You are on page 1of 5

PENDAHULUAN

Pembagian klasifikasi hipertensi secara periodik selalu dikembangkan oleh


Joint National Committee (JNC) untuk pendeteksi, evaluasi dan penatalaksanaan
pada tekanan darah tinggi. JNC mengklasifikasikan hipertensi pada empat
stadium: normal, prehypertension, stage I dan stage II (tabel I) (James PA,
et.al. 2014 Evidence-Based Guideline for The Management of High
Blood Pressure in Adults: Report from the Panel Members Appointed to
the Eighth Joint National Committee (JNC 8). 2014 Guideline for
Management of High Blood Pressure. JAMA. 2014;311(5):507-520.)

Tabel I. klasifikasi hipertensi berdasarkan Joint


National Comitte (JNC)-7

Menurut klasifikasi JNC VII pasien dengan tekanan darah sistolik > 180
mmHg atau diastolik > 110 mmHg dimasukkan ke dalam kategori tersebut.
Hampir seluruh episode krisis hipertensi berhubungan dengan tekanan darah
diastolik > 120 mmHg. (Flanigan JS, Vitberg D. Hypertensive emergency
and severe hypertension: what to treat, who to treat and how to treat.
Med Clin N Am 2006;90:439-51.) (chobanian AV, Bakris GL, Black HR,
et.al. Seventh report of Joint National Committe of High Blood Pressure.
Hypertension 2003. Dec; 42(6): 1206-52). Hanya sebagian kecil pasien
dengan hipertensi yang datang dengan krisis hipertensi, sekitar 1-2%. (Hebert
CJ. Vidt DG. Hypertensive crises. Prim Care Clin Office Pract
2008:35:475-87.)

KRISIS HIPERTENSI
Epidemiologi krisis hipertensi mirip dengan hipertensi (yaitu lebih tinggi di
antara Afrika- Amerika dan orang tua); Namun, penderita pada laki-laki lebih
banyak dua kali lebih sering daripada wanita. Diperkirakan 1% dari pasien
hipertensi akan, pada suatu waktu, berubah menjadi krisis hipertensi. (Varon J,
et.al. Treatment of Acute Severe Hypertension Current and Newer
Agents. The University of Texas Health Science Center at Houston,
Houston, Texas, USA. Drugs 2008; 68 (3)). Krisis hipertensi dibagi menjadi
dua kelompok: i. hipertensi emergensi, ii. Hipertensi urgensi. Pembagian krisis
hipertensi diatas berdasarkan ada atau tidaknya keterlibatan target organ.
KLASIFIKASI

Krisis hipertensi dimasukkan ke dalam hipertensi emergensi bila terdapat


kerusakan organ target, sebaliknya pada urgensi. (Marik PE, Varon J.
Hypertensive crisis: challenges and management. Chest 2007;131:194962.) Sumber lain membagi menjadi tiga kategori, yaitu hipertensi berat, urgensi,
dan emergensi. Seorang pasien dikatakan hipertensi berat bila tekanan darah
melebihi 180/110 tanpa gejala selain nyeri kepala ringan atau sedang, dan tidak
ditemukan tanda-tanda kerusakan target organ. Hipertensi urgensi ditemukan
bila tekanan darah melebihi 180/110 dengan gejala signifikan seperti nyeri
kepala berat atau sesak, tanpa atau dengan sedikit kerusakan target organ.
Hipertensi emergensi ditemukan bila tekanan darah sangat tinggi (dapat
mencapai 220/140) dengan adanya tanda-tanda disfungsi organ yang
mengancam nyawa. (Hebert CJ. Vidt DG. Hypertensive crises. Prim Care
Clin Office Pract 2008:35:475-87.) Selain itu, ada istilah lama yaitu hipertensi
maligna, dimana tekanan darah tinggi disertai papilledema (retinopati grade IV).
Klasifikasi yang umum dipakai adalah klasifikasi pertama, yaitu hipertensi
emergensi dan urgensi saja. Membedakan kedua kondisi tersebut penting dalam
hal tatalaksana. Pada pasien dengan hipertensi urgensi, tekanan darah perlu
diturunkan dalam waktu 24-48 jam, sementara pada hipertensi emergensi
tekanan darah diturunkan secepatnya, walaupun tidak sampai kondisi normal.
((Marik PE, Varon J. Hypertensive crisis: challenges and management.
Chest 2007;131:1949-62.)
HIPERTENSI EMERGENSI

PATOFISIOLOGI
Cepatnya kerusakan target organ dan beratnya peningkatan tekanan darah pada
saat pasien datang disebabkan oleh kegagalan fungsi autoregulasi normal dan
peningkatan mendadak tahanan vaskular perifer. Kondisi tersebut menyebabkan
kerusakan endovaskular dengan nekrosis pada arteriol. Peristiwa yang terjadi
kemudian yaitu iskemia, deposisi platelet, dan pelepasan zat-zat vasoaktif
memperparah kondisi klinis pasien.
Pada kondisi normal, perfusi ke jaringan otak, jantung dan ginjal relatif konstan,
walaupun terjadi perubahan tekanan darah. Pada kondisi hipertensi berat,
kemampuan untuk autoregulasi bergeser ke atas agar tidak terjadi kerusakan
akibat tekanan darah berlebihan. Pada kondisi normal dan kondisi autoregulasi
bergeser ke atas, ambang batas untuk autoregulasi (ambang batas sebelum
terjadi hipoperfusi) adalah sebesar 20-25% dari tekanan darah saat itu.
Observasi tersebut menjadi dasar rekomendasi penurunan tekanan darah
sebesar 20% pada hipertensi emergensi.2
Walaupun seluruh pasien dengan hipertensi emergensi datang dengan tekanan
darah tinggi, gejala yang dikeluhkan seringkali bervariasi tergantung organ mana
yang terpengaruh. Organ terget penting pada hipertensi emergensi yaitu otak,
jantung, ginjal, dan uterus gravid. Sebuah studi oleh Zampaglione et al

menyebutkan bahwa pada 83% kasus terjadi kerusakan satu target organ, 14%
pada dua organ, dan 3% pada tiga organ atau lebih. 1,2 Tabel 1 menunjukkan
prevalensi kerusakan masing-masing target organ.
Tabel 1. Prevalensi kerusakan target organ 2

EVALUASI
Evaluasi awal krisis hipertensi cukup dilakukan dengan runut. Anamnesis dan
pemeriksaan fisis dapat menunjukkan organ mana yang mengalami gangguan.
Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan dengan manset yang sesuai. Begitu
pula nadi diperiksa pada keempat ekstremitas, auskultasi paru untuk mencari
edema paru, auskutasi jantung untuk mencari murmur/gallop, auskultasi arteri
renalis untuk mencari bruit dan pemeriksaan neurologis serta funduskopi.
Setelah pemeriksaan fisik dapat dilakukan pemeriksaan EKG atau kimia klinik
yang sesuai. Foto Rontgen thorax dapat dilakukan untuk menilai volume darah
dan ukuran jantung serta penapisan awal terjadinya diseksi aorta akut. Pasien
diseksi aorta akut datang dengan gejala nyeri dada berat atau menyayat atau
nyeri abdomen terutama menjalar ke punggung, dapat dilakukan pemeriksaan
CT dengan kontras. Akan tetapi, fungsi ginjal perlu diperhatikan mengingat ginjal
juga merupakan organ target hipertensi emergensi. Pada pasien dengan keluhan
neurologis yang dicurigai berasal dari otak, CT tanpa kontras dapat dilakukan. 2
PENATALAKSANAAN
Setelah mendapatkan kecurigaan adanya kerusakan target organ, terapi harus
diberikan secepatnya dengan beberapa prinsip:
1. Inisiasi terapi dengan obat yang tersedia, walaupun evaluasi menyeluruh
belum selesai.
2. Pastikan staf medis familiar rentang dosis, teknik pemberian, pengawasan
tekanan darah, dan efek samping pemberian obat.
3. Perhatikan aspek praktis pemberian terapi. Pasien yang perlu ditransport ke
beberapa tempat untuk evaluasi radiologi, ICU, cath lab, dan kamar operasi
menyulitkan dalam pemberian infus secara kontinyu.

4. Ingat prinsip primum non no cere, jangan membuat organ yang sudah
hipoperfusi menjadi lebih berat, cegah perubahan tekanan darah naik-turun
agar fungi autoregulasi dapat berjalan.
Pengobatan hipertensi emergensi perlu mempertimbangkan kerusakan organ
target sehingga obat yang diberikan spesifik untuk organ target yang mengalami
kerusakan. Tabel 2 menunjukkan obat untuk masing-masing kondisi.
Tabel 2. Kerusakan organ target dan terapi yang sesuai. 1

Pemberian obat dalam penanganan hipertensi emergensi perlu dilakukan dengan


cermat dan dengan dosis yang sesuai. Pemantauan terhadap kondisi klinis,
tekanan darah, dan efek samping obat yang mungkin timbul harus dilakukan
secara berkala. Pada tabel 3 ditunjukkan cara pemberian obat, dosis, dan efek
samping yang mungkin timbul.
Tabel 3. Obat antihipertensi, dosis dan efek samping yang mungkin timbul. 1

REFERENSI

1. Marik PE, Varon J. Hypertensive crisis: challenges and management. Chest


2007;131:1949-62.
2. Flanigan JS, Vitberg D. Hypertensive emergency and severe hypertension:
what to treat, who to treat and how to treat. Med Clin N Am 2006;90:439-51.
3. Hebert CJ. Vidt DG. Hypertensive crises. Prim Care Clin Office Pract
2008:35:475-87.

You might also like