You are on page 1of 10

CURHAT MINGGU SIANG

Oleh:
Gabriella Patricia
Kezia Clarisa
Priyanka Larasathi

SEKOLAH MENENGAH ATAS KESATUAN


Jalan Pajajaran Kompleks Pulo Armen
BOGOR

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan essay tentang Gerakan Hijau Bersinergi Kearifan Lokal untuk
Lingkungan Berkelanjutan. ini dengan baik meskipun banyak kekurangan
didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Ibu Anik Triana Dewi, S. Pd.
selaku guru pembimbing Pendidikan Lingkungan Hidup dan Ibu Dra. Melawati
selaku guru pembimbing Bahasa Indonesia yang telah memberikan tugas ini
kepada kami.
Kami sangat berharap essay ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai dampak yang ditimbulkan
dari kearifan lokal untuk lingkungan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam essay ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan essay yang telah
kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun.
Semoga essay sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Bogor, 5 November 2015

Penulis

!i

DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...............................................................................................i
Daftar Isi ........................................................................................................ii
Riwayat Penulis .............................................................................................1
Isi....................................................................................................................2
Daftar Pustaka ................................................................................................7

!ii

RIWAYAT PENULIS
Essay ini ditulis oleh tiga orang yaitu:
Kezia Clarisa, lahir di Jakarta, 1 Oktober 1998. Berumur 17 tahun yang
bersekolah di SMA Kesatuan Bogor kelas XII IPA 1. Hobi-hobinya
berhubungan seputar seni, mulai dari seni lukis hingga seni tulis. Dikenal
sebagai seorang yang aktif dalam berorganisasi, ia adalah anak kedua dari tidak
bersaudara.
Priyanka Larasathi, lahir di Jakarta, 4 Juni 1998. Berumur 17 tahun yang
bersekolah di SMA Kesatuan Bogor kelas XII IPA 1. Anak pertama dari dua
bersaudara ini memiliki hobi berdebat dengan berbagai prestasi juga aktif
berorganisasi.
Gabriella Patricia, berumur 16 tahun yang bersekolah di SMA Kesatuan Bogor
kelas XI IPA 2. Ia memiliki hobi membaca dengan The Prince sebagai buku
favoritnya.

!1

Curhat Minggu Siang


Rintik-rintik hujan membasahi jendela kamarku. Aku tahu tempat ini dijuluki
kota hujan tapi bukan seperti ini caranya! Apakah harus kota ini menempati
reputasinya hingga setiap hari yang kulihat hanya hujan, hujan, dan hujan? Aku
bosan melihatnya, siang hari pun kondisinya seperti ini! Bagaimana aku tidak
kesal? Pemandangan sehari-hariku selalu sama, hujan dan daun-daun yang
berjatuhan. Belum ditambah dengan dua pohon cemara dan rerumputan yang
berada di celah kedua pohon itu. Kamarku memang dilengkapi sebuah jendela
besar. Namun, betapa bosannya jika aku harus terus melihat pemandangan yang
selalu sama. Ugh! Aku kesal! Aku ingin perubahan! Ini membosankan!
Rintik-rintik hujan terus turun tanpa mempedulikan keluhanku. Mereka saling
berpacu di jendela kamarku, membuat kubangan-kubangan kecil di halaman yang
awalnya sempurna. Ayahku pasti bisa botak melihat kondisi halaman esok.
Sekelabat warna kuning menyala menarik perhatianku, ternyata itu adikku! Ia
memakai jas hujan berwarna kuning menyala, melompat-lompat dari satu
kubangan ke kubangan lainnya dengan begitu gembira. Heran.hujan seperti ini
sudah biasa, apa ia tidak merasa bosan? Tentunya semua orang merasa bosan
bukan? Semua makhluk malahan. Kebosanan itulah yang membuat bumi berputar,
yang membuat inovasi-inovasi baru setiap harinya. Karena kita, manusia, kita
cepat bosan! Yang baru selalu lebih baik dari yang lama, inilah prinsip utama.
Hujan turun lebih lebat kini, adikku menghilang dari pandangan. Sepertinya ibu
menjewernya karena telah keluar tanpa permisi. Aku masih berpikir ini aneh,
pernah kujumpai anak-anak sebayanya (kelas 3 SD) berkeluyuran di mall bersama
teman-teman tanpa orangtua, apa mereka juga telah permisi kepada orangtua
mereka? Sepertinya tidak mungkin. Konsep permisi itu sendiri agak asing
ketelingaku. Maklum, baru akhir-akhir ini orangtuaku menerapkan sistem
pengasuhan yang ketimur-timuran, mereka biasanya lebih liberal. Aku mulai
penasaran sekarang, apa sebenarnya inti dari konsep permisi itu sendiri?

!2

Konsep ini telah ada sejak zaman ibu dari ibu dari ibu dari ibu kita, bahkan
mungkin tak terhitung sudah jumlah ibu-ibu yang telah menerapkan konsep ini.
Konsep ini lebih dikenal masyarakat luas dengan nama norma yaitu bentuk
nyata dari nilai-nilai sosial di dalam masyarakat yang berbudaya, memiliki aturanaturan, dan kaidah-kaidah, baik yang tertulis maupun tidak. Norma-norma ini
hidup dan tumbuh di masyarakat. Dan karena luasnya Nusantara ini, tidak
mengherankan bahwa norma-norma berbeda berkembang di daerah-daerah yang
berbeda pula. Orang-orang di dataran rendah yang hidup bersandingan dengan
nyiur tentunya memiliki norma-norma yang berbeda dari mereka yang tinggal di
dataran tinggi, di bawah rindangnya hawa priangan. Maka berkembanglah suatu
norma yang bersifat kedaerahan, norma-norma yang konon dihapuskan oleh
Sumpah Pemuda.
Mereka berkembang di masing-masing daerah sebagai tali-tali yang mengikat,
suatu hal mutlak yang menakutkan. Mereka bernama budaya. Tetapi manusia
meski makhluk sosial tidak hanya berinteraksi dengan sesamanya, kita juga
berteman bersama dedaunan. Gemerisik air, dentuman petir di udara, dan bau
tanah yang kental menciptakan suatu hubungan antara kita dengan alam,
hubungan yang kita namakan kearifan lokal.
Hujan mulai reda sekarang. Ada yang berbeda. Burung-burung yang tadinya entah
menghilang kemana muncul kembali dengan opera mereka. Aku terhentak
bangun.

!3

Mimpi itu lagi, tapi kini berbeda. Kini terasa sangat nyata, masih menyisakan rasa
di lidahku. Seperti secangkir kopi Toraja yang tidak pernah benar-benar mengenal
Tanah Toraja. Sudah lima tahun aku tidak melihat apa pun yang hijau di luar
jendela kamarku. Terbabat habis semua. Mereka datang menjanjikan pertumbuhan
ekonomi yang terus mengkerdil, mereka serakah, mereka tidak ingin kerdil
sendiri.
Selamat datang ke realita, 4 November 2020. Hari Minggu pukul 12:00. Kukutuk
diriku yang begitu tegangnya hingga jam biologis ku pun berdisiplin. Lima tahun
yang lalu aku duduk di tempat ini mengutuki semuanya, be careful what you
wish for. Kabut asap muncul pertama, membunuh mereka yang seharusnya
paling bersahabat dengan alam dari dalam ke luar, lalu lumpur di timur, dan
ibukota kini dikuasai hiu-hiu yang berbeda. Hiu-hiu ini sudah tidak memakai dasi
dan pakaian perlente, mereka kini bergigi 50 pasang. Wilayah Nusantara tinggal
seperempatnya.
Aku berdoa kepada Gaia. Mungkin kau bilang aku kafir, memang aku tak pernah
memilih satu sejujurnya. Ibuku Hindu, ayahku Katolik, kakakku Yahudi, adikku
atheis, aku politeis. Aku pragmatis. Tergantung mana yang benar-benar
kubutuhkan saat itu, dan Gaia dibutuhkan semua orang saat ini.
Gaia, apa yang harus kulakukan sekarang?
Tak ada.
Maksudmu?
Cukup.
Tidak cukup! Ambil-lah aku!
Bukan tempatku untuk mengambilmu.
Lalu tempat siapa? Bukankah kau adikuasa yang sama?
Tempatmu, manusia untuk mengambil dirimu sendiri. Kalian mengira bahwa ini
kutukan dari alam, karma karena tidak bersahabat. Kalian salah besar. Tak
mengertikah kalian? Alam selalu menang. Bagaimanapun kondisi dunia, dari
zaman api masih membara di permukaan hingga es membekukan udara, alam
tetap ada dalam harmoni. Kalian hanya mengubah kondisi bagi alam, dan alam

!4

selalu bisa beradaptasi. Bagaimana pun caranya. Masih tak mengertikah kalian?
Bukan alam yang menjadi tak kuasa karena kalian, kalian yang menjadi tak kuasa
karena alam. Alam siap berubah kapan saja. Apakah kalian siap? Kalian
mengubah alam dengan sangat cepat hingga kalian melupakan apakah kalian
sendiri masih bisa hidup di alam yang sudah berubah itu.
.
Aku mulai gila
Betapa tidak? Aku mulai berbicara dengan diriku sendiri. Radio tua ini usang.
Internet masih terpelihara katanya. Tapi teknologi solar yang kumiliki hanya
cukup untuk penerangan.
Siapa pun di luar sana...tolonglah
Aku letih, mataku terasa berat. Mungkin sudah waktunya, asap masih berkerumun
di awan-awan. Paru-paru para perokok tidak ada yang tahan, tapi bukan berarti
mereka yang tidak merokok terselamatkan. Mereka mati lebih lama, dengan cara
yang lebih keji. Mereka melihat orangtua mereka tertimbun lumpur dan anak-anak
mereka mengelupas kulitnya. Mataku semakin berat. Aku semakin tak kuasa.
.
Aku terbangun di lantai, di atas pigura berdebu yang ku jatuhkan. Debunya
berbeda, menempel pada kulitku. Wajah ibu terlihat di balik kaca. Sejujurnya aku
tak pernah tahu apa yang terjadi pada ibu. Tapi aku ingat ibu bercerita tentang
masa kecilnya, pematang-pematang sawah hijau bertebaran. Hijau! Hijau yang
memuakkan! Memuakkan saat ada di mana-mana, memuakkan saat tak ada sama
sekali! Benci! Benci! Benci!
Apa yang dimiliki saat zaman ibu yang tidak ada hari ini? Hari ini lebih bagus!
Kita punya internet, kita punya mobil, kita punya listrik. Sedangkan teknologi
tercanggih yang dimiliki ibu dahulu hanyalah lampu petromaks. Aku jadi teringat
mimpiku tadi...Itu dia! Mereka punya norma-norma, mereka punya budaya, dan
mereka punya kearifan lokal.
Awal millenia baru yang membawa banyak pro Internet! Tidak lagi kita harus
bersusah-susah membawa segunung buku kemana-mana, cukup dengan beberapa

!5

sentuhan dan informasi yang kita inginkan akan tampil. Tidak lagi kita harus
mengirim surat dan menanti untuk berminggu-minggu untuk pesan kembali,
cukup menunggu beberapa detik untuk menerima balasan. Setiap detik informasi
baru diproses melalui Internet. Begitu banyak pengetahuan tersedia yang dapat
kita serap dengan begitu mudah tentang segala macam hal, bahkan tentang
pengetahuan itu sendiri. Terkadang aku masih kagum dengan kemampuan kita
sebagai manusia, seluruh kecerdasan yang ada di balik otak kita sampai kita
mampu menciptakan inovasi sedemikian hebatnya seperti Internet ini.
Tapi tentu saja, dengan munculnya kebaikan maka keburukan pun turut muncul.
Sehari-hari aku mendengar berita tentang penipuan, pencurian identitas,
pencucian dan pemalsuan uang, dan lebih keji lagi, pornografi anak. Aku heran,
mengapa begitu banyak orang yang mampu melakukan hal-hal sekeji itu?
Mengapa begitu banyak tega menggunakan dan memperlakukan sesamanya
sedemikian rupa?
Karena dengan berjalannya abad yang baru ini, kita mulai melupakan yang sudah
lalu. Kita mulai mengabaikan jejak yang ditinggalkan oleh tokoh-tokoh yang telah
memperbolehkan kita untuk menikmati masa ini. Kita menyimpang dari jalan
tradisi kita dan membelakangi pelang-pelang norma dan nilai yang jelas-jelas ada
di hadapan kita. Kita terhanyut dengan arus sungai yang deras tanpa memiliki
pegangan yang jelas. Kita menginjak-injak akar-akar tradisi kita karena
menganggap tidak perlu, tidak dibutuhkan di era kini.
Bila dipikirkan kearifan lokal yang telah dengan mudahnya kita tinggalkan itu
sebenarnya kunci keselamatan kita selama ini. Penjelasan di atas memberikan
petunjuk bahwa pendidikan karakter merupakan satu usaha yang dilakukan secara
sistematis dan produktif bukan hanya sesuai kebutuhan bangsa dan negara, tapi
untuk kebutuhan semua.

!6

DAFTAR PUSTAKA

Aunillah, I.N. (2011). Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah.


Yogyakarta: Laksana.
Bestari, P dan Syam, S. (2010). Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
dalam Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Laboratorium PKn
Universitas Pendidikan Indonesia.
Eddy. (2009). Kontinuitas Sejarah dan Pengembangan Kebudayaan Nasional
dalam Pembinaan Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Jurnal IPS. vol 17,
(32), 1-6.

!7

You might also like