You are on page 1of 27

Politik dan Kebijakan Pemerintah Tentang Madrasah Di Indonesia

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


Politik Pendidikan Nasional
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Hamruni, M. Si

Disusun Oleh :
Mat Suef
NIM. 1520411074
Unik Hanifah Salsabila
NIM. 1520411044

PROGRAM MAGISTER
PRODI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2015/2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Madrasah adalah salah satu jenis lembaga pendidikan Islam yang
berkembang di Indonesia di samping pendidikan berbasis masjid dan
pesantren. Madrasah mewarisi berbagai ciri dan kekhasan yang masih sangat
konsisten hingga saat ini, baik secara tipikal maupun dari aspek muatannya
secara substantif, bahkan budaya yang dikembangkan oleh masyarakat yang
membesarkannya.
Madrasah pertama kali didirikan di Padang Panjang oleh tokoh
Zainuddin Labai pada tanggal 10 Oktober 1915. Pada saat itu madrasah
mengajarkan pelajaran umum di samping pelajaran agama, sebelum pada
akhirnya berkembang lembaga-lembaga serupa di berbagai daerah.
Paska kemerdekaan, sistem pendidikan yang dikembangkan secara
resmi oleh pemerintah adalah sistem sekolah, sebuah sistem pendidikan
warisan Belanda, dan bukan sistem madrasah. Madrasah sebagai lembaga
pendidikan yang didirkan oleh masyarakat tetap berjalan pada jalannya dan
terpisah dari mainstream pendidikan nasional.
Saat ini, puluhan tahun sudah kolonialisme berakhir di bumi
Indonesia namun kebijakan yang cenderung diskriminatif warisan para
kolonial seakan belum sepenuhnya hilang. Adakan kesan seakan-akan
kebijakan Pemerintah RI terkait dengan madrasah, diakui atau pun tidak,
benar-benar mengadopsi ketakutan politis dan ideologis ala Belanda. Sebab
secara eksplisit maupun implisit, separasi kelembagaan antar sekolah yang
dikembangkan pemerintah dengan model pendidikan madrasah dan pondok
pesantren terus berlanjut tanpa upaya mediasi yang berarti. Faktor inilah yang
paling dirasakan secara nyata oleh masyarakat.

Bangunan personifikasi

madrasah tidaklah

sederhana, sebab

pendiriannya didorong oleh semangat dan cita-cita luhur mengejawantahkan


nilai-nilai Islam dalam sebuah sistem pendidikan. Masyarakat muslim
berupaya melaksanakan pendidikan yang sejalan dengan visi dan misi
religiusitasnya. Islam ditempatkan sebagai sumber nilai yang akan diwujudkan
dalam seluruh kegiatan pendidikan. Secara perlahan namun pasti, madrasah
pun turut ambil bagian dalam upayanya memenuhi kebutuhan dan tuntutan
perubahan kehidupan masyarakat di era global. Dan dalam hal ini, peran aktif
pemerintah untuk tetap menjaga eksistensi madrasah merupakan faktor yang
sangat penting.
Oleh karenanya, penulis akan mencoba memaparkan tentang
kebijakan pemerintah terkait eksistensi madrasah dari era pra kemerdekaan
sampai era reformasi sebagai batasan pembahasan dalam tulisan ini.

B. Rumusan masalah

1) Bagaimana latar belakang munculnya madrasah?


2) Bagaimana kebijakan pemerintah tentang madrasah di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Madrasah di Indonesia
Madrasah merupakan isim makan dari darasa, artinya tempat duduk
untuk belajar.1 Padanan madrasah dalam bahasa indonesia adalah sekolah
lebih dikhususkan bagi sekolah-sekolah agama Islam. Dari Shorter
Encyclopedia of Islam, diartikan: Name of an Institution where the Islamic
science are studied yang artinya: Nama dari suatu lembaga di mana ilmuilmu keislaman diajarkan.2
Berdasarkan keterangan tersebut dapat dipahami bahwa madrasah
penekaannya adalah sebagai suatu lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu
keislaman. Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, mulai didirikan dan
berkembang di dunia Islam sekitar abad V H atau abad X-XI M, ketika
penduduk Naisabur mendirikan lembaga pendidikan Islami model madrasah
tersebut pertama kalinya. Tersiarnya madrasah justru melalui menteri dari
kerajaan Bani Saljuk yang bernama Nizham Al-Mulk yang mendirikan
madrasah Nizhamiyah tahun 457 H/1065 M dan merupakan madrasah
terbesar pada masa Salahudin Al-Ayyubi.3
Pada madrasah-madrasah tersebut diajarkan ilmu-ilmu aqliyah,
naqliyah, dan lisaniyah. Ilmu-ilmu aqliyah adalah ilmu yang bersumber dan
bertolak dari asas pemikiran dan penelitian manusia seperti, ilmu pasti,
kedokteran, filsafat, dsb. Sedangkan ilmu naqliyah adalah ilmu-ilmu yang
bersumber dari al-Quran dan al-Hadist seperti, tafsir, hadist, fiqh, tauhid, dan

1 Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islami, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2014), hal. 125.
2 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2007), hal. 94.
3 Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islami , hal. 125.

tasawuf. Adapun ilmu-ilmu lisaniyah seperti, sharaf, mantiq, balaghah, dan


sebagainya.4
Tumbuh dan berkembangnya madrasah di Indonesia tidak dapat
dipisahkan dengan tumbuh dan berkembangnya ide-ide pembaharuan di
kalangan umat Islam. Di antara ulama yang berjasa dalam menggagas
tumbuhnya madrasah di Indonesia antara lain Syekh Abdullah Ahmad, pendiri
Madrasah Adabiyah di Padang tahun 1909. Pada tahun 1915 Madrasah ini
menjadi HIS Adabiyah yang tetap mengajarkan agama. Syeh M. Taib Umar,
mendirikan madrasah school di Batu Sangkar pada tahun 1910. Kemudian tiga
tahun madrasah ini ditutup dan baru dibuka pada tahun 1918 oleh Mahmud
Yubus dan pada tahun 1923 madrasah berganti nama Diniyah school.
Madrasah diniyah inilah yang kemudian berkembang di Indonesia, baik
merupakan bagian dari pesantren dan surau, maupun berdiri di luarnya.
Di kalangan organisasi Islam yang melaksanakan pembaharuan
dalam bidang pendidikan, tercatat diantaranya Muhammadiyah yang didirikan
di Yogyakarta oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912.
Organisasi Al-Irsyad didirikan di Jakarta tahun 1913. Lembaga ini mengasuh
sekolah umum dan agama, memiliki Madrasah Awaliyah 3 tahun, Madrasah
Ibtidaiyah 4 tahun, Madrasah Tajhiziyah 2 tahun, Madrasah Mualimin 4
tahun, dan Madrasah Takhasus 2 tahun. Organisasi PUI (Persatuan Ummat
Islam) yang didirikan oleh KH. A. Halim pada tahun 1917 dan Nahdatul
Ulama yang didirikan oleh KH. Hasyim Asyari pada tahun 1926 juga banyak
mendirikan madrasah dengan susunan: Madrasah Awaliyah 2 tahun, Madrasah
Ibtidaiyah 3 tahun, Madrasah Tsanawiyah 3 tahun, Madrasah Mualimin
Wustha 2 tahun, dan Madrasah Mualimin Ulya 3 tahun.
Madrasah-madrasah tersebut, baik yang dikelola oleh organisasi
maupun pribadi, belum menunjukkan keseragaman dalam berbagai hal seperti

Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia ,

hal. 96.

lamanya belajar, jenjang pelajaran dan kurikulum. Dalam perbandingan antara


bobot mata pelajaran agama dan umum, juga berbeda antara satu madrasah
dengan madrasah lainnya,

namun

belum

ada

yang mencantumkan

perbandingan dalam persentase.5


B. Kebijakan Pemerintah tentang Madrasah Di Indonesia
1. Kebijakan Pendidikan Islam Madrasah pada Masa Orde Lama
(1950-1959)
Madrasah sejak tumbuhnya merupakan lembaga pendidikan yang
mandiri dan tanpa bantuan serta bimbingan dari pemerintah kolonial
Belanda. Setelah Indonesia merdeka, madrasah dan pesantren mulai dapat
perhatian dan pembinaan dari pemerintah Republik Indonesia. UUD 1945
mengamanatkan, agar mengusahakan terbentuknya suatu sistem pendidikan
dan pengajaran yang bersifat nasional (UUD 1945 Pasal 31:2).
Dalam rangka merealisasikan amanat tersebut, maka Badan
Komite Nasional Indonesia Pusat (BKNIP) sebagai Badan Pekerja MPR
pada masa itu, merumuskan pokok-pokok Usaha Pendidikan dan
Pengajaran, yang terdiri dari 10 pasal. Pada pasal 5 tertanggal 27 Desember
1945, disebutkan bahwa:
Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah salah satu alat
dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat
berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat
perhatian dan bantuan yang nyata berupa tuntunan dan bantuan materiil
dari pemerintah.
Meskipun Indonesia baru memproklamirkan kemerdekaannya dan
tengah menghadapi revolusi fisik, pemerintah Indonesia sudah berbenah
terutama masalah pendidikan yang dianggap cukup vital, sehingga
dibentuklah Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan

Ibid, hal. 96-99.

K). Dengan terbentuknya Kementerian P & K tersebut, maka diadakanlah


berbagai

usaha

terutama sistem pendidikan

untuk

menyelesaikan

problematika pendidikan pada saat itu dengan keadaan yang baru.


Tindakan pertama yang diambil pemerintah Indonesia ialah
menyesuaikan

pendidikan

dengan

tuntutan

dan

aspirasi

rakyat,

sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 31 berbunyi;


1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan
2) Pemerintah mengusahakan suatu sistem pengajaran nasional yang
diatur dengan undang-undang.
Pembinaan pendidikan agama itu secara formal institusional
dipercayakan kepada Departemen Agama dan Departemen P & K.
Sehingga dikeluarkanlah peraturan-peraturan bersama antara kedua
departemen tersebut untuk mengelola pendidikan agama di sekolahsekolah umum. Adapun pembinaan pendidikan agama di sekolah agama
ditangani oleh Departemen Agama.
Departemen Agama didirikan pada tanggal 3 Januari 1946, sebagai
perwujudan dari falsafah hidup bangsa Indonesia yang religius. Salah satu
bidang garapan Departemen Agama adalah bidang pendidikan agama,
seperti madrasah, pesantren dan mengurus pendidikan agama di sekolahsekolah umum. 6
Dalam hal ini untuk pembinaan dan tuntunan, wewenang
diserahkan kepada

Departemen

Agama. Maksud

dilaksanakannya

pembinaan adalah agar madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam


berkembang secara terintegrasi dalam satu sistem pendidikan nasional,
sebagaimana

yang

dikehendaki

oleh

UUD

1945,

meskipun

pelaksanaannya tidak begitu berjalan mulus, karena masih adanya sikap

Ibid, hal. 100.

sebagian masyarakat yang masih tidak mau bekerja sama dengan


pemerintah, satu sikap peninggalan yang ditujukan untuk penjajah
Belanda.
Selanjutnya dalam rangka meningkatkan kualitas madrasah sesuai
dengan sasaran BKNIP agar madrasah dapat bantuan materiil dan
bimbingan dari pemerintah, maka Kementerian Agama mengeluarkan
Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 1952. Menurut ketentuan ini, yang
dinamakan madrasah ialah:
Tempat pendidikan yang telah diatur sebagai sekolah dan memuat
pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok
pengajaran
Berdasarkan ketentuan tersebut, jenjang pendidikan pada madrasah
tersusun sebagai berikut:
a. Madrasah rendah atau sekarang lazim dikenal sebagai Madrasah
Ibtidaiyah, ialah madrasah yang memuat pendidikan dan ilmu
pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajarannya, lama
pendidikan 6 tahun.
b. Madrasah lanjutan Tingkat Pertama atau sekarang dikenal sebagai
Madrasah Tsanawiyah ialah madrasah yang menerima murid-murid
tamatan madrasah rendah atau sederajat dengan itu, serta memberi
pendidikan dalam ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok, lama
pendidikan 3 tahun.
c. Madrasah Lanjutan Atas atau Madrasah Aliyah, ialah madrasah yang
menerima muri-murid tamatan madrasah lanjutan pertama atau yang
sederajat dalam memberi pendidikan dalam ilmu pengetahuan agama
Islam sebagai pokok, lama belajar 3 tahun.7

7 Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam Dari Ordonansi Guru Sampai UU Sisdiknas,
(Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2013), hal. 97.

Sebelum lahirnya Peraturan Menteri Agama tersebut, pembinaan


dan pengembangan madrasah untuk tahap pertama sudah dilakukan
Kementerian Agama yaitu untuk mengarahkan agar madrasah dapat diakui
sebagai penyelenggara kewajiban belajar, sebagaimana yang dikehendaki
pasal 10 ayat 2 UU Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan
dan Pengajaran di sekolah. Dalam hal ini pemerintah menggariskan
kebijakan bahwa madrasah yang diakui dan memenuhi syarat untuk
menyelenggarakan kewajiban belajar, harus terdaftar pada Kementerian
Agama. Untuk dapat terdaftar, maka persyaratan utama adalah, madrasah
yang bersangkutan harus memberikan pelajaran agama sebagai mata
pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu secara teratur di samping
mata pelajaran umum.8
Dengan persyaratan tersebut, maka diadakanlah pendaftaran
madrasah-madrasah yang memenuhi persyaratan, sehingga pada tahun
1954 madrasah-madrasah yang memenuhi persyaratan untuk seluruh
Indonesia, jumlahnya sudah cukup banyak seperti tabel berikut;
TINGKAT
MADRASAH
Madrasah Ibtidaiyah
Madrasah
Tsanawiyah
Madrasah Aliyah
Jumlah

JUMLAH
MADRASAH
1.057 buah
776 buah

JUMLAH MURID

16 buah
1.849 buah

1.881
2.017.590

1.927.777
87.932

Begitu juga bagi madrasah yang menginginkan bantuan dari


pemerintah baik berupa uang, alat-alat, ataupun tenaga. Maka madrasah
yang bersangkutan harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya:
a) Telah berdiri secara terus-menerus minimal 1 tahun
b) Memiliki organisasi yang teratur
c) Pendiri madrasah tersebut diinginkan oleh masyarakat

Ibid, hal. 99.

d) Disamping pendidikan agama, madrasah tersebut memberikan


pengajaran umum sekurang-kurangnya 30% dari jumlah pengajaran
seluruhnya seminggu.
Bila semua terpenuhi, maka madrasah berhak untuk mendapatkan
bantuan dari pemerintah. Madrasah yang menerima bantuan mempunyai
kewajiban melaporkan dan mempertanggung jawabkan penggunaan
bantuan yang diterima dan harus bersedia menerima inspeksi dari jawatan
Pendidikan Agama agar mutu madrasah yang bersangkutan dapat
dikontrol dan ditingkatkan.9
2. Kebijakan Pendidikan Islam Madrasah pada Masa Orde Baru
(1966-1998)
Pada awal-awal masa pemerintahan Orde Baru, kebijakan tentang
madrasah bersifat melanjutkan dan meningkatkan kebijakan madrasah
pada masa Orde Lama. Pada tahap ini madrasah belum dipandang
sebagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat lembaga
pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama. Hal ini
disebabkan pendidikan madrasah masih didominasi oleh muatan-muatan
agama, menggunakan kurikulum yang belum standar, memiliki struktur
yang tidak seragam, dan kurang terpantaunya manajemen madrasah oleh
pemerintah.
Menghadapi kenyataan tersebut diatas, langkah pertama dalam
melakukan pembaharuan adalah dikeluarkannya Kebijakan Menteri
Agama Tahun 1967 sebagai respon terhadap TAP MPR No. XXVII Tahun
1966. Dengan melakukan formalisasi dan strukturisasi madrasah.
Formulasi ditempuh dengan menegerikan sejumlah madrasah dengan

Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia ,

hal. 98.

10

kriteria tertentu yang diatur oleh pemerintah di samping melahirkan


madrasah-madrasah baru.10
Maka sejak tahun 1967 posisi madrasah tambah baik lagi, dimana
sejak itulah terbuka kesempatan untuk menegerikan madrasah swasta
untuk semua tingkatan, yaitu Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN),
Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN), Madrasah Aliyah Agama Islam
Negeri (MA AIN). Sebagai berikut;
TINGKAT MADRASAH NEGERI
Madrasah Ibtidaiyah Negeri
Madrasah Tsanawiyah Negeri
Madrasah Aliyah Negeri
Jumlah

JUMLAH MADRASAH
358 buah
182 buah
42 buah
1.849 buah

Sedangkan strukturisasi dilakukan dengan mengatur perjenjangan


dan perumusan kurikulum sekolah-sekolah yang berada di bawah
Depdikbud. Salah satunya sepertinya tercantum pada Pasal 1 TAP MPRS
No. XXVII Tahun 1966; Menetapkan pendidikan agama menjadi mata
pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar sampai ke
Universitas-Universitas Negeri.11
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa upaya melakukan
formalisasi dan strukturisasi madrasah merupakan agenda awal pemerintah
melalui Menteri Agama pada masa Orde Baru. Proses penegerian sejumlah
madrasah swasta tampaknya didorong oleh animo masyarakat yang cukup
tinggi, untuk mendalami ajaran agama Islam, serta di sisi lain berkeinginan
untuk sejajar dengan sekolah-sekolah umum yang berstatus negeri,
sehingga output lembaga madrasah juga memiliki kesempatan dan peluang
untuk duduk dan memegang jabatan pada instansi-instansi yang ada.
Sementara upaya strukturisasi kurikulum dengan memasukkan mata
pelajaran pendidikan agama ke sekolah-sekolah mulai dari jenjang
10
11

Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hal. 102.
Djumhur dan Danasaputra, Sejarah Pendidikan, (Bandung: CV. Ilmu Bandung, 1974), hal. 92.

11

pendidikan dasar hingga perguruan tinggi tampaknya didorong oleh


keinginan melahirkan output yang tidak hampa dari nilai-nilai religius.
Dalam sejarah perkembangan madrasah di Indonesia tercatat pula
bahwa pemerintah pernah mendirikan apa yang disebut Madrasah Wajib
Belajar atau MWB. Madrasah ini lama belajarnya 8 tahun, materi
pelajaran terdiri dari mata pelajaran agama, umum dan keterampilan dalam
lapangan ekonomi, industri, dan transmigrasi.
Tujuan dari madrasah ini adalah agar setamat dari madrasah anak
didik kembali ke desa untuk berproduksi atau bertransmigrasi dengan
swadaya dan keterampilan yang diperolehnya selama 8 tahun di madrasah
MWB. Kurikulum dari MWB merupakan keselarasan tiga perkembangan,
yaitu perkembangan otak dan akal, perkembangan hati atau perasaan dan
perkembangan tangan atau kedekatan/keterampilan.
Dalam kenyataannya konsepsi MWB tidak berjalan sebagaimana
yang diprogramkan. Ada juga madrasah yang menanamkan dirinya dengan
madrasah wajib belajar, tetapi kegiatannya tidak sesuai dengan kurikulum
MWB.12 Faktor lain, menurut Hasbullah adalah selain keterbatasan sarana
prasarana dan peralatan, serta guru-guru yang mampu dipersiapkan oleh
pemerintah, adalah kurang tanggapnya masyarakat dan pihak-pihak
penyelenggara madrasah.13
a. Lahirnya SKB 3 Menteri, SKB 2 Menteri, dan Kurikulum 1984.
Seiring dengan struktur madrasah yang semakin lengkap, pada
tanggal 10 sampai 20 Agustus 1970 telah diadakan pertemuan di
Cobogo, Bogor dalam rangka penyusunan kurikulum madrasah dalam
semua tingkatan secara nasional. Langkah ini merupakan salah satu
12 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia
, hal. 101.
13 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah dan Perkembangan,
(Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1995), hal. 180.

12

kontribusi pemerintah Orde Baru dalam mendekatkan hubungan


madrasah dengan sekolah. Otonomi yang diberikan kementerian
agama untuk mengelola madrasah terus dibarengi dengan kebijakan
yang mengarah kepada penyempurnaan sistem pendidikan nasional.
Dalam dekade 1970-an madrasah terus dikembangkan untuk
memperkuat keberadaanya, namun di awal-awal tahun 1970-an, justru
kebijakan pemerintah terkesan berupaya mengisolasi madrasah dari
bagian sistem pendidikan nasional. Hal ini terlihat dengan langkah
yang ditempuh pemerintah dengan mengeluarkan suatu kebijakan
berupa Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 34 Tanggal 18 April
Tahun 1972 tentang Tanggungjawab Fungsional Pendidikan dan
Latihan. Isi keputusan ini pada intinya mencakup:
1) Menteri

Pendidikan

dan

Kebudayaan

bertugas

dan

bertanggungjawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan.


2) Menteri Tenaga Kerja bertugas dan bertanggungjawab atas
pembinaan dan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja akan
pegawai negeri.
3) Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung
jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk
pegawai negeri.14
Selanjutnya, Kepres Nomor 34 Tahun 1972 ini dipertegas oleh
Inpres Nomor 15 Tahun 1974 yang mengatur operasionalnya. Dalam
TAP MPRS Nomor XVII Tahun 1966 dijelaskan Agama merupakan
salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan nasional. Dan
persoalan keagamaan dikelola oleh Departemen Agama, sedangkan
madrasah dalam TAP MPRS Nomor 2 Tahun 1960 adalah lembaga
pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama. Dari

14

Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam Dari Ordonansi Guru Sampai UU Sisdiknas

, hal 101.

13

ketentuan ini, Departemen Agama menyelenggarakan pendidikan


madrasah tidak saja bersifat keagamaan dan umum, tetapi juga bersifat
kejuruan. Dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1972 dan
Inpres Nomor 15 Tahun 1974, penyelenggaraan pendidikan umum dan
kejuruan sepenuhnya berada di bawah tangung jawab Mendikbud.
Secara

implisit

ketentuan

ini

mengharuskan

diserahkannya

penyelenggaraan pendidikan madrasah yang sudah menggunakan


kurikulum nasional kepada Depdikbud.15
Dua kebijakan diatas, menggambarkan ketegangan yang
cukup kuat antara madrasah dengan pendidikan umum. Dalam konteks
ini, tampaknya madrasah tidak hanya diisolasi dari sistem pendidikan
nasional, tetapi terdapat indikasi kuat untuk dihapuskan. Meskipun
sempat ada usaha penegerian madrasah dan penyusunan kurikulum
1973, namun tampaknya usaha itu tidak cukup sebagai alasan untuk
mengakui madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.
Kebijakan tersebut dinilai tidak menguntungkan bagi umat
Islam, sehingga menimbulkan respons yang berdatangan dari ulama
dan madrasah swasta, respons itu ditunjukkan antara lain melalui
musyawarah kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran
Agama (MP3A). Dalam musyawarah ini terdapat kesepakatan untuk
menyakinkan pemerintah bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan
yang memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam proses
pembangunan. Di samping itu, dalam pengelolaan madrasah, MP3A
berpendapat yang paling tepat diserahi tanggungjawab itu adalah
Departemen Agama, sebab Menteri Agamalah yang lebih tahu
konstelasi pendidikan Islam, bukan Mendikbud atau menteri lainnya.16

15

Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia
, hal. 104.
16
Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam Dari Ordonansi Guru Sampai UU Sisdiknas
, hal 103.

14

Sehingga pada tahun 1975, dikeluarkan Surat Keputusan


Bersama (SKB) 3 Menteri antara Menteri Dalam Negeri, Menteri
Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tentang peningkatan
mutu pendidikan pada madrasah. Hal ini dilatar belakangi bahwa
siswa-siswi madrasah sebagaimana halnya tiap-tiap warga negara
Indonesia berhak memperoleh kesempatan

yang sama untuk

memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan


dan pengajaran yang sama, sehingga lulusan madrasah, yang
menghendaki melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari
tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi.17
Menurut SKB 3 Menteri tersebut yang dimaksud dengan
madrasah ialah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran
agama Islam sebagaimana mata pelajaran dasar, yang diberikan
sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum. Sementara
itu madrasah mencakup tiga tingkatan yaitu Bab I Pasal 1 ayat 2;
1) Madrasah Ibtidaiyah, setingkat SD
2) Madrasah Tsanawiyah, setingkat SMP
3) Madrasah Aliyah, setingkat SMA
SKB 3 Menteri ini ditanda tangani di Jakarta oleh 3 orang
menteri, yaitu: Dr. H. A. Mukti Ali (Menteri Agama), Dr. Sjarif
Thajeb (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), dan H. Amir Machmud
(Menteri Dalam Negeri) pada tanggal 24 Maret 1975. Secara
substantive, SKB 3 Menteri terdiri dari 7 bab dan 8 pasal. Ketujuh bab
tersebut mengcover tentang: Bab 1, Ketentuan Umum, memuat 1 pasal
2 ayat; Bab 2, Tujuan Peningkatan, memuat 1 pasal 1 ayat; Bab 3,
Bidang-Bidang Peningkatan Pendidikan, memuat 1 pasal 3 ayat; Bab
4, Pembinaan, memuat 1 pasal 3 ayat; Bab 5, Bantuan Pemerintah,

17

Ibid, hal. 99-101.

15

memuat 1 pasal 2 ayat; Bab 6, Pembiayaan, memuat 1 paal 1 ayat; Bab


7, Ketentuan Penutup, memuat 2 pasal 2 ayat.
Dalam rangka merealisasikan SKB 3 Menteri tersebut, maka
pada tahun 1976 Departemen Agama mengeluarkan Kurikulum
sebagai standar untuk dijadikan acuan oleh madrasah, baik untuk
MI,MTs, maupun MA. Hal ini didasarkan keputusan Menteri Agama
No. 75 tanggal 29 Desember 1976.
Kurikulum yang dikeluarkan tersebut, juga dilengkapi dengan;
a. Pedoman dan aturan penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran
pada madrasah, sesuai dengan aturan yang berlaku pada sekolahsekolah umum.
b. Deskripsi berbagai kegiatan dan metode penyampaian program
untuk setiap bidang studi, baik untuk bidang studi agama, maupun
bidang studi pengetahuan umum.
Adapun SKB 3 Menteri Bab II Pasal 2 tersebut merupakan;
a. Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan nilai
ijazah sekolah umum yang setingkat.
b. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat
lebih atas
c. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.18
Dalam pengelolaan dan pembinaan pendidikan, Depag telah
mempunyai suatu otoritas dalam mengelola dan membina madrasah
sebagai salah satu lembaga pendidikan. Kenyataan ini terlihat dalam
Bab IV Pasal 4 sebagai berikut; pertama, pengelola madrasah
dilakukan oleh Menteri Agama. Kedua, pembinaan mata pelajaran
agama pada madrasah dilakukan oleh Menteri Agama. Ketiga,
pembinaan dan pengawasan untuk mata pelajaran umum pada
18

Ibid, hal. 103-104.

16

madrasah dilakukan oleh Mendikbud, bersama dengan Menteri Agama


dan Menteri Dalam Negeri.19
Akan tetapi tampaknya, tidak semua madrasah dapat
mengadaptasikan dirinya dengan SKB 3 Menteri tersebut. Masih ada
sebagian madrasah yang tetap mempertahankan pola lamanya, sebagai
sekolah agama murni, yaitu semata-mata memberikan pendidikan dan
pengajaran agama.
Mengantisipasi fenomena yang demikian, maka pada tahun
1984 dikeluarkanlah Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 menteri, yaitu
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama Nomor
299/U/1984 dan Nomor 45 Tahun 1984 tentang pengaturan
pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah. SKB 2
Menteri

tersebut

dijiwai

oleh

Ketetapan

MPR

Nomor

II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya penyesuaian sistem pendidikan


sejalan dengan daya kebutuhan pembangunan di segala bidang, antara
lain dilakukan melalui perbaikan kurikulum sebagai salah satu di
antara berbagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di
sekolah umum dan madrasah.20
Sebagai esensi dari pembakuan kurikulum sekolah umum dan
madrasah ini memuat antara lain:
a. Kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah terdiri dari
program inti dan program khusus.
b. Program inti dalam rangka memenuhi tujuan pendidikan sekolah
umum dan madrasah secara kualitatif sama.

19

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah dan Perkembangan , hal.

20

Ibid, hal. 184.

181-182.

17

c. Program khusus diadakan untuk memberikan bekal kemampuan


siswa yang akan melanjutkan ke perghuruan Tinggi bagi
sekolah/madrasah tingkat menengah atas.
d. Pengaturan pelaksanaan kurikulum sekolah umum dan madrasah
mengenai sistem kredit, bimbingan karier, ketuntasan belajar dan
sistem penilaian adalah sama.
e. Hal-hal yang berhubungan dengan tenaga guru dan sarana
pendidikan dalam rangka keberhasilan pelaksanaan kurikulum,
akan diatur bersama oleh Departemen yang bersangkutan.21
Maka dari follow up dari SKB 2 Menteri tersebut lahirlah
Kurikulum 1984 untuk madrasah tertuang dalam keputusan Menteri
Agama Nomor 99 Tahun 1984 untuk Madrasah Ibtidaiyah, Nomor 100
Tahun 1984 untuk Madrasah Tsanawiyah, dan Nomor 101 Tahun 1984
untuk

Madrasah

Aliyah.

Kurikulum

tahun

1976

akhirnya

disempurnakan menjadi kurikulum 1984 sebagaimana dinyatakan


dalam SK Menteri agama No. 45 Tahun 1984.22 Dengan demikian
kurikulum 1984 tersebut esensinya mengacu kepada SKB 3 Menteri
dan SKB 2 Menteri baik dalam susunan program, tujuan maupun
bahan kajian dan pelajarannya.
Adapun struktur program Kurikulum Madrasah Aliyah tahun
1984, Pendidikan Agama Islam terdiri dari mata pelajaran:
a. Quran Hadist
b. Akidah Akhlak
c. Fikih
d. Sejarah dan Peradaban Islam.

21
22

Ibid, hal 183-185.


Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islami , hal. 130.

18

e. Bahasa arab, semua mata pelajaran ini digolongkan kepada


program ini.23
Perbedaan mendasar sebelum lahirnya SKB 3 dan SKB 2
Menteri dengan kebijakan sebelumnya adalah, pertama, lulusan
madrasah memiliki kesempatan untuk memasuki Universitas Umum
Negeri. Kedua, memiliki kesempatan kerja lebih luas tidak hanya
terbatas pada Departemen Agama saja. SKB 3 menteri ini berusaha
untuk menghilangkan dikotomi yang terasa selama ini. Sehingga
dengan demikian diharapkan akan tumbuh pandangan yang baru dan
utuh terhadap ajaran Islam. Civil effect SKB 3 Menteri dinilai sangat
strategis, khususnya bagi kelanjutan studi dan peluang pekerjaan dan
karir bagi lulusan madrasah.
b. Kebijakan tentang Madrasah Aliyah Program Khusus
Beberapa tahun terakhir ini, umat Islam Indonesia merasakan
situasi makin surutnya jumlah ulama. Menghadapi kenyataan ini,
Departemen Agama telah melakukan suatu terobosan dengan
membuka satu lembaga pendidikan formal setingkat dengan sekolah
lanjutan tingkat atas. Lembaga pendidikan ini diletakkan pada
Madrasah Aliyah Negeri dengan nama Madrasah Aliyah Program
Khusus (MAPK). Calon siswanya direkrut dari lulusan terbaik di
Madrasah

Tsanawiyah.

Dengan

modal

siswa

berkemampuan

intelektual tinggi dan proses belajar yang dikelola secara khusus,


diharapkan dapat dihasilkan lulusan yang layak menyandang predikat
calon ulama.
Dalam pola umum Repelita V dinyatakan bahwa sasaran
utama pembangunan jangka pajang 25 tahun kedua adalah terciptanya
kualitas manusia dan kualitas masyarakat Indonesia, yaitu masyarakat
23 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia
, hal. 103.

19

Indonesia yang maju dalam suasana tentram dan sejahtera lahir dan
batin serta dalam tata kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang
berdasarkan Pancasila. Sesuai dengan maksud GBHN tersebut di atas,
telah ditempuh berbagai upaya, antara lain dengan dikeluarkannya
SKB 3 Menteri, yang disusul SKB 2 Menteri. Sebagai tindak lanjut
dari kedua SKB tersebut, maka dikeluarkan Keputusan Menteri Agama
RI Nomor 101 Tahun 1984 tentang kurikulum Madrasah Aliyah.
Sehubungan dengan itu, maka dikeluarkan pula Keputusan
Menteri Agama RI Nomor 73 Tahun 1987 tanggal 30 April 1987
tentang Penyelenggaraan Madrasah Aliyah Program Khusus di 5
(lima) Madrasah Aliyah Negeri pilihan. Masing-masing yaitu, (1)
MAN Darussalam dengan kode register 01/I/MAPK/1987, (2) MAN I
Yogyakarta dengan kode register 02/I/MAPK/1987, (3) MAN Ujung
Pandang dengan kode register 03/I/MAPK/1987, (4) MAN Kotabaru
dengan kode register 04/I/MAPK/1987, dan MAN I Jember dengan
kode register 05/I/MAPK/1987.24
Penyelenggaraan Madrasah Aliyah Program Khusus tersebut
dengan tiga pertimbangan. Pertama, dalam rangka memenuhi
kebutuhan akan tenaga ahli di bidang agama Islam sesuai dengan
tuntutan pembangunan nasional. Kedua, untuk meningkatkan mutu
tersebut, perlu diselenggarakan program khusus pada Madrasah Aliyah
Pilihan Ilmu-Ilmu agama dengan penyesuaian Struktur Program
Kurikulum. Ketiga, untuk maksud tersebut perlu ditujukan Madrasah
Aliyah Pilihan ilmu-ilmu yang memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Dalam masa berikutnya, karena kehadiran MAPK mendapat
sambutan

positif

maka

dikembangkan/ditambah

lagi

dengan

Keputusan Menteri Agama RI Nomor 138 Tahun 1990 tanggal 16 Juli

24 Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam Dari Ordonansi Guru Sampai UU Sisdiknas
, hal 106-107.

20

1990 Madrasah Aliyah Program Khusus yang isinya pengembangan


MAPK ke daerah-daerah yang lebih luas
c. Kebijakan Tentang Madrasah dalam UU Sisdiknas
Setelah lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan dijabarkan lebih lanjut dalam PP No. 28 dan
29 Tahun 1990, madrasah berkembang dengan predikat baru sebagai
sekolah umum yang berciri khas agama Islam yang terdiri dari MI,
MTs, dan MA. Kurikulum madrasah pun diperbaharui dengan
kurikulum 1994 dengan perbandingan alokasi waktu 16-18% untuk
mata pelajaran agama dengan catatan alokasi waktu untuk pelajaran
umum muatan nasional diberlakukan 100% sama dengan sekolah
umum. Kebijakan baru ini hanya dalam rangka mempertegas landasan
yang dibuat dalam SKB 3 Menteri tersebut.25
Upaya peningkatan kualitas pendidikan madrasah kemudian
diperkuat dengan lahirnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang sama sekali tidak memisahkan antara
sekolah umum dengan madrasah sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari Sistem Pendidikan Nasional. Pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan mencakup
pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan,
dan khusus. Dalam konteks ini, madrasah yang terdiri dari Madrasah
Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah
(MA) adalah sama dengan sekolah yang terdiri atas Sekolah Dasar
(SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas
(SMA), yaitu keduanya sebagai jenis pendidikan umum. Di sini
tampak jelas bahwa madrasah adalah jenis pendidikan yang berciri

25

Ibid, hal. 120.

21

khas agama Islam yang dikelola oleh Departemen Agama (Nuruddin


dkk., 2007: 102-106).26
Dengan demikian, maka diundangkannya UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, dan PP No. 55 Tahun 2007
tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, telah jelas menjami tidak
adanya pembedaan dan diskriminasi terhadap pendidikan umum dan
pendidikan madrasah. Keberadaan model-model pendidikan dimaksud
menjamin dan dipandang memiliki kedudukan yang sama di mata
hukum negara sebagai kekayaan bangsa yang diatur dalam sistem
pendidikan nasional.
Praktisi dan aparatur negara di lapangan, terutama yang
langsung bersentuhan dengan tugas penegakan hukum, wajib
menyadari sepenuhnya persamaan hak dan kewajiban antara sekolah
dan madrasah. Konsep dan prinsip persamaan hak dan kewajiban
antara sekolah dan madrasah bukanlah tuntutan yang didesakkan oleh
pihak madrasah, melainkan telah menjadi amanah perundangundangan.
d. Kebijakan Tentang Madrasah dalam Otonomi Daerah
Diberlakukannya

UU

No.

22

Tahun

1999

tentang

Pemerintahan Daerah, atau yang lebih dikenal dengan UU Otonomi


Daerah yang kemudian direvisi dengan UU N. 32 Tahun 2004, telah
membawa pengaruh yang cukup besar dalam sistem pemerintahan dan
kinerja birokrasi baik pada pemerintah pusat maupun daerah termasuk
di dalamnya berkaitan dengan bidang pendidikan.27

26

27

Ibid, hal. 121-122.


Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islami , hal. 134.

22

Dalam konteks otonomi pendidikan, salah satu aspek strategis


dari UU tersebut adalah adalanya upaya pemerintah untuk melakukan
otonomisasi dan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Implikasi
dari kebijakan tersebut adalah menguatnya peran dan partisipasi
pemerintah daereah dan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan.
Otonomisasi mendorong kepada kepala lembaga atau guru untuk
memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap kualitas lulusan,
sedang desentralisasi sebagai suatu keharusan, sedikitnya karena tiga
alasan, untuk: (1) pengembangan masyarakat demokrasi, (2)
pembangunan social capital, (3) peningkatan daya saing bangsa.
Kementrian Agama RI, sampai saat ini belum memiliki
kebijakan yang jelas mengenai status madrasah dalam konteks otonomi
daerah. Kondisi ini sangat ironis, sebab, di satu sisi Kementrian
Pendidikan

dan

Kebudayaan

RI,

pemerintah

provinsi

dan

kabupaten/kota, menganggap madrasah sebagai bidang keagamaan


yang tidak didesentralisasikan, namun di sisi lain dukungan pendanaan
terhadap madrasah dari Kementrian Agama masih sangat kurang.
Akibatnya, madrasah menjadi terkatung-katung. Padahal pengelola
pendidikan madrasah mengharapkan adanya otonomi seperti sekolah
umum lainnya. (Azra, dalam Yusuf, et. al., 2006, Isu-Isu Sekitar
Madrasah, 2006: 8-9).28
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang dan
Diklat Departemen Agama RI (2006-2007) memberikan gambaran
pemetaan yang cukup gambling tentang permasalahan madrasah di era
otonomi

daerah.

Permasalahan

madrasah

mencakup

beberapa

komponen, seperti: pendanaan, ketenagaan, sarana prasarana, dan


kurikulum. Sedangkan perlakuan pemerintah merupakan tindakantindakan konkret pemerintah daerah dalam pemberdayaan madrasa,
seperti: kebijakan kantor Kemenag, Kebijakan Pemkab/Pemkot, dan
28

Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam Dari Ordonansi Guru Sampai UU Sisdiknas

, hal 124.

23

produk yang dirancang dan dihasilkan DPRD dalam pemberdayaan


madrasah.
Penelitian yang dilakukan di 14 daerah/provinsi tersebut,
hasilnya, menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah daerah dalam
pemberdayaan madrasah dapat dipetakan menjadi tiga kategori, yaitu:
(1) kebijakan pemerintah daerah sepenuhnya berpihak pada madrasah,
artinya, pemerintah daeraah telah memberikan perhatian dan perlakuan
yang cukup proporsional kepada madrasah, (2) kebijakan pemerintah
daerah kurang berpihak pada madrasah, artinya, meskipun pemerintah
daerah telah memberikan perhatian kepada madrasah, namun
perlakuan yang diberikan masih bersifat diskriminatif (membedakan)
antara madrasah dengan sekolah umum lainnya, (3) kebijakan
pemerintah daerah masih ragu-ragu, artinya, sebenarnya pemerintah
daerah memiliki keinginan untuk memberikan perhatian dan perlakuan
yang proporsional kepada madrasah, namun masih ada kekhawatiran
dan keragu-raguan akan menyalahi aturan karena posisi madrasah yang
dualistik, dan (4) kebijakan pemerintah daerah belum berpihak pada
madrasah, artinya, belum ada perhatian dan perlakuan yang diberikan
pemerintah daerah kepada madrasah baik dalam bentuk pendanaan,
ketenagaan, sarana prasarana, maupun kurikulum.29
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dikemukakan, bahwa
permasalahan mendasar yang yang masih dihadapi madrasah di era
otonomi daerah saat ini adalah tentang kedudukan madrasah dalam
struktur pemerintah. Secara structural madrasah berada pada instansi
vertical (Kementrian Agama), tapi secara de facto atau operasional
madrasah masuk pada wilayah pemerintahan daerah (kabupaten/kota).
Implikasinya, madrasah harus merujuk pada peraturan daerah dalam
penyelenggaraan pendidikan, tetapi dalam pertanggungjawaban,

29

Ibid, hal. 125-126.

24

madrasah tetap merujuk pada instansi vertikal (Kementrian Agama)


yang setralistik. Kondisi dualistik ini berdampak pada kebijakan
pemerintah daerah yang cenderung kurang berpihak pada madrasah.

25

KESIMPULAN
Sejak Indonesia merdeka madrasah telah tumbuh dan berkembang
melewati empat fase. Pertama, fase perintisan, di mana madrasah adalah
lembaga pendidikan Islam sebagai upaya tafaqquh fiddin, melakukan
pendalaman dalam kajian keagaman. Madrasah secara kurikulum memang
menyajikan yang sepenuhnya agama, sehingga porsi penyajian materi
pendidikan agama adalah 100%, dengan referensi kitab-kitab Islam klasik.
Fase kedua, adalah madrasah dalam Peraturan Menteri Agama
Nomor 1 Tahun 1946 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 7 Tahun 1950,
bahwa madrasah adalah tempat pendidikan yang diatur negara sebagaimana
sekolah umum.
Fase ketiga, adalah madrasah dalam SKB Tiga Menteri Tahun 1947.
Yang dimaksud dengan madrasah dalam keputusan bersama ini ialah lembaga
pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata
pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30% di samping mata
pelajaran umum; dan madrasah itu meliputi tiga tingkatan, yakni: Madrasah
Ibtidaiyah, setingkat dengan sekolah dasar, Madrasah Tsanawiyah, setingkat
dengan Sekolah Menengah Pertama, dan Madrasah Aliyah, setingkat dengan
Sekolah Menengah Atas.
Selanjutnya, fase keempat, adalah madrasah dalam UU Nomor 20
Tahun 2003. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, jenis
pendidikan umum jenjang pendidikan dasar adalah berbentuk SD dan MI atau
bentuklain yang sederajat, serta SMP dan MTs atau bentuk lain yang
sederajat, sedangkan pendidikan menengah berbentuk SMA, MA, SMK, dan
MAK, atau bentuk lain yang sederajat (Bab IV, Pasal 17, dan 18).

26

DAFTAR PUSTAKA
A. Steenbrink, Karel. 2013. Pesantren Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam
dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES.
Djumhur, dan Danasaputra. 1974. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV. Ilmu
Bandung.
Engku, Iskandar, dan Siti Zubaidah. 2014. Sejarah Pendidikan Islami. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Hasbullah. 1996. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia; Lintasan Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Junaidi, Mahfud, dan Mansur. 2005. Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam Di
Indonesia. Jakarta: Departemen Agama.
Kosim, Muhammad. 2011. Pendidikan Guru Agama Di Indonesia. Jakarta:
Pustaka Nusantara.
Nizar, Samsul. 2007. Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah
Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: PT. Fajar Interpratama Mandiri.
Poesponegoro, Djoened. 1992. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai
Pustaka.
Soebahar, Abdul Halim. 2013. Kebijakan Pendidikan Islam Dari Ordonansi Guru
Sampai UU Sisdiknas, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

27

You might also like