampel memiliki nilai densitas
yang lebih rendah daripada bata beton
berlubang standar SNI maupun PS. Nilai
densitas rata-rata sampel berkisar antara 1,11
1,38 gr/cm, sedangkan standar PU 1,56
gr/cm, dan PS 3,81 gr/cm.
Gambar 4 menunjukkan bahwa densitas
sampel bata beton berlubang semakin kecil
seiring dengan peningkatan jumlah limbah
lumpur yang digunakan. Nilai densitas akan
mempengaruhi berat total perluasan pasangan
dinding yang secara langsung akan
mempengaruhi konstruksi bangunan pada saat
bata beton berlubang diaplikasikan di
lapangan.
Hasil uji kuat tekan sampel bata beton
berlubang sebagaimana disajikan pada Tabel
7 dan Gambar 5 menunjukkan bahwa seluruh
sampel memiliki kuat tekan yang lebih rendah
daripada standar SNI. Kuat tekan sampel
berkisar antara 13,33 35,11 kg/cm,
sedangkan standar PU 44,45 kg/cm, dan PS
25,92 kg/cm.
Tabel 6. Hasil Uji Densitas

1.50
1

2.55

2.17

2.09

2.35

2.07

1.87

2.25

1.98

1.99

Gambar 3. Perbandingan Jumlah Lumpur


Dengan Serapan Air
Hal ini menunjukkan bahwa sampel
mempunyai ketahanan/resistensi yang cukup
baik terhadap air dan dinilai layak untuk
menahan terjadinya pelindian logam berat.
Gambar 3 menunjukkan perbandingan antara
jumlah lumpur dengan nilai serapan air. Pada
gambar tersebut terlihat nilai serap air pada
bata beton berlubang semakin kecil seiring
dengan peningkatan jumlah lumpur yang
digunakan.

Densitas (gr/cm)
KODE
#1

#2

#3

Rerata

A-1

1.37

1.38

1.38

1.38

A-2

1.17

1.19

1.17

1.18

A-3

1.12

1.14

1.16

1.14

B-1

1.29

1.27

1.29

1.28

B-2

1.19

1.15

1.17

1.17

B-3

1.09

1.11

1.13

1.11

C-1

1.17

1.17

1.19

1.18

C-2

1.14

1.16

1.17

1.16

C-3

1.14

1.13

1.13

1.13

SNI

1.55

1.56

1.58

1.56

PS

1.33

1.33

1.35

1.34

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 9 - 16


A-3, B-3, dan C-3 tidak memenuhi standar
SNI 03-0349-1989.

Densitas (gr/cm)

1.60

1.40

1.20

1.00
1

1.38

1.18

1.14

1.28

1.17

1.11

1.18

1.16

1.13

Gambar 4. Perbandingan Jumlah Lumpur


Dengan Densitas
Tabel 7. Hasil Uji Kuat Tekan
Kuat Tekan (kg/cm)
KODE
#1

#2

#3

Rerata

A-1

34.67

36.00

34.67

35.11

A-2

30.22

28.00

28.44

28.89

A-3

15.56

14.67

15.33

15.19

B-1

22.22

22.67

21.33

22.07

B-2

22.67

21.33

23.11

22.37

B-3

13.33

12.89

13.78

13.33

C-1

27.56

29.78

28.89

28.74

C-2

25.33

24.44

28.89

26.22

C-3

14.22

13.33

14.67

14.07

SNI

43.56

46.67

43.11

44.45

PS

26.22

25.33

26.22

25.92

Mengacu pada SNI 03-0349-1989, maka


sampel A-1 termasuk kategori bata beton
berlubang mutu II (dapat digunakan untuk
konstruksi yang memikul beban, tetapi
penggunaannya hanya untuk konstruksi yang
terlindung dari cuaca luar), sampel A-2, B-1,
B-2, C-1, dan C-2 termasuk kategori III
digunakan untuk konstruksi yang tidak
memikul beban, untuk dinding penyekat serta
konstruksi lainnya dibawah atap, dan sampel

Mulyono (2005), menjelaskan bahwa


pengerasan semen bukan berasal dari proses
pengeringan, akan tetapi terjadi karena
adanya proses hidrasi pada saat semen
bersentuhan dengan air, sehingga kekuatan
sampel akan bertambah sejalan dengan
bertambahnya umur sampel sampai proses
hidrasi sudah tidak berjalan lagi. Gambar 10
menunjukkan bahwa kuat tekan sampel bata
beton berlubang semakin kecil seiring dengan
peningkatan jumlah limbah lumpur yang
digunakan.
Uji TCLP (Toxicity Characteristic Leaching
Procedure) dilakukan terhadap empat varian
sampel yang memiliki kuat tekan tertinggi,
yaitu A-1, A-2, C-1, dan C-2 dengan hasil
seperti terlihat pada Tabel 8. Dari Tabel 8
dapat diketahui bahwa pada semua varian
sampel memenuhi baku mutu TCLP
berdasarkan PP No.85 tahun 1999. Hal
tersebut
menandakan
bahwa
stabilisasi/solidifikasi
limbah
lumpur
berminyak sebagai bahan campuran dalam
pembuatan bata beton berlubang memberikan
hasil yang signifikan untuk mengimmobilisasi
logam berat yang ada di dalam limbah lumpur
berminyak.

Kuat tekan (kg/cm)

14

40.00
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
1

35.11

28.89

15.19

22.07

22.37

13.33

28.74

26.22

14.07

Gambar 5. Perbandingan Jumlah Lumpur


Dengan Kuat Tekan

Mizwar, Pemanfaatan Lumpur Berminyak

15

Tabel 8. Hasil Uji TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedur)


Hasil Analisis
Parameter
Arsen
(As)
Barium
(Ba)
Cadmium
(Cd)
Chromium
(Cr)
Copper
(Co)
Lead (Pb)
Mercury
(Hg)
Selenium
(Se)
Silver
(Ag)
Zinc
(Zn)

A-1

A-2

C-1

C-2

Baku
Mutu

mg/l

< 0.002

< 0.002

< 0.002

< 0.002

mg/l

0.04

0.05

0.04

0.055

100

mg/l

< 0.006

< 0.006

< 0.006

< 0.006

mg/l

< 0.015

< 0.015

< 0.015

< 0.015

mg/l

tt

tt

tt

tt

10

mg/l

0.0089

0.0091

0.009

0.0091

mg/l

0.00031

0.00033

0.00028

0.00033

0.2

mg/l

tt

tt

tt

tt

mg/l

tt

tt

tt

tt

mg/l

0.083

0.085

0.079

0.09

50

Satuan

4. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa; (1) bata
beton berlubang yang dihasilkan memiliki
berat, porositas, serapan air, dan densitas yang
lebih rendah daripada bata beton berlubang
standar SNI maupun pasaran, (2) semua bata
beton berlubang yang dihasilkan memenuhi
baku mutu TCLP berdasarkan PP No.85 tahun
1999, dan (3) kuat tekan bata beton berlubang
dengan komposisi lumpur:pasir:semen sebesar
24%:56%:20% memenuhi kualifikasi mutu
tingkat II SNI 03-0349-1989 sehingga dapat
digunakan untuk konstruksi yang memikul
beban, tetapi penggunaannya hanya untuk
konstruksi yang terlindung dari cuaca luar.
DAFTAR PUSTAKA
Abbasa, Z.T.; Maqsooda; M.F. Alib (2010).
The Demetallization of Residual Fuel Oil
and Petroleum Residue. Petroleum Science
and Technology. 28 (17). 1770 - 1777.

APHA; AWWA; WEF (1998). Standard


Methods for the Examination of Water and
Wastewater. 20th Edition. Editors; L.S.
Clesceri; A.E. Greenberg; A.D. Eaton.
Washington: American Public Health
Association.
BSN (1989). SNI 03-0349-1989 : Bata Beton
Untuk Pasangan Dinding. Jakarta: Badan
Standardisasi Nasional.
Budiarjo, M.A. (2007). Studi Pengaruh
Bulking Agents Pada Proses Bioremediasi
Lumpur Minyak. Jurnal Purifikasi. 8 (1).
55 - 60.
Damanhuri, E.; dan Adrismar (2001).
Beberapa Karakteristik Oil Sludge Serta
Alternatif Pemanfaatannya. Journal of
JTM. 8 (3). 304 - 312.
Karamalidis, A.K.; dan E.A.Voudrias (2007).
Cement-based stabilization/solidification

16

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 9 - 16


of oil refinery sludge: Leaching behavior of
alkanes and PAHs. Journal of Hazardous
Materials. 148 (1-2). 122 135.

PT. Pertamina (2001). Pedoman Pengelolaan


Limbah Sludge Minyak Pada Kegiatan
Operasi Pertamina. Jakarta: Pertamina.

Mizwar, A.; dan T. Rohman (2010). Studi


Solidifikasi Limbah Lumpur Operasional
Waste Pit PT. Pertamina UBEP Tanjung
Tabalong. Laporan Penelitian tidak
diterbitkan.
Banjarmasin:
Lembaga
Penelitian
Universitas
Lambung
Mangkurat.

PT. Pertamina EP (2012). Company Profile.


(online). (http://www.pertamina-ep.com,
diakses 20 Januari 2012).

Mulyono, T. (2005). Teknologi


Yogyakarta: Penerbit ANDI.

Beton.

Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999


tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun. 1999. Jakarta.
Prasetya,
B.;
Sudijono;
dan
P.
Kasinoputro,(2006). Pemanfaatan Lumpur
Minyak untuk Pembuatan Komposit
Berserat Lignoselulosa. Jurnal Tropical
Wood Science & Technology. 4 (1). 9 - 13.

Spence, R.; dan C .Shi (2006). Introduction,


Stabilization
and
Solidification
of
Hazardous,
Radioactive,and
Mixed
Wastes. USA: CRC Press.
USEPA (1992). Toxicity Characteristic
Leaching Procedure (TCLP) Method. Test
Methods for Evaluating Solid Waste,
Physical/Chemical Methods. Washington:
EPA Publication SW-846

PENURUNAN KANDUNGAN C ORGANIK DAN


PEMBENTUKAN GAS PADA PROSES PENGOMPOSAN
ECENG GONDOK
DECREASING OF ORGANIC C CONTENT AND
FORMATION OF GAS IN THE PROCESS OF WATER
HYACINTH COMPOSTING
Susi A. Wilujeng*1), Dafit A. Prasetyo1)
1)
Jurusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
*)E-mail: susi_wilujeng@yahoo.co.id
Abstrak
Aktivitas domestik, industri dan pertanian menyebabkan sebagian besar sungai di Indonesia telah
terkontaminasi oleh air limbah organik. Hal ini menyebabkan enceng gondok tumbuh subur di
sumber-sumber air seperti sungai dan danau.
Tujuan penelitian ini adalah menentukan laju
penurunan kadar karbon organic untuk menghasilkan biogas yang dapat dimanfaatkan sebagai energy
alternarif. Percobaan dilakukan pada tiga reactor, dua reactor uji (Reaktor A dan B) dan satu reaktor
kontrol (Reaktor C). Bahan baku eceng gondok sebanyak 15 kilogram per reaktor. Reaktor A
ditambahkan Mikroorganisme M-16 dan dilakukan pengadukan. Reaktor
B ditambahkan
Mikroorganisme M-16 dan tanpa pengadukan.
Pengadukan dilakukan sepuluh putaran dengan
memutar drum 360 setiap hari. Penelitian dilakukan selama 60 hari. Parameter yang dianalisa adalah
suhu, kadar air, pH dan produksi gas yang diukur setiap hari. Karbon dan Nitrogen diukur setiap 5
hari sekali. Hasil penelitian menunjukkan penurunan kandungan karbon pada Reaktor A 2,7 lebih
cepat dan Reaktor B 2 lebih cepat dibandingkan Reaktor C. Pembentukan biogas pada reactor A 1,8
lebih banyak jika dibandingkan dengan reactor C dan Reaktor B 1,4 lebih banyak jika dibandingkan
dari Reaktor C.
Kata Kunci: eceng gondok, mikroorganisma M-16, pengadukan, pengomposan

Abstract
Domestic activities, industry and agriculture are causing many of the rivers in Indonesia have been
contaminated by organic wastewater. It causes the water hyacinth thrive in water sources such as
rivers and lakes. The purpose of this study was to determine the rate of decrease in organic carbon
content to produce biogas which can be used as an alternate, energy. Experiments conducted on three
reactors, two test reactor (reactor A and B) and one control reactor (reactor C). Raw materials as
much as 15 kilograms of water hyacinth per reactor. A reactor was added Microorganisms M-16 and
stirring. Reactor B was added Microorganisms M-16 and without stirring. Stirring is done ten rounds
with a 360 rotating drum every day. The study was conducted over 60 days. The parameters
analyzed were temperature, moisture content, pH and gas production were measured every day.
Carbon and nitrogen were measured every 5 days. The results showed a decrease in the carbon
content of 2.7 faster Reactor A and Reactor B Reactor 2 is faster than C. Formation of biogas in the
reactor A 1.8 more than the reactor C and B Reactor 1.4 more than on Reactor C.
Keywords: composting, microorganisms M-16, stirring, water hyacinth

18

1.

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 17-24

PENDAHULUAN

Tanaman eceng gondok merupakan tanaman


air yang tumbuh dan berkembangbiak dengan
baik pada kondisi perairan yang memilki
kandungan nutrien yang tinggi. Nutrien yang
masuk ke dalam badan air dapat berasal dari
limbah pertanian, industri maupun rumah
tangga. Masuknya nutrien ini disebabkan
pemberian pupuk yang berlebih, maupun
pengolahan air limbah. Tanaman eceng
gondok ini mengganggu karena dengan cepat
menutupi permukaan badan air, dimana debit
aliran airnya mencapai 184 m3/det (Pratama,
2000).
Kandungan organik tanaman eceng gondok
cukup tinggi sehingga dapat diolah sebagai
bahan baku kompos (Winarno, 1993).
Penanganan eceng gondok dengan metoda
pengomposan secara anaerobik menimbulkan
gas yang dapat dimanfaatkan sebagai energi.
Pengomposan ini dipengaruhi oleh berbagai
faktor antara lain pengadukan (Matsumura et
al., 2010). dan kecukupan Mikroorganisme
(Sutedjo et al. 1991).
Pada awal pengomposan, mikroorganisme
secara alami telah ada dalam jumlah yang
sedikit. Mikroorganisme memerlukan waktu
untuk aklimatisasi ataupun bertumbuh untuk
mencapai
keseimbangan
rasio
Food
(F)/mikroorganisme (M). Untuk mempercepat
proses penguraian oleh mikroorganisme,
maka
perlu
ditambahkan
sejumlah
mikroorganisme pada awal pengomposan.
Mikroorganisme dan mikroba yang digunakan
dalam proses pengomposan dicampurkan
secara
sengaja
untuk
mempercepat
pematangan kompos dan pembentukan biogas
(Wei et al., 2007).
Penambahan
mikroorganisme
selain
mempercepat proses pematangan kompos
dengan mendegradasi alifatik, protein dan
polisakarida, juga meningkatkan berat
molekul kompos (Xi et al., 2012).
Pembalikan dan pengadukan dilakukan secara
berkala terhadap bahan baku kompos. Hal ini

dimaksudkan agar terjadi pemerataan jumlah


mikroba yang diberikan pada bahan baku
biogas dan kompos (Kuok et al., 2012).
Disamping
itu,
pemerataan
mikroba
dimaksudkan untuk mempercepat proses
pematangan kompos dan pembentukan
biogas, seperti yang ditunjukkan oleh
Matsumura et al. (2010). Nakasaki et al.
(2009)
menyatakan
bahwa
perlakuan
pengadukan pada proses pengomposan akan
menyebabkan pemerataan suhu pada bahan
baku kompos. Suhu mempengaruhi proses
pengomposan dimana suhu optimum untuk
pengomposan secara anaerobik dibagi
berdasarkan jenis bakterinya, yaitu pada
kondisi mesofilik suhu yang paling optimum
adalah 30-38C thermofilik 55-60C dan pada
suhu diatas 66C akan menurunkan aktivitas
biologis secara signifikan (Tchobanoglous et
al., 1993).
Selain itu, dengan pengadukan juga dapat
meratakan faktor yang mempengaruhi
pengomposan seperti kelembapan, kondisi
aerobik, kadar nutrien dan pH. Pengadukan
dilakukan
untuk
meratakan
jumlah
mikroorganisme dan suhu pada proses
pengomposan. Pada penelitian ini dilakukan
penambahan mikroorganisme yang bertujuan
untuk mempercepat proses pengomposan.
2. METODA
Bahan yang digunakan adalah tanaman eceng
gondok sebagai bahan baku yang diambil dari
Bendungan Sengguruh, Kabupaten Malang.
Ada dua jenis enceng gondok yang tumbuh
subur di badan air, yang bertangkai pendek
yang tidak dapat dimanfaatkan sebagai barang
kerajinan seperti pada Gambar 1. Jenis yang
kedua bertangkai panjang seperti yang dapat
dilihat pada Gambar 2. Jumlah enceng
gondok yang digunakan sebanyak 15
kg/reaktor.
Biostarter mikroorganisme M-16 diperoleh
dari Jurusan Kedokteran Hewan Universitas
Airlangga.
Reaktor
yang
digunakan
merupakan reaktor drum plastik berukuran 70
Liter yang didesain dan dirakit sedemikian

Wilujeng, Penurunan Kandungan C Organik

rupa sehingga dapat digerakkan secara


memutar 360. Reaktor yang digunakan dapat
dilihat pada Gambar 3. Reaktor dirancang
dengan perlengkapan penyaluran gas dan
lindi. Reaktor juga dilengkapi penampungan
gas sedemikian rupa agar kondisi anaerobik
dapat dipertahankan. Pengadukan dilakukan
dengan memutar reaktor sebanyak 10 putaran
setiap hari.

19

Tabel 1. Variabel penelitian


Reaktor

Perlakuan

Pengadukan dan
Penambahan
Mokroorganisma

Penambahan
mikroorganisma

Tanpa Pengadukan dan


Penambahan
Mokroorganisma

Penambahan mikroorganisme sebanyak 2


mL/kg sampel (bahan kompos) (Pandebesie
dan Rayuanti, 2011). Penelitian dilakukan
selama 60 hari. Sampel diambil setiap tiga
atau lima hari sekali, tergantung parameter
yang diuji.
Gambar
pendek

1.

Enceng

gondok

bertangkai

Gambar
panjang

2.

Enceng

gondok

bertangkai

Parameter yang diuji adalah pH, suhu, kadar


air, N, P dan K. Analisa suhu menggunakan
termometer, pH dengan pH meter yang sudah
dikalibrasikan,
produksi
gas
dengan
mengukur jumlah gas yang dihasilkan, analisa
kadar air dan kadar C organik dengan metode
gravimetri. Analisa kadar N dengan analisa
Kjieldahl.
Percobaan disusun dengan membuat dua
variasi penelitian, yaitu dengan pengadukan
dan penambahan mikroorganisme. Ketiga
reactor dioperasikan secara serentak. Variabel
penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 3. Rangkaian Reaktor Penelitian


3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penurunan kandungan C organik dipengaruhi
terutama oleh aktivitas mikroorganisme.
Mikroorganisme dapat hidup dengan baik
pada kondisi suhu, pH, Kadar Air dan nutrien
yang tersedia Perbandingan persentase
penurunan kandungan C organik dapat dilihat
pada Gambar 4.

20

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 17-24

Pada Gambar 4 dapat dilihat persentase


penurunan terbesar terjadi pada Reaktor A.
Persamaan penurunan yang didapat untuk
masing-masing reaktor adalah sebagai
berikut; Reaktor A yaitu y = -1,003 x + 26,6
dengan R2 = 0,928, Reaktor B yaitu y = 0,824 x + 24,08 dengan R2 = 0,955 dan
Reaktor C yaitu y = -0,59 x+ 26,24 dengan R2
= 0,932.

30

Kadar C (%)

25
Reaktor
A
Reaktor
B
Reaktor
C

20
15
10
5
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Waktu Pengamatan ke-

Gambar 4. Penurunan Kadar Karbon.


Pengaruh kadar air terhadap penurunan
kandungan C Organik.
Kadar air yang terkandung pada tanaman
eceng gondok secara alami sangat tinggi,
karena merupakan tanaman air. Kandungan
air cukup tinggi ini ditambah lagi dengan
penambahan air pelarut biostarter pada awal
analisa, sehingga pada awal pengomposan
kadar air sampai mencapai 90%. Kadar air
diperlukan mikroorganisme untuk beraktivitas
(Mandasari, 2009). Kadar air ini juga
menyebabkan kondisi pengomposan dapat
dipertahankan anaerobik, karena rongga yang
terbentuk pada tumpukan sampel terisi oleh
air.
Kadar air pada masing-masing reaktor
mengalami fluktuasi, tetapi mempunyai
kecenderungan yang terus menurun sepanjang
waktu pengomposan, seperti yang dapat
dilihat pada Gambar 3. hasil penelitian

menunjukkan
bahwa
pengadukan
berpengaruh pada laju pengomposan, dimana
pengadukan dapat meratakan mikroorganisme
dan suhu ke seluruh bagian sampel.
Penurunan kandungan C organik diikuti
penurunan kandungan air seperti yang dapat
dilihat pada Gambar 2. Mikroorganisme
memanfaatkan air untuk aktivitasnya. Reaksi
biokimia akibat aktivitas mikroorganisme
yang terjadi dalam proses pengomposan
meningkatkan suhu proses. Air yang
terbentuk pada proses ini, sebagian terdapat
dalam bentuk uap air, air yang tertahan dalam
timbunan bahan baku dan sebagian lagi
membentuk lindi. Lindi yang terbentuk
dialirkan ke luar reaktor.
Tingkat kematangan kompos salah satunnya
ditunjukkan oleh kadar air yang mendekati
angka 50-60% (SNI, 2004). Pada penelitian
ini kadar air belum mencapai standar SNI. Hal
ini disebabkan sebagian lindi yang terbentuk,
tertahan di dalam reaktor. Karena itu, untuk
memperoleh hasil kompos yang dihasilkan
masih perlu proses pematangan, untuk
menstabilkan kompos dan mengurangi kadar
airnya.
Pengaruh Suhu Terhadap
Kandungan C organik.

Penurunan

Selama proses pengomposan terjadi fluktuasi


suhu pada masing-masing reaktor, seperti
yang dapat dilihat pada Gambar 5. Pada
Reaktor A suhu yang dicapai hampir selalu
berada diatas suhu kedua reaktor lainnya.
Keberadaan mikroorganisme dari hasil
pemberian biostarter pada Reaktor A dan B
menunjukkan suhu yang dicapai lebih tinggi
dibandingkan dengan reaktor C.
Pemerataan
mikroorganisme
dengan
pengadukan menujukkan Reaktor A ini
mencapai suhu lebih tinggi dibandingkan
dengan reaktor B dan C. Suhu untuk
pengomposan secara anaerobik terbagi
menjadi kondisi suhu yang optimum untuk
bakteri mesofilik yaitu sekitar 30-38C dan
termofilik sekitar 55-60C

Wilujeng, Penurunan Kandungan C Organik

30

Kadar Air (%)

80
20
70
15

60
50

10
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Waktu Pengomposan (hari)
Reaktor A
Reaktor C
Reaktor B

Reaktor B
Reaktor A
Reaktor C

30

40

25

30

20

20

15

10

Kadar Karbon (%)

25

Kadar Karbon (%)

90

50

Suhu (C)

100

21

10
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Waktu Pengomposan (hari)
Reaktor A
Reaktor C
Reaktor B

Reaktor B
Reaktor A
Reaktor C

Gambar 5. Kadar Air vs Kadar Karbon

Gambar 6. Suhu vs Kadar Karbon

Suhu di atas 66C akan menurunkan aktivitas


biologis secara signifikan (Tchobanoglous,
1993). Suhu yang dicapai masing-masing
reaktor bikisar pada rentang 26-37C.
Berdasarkan hal tersebut, suhu yang
ditunjukkan selama waktu pengomposan
sesuai dengan kriteria mikroorganisme
anaerobik
yang
tergolong
pada
mikroorganisme mesofilik. Pada minggu
pertama pengomposan suhu yang dicapai 3237C.
Hal
tersebut
menunjukkan
mikroorganisme pada tahap pemecahan
alifatik, protein dan polisakarida (Wei et a.l,
2007).

Penurunan kadar karbon juga terpengaruh dari


kondisi suhu yang dicapai. Kondisi suhu yang
terlalu rendah menyebabkan penurunan yang
terjadi juga lebih lambat seperti yang terjadi
pada hari ke-9 hingga hari ke-21.

Kemudian secara berangsur-angsur suhu


mulai turun. Pada pertengahan percobaan
mulai terjadi fluktuasi yang diakibatkan oleh
jumlah mikroorganisme ataupun aktivitas
mikroorganisme yang terdapat dalam reaktor
mengalami kenaikan.
Pengaruh suhu terhadap penurunan kadar C
organik pada reaktor A dapat dilihat pada
Gambar 6. yang menunjukkan bahwa kadar
karbon terus menurun seiring dengan waktu
pengomposan
mikroorganisme pengurai
masih aktif menguraikan sampel.

Pengaruh pH Terhadap
Kandungan C organik

Penurunan

Waktu pengomposan dapat terlihat pada


Gambar 7. yang diketahui bahwa kondisi pH
basa yaitu dengan rentang pH sekitar 7,3
hingga 9. Derajat keasaman ini disebabkan
oleh suhu yang tidak terlalu tinggi sehingga
ion OH- tidak bisa terlepas ke udara. Serta,
keadaan sampel yang merupakan bahan yang
berasal dari tanaman eceng gondok yang
berada pada Bendungan Sengguruh yang
tercemar deterjen, sabun dan beberapa polutan
yang bersifat basa. Pada kondisi pH yang
bersifat basa berdampak pada sebagian besar
aktivitas mikroorganisme.
Aktivitas mikroorganisme yang terhambat
dapat mengakibatkan laju pengomposan
semakin lambat. Selain itu, hal tersebut juga
berdampak terhadap produksi gas yang
terjadi. Karena pH yang terlalu tinggi juga

22

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 17-24

tidak akan sesuai dengan mikroorganisme


yang hidupnya pada pH netral atau asam. Hal
tersebut dapat berdampak terhadap kematian
mikroorganisme.
Berdasarkan hasil analisa pada Gambar 7
maka dapat diketahui bahwa kondisi pH yang
terjadi pada masing-masing reaktor fluktuatif.
Penurunan serta kenaikan pH juga terlihat
jelas pada Gambar 5. Kondisi pH yang
fluktuatif
berdampak
pada
kondisi
pengomposan yang tidak stabil.
Pada Gambar 7 juga terlihat hubungan antara
penguraian karbon dengan kondisi pH
optimum 6,5-8. Seperti yang terlihat pada hari
ke-27 hingga hari ke-30 waktu pengomposan
terjadi penurunan kadar karbon yang
signifikan. Kondisi penurunan ini pada akhir
pengamatan masih terlihat terjadi penurunan
kadar karbon dengan kondisi pH yang masih
basa atau sekitar 8,4.

10
9
8

25

pH

30

20

7
6

15

5
4

10
0

Kadar Karbon (%)

12
11

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Waktu Pengomposan (hari)
Reaktor A

Reaktor B

Reaktor C

Reaktor A

Reaktor B

Reaktor C

Gambar 7. pH vs Kadar Karbon


Pembentukan Gas
Gas yang terbentuk pada reaktor dapat terlihat
pada Gambar 8 dimana setiap reaktor
menghasilkan gas yang hampir sama setiap
harinya. Pada awal dan akhir pengamatan
sudah tidak terbentuk gas lagi. Produksi gas

terhenti karena sejumlah bakteri yang ada


pada reaktor telah berkurang jumlahnya,
terlihat dari jumlah gas yang berkurang.
Berdasarkan hasil analisa tersebut diketahui
bahwa produksi gas masing-masing reaktor
fluktuatif dan produksi gas yang paling
banyak terjadi pada saat pertengahan waktu
pengomposan. Seperti penelitian yang telah
dilakukan oleh Fukomoto et al (2004) dan
Szanto et al (2007) bahwa pada berbagai
percobaan tentang emisi CH4 mencapai
produksi maksimum pada 5 hari pertama, dan
bisa mencapai angka 63% hingga 93 % dari
total CH4 yang dihasilkan pada 2 minggu
pertama. Produksi CH4 oleh bakteri
metanogen menjadi terbatas atau terkurangi
karena kondisi yang tidak anaerobik lagi
sebagai akibat dari pembentukan CH4 yang
pesat juga menghasilkan O2 yang pesat di
periode awal.
Seperti yang terlihat pada Gambar 6 diketahui
bahwa pembentukan gas terbanyak ialah dari
Reaktor A. Pada Reaktor A menghasilkan gas
lebih baik dibandingkan kedua reaktor alinnya
mengingat
campuran
biostarter
yang
dikombinasikan dengan pemerataan bakteri
dengan pengadukan. Sehingga proses
penguraian
serta
pembentukan
gas
menyeluruh dan menyebar rata di setiap
bagian pada sampel yang ada dalam reaktor.
Produksi gas secara kumulatif apabila
dibandingkan dengan penurunan kandungan
karbon pada sampel dapat terlihat pada
Gambar 8. Jumlah gas yang dihasilkan dari
masing-masing reaktor berbanding terbalik
dengan penurunan kadar karbon pada sampel.
Karena gas yang dihitung secara kumulatif,
yang artinya terjadi penambahan gas dari hari
ke hari waktu pengomposan. Sedangkan
penguraian kadar karbon secara bertahap
berkurang karena telah terurai menjadi
senyawa yang lebih sederhana dan terjadi
setiap hari waktu pengomposan.

Wilujeng, Penurunan Kandungan C Organik

30

300

Gas (mL)

200

20

150
100

15

50
0

Kadar Karbon (%)

25

250

10
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Waktu Pengomposan (hari)
Reaktor A
Reaktor B
Reaktor C
Reaktor A
Reaktor B
Reaktor C

Gambar 8. Pembentukan Gas Kumulatif vs


Kadar Karbon
Pembentukan gas dapat dilihat pada Gambar 8
dimana laju pembentukan gas tercepat adalah
pada Reaktor A yang lebih cepat 1,8 kali
dibandingkan Reaktor C dan Reaktor B lebih
cepat 1,2 kali dibandingkan Reaktor C. Hal
ini sesuai dengan memperhitungkan reaksi
dengan orde 1 reaksi kimia, dimana konstanta
laju pembentukan gasnya.
Konstanta (k)
pada rumus tersebut merupakan kecepatan
pembentukan biogas pada masing-masing
reaktor. Dengan membandingkan konstanta
yang dimiliki masing-masing reaktor, maka
dapat diketahui reaktor yang lebih cepat
didalam pembentukan biogas.
Seluruh kombinasi variabel penelitian
menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar
karbon yang ada pada masing-masing reaktor.
Karbon organik yang terdapat pada sampel
merupakan senyawa organik kompleks dan
terbaca sebagai senyawa karbon pada analisa
gravimetri.
Senyawa
karbon
organik
kompleks ini diurai oleh bakteri pengurai
yang terdapat pada masing-masing reaktor
menjadi senyawa organik sederhana. Senyawa
karbon organik ini terlepas ke udara sebagai
karbon dioksida dan terhitung sebagai
penurunan kadar karbon.
Jika dibandingkan konstanta yang dimiliki
masing-masing reaktor, maka dapat diketahui

reaktor yang lebih cepat dalam penguraian


senyawa karbon organik. Penurunan kadar
karbon tercepat adalah pada Reaktor A yang
lebih cepat 1,7 kali dibandingkan Reaktor B
dan Reaktor B 1,4 kali lebih cepat
dibandingkan Reaktor C. Hal ini sesuai
dengan memperhitungkan reaksi dengan orde
1 reaksi kimia. Konstanta (k) pada rumus
tersebut merupakan kecepatan penguraian
kadar karbon pada masing-masing reaktor.
Penurunan rasio C/N dapat dilihat pada
Gambar 9 dimana rasio terendah yang dicapai
pada akhir penelitian terjadi pada reactor A
dan B. Hal ini menunjukkan proses
penguraian sampah menjadi kompos sudah
tercapai. Hanya saja untuk memperoleh
kualitas kompos yang lebih baik, diperlukan
proses pematangan.
60
C/N Ratio

350

23

50
40

Reaktor A

30

Reaktor B

20

Reaktor C

10
0 1 2 3 4 5 6 7 8 910111213
Waktu Pengamatan ke-

Gambar 9. Laju Penurunan C/N Rasio

4. KESIMPULAN
Pada penelitian ini diperolah hasil bahwa
penambahan
mikroorganisma
dan
pengadukan dapat
meningkatkan laju
pengomposan enceng gondok. Reaktor A
lebih cepat di dalam pengomposan karena
dapat menurunkan karbon dan nitogen dalam
rasio C/N dengan 2,7 kali dan Reaktor B 2
kali lebih cepat dibandingkan dengan Reaktor
C. Sedangkan dari pembentukan gasnya

24

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 17-24

diketahui bahwa Reaktor A lebih baik dalam


produksi gas 1,8 kali dan Reaktor B 1,2 kali
lebih baik dibandingkan Reaktor C.
DAFTAR PUSTAKA
Avcioglu, A. Onurbas and Turker, U. (2012).
Status and Potential of Biogas Energy
from Animal Wastes in Turkey.
Renewable and Sustainable Energy
Reviews 16. 1557-1561.
Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2004.
Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik
Domestik. SNI 19-7030-2004.
Kuok, F., Hiroshi M., Kiyohiko N. 2012.
Effects of Turning on The Microbial
Consortia and The In-Situ Temperature
Preferences of Microorganisms In a
Laboratory-scale
Swine
Manure
Composting. Bioresource Technology.
116. 421-427.
Nakasaki, K., L.T.H. Tran., Y Idemoto., M
Abe dan Rollon A. P. (2009). Comparison

of Organic Matter Degradation an


Microbial Community During Thermofilic
Composting of Two Different Types of
Anaerobic
Sludge.
Bioresource
Technology. 100. 676-682.
Pandebesie, E. S. dan Rayuanti D. (2012).
Pengaruh Penambahan Sekam pada Proses
Pengomposan
Sampah
Domestik.
Lingkungan Tropis. 6(1). 31-40.
Sutedjo, E. S, A. G. Kartasapoetra, R. D. S.
Sastroatmodjo. 1991. Mikrobiologi Tanah.
Rineka Cipta: Jakarta.
Tchobanoglous, G., H. Theisen dan S. A.
Vigil. 1993. Integrated Solid Waste
Management. Mc GrawHill Inc.
Wei, Zimin., Beidou Xi., Yue Zhao., Shiping
Wang., Hongliang Liu., dan Youhai Jiang.
(2007). Effect of Innoculating Microbes in
Municipal
Waste
Composting
on
Characteristics
of
Humic
Acid.
Chemosphere. 68. 368-374.

PENYERAPAN GAS CO HASIL PEMBAKARAN SAMPAH


MENGGUNAKAN MODIFIKASI SORBEN Ca(OH)2 DALAM
REAKTOR FIXED BED
CO GAS OF BURNING WASTE ABSORBTION BY USING Ca(OH)2
SORBENT MODIFIED IN FIXED BED REACTOR
Mariana*1)
1)
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
*)
Email: mariana_hasyim@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan reaktifitas sorbent Ca(OH)2 dengan menggunakan tanah
diatomeae (DE) sebagai sumber silika dan kompos sebagai sumber biosorbent. Tanah diatomea umumnya
mengandung CaO, SiO2 dan Al2O3. Reaksi antara SiO2 dengan Ca(OH)2 membentuk kalsium silicate
hidrat (CaO.SiO2.2H2O) yang mempunyai porositas dan reaktifitas yang tinggi. Kompos mengandung
bakteri sebagai biosorbent yang dapat mengubah gas CO menjadi CO2 dan CH4. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa reaktifitas sorbent Ca(OH)2 meningkat dengan penambahan DE dan kompos. Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa penyerapan gas CO meningkat dengan meningkatnya tinggi unggun
sorbent dan temperatur. Penyerapan gas CO tertinggi diperoleh pada penggunaan modifikasi sorbent
Ca(OH)2/DE/kompos (3:1:1), temperatur 150oC dan tinggi unggun sorbent 6 cm dari variabel yang
dilakukan.
Kata kunci: Fixed bed reactors, Penyerapan gas, Sorbent Ca(OH)2/tanah diatome/kompos
Abstract
This study aims to improve the reactivity of sorbent Ca(OH)2 by using the land as a source of silica
diatomeae and compost as a source of biosorbent. Diatomaceous earth generally contains CaO, SiO2 and
Al2O3. The reaction between SiO2 with Ca(OH)2 to form calcium silicate hydrate (CaO.SiO2,2H2O) which
has a high porosity and reactivity. Compost as biosorbent contains bacteria that can convert CO into CO2
and CH4 gas. The results showed that the reactivity of sorbent Ca(OH)2 increased with the addition of DE
and compost. The results also showed that the CO gas absorption increases with increasing height and
temperature sorbent bed. Highest CO gas absorption obtained on the use of modified sorbent Ca(OH)2
/DE/kompos (3:1:1), temperature 150oC and sorbent bed height 6 cm from the variable which had been
done.
Keywords: Fixed bed reactors, gas absorption, sorbent Ca(OH)2

26

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 25-33

1. PENDAHULUAN
Jutaan sampah dibuang ke lingkungan setiap
harinya. Sebagian besar sampah ditumpuk
dalam bentuk landfill di permukaan tanah,
dibuang ke sungai atau laut tanpa penenganan
terlebih dahulu. Sampah merupakan masalah
yang paling serius terutama untuk daerah
perkotaan yang berpenduduk padat. Salah satu
penanganan sampah dapat dilakukan melalui
proses pembakaran di dalam sebuah
incinerator (alat pembakaran sampah).
Gas-gas hasil pembakaran sampah dalam
incinerator unumnya mengandung: (1) debu;
(2) gas-gas seperti sulfur dioksida (SO2),
nitrogen oksida (NOx), carbon monoksida
(CO), asam hydroklorik; (3) dan logam-logam.
Semua gas-gas tersebut di atas sangat
berbahaya karena dapat berekasi dengan
radikal bebas di udara membentuk asam yang
dapat menyebabkan terjadinya hujan asam dan
penipisan
lapisan
ozone
sehingga
menyebabkan terjadinya panas global bumi
serta dapat menyebabkan berbagai penyakit
seperti iritasi pernapasan, batuk dan
sebagainya yang dapat meningkatkan angka
kematian.
Berbagai teknologi proses penyisihan gas hasil
pembakaran telah dilakukan. Proses yang
umum digunakan adalah proses kering dan
proses basah. Penggunaan proses kering
mempunyai beberapa keunggulan dari proses
basah antara lain: (1) murah; (2) mudah
penanganan; dan (3) tidak menghasilkan
limbah cair. Salah satu proses pemisahan gas
secara kering yang efektif, sederhana, mudah
penanganan dan murah adalah menggunakan
reaktor bag filter dengan menggunakan
absorbent Ca(OH)2. Namun demikian proses
ini juga mempunyai beberapa kelemahan
antara lain adalah rendahnya konversi sorbent
dan effisiensi pemisahan gas (Mariana et al.,
2003; Seno et al., 1996; Uchida et al., 1979).
Untuk meningkatkan efisiensi pemisahan gas
dan meningkatkan reaktifitas sorbent (konversi
kalsium), berbagai variasi bahan tambahan
(additive) dapat ditambahkan ke dalam

sorbent. Sorbent yang diperoleh dengan


mencampur kalsium (Ca(OH)2) di dalam air
dengan bahan mengandung silika dapat
meningkatkan konversi kalsium dibandingkan
dengan koversi kalsium yang diperoleh tanpa
campuran additive (Garea et al., 1996).
Penambahan kompos ke dalam sorbent
Ca(OH)2 bisa meningkatkan pemisahan gas
CO yang disebabkan oleh bakteri sebagai
biosorbent akan mengubah gas CO menjadi
gas CO2 dan CH4 (Suprapto, 2003). Penelitian
tentang modifikasi sorbent Ca(OH)2 dengan
DE dan kompos sejauh ini belum
diketemukan. Penelitian ini difokuskan pada
persiapan
absorbent
Ca(OH)2
yang
mempunyai reaktifitas yang tinggi dengan
penambahan additive tanah diatome (DE) dan
kompos.
Berbagai literatur mengemukakan bahwa
reaksi pozzolanic antara silika dengan
Ca(OH)2 di dalam larutan (slurry) membentuk
kalsium silikat hidrat (hydrated calcium
silicates (CSHs)) dan kalsium alumina (CAHs)
yang tinggi yang dapat meningkatkan
reaktivitas dari sorbent Ca(OH)2 (Liu et al.,
2002; Ho dan Shih, 1992; Ishizuka et al.,
2000). Gambar 1 menunjukkan model reaksi
pozzolanic Ca(OH)2 dengan silika yang
mengandung DE.

Hydrated Calcium Silicate


(CSHs)
Ca(OH)2

D.E.
Slurring

Gambar 1. Model reaksi pozzolanic Ca(OH)2


dengan silika yang mengandung DE (Mariana,
2003)

Mariana, Penyerapan Gas CO Hasil Pembakaran Sampah

Beberapa literatur juga menyebutkan bahwa


reaktifitas sorbent sangat tergantung pada luas
permukaan kontak sorbent (specific surface
area) (Klinspor dkk., 1983; 1984). Secara jelas
pengaruh luas permukaan kontak terhadap laju
reaksi dengan menggunakan Ca(OH)2 sebagai
sorbent padat telah dilaporkan oleh beberapa
literatur (Irabien et al., 1992; Ortiz et al.,
1993). Tsuchiai et al., (1995) menyebutkan
bahwa penghilangan gas maksimum diperoleh
ketika pada waktu sebuah sorbent mencapai
diameter pori rata-rata (mean pore diameter)
maksimum, tetapi pada saat itu luas
permukaan kontak spesifik (specific surface
area) belum mencapai maksimum. Renado et
al., (1999) menunjukkan bahwa volume
mesopore
dan
macropore
merupakan
komponen yang paling utama yang
berhubungan dengan reaktifitas sorbent dan
konversi penyisihan gas.
Lin dan Shih (2003) menyebutkan bahwa
peningkatan luas permukaan kontak spesifik
(specific surface area) sangat dipengaruhi oleh
peningkatan volume total pori. Jozewicz et al.,
(1987) menyebutkan bahwa peningkatan
spesies hidrat (hydrated species) yang terdapat
di dalam permukaan sorbent
dapat
meningkatkan
reaktifitas
padatan
dan
diharapkan untuk menghilangkan hidrasi air
dengan pengontakan sorbent dan gas panas
untuk menghasilkan pori baru yang
mempunyai luas permukaan kontak baru.
Peristiwa ini umumnya dikenal dengan proses
kalsinasi. Jika reaktifitas sorbent sangat
tergantung pada luas permukaan kontak
spesifik (specific surface area) dan volume
total pori, maka sangatlah penting untuk
meningkatkan luas permukaan kontak spesifik
dan volume pori dari sebuah sorbent padat
melalui proses kalsinasi.
Kompos adalah hasil penguraian parsial atau
tidak lengkap dari campuran bahan-bahan
organik yang dapat dipercepat secara artifisial
oleh populasi berbagai macam mikroba dalam
kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan
aerobik atau anaerobic. Pengomposan adalah
proses dimana bahan organik mengalami

27

penguraian secara biologis, khususnya oleh


mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan
organik sebagai sumber energi. Membuat
kompos adalah mengatur dan mengontrol
proses alami tersebut agar kompos dapat
terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi
membuat campuran bahan yang seimbang,
pemberian air yang cukup, mengaturan aerasi,
dan penambahan aktivator pengomposan.
Kompos sangat bermanfaat untuk mengurangi
tingkat cemaran udara yang berasal dari
sumber-sumber zat pencemar berupa bahan
organik mudah-menguap yang banyak
digunakan sebagai pelarut pada industri kimia,
industri polimer, dan laboratorium seperti gas
CO dan senyawa hidrokarbon lainnya
(Supriyono, 1999).
2. METODA
Persiapan bahan yang diperlukan meliputi
pengadaan bahan-bahan berupa: (1) Ca(OH)2;
(2) tanah diatome; (3) kompos; dan (4)
aquades. Tanah diatome dan kompos
dihaluskan dan diayak sesuai dengan variable
proses yang dilakukan. Sedangkan peralatan
yang dipersiapkan meliputi: (1) erlemenyer;
(2) pipet volum; (3) aluminium foil; (4) corong
pemisah; (5) gelas ukur; (6) magnetic
stirrer/water batch; dan (6) termometer. Kapur
hidrat (hydrated lime) yang digunakan dalam
percobaan ini adalah Ca(OH)2 murni (99.9% Ca(OH)2), sedangkan tanah diatome yang
digunakan berasal dari NAD dengan
komposisi: SiO2 = 33,94%, Al2O3 = 4,89%
dan innert = 61,17% (Data primer, Baristan,
2009).
Persiapan sorbent Ca(OH)2/DE ditunjukkan
pada Gambar 2. Kapur hidrat dan additive DE,
bersama-sama dengan 100 g air dimasukkan
ke dalam beaker polypropylene conical pada
berbagai variasi rasio Ca(OH)2/additives
dengan
rasio
berat
air/padatan
(Ca(OH)2+additives) adalah 10. Beaker
kemudian ditutup dan dimasukkan ke dalam
wash water bath pada temperatur 65oC.
Kemudian diaduk dengan magnetic stirrer
selama 2 jam.

28

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 25-33

Setelah diaduk, slurry dikeringkan selama 24


jam pada temperature 120oC dan solid
kemudian dikalsinasi pada berbagai variasi
temperature selama 2 jam. Cake hasil
pengeringan dihaluskan dan kemudian setelah
dilakukan analisa spesifik surface area
(SBET). Cake sorbent Ca(OH)2/DE dengan
kehalusan 350 mesh dicampur dengan kompos
350 mesh dengan perbandingan 3:1:1. Kompos
yang digunakan merupakan pupuk kompos
olahan limbah sawit dengan komposisi: air =
45-50%, abu = 12,6%, N = 2-3%, C = 35,1%,
P = 0,2-04%, K = 4-6%, Ca = 1-2%, Mg = 0,8-

1,0%, C/N = 15,03% dan bahan organik >


50%
(Supriyono,
1999).
Sorbent
Ca(OH)2/DE/kompos kemudian dimasukkan
ke dalam fixed bed reaktor pada keteinggian
tertentu (2 cm, 4 cm, 6 cm) untuk test aktifitas.
SEM, Hitachi S-3000N digunakan untuk
melihat marfologi sorbent. Konsentrasi gas
masuk dan keluar reaktor dnalisa dengan
menggunakan Bacharach.Inc 450 Analyzer.
Adapun skema pengetesan aktifitas sorbent
dan proses penyerapan gas masing-masing
ditunjukkan pada Gambar 3 dan Gambar 4.

1. Ca(OH)2 + additive

2. Water
5

3. Mixer
4. Water bath
5. Heater

6. Magnetic stirrer

2
3
6

Gambar 2. Persiapan sorbent (Skema)

Gas hasil pembakaran

sampah

Kompresor

Fixed Bed
Reactor

Gambar 3. Skema tes aktifitas sorbent

Inpektor

Analisa

Mariana, Penyerapan Gas CO Hasil Pembakaran Sampah

29

Gambar 4. Skema rangkaian proses penyerapan gas


Keterangan:
1. Alat pembakaran sampah
2. Kompressor
3. Furnace
4. Fixed Bed Reaktor
5. Thermocouple
6. Temparatur kontrol
7. Inspektor
8. Bacharach Inc. 450

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengaruh jenis sorbent terhadap efesiensi
penyerapan gas
Gambar 5 menunjukkan bahwa efisiensi
penyerapan gas CO untuk semua jenis sorbent
berada diatas 10%. Efesiensi penyerapan gas
CO yang paling tinggi adalah pada sorbent
Ca(OH)2+DE+kompos yaitu sebesar 48,761%
dalam variabel percobaan yang dilakukan. Hal
ini dikarenakan sorbent memiliki kandungan
gugus silika yang berfungsi sebagai peningkat
reaktifitas sorbent serta adanya komponen
kompos
seperti
bakteri
yang
dapat
menguraikan gas CO menjadi gas metana
dengan adanya Hidrogen dan gas CO2 dengan
adamya oksigen. Menurut Suprapto (2003),
kehadiran kompos di dalam sorbent Ca(OH)2

dapat meningkatkan penurunan konsentrasi


CO di dalam gas hasil pembakaran. Penurunan
konsentrasi CO ini dikarenakan terdapat
beyono, berupa bakteri anaerobic seperti
Methanobacterium dan Methanocarcina dapat
mengubah gas CO menjadi metana dengan
adanya hydrogen. Hidrogen terbentuk dari
reaksi antara Ca(OH)2 dengan gas CO hasil
pembakaran (Alizar, 2005).

CO(g)+Ca(OH)2(s)  Ca(CO)3(s)+H2(g)..(1)
Karbonmonoksida dioksidasi dan berlaku
sebagai donor electron selama pertumbuhan
berbagai bakteri Clostridia.

30

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 25-33

sorbent Ca(OH)2+DE lebih besar daripada


porositas sorbent Ca(OH)2 murni, sehingga
efesiensi penyerapan gas lebih tinggi pada
sorbent Ca(OH)2+DE.

Gambar 5. Pengaruh jenis sorbent terhadap


efesiensi penyerapan gas pada temperatur
150oC dan tinggi unggun 6 cm

Hal ini sesuai dengan penelitian yang


dilakukan oleh Mariana (2003) yang
menyatakan bahwa sorbent Ca(OH)2+DE
mempunyai porous yang lebih besar dari
sorbent Ca(OH)2 murni seperti ditunjukkan
pada Gambar 7. Reaksi pozzolanic antara
silika dengan Ca(OH)2 di dalam larutan
(slurry) membentuk kalsium silikat hidrat
(hydrated calcium silicates (CSHs) dan
kalsium alumina (CAHs) yang tinggi yang
dapat meningkatkan reaktivitas dari sorbent
Ca(OH)2 (Liu et al., 2002), seperti yang
ditunjukkan pada reaksi berikut:

Beberapa bakteri aerobik yang lain dalam


bentuk populasi campuran dapat mengubah

Ca(OH)2+SiO2+H2O  CaO.SiO2.2H2O.... (5)

gas CO menjadi metana dengan adanya


hidrogen (Suprapto, 2003):

Pengaruh Tinggi Unggun


Efesiensi Penyerapan Gas

CO(g) + 3H2(g)  CH4(g)+H2O(l).(2)

Pengaruh Reaksi Terhadap Densitas

Beberapa bakteri anaerobik Methanocarcina


dan Methanobacterium dengan adanya
hidrogen dapat mengubah gas CO menjadi
CH4 dan tanpa menggunakan oksigen dapat
mengoksidasi CO menjadi CO2 (Kluyver dan
Schellen, 1974).

Tinggi unggun berpengaruh terhadap efesiensi


penyerapan gas, semakin tinggi unggun maka
efesiensi penyerapan gas akan semakin tinggi.
Hal ini disebabkan karena kontak antara
sorbent dengan gas semakin lama, sehingga
gas yang terserap akan semakin besar.

4CO + 2H2O  3CO2 +CH4 ....................... (3)

Hal ini sesuai dengan penelitian yang


dilakukan oleh Suprapto (2003) yang
menyatakan bahwa semakin tinggi unggun
maka efesiensi penyerapan gas akan semakin
besar, pada tinggi unggun 15 cm gas yang
terserap adalah 45% sedangkan pada tinggi
unggun 75 cm gas yang terserap adalah
91,06%. Gambar 8 memperlihatkan pengaruh
ketinggian
unggun
terhadap
efesiensi
penyerapan gas untuk masing-masing sorbent.

Spesies
seperti
Carboxydomonas,
Hydrogennomonas, Bacillus dan bakteri
pengoksidasi tanah dapat mengoksidasi gas
CO menjadi CO2 (Hubley, 1974).
CO(g)+1/2O2(g)  CO2(g) ..(4)
Di samping hal tersebut di atas penyerapan gas
SO2, CO dan HC lebih tinggi menggunakan
modifikasi sorbent Ca(OH)2/DE/kompos
dikarenakan porositas sorbent Ca(OH)2+DE
lebih besar dibandingkan sorbent Ca(OH)2
murni. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisa
SEM yang ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6 menunjukkan bahwa porositas

Terhadap

Unggun merupakan salah satu faktor yang


mempengaruhi penyisihan gas CO hasil
pembakaran dengan menggunakan proses
absorpsi. Unggun yang tinggi akan

31

Mariana, Penyerapan Gas CO Hasil Pembakaran Sampah

(a)

(b)

Gambar 6. Profil SEM untuk: (a) Ca(OH)2 , (b) Ca(OH)2+DE

Gambar 7. Pengaruh jenis sorbent terhadap


diameter pori (Mariana, 2003).

Gambar 8. Hubungan antara tinggi unggun


terhadap efesiensi penyerapan gas pada
temperatur operasi 50oC.

32

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 25-33

memperlama gas hasil pembakaran melewati


sorbent sehingga akan memperbanyak kontak
antara gas dan sorbent. Ketinggian unggun
juga akan mempengaruhi pressure drop yang
dihasilkan dimana dengan laju alir dan waktu
reaksi yang sama.

permukaan kontak baru. Efesiensi penyerapan


gas CO yang paling bagus adalah 48,761%
menggunakan sorbent Ca(OH)2+DE+kompos
pada temperatur 150oC.

Pengaruh
Temperatur
Konsentrasi Gas yang Terserap

Dari hasil pembahasan penelitian ini dapat


disimpulkan bahwa semakin tinggi unggun
dan temperatur, maka efesiensi penyerapan gas
semakin tinggi. Sorbent yang paling baik
untuk menyerap gas CO adalah sorbent
Ca(OH)2/DE/kompos sebesar 48,761%, pada
tinggi unggun 6 cm dan temperatur 150oC.

Terhadap

Gambar 9 menunjukkan bahwa semakin tinggi


temperatur maka efesiensi penyerapan gas
semakin meningkat dalam range variabel
penelitian yang dilakukan. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Jozewicz (1987) yang menyatakan bahwa
semakin tinggi temperatur maka luas
permukaan sorbent akan semakin luas,
sehingga gas yang terserap semakin banyak.
Ca(OH)2

Efisiensi penyerapan gas CO (ppm)

60

DE
50

Kompos

4. KESIMPULAN

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terimakasih kepada Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian
Pendidikan Nasional yang telah membiayai
penelitian ini sesuai dengan Surat Perjanjian
Pelaksanaan Hibah Kompetitif Penelitian
Sesuai
Prioritas
Nasional
Nomor:
399/SP2H/PL/Dit.Litabmas/IV/2011, tanggal
14 April 2011.

Ca(OH)2 + DE

40

DAFTAR PUSTAKA

30

Alizar (2005). Teknologi Bahan Konstruksi,


Pusat Pengembangan Bahan Ajar, UMB.

20
10
0
0

25

50

75

100

125

150

STemperatur (T)

Gambar 9. Hubungan antara temperatur


reaksi terhadap efesiensi penyerapan gas.
Jozewicz (1987) juga menyebutkan bahwa
peningkatan hydrated species yang terdapat di
dalam permukaan sorbent dapat meningkatkan
reaktifitas padatan dan diharapkan untuk
menghilangkan
hidrasi
air
dengan
pengontakan sorbent dan gas panas untuk
menghasilkan pori baru yang mempunyai luas

Garea, A., J.R. Viguri dan A. Irabien (1996).


Kinetics of Flue Gas Desulfurization at
Low Temperatures: Fly ash/Ca(OH)2 (3/1)
Sorbent Behavier. Chem. Eng. Sci. 52 (5).
715-732.
Ho, C.S. dan S.M. Shih (1992). Ca(OH)2/Fly
Ash Sorbents for SO2 Removal. Ind. Eng.
Chem. Res. 31. 1130-1135.
Irabien, A. F. Cortabitart dan I. Ortiz (1992).
Kinetics of Flue Gas Desulfurization at
Low Temperatutes, Nonideal Surface
Adsorption Model. Chem. Eng. Sci. 47.
1533-1543.
Ishizuka, T., H. Tsuchiai, T. Murayama, T.
Tanaka, dan H. Hattori (2000). Preparation
of Active Absorbent for Dry-Type Flue

Mariana, Penyerapan Gas CO Hasil Pembakaran Sampah

Gas Desulfurization from Calcium Oxide,


Coal Fly Ash, and Gypsum. Ind. Eng.
Chem. Res. 39. 1390-1396.
Jozewicz, W. Chang, J. Brna, dan T. Sedman
(1987). Reactivation of Solids from
Furnace Injection of Limestone for SO2
Control. Environ. Sci. Technol. 21 (7).
664-670.
Klingspor, J., H.T. Karlsson dan I. Bjerle
(1983). A Kinetic Study of the Dry SO2Limestone Reaction at Low Temperature.
Chem. Eng. Com. 22. 81.
Klingspor, J., A. Stromberg, H.T. Karlsson dan
I. Bjerle (1974). Similarities Between Lime
and Limestone in Wet-dry Scrubbing.
Chem. Eng. Proc. 18. 239.
Kluyer, A.J. dan C.G.T.P. Schullen (1974),
Arch Biochemical.
Lin, R.B. dan S.M. Shih (2003).
Characterization of Ca(OH)2/fly ash
sorbent for flue gas desuldurization. Power
Tech. 131. 212-222.
Liu, C.F, S.M. Shih dan R.B. Lin (2002),.
Kinetic of the Reaction of Ca(OH)2/Fly
Ash Sorbent with SO2 at Low
Temperatures. Chem. Eng. Sci. 57. 93-104.
Mariana, C. Chen, Y. Tsujimura, A. Maezawa
dan S. Uchida (2003). Experiments on SO2
Absorption in a Bag Filter Based on the

33

Grain Model. J. Chin. Inst. Chem. Engrs.


34 (2). 2009-2011.
Renedo, M.J., J. Fernandez, A. Garea, A.
Ayerbe, dan J.A. Irabien (1999).
Microstructural
Changes
in
the
Desulfurization
Reaction
at
Low
Temperature. Ind. Eng. Chem. Res. 38.
1384-1390.
Seno, T., A. Maezawa, T. Fujiwara dan S.
Uchida (1996). Simultaneous Absorption
of Acid Gases by Slaked Lime in Bag
Filter System. Proc. of 4th Joint Int. Conf.
On Separation Technology (ISST02-JK).
Tokyo, Japan. 263-266.
Suprapto, J (1999). Pengolahan Gas Karbon
Monoksida dalam Gas Buang dengan
Biofilter.
Universitas
Diponegoro,
Semarang.
Supriyono (1999). Pencemaran udara bisa
merusak ruku dan gangguan kesehatan staf
perpustakaan. Media pustakawan. 4. 3-9.
Tsuchiai, H, T. Ishizuka, T. Ueno, H. Hattori
dan H. Kita (1995). Highly Active Sorbent
for SO2 Removal prepared from Coal Fly
Ash. Ind. Eng. Chem. Res. 34. 1404-1411.
Uchida, S., S. Kageyama, M. Nogi dan H.
Karakida (1979). Reaction Kinetics of HCl
and Limestone. J. Chin. Inst. Chem.
Engrs.10. 45-49.

RUKO SEBAGAI BARRIER UNTUK MEREDUKSI KEBISINGAN


AKIBAT AKFTIFITAS TRANSPORTASI DI JALAN RAYA
THE COMMERCIAL BUILDING EFFICIENCY AS NOISE
BARRIER CAUSED BY THE TRANSPORTATION ACTIVITIES
ON THE MAIN STREET
Riana Purwandani*1), Didik Bambang Supriyadi1)
1)
Jurusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
*)
E-mail: rianapurwandani@gmail.com
Abstrak
Di sepanjang Jalan Raya terdapat rumah toko ruko yang membelakangi pemukiman-pemukiman yang ada di
sekitar daerah tersebut. Ruko tersebut secara tidak langsung bertindak sebagai barrier yang bermanfaat untuk
melindungi pemukiman dari kebisingan akibat aktifitas transportasi di Jalan Raya Mulyosari. Dalam
penelitian ini dilakukan pengukuran tingkat efisiensi ruko dalam mereduksi kebisingan berdasarkan variabel
ketinggian ruko dan jarak antara ruko dengan sumber bising. Tingkat kebisingan diukur dengan
menggunakan SLM (Sound Level Meter). Penelitian ini mengukur kebisingan di depan dan dan di belakang
ruko. Ketinggian ruko yang diteliti adalah ruko yang memilki ketinggian 5-9 meter, 9-13 meter dan 13-16
meter. Sedangkan variabel jarak antara ruko dengan sumber bising yang diteliti adalah pada ruko yang
memiliki jarak dengan sumber bising 04 meter, 4-8 meter dan 8-12 meter. Hasil penelitian menunjukkan
semakin tinggi ruko dan semakin jauh titik penerima dari sumber kebisingan, semakin besar reduksi
kebisingan yang terjadi.
Kata Kunci: barrier, kebisingan, reduksi kebisingan
Abstract
Along the main street, there are commercial buildings which cover several settlements there. The buildings
indirectly act as the barrier noise. This purpose of this study is to calculate the efficiency of commercial
buildings in reducing noise based on variabels; the height of commercial buildings and the distance between
buildings and source of noise. In this research, measuring used SLM (Sound Level Meter). Measuring of
noise was measured in front of building and behind the building. The height of buildings which were
examined are the buildings that have height 5-9 meters, 9-13 meters and 13-16 meters. While the distance
between the buildings that have distance to the source of noise 0-4 meters, 4-8 meters and 8-12 meters. The
results showed the higher commercial buildings reduced noise greater than the shorter and the more distant
receiving point from the noise source, the more noise reduction that occurs.
Keywords: barrier, noise pollution, reduction of noise

Purwandani, Ruko Sebagai Barrier Untuk Mereduksi Kebisingan

1. PENDAHULUAN
Kebisingan ditimbulkan oleh berbagai sumber
bising, antara lain: kegiatan transportasi,
kegiatan industri, kegiatan perdagangan dan
lain-lain. Di daerah urban seperti Surabaya,
kebisingan lalu lintas merupakan penghasil
bunyi yang paling banyak menyumbang
kebisingan.
Kebisingan
yang
tidak
dikendalikan akan menyebabkan dampak
negatif. Dalam jangka pendek, kebisingan
dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada
penerimanya dan dalam jangka panjang akan
menyebabkan berbagai kerusakan fisik
maupun mental bagi penerimanya.
Hal ini tidak terkecuali terjadi di Jalan Raya
Mulyosari (Surabaya Timur). Perkembangan
ruko di Jalan Raya Mulyosari sangat pesat,
sehingga meningkatkan volume kendaraan
yang melintas di sepanjang Jalan Raya
Mulyosari. Hal ini dapat mengakibatkan
meningkatnya kebisingan, tingkat kebisingan
yang terjadi 77,39 dB(A) (Podallah, 2011).
Nilai tersebut menunjukan bahwa tingkat
kebisingan di Jalan Raya Mulyosari sudah
melebihi dari baku mutu menurut Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No.48
Tahun 1996, yaitu 55 dB(A) untuk area
pemukiman dan 65 dB(A) untuk area
perdagangan.
Untuk mengurangi kebisingan dapat dibangun
barier. Barrier dapat berupa pagar, dinding,
tanggul (gundukan tanah), tanaman yang
rimbun atau bangunan antara sumber bising
dengan penerima. Salah satu faktor yang
mempengaruhi efisiensi barrier dalam
mereduksi kebisingan adalah tinggi barrier
dan jarak barrier ke sumber bunyi (Bies,
2009). Ruko dapat berfungsi sebagai
bangunan penghalang kebisingan (barrier)
yang memisahkan antara sumber bising dan
tempat-tempat yang sensitif terhadap bising
(rumah sakit, pemukiman dan sekolah).
Menurut Raichel (2006).
Efektifitas pemanfaatan suatu barrier untuk
mereduksi kebisingan, perlu dilakukan sebuah

35

evaluasi. Penelitian ini bertujuan untuk


mencari pola tingkat penurunan kebisingan
yang ditinjau berdasarkan ketinggian barrier
dan jarak antara ruko dengan sumber bising di
Jalan Raya Mulyosari. Di samping itu juga
untuk menentukan tingkat efisiensi bangunan
ruko di Jalan Raya Mulyosari dapat
dimanfaatkan sebagai pereduksi kebisingan
yang diakibatkan aktifitas transportasi di Jalan
Raya Mulyosari.
2. METODA
Penelitian, dilakukan dengan mengambil data
primer dan data sekunder. Data primer, terdiri
dari pengukuran tingkat kebisingan pada titik
sampling dengan menggunakan alat Sound
Level Meter (SLM) dan pengukuran letak dan
koordinat masing-masing titik sampling. Data
sekunder terdiri dari tampak atas dari titik
sampling yang diuji, dilakukan dengan
bantuan google map untuk menentukan jarak
sumber bising ke penerima.
Pengukuran kebisingan dilakukan di 3 titik
yang berbeda secara serempak, yaitu titik
yang berada di dekat sumber bising, titik di
belakang ruko dan titik yang diasumsikan
sebagai shadow noise (lihat Gambar 1).
Pengukuran dilakukan selama 24 jam dimana
interval waktu yang telah ditentukan adalah
setiap 10 menit.
Setelah didapatkan data pengukuran, data
diolah dengan beberapa tahapan, yaitu dengan
mencari nilai ekuivalen (Leq), nilai
kebisingan pada level siang (Ls) , nilai
kebisingan level malam (Lm), nilai
kebisingan siang dan malam (Lsm), mencari
nilai I. Setelah mendapatkan nilai I,
dilakukan perhitungan attenuasi karena jarak.
Dari kedua nilai ini dilakukan persentase
untuk mengetahui efisiensi kemampuan ruko
dalam mereduksi kebisingan.
Presentase efisiensi reduksi kebisingan yang
diakibatkan adanya ruko ini dibandingkan
dengan efisiensi reduksi akibat adanya barrier
dengan menggunakan rumus Fresnel.

36

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 34-45

kebisingan akibat adanya barrier dengan


menggunakan rumus Fresnel.
Untuk pengaruh ketinggian ruko terhadap
penurunan kebisingan dilakukan pada lokasi
Ruko Circle K (6,89 m), Ruko Martabak Alim
(9,63 m) dan Ruko Holland (13,59 m). Untuk
pengaruh jarak sumber bunyi dan penerima
dengan barier ruko terhadap penurunan
kebisingan dilakukan pada lokasi Ruko Circle
K (6,89 m), Ruko Martabak Alim (9,63 m)
dan Ruko Holland (13,59 m).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Keterangan:
1.1, 1.2, dan 1.3 Sumber
2, 3, 4, 5, 6, dan 7: Penerima

Gambar 1. Titik Sampling Secara Umum


Rumus Fresnel dipilih karena, pada rumus
Fresnel kemampuan barrier untuk mereduksi
kebisingan ditentukan dari tinggi barrier dan
jarak barrier dari sumber bunyi. Tujuan dari
perbandingan ini, adalah untuk mengetahui
efisiensi reduksi kebisingan maksimum yang
diakibatkan dari sebuah barrier dalam hal ini
ruko. Selanjutnya untuk mengetahui reduksi
bunyi karena attenuasi bunyi karena jarak
(tanpa adanya ruko) maka dihitung pelemahan
bunyi karena jarak dengan menggunakan
rumus. Dari dua perbandingan yaitu reduksi
bising dengan menggunakan ruko dengan
reduksi bunyi karena jarak, dapat dilihat mana
yang paling banyak mengurangi bunyi.
Untuk visualisasi reduksi bunyi yang
disebabkan adanya ruko digunakan program
Surfer10, dimana program ini akan
memvisualisasikan perubahan bunyi yang
terjadi di setiap titik sampling. Data yang
diperlukan untuk penggunaan Surfer10 adalah
koordinat titik sampling, data hasil
pengukuran
dan
perhitungan
reduksi

Selisih kebisingan yang terjadi di titik sumber


kebisingan dengan titik di belakang ruko dari
Ruko Martabak Alim, Ruko Circle K dan
Ruko Holland dimana terdapat perbedaan
tinggi didapatkan reduksi kebisingan yang
bervariasi seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Selisih kebisingan yang terjadi di titik sumber
kebisingan dengan titik di belakang ruko dari
Ruko Parahitha, Ruko BRI Mulyosari dan
Ruko Melawai dimana terdapat perbedaan
jarak antara sumber bising dan penerima
dengan barirer ruko
didapatkan reduksi
kebisingan yang bervariasi seperti yang
terlihat pada Tabel 2.
Dari Tabel 1 dan 2, menunjukan bahwa titik
sampling yang berada tepat di belakang ruko,
akan mengalami penurunan kebisingan paling
tinggi dibandingkan dengan titik sampling
yang tidak terhalang dengan ruko (celah).
Selain melakukan pengukuran reduksi
kebisingan karena adanya ruko, dilakukan
pula perhitungan attenuasi bunyi karena jarak
berdasarkan rumus teoritis. Hal ini bertujuan
untuk mengetahui perbedaan reduksi bunyi
yang dihasilkan dengan dan tanpa adanya
ruko sebagai barrier.
Attenuasi bunyi karena jarak pada titik
sampling dipaparkan pada Tabel 3 dan 4. Dari
tabel 3 dan 4 menunjukan bahwa semakin
jauh titik sampling dengan sumber bunyi,
maka suara akan menjadi semakin lemah

37

Purwandani, Ruko Sebagai Barrier Untuk Mereduksi Kebisingan

Tabel 1. I Berdasarkan Tinggi Ruko


Titik

Sumber

Penerima

(dB)A))

Ket

1,1

13,2

Celah

1,2

19,1

Belakang ruko

1,3

9,5

Celah

1,1

14,0

Belakang ruko

1,2

21,0

Belakang ruko

1,3

8,5

Celah

1,1

11,8

Celah

1,2

14,1

Belakang ruko

1,3

4,4

Celah

R. Circle K
(5-9m)
R. Martabak Alim
(9-13 m)
Holland
(13-16m)

Tabel 2. I Berdasarkan Jarak Ruko-Jalan


I

Titik
Ruko

Sumber

Penerima

Keterangan

(dB)

R. Parahita

1,1

6,5

Celah

(0-4m)

1,2

17,3

Belakang Ruko

1,3

2,9

Celah

R. BRI

1,1

17,8

Belakang Ruko

(4-8m)

1,2

18,2

Belakang Ruko

1,3

17,5

Belakang Ruko

R. Melawai

1,1

8,4

Celah

(8-12m)

1,2

14,1

Belakang Ruko

1,3

10,9

Celah

Tabel 3. Attenuasi Bunyi karena Jarak di Ruko dengan Variabel Ketinggian Ruko
Titik
Ruko
R. Circle K
(0-4m)
R.Martabak
Alim
(4-8m)
R. Holland
(8-12m)

SL

Jarak

SL 1

SL 2

r1

r2

Attenuasi

Sumber

Penerima

(dB(A))

(dB(A))

(m)

(m)

(dB)

1,1

73,3

60,9

3,0

51,9

12,4

1,2

75,3

63,0

3,0

49,9

12,2

1,3

73,8

60,7

3,0

60,4

13,0

1,1

74,9

61,6

3,0

60,2

13,3

1,2

75,4

62,7

3,0

55,4

12,3

1,3

75,2

62,1

3,0

60,4

13,0

1,1

73,7

61,8

3,0

46,7

11,9

1,2

72,8

61,1

3,0

44,5

11,7

1,3

74,2

62,2

3,0

46,9

11,9

Tabel 4. Attenuasi Bunyi karena Jarak di Ruko dengan Variabel Jarak Ruko-Jalan

38

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 34-45

Titik
Ruko
R. Parahita
(0-4m)
R. BRI
Mulyosari
(4-8m)
R. Melawai
(8-12m)

SL

Jarak

SL 1

SL 2

r1

r2

Attenuasi

Sumber

Penerima

(dB(A))

(dB(A))

(m)

(m)

(dB)

1,1

72,6

56,9

3,0

58,7

12,9

1,2

71,3

58,3

3,0

59,9

13,0

1,3

72,7

60,0

3,0

55,1

12,6

1,1

76,1

64,2

3,0

47,0

11,9

1,2

73,5

61,4

3,0

48,4

12,1

1,3

71,3

59,3

3,0

47,3

12,0

1,1

71,3

59,3

3,0

47,9

12,0

1,2

72,4

60,4

3,0

47,0

11,9

1,3

71,8

59,6

3,0

48,8

10,9

Semakin dekat titik sampling dengan sumber


bunyi, maka akan semakin rendah pelemahan
bunyi yang terjadi. Pelemahan bunyi ini
disebut dengan attenuasi bunyi.
Efisiensi ruko dalam mereduksi kebisingan
dapat dilihat diperhitungan persentase di tabel
5. Pada Tabel 5, nilai persentase reduksi
kebisingan yang paling besar adalah pada
Ruko Martabak Alim, yaitu dengan rentang
ketinggian ruko 9 -1 3 meter. Hal ini
disebabkan karena Ruko Martabak Alim
memiliki
ketinggian
lebih
tinggi
dibandingkan dengan Ruko Circle K , hal ini
menyebabkan death zone di Ruko Martabak
Alim lebih luas dibandingkan dengan Ruko
Circle K. Selain itu, pada Ruko Martabak
Alim tidak memiliki celah dimana celah dapat
mengganggu kemampuan ruko dalam
mereduksi kebisingan, karena bunyi dapat
masuk secara langsung melalui celah tersebut.
Pada Tabel 5 menunjukan Ruko BRI
Mulyosari memiliki kemampuan reduksi yang
paling tinggi diantara yang lain. Hal ini
disebabkan jarak Ruko BRI Mulyosari lebih
dekat ke sumber bising dibandingkan dengan
Selain dilakukan penelitian di lapangan, untuk
mengetahui
kemampuan
ruko
dalam
mereduksi kebisingan digunakan rumus
Fresnel. Perhitungan rumus Fresnel seperti
yang dipaparkan pada Tabel 6. Dari Tabel 6
dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teoritis

Ruko Parahitha yang memiliki jarak paling


pendek antara ruko dengan jalan (sumber
bising), memiliki atenuasi kebisingan paling
tinggi dibandingkan dengan Ruko BRI Mulyo
dan Ruko Melawai. Hal ini disebabkan karena
suara yang dipantulkan akan semakin banyak
dibandingkan dengan ruko yang memiliki
jarak antara ruko dengan jalan yang lebih
panjang.
Tiga ruko lainnya yaitu Ruko Circle K, Ruko
Holland dan Ruko Martabak Alim merupakan
ruko yang diteliti reduksi kebisingannya
berdasarkan ketinggian masing-masing ruko.
Berdasarkan
rumus
Fresnel
reduksi
kebisingan yang diakibatkan ruko tersebut
seperti yang dipaparkan di Tabel 6. Dari
Tabel 6. dapat disimpulkan berdasarkan
Rumus Fresnel, ruko yang memiliki
ketinggian paling tinggi (Ruko Holland)
memiliki reduksi kebisingan yang paling
besar dibandingkan dengan ruko yang
memiliki ketinggian ruko lebih pendek.
Hal ini disebabkan karena pada ruko yang
memiliki ketinggian lebih tinggi memiliki
kemampuan untuk menghalang transmisi
bunyi lebih luas dibandingkan dengan ruko
dengan ketinggian yang lebih pendek. Adanya
perbedaan tingkat reduksi antara kondisi di
lapangan dengan rumus teoritis terjadi karena
beberapa faktor. Faktor tersebut dapat dari
backgrundnoise yang terjadi di lapangan,

39

Purwandani, Ruko Sebagai Barrier Untuk Mereduksi Kebisingan

maupun dari faktor lainnya. Berdasarkan


pengukuran di lapangan, ada perbedaan antara
besar reduki kebisingan di lapangan dan
dengan menggunakan rumus Fresnel, seperti
yang terlihat pada Tabel 6.

Ruko BRI Mulyosari adalah 18,2 dB(A).


Kelebihan Ruko BRI Mulyosari dengan ruko
dua lainnya adalah pada Ruko BRI Mulyosari
tidak memiliki celah yang menyebabkan
bunyi tidak dapat diteruskan secara langsung.

Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa pada


pengukuran di lapangan, Ruko BRI Mulyosari
memiliki reduksi kebisingan yang paling
besar dibandingkan dengan kedua ruko
lainnya yaitu Ruko Parahitha dan Ruko
Melawai. Reduksi kebisingan yang dimiliki

Perbedaan besar reduksi kebisingan yang


diakibatkan dengan adanya ruko antara
kondisi di lapangan dan rumus teoritis pada
ruko dengan variabel ketinggi ruko dapat
dilihat pada Tabel 6.

Tabel 5. Presentase (%) Reduksi Kebingan dengan Variabel Ketinggian dan Jarak Ruko
Titik
Sumber

Penerima

I (dB)

Attenuasi
(dB)

%
Reduksi

1,2

19,1

12,2

56,0

1,1

14,0

13,3

5,0

R. Martabak Alim

1,2

21,0

12,7

65,9

R. Holland (13-16m)

1,2

14,1

11,7

20,6

1,1

14,0

13,3

5,0

1,2

1,3

21,0

12,7

65,9

1,2

14,1

11,7

20,6

Ruko
Variabel Tinggi
R. Circle K (5-9m)

Variabel Jarak
Parahita (0-4 m)
BRI (4-8 m)

Melawai (8-12 m)

Tabel 6. Perbandingan Reduksi Kebisingan Akibat Adanya Ruko


di Lapangan dan Rumus Fresnel
Jarak
(m)

Tinggi
(m)

7,8

9,63

21,0

18,7

7,8

6,89

19,1

16,8

Ruko Holland

7,8

13,59

14,1

19,8

Variabel Jarak
BRI Mulyo

6,04

7,5

18,2

17,5

Melawai

9,4

7,5

14,1

16,5

Parahitha

3,94

7,5

14,3

18,2

Ruko

Variabel Tinggi
Ruko M.Alim
Ruko Circle K
Mulyo

Reduksi Kebisingan
Lapangan
Fresnel
(dB)
(dB)

40

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 34-45

Pada perhitungan besar reduksi kebisingan


berdasarkan rumus Fresnel, ruko yang
memiliki nilai reduksi paling besar adalah
Ruko Parahitha. Pebedaan ini disebabkan
karena pada Ruko Parahitha memiliki dua
celah dimana dua celah tercelah tersebut
merupakan jalan utama dari Perumahan BPD
Mulyosari dan Perumahan Mulyosari Tengah.
Selain itu, dua celah tersebut menyebabkan
masuknya bunyi (direct transmisition) ke
dalam perumahan. Hal ini mengakibatkan
tingkat reduksi kebisingan yang disebabkan
reduksi kebisingan yang seharusnya dapat
dilakukan oleh Ruko Parahitha menjadi
terganggu.
Pada Ruko Circle K terlihat bahwa reduksi di
lapangan
melebihi
dari
perhitungan
berdasarkan rumus Fresnel. Kondisi yang
tidak terlalu banyak aktivitas yang beragam di
belakang Ruko Circle K dan kondisi di
aktivitas transportasi yang cukup padat di
depan Ruko Circle K menyebabkan I yang
cukup besar. Pada malam hari ketika volume
kendaraan yang melintas di depan Ruko
Circle K sudah tidak sepadat pada siang hari
dengan kondisi pemukiman belakang Ruko
Circle K yang tidak jauh berbeda pada siang
hari menyebabkan penurunan I sehingga I
pada malam hari di bawah nilai dari reduksi
kebisingan berdasarkan rumus Fresnel. Pada
Ruko Martabak Alim terjadi penurunan
kebisingan yang cukup signifikan. Hal ini
disebabakan celah yang ada pada Ruko
Martabak Alim hanya ada satu celah.
Sehingga menyebabkan besarnya reduksi
kebisingan yang mampu dilakukan oleh Ruko
Martabak Alim melebihi dari reduksi
kebisingan berdasarkan rumus Fresnel.
Kondisi yang dialami oleh Ruko Martabak
Alim yang memiliki hanya satu celah,
berbeda dengan kondisi yang dialami oleh
ruko Hollannd yang memiliki dua celah
dimana menyebabkan reduksi kebisingan dari
ruko Holland sangat kecil (di bawah dari
perhitungan reduksi kebisingan berdasarkan
Fresnel). Celah di kedua sisi Ruko Holland
sangat mempengaruhi kemampuan dari Ruko

Holland untuk mereduksi kebisingan, karena


bunyi yang diakibatkan dari aktivitas
transportasi Jalan Raya Mulyosari masuk
melalui celah dan menambah kebisingan yang
terjadi di belakang Ruko Holland. Selain
karena adanya celah, Ruko Holland memiliki
panjang ruko yang paling pendek diantara
Ruko dua lainnya, yaitu Ruko Circle K dan
Ruko Martabak Alim.
Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa diantara
ketiga ruko lainnya (yaitu Ruko Circle K,
Ruko Martabak Alim dan Ruko Holland),
Ruko yang paling efektif dalam mereduksi
kebisingan adalah ruko Martabak Alim. Hal
ini karena tinggi Ruko Martabak Alim yang
tidak sependek ruko Circle K, sehingga dapat
mengganggu transmisi bunyi dari aktivitas
transportasi yang terjadi di depan ruko (Jalan
Raya Mulyosari) lebih jauh jangkauannya.
Kelebihan lainnya adalah karena Ruko
Martabak Alim hanya memiliki satu celah,
sehingga bunyi yang dirambatan langsung
(direct) lebih sedikit dibandingkan dengan
Ruko Holland yang memiliki dua celah
dikedua sisi Ruko Holland.
Selain titik yang berada di belakang ruko,
ruko yang memiliki celah diambil titik
sampling yang mewakili kondisi di celah
tersebut. Hal ini bertujuan untuk melihat
pengurangan bising apabila ditinjau dari jarak
(tanpa
adanya
pengaruh
barrier).
Penggurangan kebisingan (attenuasi) yang
disebabkan oleh jarak, dihitung dengan
menggunakan rumus teoritis dan pengukuran
di lapangan. Terjadi perbedaan yang sangat
signifikan antara hasil attenuasi kebisingan
berdasarkan pengukuran di lapangan dan
perhitungan teoritis, seperti yang terlihat pada
Tabel 7.
Kondisi celah di samping Ruko Parahitha
yaitu di titik 3 (titik belakang pemukiman)
dan titik 6 memiliki kondisi yang tidak jauh
berbeda attenuasinya. Perbedaan terlihat pada
malam hari karena aktivitas pada celah titik 6
lebih ramai di bandingkan dengan di titik 3.
Penyebab dari perbedaan attenuasi karena

41

Purwandani, Ruko Sebagai Barrier Untuk Mereduksi Kebisingan

Tabel 7 Perbandingan Besar Attenuasi Bunyi karena Jarak dan tinggi Antara Kondisi
di Lapangan dengan Rumus Fresnel
Ruko

Variabel Tinggi
Ruko M.Alim
Ruko Circle K
Mulyo
Ruko Holland
Variabel Jarak
Melawai
Parahitha

Reduksi Kebisingan
Lapangan
Fresnel
(dB)
(dB)

sumber

Penerima

8,5

13,0

13,2

12,4

9,5

13,0

11,8

11,9

4,4

11,9

1,1

8,4

12,0

1,3

10,9

10,9

1,1

6,5

12,9

1,3

2,9

12,6

jarak antara rumus teoritis dengan kondisi di


lapangan adalah pada rumus teoritis tidak
diperhatikan tambahan-tambahan bunyi dari
sumber lain selain sumber bunyi (aktivitas
transportasi di Jalan Raya Mulyosari).
Sedangkan pada kenyataannya di celah titik 2
maupun titik 6 terjadi berbagai aktivitas
seperti keluar-masuknya kendaraan dari dan
ke Perumahan Mulyosari BPD dan aktivitas
dari para penjual keliling. Hal ini yang
menyebabkan perbedaan yang sangat
signifikan antara rumus teoritis dengan
kondisi di lapangan. Perbedaan antara hasil
attenuasi yang terjadi di lapangan dengan
perhitungan yang dihitung secara teoritis
dapat dilihat pada Tabel 7. Pada celah yang
ada di Ruko Circle K terlihat jelas bahwa
perbedaan attenuasi bunyi karena jarak di
lapangan dan secara teoritis tidak begitu
berbeda.
Hal ini disebabkan karena kondisi jalan di
daerah tersebut tidak begitu ramai dan juga
celah disini termasuk lebar sehingga saat
mobil bersimpangan jalan, memungkinkan
untuk tetap berjalan tanpa harus berhenti.
Berbeda dengan celah di Ruko Circle K
dimana perbedaan attenuasi cukup banyak.
Hal ini dikarenakan lebar celah yang tidak

selebar celah pada titik 2 dan kondisi jalan


yang berlubang sehingga membuat banyak
kendaraan
yang
harus
mengurangi
kecepatannya kemudian jalan seperti biasa
lagi.
Pada Ruko Martabak Alim yang memiliki
attenuasi di lapangan lebih kecil jika
dibandingkan dengan attenuasi secara
perhitungan rumus teoritis . Hal ini
disebabkan karena, pada celah di Ruko
Martabak Alim kondisinya sangat ramai dan
banyak pedagang yang berada di sekitar
daerah tersebut sehingga menyebabkan
kebisingan yang terjadi di daerah tersebut
menjadi meningkat.
Pada celah yang terdapat di Ruko Holland
yaitu titik 2 dan 4, terjadi attenuasi yang
berbeda secara signifikan. Pada titik 4 lebar
celahnya adalah 21,59 m (hasil pengukuran
google earth) dan pada titk 2 memiliki lebar
celah yang hanya 3,26 m (hasil pengukuran
google earth). Pada celah yang lebar, bunyi
akan diteruskan secara langsung lebih banyak.
Pada titik 4 juga merupakan akses masuk dari
salah satu gang yang ada di Perumahan Prima
Mas (perumahan di belakang Ruko Holland).
Pada titik 2 di Ruko Holland, terlihat

42

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 34-45

attenuasinya sangat besar (hampir sama


dengan teoritis). Hal ini didukung oleh adanya
kedua ruko yang mengapit celah tersebut
sehingga bunyi yang diteruskan secara
langsung dari aktivitas kendaraan di Jalan
Raya Mulyosari hanya sedikit. Selain itu, di
titik 2 kondisinya sangat sepi, hanya sesekali
kendaraan yang melintas.

kebisingan yang terjadi pada titik 2 tidak


terjadi secara signifikan (zona hijau pada
Gambar 3), karena pada titik 4 merupakan
celah dimana merupakan akses lalu lintas
yang keluar masuk Perumahan Suterejo.

Pola penurunan kebisingan yang terjadi pada


setiap ruko memiliki perbedaan. Selain
perbedaan pola penurunan setiap ruko, pola
penurunan yang terjadi di lapangan dan
perhitungsn teoritis. Pada pola penurubab
kebisingan yang terjadi di lapangan, hasil
sampling dimasukan dalam program surfer,
sedangkan pada hasil perhitungan data yang
dimaksukan tidak seluruhnya menggunakan
data primer. Pada pola penurunan kebisingan
berdasarkan teoritis, titik di depan ruko
menggunakan data primer sedangkan pada
titik di belakang ruko menggunakan
perhitungan reduksi kebisingan dengan
menggunakan rumus Fresnel.
Pola penurunan kebisingan yang terjadi pada
setiap ruko memiliki perbedaan. Pada Ruko
Circle K (lihat Gambar 2) terlihat intensitas
bunyi pada sumber bising (di Jalan Raya
Mulyosari) adalah antara rentang 75,3 - 73,3
dB(A) yaitu pada zona yang berwarna merah.
Dikedua sisi Ruko Circle K yaitu pada kedua
celah,
terlihat
kebisingan
menurunun
walaupun tidak terjadi secara signifikan yaitu
60,1 dB(A) pada titik 1 dan 64,3 dB(A) pada
titik 3. Penurunan signifikan terjadi di
belakang ruko yaitu di titik
3 dengan
kebisingan 56,2 dB(A). Titik 3 merupakan
death zone dimana kebisingan yang
diakibatkan dari aktivitas transportasi di Jalan
Raya Mulyosari tidak terdengar terlihat pada
Gambar 2 yaitu pada zona berwarna biru.
Pada Ruko Martabak Alim, terlihat pada
sumber kebisingan terjadi kebisingan berkisar
bekisar antara 74,9 dB(A) hingga 75,4 dB(A).
Hal ini terlihat pada zona merah pada Gambar
5.10 dan 5.11. Pola penurunan pada Ruko
Martabak Alim terlihat penurunan tingkat
kebisingan pada titik 2 , 3 dan 4. Reduksi

Gambar 2. Pola Penurunan Kebisingan


Akibat Adanya Ruko Circle K
Pada titik 3 besar reduksi jauh lebih besar
(zona biru pada Gambar 3 dan Gambar 4)
dibandingkan dengan titik 2. Hal ini
disebabkan karena pada titik 2 terdapat
aktivitas para penjual keliling yang menetap
di depan sekolah.
Pada Ruko Holland terjadi kebisingan bekisar
72,8 dB(A) hingga 74,2 dB(A) yang terjadi di
sumber bising, terlihat di Gambar 4 yang
berwarna merah. Kebisingan menurun secara
perlahan pada titik 4 (zona hijau pada Gambar
4). Kebisingan yang menurunan pada titik 4
disebabkan adanya attenuasi bunyi karena
pada jarak. Pengaruh ruko dalam mereduksi
kebisingan terlihat pada titik 2 dan 3 dimana
terlihat kebisingan menurunan secara
signifikan yang ditunjukan dengan warna biru
pada Gambar 4.

Purwandani, Ruko Sebagai Barrier Untuk Mereduksi Kebisingan

43

Pada titik 3 dan 6 reduksi kebisingan tidak


sebesar pada titik 4 dan 6 karena pada titik ini
selain merupakan celah dimana merupakan
akses utama Perumahan BPD Mulyosari, pada
titik ini tidak terhalang oleh ruko sehingga
bunyi dapat langsung masuk melalui celah
tersebut. Kondisi ini terlihat pada zona hijau
Gambar 5.

Gambar 3. Pola Penurunan Kebisingan


Akibat Adanya Ruko Martabak Alim

Gambar 5. Pola Penurunan Kebisingan


Akibat Adanya Ruko Parahitha
Ruko BRI Mulyosari merupakan satu-satunya
ruko yang tidak memiliki celah pada
penelitian ini. Hal ini terlihat penurunan
kebisingan yang signifikan antara titik
sampling yang di depan ruko dengan yang
berada di belakang ruko.

Gambar 4. Pola Penurunan Kebisingan


Akibat Adanya Ruko Holland
Pola penurunan kebisingan untuk ruko dengan
variabel Jarak Ruko -Jalan, berbeda untuk
masing-masing ruko. Pada ruko Parahitha,
titik 4 memiliki reduksi kebisingan yang
paling besar dibandingkan dengan titik
lainnnya. Hal ini terjadi karena titik 4
terhalang oleh ruko yang berperan sebagai
barrier. Reduksi ini terlihat pada zona hijau
pada Gambar 5.

Pada titik di depan ruko tercatat kebisingan


yang terjadi yaitu antara 75,3 dB(A) hingga
75,5 dB(A), terlihat pada Gambar 6. Pada titik
di belakang ruko terjadi penurunan kebisingan
yang sangat signifikan antara 57,1 dB(A)
sampai 61,0 dB(A). Hal ini terlihat
disepanjang titik di belakang ruko merupakan
zona biru.
Pola penurunan yang terlihat pada Ruko
Melawai dapat dilihat pada Gambar 7.
Kebisingan yang terjadi di sumber bising
terlihat pada zona berwarna merah pada
Gambar 7 yaitu 71,1 dB(A) hingga 72,3

44

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 34-45

dB(A). Ruko Melawai memiliki dua celah


yaitu pada titik 2 dan titik 4. Celah ini
mengakibatkan bunyi dapat di teruskan secara
langsung sehingga pada titik ini terlihat
reduksi kebisingan yang tidak signifikan
seperti di titik 3 (zona hijau pada Gambar 7).

kebisingan berdasarkan variabel ketinggian


ruko yaitu Ruko Circle K (5 - 9meter)
mencapai 56,0% ,Ruko Martabak Alim (9 -13
meter) mencapai
65,9%
dan 20,6%
.Berdasarkan variabel jarak antara ruko-jalan
pola penurunan kebisingan berdasarkan
variabel jarak ruko-jalan yaitu Ruko Parahitha
(0 4 meter) mencapai 10,3%, Ruko BRI
Mulyosari mencapai 50,4%
dan Ruko
Melawai mencapai 18,3%. Selanjutnya, ruko
yang memiliki efisiensi reduksi kebisingan
berdasarkan variabel tinggi adalah Ruko
Martabak Alim (9-13 meter), sedangkan
berdasarkan variabel jarak antara ruko-jalan
yaitu Ruko BRI Mulyosari (4 - 8 meter)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
1996.
Keputusan
Menteri
Lingkungan Hidup RI No. 48 Tahun 1996
tentang Baku Tingkat Kebisingan. Jakarta:
Kementrian Lingkungan Hidup Republik
Indonesia.

Gambar 6. Pola Penurunan Kebisingan


Akibat Adanya Ruko BRI Mulyosari

Bies, D. A. dan Hansen, C. H. 2009.


Engineering Noise Control. New York:
Spon Press.
Fahy, Franky. 2005. Foundations of
Engineering Acoustics. London: Elsevier
Academic Press
Hart, C.R. 2010. Active Noise Control with
Linear Control Source and Sensor Arrays
for A Noise Barrier. Elsevier
Ishizuka, Tkashi. 2004. Performance of Noise
Barriers withVarious Edge Shapes and
Acoustical Conditions. Elsevier

Gambar 7 Pola Penurunan Kebisingan Akibat


Adanya Ruko Melawai
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pola
penurunan kebisingan yang dihasilkan pada
penelitian ini adalah sebagai berdasarkan
variabel ketinggian ruko pola penurunan

Li, K.M. 2008. Absorbent Parallel Noise


Barriers in Urban Enviroments. Elsevier
Menounou, Penelope. 2008. Shadowing of
Directional Noise Sources by Finite Noise
Barrier. Elsevier
Naish, Daniel. 2010. A Method of Developing
Regional Road Traffic Noise Management
Strategies. Elsevier

Purwandani, Ruko Sebagai Barrier Untuk Mereduksi Kebisingan

Prasetio,
Lea.2003.Akustik.
FMIPA-ITS

Surabaya:

Raichel, D. R. 2006. The Science and


Applications of Acoustics. New York:
Springer.
Saarinen, A. 2002. Reduction of External
Noise by Building Facades. Elsevier

45

Pathak, Vinita. 2008. Dynamic of Traffic


Noise in a Tropical City Varanasi and its
abatement through vegetation. Springer
Poddalah, S. A. 2011. Pemetaan Tingkat
Kebisingan Akibat Aktivitas Transportasi
di Jl. Raya Mulyosari, Kota Surabaya.
Tugas Akhir Jurusan Teknik Lingkungan
FTSP-ITS.

Suma,mur, P.K. 1984. Higiene Perusahan


dan Kesehatan Kerja, Cetakan ke VII.
Jakarta: PT.Gunung Agung

Wastavino,L.A. 2007. Modeling Traffic on


Crossroad. Elsevier

Tambunan, S. 2005. Kebisingan Di Tempat


Kerja. Yogyakarta: Andi

Wong, N. H. 2010. Acoustics Evaluation of


Vertical Greenery System for Building
Walls. Elsevie

MODEL GUNA LAHAN UNTUK PENGENDALIAN BANJIR


DI PERKOTAAN
LAND USE MODEL FOR URBAN FLOOD CONTROL
Zulfakar*1)
1)
Program Doctor of Architecture and Urbanism
*)
Email: zulfakarmadjid@yahoo.co.id
Abstrak
Bencana yang sering terjadi dan menyebabkan banyak dampak bahaya di Indonesia adalah banjir. Dampak
bahaya bisa mencapai dua dari tiga dari segala bencana yang terjadi. Masalah banjir umumnya terjadi karena
banyak faktor interaksi, seperti faktor alam dan kegiatan manusia. Salah satu kegiatan manusia yang dapat
menyebabkan banjir adalah bekas tanah yang tidak cocok. Kondisi tanah yang digunakan biasanya tidak
didasarkan pada konservasi tanah dan air, terutama kesesuaian untuk kemampuan lahan, sehingga
menyebabkan infiltrasi tanah datang lebih sedikit dan kehilangan fungsi . Lahan bekas model di lahan banjir
sangat penting untuk mengoptimalkan lahan yang digunakan proporsi yang sesuai untuk mengendalikan
banjir. Dengan model guna lahan kita dapat mengetahui daerah banjir, nilai konversi tanah dan juga daerah
yang tidak sesuai. Model ini memiliki 3 (tiga) unsur, model spasial untuk menentukan daerah banjir, model
hidrologi untuk lahan untuk penggunaan optimal, dan model spasial ke daerah yang dianjurkan. Dari
penelitian ini kita bisa mengetahui proporsi optimal untuk setiap lahan yang digunakan di Kota Samarinda
maka banjir dapat dikendalikan. Proporsi optimal penggunaan lahan guna mengendalikan banjir adalah
ketika debit puncak (Q) tidak melebihi kapasitas sungai yang ada.
Kata kunci: banjir, GIS, model hidrologi, perkotaan, tanah menggunakan model
Abstract
The disaster that often happens and causes many hazard impacts in Indonesia is flood. The hazard impact
can reach two of three from all disaster that happen. Flood problems generally happen because of
interaction of many factors, such as natural and human activity factor. One of human activities that can
caused flood is land used which is not suitable. The land used condition is usually not based on land and
water conservation, especially the suitability for land capability, thus it causes land infiltration comes more
less and run off value more increase. Land Used Model on flood land is very important to optimize the land
used proportion that is suitable to control the flood. With the model we can know flood area, land conversion
value and also non-suitable area. The model has 3 (three) elements, spatial model to determine flood area,
hydrologic models to optimized land used, and spatial model to recommended area. From this research we
could know optimal proportion for each land used in Samarinda City then flood can be controlled. Optimal
proportion of land use utilize to control floods is when peak discharge (Q) do not exceed existing river
capacities.
Keywords: flood, GIS, hydrology model, land used model, urban area

Zulfakar, Model Guna Lahan Untuk Pengendalian Banjir

1.

PENDAHULUAN

Banjir, longsor lahan, dan kekeringan kini


menjadi bencana alam yang silih berganti,
berulang setiap tahun, dan menimpa hampir
semua daerah di Indonesia. Setiap tahun
terjadi hampir 300 peristiwa banjir,
menggenangi 150.000 ha dan merugikan
jutaan orang (Kodoatie dan Sugiyanto, 2002).
Kerugian akibat banjir mencapai dua pertiga
dari semua bencana alam yang terjadi
(Departemen Sosial 1987 dan 1989 dalam
Direktorat Sungai, 1994).
Banjir merupakan salah satu permasalahan
lingkungan yang banyak terjadi pada
beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) yang
ada di Indonesia. Banjir secara sederhana
dapat diartikan sebagai aliran atau genangan
yang menyebabkan kerugian bagi manusia.
Banjir sangat terkait dengan siklus hidrologi,
yaitu banjir akan terjadi apabila jumlah air
hujan yang masuk melebihi kapasitas air yang
keluar sehingga terjadi kelebihan simpanan
air (surplus).
Masalah banjir pada umumnya terjadi akibat
adanya interaksi berbagai faktor penyebab,
baik yang bersifat alamiah maupun beberapa
faktor yang merupakan akibat kegiatan
manusia (Siswoko, 2005). Sebab-sebab alami
yang dapat menimbulkan banjir diantaranya
adalah erosi dan sedimentasi, curah hujan,
pengaruh fisiografi/geofisik sungai, kapasitas
sungai dan drainase yang tidak memadai,
pengaruh air pasang, penurunan tanah dan
rob, drainase lahan, dan kerusakan bangunan
pengendali banjir.
Adapun tindakan manusia yang dapat
menyebabkan banjir adalah perubahan tata
guna lahan, pembuangan sampah, kawasan
kumuh
di
sepanjang
sungai/drainase,
perencanaan sistem pengendalian banjir tidak
tepat, tidak berfungsinya sistem drainase
lahan, bendung dan bangunan air, dan
kerusakan bangunan pengendali banjir
(Kodoatie, 2005). Di Indonesia diperkirakan
terdapat 1,96 juta ha luasan banjir (Loebis,

47

1998), dengan perincian seperti yang terdapat


pada Tabel 1.
Menurut Soenarno (2004) banjir lokal adalah
banjir yang mengganggu fungsi jalan
kabupaten/kota, bandara lokal, jalan kereta
api lintas, sentra produksi pangan lokal,
kawasan industri dan perdagangan skala kecil,
kawasan strategis kabupaten/kota lainnya dan
merupakan tanggung jawab Pemerintah
Kabupaten/Kota. Banjir regional adalah banjir
yang mengganggu fungsi jalan propinsi,
bandara nasional/lokal, jalan kereta api lintas
kabupaten,
sentra
produksi
pangan
propinsi/lokal,
kawasan
industri
dan
perdagangan skala sedang, kawasan strategis
propinsi lainnya yang merupakan tanggung
jawab pemerintah Propinsi.
Banjir nasional adalah banjir yang
mengganggu fungsi jalan nasional, bandara
internasional dan nasional, jalan kereta api
lintas propinsi, sentra produksi pangan
nasional, kawasan industri dan perdagangan
skala besar, kawasan strategis nasional
lainnya yang merupakan tanggung jawab
Pemerintah Pusat. Adapun banjir yang sering
dialami oleh kawasan perkotaan biasanya
berupa genangan. Banjir ini disebabkan oleh
peningkatan laju aliran permukaan akibat
perubahan penutup lahan dan hilangnya
daerah resapan.
1. METODA
Tahapan Pengembangan Model
Model dikembangkan dengan mensinergikan
3 (tiga) model bagian yaitu model penentuan
kawasan rawan banjir, model penentuan
peruntukkan lahan, dan model hidrologi untuk
penentuan proporsi lahan optimal.
Pengembangan Model Penentuan Kawasan
Rawan Banjir
Model penentuan kawasan rawan banjir
dikembangkan untuk mengidentifikasi faktor
dominan penyebab banjir secara umum.
Besaran pengaruh masing-masing faktor

48

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 46 - 57

dapat dinyatakan dalam bentuk prosentase


(%). Tahapan pada pengembangan model
penentuan kawasan rawan banjir adalah
sebagai berikut ini: identifikasi karaktertistik
biogeofisik bentuk lahan didasarkan pada
kelas ketinggian, kelerengan, curah hujan,
zona rawan luapan, dan jenis tanah. Pemetaan
dilakukan melalui teknik overlay peta-peta
tematik komponen lahan utama dengan
Sistem Informasi Geografis (SIG).
Kelas kerentanan banjir pada suatu kawasan
dihasilkan melalui proses penilaian total skor
dari ke-6 faktor, dimana total skor dengan
rata-rata 5 adalah kawasan yang paling rawan,
sedangkan rata-rata skor 1 adalah kawasan
paling aman. Output yang dihasilkan dari
analisis ini adalah peta kawasan rawan banjir
dan tabel luasan masing-masing kelas rawan
banjir.
Adapun
alur
metodologi
pengembangan model dapat ditunjukkan
dalam Gambar 1 Kerangka Model Penentuan
Kawasan Rawan Banjir.
Pengembangan Model Peruntukkan Lahan
Model peruntukkan lahan dipergunakan untuk
mengevaluasi kesesuaian spasial bentuk
penggunaan lahan
eksisting, menurut
peruntukkan lahan yang ideal. Peruntukkan
yang ideal tersebut mempertimbangkan aspek
fisik alam sebagai faktor utama untuk
merekomendasikan
arahan
pemanfaatan
lahan.
Analisis peruntukkan lahan menurut SK
Menteri
Pertanian
Nomor
837/Kpts/Um/11/1980
mencakup
faktor
kelerengan lahan, jenis tanah dan intensitas
hujan. Masing-masing peta tematik (kelas
lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan)
ditentukan nilai skor per kawasan. Kemudian
dilakukan
proses
superimpose
untuk
menentukan jumlah nilai skornya. Apabila
jumlah nilai skornya 175,maka kawasan
tersebut masuk ke dalam kriteria kawasan
hutan lindung. Skor 125 175 merupakan
peruntukkan lahan konservasi atau cadangan
hutan lindung. Sedangkan total skor < 125
merupakan peruntukan kawasan budidaya.

Gambar 2 yang terlampir menunjukkan


Kerangka Model Penentuan Peruntukkan
Lahan.
Pengaruh
Guna
Kerentanan Banjir

Lahan

Terhadap

Pengaruh guna lahan dinyatakan dalam nilai


koefisien limpasan (run off) dengan ketentuan
< 0.5 atau <50% merupakan kategori run off
kecil, sedangkan > 0.5 atau > 50% adalah
kategori nilai run off besar. Penggunaan nilai
run off tersebut diuji dalam perhitungan nilai
debit banjir (Q) suatu DAS, sehingga debit
yang dihasilkan adalah sesuai dengan keadaan
di lapangan. Perhitungan debit banjir
dilakukan dengan menggunakan batuan
program HEC-HMS (Hydrologic Engineering
Centre Hydrologic Modeling System).
Dampak penggunaan lahan eksisting terhadap
potensi banjir suatu wilayah dilihat dari nilai
debit yang dihasilkan oleh komposisi
penggunaan lahan yang ada.
Optimasi
Guna
Lahan
Pengendalian Banjir Perkotaan

Untuk

Komposisi guna lahan optimal adalah


komposisi yang menghasilkan debit banjir
sesuai dengan kapasitas penampung yang
dimiliki. Optimalisasi lahan tersebut dapat
dilakukan dengan mengaplikasikan program
HEC-RAS sebagai alat (tools) untuk
mempermudah prosesnya. Adapun alur kajian
komposisi bentuk penggunaan lahan yang
optimal untuk pengendalian banjir adalah
sebagai berikut: mengkaji nilai debit (Q) yang
dihasilkan oleh guna lahan eksisting.
Mengidentifikasi kapasitas sungai, apakah
kapasitasnya dapat menampung debit banjir
yang dihasilkan oleh guna lahan eksisting.
Merekayasa proporsi guna lahan agar debit
yang dihasilkan tidak lebih atau sama dengan
kapasitas penampung banjir yang ada.
Identifikasi lahan yang perlu dikonversi ke
bentuk guna lahan yang memiliki nilai run off
kecil. Hasil yang ingin dicapai yaitu
diketahuinya proporsi (dalam %) masing
masing jenis penggunaan lahan secara optimal
untuk pengendalian banjir.

49

Zulfakar, Model Guna Lahan Untuk Pengendalian Banjir

Tabel 1 Total Luasan Banjir di Indonesia


Propinsi
Aceh
Sumatra Utara
Sumatra Barat
Riau
Jambi
Sumatra Selatan
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
NTB
NTT
Kalimantan Barat
Kalimatan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
Maluku
Irian Jaya
Indonesia

Total Luasan Banjir


(ha)
127.050
115.727
34.185
94.642
67.488
4.042
3.815
8.144
10.015
78.079
47.269
4.500
36.571
1.944
37.587
27.086
130.849
390.752
204.287
130.676
54.830
65.445
39.800
126.405
12.558
114.147
1.967.893

Prosentase
6,46%
5,88%
1,74%
4,81%
3,43%
0,21%
0,19%
0,41%
0,51%
3,97%
2,40%
0,23%
1,86%
0,10%
1,91%
1,38%
6,65%
19,86%
10,38%
6,64%
2,79%
3,33%
2,02%
6,42%
0,64%
5,80%
100,00%

Nasional
94.820
82.377
4.802
61.664
2.099
2.540
1.400
10.015
36.449
19.769
3.370
31.640
117
13.085
3.970
62.299
84.402
148.001
98.515
23.150
6.594
17.350
52.617
18.125
879.170

Regional
16.200
25.609
12.180
3.517
5.824
1.481
640
1.148
18.793
11.722
1.130
111
499
16.649
11.450
19.875
13.500
56.287
16.940
27.925
5.835
14.450
39.613
25.520
346.898

Lokal
16.030
16.030

Sumber: Loebis, 1998

2. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemetaan Kawasan Rawan Banjir

Model guna lahan untuk pengendalian banjir


perkotaan merupakan model heuristik, dimana
di dalamnya terdapat model spasial dan model
hidrologi. Model spasial bersifat simulatif
yang mencakup dua analisis yaitu penentuan
kawasan rawan banjir dan penentuan
peruntukkan lahan.

Untuk dapat menentukan kawasan rawan


banjir, maka dilakukan kajian terhadap
beberapa kasus serupa di berbagai wilayah
untuk memperoleh parameter/faktor yang
secara umum terkait dengan terjadinya banjir.
Dari beberapa studi kasus maka dapat ditarik
kesimpulan secara umum dimana peristiwa
banjir selalu dipengaruhi oleh faktor alam dan
manusia. Dalam analisis penentuan kawasan
rawan banjir, faktor alam yang digunakan
adalah topografi/ketinggian, kelerengan,
intensitas hujan, kawasan rawan luapan
sungai, dan jenis tanah. Sedangkan faktor
manusia adalah guna lahan. Dari beberapa
faktor alam dan manusia yang telah
diidentifikasi, kemudian masing-masing

Model hidrologi juga bersifat simulatif yang


bertujuan untuk menentukan luasan masingmasing guna lahan yang optimal dengan
mengacu pada batasan yaitu debit yang
dihasilkan
tidak
melebihi
kapasitas
penampung banjir yang ada. Untuk lebih
jelasnya maka dapat dilihat Gambar 3 di
bawah.

50

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 46 - 57

faktor dibagi ke dalam kriteria untuk dapat


dilakukan skoring dan kemudian pembobotan
pada tahap selanjutnya. Pembagian masingmasing faktor ke dalam kriteria dapat dilihat
pada Tabel 2 di bawah. Dari hasil overlay ke6 faktor yang memiliki pengaruh terhadap
banjir, 5 faktor alam dan 1 faktor guna lahan
yang telah diberikan skor dan pembobotan
sebelumnya,
dihasilkan
peta
tingkat
kerawanan banjir yaitu pada Gambar 4. Dari
peta tingkat kerawanan diatas dapat diketahui
luasan masing-masing tingkat kerawanan,
dimana sebagian besar wilayah Kota
Samarinda, hampir 70% berada pada kategori
menengah untuk tingkat kerawanan terhadap
banjir. Kategori menengah dapat diartikan
bahwa kondisi dapat berubah menjadi rawan
apabila terjadi perubahan pada kriteria faktor
yang semakin mendorong banjir. Sebagai
contoh adalah perubahan lahan tegalan
(semak belukar, ladang nganggur) ke kawasan
pertambangan meski hanya sedikit perubahan.
Sedangkan pada kategori rawan memiliki
luasan hampir 22%, dan untuk kategori sangat
rawan memiliki luasan sekitar 0,13% dari luas
wilayah Kota Samarinda.
Evaluasi Kesesuaian Penggunaan Lahan
Eksisting
Evaluasi kesesuaian (Land Suitability)
terhadap bentuk penggunaan lahan eksisting
dilakukan dengan membandingkan guna
lahan tersebut dan kesesuaian menurut
peruntukkan lahan. Evaluasi diperlukan untuk
mengetahui seberapa besar penggunaan lahan
yang tidak sesuai dengan peruntukkannya.
Pendekatan yang digunakan pada penelitian
ini mengacu pada hasil arahan yang
sesungguhnya menurut pertimbangan aspek
fisik alam seperti kelerengan, curah hujan dan
jenis tanah. Dari hasil overlay ketiga faktor
yaitu kelerengan, curah hujan dan jenis tanah
maka didapatkan peta peruntukkan lahan di
Kota Samarinda. Peruntukkan lahan ideal
mencakup 2 (dua) penggunaan yaitu lindung
dan budidaya. Untuk mengidentifikasi guna

lahan yang tidak sesuai menurut peruntukkan


lahan maka dapat dilakukan perbandingan
antara peta peruntukkan lahan dengan peta
guna lahan yang ada. Gambar 5
memperlihatkan perbandingan peruntukkan
lahan ideal dengan guna lahan di Kota
Samarinda.
Penggunaan lahan yang tidak sesuai meliputi
lahan residential area/permukiman, industri
dan pertambangan. Penggunaan lahan yang
tidak sesuai dengan peruntukkan lahan
cenderung akan memperbesar potensi
meningkatnya kawasan banjir. Untuk lebih
jelas mengenai penggunaan lahan yang tidak
sesuai di Kota Samarinda dapat dilihat pada
Tabel 3.
Analisis Pengaruh Guna Lahan terhadap
Banjir (Sub-DAS Karangmumus)
Penggunaan lahan eksisting pada Sub-DAS
Karangmumus, terbagi dalam 22 sub subDAS kecil, kawasan sub sub-DAS 3
merupakan yang terluas dengan luas kawasan
yaitu 3.905,32 ha dan penggunaan lahan
tegalan. Sub sub-DAS 3 merupakan daerah
hulu Sungai Karangmumus yang memiliki
kelerengan 8-40%. Nilai debit puncak (Q)
masing-masing sub-sub DAS dapat dilihat
pada Tabel 4.
Analisis Optimasi Guna Lahan Untuk
Pengendalian Banjir
Pada sub sub-DAS 20 (Kawasan Jalan
Kemakmuran) terdapat kawasan yang rawan
banjir, dimana hampir selalu banjir apabila
terjadi hujan deras dengan intensitas lebih
dari 50 mm/jam. Penggunaan lahan yang ada
pada sub sub-DAS 20 sebagian besar
didominasi oleh tegalan dan residential area
(permukiman). Tabel 5 memperlihatkan
luasan masing-masing guna lahan sebelum
dilakukan
optimasi.
Dari
komposisi
penggunaan lahan diatas, dihasilkan debit
puncak sebesar 178,9 m3/det dengan
menggunakan curah hujan 100 tahunan.
Proporsi tegalan, residential area, dan
pertambangan yang dominan menyebabkan

51

Zulfakar, Model Guna Lahan Untuk Pengendalian Banjir

Ketinggian

Kriteria Skor
& pembobotan

Kelerengan

Kriteria Skor
& pembobotan

Curah Hujan

Guna Lahan

Zona rawan
luapan
Jenis Tanah

Kriteria Skor
& pembobotan

Kriteria Skor
& pembobotan

Model
Konseptual
Penentuan
Kawasan

Aplikasi
GIS

Aplikasi
Wilayah

Kawasan
sangat
rawan
Kawasan
Rawan
Kawasan
Menengah
Kawasan

Kriteria Skor
& pembobotan

Kriteria Skor
& pembobotan

Gambar 1. Kerangka Model Penentuan Kawasan Rawan Banjir

Kelerengan

Jenis Tanah

Intensitas
Hujan

Skor Atribut = 10100


(budidaya-lindung)

Skor Atribut = 1575


(budidaya-lindung)

Model
Penentuan
Peruntukkan
lahan

Aplikasi
Konversi
GIS

Skor Atribut = 1050


(budidaya-lindung)

Gambar 2. Kerangka Model Penentuan Peruntukkan Lahan

Kawasan
Budidaya
Kawasan
Lindung

52

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 46 - 57

debit puncak yang dihasilkan besar,


dikarenakan nilai koefisien run off yang
dimiliki masing-masing juga besar yaitu 89,
92, dan 94. Gambar 6 memperlihatkan grafik
hidrograf banjir.
Dengan hidrograf banjir diatas, maka
padasaat debit puncak, kapasitas sungai tidak
dapat menampung debit (Q) yang dihasilkan
oleh guna lahan yang ada, sehingga terjadi
luapan banjir di sekitar sungai. Gambar 7
memperlihatkan bahwa permukaan air
melebihi batas tanggul sungai, sehingga
terjadi luapan banjir. Pada sub sub-DAS
Karangmumus 20 terdapat 2 (dua) jenis guna
lahan yang tidak sesuai yaitu permukiman
(residential area) dan pertambangan.

Gambar 7. Kapasitas Sungai di Sub Sub


DAS 20 (Setelah optimasi)
Tabel 6. Guna Lahan Optimal
Sub Sub DAS 20
Guna Lahan
Hutan
Residential Area
Pertanian
Total

Gambar 6. Hidrograf banjir Sub Sub DAS 20


Namun konversi lahan permukiman tidak
dimungkinkan dengan pertimbangan dampak
sosial,sehingga konversi dilakukan pada lahan
tegalan dan pertambangan. Tabel 6
memperlihatkan proporsi guna lahan setelah
optimasi (dilakukan rekayasa konversi lahan).
Setelah dilakukan beberapa alternatif proporsi
guna lahan, maka proporsi guna lahan pada
tabel diatas dianggap optimal.

Luasan (km2)

Prosentase

3,32
2,13
0,06
5,51

60,25 %
38,66 %
1,09 %
100,00 %

Penambahan guna lahan hutan lebih dari 60%


mampu menekan debit banjir sehingga
kapasitas sungai dapat menampung debit
banjir yang ada. Gambar memperlihatkan
kapasitas sungai setelah guna lahan
dioptimalkan. Penggunaan lahan sangat
berpengaruh bagi besarnya debit (Q) pada
suatu DAS. Apabila suatu DAS memiliki
guna lahan dengan nilai run off besar, maka
debit (Q) yang dihasilkan juga besar.
Perubahan guna lahan ke jenis lahan yang
memiliki nilai run off besar (seperti
residential area, industri, dan pertambangan)
akan semakin memperbesar nilai debit (Q)
dan juga semakin mempercepat waktu
konsentrasi debit (Tc). Suatu DAS dapat
dikatakan memiliki guna lahan optimal untuk
mengendalikan banjir, apabila kapasitas

53

Zulfakar, Model Guna Lahan Untuk Pengendalian Banjir

Gambar 4. peta tingkat kerawanan banjir di kota samarinda


Tabel 2. Model Penentuan Kawasan Rawan Banjir
Jenis Variabel
Topografi/Ketinggian
(DEM)
(sumber: pendekatan
wilayah studi)

Kelerengan
(sumber: kepmentan
no.837 th 1980)
Curah Hujan
(sumber: kepmentan
no.837 th 1980
Guna Lahan
(sumber: PP no.47 th
97dan Asdak,1995)

Atribut

Keterangan

Skor

< 1,68m

Pengaruh pasang S. Mahakam


Beberapa kawasan terjadi
banjir
Daerah perbukitan
terjal/curam
Datar
Landai
Agak curam
Curam
Sangat curam
Sangat tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah
c = 0,9
c = 0,8
c = 0,75
c = 0,5

1,68-10m
10-50m
50-100m
>100m
<2%
2-15%
15-25%
25-45%
>45%
> 3,48 mm/hari hujan
2,77 3,48 mm/hari hujan
2,07 2,77 mm/hari hujan
1,36 2,07 mm/hari hujan
<1,36 mm/hari hujan
pertambangan
industri
Residential Area
tegalan

4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
3

54

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 46 - 57

Jenis Variabel

Zona rawan luapan


(sumber: PP 47 th 97 dan
MENPU No.63 Th 1993)
Jenis tanah
(sumber: kepmentan
no.837 th 1980)

Atribut

Keterangan

Skor

pertanian
hutan
Dalam zona sungai kecil (<30m)
Di luar zona sungai kecil (<30m)
Dalam zona sungai besar (>30m)
Di luar zona sungai besar (>30m)
Alluvial, Tanah Glei, Panasol,
Hidromorf Kelabu
Lateria Air Tanah
Latosol, Andosol, Lateritic, Gromosol,
Podsolik
Regosol, Litosol, Organosol, Renzina

c = 0,3
c = 0,05
Lebar sempadan0-50m
Lebar sempadan > 50m
Lebar sempadan0-100m
Lebar sempadan>100m
Daya serap sangat rendah
Daya serap rendah
Daya serap sedang
Daya serap tinggi
Daya serap sangat tinggi

2
1
5
1
5
1
5
4
3
2
1

Sumber: hasil analisis penyusun

MODEL SPASIAL (1)


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Peta DEM
Peta Kelerengan
Peta Curah Hujan
Zona Rawan
Luapan
Jenis Tanah
Penggunaan Lahan

MODEL SPASIAL (2)


1.
2.
3.

Peta Kelerengan
Peta Jenis Tanah
Peta Curah Hujan

MODEL HIDROLOGI
Data Fisik DAS
Rekaya
sa

Guna Lahan DAS


Data Curah Hujan
Geometri Sungai

Skoring&Pembobotan

Tak
sesuai

Aplikasi HEC-HMS
Overlay &
Penjumlahan
Skoring&Pembobotan

Debit banjir lapangan

validasi

Aplikasi HEC-RAS

Overlay&
Penjumlahan

Meluap

Kapasitas sungai

Tak
sesuai

Menampung
KAWASAN RAWAN
BANJIR

PERUNTUKKAN
LAHAN

PROPORSI LAHAN
OPTIMAL

Gambar 3: Kerangka Model Guna Lahan Untuk Pengendalian Banjir Perkotaan

55

Zulfakar, Model Guna Lahan Untuk Pengendalian Banjir

Gambar 5. Perbandingan peruntukkan lahan ideal guna lahan tahun 2010 di kota Samarinda
Tabel 3. Penggunaan Lahan yang Tidak sesuai di Kota Samarinda
Guna Lahan
Permukiman
Industri
Pertambangan
TOTAL

Luas(ha)
2.528,90
220,08
27.915,39
30.664,37

Prosentase terhadap Luas Kota Samarinda


41.52% dari total Permukiman di Kota Samarinda
25.36%dari total Industri di Kota Samarinda
69.57%dari total Pertambangan di Kota Samarinda
42,7%

Tabel 4. Debit Banjir DAS KarangMusmus di Titik Muara Sungai


Nama Sub DAS
Sub DAS 1
Sub DAS 2
Sub DAS 3
Sub DAS 4

Luas (Km2)
17,28
11,27
39,05
15,17

2th
275,2
214,2
525,9
362,6

5th
337,2
262,9
643,4
412,6

Debit Banjir (m3/det)


10th
25th
358,2
372,6
279,5
290,8
683,3
710,5
428,8
439,5

50th
378,5
295,4
721,5
443,7

100th
382,0
298,0
728,0
446,3

56

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 46 - 57

Nama Sub DAS

Luas (Km2)

Sub DAS 5
Sub DAS 6
Sub DAS 7
Sub DAS 8
Sub DAS 9
Sub DAS 10
Sub DAS 11
Sub DAS 12
Sub DAS 13
Sub DAS 14
Sub DAS 15
Sub DAS 16
Sub DAS 17
Sub DAS 18
Sub DAS 19
Sub DAS 20
Sub DAS 21
Sub DAS 22
DAS Karangmusmus

12,60
22,99
11,30
19,28
12,72
18,81
6,48
28,78
8,70
7,00
14,83
14,12
12,69
17,46
8,09
5,51
6,51
5,22
320,00

2th
159,2
427,0
229,3
393,5
303,1
331,4
157,2
527,9
341,3
221,2
242,3
376,1
265,7
387,7
183,0
132,5
93,9
132,4
1.210,7

5th
181,5
486,9
281,8
480,9
370,6
376,6
178,9
729,9
391,4
251,3
276,3
453,0
320,8
466,9
220,6
159,7
113,1
159,4
1.486,3

Debit Banjir (m3/det)


10th
25th
188,6
193,4
506,3
519,3
299,5
311,7
510,8
531,1
393,6
409,3
391,1
401,0
186,6
190,6
845,3
973,0
407,6
418,4
261,0
267,6
287,3
294,6
500,8
558,7
354,9
396,4
516,5
576,3
244,1
272,5
176,7
197,2
125,0
139,5
176,2
196,6
1.579,8
1.643,5

50th
195,4
524,2
316,5
539,3
415,7
404,7
192,4
1.057,3
422,7
270,1
297,4
600,4
426,3
619,4
292,9
210,0
149,9
211,3
1.669,2

100th
196,5
527,3
319,4
544,1
419,4
407,0
189,1
1.133,7
425,2
271,6
298,7
641,4
455,4
661,6
312,9
226,4
160,1
225,7
1.684,4

Sumber : Analisis HEC-HMS


Tabel 5. Guna Lahan Sub Sub DAS 20
Guna Lahan
Tegalan
Residential Area
Pertanian
Pertambangan
Total

penampung banjir pada DAS tersebut dapat


menampung debit (Q) yang ada.

Gambar 8. Kapasitas sungai karangmumus di


titik di sub sub-DAS 20 (setelah optimasi)

Luasan
(km2)

Prosentase
2,38
2,13
0,06
0,94
5,51

43,19 %
38,66 %
1,09 %
17,06 %
100,00 %

3. KESIMPULAN
Model
simulasi
guna
lahan
untuk
pengendalian banjir perkotaan merupakan
model yang dapat digunakan untuk
menentukan proporsi/komposisi masingmasing jenis lahan, berupa luasan lahan yang
optimal dapat menghasilkan debit sesuai
dengan kapasitas bangunan pengendali yang
ada. Secara umum faktor yang berpengaruh
terhadap tingkat kerawanan banjir adalah
ketinggian (elevasi), kelerengan (slope), curah
hujan, guna lahan, kawasan rawan luapan, dan
jenis tanah. Berdasarkan hasil dari model
penentuan kawasan rawan banjir, maka
pengaruh masing-masing faktor terhadap
kerawanan banjir yang dinyatakan dalam
persen yaitu ketinggian 40%, kelerengan
10%, curah hujan 10%, guna lahan 20%,

Zulfakar, Model Guna Lahan Untuk Pengendalian Banjir

kawasan rawan luapan 10%, dan jenis tanah


10%. Penggunaan lahan eksisting yang tidak
sesuai dengan peruntukkan lahan dapat
memperbesar tingkat kerawanan banjir.
Ironisnya, ketidaksesuaian tersebut seringkali
mengarah pada guna lahan yang memiliki
nilai run off besar. Akibatnya adalah
peningkatan debit banjir pada suatu DAS
karena guna lahan dengan nilai run off besar
semakin bertambah luas dan tidak diiringi
dengan pembangunan pengendali banjir.
Pertambangan dan permukiman merupakan
guna lahan
yang
berdampak
besar
meningkatkan kerentanan banjir. Untuk
menurunkan
kerentanan
banjir
dapat
dilakukan melalui konversi penggunaan lahan
yang memiliki nilai run off besar (terutama
yang tidak sesuai peruntukkan) ke
penggunaan lahan yang memiliki nilai run off
kecil seperti guna lahan hutan. Komposisi
penggunaan lahan yang optimal dalam
meminimalisir kerentanan banjir adalah yang
dapat meminimilkan debit (Q) dan sesuai
dengan peruntukkan lahan sehingga debit
banjir yang dihasilkan tidak melebihi
kapasitas penampung yang dimiliki.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. (2006). Konservasi Tanah dan
Air. IPB Press, Bogor.
Asdak, C. (2002). Hidrologi dan Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

57

Ashley, R., (2007). Advances in Urban Flood


Management. Balkema, Taylor & Francis
London.
Cunderlik, J., dan S.P. Simonovic (2004),
Assessment of water resources risk and
vulnerability to changing climatic
conditions, calibration, verification and
sensitivity analysis of the HEC-HMS
hydrologic model. Tech. Rep. IV. The
University of Western Ontario, London,
Ontario, Canada.
Kodoatie, R.J. dan Sugiyanto (2002). Banjir
Beberapa
Penyebab
dan
Metoda
Pengendaliannya
Dalam
Perspektif
Lingkungan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Kodoatie, R.J. dan R. Sjarief (2005).
Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu.
Penerbit Andi. Yogyakarta.
Loebis, J. (1998). Inventory of Flooding Area
in Indonesia and its Problems.
Suripin (2004). Pelestarian Sumber Daya
Tanah dan Air . Andi: Yogyakarta.
US Army Corps of Engineers, Hydrologic
Engineering Center (2010). HEC-HMS
Hydrologic Modeling System: Technical
Reference Manual.
US Army Corps of Engineers, Hydrologic
Engineering Center (2010). HEC-RAS
River
Analyst
System:
Technical
Reference Manual.

EKSPLORASI AIR TANAH DENGAN METODE GEOLISTRIK


SCHLUMBERGER
DI DAERAH PESISIR KABUPATEN TANAH LAUT
GROUND WATER EXPLORATION WITH SCHLUMBERGER
GEOELECTRIC
AT REGIONAL DISTRICT LAND IN COASTAL MARINE
Anton Kuswoyo*1) dan Ali Masduqi1)
1)
Jurusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
*)
E-mail: koeswoyo88@yahoo.com
Abstrak
Intrusi air laut mengakibatkan polusi bagi air tanah, baik air tanah dangkal maupun air tanah dalam, yang
merupakan sumber air bersih bagi penduduk. Khusus di daerah pesisir yang belum dilayanan air PDAM,
masyarakat masih menggunakan air sumur dangkal sebagai sumber air bersih. Kendala utama sumur dangkal
adalah mengalami kekeringan ketika musim kemarau dan mengalami intrusi air laut. Pengambilan data
resistivitas dengan menggunakan metode geolistrik Schlumberger dilakukan pada sembilan titik lintasan.
Hasil penelitian eksplorasi menunjukkan metoda geolistrik dapat digunakan untuk menentukan keberadaan
air tanah. Hasil penelitian menunjukkan daerah penelitian mempunyai potensi air tanah yang layak untuk
dimanfaatkan sebagai sumber air bersih. Potensi besar (ketebalan lapisan air tanah di atas 15 m) sebanyak 6
titik dari 9 titik penelitian, yakni berada pada titik GL1, GL3, GL5, GL6, GL7 dan GL9. Potensi sedang
(ketebalan lapisan air tanah antara 5 15 m) sebanyak 3 titik lokasi, berada pada titik GL2, GL4 dan GL8.
Keberadaan air tanah berada pada kisaran kedalaman 1 80 m.
Kata kunci: air tanah, intrusi air laut, geolistrik schlumberger, pesisir, sumber air
Abstract
Intrusion of sea water for groundwater pollution, including deep groundwater and shallow ground water in
the soil, which is a source of clean water for the residents. Particular in coastal areas which have not been
served with water taps, people still use shallow well water as a source of clean water. The main obstacle is
the shallow wells experiencing drought on dry season and experiencing seawater intrusion. Resistivity data
retrieval using Schlumberger geoelectric method performed on the nine point trajectory. Results of
exploratory research suggests geoelectric method can be used to determine the presence of ground water.
The results showed the study area has the potential groundwater eligible to be used as a source of clean
water. Great potential (aquifer thickness above 15 m) by 6 points from 9 points of research, which is at the
point of GL1, GL3, GL5, GL6, GL7 and GL9. Moderate potential (aquifer thickness between 5-15 m) of 3point location, is at a point GL2, GL4 and GL8. The presence of ground water in the range of depth around
1-80 m.
Keywords: coastal, ground water, Schlumberger geoelectric, sea water intrusion, water resource

Kuswoyo, Eksplorasi Air Tanah Dengan Metode Geolistrik

1.

PENDAHULUAN

Masyarakat di daerah pesisir Kabupaten


Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan
masih menggunakan air sumur dangkal
sebagai sumber air bersih dan air minum. Air
sumur dangkal persediaannya sangat terbatas
pada musim kemarau dan di beberapa tempat
terkena intrusi air laut. Hingga saat ini,
layanan air PDAM belum menjangkau daerah
pesisir. Penggunaan air bersih semakin
bertambah seiring dengan pertambahan
jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi.
Kegiatan
pertanian,
industri
dan
pengembangan di berbagai sektor sangat
bergantung pada ketersediaan sumber air
bersih (Rao, et al., 2011). Guna mencukupi
kebutuhan
air
bersih,
maka
perlu
mengoptimalkan sumber air bersih yang ada
di daerah tersebut dan pemilihan teknologi
yang tepat untuk meningkatkan capaian
pelayanan air bersih (Masduqi, et al., 2007).
Sumber air dibedakan menjadi dua, air
permukaan dan air tanah. Air permukaan
seperti sungai, mata air dan rawa, rawan
tercemar dengan berbagai polutan dan
persediaannya pun tidak mencukupi di daerah
pesisir. Sedangkan air tanah lebih terlindung
dari berbagai pencemar, karena sumbernya
berada di dalam lapisan tanah. Air tanah
dalam, belum dimanfaatkan sebagai sumber
air bersih. Hal ini karena belum ada penelitian
yang mengungkapkan keberadaan lapisan air
tanah dalam di daerah pesisir Kabupaten
Tanah Laut.
Secara geografis, pada bagian Barat dan
Selatan, Kecamatan Panyipatan berbatasan
langsung dengan laut Jawa. Kondisi geologi
daerah ini tersusun atas Formasi Ultramafik,
Formasi Dahor dan Formasi Aluvium
(Sikumbang dan Heryanto, 1994). Formasi
Ultramafik terdiri dari harzburgit, wehrlit,
websterlite, piroksenit dan serpentinit.
Formasi Dahor mempunyai kombinasi batuan
yaitu batupasir kuarsa kurang padu,
konglomerat dan batu lempung lunak dengan
sisipan lignit, kaolin dan limonit. Formasi ini
terendapkan dalam lingkungan paralas dengan

59

tebal formasi dipermukaan 250 cm. Umurnya


diduga Plio-Plistosen. Sedangkan Formasi
Aluvium tersusun atas kerikil, pasir, lanau
lempung dan lumpur.
Berdasarkan kasus tersebut di atas, ada
beberapa hal menarik untuk dikaji. Pertama
mayoritas penduduk masih menggunakan
sumber air minum yang rentan terhadap
pencemaran, sementara sumber air minum
yang yang aman dan mempunyai potensi
besar untuk dimanfaatkan belum digunakan
secara maksimal. Kedua, kawasan perdesaan
di daerah pesisir, pada beberapa lokasi sudah
terkena intrusi air laut, oleh sebab itu perlu
solusi penyediaan air bersih untuk memenuhi
kebutuhan penduduk. Sumber air bersih di
daerah pesisir hanya berasal dari air hujan, air
sungai dan air tanah dangkal (sumur). Air
hujan jumlahnya fluktuatif serta memerlukan
bak penampungan yang besar. Penggunaan air
hujan hanya sebatas air minum, sementara
untuk air bersih masih belum mencukupi
secara kuantitas. Air sungai rentan terhadap
pencemaran dan intrusi air laut. Sedangkan air
tanah dalam hingga saat ini belum pernah
diteliti potensi pemanfaatannya.
Potensi keberadaan air tanah dalam dapat
dieksplorasi dengan menggunakan metode
geolistrik schlumberger guna mengetahui
zona akumulasi air tanah (Wahyono dan
Wianto, 2008). Kajian potensi air tanah
dengan metode geolistrik menjadi menarik
karena metode ini tidak merusak medium dan
lingkungan sekitar, namun hasilnya bisa
dianalisis untuk mengetahui keberadaan
lapisan air tanah. Besarnya potensi air tanah
bisa ditandai dengan adanya zona akifer yang
tebal (Anomohanran, 2011).
2. METODA
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terletak di Desa Tanjung
Dewa dan Desa Batakan, Keduanya berada di
Kecamatan Panyipatan Kabupaten Tanah,
Laut Kalimantan Selatan. Daerah penelitian
merupakan pesisir yang berbatasan dengan

60

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 58-66

Laut Jawa. Topografi daerah ini berupa


dataran rendah hingga pegunungan dengan
ketinggian 2 300 m dari permukaan laut
(dpl). Pada daerah yang berdekatan dengan
pantai, berupa dataran rendah dan landai,
bahkan di beberapa lokasi berupa rawa-rawa.
Geologi batuan terdiri dari formasi alluvium,
ultramafik
dan
dahor
(Gambar
1).
Pengambilan
data
resistivitas
dengan
menggunakan metode geolistrik pada
sembilan titik lintasan yaitu lintasan GL1
GL9. koordinat setiap titik penelitian dicatat
dengan
menggunakan
GPS
(global
positioning system) dan ditampilkan dalam
Tabel 1.
Metoda Geolistrik
Metoda geolistrik adalah salah satu metoda
geofisika yang didasarkan pada penerapan
konsep kelistrikan pada masalah kebumian
dengan cara mengalirkan arus listrik searah
(Direct Current) yang mempunyai beda
potensial tinggi ke dalam bumi. Injeksi arus
listrik ini menggunakan dua buah elektroda
arus C1 dan C2 yang ditancapkan ke dalam
tanah dengan jarak tertentu (Gambar 2).
Semakin panjang jarak elektroda C1C2 akan
menyebabkan aliran arus listrik bisa
menembus lapisan batuan lebih dalam
(Santoso, 2002).
Aliran arus tersebut menimbulkan efek beda
potensial listrik di dalam tanah.
Beda
potensial listrik yang terjadi di permukaan
tanah
diukur
dengan
menggunakan
multimeter yang terhubung melalui dua buah
elektroda potensial P1 dan P2 yang jaraknya
lebih pendek daripada jarak elektroda C1C2.
Bila posisi jarak elektroda C1C2 diubah
menjadi lebih besar maka tegangan listrik
yang terjadi pada elektroda P1P2 ikut berubah
sesuai dengan informasi jenis batuan yang
ikut terinjeksi arus listrik pada kedalaman
yang lebih besar (Savit, 1988). Tujuan
penerapan metode geolistrik adalah untuk
memperkirakan sifat kelistrikan medium atau
formasi batuan bawah permukaan terutama
kemampuannya untuk menghantarkan atau

menghambat
resistivitas).

listrik

(konduktivitas

atau

Aliran listrik pada suatu formasi batuan


terjadi karena adanya fluida elektrolit pada
pori-pori atau rekahan batuan. Oleh karena itu
resistivitas suatu formasi batuan bergantung
pada porositas batuan serta jenis fluida
pengisi pori-pori batuan tersebut. Batuan yang
pori-porinya berisi air atau air asin tentu lebih
konduktif (resistivitasnya rendah) dibanding
batuan yang sama yang pori-porinya hanya
berisi udara (Santoso, 2002). Sehingga lapisan
batuan yang mempunyai cadangan air cukup
banyak akan terdeteksi, termasuk juga intrusi
air laut di lapisan bawah permukaan bumi
(Satriani, et al., 2012).
Akuisisi data resistivitas
Akuisisi data resistivitas dilakukan untuk
mengetahui keberadaan air tanah berdasarkan
nilai resistivitas lapisan-lapisan bawah
permukaan bumi. Arus listrik diinjeksikan
melalui dua buah elektroda arus (current)
sepanjang lintasan 400 m untuk masingmasing titik penelitian. Data hasil pengukuran
resistivitas di lapangan ditulis pada Tabel 2,
berupa nilai resistivitas terukur (R).

Gambar 1 Geologi daerah penelitian


(Sikumbang dan Heryanto, 1994)

Kuswoyo, Eksplorasi Air Tanah Dengan Metode Geolistrik

61

Tabel 1 Koordinat posisi lokasi penelitian, pengambilan data resistivitas


Titik Penelitian

Koordinat
Lintang Selatan
Bujur Timur
(LS)
(BT)

Ketinggian

Jarak

dpl (m)

dari pantai (m)

175

GL1

4,0300

114,6390

GL2

4,029

114,644

750

4,028

114,648

21

1100

GL4

4,073

114,6360

29

875

GL5

4,0720

114,6390

18

1200

GL6

4,007

114,643

37

1900

GL7

4,098

114,631

190

GL8

4,0900

114,6440

11

1700

GL9

4,0800

114,6570

18

3200

GL3

Sumber pengolahan data, 2012

Gambar 2.

Injeksi arus listrik dan garis-garis bidang potensial yang ditimbulkan


(Minning, 1973)

Nilai resistivitas terukur selanjutnya dikalikan


dengan
faktor
geometri
(k)
untuk
mendapatkan resistivitas semu (Rho). Nilai
resistivitas semu tersebut yang akan dianalisis
dengan menggunakan software progress versi
3.0. Langkah awal untuk mengolah data
resistivitas adalah membuka software
progress
pada
komputer,
kemudian
memasukkan spasi elektroda arus injeksi
(C1C2) pada kolom Spacing dan nilai
resistivitas semu pada kolom Observed Data

seperti
yang
ditampilkan
software.
Selanjutnya software dioperasikan sesuai
prosedur.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil akhir pengolahan data adalah berupa
kurva nilai resistivitas pada tiap-tiap lapisan
bumi (Gambar 3). Pada pembahasan ini hanya
ditampilkan contoh pengolahan data pada satu
titik penelitian, yakni lintasan GL1.

62

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 58-66

Sedangkan untuk 8 titik penelitian lainnya


hanya ditampilkan hasil penelitian yang
diperoleh dengan cara dan analisis yang sama
dengan lintasan GL1. Kurva pada gambar
sebelah kiri menunjukkan hubungan nilai
resistivas dengan panjang spasi elektroda arus
yang diinjeksi pada waktu pengambilan data
lapangan.
Tabel di sebelah kanan menampilkan
kedalaman lapisan tanah/batuan dan nilai
resistivitasnya. Nilai-nilai resistivitas pada
tiap lapisan dibandingkan dengan nilai
resistivitas batuan yang ada pada literatur
tentang daftar nilai resistivitas batuan dan
mineral (Reynolds, 1997) dan disesuaikan
dengan formasi batuan. Pada lintasan GL1
terletak pada formasi alluvium, maka batuan
yang ada di daerah tersebut terdiri dari pasir,
alluvial kerikil, lanau lempung (clay) dan
lumpur.
Lapisan bawah permukaan bumi mempunyai
rentang nilai resistivatas 2,91 1044,08 m
yang terdiri dari 6 lapisan. Jika dibandingkan
dengan formasi alluvium maka dapat
diprediksi jenis batuan yang terkandung pada
titik pengukuran GL1 adalah seperti pada
Tabel 3. Air tanah diprediksi berada pada
kedalaman 88,04 130 m. Hal ini ditandai
pada lapisan pasir yang memiliki rentang nilai
resistivitas 10 150 m. Semakin tebal
lapisan yang mengandung air tanah, maka
potensinya semakin besar (Eke dan Igboekwe,
2011).
Namun potensi air tanah tidak hanya ditinjau
dari ketebalan lapisan saja, ada faktor lain
seperti luas area, kemudahan untuk
dieksploitasi dan lain-lain. Pada lintasan GL1
terjadi intrusi air laut pada kedalaman 7,1710,02 m dengan nilai resistivitas 2,91 m.
intrusi air laut juga terjadi pada lintasan GL7
kedalaman 4,85 11,17 m dengan nilai
resistivitas 0,44 m.

Demikian juga cara penglolahan data untuk 8


titik lintasan yang lainnya, menggunakan cara
dan analisis yang sama.
Analisis Potensi Air Tanah
Setelah
dilakukan
pengambilan
data
resistivitas untuk mengetahui keberadaan air
tanah dan potensinya untuk digunakan
sebagai sumber air bersih, diperoleh data hasil
analisis berupa kedalaman lapisan yang
mengandung potensi air tanah. Tabel 3.3
menunjukkan kedalaman dan ketebalan
lapisan air tanah di sembilan titik penelitian.
Data pada Tabel 4 selanjutnya ditampilkan
dalam bentuk peta kontur seperti pada
Gambar 4. Potensi air tanah dikelompokkan
menjadi tiga: Besar, Sedang dan Kecil.
Potensi besar yakni lapisan yang mengandung
air tanah dengan ketebalan lapisan di atas 20
m. Potensi sedang yakni lapisan yang
mengandung air tanah dengan ketebalan
lapisan di atas antara 5 20 m, sedangkan
potensi kecil jika ketebalan lapisan yang
mengandung air tanah kurang dari 5 m.
Penggolongan potensi besar, sedang dan kecil
ini relatif, artinya berdasarkan jumlah
penduduk di daerah penelitian. Potensi besar
sebanyak 6 titik dari 9 titik penelitian, yakni
berada pada titik GL1, GL3, GL5, GL6, GL7
dan GL9. Potensi sedang berada pada titik
GL2, GL4 dan GL8. Pembuatan sumur bor,
harus pada titik dengan potensi air yang
sedang dan besar.
Hal ini untuk menghindari kekurangan
pasokan air bersih dan untuk menjaga
kontinuitas penyediaan air bersih bagi
masyarakat. Selain itu, potensi air tanah
sedang dan besar diperkirakan tidak akan
kering walaupun musim kemarau. Nilai
resistivitas lapisan air tanah pada masingmasing lintasan ditampilkan pada Tabel 5.

Kuswoyo, Eksplorasi Air Tanah Dengan Metode Geolistrik

Gambar 3. Kurva hasil pengolahan data resistivitas pada Lintasan GL1

63

64

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 58-66

Tabel 2. Data hasil pengukuran resistivitas Lintasan GL1


C1C2/2

P1P2/2

R(ohm)

k (m)

Rho(Ohm.m)

1
1.5
2
2.5
3
4
5
6
6
7
8
9
10
12
15
15
20
25
30
40
50
60
60
70
80
90
100
120
150
150
200

0.2
0.3
0.3
0.3
0.3
0.3
0.3
0.3
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
3
3
3
3
3
3
3
12
12
12
12
12
12
12
30
30

9.533
7.096
3.655
2.344
1.611
0.886
0.524
0.323
1.17
0.747
0.489
0.332
0.246
0.144
0.078
0.166
0.086
0.059
0.044
0.031
0.027
0.023
0.099
0.087
0.075
0.059
0.057
0.069
0.021
0.037
0.052

7.543
11.314
20.481
32.267
46.671
83.338
130.481
188.100
45.257
62.281
81.924
104.186
129.067
186.686
292.757
113.143
204.810
322.667
466.714
833.381
1,304.810
1,881.000
452.571
622.810
819.238
1,041.857
1,290.667
1,866.857
2,927.571
1,131.429
2,048.095

71.906
80.286
74.858
75.633
75.188
73.838
68.372
60.756
52.951
46.524
40.061
34.590
31.750
26.883
22.835
18.782
17.614
19.037
20.535
25.835
35.230
43.263
44.805
54.184
61.443
61.470
73.568
128.813
61.479
41.863
106.501

Sumber: pengolahan data, 2013


Tabel 3. Lapisan-lapisan bawah permukaan tanah pada Lintasan GL1
No.
Lapisan

Kedalaman
(m)

Resistivitas m

1
2
3
4
5
6

0,00 0,20
0,20 0,98
0,98 7,17
7,17 10,02
10,02 88,04
88,04 - 130

11,33
289,47
18,91
2,91
1044,08
109,47

Jenis batuan

Lapisan tanah lapuk dan clay


pasir
Lapisan tanah lapuk dan clay
Lapisan tanah yang terkena intrusi
Kerikil (gravel)
Lapisan pasir, banyak mengandung air
tanah

Kuswoyo, Eksplorasi Air Tanah Dengan Metode Geolistrik

65

Tabel 4. Kedalaman dan ketebalan lapisan air tanah


GL1

Jarak dari Pantai


(m)
175

Kedalaman Lapisan
(m)
88,04

Ketebalan Lapisan
(m)
41,96

GL2

750

12,03

7,36

Sedang

GL3

1100

1,51

30,93

Besar

GL4

875

4,01

10,02

Sedang

GL5

1200

3,71

17,72

Besar

GL6

1900

55,04

48,77

Besar

GL7

190

11,17

136,83

Besar

GL8

1700

7,22

13,63

Sedang

GL9

3200

12,47

116,03

Besar

Titik Lokasi

Potensi
Besar

Sumber: pengolahan data, 2012


Tabel 5. Nilai resistivitas lapisan air tanah
Titik Lokasi

Kedalaman Lapisan
(m)

Ketebalan Lapisan
(m)

Nilai Resistivitas
(m)

GL1

88,04

41,96

109,47

GL2

12,03

7,36

55,40

GL3

1,51

30,93

113,15

GL4

4,01

10,02

22,56 144,65

GL5

3,71

17,72

78,57 114,70

GL6

55,04

48,77

101,89 186,50

GL7

11,17

136,83

45,67 74,74

GL8

7,22

13,63

29,46 114,73

GL9

12,47

116,03

10,63 91,57

Gambar 4. Peta Kontur kedalaman air tanah di daerah pesisir Kec. Panyipatan Kabupaten Tanah
Laut Kalimantan Selatan

66

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 58-66

4. KESIMPULAN
Keberadaan air tanah pada sembilan titik
penelitian menunjukkan daerah pesisir di
Kabupaten Tanah Laut mempunyai potensi air
tanah yang layak untuk dimanfaaatkan
sebagai sumber air bersih.
Potensi besar sebanyak 6 titik dari 9 titik
penelitian (dengan ketebalan lapisan air di
atas 15 m), yakni berada pada titik GL1, GL3,
GL5, GL6, GL7 dan GL9. Potensi sedang
(dengan ketebalan lapisan air tanah antara 5
15 m) berada pada titik GL2, GL4 dan GL8.
Keberadaan air tanah berada pada kisaran
kedalaan 1 80 m. Lokasi yang terkena
intrusi air laut yaitu pada titik lintasanGL1
pada kedalaman 0,98-7,17 m dan titik GL7
pada kedalaman 4,85-11,17 m dengan nilai
resistivitas berturut-turut 2,91 m dan 0,44
m.
DAFTAR PUSTAKA

Minning, R.C. (1973). The Electrical Resistivity


Method, Part I, Technical Memo Number 3.
Water Well Journal. 27(6).
Rao, V.G., K. C. Naidu, dan S.C. Mouli (2011).
Contamination
of
groundwater
in
Srikakulam Coastal Belt Due to Salt Water
Intrusion.
International
Journal
of
Engineering and Technology. 3 (1). 25-29.
Santoso, D. (2002).
Pengantar
Geofisika, ITB, Bandung.

Teknik

Satriani, A., A. Loperte, V. Imbrenda, dan V.


Lapenna (2012). Geoelectrical Surveys for
Characterization of the Coastal Saltwater
Intrusion inMetapontum Forest Reserve
(Southern Italy). Hindawi Publishing
Corporation International Journal of
Geophysics. Article ID 238478, 8 pages.
Savit, M.B. dan C.H. Dobrin (1988).
Introduction to geophysical prospecting. Mc
Graw Hill International Edition.

Anomohanran, O. (2011). Determination Of


Groundwater Potential In Asaba, Nigeria
Using Surface Geoelectric Sounding.
International Journal of the Physical
Sciences. 6 (33). 7651-7656.

Sikumbang, N. dan R. Heryanto (1994). Peta


Geologi Lembar Banjarmasin, Kalimantan,
Bandung.

Ekel, K.T. dan M.U. Igboekwe (2011).


Geoelectric Investigation of Groundwater in
Some Villages in Ohafia Locality, Abia
State,Nigeria. British Journal of Applied
Science & Technology. 1(4): 190-203.

Reynolds, J.M. (1997). An Introduction to


Aplied and Environmental Geophysics,
John Wiley and Sons Ltd. Baffins,
Chichester, West Susex PO19 IUD.
England.

Masduqi, A., Endah N., E. S.Soedjono, dan W.


Hadi (2007). Capaian Pelayanan Air Bersih
Perdesaan Sesuai Millennium Development
GoalsStudi Kasus di Wilayah DAS
Brantas. Jurnal Purifikasi ITS. 8 (2): 115120.

Wahyono, S.C. dan T. Wianto (2008).


Penentuan Lapisan Air Tanah dengan
Metode Geolistrik Schlumberger di
Kabupaten Balangan Kalimantan Selatan.
Jurnal Fisika Fluks. 5 (2). 148-164.

AKLIMATISASI MIKROALGA HIJAU DALAM LIMBAH


PETERNAKAN UNTUK MENINGKATKAN PENYISIHAN
NUTRIEN DAN PRODUKSI LIPIDA
ACCLIMATIZATION OF GREEN MICROALGAE IN
LIVESTOCK WASTE TO ENHANCE NUTRIENT REMOVAL
AND LIPID PRODUCTION
Irhamni1), Elvitriana1), dan Vera Viena*1)
1)
Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah, Jalan Tgk Imum Leungbata,
Batoh, Banda Aceh
*)
Email: viena_violet@yahoo.com
Abstrak
Mikroalga memiliki kemampuan untuk menyerap berbagai bentuk nitrogen, dan posfor. Penelitian mengenai
aklimatisasi mikroalga hijau dalam fotobioreaktor volume 2 liter untuk menyisihkan nutrien dalam limbah
cair peternakan dengan konsentrasi limbah yang berbeda, yaitu 25, 50 dan 100%, dan siklus pencahayaan 24
jam dan 12 jam (on/off) telah dilakukan.. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan mikroalga hijau
terbaik diperoleh dari mikroalga teraklimatisasi dengan kandungan biomassa tertinggi sebesar 1,65 gr/L berat
kering, dikuti dengan 1,4 dan 1,35 gram/liter berat kering pada kultur limbah cair peternakan 25, 50 dan
100%. Pertumbuhan alga hijau tanpa aklimatisasi sangat lambat dengan masa kultivasi yang sama yaitu 16
hari, kandungan biomassa hanya berkisar antara 0,651,1 gram/liter berat kering. Proses metabolisme
mikroalga hijau teraklimatisasi terbukti mampu menyisihkan nutrien amonium, nitrat dan pospat dalam
limbah cair peternakan 60-98%, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan mikroalga hijau lokal untuk
penyisihan limbah peternakan dapat dilakukan sebagai salah satu metode alternatif penanggulangan limbah
cair, sedangkan biomassa alga dapat dimanfaatkan untuk produksi lipid minyak alga.
Kata kunci: Aklimatisasi, mikroalga, limbah cair peternakan, nutrien, produksi lipid
Abstract
Microalgae has an ability to absorb various forms of Nitrogen dan Phosfor. Research on green microalgae
cultivated in photobioreactor volume 2 liter to remove the nutrient content in the livestock waste by
considering the effect of different waste concentration,e.i 100%, 50% and 25% and length of illumination
time, e.i 24 hour and 12 hour (on/off) on biomass produced has been done. The result showed that the
highest microalgae growth is obtained from the acclimatized culture of the livestock waste 25% with biomass
content 1,65 gram/liter dry weight, and followed by the livestock waste (50% and 100%) , with biomass
content 1,4 gram/liter dry weight and 1,35 gram/liter dry weight, respectively. The non-acclimatized
microalgae showed a very slow growth within the same cultivation time which was 16 days with biomass
range from 0,651,1 gram/liter dry weight. Metabolism process of acclimatized green microalgae was
proven to be able to remove the nutrient content of ammonium, nitrate, and phosphate in range 60-98%, thus
the writers concluded that the usage of local green microalgae for livestock waste removal can be done as
one of the alternative methods for wastewater treatment, while algae biomass can be utilized for the
production of algae oil lipid.
Keywords: acclimatization, lipid production, liquid waste, microalgae, nutrient

68

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 67 - 74

1. PENDAHULUAN
Eutrofikasi pada badan air (misalnya danau
atau aliran sungai) dapat terjadi pada kondisi
kaya nutrien dalam sistem yang menimbulkan
perkembangan
alga
(algal
bloom).
Pertumbuhan alga yang berlebih dapat
menyebabkan penurunan pada kualitas air,
seperti; menurunnya kejernihan air, bau,
penurunan
kandungan
oksigen,
dan
kemungkinan dapat membunuh ikan. Sumbersumber nutrien tersebut dapat berasal dari
instalasi pengolahan limbah, detergen
buangan rumah tangga, septik sistem,
sedimen, kotoran ternak, dan penggunaan
pupuk komersil (Hoyle, et al., 2003).
Penggunaan mikroalga untuk pengolahan
limbah
cair
menawarkan
beberapa
keuntungan lebih daripada pengolahan limbah
secara tradisional, diantaranya dalam hal
efektifitas biaya untuk menyisihkan BOD,
Posfor, Nitrogen dan dapat menghilangkan
bakteri patogen dibandingkan sistem lumpur
aktif. Melalui proses pengolahan limbah cair
dngan alga dapat ditumbuhkan biomassa
dalam jumlah besar (Woertz, 2007). Alga
secara alamiah bekerja untuk mereduksi kadar
Nitrogen dan Posfor pada limbah cair
peternakan (Johnson, 2009). Nutrien seperti
nitrogen dan posfor dapat dihilangkan dari
limbah cair dengan beberapa cara. Cara yang
paling umum adalah dengan menghilangkan
nitrogen melalui proses denitrifikasi yang
mereduksi nitrat menjadi nitrogen gas, yang
dilepaskan ke atmosfer (Metcalf dan Eddy,
2004).
Biomassa mikroalga mengandung sejumlah
besar senyawa seperti protein dan lipid.
Mikroalga memiliki kemampuan untuk
menyerap berbagai bentuk nitrogen, dan
posfor, dimana mikroalga ini dapat
menggunakan berbagai senyawa organik,
khususnya
senyawa
eutrofik
yang
mengandung nitrogen dan posfor sebagai
sumber karbon (Lee, et al., 1998). Mikroalga
pada dasarnya memanfaatkan berbagai
senyawa organik terutama pada perairan yang
tercemar senyawa organik mengandung

Nitrogen dan Posfor bersama Karbon dalam


fotosintesis. Oleh karena itu, kultur mikroalga
dalam limbah cair akan tumbuh baik dan
sekaligus berperan positif dalam upaya
pengelolaan limbah cair. Kultur Botryococcus
braunii adalah mikroalga hijau yang potensial
dalam menghasilkan lipid, tetapi laju
pertumbuhannya agak lambat. Optimasi
media
pertumbuhan
terbukti
dapat
meningkatkan laju pertumbuhan dan produksi
lipida (Tran, et al., 2010)
Penelitian oleh Wang et al., (2009)
menunjukkan feasibilitas kultivasi Chlorella
sp. dalam sampel limbah cair yang diambil
dari empat lokasi berbeda dari Pabrik
Pengolahan Limbah Cair Pemukiman
(MWTP). Diamati bahwa Chlorella sp. dapat
beradaptasi dengan baik pada keempat limbah
cair dengan tanpa fase lag (fase adaptasi).
Pertumbuhan alga meningkat cepat pada
bagian tengah kolam pengolahan karena
tingginya kadar nitrogen, posfor dan COD
dibandingkan dengan 3 lokasi limbah cair
lainnya. Sreesai, et al., (2002) juga telah
mempelajari aplikasi mikroalga lainnya untuk
pengolahan limbah cair peternakan babi di
Bangkok.
Proses kultur Chlorella sp didalam limbah
cair menyebabkan transformasi zat-zat
organik dan nutrien dalam limbah menjadi
biomassa alga. Hasil penelitian membuktikan
bahwa sistem kultur ini berhasil mengolah
limbah
cair
peternakan
babi
dan
mengembalikan organisme air lain yang
menguntungkan bagi lingkungan.
Hal tersebut telah mendorong peneliti untuk
mengkaji mikroalga sebagai salah satu solusi
untuk pengendalian pencemaran akibat
pembuangan limbah cair peternakan ke
badan-badan air dengan cara memanfaatkan
mikroalga hijau yang diperoleh dari wilayah
Banda Aceh dan melakukan tahapan
aklimatisasi mikroalga hijau tersebut didalam
limbah peternakan pada konsentrasi yang
berbeda-beda. Tujuan khusus dari penelitian
ini adalah; (1) mengkaji pengaruh aklimatisasi
mikroalga hijau terhadap pertumbuhan

Viena, Aklimatisasi Mikroalga Hijau Dalam Limbah

69

mikroalga hijau yang berasal dari daerah


Banda Aceh, (2) membandingkan tingkat
penyisihan nutrien limbah peternakan oleh
mikroalga hijau yang diaklimatisasi, (3)
mengembangkan dan membudidayakan kultur
mikroalga hijau terbaik dengan biomassa
berkadar lipid yang tinggi. Akhir penelitian
ini diperoleh metode pertumbuhan mikroalga
yang terbaik dalam menyisihkan sejumlah
nutrien yang terdapat didalam limbah cair
peternakan dan juga diperoleh biomassa
dengan kandungan lipid tinggi sebagai salah
satu sumber alternatif minyak nabati dari
mikroalga hijau.

limbah terhadap pertumbuhan mikroalga dan


kemampuan menyisihkan limbah pada
kondisi pekat dan dengan pengenceran.

2. METODA

Mikroalga lokal yang diperoleh dari sumber


kolam terbuka di wilayah Banda Aceh dan
sekitarnya,
disentrifugasi,
dan
dikembangbiakkan dalam Media BG-11 serta
dibuat stok kulturnya dari mulai 10 ml, 100
ml, 500 ml dan 1000 ml sebanyak 2 wadah
kultur. Salah satu wadah disimpan sebagai
stok kultur dan wadah kultur lainnya
digunakan sebagai working kultur untuk
selanjutnya diaklimatisasi didalam limbah
cair peternakan selama 14 hari sebelum
digunakan untuk pengolahan limbah cair.

Bahan
Sampel mikroalga hijau diperoleh dari kolam
terbuka di wilayah Darussalam, Banda Aceh.
Sampel mikroalga diambil menggunakan net
planton
dan
dicentrifuge.
Mikroalga
campuran yang diperoleh kemudian dikultur
didalam media pertumbuhan BG-11 (Rippka
dkk.,1979), dengan komposisi (g/L): NaNO3
1,5; Na2HPO4 0,04; MgSO4.7H2O 0,075;
ZnCl2 dihidrat 0.036; asam sitrat 0,006; ferric
ammonium citrate, 0.006; Na2-EDTA 0.001;
Na2CO3 0.02; dan larutan trace metal 1 ml
(H3BO3 2.86 g, MnCl2.4H2O 1.81 g,
ZnSO4.7H2O 0.222 g, Na2MoO4.2H2O 0.390
g, CuSO4.5H2O 79 mg and Co(NO3)2.6H2O
49.4 mg per liter) pada pH 7,4. Kloroform,
Metanol (p.a). Bahan kimia ini keseluruhan
diperolah secara komersil dari Merck.
Sampel limbah cair hasil peternakan diperoleh
dari kandang peternakan sapi di Darussalam,
Banda Aceh. Limbah peternakan ini disaring
sebelum digunakan dalam perlakuan.
Prosedur Penelitian
Analisa Karakteristik Limbah (sebelum dan
sesudah perlakuan)
Limbah cair peternakan dibuat dalam
konsentrasi yang berbeda (100%, 50%, dan
25% v/v) untuk melihat pengaruh konsentrasi

(1)
Parameter pH limbah sebelum
diinokulasi diukur dengan pH meter.
(2)
Analisa NH4, NO3, PO4 (mg/L),
dilakukan dengan cara APHA (2005) sebelum
diinokulasi dengan isolat. Pengukuran
parameter nutrien limbah pada kultur
perlakuan dilakukan setelah mencapai fase
stasioner.
Aklimatisasi Mikroalga

Kultivasi Mikroalga dalam Fotobioreaktor


dengan Variasi Perlakuan
Mikroalga
yang
telah
diaklimatisasi
digunakan didalam penanganan limbah cair
peternakan dengan cara mengambil inokulum
sebesar 10% (V.inokulum/V.media) dan
ditanam didalam erlenmeyer 3000 ml yang
mengandung 2000 mL media cair (BG-11
disterilkan langsung, sedangkan limbah cair
lainnya disaring halus). Kultur vessel
diinkubasi pada keadaan tetap dengan suhu
ruangan dan intensitas pencahayaan kontinyu
(lampu 4 x 8 watt) dengan aerasi udara tetap.
Kultur dianalisa untuk melihat kurva
pertumbuhan mikroalga dengan menentukan
kandungan biomassa (dry weight) per 2 hari,
sedangkan kandungan lipid biomassa hanya
diukur pada akhir masa kultivasi (16 hari).
Mikroalga juga diberi perlakuan kultivasi 5
hari, 10 hari dan 15 hari untuk melihat

70

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 67 - 74

pengaruh waktu tinggal mikroalga dalam


menyisihkan nutrien limbah dalam bentuk
kandungan NH4, NO3, PO4 dalam media sisa
setelah dipisahkan dari biomassanya.
Analisa Kultur Hasil Kultivasi
Kurva pertumbuhan mikroalga didapat
dengan menentukan berat biomassa kering
dengan 2 (dua) hari interval. Kandungan
biomassa
ditentukan
dengan
cara
spektrofotometri
menggunakan
panjang
gelombang 680 nm (Lee, et al., 1998).
Metode dasar analisa ini merupakan
modifikasi dari Bligh dan Dyer (1959).
Sel alga yang dipanen dihancurkan dengan
mortar dan dipindahkan kedalam corong
pemisah. Lipid diekstraksi dengan larutan
kloroform metanol (2:1, v/v) dan terpisah
menjadi lapisan cairan kloroform dan metanol
dengan penambahan metanol dan air untuk
menghasilkan rasio pelarut akhir dari
kloroform : metanol : air sebesar 1:1:0.9.
Lapisan kloroform dicuci dengan 20 ml
larutan NaCl 5%, dan diuapkan sampai
kering, total lipid ditentukan secara gravimetri
(Lee, et al., 1998).

Gambar 1. Mikroalga hijau campuran dalam


limbah peternakan

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengaruh
h Aklimatisasi Mikroalga Hijau
Terhadap
erhadap Pertumbuhan Mikroalga Hijau
Mikroalga hijau yang dikultivasi dalam
limbah cair peternakan terlebih dahulu diberi
perlakuan aklimatisasi selama 14 hari untuk
memperkuat daya tahan hidup dan
kemampuan adaptasi mikroalga terhadap
konsentrasi limbah cair yang berbeda. Alga
hijau yang tumbuh
buh kemudian diaplikasikan
untuk menyisihkan kandungan nutrien yang
terkandung di dalam limbah peternakan agar
aman dibuang ke lingkungan. Gambar 1 dan 2
dapat dilihat ciri-ciri
ciri mikroalga hijau yang
tumbuh didalam media limbah cair
peternakan.

Gambar 2. Mikroalga hijau campuran dalam


limbah peternakan
Kurva Kalibrasi
Dengan Biomassa

Antara
ntara

Absorbansi

Kurva hubungan antara absorbansi dengan


biomassa kering mikroalga merupakan kurva
k
kalibrasi untuk mengetahui kandungan
biomassa mikroalga pada saat mengukur hasil
biomassa mikroalga selama tahap kultivasi.
Hasil hubungan antara absorbansi (A) dengan
kandungan biomassa (dalam berat kering)
mikroalga (g/l) untuk kurva kalibrasi
ditunjukkan
jukkan pada Gambar 3.

Viena, Aklimatisasi Mikroalga Hijau Dalam Limbah

Kurva kalibrasi dibuat dengan menentukan


absorbansi mikroalga pada konsentrasi
inokulum mikroalga awal yang berbeda-beda
yaitu 1, 5, 10, 15, 20 % v/v (volume inokulum
per volume media cair). Absorbansi diukur
setelah
pertumbuhan
mencapai
tahap
logaritmik (7 hari) dan pengukuran
kandungan biomassa (dalam satuan berat
kering g/l) dilakukan dengan memisah
biomassa dari media cair dan dikeringkan
pada suhu 1050C pada oven.

K a n d u n g a n B io m a s s a ( g /L )

1.4
1.2
1
0.8
y = 2.2942x - 0.0466
R2 = 0.9853

0.6
0.4
0.2

71

diaklimatisasi dalam limbah peternakan dan


yang tidak diaklimatisasi menunjukkan kurva
pertumbuhan yang berbeda jauh. Pada
Gambar 5, pertumbuhan mikroalga yang tidak
diaklimatisasi
sangat
lambat
dalam
menyesuaikan diri dengan konsentrasi limbah
peternakan yang pekat sehingga butuh waktu
lebih lama untuk fase pertumbuhan limbah
cair peternakan pada 50 dan 100%.
Kurva pertumbuhan pada media limbah
peternakan masih harus menyesuaikan diri
dengan tingkat kepekatan yang terkandung
dalam limbah cair yang telah mengalami
masa aklimatisasi. Kandungan biomassa
mikroalga yang telah diaklimatisasi antara
0,31,6 g/l, dengan biomassa tertinggi
diperoleh
pada
media
kontrol
saat
pertumbuhan 12 hari, dan pada media limbah
cair peternakan 25% saat pertumbuhan 16
hari. Media cair yang berasal dari limbah
peternakan dapat menjadi media tumbuh yang
baik bagi pertumbuhan mikroalga hijau lokal
dan berpotensi sebagai medium alternatif
pertumbuhan massal mikroalga hijau lokal
dimasa yang akan datang.

0
0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6
002

Kultur mikroalga hijau teraklimatisasi


dikultivasi pada keadaan tetap dengan suhu
ruangan dan intensitas pencahayaan kontinyu
(lampu 4x8 watt) untuk mengetahui pengaruh
aklimatisasi terhadap kandungan biomassa
mikroalga pada konsentrasi limbah cair yang
berbeda. Kultur dianalisa untuk melihat kurva
pertumbuhan mikroalga dengan menentukan
kandungan biomassa (dry weight) per 2 hari
dan hasilnya diilustrasikan pada Gambar 4.
Pertumbuhan
mikroalga
hijau
sangat
dipengaruhi oleh media tumbuh yang
digunakan, dimana mikroalga lokal yang telah

Kandungan Biomassa (g/L)

Absorbansi (A)
Gambar 3. Kurva kalibrasi absorbansi (A)
terhadap kandungan biomassa kering alga
(g/L) pada limbah peternakan

Kontrol
LP50

LP100
LP25

002
001
001
001
001
001
000
000
000
0

10

12

14

16

Masa Kultivasi (hari)

Gambar 4. Pengaruh konsentrasi limbah cair


peternakan terhadap kandungan biomassa
mikroalga teraklimatisasi.

72

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 67 - 74

002

Kontrol
LP50

LP100
LP25

Kandungan Biomassa (g/L)

002
001
001
001
001
001

masa kultivasi, konsentrasi limbah cair dan


siklus pencahayaan. Kandungan biomassa
terus meningkat pada siklus cahaya 24 jam
dan mulai menurun pada siklus cahaya 12
jam.
Berkurangnya
pencahayaan
dan
kandungan nutrien dalam limbah cair
sehingga proses fotosintesis berjalan agak
lambat dan jumlah biomassa yang dihasilkan
lebih sedikit dibandingkan siklus cahaya 24
jam pada konsentrasi limbah cair 100%.

000

Gambar
0005. Pengaruh konsentrasi media
terhadapkandungan
biomassa alga yang tidak
000
diaklimatisasi
dalam
masa
kultivasi 16 hari
0
2
4
6
8 10 12 14 16
Masa Kultivasi (hari)

Gambar 5. Pengaruh konsentrasi media


terhadap kandungan biomassa algayang tidak
diaklimatisasi dalam masa kultivasi 16 hari.
Bertoldi, et al., (2006), menyebutkan bahwa
alternative media kultur yang telah dievaluasi
untuk kultivasi mikroalga diantaranya limbah
cair industri dan pertanian, yang mengandung
residu kaya akan nutrien dan dapat diubah
menjadi nutrisi bagi pertumbuhan biomassa
aquakultur. Hu, et al., (2004), juga
menyebutkan bahwa beberapa jenis mikroalga
hijau seperti Scenedesmus sp. dan Chlorella
sp., mampu tumbuh baik dalam limbah cair
peternakan, tanpa pengenceran dengan air.
Konsentrasi limbah sangat berpengaruh pada
pertumbuhan mikroalga hijau, dimana
semakin tinggi kepekatan limbah cair
peternakan maka pertumbuhan menjadi
semakin lambat dan butuh fase pertumbuhan
yang lebih lama untuk tumbuh. Penelitian
proses aklimatisasi mikroalga hijau lokal
selama 14 hari agar mikroalga tersebut dapat
beradaptasi dengan lingkungan limbah cair
peternakan.
Pertumbuhan
mikroalga
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
memerlukan cahaya, karbondioksida, air dan
garam anorganik dan suhu antara 20-30 0C.
Pertumbuhan mikroalga hijau membutuhkan
karbondioksida sebagai sumber utama
pencahayaan dan nutrien. Pertumbuhan
mikroalga hijau lokal sangat dipengaruhi oleh

Konsentrasi limbah peternakan 100%, mulamula kandungan bahan organik yang tinggi
belum mampu terdegradasi sempurna oleh
mikroalga sehingga butuh waktu 5 hari untuk
dapat
beradaptasi
sampai
tercapai
pertumbuhan biomassa tertinggi pada 15 hari.
Kandungan biomassa pada media tumbuh,
limbah cair peternakan sangat dipengaruhi
oleh siklus pencahayaan dan konsentrasi
limbah, dimana pada kondisi pekat 100%
limbah dan siklus cahaya 24 jam, mikroalga
masih tetap beradaptasi pada kondisi
turbiditas tinggi dan mulai tumbuh baik pada
hari ke-5.
Konsentrasi limbah yang sama dan
pencahayaan 8 jam, kandungan biomassa
meningkat lebih tinggi dari pada siklus 24 jam
dipengaruhi oleh faktor tingginya kandungan
nutrien yang terdapat didalam limbah
peternakan sehingga dengan pencahayaan
kontinyu mikroalga terus memakan nutrien
yang ada sehingga setelah nutrien habis
pertumbuhan akan menurun, sedangkan
dengan pencahayaan 12 jam mikroalga lokal
ini masih dapat beristirahat sambil terus
berasimilasi memanfaaatkan nutrien dalam
limbah cair peternakan sebagai sumber
makanannya.
Penyisihan Nutrien oleh Mikroalga Hijau
Limbah peternakan diperoleh dari kolam
penampungan limbah peternakan warga di
wilayah Kota Banda Aceh dengan ciri fisik
berwarna hitam kecoklatan yang mengandung
endapan organik berwarna hijau, berbau
menyengat dan bercampur antara feses
dengan urin ternak.

Viena, Aklimatisasi Mikroalga Hijau Dalam Limbah

73

Tabel 1. Data Karakteristik Limbah Cair Peternakan Sebelum Perlakuan


Parameter
limbah
pH
COD (mg/L)
BOD (mg/L)
NH4 (mg/L)
NO3 (mg/L)
PO4 (mg/L)

100
9,6
1120
628
1,0
8,208
6,836

Konsentrasi Limbah Peternakan (v/v)


50
25
9,4
9,0
960
160
471
73
0,62
0,36
4,980
2,700
5,552
6,453

Kontrol
8,2
10
4
0,82
0,622
0,946

Tabel 2. Persen Penyisihan Limbah Cair Peternakan Setelah Kultivasi 16 Hari


Parameter
limbah
pH
COD (mg/L)
BOD (mg/L)
NH4 (mg/L)
NO3 (mg/L)
PO4 (mg/L)

Konsentrasi Limbah Peternakan


(v/v)
LP100
LP50
LP25
9,6
9,4
9,0
192
80
32
0
2
1
0,181
0,139
0,146
ND
0,53
0,274
ND
ND
ND

Persen Penyisihan Nutrien

Kontrol
(BG-11)
8,2
4,8
1
0,401
0,16
0,767

LP100
9,6
82,86
100
81,9
ND
ND

LP50
9,4
91,67
99,68
77,58
89,18
ND

LP25
9,0
80
76,19
59,44
89,85
ND

(BG11)
8,2
50
75,19
51,1
74,28
18,92

ND = tidak terdeteksi.

Analisa pH limbah dilakukan beberapa saat


setelah pengambilan sampel, dan kemudian
dilanjutkan dengan analisa kandungan COD,
BOD, dan nutrien berupa ammonium, nitrat
dan posfat yang ditunjukkan dalam Tabel 1.
Kandungan pH limbah peternakan berkisar
antara 9,19,6. Kandungan pH yang tinggi
pada limbah cair ini disebabkan oleh
kandungan bahan organik dan juga nutrien
yang terdapat didalam limbah sehingga
dibutuhkan pengolahan terhadap limbah agar
aman dibuang ke perairan dan tidak
menimbulkan eutrofikasi.
Kemampuan mikroalga hijau lokal dalam
menyisihkan nutrien yang terkandung dalam
limbah cair peternakan dalam bentuk
kandungan Amonium, Nitrat dan Posfat.
Kandungan pH limbah diukur, sedangkan
analisa kandungan nutrien NH4, NO3, PO4
(mg/l), dilakukan dengan cara APHA (2005)
sebelum diinokulasi dengan inokulum
mikroalga teraklimatisasi. Hasil analisa
penurunan nutrien limbah cair peternakan
setelah dikultur selama 16 hari, dapat dilihat
pada Tabel 2.

Hasil analisa kandungan nutrien limbah


setelah 15 hari kultivasi menunjukkan bahwa
parameter COD dan BOD mampu diturunkan
sampai 98-100%, sedangkan nutrien nitrat
mampu
diturunkan
oleh
kultur
mikroalgasampai 89%, kemudian diikuti
dengan nutrien Amoniak. Penurunan nutrien
Posfat tidak dapat terdeteksi pada sisa media
kultur alga 16 hari, sehingga kecenderungan
penurunan nutrien jenis Posfat tidak terbaca.
Pada Tabel 3 diperlihatkan kemampuan
mikroalga
teraklimatisasi
dalam
memproduksi total lipida setelah masa
kultivasi 16 hari.
Tabel 3. Produksi Total Lipida Mikroalga
Hijau setelah masa kultivasi 16 hari
Media Kultur
Kontrol (BG-11)
LP100
LP50
LP25

Total Lipida (%)


35,72
16,00
15,12
38,53

4. KESIMPULAN
Pertumbuhan
mikroalga
hijau
yang
diaklimatisasi dan yang tidak diaklimatisasi

74

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 67 - 74

menunjukkan perbedaan yang nyata pada


kurva pertumbuhannya. Kultivasi mikroalga
selama 16 hari menunjukkan kemampuan
mikroalga teraklimatisasi dalam menurunkan
kandungan nutrien Amonium, Nitrat dan
Pospat dalam limbah peternakan. Mikroalga
hijau yang teraklimatisasi dalam limbah
peternakan mampu memproduksi lipid 1538%.
Ucapan Terima Kasih
Penelitian Hibah Bersaing ini dibiayai
sepenuhnya oleh DIPA Kopertis Wilayah I
tahun 2012.
DAFTAR PUSTAKA
American Public Health Association;
American Water Works Association;
Water Environment Federation, (2005),
Standards Methods for the Examination of
Water and Wastewater, 21st ed.;
American Public Health Association:
Washington, D.C.
Bertoldi, F.C., E. SantAnna, M.V. da Costa
Braga, dan J.G.B. Oliveira (2006), Lipids,
Fatty
Acids
Composition
And
Carotenoids of Chlorella Vulgaris
Cultivated In Hydroponic Wastewater.
Grasas y aceites. 57 (3). 270-274.
Bligh, A. dan W.J. Dyer (1959). A Rapid
Method of Total Lipid Extraction and
Purification, Can. J. Biochem. Physiol.
37. 911-917.
Hoyle, B.D., K.L.Lerner, dan E. Richmond
(2003). Algal Blooms in Fresh Water. 2124.
Hu, Q. dan M. Sommerfeld (2004). Selection
of High Performance Microalgae for
Bioremediation of Nitrate-Contaminated
Groundwater. Technical Report for Grant
Number 01-HO-GR-0113, School of Life
Sciences Arizona State University.

Johnson, M. B. (2009). Microalgal Biodiesel


Production through a Novel Attached
Culture
System
and
Conversion
Parameters. Master Thesis of Virginia
Polytechnic Institute and State University.
Lee, S. J., S. B. Kim, J. E. Kim, G. S. Kwon,
B. D. Yoon, dan H. M. Oh (1998). Effects
of harvesting method and growth stage on
the flocculation of the green alga
Botryococcus braunii, Letters in Applied
Microbiology. 27. 1418.
Metcalf dan Eddy, Inc (2004), Wastewater
Engineering: Treatment and Reuse, 4th
Edition, McGraw-Hill International, New
York.
Rippka, R., J. Deruelles, J.B. Waterbury, M.
Herdman, dan R.Y. Stanier (1979),
Genetic Assignments, Strain Histories and
Properties
of
Pure
Cultures
of
Cyanobacteria. J. Gen. Microbiol. 111. 161.
Sreesai, S., R. Asawasinsopon, dan P.
Satitvipawee (2002), Treatment and
Reuse of Swine Wastewater, Thammasat
Int. J. Sc. Tech. 7 (1).
Tran, H.L., J.S. Kwon, Z.H. Kim, Y. Oh, dan
C.G. Lee (2010). Statistical Optimization
of culture media for growth and lipid
production of Botryococcus braunii
LB572. Journal of Biotechnology and
Bioprocess Engineering. 15 (2). 277284.
Wang, L., Y. Li Min Min, P. Chen Chen, Y.
Liu, Y. Wang, dan R. Ruan (2009).
Cultivation of Green Algae Chlorella sp.
in Different Wastewaters from Municipal
Wastewater Treatment Plant, Appl
Biochem
Biotechnol.
DOI
10.1007/s12010-009-8866-7.
Woertz, I.C. (2007). Lipid Productivity Of
Algae Grown On Dairy Wastewater As A
Possible Feedstok For Biodiesel. Master
Thesis
of
California
Polytechnic
University, San Louis Obispo.

PENGOLAHAN AIR MENGGUNAKAN MEMBRAN


ULTRAFILTRASI SEBAGAI UPAYA MENDUKUNG GERAKAN
NASIONAL MENGATASI KRISIS AIR BERSIH
WATER TREATMENT USING MEMBRANES
ULTRAFILTRATION TO SUPPORT THE MOVEMENT OF
NATIONAL WATER CRISIS
Selastia Yuliati*1)
1)
Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya, Jalan Srijaya Negara Bukit
Besar, Palembang
*)
Email: selastiayuliati@yahoo.com
Abstrak
Pengolahan air bersih dalam penelitian ini bertujuan menghilangkan semua kandungan parameter kimia,
biologis yang terdapat di dalam air baku. Air baku yang diolah berupa air gambut, air payau serta air sungai
musi. Air tersebut diolah mengunakan teknologi membrane. Membran yang digunakan adalah membran
ultrafiltrasi berbasis polimer polysulfon. Metoda yang digunakan dalam pembuatan membran tersebut adalah
metoda Inversi fasa dari formula Loeb and Sourirajan yaitu melarutkan polimer Polysulfon kedalam
campuran larutan Dimethyl Asetamida (DMAc) dan Poliethylen Glicol (PEG) sebagai aditif. Membrane
yang dihasilkan yaitu berukuran pori 0,0014 m memenuhi standar ultrafiltrasi. Bahan baku sebelum diolah
dilakukan analisa pendahuluan dan selanjutnya dilakukan proses pretreatment. Beberapa alat filter yang
digunakan diantaranya filter mangan, mangan zeolit, fiter besi, carbon aktif serta silica. Air hasil
pretreatment untuk selanjutnya dilewatkan melalui membrane ultrafiltrasi. Hasil analisa menunjukkan
penurunan rata-rata parameter air baku gambut dan payau setelah melewati membran adalah 77,8% dan
32,6%, sedangkan untuk air musi mencapai 92,5%. Air bersih maupun air minum yang dihasilkan telah
memenuhi standar baku mutu menurut PERMENKES NO 492/MENKES/PER/IV/2010.
Kata kunci : air bersih, inverse fasa, membran, polysulfon, ultrafiltrasi
Abstract
Water treatment in this study aims to eliminate all of the content of chemical parameters, biological
contained in the raw water. Raw water is processed in the form of peat water, brackish water and Musi
river. The water is processed using membrane technology. Membranes used are polymer-based
ultrafiltration membranes polysulfon. The method used in the manufacture of the membranes is the phase
inversion method of Loeb and Sourirajan formula that dissolves into the polymer solution mixture Polysulfon
Dimethyl acetamide (DMAC) and Poliethylen glycol (PEG) as an additive. The resulting membrane is
0.0014 m pore size standards ultrafiltration. Raw materials before processing and preliminary analysis is
then performed pretreatment process. Some of the tools used include the filter filter manganese, manganese
zeolite, iron fiter, active carbon and silica. Water pretreatment results for the next pass through the
ultrafiltration membrane. The analysis shows an average reduction parameters of raw peat and brackish
water after passing through the membrane was 77.8% and 32.6%, while for the water musi reached 92.5%.
Clean water and drinking water produced meets quality standards according PERMENKES
492/MENKES/PER/IV/2010 NO.
Keywords: clean water, inverse phase, membrane, polysulfon, ultrafiltration

76

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 75 - 87

1. PENDAHULUAN
Kebutuhan akan air bersih untuk setiap
tahunnya semakin meningkat sebanding
dengan bertambahnya jumlah penduduk baik
itu di pedesaan ataupun masyarakat yang
hidup di perkotaan. Air bersih merupakan
kebutuhan vital bagi penduduk tersebut karena
air dipergunakan untuk berbagai keperluan
hidup sehari-hari seperti mencuci, mandi, dan
air minum ataupun untuk keperluan industri
dan laboratorium. Air bersih yang disuplai
melalui perusahaan air minum (PDAM) Tirta
Musi sampai saat ini belum dirasakan
mencukupi akan kebutuhan masyarakat, oleh
karena itu sebagian dari warga khususnya
yang hidup diperkotaan masih banyak
mengkonsumsi air yang tidak layak
dipergunakan, seperti air sumur keruh dan air
yang terdapat di rawa-rawa disekitar
pemukiman. Pemenuhan kebutuhan air bersih
dan sanitasi bagi masyarakat perkotaan
ataupun pedesaan yang ada di Sumatera
Selatan masih sangat sedikit, sehingga belum
memenuhi taraf kehidupan mengingat
terbatasnya teknologi pengolahan air bersih
yang selama ini masih menggunaan metoda
konventional.
Air yang digunakan pada umumnya tidak
memenuhi standar kesehatan yang diizinkan
oleh Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (DEPKES RI) untuk dikonsumsi hal
ini dikarenakan air tersebut memiliki tingkat
kekeruhan dan kandungan alkali yang sangat
tinggi serta bahan pencemar seperti logamlogam berat (Pb, Fe, Zn dan phenol) yang
ditimbulkan akibat adanya air buangan
industri, dimana logam-logam tersebut
terbawa oleh arus air pada saat timbulnya
musim hujan, sehingga air sering dikonsumsi
oleh warga yang berada disekitar pemukiman
ikut tercemar. Beberapa ciri-ciri air sungai
yang keruh sebelum dilakukan pengolahan
adalah sebagai berikut (Hartono, 1980): pH air
antara 3 5, kandungan garam (NaCl) 250
ppm / 10 liter air baku, warna keruh
(kecoklatan) dan berbau (kadar Fe) atau logam
berat lainnya, kandungan alkali (Cl, Mg, Na)

tinggi, Memiliki tingkat kesadahan cukup


tinggi
Untuk mengatasi semua hal ini perlu
dilakukan pengolahan terhadap air baku
tersebut sehingga diperoleh air yang bersih
dan sehat serta memenuhi standar baku mutu
yang diizinkan oleh DEPKES RI. Proses
pengolahan air bersih menggunakan teknologi
membran merupakan alternatif sebagai
pengganti cara lama (konvensional) yang
sekarang ini sudah mulai ditinggalkan.
Pengolahan air bersih menggunakan teknologi
membrane menghasilkan kemurnian produk
cukup besar, selain itu kemungkinan
terjadinya fouling (menumpuknya solut pada
permukaan membran) relatif kecil, dalam
perancangannya tidak membutuhkan tempat
yang luas (mudah didesain) serta mudah dalam
pencucian membran (Wenten, 1998).
Penelitian pengolahan air bersih ini tidak lain
bertujuan selain mendapatkan membran
ultrafiltrasi
polysulfon
yang
akan
dipergunakan untuk pengolahan air bersih atau
air minum, juga merancang unit pengolahan
air bersih dengan menerapkan membran
polysulfon sebagai media filtrasi dan sebagai
alternatif pengganti teknologi yang ada saat ini
(konventional).
Hasil filtrasi diharapkan pH air mencapai pH
normal serta kandungan parameter lainnya
berkurang. Proses pengolahan air bersih
menggunakan teknologi membran merupakan
cara baru yang saat ini sedang dikembangkan
dan sebagai alternatif pengganti teknologi
yang sudah ada (konventional) yang sekarang
sudah
mulai
ditinggalkan.
Membran
Polysulfon memiliki ketahanan yang tinggi
terhadap senyawa kimia organik (alkali) serta
temperatur dan tidak mudah mulur pada
tekanan operasi tinggi (Kesting, 1997). Selain
itu membran polimer Polysulfon memiliki
keunggulan bila dibandingkan dengan
membran yang lain seperti Poliamid dan
Celulosa Asetat yaitu memiliki sifat
permeabilitas dan Permselektifitas yang
tinggi, (Mulder, 1991).

Yuliati, Pengolahan Air Menggunakan Membran

Keunggulan lain yang juga dimiliki oleh


membrane polimer polysulfon diantaranya
kemampuan
dalam
hal
backflushing
(kemudahan dalam pencucian) bila terjadi
Fouling (Wenten, 2002).
Melihat permasalahan di atas, maka dapatlah
ditarik kesimpulan bahwa keutamaan atau
pentingnya dari penelitian ini adalah
menghasilkan air bersih yang memenuhi
standar kesehatan untuk kebutuhan masyarakat
baik itu di pedesaan ataupun di perkotaan serta
instalasi air bersih menggunakan teknologi
membrane dengan kapasitas 100 l/jam
sebagai upaya mendukung gerakan Nasional
untuk mengatasi krisis air bersih khususnya di
Sumatera Selatan.
2. METODA
Metoda yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metoda experiment atau percobaan dan
perancangan alat (Skala pilot plant). Membran
yang akan dibuat dalam penelitian ini terdiri
dari berbagai variasi konsentrasi polimer dan
pelarut sampai diperolehnya ukuran pori
membran yang memenuhi standar ultrafiltrasi
untuk pengolahan air bersih. Beberapa
parameter yang akan digunakan dalam
pembuatan membran diantaranya komposisi
larutan cetak (dope), waktu penguapan pelarut,
temperatur air perendaman dan lamanya
annealing,
yang
kesemua
ini
akan
berpengaruh terhadap morfologi membran.
Fluks membran diperoleh dengan melakukan
pengamatan setiap parameter proses yang
digunakan. Parameter yang digunakan dalam
penelitian ini adalah konsentrasi umpan,
tekanan dan laju alir yang merupakan variable
konstan.
Pengamatan dilakukan setelah tercapainya
kondisi tunak, dimana fluks air murni (Jv)
ditentukan berdasarkan grafik hubungan antara
waktu tempuhan dan volume permeat pada
setiap tekanan operasi yang berbeda. Metoda
pengumpulan data dilakukan dengan cara
observasi atau pengamatan dan analisis data
mengunakan metoda regressi secara grafis.
Tingkat keberhasilan dari penelitian ini

77

ditunjukkan dengan beberapa indikator kinerja


diantaranya, alat yang dirancang dapat
menghasilkan kemurnian produk mencapai 90
100 %, menumpuknya solut pada permukaan
membran (terjadinya fouling) pada saat proses
dibawah 10%, fluks dan rejeksi yang
dihasilkan tinggi, sehingga kinerja membran
optimal, tidak terjadi kebocoran membrane
selama pelaksanaan percobaan, serta efisiensi
penyaringan yang dihasilkan mencapai 80 90
%. Dalam upaya menyelesaikan permasalahan
di atas dan tercapainya tujuan penelitian yang
diharapkan maka langkah-langkah penelitian
yang
dilakukan
meliputi,
pembuatan
membran polysulfon, karakterisasi membrane,
perancangan dan instalasi alat, aplikasi
membran pada proses pengolahan air bersih,
pengamatan dan analisa produk.
Bahan dan Alat yang digunakan
Pembuatan Membran Polysulfon
Bahan yang digunakan : polimer Polysulfon,
Dimethyl Acetamida (DMAc), Poly Etylen
Glicol (PEG), Natrium Azida, Aqudest. Alat
yang digunakan: plat kaca datar, selotif sel,
batang stainless steel, bak koagulan, selang
gas, selotif, kran, valve, pompa.
Pembuatan Membran Polysulfon
Metoda Pembuatan
Membran Polysulfon yang akan digunakan
dalam penelitian ini dibuat dengan metoda
inversi fasa (celup endap) dari formula (Loeb
and Sourirajan) dengan menggunakan pelarut
Dimethyl Acetamida (DMAc) dan PEG atau
PVP sebagai aditif.
Prosedur pembuatan sebagai berikut, Polimer
Polysulfon dilarutkan kedalam kedalam
campuran Dimetyl Acetamida (DMAc) dan
Poly
Etylen
Glicol
(PEG)
dengan
perbandingan 16% W PSF ; 10% PEG, dan
70% DMAc, larutan tersebut kemudian
diaduk sampai homogen. Setelah itu disimpan
dilemari es hal ini bertujuan untuk
menghilangkan gelembung yang ditimbulkan

78

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 75 - 87

akibat pengadukan. Pencetakan membran


dilakukan diatas plat kaca yang sisi-sisinya
telah diberi selotif untuk menentukan
ketebalan membran. Kemudian dibiarkan
selama beberapa menit untuk menguapkan
sebagian pelarut pada saat pembuatan larutan
cetak pelarut. Pengendapan pencelupan
(koagulasi) merupakan proses perubahan fasa
dari larutan polimer (sol) menjadi membran
(gel). Film polimer yang masil menempel
diatas cetakan membran direndam (immersed)
dalam air dingin (gelating medium) pada suhu
8 oC selama 1 jam dengan menggunakan non
solven (air). Kemudian membran akan lepas
dengan sendirinya lalu dicuci dengan air
mineral untuk menghilangkan sebagian
pelarutnya. Selanjutnya, annealing bertujuan
menyusutkan ukuran pori serta menstabilkan
membran terhadap pengaruh temperatur
(panas). Annealing dilakukan pada temperatur
80 oC selama 30 menit. Membran yang sudah
jadi disimpan dalam lemarie es pada suhu 68
o
C dan diberi pengawet larutan Natrium azida.

lainnya.Selanjutnya umpan dipompakan ke


dalam kedua tangki FRP (Fiberglass
Reinforced
Plastic)
yang
bertujuan
menurunkan kandungan logam alkali, mangan
dan besi. Setelah itu umpan dialirkan ke tangki
clarifier untuk proses sedimentasi yaitu
mengendapkan partikel-partikel yang tidak
ikut mengendap selama proses koagulasi. Air
pretreatment selanjutnya dipompakan ke filter
cartridge untuk menyaring partikel-partikel
yang berukuran dibawah 0,5 m. Produk
dialirkan
kedalam
modul
membrane
polysulfon dengan sistim aliran silang. Selang
beberapa waktu air bersih akan keluar dari
samping modul ultrafiltrasi yang selanjutnya
dilakukan analisa.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan Membran Polysulfon

Prosedur Percobaan

Metoda yang digunakan pada pembuatan


membran polysulfon adalah mertoda Inversi
Fasa, dengan menggunakan formula Loeb
and Sourirajan dan kajian awal (Yuliati, 2007)
yaitu melarutkan sejumlah polimer Polysulfon
kedalam
campuran
pelarut
Dimethyl
Acetamida (DMAc) dan Poly Etilen Glicol
(PEG) sebagai aditif. Pemilihan pelarut
didasarkan atas kemampuan DMAc untuk
melarutkan polimer polysulfon menjadi
pelarut-pelarut yang memiliki rantai pendek
dan ber-BM rendah. Membran Polysulfon
yang dihasilkan adalah membran pori (Porous
membrane) dengan struktur yang asimetris.
Pada membran dengan konsentrasi polimer
yang rendah, kemampuan pelarut untuk
menghidrolisa polimer polysulfon lebih besar
dari pada konsentrasi pelarut yang lebih tinggi
(Levebre, 1998). Sehingga pada konsentrasi
pelarut yang lebih rendah rantai yang
terbentuk lebih pendek. Jumlah pori membran
yang terbentuk berkaitan dengan kemampuan
pelarut tersebut untuk menghidrolisa polimer
polysulfon serta konsentrasinya.

Umpan sebelum dilakukan pengolahan


dilakukan analisa awal terlebih dahulu
meliputi pengukuran pH, warna, kekeruhan,
TDS, kesadahan, dan parameter pencemar

Pada konsentrasi pelarut yang lebih tinggi


jumlah pori membran relatif banyak tetapi
ukuran pori yang diperoleh relatif besar
sehingga tingkat permeabilitas membran akan

Karakterisasi Membran
Karakterisasi membran bertujuan untuk
menentukan uji kelayakan membran sebelum
dipergunakan.
Karakterisasi membran ini
meliputi; Penentuan ukuran dan jumlah pori
membran menggunakan Scanning Electron
icroscoy (SEM), menentukan kandungan air
membran secara gravimetris, menentukan
ketebalan membran menggunakan jangka
sorong sebanyak 10 kali pengukuran,
ketebalan membran merupakan rata-rata hasil
pengukuran, pengujian sifat fisik meliputi
pengujian kuat tarik dan kuat tekan serta fluks
membrane yang diukur dengan cara
menampung voleme permeat untuk setiap
volume 10 ml sampai tercapainya kondisi
tunak. Fluks air diukur dalam satuan L/m2.
jam.

Yuliati, Pengolahan Air Menggunakan Membran

rendah, sedangkan pada konsentrasi DMAc


yang lebih kecil jumlah dan ukuran pori relatif
kecil maka permselektifitas membran tinggi.
Pada konsentrasi pelarut lebih tinggi lagi akan
merusak rantai polimer, hal ini disebabkan
terjadinya degradasi (penghancuran) dari
polimer tersebut (Mulder, 1991), oleh karena
itu dipilih konsentrasi yang tepat agar
diperoleh membran dengan dengan struktur
pori yang baik. Variasi konsentrasi pelarut
DMAc yang digunakan dimaksudkan untuk
mendapatkan struktur pori membran yang
memenuhi kriteria untuk dipergunakan pada
proses pengolahan air bersih.
Pada keadaan awal, setelah pencampuran
polimer polysulfon kedalam pelarut DMAc
dengan pengadukan selama kurang lebih 24
jam terbentuk larutan kental dari campuran
tersebut yang dinamakan dope. Penambahan
Poly Etilen Glicol (PEG) sebagai aditif yang
bertujuan untuk mempercepat terbentuknya
pori membran dan ditambahkan setelah semua
polimer PSF larut dalam DMAc. Dope
kemudian didiamkan selama 24 jam pada suhu
10 oC (dalam lemari es) bertujuan untuk
pematangan serta menghilangkan gelembunggelembung udara yang ditimbulkan pada saat
pengadukan. Gelembung udara ini dapat
menimbulkan kebocoran pada membran.
Timbulnya
gelembung ini
disebabkan
menguapnya aditif,
dimana uap ini
terperangkap dalam dope.
Pencetakan membran dilakukan diatas plat
kaca yang pinggirnya dilapisi selotif sebagai
ukuran ketebalan membran. Dope diteteskan
pada plat kaca kemudian diratakan dengan
menggunakan batang stainless steel, film
polimer yang terbentuk didiamkan selama
kurang lebih 2 sampai 5 menit ini bertujuan
untuk menguapkan sebagian pelarut dan
membentuk ukuran pori membran. Semakin
lama waktu penguapan ukuran pori relatif
kecil, namun pada waktu penguapan yang
relatif lama struktur membran kurang baik
(membran berkerut), hal ini disebabkan pada
permukaan membran terbentuk kristal-kristal
dimana dengan molekul-molekul air akan

79

membentuk ikatan hidrogen. Membran yang


masih menempel diatas plat kaca dicelupkan
kedalam bak koagulasi yang telah berisi air
pada suhu 8 s.d 10 oC. Proses yang terjadi
pada koagulasi adalah pembentukan gel
(lapisan tipis), pembentukan pori serta
terjadinya pertukaran antar pelarut dan non
pelarut (air) dimana pelarut akan berdifusi
kedalam bak koagualasi dan non pelarut
berdifusi kedalam cetakan film.
Untuk menghilangkan sisa-sisa pelarut maka
membran dicuci dengan air berulang-ulang,
agar membran tidak mengandung asam.
Annnealing bertujuan untuk menstabilkan
membran terhadap pengaruh temperatur.
Perlakuan panas ini menyebabkan terjadinya
gerakan
translasi
dari
makromolekulmakromolekul. Gerakan ini menyebabkan
group polar pada molekul yang sama atau
yang berdampingan akan mendekat satu sama
lain sehingga membentuk virtual cross linking
disebabkan oleh interaksi antar molekul.
Annealing juga dapat menyusutkan pori
sehingga membran akan memiliki selektifitas
yang tinggi. Membran yang diperoleh dari data
diatas memiliki struktur yang asimetris dimana
membran tersebut terdiri dari dua lapisan yaitu
lapisan atas dinamakan lapisan kulit tipis (skin
layer) dengan ketebalan 2 m dan lapisan
pendukung dengan ketebalan sampai 200 m,
membran ini memenuhi standar ultrafiltrasi
untuk proses pengolahan air bersih Menurut
Mulder (1991) bahwa membran ultrafiltrasi
yang memenuhi kriteria untuk proses
pengolahan air bersih memiliki ukuran pori
antara 0,001 s.d 0,01 m Sehingga membran
yang dibuat dengan menggunakan variasi
komposisi telah memenuhi standar ultrafiltrasi
untuk pengolahan air bersih.
Ukuran Pori,
Membran

Jumlah

dan

Densitas

Membran yang dibuat dengan variasi


konsentrasi 17% PSF, 66% DMAc dan 17%
PEG, waktu evaporasi dan temperatur
koagulasi 5 menit dan 8 oC diperoleh ukuran
pori membran 0,0104 m, dan jumlah pori 37

80

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 75 - 87

serta densitas membran relatif besar. Hasil foto


SEM dapat dilihat pada Gambar 1. Membran
tersebut layak dipergunakan untuk proses
pengolahan air karena membran tersebut
memiliki struktur pori yang masih memenuhi
standarr proses ultrafiltrasi (Mulder,
(Mulder 1997)
yaitu membran akan memiliki tingkat
selektifitas tinggi apabila ukuran pori
membran relatif kecil dan jumlah
mlah pori relatif
banyak.
Waktu hasil serta lamanya evaporasi pada saat
pencetakan
membran
juga
akan
mempengaruhi ukuran serta jumlah pori.
Semakin lama waktu anneling dan evaporasi
maka ukuran pori membran yang dihasilkan
semakin kecil, namun struktur rantai
ntai polimer
membran yang dihasilkan akan rusak (Mulder,
1997).

Harga fluks tersebut sesuai dengan harga yang


diperbolehkan menurut Mulder (1997), yaitu 5
s.d 10 X 10 -3 l/m2 detik,, seperti pada Tabel 1.
1
Tabel 1. Data hasil penentuan fluks air murni
(Jv) untuk membran pengolahan air keruh.
Tekanan
operasi (Bar)
1
2
3
4
5

Jv Rata-rata
Rata
(l/m2 detik)
6,75 x 10-3
7,22 x 10-3
7,89 x 10-3
8,05 x 10-3
8,33 x 10-3

Grafik hubungan pH terhadap waktu


pengamatan (sampling) terhadap air payau,
gambut dan
an air musi dapat dilihat pada
Gambar 2.. Dari gambar tersebut terlihat
adanya peningkatan pH baik untuk air gambut
maupun air musi.

Grafik Hubungan pH terhadap


Waktu pengamatan
8
7
6
Air
Gambut

pH

5
4

Air
Payau

3
2
1
0

Gambar 1. Foto
permukaan
dan
penampang lintang membran PSF dengan
menggunakan SEM pada variasi konsentrasi
17 % PSF, 66% DMAc dan 17% PEG
Fluks Air murni (JV)
Fluks didefinisikan sebagai solute yang dapat
menembus membran tiap satuan luas membran
persatuan waktu. Fluks volume dihitung
berdasarkan grafik volume permeat Vs waktu
dari tiap-tiap
tiap tempuhan dengan tekanan
operasi yang bervariasi. Fluks (Jv) rata-rata
rata
membran yang dihasilkan sebesar 6,56 x 10 -3
l/m2 detik.

10
20
Waktu pengamatan (hari)

30

Gambar 2. Grafik hubungan pH terhadap


Waktu pengamatan
Pada pengamatan hari pertama untuk air
gambut terjadi peningkatan pH dari pH awal
rata 3,51 mencapai 6,008, sedangkan untuk air
payau terjadi penurunan dari pH awal rata-rata
rata
7,24 menjadi 7,11.
Pada sampling hari
berikutnya (hari ke-55 sampai ke-21)
ke
pH air
tetap meningkat sedangkan untuk pH air payau
tetap turun. Rata-rata
rata kenaikan pH dari air
treatment khususnya air gambut dan air musi

Yuliati, Pengolahan Air Menggunakan Membran

Standar pH yang diperbolehkan menurut


peraturan Menteri Kesehatan (Menkes) No
492 tahun 2010 yaitu 6,5 -8,8. Peningkatan
pH dari air
gambut ataupun air musi
dikarenakan adanya penurunan kandungan ion
H + yang disebabkan adanya reaksi antara
senyawa
CaCO3
(kapur)
pada
saat
pretreatment. Adanya filter carbon aktif dan
mangan zeolit serta filter cartridge juga dapat
menurunkan pH air baku. Filter cartridge
berfungsi menyaring partikel endapan yang
berukuran dibawah 0,5 m. Sifat membrane
yang sangat selektif dapat menurunkan
kandungan asam dari air baku, sehingga pH
yang dihasilkan memenuhi standar air bersih
ataupun air minum.
Penurunan Kandungan Warna terhadap
Waktu Pengamatan (sampling)
Grafik penurunan kandungan warna terhadap
waktu sampling dapat dilihat pada Gambar 3.
Berdasarkan hasil sampling pada hari pertama
sampai hari ke duapuluh satu
terlihat
kandungan warna air gambut dan air musi
rata-rata mencapai 178,5 Pt-Co.
Air baku tersebut terlihat berwarna kuning
kecoklatan, hal ini disebabkan adanya
kandungan besi, mangan yang larut dalam air
baku. Warna kuning dari air baku menjadi
tidak bewarna setelah dilewati unit
pretreatment dan turun rata-rata menjadi 88,5
Pt-Co (Efisiensi 62,9%). Setelah melewati
membran efisiensi penurunan kandungan
warna rata-rata mencapai 87,94%. Penurunan
kandungan warna disebabkan besi (Fe) dan
mangan (Mn) mengalami peristiwa oksidasi
menjadi feri oksida (Fe2O3) dan mangan
dioksida (MnO2) yang tidak larut dalam air
dan disaring pada tabung FRP yang

mengandung karbon aktif serta pasir silica


yang akan mengoksidasi besi dan mangan
yang terkandung dalam air baku.
45

Grafik Hubungan Kandungan


Warna terhadapa
Waktu Pengamatan

40
35
Warna Unit Pt-Co

mencapai 77,94%,
lebih besar bila
dibandingkan dengan penurunan pH dari air
payau yang rata-rata turun hanya mencapai
30,14%. pH air baku pada keadaan awal tidak
memenuhi standar baku mutu air bersih,
namun setelah dilakukan pengolahan maka pH
air telah memenuhi standar baku mutu air
bersih.

81

30
Air Gambut

25
20

Air Payau

15
Air Sungai
Musi

10
5
0
0

10

20

30

Waktu Pengamatan (hari)

Gambar 3. Penurunan kandungan warna


terhadap waktu pengamatan (sampling)
Membran dalam hal ini juga berfungsi
mengikat ion-ion besi serta mangan yang
memiliki ukuran ion lebih besar bila
dibandingkan dengan
pori membrane,
sehingga semua partikel atau ion besi serta
mangan tertahan pada permukaan membrane
yang berakibat berkurangnya kandungan
warna dari air baku. Penurunan kandungan
warna dari air payau hanya mencapai rata-rata
42,3 (efisiensi 33,5%) dari kandungan awal
rata-rata selama sampling 56,2 Pt-Co. Dengan
melihat penurunan kandungan warna dari
masing-masing air olahan tersebut, maka
parameter warna dari air olahan masih batas
memenuhi standar baku mutu air bersih yang
diperbolehkan.
Penurunan Tingkat Kekeruhan Terhadap
Waktu Sampling
Kemampuan membran untuk menurunkan
tingkat kekeruhan dapat dilihat pada Gambar
4. Penurunan kekeruhan tergantung pada sifat
selektifitas dan permeabilitas membran.
Membran polysulfon memiliki tingkat
selektifitas (rejeksi) sangat tinggi terhadap
penurunan tingkat kekeruhan. Kekeruhan pada

82

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 75 - 87

air baku disebabkan adanya kandungan


partikel padat yang larut didalam air terutama
adanya senyawa organik yang juga dapat
menimbulkan bau tidak sedap pada air baku.
Grafik hubungan Kekeruhan
terhadap
waktu pengamatan

40

Penurunan Konsentrasi Padatan Terlarut


(TDS)

30
25

Air gambut

20

Air payau

15

Air musi

10
5
0
0

10

20

30

Waktu Pengamatan (Hari)

Gambar 4. Grafik hubungan penurunan


tingkat kekeruhan
Berdasarkan hasil analisa awal air baku yang
dilakukan selama sampling (gambut dan
musi) rata-rata memiliki kekeruhan 41, 77 PtCo. Tingkat kekeruhan dari air baku tersebut
melebihi batas standar yaitu 5. Setelah melalui
proses treatment parameter kekeruhan turun
menjadi rata-rata 6,50 Pt-Co (efisiensi
mencapai 90,76%). Hasil analisa parameter
kekeruhan masih berada diatas ambang batas
(5), oleh karena membran ultrafiltrasi hanya
mampu menurunkan partikel kandungan
organik berukuran di bawah 0,001 m
(Wenten, 2010), sedangkan ukuran partikel
organik bisa mencapai 0,001m. Untuk air
payau berdasarkan hasil sampling yang
dilakukan selama 5 kali pengamatan diperoleh
kandungan awal tingkat kekeruhan rata-rata
mencapai diatas 35 Pt-Co. Setelah dilakukan
proses treatment tingkat kekeruhan dari air
payau turun rata-rata 21 Pt-Co (Efisiensi
hanya 43%). Bila dilihat dari penurunan
tersebut air payau olahan belum memenuhi
standar air bersih yang dizinkan. Kekeruhan
air payau disebabkan adanya parameter
kandungan zat padat terlarut yang cukup tinggi

Penurunan kandungan TDS dapat dilihat pada


Gambar 5. Total padatan zat terlarut
merupakan besarnya jumlah kandungan zat
terlarut (organik dan anorganik) didalam
setiap mg/l air baku. Besarnya kandungan
TDS untuk setiap air baku tidaklah sama. Air
Payau memiliki kandungan TDS yang sangat
tinggi karena banyak partikel organik atau
anorganik (garam) yang larut didalam air baku
tersebut.
Tingginya
kandungan
TDS
mengakibatkan air tersebut tidak layak
dikonsumsi. Kandungan awal TDS untuk air
baku gambut dan air musi rata-rata mencapai
438,9 Mg/l, melihat harga tersebut masih
berada dibawah ambang batas dari air bersih
yang distandarkan oleh DEPKES. Dari
Gambar 5 terlihat hasil treatment untuk
kandungan TDS setiap sampling turun rata4500
4000
3500
TDS (mg/l)

Kekeruhan (NTU)

35

sehingga diperlukan perancangan khusus


untuk menurunkan tingkat kekeruhan. Filter
zeolit serta mangan dalam hal ini hanya
mampu menurunkan tingkat kekeruhan dari air
payau mencapai 20 %, hal ini dikarena
tingginya kandungan chloride yang sulit
teroksidasi oleh ion besi ataupun mangan pada
saat penyaringan.

3000
2500
Air Gambut

2000

Air Payau

1500

Air Musi

1000
500
0
0

20

40

Waktu pengamatan (hari)

Gambar 5.
Grafik hubungan penurunan
kandungan zat padat terlarut (TDS) terhadap
waktu pengamatan (sampling)

Yuliati, Pengolahan Air Menggunakan Membran

Semua partikel padat akan tertahan pada


permukaan membran yang mengakibatkan
rejeksi meningkat (86,81%). Pada air payau
kandungan rata-rata total padatan terlarut
selama sampling adalah 5019,11 mg/l. Unit
ptreatment yang ada hanya mampu
menurunkan kandungan TDS menjadi rata-rata
untuk setiap samplingnya 4768,33 mg/l (turun
hanya mencapai 29,2%). Penurunan yang kecil
ini disebabkan unit pretreatment yang tersedia
tidak dirancang untuk menyaring ion-ion tetapi
untuk menyaring bahan tersuspensi dan
terlarut. TDS ini dapat tersaring hanya melalui
unit perancangan membran secara osmosa
balik.
Penurunan Tingkat Kesadahan
Kesadahan air baku dapat menyebabkan air
tersebut tidak layak konsumsi, sehingga perla
dilakukan proses serta treatment terhadap air
tersebut sehingga memenuhi standar baku
mutu air bersih. Kesadahan dapat disebabkan
tingginya kandungan senyawa calcium
carbonat (CaCO3) yang berupa senyawa
endapan yang dihasilkan akibat terjadinya
reaksi oksidasi ion mangan (Mn). Grafik
penurunan kesadahan dari air olahan dapat
dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan hasil
analisa awal, kandungan kesadahan pada air
baku cukup tinggi yaitu rata-rata hasil
sampling diperoleh kandungan kesadahan
untuk air gambut 492,10 mg/l, sedangkan air
musi 905 mg/l. Bila dilihat dari harga tersebut
khususnya untuk air musi tingkat kesadahan
jauh berada diatas ambang batas dari standar
yang diperbolehkan menurun DEPKES yaitu
500. Setelah melalui proses pengolahan
tingkat kesadahan turun rata mencapai 121,5
mg/l untuk air gambut dan 243,56 mg/l
(effisiensi 89,5%). Filter mangan dan mangan

zeolit berfungsi dapat mereduksi kandungan


senyawa organik yang terdapat didalam air
baku sehingga kesadahan berkurang. Begitu
juga membran ultrafiltrasi dapat menurunkan
kandungan organik mencapai 88,9%, sehingga
air hasil olahan memenuhi standar maksimal
yang diperbolehkan (500).
Grafik hubungan Kesadahan
terhadap
Waktu Pengamatan

450
400
Kesadahan (mg/l)

rata mencapai 215,6 mg/l setelah melalui filter


zeolit, kandungan TDS turun rata-rata untuk
selama sampling mencapai 153 mg/l, jauh
berada dibawah standar baku mutu. Turunnya
TDS disebabkan membran memiliki sifat
selektifitas yang sangat tinggi sehingga tidak
melewatkan partikel-partikel organik (garam)
melalui pori membran (Degremont, 1999).

83

350

Air Gambut

300
250

Air Payau

200
Air Sungai
Musi

150
100
50
0
0

10

20

30

Waktu Pengamatan (hari)

Gambar 6. Grafik tingkat penurunan


kesadahan terhadap waktu pengamatan
(sampling)
Penurunan Kandungan Chlorida
Berdasarkan hasil analisa bahwa kandungan
rata-rata ion khlorida dari air baku (gambut
dan musi) selama sampling adalah 252,3 mg/g
dan 381,67 mg/l. Setelah melalui proses
pengolahan dengan menggunakan membran
ultrafiltrasi (Gambar 7) kandungan Chlorida
dari masing-masing air olahan turun rata-rata
mencapai 224,54 mg/l untuk air gambut dan
47,84 mg/l untuk air payau atau turun ratarata sekitar 79,5%. Air olahan yang dihasilkan
berada dibawah standar baku mutu air bersih
yaitu 250. Namun untuk air payau, dari
kandungan awal rata-rata 1187,56 mg/l hanya
mampu turun rata-rata selama sampling
Setelah melewati membran mencapai 998,76
mg/l atau sekitar 21,5 %, hal ini dikarena
membran ultrafiltrasi tidak dapat menahan ionion Cl yang terkandung didalam air payau
yang memiliki ukuran diameter lebih kecil dari

84

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 75 - 87

diameter media yang memiliki ukuran pori


0,0014 m. Sebaiknya untuk menurunkan
kandungan ion chlorida yang cukup tinggi alat
dirancang sedemikian rupa dan dapat menahan
ion Cl yang memiliki ukuran ion diatas
0,0001 m.
Grafik Hubungan kandungan Logam Cl
dengan
Waktu Pengamatan

Konsentrasi C l (mg/l)

1000
800

Air Gambut
600
Air Payau
400
Air Sungai
Musi

200
0
0

10

20

30

Waktu Pengamatan ( hari)

pada permukaan membran (Wenten, 2009).


Logam besi merupakan jenis logam berat yang
menyebabkan air baku berwarna coklat. Pada
musim kemarau kandungan Fe dari air baku
lebih tinggi, kerena besi merupakan logam
yang dihasilkan dari kontaminasi atau
pencemaran oleh limbah ataupun air buangan
industri di dalam air umumnya dalam bentuk
terlarut sebagai senyawa garam ferri (Fe3+)
atau garam ferro (Fe2+); tersuspensi sebagai
butir koloidal (diameter < 1 mm) atau lebih
besar seperti, Fe(OH)3; dan tergabung dengan
zat system84 atau zat padat yang anorganik
(seperti tanah liat dan partikel halus
terdispersi). Pada air payau berdasarkan hasil
analisa untuk setiap sampling diperoleh
penurunan rata-rata mencapai 92 % yaitu dari
kandungan awal rata-rata 2,37 mg/l menjadi
rata-rata 0,12 mg/l, sehingga air hasil olahan
memenugi standar yang dipebolehkan oleh
DEPKES.

Gambar 7. Grafik penurunan kandungan Cl


terhadap waktu pengamatan (sampling)

Hasil analisa awal menunjukkan kandungan


rata-rata logam sebelum pengolahan 13, 985
mg/l. Dari gambar tersebut terlihat penurunan
rata-rata kandungan logam Fe setelah
treatment selama sampling untuk air gambut
dan air musi adalah 3,41 mg/l dan 5,21 mg/l .
Penurunan kandungan logam Fe dan Mn dapat
dilihat pada Gambar 8 dan 9. Bila dihat dari
harga tersebut maka penurunan kandungan Fe
masih belum memenuhi standar mutu yang
diperbolehkan yaitu 0,3.
Hal ini disebabkan tingginya kandungan Fe
dari air baku sebelum dilakukan pengolahan.
Membran
ultrafiltrasi
hanya
mampu
menurunkan kandungan Fe sebesar rata-ra
86,7 %. Membran polysulfon yang digunakan
untuk menyaring logam Fe memiliki sifat
selektifitas rendah karena ion logam mudah
sekali menyumbat pori membran yang
menyebabkan terjadinya polarisasi (Fouling)

20
Logam Fe (mg/l)

Penurunan Kandungan Besi (Fe) dan


Mangan (Mn)

Grafik Hubungan Kandungan logam Fe


terhadap Waktu Pengamatan

25

Air
Gambut
Air Payau

15
10

Air Sungai
Musi

5
0
0

10

20

30

Waktu Pengamatan (Hari)

Gambar 8. Grafik penurunan kandungan


logam Fe terhadap waktu pengamatan
(sampling)
Penurunan kandungan Mn terhadap waktu
sampling dapat dilihat pada Gambar 9. Dari
gambar terebut terlihat terjadi penurunan
kandungan logam mangan (Mn) rata-rata
selama sampling mencapai 0,18 mg/l (efisiensi
96%) dari kandungan awal rata-rata.
Kandungan Mn yang terdapat pada air gambut,
payau dan musi tidak begitu tinggi, sehingga

Yuliati, Pengolahan Air Menggunakan Membran

filter mangan zeolit yang terdapat pada tabung


FRP dapat menurunkan kandungan logam Mn
yang adalah dalam air baku.
3

Grafik hubungan parameter Mn terhadap


waktu pengamatan

Kandungan Mn (mg/l)

2.5
2
1.5

Air Gambut
Air Payau

Air Musi
0.5

85

standar buku matu air bersih, namun


penurunan rata-rata masih relatif rendah.
Untuk air payau, tingkat kemurnian hasil
mencapai rata-rata 42,5%, dimana ada
beberapa parameter yang dihasilkan belum
memenuhi standar baku mutu air bersih seperti
kandungan Cl dan TDS yang dihasilkan masih
cukup besar, hal ini disebabkan alat yang
dirancang tidak dikhususkan untuk menyaring
ion Cl serta TDS yang terlampau besar. Air
hasil olahan untuk air musi diperoleh
kemurnian produk rata-rata mencapai diatas
90%, ini lebih tinggi bila dibandingkan air
gambut ataupun air payau.

0
10

20

30

Waktu Pengamatan (hari)

Gambar 9. Grafik Hubungan penurunan


kandungan logam Mn terhadap waktu
sampling
Oleh karena itu di dalam system pengolahan
air, senyawa mangan lebih mudah dioksidasi
menjadi senyawa yang memiliki valensi yang
lebih tinggi yang tidak larut dalam air
sehingga dapat dengan mudah dipisahkan
secara fisik. Membran dalam hal ini dapat
menurunkan kandungan ion Mn lebih besar
bila dibandingkan dengan ion Fe, hal ini
dikarena partikel logam Mn memiliki ukuran
lebih besar dari membrane ultrafiltrasi,
sehingga logam Mn banyak terthan pada
permukaan membrane sehingga rejeksipun
tinggi. Kandungan logam Mn yang dihasilkan
dari pengolahan air payau memenuhi standar
baku mutu yang diizinkan oleh DEPKES.
Hasil rata-rata tingkat kemurnian produk
Gambar di bawah terlihat tingkat kemurnian
produk sedikit meninggkat setia kali sampling
namun tidak terlau besar. Untuk air umpan
gambut kemurnian hasil yang diperoleh ratarata mencapai 77,8 %, Hasil rata-rata tingkat
kemurnian produk dapat dilihat pada Gambar
10 sehingga parameter (pH, warna, kekeruhan,
kesadahan, TDS, Fe dan Mn) memenuhi

Namun kandungan Fe yang terdapat dalam air


olahan masih belum memenuhi standar,
sedangkan
parameter
lainnya
warna,
kekeruhan, kesadahan, TDS serta kandungan
Mn penurunan rata-rata melebihi parameter
dari air payau dan gambut, sehingga hasil
analisa menunjukkan bahwa air olahan dari air
baku sungai musi layak dikonsumsi sebagai
air bersih ataupun air minum (secara osmosis
balik).
Grafik hubungan Rejeksi Terhadap
Waktu Pengamatan

120
100
Rejeksi (%)

80

Air
Gambut

60
40
20
0
0

10

20

30

Waktu Pengamatan (hari)

Gambar 10. Grafik tingkat kemurnian produk


terhadap waktu sampling
Air Olahan Sungai Musi sebagai air Minum
Tabel 2 merupakan hasil analisa air minum
dari air olahan sungai Musi. Hasil analisa
menunjukkan bahwa membran ultrafiltrasi

86

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 75 - 87

Tabel 2. Hasil Analisa Air Minum dari Air Olahan Sungai Musi
Parameter

Satuan

Air baku (sungai


musi)

Tandar air minum


yang diperbolehkan*

Air olahan membran


ultrafiltrasi

pH
warna

Pt-co

kekeruhan
TDS
Kesadahan
Cl
Fe
Mn
Cu
Amonia
Zn

NTU
Mg/l
Mg/l
Mg/l
Mg/l
Mg/l
Mg/l
Mg/l
Mg/l

5,21
Kuning kecoklatan
47,7
438,9
905
381,67
42,60
2,91
55,99
112,33
13,77

6,5 7,5
Tidak
berwarna
5
250
200
250
0,3
0,4
2,0
1,5
3,0

6,12
Tidak
berwarna
1,89
3,55
4,040
1,330
0,197
0,056
0,143
1,023
0,156

dengan ukuran pori 0,0014 m, hanya mampu


mengolah air baku menjadi air bersih. Hal ini
juga diusebabkan masih tinggi kandungan Fe
(rata-rata penurunan mencapai 3,41 mg/l untuk
air sungai musi (standar 0,3 mg/l). Namun
dilihat harga tersebut masih batas normal.
Tingginya kadar Fe ditandai dengan warna air
kecoklatan, namun kandungan besi ini akan
turun sampai batas normal apabila dilakukan
treatment sebagai air minum dengan pori
membran yang relative kecil (0,000m).
Osmois balik adalah merupakan solusi yang
paling tepat untuk memproses air bersih
tersebut sebagai air minum yang juga dapat
menurunkan kandungan garam atau ion Cl
serta TDS (air payau) sampai batas normal.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilaksanakan
maka
dapatlah
ditarik
kesimpulan; instalasi air bersih menggunakan
teknologi membran lebih ekonomis bila
dibadningkan dengan metoda conventional.
Unit pengolahan air bersih dan air minum
yang telah dirancang dapat diterapkan untuk
kebutuhan masyarakat sebagai teknologi tepat
guna khususnya didaerah terpencil, pedesaan,
industri dan laboratorium. Instalasi air bresih
menggunakan membrane ultrafiltrasi dengan
air baku sungai Musi mampu menurunkan
parameter mencapai 80 90% dan dapat
digunankan sebagai air baku olahan untuk

memproduksi air minum. Pengolahan Air baku


berupa air payau mampu menurunkan
kandungan parameter hanya mencapai 32,6 %,
sedangkan gambut mecapai 77,8 %.
DAFTAR PUSTAKA
Fane, A.G. (1995). An Introduction to
Membrane Process by Assoc. Proceedings
of The Fourth ASEAN, Workshop on
Membranes Technology, Thailand.
Hartomo, A.J. (1980). Teknologi Membran
Pemurnian Air, Yogyakarta.
Jitsuhara, S. dan S. Kimura (1998). Analysis
of Solut Rejection in Ultrafiltration,
Journal Eng. Japan.
Jitsuhara,
S.
(2001).
Characterization
Membrane in Ultrafiltration, Journal
membrane Science, Elsevier.
Kesting, R.E. (1997). Synthetic Polymeric
Membranes. Mc Graw-Hill, Co. New
York.
Kimura, S. (1998). Characterization of
Ultrafiltration
Membranes.
Journal
Polymer Science 23. 389, Japan.
Levebre, M.S. dan A.G. Fane (1979).
Permeability Parameter of Polyamide

Yuliati, Pengolahan Air Menggunakan Membran

Membrane,
Proceedings
Symposium on Ultrafiltration.

A.C.S.

Mulder, M. (1991). Basic Principle of


Membrane Technology. Kluwer Academic
Publition. Netherland.
Praptowidodo, V.S. (2002). Perancangan Alat
Penjernih Air dan limbah Menggunakan
Membran Cellulose Asetat dengan
Konfigurasi Aliran Silang (cross flow)
secara Ultrafiltrasi. ITB, Bandung.
Radiman, C. (1997). Pembuatan Membran
Polysulfon dan Penggunaannya Untuk
Penjernihan Air Keruh, MIFA Kimia ITB,
Bandung.
Rautenbach, R dan R. Albrecht (1989).
Membrane processes. John Wiley & Sons
Ltd. London.
Yuliati, S. (2002). Pembuatan Membran
Poliamid Untuk Pengoalhan Air Payau dan
Gambut Secara Ultrafiltrasi, Hibah
Bersaing, DIKTI Jakarta.

87

Yuliati, S. (2004). Rancang Bangun Alat Air


payau
dan
gambut
Menggunakan
Membran secara Ultrafiltrasi Dengan
Konfigurasi Aliran Dead End, Dosen
Muda, Dikti, Jakarta.
Yuliati, S. (2007). Pembuatan membrane
Polysulfon Serat Berongga (Hollow Fiber)
Untuk Penurunan Kandungan Zat Warna
dari Limbah Cair Industri Tekstil, Hibah
Bersaing, Dikti, Jakarta.
Yuliati, S. (2009). Pembuatan Membran
Polimer Berbasis polysulfon Untuk
Penjernihan Air Gambut dan Payau Secara
Osmosa Balik. Hibah Bersaing, Dikti,
Jakarta.
Wenten, I.G. (2002). Penentuan Fluks dan
Rejeksi pada Proses Pengolahan Air Keruh
dengan Membran Polysulfon serat
berongga. ITB, Bandung

SISTEM PENYALURAN AIR LIMBAH DOMESTIK KOMUNAL


DENGAN MENGGUNAKAN SIMPLIFIED SEWERAGE DAN
SMALLBORE SEWER
COMMUNAL SEWERAGE SYSTEM
BY USING SIMPLIFIED SEWERAGE AND SMALLBORE SEWER
Harismayanti Nurul Aulia1) dan Eddy Setiadi Soedjono*1)
Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111
E-mail: soedjono@enviro.its.ac.id

Abstrak
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menentukan apakah sistem simplified sewerage dan smallbore sewer
dapat diaplikasikan pada kawasan perumahan yang mempunyai kontur bergelombang. Pada saat ini,
sebagian kawasan sudah mendapat pelayanan penyaluran dan pengolahan air limbah, sedangkan sebagian
rumah menggunakan tangki septik. Pembagian wilayah pengembangan dilakukan dengan membagi area
bagi menjadi tiga zona pelayanan, yakni wilayah pelayanan I, II dan III. Pengumpulan data dilakukan untuk
memperoleh peta kawasan, peta topografi, jumlah rumah, jumlah penduduk, karakteristik air limbah dan
kapasitas air limbah. Hasil kajian aspek teknis, wilayah pelayanan yang telah menggunakan tangki septik
dilayani dengan small bore sewer dan daerah pelayanan baru menggunakan sistem simplified sewerage.
Instalasi pengolahan air limbah menggunakan Anaerobic Baffle Reactor. Debit air limbah yang masuk ke
pengembangan IPAL eksisting sebesar 0,027 m3/detik. Sedangkan debit yang masuk pada unit IPAL
wilayah I adalah 0,017 m3/detik. Karena wilayah studi mempunyai topografi yang bergelombang, maka
penanaman pipa ada yang mencapai kedalaman lebih dari 4 m, sehingga tujuan penerapan simplified
sewerage dan smallbore sewer untuk memperoleh penanaman pipa yang dangkal tidak tercapai. Masih
diperlukan pemompaan di beberapa titik terendah.
Kata kunci: air limbah, komunal, kontur bergelombang, pengolahan, sistem penyaluran air limbah
Abstract
The purpose of this paper is to determine whether the simplified sewerage and smallbore sewer system can
be applied to residential area that has height difference contour. At this time, some areas have got
sewerage and wastewater treatment, while most homes use septic tanks. Development zoning is done by
dividing the area into three zone services, namely service area I, II and III. The data was collected to
obtain area maps, topographic maps, the number of houses, number of inhabitant , the wastewater
characteristics and wastewater capacity. Area used septic tanks served by small bore sewer and new
service area served by simplified sewerage system. Wastewater treatment plant was using Anaerobic Baffle
Reactor. Wastewater discharge into WWTP existing is 0.027 m3/second, while wastewater discharge into
WWTP region I is 0.017 m3/second . Because the study area has height difference contour, pipeline depth
reaches more than 4 m, so that the objective application of simplified sewerage and smallbore sewer pipe
to obtain a shallow depth not achieved. It is required pumping at a low level.
Keywords: communal, height difference contour, treatment, sewerage systems, wastewater

Soedjono, Sistem Penyaluran Air Limbah Domestik

1. PENDAHULUAN
Sumber utama dari air limbah domestik
berasal dari area permukiman dan area
komersial (Metcalf dan Eddy, 2004). Air
limbah domestik penduduk permukiman
tersebut berasal kegiatan mandi, cuci, kakus
(MCK). Air limbah domestik tersebut jika
tidak dikelola secara tepat dapat mencemari
lingkungan. Fasilitas sistem pengolahan air
limbah permukiman yang ada di Indonesia saat
ini rata rata masih menggunakan sistem onsite, seperti tangki septik, cubluk, bahkan
masih ditemukan masyarakat yang membuang
air limbah domestik langsung ke sungai.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
terhadap tingkat pencemaran dari rumah
tangga yang masih menggunakan tangki septik
diperoleh hasil bahwa effluent tangki septik
berperan dalam peningkatan konsentrasi
nutrient beracun pada air sungai (Withers et
al., 2011).
Pengelolaan air limbah domestik akan lebih
efektif dan efisien baik dari segi biaya,
ketersediaan lahan permukiman maupun
operasional pemeliharaan jika dikelola secara
komunal (Suriyachan et al., 2012). Solusi yang
paling efektif adalah pembangunan Instalasi
Pengolahan
Air
Limbah
komunal.
Pembangunan IPAL tersebut dapat mencegah
dan mengurangi terjadinya pencemaran
lingkungan dari air limbah domestik serta
mengatasi keterbatasan lahan di permukiman.
Upaya meningkatkan efektifitas IPAL dapat
dilakukan dengan perencanaan Sistem
Penyaluran Air Limbah secara efektif dan
efisien (Massoud et al., 2008).
Membangun hubungan yang baik antara
penyedia sarana sanitasi dengan masyarakat
setelah sistem berjalan merupakan hal penting
karena sistem sanitasi dapat berjalan dengan
baik ketika pemerintah, kontraktor dan
pengguna sarana sanitasi dapat berinteraksi
secara produktif (Paterson et al., 2007).
Tantangan sanitasi di negara berkembang

89

adalah
mengimplementasikan
teknologi
sanitasi di suatu wilayah, dimana kondisi
sosial ekonomi masyarakat beragam serta
cepatnya perubahan tata guna lahan
menyebabkan pemilihan sistem sanitasi
menjadi suatu tugas yang kompleks. Terpisah
dari faktor teknik dan penghasilan masyarakat,
aspek isu lingkungan, kemampuan institusi
dan pilihan teknologi oleh masyarakat
menentukan keberlangsungan lama tidaknya
suatu sistem sanitasi dapat berjalan (Loetscher
dan Jurg, 2002).
Pada perencanaan ini akan direncanakan
pengelolaan dan pengembangan SPAL
komunal untuk air limbah domestik untuk
kawasan perumahan. Direncanakan SPAL
komunal
yang
akan
dikembangkan
menggunakan sistem simplified sewerage.
Sistem simplified sewerage merupakan sistem
penyaluran air limbah dengan menggunakan
diameter pipa kecil serta kedalaman
penanaman pipa yang minimum (Mara dan
Guimaraes, 1999; Hughes et al., 2006). Karena
kemiringan (slope) yang digunakan hampir
sama untuk setiap sambungan, galian tanah
yang dilakukan untuk jaringan pipa relatif
dangkal. Hal tersebut dapat mengurangi biaya
konstruksi pembangunan jaringan pipa
(Turker, 2011). Penerapan sistem simplified
sewerage pada perencanaan ulang dan
pengembangan SPAL -IPAL komunal di
kawasan perumahan dapat mengurangi biaya
konstruksi, operasi dan pemeliharaan SPAL.
Sedangkan untuk kawasan yang sudah
menggunakan tangki septic, digunakan sistem
small bore sewer.
Tujuan dari perencanaan ini adalah
merencanakan pengembangan SPAL komunal
air limbah domestik suatu kawasan
perumahan. Air limbah di alirkan ke IPAL
komunal. Perencanaan skala komunal dibuat
dengan
harapan
pengelolaan
dan
pengoperasian SPAL - IPAL komunal dapat
diterapkan dengan pemberdayaan masyarakat.

90

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 88 - 95

2. METODA

Pada ide studi perencanaan pengembangan


pengelolaan air limbah domestik skala
komunal dengan studi kasus Perumahan
Singhasari Residence, Kabupaten Malang,
dilakukan proses identifikasi masalah tentang
keadaan SPAL IPAL komunal di perumahan.
Hasil dari proses identifikasi masalah tersebut
diperoleh bahwa jumlah rumah yang terdapat
di kawasan studi
sebanyak 2.131 unit.
Sebagian di antaranya telah mendapat
pelayanan SPAL dan IPAL. Oleh sebab itu,
dilakukan perencanaan pengembangan SPAL
dan IPAL komunal untuk seluruh blok
perumahan di wilayah studi. Proses
identifikasi masalah tersebut dilakukan sejalan
dengan proses pengumpulan data lapangan.
Data yang dikumpulkan meliputi data primer
dan data sekunder. Data primer merupakan
data yang diperoleh melalui proses observasi
dan hasil wawancara dengan developer
perumahan, berupa lebar jalan, tata letak
rumah, tipe-tipe rumah yang ada di Perumahan
Singhasari Residence. Sedangkan data
sekunder meliputi karakteristik air limbah
domestik, peta site plan perumahan, jumlah
rumah dan fasilitas sosial yang ada di
Perumahan Singahasari Residence, dan peta
topografi Perumahan Singhasari Residence
serta HSPK terbaru untuk wilayah Kabupaten
Malang.
Proses pengumpulan data yang dilakukan juga
diikuti dengan studi literatur yang dapat
menunjang ide studi yang dilakukan. Sumber
studi literatur antara lain berupa jurnal
penelitian internasional dan nasional, peraturan
perundangan yang sedang berlaku saat ini,
penelitian terdahulu dan sumber-sumber lain
yang relevan dengan ide studi.
Setelah proses pengumpulan data dan studi
literatur dilakukan, proses selanjutnya adalah
melakukan pembahasan dan analisa terkait
SPAL dan IPAL, yang meliputi penentuan
blok pelayanan, perhitungan debit air
limbah, pembebanan saluran, dimensi pipa,

perhitungan penanaman pipa, penentuan


bangunan pelengkap, sehingga dapat dihitung
biaya operasi danpengelolaan sistem SPAL
IPAL skala komunal.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembagian Wilayah Pelayanan


Pada perencanaan ini, daerah pelayanan SPAL
akan dibagi dalam tiga wilayah pelayanan,
yakni wilayah pelayanan I, II dan III.
Pembagian wilayah pelayanan SPAL dan
IPAL komunal tersebut dilakukan karena
topografi
kawasan perumahan berupa
perbukitan, sehingga tidak dapat digabungkan.
Peta topografi daerah studi dapat dilihat pada
Gambar 1.
Selain itu, pada wilayah
perumahan tersebut juga dibatasi oleh sungai
di bagian tengah perumahan. Karena
perbedaan elevasi yang cukup signifikan di
antara kedua wilayah pelayanan, perhitungan
jalur SPAL di antara wilayah pelayanan
tersebut dilakukan secara terpisah. Wilayah
pelayanan I dialirkan ke IPAL eksisting dan
wilayah pelayanan II dan III dialirkan ke IPAL
II. Perencanaan SPAL dan IPAL komunal di
kawasan perumahan wilayah studi dapat
dilihat pada Gambar 1.
Pada wilayah pelayanan II dan III
menggunakan prinsip penyaluran air limbah
dengan sistem simplified sewerage. Pemilihan
sistem tersebut karena di kedua wilayah
pelayanan tersebut direncanakan pengolahan
air limbah secara komunal. Di samping itu
system ini cocok digunakan untuk pemukiman
yang padat (Peterson et al., 2007). Penggunaan
sistem tersebut juga dapat mengurangi biaya
konstruksi pembangunan SPAL (Peterson et
al., 2007). Luas lahan dan jumlah rumah yang
dilayani masing-masing wilayah dapat dilihat
pada Tabel 1.
Pada perencanaan ini, SPAL eksisting akan
dimasukkan dalam wilayah pelayanan II dan
III. Sebagian pelayanan II berlokasi diseberang
sungai. Hal ini direncanakan, karena kondisi
topografi yang tidak memungkinkan sebagian

Soedjono, Sistem Penyaluran Air Limbah Domestik

91

Gambar 1 Peta Topografi Wilayah Studi


wilayah ini untuk digabungkan dengan
daerah pelayanan I. Air limbah wilayah
seberang sungai ini akan dialirkan melalui
jembatan pipa ke daerah pelayanan II.
Tabel 1 Pembagian wilayah pelayanan
Saluran Pipa Primer
Wilayah Pelayanan I
Wilayah Pelayanan II
Wilayah Pelayanan III

Luas Area
(ha)
4,54
26,63
5,9

Meskipun SPAL pelayanan II dan pelayanan


III dibuat secara terpisah, tetapi pengolahan air
limbah untuk wilayah pelayanan II dan III
dilakukan di lokasi IPAL yang sama, yakni
pada IPAL eksisting yang terletak di wilayah

pelayanan II. Kedua wilayah tersebut akan


dihubungkan dengan sumur pengumpul yang
direncanakan diletakkan di wilayah pelayanan
III. Selanjutnya dari sumur pengumpul, air
limbah akan dialirkan dengan menggunakan
pompa menuju wilayah pelayanan II dan
diolah pada IPAL eksisting.
Sistem penyaluran air limbah untuk wilayah
pelayanan I direncanakan menggunakan sistem
small bore sewer. Pemilihan sistem tersebut
karena di wilayah pelayanan I telah terbangun
tangki septik di masing-masing rumah warga.
Lumpur air limbah dapat terendapkan terlebih
dahulu pada tangki septik, kemudian efluen
dari tangki septic dialirkan melalui perpipaan.
Karena sistem small bore sewer hanya

92

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 88 - 95

menyalurkan cairan tanpa padatannya, maka


kemiringan (slope) dan kedalaman penanaman
pipa dapat diperkecil. Hal tersebut dapat
mengurangi biaya konstruksi SPAL. Air
limbah akan diolah pada IPAL komunal
pengembangan.
Pengolahan air limbah pelayanan I dipisah
dengan wilayah pelayanan II dan III karena
perbedaan topografi dan pelayanan I telah
menggunakan tangki septik. Untuk wilayah
pelayanan I akan direncanakan IPAL komunal
tersendiri yang khusus melayani pengolahan
air limbah di wilayah pelayanan I. Karena
hanya berupa efluen yang cair, maka biaya
investasi, operasi dan pemeliharaan IPAL juga
dapat lebih rendah.
Evaluasi dan Perencanaan Pengembangan
SPAL
Pada perencanaan sistem penyaluran air
limbah, pertama kali dilakukan perhitungan
debit air limbah pada setiap wilayah pelayanan
berdasarkan pembagian blok perumahan,
dimana pada perencanaan ini wilayah I terdiri
dari 4 blok rumah, wilayah II terdiri dari 10
blok dan wilayah III terdiri dari 3 blok. Dasar
perhitungan debit air limbah rata-rata adalah
80% pemakaian air bersih akan masuk dalam
saluran air limbah. Berdasarkan perhitungan,
diperoleh debit rata-rata (Qave) air limbah
terbesar berada di wilayah pelayanan I dan II,
yakni sebesar 0,0050 m3/det dan 0,0051
m3/det. Sedangkan debit air limbah terkecil
berada di wilayah pelayanan III, yakni sebesar
0,0019 m3/det. Melalui debit rata-rata tersebut
dapat diketahui debit saat jam puncak (Qpeak),
debit minimum (Qmin) dan debit infiltrasi
(Qinf) untuk setiap blok pada wilayah
pelayanan. Selanjutnya dilakukan perhitungan
pembebanan saluran dan dimensi pada setiap
wilayah pelayanan.

Pada perhitungan dimensi pipa, diketahui


diameter pipa pada setiap jalur pipa. Namun
berdasarkan petunjuk teknis dari Kementerian
Pekerjaan Umum, diameter pipa yang
digunakan untuk pipa air limbah adalah 6 8
inch. Sehingga diameter pipa yang digunakan
pada perencanaan ini adalah 150 mm dan 200
mm dengan jenis pipa PVC tipe D. Diameter
150 mm tersebut merupakan pipa service dan
lateral yang menerima air limbah dari
sambungan rumah warga. Sedangkan diameter
pipa 200 mm digunakan pada saluran pipa
induk yang menuju ke IPAL. Karena
menggunakan pipa PVC, nilai koefisien
kekasaran Manning (n) menggunakan nilai
0,013.
Panjang pipa yang dibutuhkan untuk melayani
SPAL komunal di wilayah pelayanan I adalah
2.878 m. Sedangkan untuk wilayah II, panjang
pipa yang dibutuhkan sebesar 5.513 m.
Wilayah III kebutuhan panjang pipa sebesar
2.286 m. Sedangkan hasil perhitungan dimensi
dan panjang pipa primer SPAL yang berada di
setiap wilayah pelayanan dapat dilihat pada
Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat dilihat diameter
pipa bervariasi dari 150 sampai 200 mm.
Diameter ini sesuai dengan yang dianjurkan
Mara
dan
Guimaraes
(1999)
untuk
perencanaan sistem simplified sewerage, yaitu
100 sampai 300 mm.
Tabel 2. Kebutuhan Pipa Primer SPAL
Saluran Pipa Primer
Wilayah Pelayanan I
Wilayah Pelayanan II
Wilayah Pelayanan III

D
terpasang
(mm)
150
200
150
200
150
200

Panjang
Pipa
(m)
430
1.220
91
827
54
1147

Soedjono, Sistem Penyaluran Air Limbah Domestik

Gambar 2. Sistem penyaluran air limbah dan lokasi Instalasi Pengolahan Limbah

93

94

Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2012: 88 - 95

Melalui
perhitungan
dimensi
pipa
diperoleh slope pipa untuk masing-masing
masing
jalur pipa. Namun karena nilai slope pipa
yang diperoleh terlalu kecil, maka
digunakan slope pipa berdasarkan literatur,
yakni 0,0034 untuk diameter pipa 150 mm
dan 0,0044 untuk diameter pipa 200
2 mm
(Metcalf dan Eddy, 2004).
2004) Kecepatan
aliran memenuhi kecepatan minimum
sebesar 0,6 m/detik.
Perencanaan SPAL dilengkapi beberapa
bangunan pelengkap, antara lain manhole,
bangunan penggelontor dan jembatan pipa.
Selain manhole lurus, SPAL juga
dilengkapi dengan manhole pada belokan
pipa,
a, manhole di pertigaan atau
percabangan pipa serta drop manhole
untuk pipa percabangan yang memiliki
beda tinggi antar ujung pipa satu dengan
yang lain lebih dari 0,5 m.
Total jumlah manhole yang diperlukan
untuk wilayah pelayanan I adalah 49
manhole, terdiri
rdiri dari 9 buah manhole lurus,
15 buah manhole belokan, 10 buah
manhole percabangan dan 15 buah drop
manhole.. Jumlah manhole untuk wilayah
pelayanan II adalah 96 manhole, terdiri
dari 31 buah manhole lurus, 20 buah
manhole belokan, 16 buah manhole
percabangan dan 29 buah drop manhole.
manhole
Sedangkan untuk wilayah pelayanan III
total manhole sebanyak 34 buah, terdiri
dari 6 buah manhole lurus, 8 buah manhole
belokan, 4 buah manhole percabangan dan
16 buah drop manhole.
Pada wilayah pelayanan II terdapat
t
jalur
pipa yang dilengkapi dengan jembatan
pipa karena terdapat sungai yang melintasi
mel
bagian tengah perumahan. Diameter pipa
pada jembatan pipa adalah 200 mm dan
kecepatan aliran 0,8 m/detik. Gambar 2
merupakan gambar tipikal jembatan pipa.
Kedalaman Penanaman
an Pipa
Setelah dilakukan perhitungan dimensi
pipa dan manhole, dilakukan pula

perhitungan pada penanaman pipa. Sistem


simplified sewerage bertujuan untuk
memperoleh diameter pipa kecil dan
kedalaman penanaman pipa yang dangkal.

Gambar 2. Tipikal Jembatan Pipa


Topografi wilayah perencanaan sangat
curam yang bervasiasi dari ketinggian 35
m sampai 105 m. Pada perencanaan, dibuat
pembagian wilayah pelayanan sedemikian
rupa agar wilayah yang ketinggiannya
tidak berbeda jauh menjadi satu wilayah
wilay
pelayanan. Di samping itu, untuk
mengantisipasi kemiringan yang terlalu
curam, digunakan drop manhole.
manhole
Tujuan agar penanaman pipa dangkal tidak
dapat dicapai, karena pada ujung suatu
wilayah pelayanan akan digabungkan
dengan wilayah pelayanan lain, untuk
un
kemudian disalurkan menuju sumur
pengumpul. Perhitungan
erhitungan penanaman pipa
untuk memperoleh
peroleh kedalaman pipa untuk
setiap jalur pipa yang direncanakan.
Kedalaman pertemuan pipa yang berbeda
level ketinggian dilengkapi dengan drop
manhole. Dari perencanaan diperoleh
di
hasil
penanaman pipa terdalam mencapai 7,6 m.
Untuk kedalaman pipa yang lebih dari 4 m,
dilakukan pemompaan untuk menaikkan
level pipa, agar aliran selanjutnya dapat
dipertahankan secara gravitasi.
Biaya
Investasi,
Pemeliharaan

Operasi

dan

Menurut Paterson et al. (2007), biaya


operasi dan pemeliharaan simplified
sewerage setengah dari biaya sistem
s
penyaluran air limbah konvensional. Pada

Soedjono, Sistem Penyaluran Air Limbah Domestik


perencanaan ini biaya investasi mencapai
Rp.1.762.000.000 dan biaya operasi dan
pemeliharaan mencapai Rp.64.400.000 per
bulan, yang akan ditanggung oleh 2.131
kepala keluarga, atau sekitar Rp. 30.000
per bulan per keluarga. Oleh karena itu,
sistem penyaluran air limbah secara
terpusat skala komunal ini, jika diterapkan
di kawasan perumahan, tidak akan
memberatkan warga.
4. KESIMPULAN

Penyaluran air limbah dengan sistem


simplified sewerage dan small bore sewer
untuk pengembangan SPAL komunal
menghasilkan diameter pipa kecil. Karena
topografi yang sangat bergelombang
penanaman pipa tidak sesuai dengan disain
simplified sewerage, karena masih ada
kedalaman pipa yang lebih dari 4 m,
sehingga diperlukan pemompaan.
Diameter pipa yang digunakan pada sistem
simplified sewerage dan small bore sewer
adalah 100 mm merupakan pipa service
dan lateral yang menerima air limbah dari
sambungan rumah warga. Sedangkan
diameter pipa 150-200 mm digunakan
pada saluran pipa primer yang menuju ke
IPAL.
DAFTAR PUSTAKA
Hughes, R., Goen H., dan Kuruvilla M.
2006. Conventional Small and
Decentralized Wastewater Systems in
Ujang, Z. (Ed). Municipal Wastewater
Management in Developing Countries
: Principles and Engineering. London :
IWA Publishing.

Loetscher, T. dan Jurg K. 2002. A


Decision Support System for Selecting
Sanitation Systems In Developing
Countries. Socio-Economic Planning
Sciences, 36 : 267-290
Mara D.D dan Guimaraes A.S.P. (1999).
Simplified
sewerage:
potential
applicability
in
industrialized
countries, Urban Water, 1:257-259.
Massoud, M.A., Akram T., Joumana A. N.
2008. Decentralized Approaches to
Wastewater
Treatment
and
Management
Applicability
In
Developing Countries. Environmental
Management, 90: 652 659.
Metcalf dan Eddy. 2004. Wastewater
Engineering : Treatment and Reuse.
New York : 4th Edition McGraw Hill.
Paterson, C., D. Mara dan T. Curtis. 2007.
Pro-Poor Sanitation Technologies.
Geoforum, 38 : 901-907.
Suriyachan, C., Vilas N., dan Nurul
A.T.M.
2012.
Potential
of
Decentralized
Wastewater
Management for Urban Development:
Case
of
Bangkok.
Habitat
International, 36: 85-92.
Turker, U. 2011. Alternate Sewerage
Solution: Condominial Method and Its
Application. Physics and Chemistry of
The Earth, 36 : 179-186.
Withers, P.J.A, Jarvie H.P. dan Stoate C.
2011. Quantifying The Impact of
Septic
Tank
Systems
On
Eutrophication
Risk
In
Rural
Headwaters.
Environment
International, 37: 644-653.

95

INDEKS PENGARANG DAN JUDUL ARTIKEL


JURNAL PURIFIKASI Volume 13 Nomor 2 Desember Tahun 2012

Penulis

A
Agoes Soegianto

Ali Masduqi

Author/
Co-author

Co-author

Judul Artikel

Peningkatan Efisiensi Penyisihan Biological Oxygen


Demand (BOD) Dan Total Suspended Solid (TSS)
Pasca Anaerob Bersekat Dengan Proses Aerasi

Co-author Eksplorasi Air Tanah Dengan Metode Geolistrik


Schlumberger di Daerah Pesisir Kabupaten Tanah
Laut

Andy Mizwar

Author

Pemanfaatan Limbah Lumpur Berminyak Melalui


Proses Stabilisasi-Solidifikasi Untuk Pembuatan Bata
Beton Berlubang

Anton Kuswoyo

Author

Eksplorasi Air Tanah Dengan Metode Geolistrik


Schlumberger di Daerah Pesisir Kabupaten Tanah
Laut

B
Bakhtiar

Hal

18

58 66

9 16

58 66

Co-Author Pemanfaatan Limbah Lumpur Berminyak Melalui


Proses Stabilisasi-Solidifikasi Untuk Pembuatan Bata
Beton Berlubang

9 16

Penurunan Kandungan C Organik dan Pembentukan


Gas Pada Proses Pengomposan Eceng Gondok

17 24

D
Dafit A.
Prasetyo

Co-author

Didik Bambang
Supriyadi

Co-author Ruko Sebagai Barrier Untuk Mereduksi Kebisingan


Akibat Akftifitas Transportasi di Jalan Raya

E
Eddy Setiadi
Soedjono

Co-author

Sistem Penyaluran Air Limbah Domestik Komunal


dengan Menggunakan Simplified Sewerage dan
Smallbore Sewer

88 95

Elvitriana

Co-author

Aklimatisasi Mikroalga Hijau dalam Limbah


Peternakan Untuk Meningkatkan Penyisihan Nutrien
dan Produksi Lipida

67 74

34 45

Penulis

H
Harismayanti
Nurul Aulia

I
Irhamni

K
Kokoh Wahyu
Adillah

M
Mariana

N
Nita Citrasari

Nur Indradewi
Oktavitri

R
Riana
Purwandani
S
Selastia Yuliati

Sumarti
Rusdiana

Author/
Co-author

Judul Artikel

Author

Sistem Penyaluran Air Limbah Domestik Komunal


dengan Menggunakan Simplified Sewerage dan
Smallbore Sewer

88 95

Co-author

Aklimatisasi Mikroalga Hijau dalam Limbah


Peternakan Untuk Meningkatkan Penyisihan Nutrien
dan Produksi Lipida

67 74

Co-author

Peningkatan Efisiensi Penyisihan Biological Oxygen


Demand (BOD) dan Total Suspended Solid (TSS)
Pasca Anaerob Bersekat Dengan Proses Aerasi

1-8

Author

Penyerapan Gas CO Hasil Pembakaran Sampah


Menggunakan Modifikasi Sorben Ca(OH)2 dalam
Reaktor Fixed Bed

Hal

25 33

Co-author

Peningkatan Efisiensi Penyisihan Biological Oxygen


Demand (BOD) dan Total Suspended Solid (TSS)
Pasca Anaerob Bersekat Dengan Proses Aerasi

18

Author

Peningkatan Efisiensi Penyisihan Biological Oxygen


Demand (BOD) dan Total Suspended Solid (TSS)
Pasca Anaerob Bersekat Dengan Proses Aerasi

18

Author

Ruko Sebagai Barrier Untuk Mereduksi Kebisingan


Akibat Akftifitas Transportasi Di Jalan Raya

34 - 45

Co-author

Pengolahan Air Menggunakan Membran Ultrafiltrasi


Sebagai Upaya Mendukung Gerakan Nasional
Mengatasi Krisis Air Bersih

75 87

Co-author

Peningkatan Efisiensi Penyisihan Biological Oxygen


Demand (BOD) dan Total Suspended Solid (TSS)
Pasca Anaerob Bersekat Dengan Proses Aerasi

1-8

Penulis

Author/
Co-author

Susi A. Wilujeng

Author

T
Taufiqur
Rohman

V
Vera Viena

Z
Zulfakar

Judul Artikel

Hal

Penurunan Kandungan C Organik Dan Pembentukan


Gas Pada Proses Pengomposan Eceng Gondok

17 24

Co-author Pemanfaatan Limbah Lumpur Berminyak Melalui


Proses Stabilisasi-Solidifikasi Untuk Pembuatan Bata
Beton Berlubang

9 16

Co-author Aklimatisasi Mikroalga Hijau Dalam Limbah


Peternakan Untuk Meningkatkan Penyisihan Nutrien
dan Produksi Lipida

Author

Model Guna Lahan Untuk Pengendalian Banjir


Di Perkotaan

67 74

46 57

INDEKS KEYWORDS
JURNAL PURIFIKASI Volume 13 No. 2 Desember Tahun 2012
Keywords

Penulis

Hal

75

air tanah
aklimatisasi

Selastia Yuliati
Harismayanti Nurul Aulia dan Eddy Setiadi
Soedjono
Nur Indradewi Oktavitri, Nita Citrasari, Agoes
Soegianto, Sumarti Rusdiana, dan Kokoh Wahyu
Adillah
Anton Kuswoyo dan Ali Masduqi
Irhamni, Elvitriana, dan Vera Viena

B
barrier
banjir
bata beton berlubang

Riana Purwandani dan Didik Bambang Supriyadi


Zulfakar
Andy Mizwar , Taufiqur Rohman , dan Bakhtiar

34
46
9

Susi A. Wilujeng dan Dafit A. Prasetyo


Nur Indradewi Oktavitri, Nita Citrasari, Agoes
Soegianto, Sumarti Rusdiana, dan Kokoh Wahyu
Adillah

17
1

F
fixed bed reactors

Mariana

25

G
geolistrik schlumberger
GIS

Anton Kuswoyo dan Ali Masduqi


Zulfakar

58
46

I
intrusi air laut
inverse fasa

Anton Kuswoyo dan Ali Masduqi


Selastia Yuliati

58
75

Riana Purwandani dan Didik Bambang Supriyadi


Harismayanti Nurul Aulia dan Eddy Setiadi
Soedjono
Harismayanti Nurul Aulia dan Eddy Setiadi
Soedjono

34

Harismayanti Nurul Aulia dan Eddy Setiadi


Soedjono
Irhamni, Elvitriana, dan Vera Viena

88

A
air bersih
air limbah
air limbah kantin

E
eceng gondok
efesiensi removal BOD
dan TSS

K
Kebisingan
Komunal
Kontur bergelombang

L
limbah domestik
limbah cair peternakan

88
1

58
67

88
88

67

limbah lumpur berminyak

Andy Mizwar , Taufiqur Rohman , dan Bakhtiar

M
membran
mikroalga
mikroorganisma M-16
Keywords

Selastia Yuliati
Irhamni, Elvitriana, dan Vera Viena
Susi A. Wilujeng dan Dafit A. Prasetyo
Penulis

75
67
17
Hal

model hidrologi

Zulfakar

46

N
nutrien

Irhamni, Elvitriana, dan Vera Viena

67

17

pengomposan
penyerapan gas
perkotaan
perumahan singhasari
residence
pesisir
polysulfon
produksi lipid

Susi A. Wilujeng dan Dafit A. Prasetyo


Harismayanti Nurul Aulia dan Eddy Setiadi
Soedjono
Susi A. Wilujeng dan Dafit A. Prasetyo
Mariana
Zulfakar
Harismayanti Nurul Aulia dan Eddy Setiadi
Soedjono
Anton Kuswoyo dan Ali Masduqi
Selastia Yuliati
Irhamni, Elvitriana, dan Vera Viena

R
reduksi kebisingan

Riana Purwandani dan Didik Bambang Supriyadi

34

Harismayanti Nurul Aulia dan Eddy Setiadi


Soedjono
Andy Mizwar , Taufiqur Rohman , dan Bakhtiar
Mariana

88

Andy Mizwar , Taufiqur Rohman , dan Bakhtiar


Anton Kuswoyo dan Ali Masduqi

9
58

T
tanah menggunakan model

Zulfakar

46

U
ultrafiltrasi

Selastia Yuliati

75

P
pengadukan
pengolahan

S
sistem penyaluran air limbah
solidfikasi
sorbent Ca(OH)2/tanah
diatome/kompos
stabilisasi
sumber air

88
17
25
46
88
58
75
67

9
25

UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA


MITRA BESTARI

Dr. Ir Tri Padmi (Jurusan Teknik Lingkungan, FTSL-ITB)


Ir. Mindriany Syafilla MSc., PhD. (Jurusan Teknik Lingkungan, FTSL-ITB)
Ir. Indah S. Salami, MSc., PhD. (Jurusan Teknik Lingkungan, FTSL-ITB)
Ir. Oginawati MSc., PhD. (Jurusan Teknik Lingkungan, FTSL-ITB)
Emenda Sembiring, PhD (Jurusan Teknik Lingkungan, FTSL-ITB)
Prof. Ir. Renanto Handogo, MS, PhD (Jurusan Teknik Kimia, FTI-ITS)
Prof. Dr. Ir. Tri Widjaja, MEng (Jurusan Teknik Kimia, FTI-ITS)
Prof. Ir. Triwulan, MSc., PhD. (Jurusan Teknik Sipil, FTSP-ITS)
Dr. Ir. Edijatno, MSc (Jurusan Teknik Sipil, FTSP-ITS)
Ir. RAA Ria Asih, MSc., PhD (Jurusan Teknik Sipil, FTSP-ITS)
Prof. Dr. Ir. Sarwoko Mangkoedihardjo, MScES (Jurusan Teknik Lingkungan,
FTSP-ITS)
Prof. Dr. Yulinah Trihadiningrum, MSc.App (Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP-ITS)
Dr. Ir. Nieke Karnaningroem, MSc (Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP-ITS)
Ir. Agus Slamet, MSc (Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP-ITS)
Dr. Ali Masduqi, ST., MT. (Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP_ITS)
IDAA Warmadewanthi, ST., MT., PhD. (Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP-ITS)

Pedoman Penulisan
JUDUL ARTIKEL (seluruh huruf kapital, 14 pt, bold. Judul dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris)
(Kosong satu, spasi satu,14 ft)
Nama penulis satu1), penulis dua2), penulis tiga3) (12pt, bold). Ditulis lengkap, tanpa gelar akademik
atau sebutan
1)

Departemen/Jurusan/Laboratorium, Universitas/Institusi, Alamat, Kota, Kode Pos (10 pt)


2)
Departemen/Jurusan/Laboratorium, Universitas/Institusi, Alamat, Kota, Kode Pos (10 pt)
3)
Departemen/Jurusan/Laboratorium, Universitas/Institusi, Alamat, Kota, Kode Pos (10 pt)

(kosong satu,spasi satu, 12 ft)


E-mail:corespondence_author@address.com (10ft, italic)
(Kosong Dua, spasi satu, 12 pt)
Abstrak (12pt, bold)

(Spasi satu, 12 pt)


Ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tidak lebih dari 250 kata, yang hanya terdiri dari satu
paragraf. Berisi tujuan utama penelitian, metoda yang digunakan dan yang secara singkat memberikan
gambaran aspek penting dan keterbaruan hasil penelitian. Abstrak berisi pekerjaan penulis, oleh karena itu
tidak ada sitasi di dalam abstrak. Abstrak tidak berisi duplikasi simpulan. Abstrak dilengkapi kata kunci yang
sesuai sebanyak 5 kata kunci. Abstrak ditulis dalam kolom tunggal dengan font 10.

(Spasi satu, 12 pt)


Kata kunci: 5 (lima) kata kunci (10 font), ditulis berturutan sesuai abjad.

1. Pendahuluan
Berisi latar belakang masalah atau state of the art,
yang didukung oleh beberapa sumber pustaka yang
sesuai dengan masalah yang sedang diteliti.
Tinjauan pustaka masuk di dalam latar belakang,
tidak ditulis secara terpisah. Berisi permasalahan
baru, bukan hanya mentransfer informasi dari
sumber-sumber pustaka lain. Oleh karena itu,
penulis harus menulis dengan kalimatnya sendiri
didukung oleh berbagai pustaka.
Pendahuluan juga berisi perumusan masalah
penelitian yang menunjukkan kepentingan dan
keterbaruan penelitian. Perumusan masalah ini
berisi pemenuhan kesenjangan teori, metoda atau
yang lainnya. Perumusan masalah merupakan hasil
pemikiran penulis, oleh karena itu tidak ada sitasi
sumber pustaka di dalamnya.

penting. Buatlah tujuan penting dan paling


bermanfaat dari penelitian.
Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa
Inggris. Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
ditulis dengan ejaan dan tata bahasa yang baik dan
benar. Artikel ditulis dalam bentuk ketikan satu
spasi, font 11 Times New Roman dalam dua kolom
di atas kertas A4 (210 mm x 297 mm). Margin kiri
2 cm, margin kanan 2 cm, margin atas 3,5 cm, dan
margin bawah 2,5 cm. Setiap halaman diberi
nomor halaman.
Penulisan berturutan dari latar belakang, bahan dan
metoda, hasil dan pembahasan, simpulan (jika
ada), ucapan terima kasih (jika ada) dan daftar
pustaka. Dianjurkan untuk tidak menggunakan sub
heading.
2. Bahan dan Metoda

Pada bagian akhir pendahuluan berisi tujuan


penelitian. Sama dengan perumusan masalah, tidak
ada sitasi sumber pustaka di dalamnya. Hindari
membuat tujuan terlalu banyak, tetapi tidak

Bahan dan Metoda ditulis dengan jelas, agar dapat


dimengerti bagaimana mengumpulkan data,
pengolahan dan analisa data agar mencapai tujuan.
Informasi harus ditulis cukup lengkap agar dapat

dilakukan pengulangan oleh peneliti lain, baik


sebagai perbandingan ataupun pengembangannya.
Jika diperlukan, masukkan sumber pustaka yang
digunakan dalam bahan dan metoda yang
digunakan.
Gambar rekator atau diagram yang digunakan
dalam penelitian harus terang, huruf atau angka
yang menyertainya harus dapat dibaca, paling kecil
font 9.

Gambar dibuat setimbang kiri dan kanan dan ada


satu spasi antara teks terakhir dengan gambar.
Judul gambar dibuat di bawah gambar dengan font
11 times new romans. Gambar harus terang, huruf
atau angka yang menyertainya harus dapat dibaca,
seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1. Jumlah
gambar dan table secara keseluruhan maksimum 6
(enam).
100
Fluorite (CaF2)

Fluorapatite (Ca5(PO4)3F)

Flotation
80

Fraction (%)

H2PO4

N2
ga

60

2SO4
CaSO4(aq)

H3PO4

40

Portlandite (Ca(OH)2)

Hydroxyapatite (Ca5(PO4)3OH)

Humidifie

20

+
CaHPO4

H2SO4

+
CaF

Flow
meter

10

11

12

13

pH

Gambar 1: Prediksi spesies kimia dengan


Gambar 1. Peralatan presipitasi floatasi

PHREEQC pada berbagai pH

3. Hasil dan Pembahasan

Semua artikel ditelaah secara anonim oleh mitra


bestari. Redaksi berhak menyempurnakan kalimat,
tanpa merubah maksud dari kalimat. Penulis artikel
diberi kesempatan untuk melakukan revisi atas
dasar rekomendasi dari mitra bestari atau dewan
penyunting. Panjang artikel termasuk gambar dan
tabel diupayakan minimum 10 halaman dan
maksimum 14 halaman.

Seluruh artikel yang akan dikirimkan haruslah


naskah asli hasil penelitian penulis, yang belum
pernah dipublikasikan atau dalam proses publikasi
oleh media lainnya.
Tabel harus diberi nomor secara arabic berurutan
sesuai dengan urutan pemunculannya. Tabel ditulis
dengan font 10 times new romans dan spasi
tunggal. Judul tabel ditulis font 11 di atas tabel dan
ada satu spasi antara judul dan tabel. Tabel diberi
spasi satu antara teks terakhir dengan judul tabel.
Catatan dibuat di bawah tabel.
Tabel 1. Sisa SO4 terlarut yang dipengaruhi as

rasio molar ([Ca]:[F]) pada pH 10+0.2

Artikel
dikirim
melalui
email
ke
purifikasi@its.ac.id yang tidak lebih dari 2MB.
Semua tabel dan gambar dikirim dalam bentuk jpg.
4. Simpulan dan Saran (jika ada)
Simpulan menunjukkan keterbaruan dan unggulan
dari hasil penelitian. Bukan berupa data.

(kosong satu, spasi satu font 11)


Rasio Molar
[Ca]:[F]
0,5:1

Sisa SO4
mg/L
612,56

% penyisihan

0,7:1

593,52

7,26

1:0,1

605,31

5,42

2:0,1

596,61

6,78

4,29

Ucapan terima kasih (jika ada)


Ucapan terima kasih dapat ditujukan kepada
penyandang dana dan atau orang-orang yang
terlibat di dalam penelitian

Daftar Pustaka
Disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini
dan diurutkan secara alfabetis dan kronologis,
seperti contoh berikut ini:
Allison, J.D., Brown, D.S. and Novo Gradao,
K.J.
(1991).
MINTEQA2/PRODEFA2,
A
Geochemical assessment model for environmental
system: version 3.0 users manual. Environmental
Research Laboratory USEPA .
Burns, R.T., Celen, M.I and Buchanan, J.R.
(2003). Optimization of phosphorus precipitation

from swine manure slurries to enhance recovery.


Water Science and Technology, 48 (1), 139-146.
Chang, M. F. and Liu, J. C. (2007).
Precipitation
removal
of
fluoride
from
semiconductor wastewater. J. of Environmental
Engineering, 133 (4), 419-425.
Daftar pustaka yang ditulis hanya memuat sumbersumber yang dirujuk di dalam artikel 5 tahun
terakhir. Sebanyak 80% pustaka berasal dari
artikel-artikel dalam jurnal ilmiah.

Formulir Berlangganan

FORMULIR BERLANGGANAN

Mohon dicatat sebagai pelanggan Jurnal Purifikasi:


Nama
: .....................................................................................................................
Alamat
: .....................................................................................................................
........................................................................................................................
..........................................................................(Kode Pos ..........................)

...................., ................... 20...


Harga Langganan (2 nomor untuk satu tahun)
- Rp. 150.000,00 untuk wilayah Jawa
- Rp. 200.000,00 untuk wilayah Luar Jawa

(..................................................)

FORMULIR INI BOLEH DIFOTOKOPI

Gunting dan kirimkan ke alamat Redaksi Jurnal Purifikasi

BERITA PENGIRIMAN UANG LANGGANAN


Dengan ini saya kirimkan uang sebesar:
Rp ................... untuk langganan satu tahun (2 nomor), mulai Nomor......Tahun..........

Uang tersebut telah saya kirim melalui:


Bank BNI Cabang Urip Sumoharjo Surabaya dengan No. Rek. 0251108496
a.n. Ellina S Pandebesi..
Wesel Pos dengan Resi Nomor . Tanggal .

(..................................................)

You might also like