You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Batuk merupakan reflek pertahanan yang timbul akibat iritasi
percabangan trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk adalah mekanisme
yang penting untuk membersihkan saluran pernapasan bagian bawah. Batuk
juga merupakan gejala tersering penyakit pernapasan. Rangsangan yang
biasanya menimbulkan batuk adalah rangsangan mekanik, kimia dan
peradangan 1.
Hemoptoe atau batuk darah adalah darah atau dahak berdarah yang
dibatukkan, berasal dari saluran pernafasan bagian bawah (mulai dari glottis
kearah distal). Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala
penyakit dasar sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih
teliti. Batuk darah merupakan suatu gejala atau tanda dari suatu infeksi.
Penyebab batuk darah sangat beragam antara lain penyakit infeksi,
neoplasma, benda asing, trauma, penyakit autoimun dan lain-lain. Volume
darah yang dibatukkan bervariasi dari dahak bercampur darah dalam jumlah
minimal hingga massif tergantung laju perdarahan dan lokasi perdarahan 2.
Penderita yang mengalami batuk darah memerlukan pertolongan
segera dan pengawasan medis karena sewaktu waktu dapat terjadi
perdarahan masif yang berakibat fatal. Penanganan batuk darah pada
prinsipnya menjaga jalan napas agar tidak terjadi asfiksia, menghentikan
perdarahan dan penatalaksanaan selanjutnya tergantung pada etiologi dan
lokasi sumber perdarahan 2.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hemoptoe adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk darah
atau sputum yang berdarah.1 Batuk darah adalah batuk yang disertai
pengeluaran darah dari paru atau saluran pernapasan 11.
Hemoptoe atau batuk darah adalah ekspektorasi darah atau dahak
mengandung darah, berasal dari saluran napas di bawah pita suara 3.
2.2 Etiologi
Penyebab dari batuk darah (hemoptoe) dapat dibagi atas 4:
1. Infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru, pneumonia, dan kaverne
2.
3.
4.
5.
6.

oleh karena jamur dan sebagainya.


Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma aorta.
Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan poliposis bronkus.
Gangguan pada pembekuan darah (sistemik).
Benda asing di saluran pernapasan.
Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba.

Penyebab terpenting dari hemoptisis masif adalah 5:


1. Tumor
a. Karsinoma
b. Adenoma
c. Metastasis endobronkial dari massa tumor ekstratorakal
2. Infeksi
a. Aspergilloma
b. Bronkhiektasis (terutama lobus atas)
c. Tuberkulosis paru
3. Infark paru
4. Oedema paru, terutama disebabkan oleh mitral stenosis
5. Perdarahan paru
a. Sistemik lupus erimatosus
b. Goodpastures syndrome
c. Idiopthic pulmonary haemosiderosis
d. Bechets syndrome
6. Cedera pada dada dan trauma
a. Contusio pulmonal
b. Transbronkial biopsy
2

c. Transtorakal biopsy menggunakan jarum


7. Kelainan pembuluh darah
a. Malformasi arteriovena
b. Hereditary haemorrhagic teleangiectasis
8. Bleeding diathesis
Ada banyak penyebab hemoptoe yang merupakan penyebab paling sering
yaitu tuberculosis, bronkiektasis dan abses paru, stenosis mitral, dan
bronkiektasis.
Tabel 2.1 Penyebab batuk darah menurut penyelidikan Osler A. Abbott 2
Presentase Pasien

Penyakit

Hemoptisis

Karsinoma bronkogenik
Abses paru
Infark pulmonal
Bronkiektasis
Tuberkulosis
Krista kongenital

56,0
49,2
44,0
43,5
36,5
25,8

2.3 Patofisiologi
Setiap proses

yang

Presentase
Penyakit

Pasien

Empiema
Metastasis Karsinoma

Hemoptisis
24,5
24,0

Tumor Mediastinum

20,0

Obstruksi Esofagus

9,0

terjadi

pada

paru

akan

mengakibatkan

hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperan


untuk memberikan nutrisi pada jaringan paru, bila terjadi kegagalan arteri
pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas 6.
Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut:
1 Batuk darah pada tuberculosis pada umumnya terjadi oleh karena 2,8
a Adanya Rasmussens aneurysm yang pecah.
Teori dimana terjadi perdarahan aneurisma dari Rasmussen
ini telah lama dianut, tetapi beberapa laporan otopsi lebih
membuktikan terdapat hipervaskularisasi bronkus yang merupakan
percabangan dari arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal
3

dari

perdarahan.

Setelah

berkembangnya

arteriografi

dapat

dibuktikan bahwa pada setiap proses paru terjadi hipervaskularisasi


dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperan memberikan
nutrisi pada jaringan paru bila terdapat kegagalan arteri pulmonalis
dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas. Oleh karena
itu terdapatnya Rasmussen aneurisma pada kaverna tuberculosis
yang merupakan asal perdarahan diragukan.
b Adanya kekurangan protrombin yang disebabkan oleh toksemia
dari basil tuberkulosa yang menginfeksi parenkim paru.
2 Batuk darah pada karsinoma paru.
Terjadi oleh karena erosi permukaan tumor dalam lumen
bronkus atau berasal dari jaringan tumor yang mengalami nekrosis,
pecahnya pembuluh darah kecil pada area tumor atau invasi tumor ke
pembuluh darah pulmoner10.
3 Batuk darah pada bronkiektasis:
a Mukosa bronkus yang sembab mengalami infeksi dan trauma batuk
menyebabkan perdarahan.
b Terjadi anastomose antara pembuluh darah bronchial dan pulmonal
c

dan juga terjadi aneurisma, bila pecah terjadi perdarahan.


Pecahnya pembuluh darah dari jaringan granulasi pada dinding

bronkus yang mengalami ektasis.


4 Batuk darah pada bronchitis kronis
Terjadi oleh karena mukosa yang sembab akibat radang,
terobek oleh mekanisme batuk.
5 Batuk darah pada abses paru
Pada abses kronik dengan kavitas berdinding tebal yang sukar
menutup, maka pembuluh darah pada dinding tersebut mudah pecah
akibat trauma pada saat batuk.
6 Batuk darah pada mitral stenosis dan gagal jantung kiri akut 8.
a Bila batuk darah ringan, perdarahan terjadi secara perdiapedesis,
karena tekanan dalam vena pulmonalis tinggi menyebabkan rupture
vena pulmonalis atau distensi kapiler sehingga butir darah merah
masuk ke alveoli.
b Menurut Ferguson, batuk darah terjadi karena pecahnya varises di
mukosa bronkus.
4

Pada otopsi ternyata ada anastomose vena pulmonalis dan vena

bronkialis yang hebat sehingga tampak seperti varises.


7 Batuk darah pada infark paru
Pada infark paru karena adanya penutupan arteri, maka terjadi
anastomose. Selain itu juga terjadi reflek spasme dari vena di daerah
tersebut, akibatnya terjadi daerah nekrosis dimana butir-butir darah
masuk ke alveoli dan terjadi batuk darah 8.
8 Batuk darah pada Good Pasture syndrome
Terjadi kelainan pada membrane basalis alveol kapiler yaitu
terbentuknya antibody to glomerular basement membrane (anti GBM
Ab) lebih spesifiknya kolagen tipe IV pada paru sehingga membuat
hilangnya keutuhan membranan basalis epithelial-endotelial dan
memudahkan masuknya sel darah merah dan netrofil masuk ke dalam
alveoli.
9 Batuk darah pada infeksi jamur
Terjadi friksi pada pergerakan mycetoma dan terjadi pelepasan
antikoagulan serta enzim proteoitik yang menyerupai tripsin dari jamur.
10 Batuk darah pada batuk keras
Sifat khas bahwa darah terletak di permukaan sputum, jadi tidak
bercampur di dalamnya 2.
a Kelenjar getah bening yang mengapur, waktu batuk terjadi erosi
pada bronkus yang berdekatan.
b Mungkin bronkolit yang ada pada saat batuk menggeser
lumennya.
c Batuk yang keras dan berulang-ulang merobek mukosa bronkus.
11 Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan
mengalami transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini akan
memacu terjadinya batuk darah 8.
2.4 Klasifikasi
1 Klasifikasi berdasarkan penyebabnya dikenal jenis-jenis batuk darah
yaitu 9:
a. Batuk darah idiopatik adalah batuk darah yang tidak diketahui
penyebabnya,

dengan

insiden

0,5

sampai

58%

dimana

perbandingan antara pria dan wanita adalah 2:1. Biasanya terjadi

pada umur 30-50 tahun kebanyakan 40-60 tahun dan berhenti


spontan dengan suportif terapi.
b. Batuk darah sekunder yang penyebabnya dapat dipastikan berasal
dari :
1. Saluran nafas yang sering adalah tuberculosis, bronkiektasis,
tumor paru, pneumonia dan abses paru
2. Menurut Banet (82-86) batuk darah disebabkan oleh tuberculosis
paru, karsinoma paru dan bronkiektasis. Yang jarang dijumpai
adalah penyakit jamur (aspergilosis), silikosis, penakit oleh
karena cacing
3. Sistem kardiovaskuler yang sering adalah stenosis mitral dan
hipertensi. Yang jarang adalah kegagalan jantung, infark paru,
aneurisma aorta
4. Lain-lain, disebabkan oleh benda asing, ruda paksa, penyakit
darah

seperti

hemophilia,

hemosiderosis,erimatosus

lupus

sistemik, diatesishemoragik dan pengobatan dengan obat


antikoagulan
2 Klasifikasi didasarkan

pada

perkiraan

jumlah

darah

yang

dibatukkan10
a. Bercak (Streaking) : <15-20 ml/24 jam
Yang sering terjadi darah bercampur dengan sputum. Umumnya
pada bronkitis.
b. Hemoptisis: 20-600 ml/24 jam
Hal ini berarti perdarahan pada pembuluh darh yang lebih besar.
Biasanya pada kanker paru, pneumonia, TB, atau emboli paru.
c. Hemoptisis massif : >600 ml/24 jam
Biasanya pada kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis.
d. Pseudohemoptisis
Merupakan batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas
(di atas laring) atau dari saluran cerna atas atau hal ini dapat
berupa perdarahan buatan (factitious).

3 Klasifikasi menurut Pusel 7


Tabel 2.2 Batuk darah menurut Pusel 7

batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk


garis-garis dalam sputum

++

batuk dengan perdarahan 1 30 ml

+++

batuk dengan perdarahan 30 150 ml

++++

batuk dengan perdarahan 150-500 ml

Massive

batuk dengan perdarahan 500-1000 ml atau lebih

Klasifikasi menurut Johnson membuat pembagian lain menurut jumlah


darah yang keluar menjadi 10:
a. Single hemoptysis yaitu perdarahan berlangsung kurang dari 7
hari.
b. Repeated hemoptysis yaitu perdarahan berlangsung lebih dari 7
hari dengan interval 2 sampai 3 hari.
c. Frank hemoptysis yaitu bila yang keluar darah saja tanpa dahak.
Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini adalah karena pada
hemoptisis selain terjadi vasokontriksi perifer, juga terjadi mobilisasi
dari depot darah, sehingga kadar Hb tidak selalu memberikan
gambaran besarnya perdarahan yang terjadi. Kriteria dari jumlah
darah

yang

dikeluarkan

selama

hemoptisis

juga

mempunyai

kelemahan oleh karena 8,12:


a Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan sputum dan
kadang-kadang dengan cairan lambung, sehingga sukar untuk
menentukan jumlah darah yang hilang sesungguhnya.
b Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan, bersama-sama
c

dengan tinja, sehingga tidak ikut terhitung.


Sebagian dari darah masuk ke dalam paru-paru akibat aspirasi.

Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari hemoptisis ditentukan oleh 13
a Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan
hipovolemik.
b Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus yang
dapat dinilai dengan adanya iskemia miokardium, baik berupa

gangguan aritmia, gangguan mekanik jantung, maupun aliran darah


serebral.
Bila terjadi hemoptisis, maka harus dilakukan penilaian terhadap:
a Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis
b Lamanya perdarahan
c Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi
d Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi dan kesadaran.
2.5 Manifestasi klinis
Untuk mengetahui penyebab batuk darah kita harus memastikan
bahwa perdarahan tersebut berasal dari saluran pernafasan bawah, dan
bukan berasal dari nasofaring atau gastrointestinal. Dengan perkataan
lain bahwa penderita tersebut benar-benar batuk darah dan bukan
muntah darah10.
Berbeda dengan muntah darah, batuk darah akan keluar bersama
riak (bukan bersama makanan). Darah yang berasal dari saluran
pernafasan biasanya cenderung lebih segar, karena darah dari saluran
pencernaan (alias muntah darah) biasanya akan terkontaminasi dengan
asam lambung sehingga menjadi lebih gelap. Darah yang berasal dari
muntah darah adalah dari saluran pencernaan. Seperti muntah pada
umumnya, muntah darah

didahului oleh adanya aliran balik dari

pergerakan saluran pencernaan dan dapat diikuti oleh mual. Darah yang
keluar dapat tercampur oleh sisa makanan lain. Warna darah bisa merah
segar atau kehitaman.Sedangkan untuk batuk darah berbeda. Darah
berasal dari saluran pernapasan. Warna darah merah segar dan tampak
bercampur dengan

lendir dan

tampak

berbusa

karena

adanya

gelembung gelembung udara 10.

No
1

Keadaan

Batuk Darah

Prodromal

Onset

Tabel

Muntah Darah

Darah dibatukkan dengan

Darah

dimuntahkan

rasa

dengan

rasa

panas

di

tenggorokan
Darah dibatukkan, dapat

(Stomach Distress)
Darah
dimuntahkan,

disertai dengan muntah

dapat

disertai

2.3

mual

dengan

Tampilan

Darah berbuih

batuk
Darah tidak berbuih

Warna

Merah segar

Merah tua

Isi

Lekosit, mikroorganisme,

Sisa makanan

hemosiderin, makrofag
6

Ph

Riwayat

penyakit

Alkalis

Asam

Penyakit paru

Peminum alkohol, ulcus

dahulu (RPD)

pepticum, kelainan hepar

Anemis

Kadang tidak dijumpai

Sering disertai anemis

Tinja

Blood test (-) /

Blood Test (+) /

Benzidine Test (-)

Perbedaan Batuk Darah Dengan Muntah Darah

Benzidine Test (+)


12

KriteriaDerajat batuk darah 8


a Batuk darah ringan (<25cc/24 jam).
b Batuk darah berat (25-250cc/ 24 jam).
c Batuk darah masif (batuk darah masif adalah batuk yang mengeluarkan
darah sedikitnya 600 ml dalam 24 jam).

Kriteria yang paling banyak dipakai untuk hemoptisis masif yang diajukan
Busroh (1978).9
a. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan
dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
b. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan
tetapilebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g
%, sedangkanbatuk darahnya masih terus berlangsung.
c. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan
tetapilebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%,
tetapi selamapengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan
konservatif batuk darahtersebut tidak berhenti.
2.6 Penegakkan diagnosis
Diagnosis
biasanya

ditegakkan

berdasarkan

pemeriksaan fisik dan gambaran radiologis.

anamnesis,

Untuk menegakkan

diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu dilakukan urutanurutan dari anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik maupun
penunjang sehinggapenanganannya dapat disesuaikan.
1 Anamnesis
Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam hal batuk darah adalah 2,13
a Jumlah dan warna darah yang dibatukkan.
b Lamanya perdarahan.
c Batuk yang diderita bersifat produktif atau tidak.
d Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan.
e Ada merasakan nyeri dada, nyeri substernal atau nyeri pleuritik.
f Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi
badan dan batuk
g Wheezing
h Perdarahan di tempat lain bersamaan dengan batuk darah
i Perokok berat dan telah berlangsung lama
j Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
k Hematuria yang disertai dengan batuk darah.
l Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu.
2 Pemeriksaan fisik 2,8
Untuk mengetahui perkiraan penyebab.
a Panas merupakan tanda adanya peradangan.
b Auskultasi :
1 Kemungkinan menonjolkan lokasi.

10

2 Ronchi menetap, whezing lokal, kemungkinan penyumbatan


oleh: Ca, bekuan darah.
c

Friction Rub: emboli paru atau infark paru

d Clubbing finger: memberikan petunjuk kemungkinan keganasan


intratorakal dan supurasi intratorakal (abses paru, bronkiektasis).
3 Pemeriksaan penunjang
a. Foto toraks dalam posisi PA dan lateral hendaklah dibuat pada setiap
penderitahemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat menunjukkan
tempatperdarahannya.11 Pemeriksan foto thoraks merupakan salah
satu komponen penting dalam pemeriksaan untuk mengetahui
penyebab perdarahan terutama kelainan parenkim paru, misalnya
pemeriksaan

dengan

kaviti,

tumor,

infiltrat

dan

atelektasis.

Perdarahan intra-alveolar menimbulkan pola infiltrat retikulonedular.


Namun demikian gambaran foto thoraks bisa normal ataupun tidak
informative 14.
b. Pemeriksaan bronkografi untuk mengetahui adanya bronkiektasis,
sebab
c.

sebagian

penderita

bronkiektasis

sukar

terlihat

pada

pemeriksaan X-foto toraks 10.


Pemeriksaan dahak baik secara bakteriologi maupun sitologi (bahan
dapat diambil dari dahak dengan pemeriksaan bronkoskopi atau
dahak langsung)

. Pemeriksaan sputum yang dapat dilakukan

adalah untuk pemeriksaan bakteri pewarnaan gram, basil tahan


asam (BTA). Pemeriksaan dahak sitologi dilakukan apabila penderita
berusia >40 tahun dan perokok. Biakan kuman juga dapat dilakukan
terutama untuk BTA dan jamur14.

d. Laboratorium 15
1. Pemeriksaan darah tepi lengkap
a. Peningkatan Hb dan Ht kehilangan darah yang akut
b. Leukosit meningkat infeksi
c. Trombositopenia koagulopati
d. Trombositosis kanker paru

11

2. CT dan BT; PT dan APTT jika dicurigai adanya koagulopati atau


pasien menerima warfarain/heparin
3. Analisa gas darah arterial harus diukur jika pasien sesak yang
jelas dan sianosis.
e. Pemeriksaan bronkoskopi
Bronkoskopi dilakukan untuk menentukan sumber perdarahan
dan sekaligus untuk penghisapan darah yang keluar, supaya tidak
terjadi penyumbatan. Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan
berhenti, karena dengan demikian sumber perdarahan dapat
diketahui 11,10.
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah
1.
2.
3.

11

Bila radiologik tidak didapatkan kelainan


Batuk darah yang berulang
Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan

diagnosis, lokasi perdarahan, maupun persiapan operasi, namun


waktu yang tepat untuk melakukannya merupakan pendapat yang
masih kontroversial, mengingat bahwa selama masa perdarahan,
bronkoskopi akan menimbulkan batuk yanglebih impulsif, sehingga
dapat memperhebat perdarahan disampingmemperburuk fungsi
pernapasan. Lavase dengan bronkoskop fiberoptik dapatmenilai
bronkoskopi merupakan hal yang mutlak untuk menentukan lokasi
perdarahan 11.
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior,
bronkoskop serat optic jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop
metal sangat bermanfaat dalammembersihkan jalan napas dari
bekuan darah serta mengambil benda asing, disamping itu dapat
melakukan penamponan dengan balon khusus di tempat terjadinya
perdarahan 11.
2.7 Penatalaksanaan
Pada umumnya hemoptoe ringan tidak diperlukan perawatan
khusus dan biasanya berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian
yaitu hemoptisis yang masif. Tujuan pokok terapi ialah

16,17

12

1
2
3
a.

Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku


Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi
Menghentikan perdarahan
Embolisasi arteri bronkialis dan pulmoner
Embolisasi arteri bronkial merupakan kateterisasi arteri bronkial
selektif dan angiografi yang diikuti dengan embolisasi pembuluh darah
abnormal untuk menghentikan perdarahan. Embolisasi arteri bronkial
pertamakali diperkenalkan oleh Remi pada tahun 1974 dalam
tatalaksana

hemoptisis

akut

berat.

Embolisasi

arteri

bronkial

merupakan pilihan modaliti terapi hemoptisis berat pada penyakit


inflamasi paru kronik seperti kistik fibrosis dan bronkiektasis.
Embolisasi arteri bronkial merupakan tindakan alternatif yang
dilakukan

apabila

terdapat

kontraindikasi

pembedahan

seperti

penyakit paru lanjut bilateral, penurunan kapasiti paru (nilai prediksi <
40%), tidak dapat ditentukan lokasi perdarahan dengan bronkoskopi,
karsinoma bronkogenik yang tidak dapat dilakukan pembedahan,
hemoptisis berulang setelah reseksi paru dan penolakan pasien
Embolisasi

memiliki

angka

keberhasilan

dalam

21

mengontrol

perdarahan (jangka pendek) antara 64-100%. Pada evaluasi lanjut


selama 3-5 tahun, Rabkin dkk mengamati terjadinya rekurensi
perdarahan pada 23% penderita. Komplikasi yang dapat terjadi yaitu
akibat oklusi arteri bronkialis yaitu nyeri dada, demam maupun emboli
ektopik 20.
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport
kardiopulmaner dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah
asfiksia yang merupakan penyebab utama kematian pada para pasien
dengan hemoptisis masif 18.
Masalah utama dalam hemoptoe adalah terjadinya pembekuan
dalam saluran napas yang menyebabkan asfiksi. Bila terjadi afsiksi,
tingkat

kegawatan

hemoptoe

paling

tinggi

dan

menyebabkan

kegagalan organ yang multipel. Hemoptoe dalam jumlah kecil dengan

13

refleks batuk yang buruk dapat menyebabkan kematian. Dalam jumlah


banyak dapat menimbukan renjatan hipovolemik 4.
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
1 Terapi konservatif 4,19
a. Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring
(lateral decubitus). 4 Kepala lebih rendah dan miring ke sisi yang
sakit untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat 7.
b. Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan.
c. Batuk secara perlahan lahan untuk mengeluarkan darah di
dalam saluran saluran napas untuk mencegah bahaya sufokasi.
d. Dada dikompres dengan es kap, hal ini biasanya menenangkan
penderita.
e. Pemberian obat obat penghenti perdarahan (obat obat
hemostasis),

misalnya

vit.

K,

ion

kalsium,

trombin

dan

karbazokrom.
f. Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.
g. Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya
perdarahan yang terjadi.
h. Pemberian oksigen.
Tindakan selanjutnya bila mungkin 7.
i. Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi
j. Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah
dengan bronkoskopi dan pemberian adrenalin pada sumber
perdarahan.
2 Terapi pembedahan
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan.
Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan 4.
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka
kematian pada perdarahan yang masif menurun dari 70%
menjadi 18% dengan tindakan operasi.
c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya
hemoptoe yang berulang dapat dicegah.
Busron (1978) menggunakan pula indikasi pembedahan sebagai
berikut 4.
a. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam
dan dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
14

b. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24


jam dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb
kurang dari 10 g%, sedangkan batuk darahnya masih terus
berlangsung.
c. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24
jam dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb
kurang dari 10 g%, tetapi selama pengamatan 48 jam yang
disertai dengan perawatan konservatif batuk darah tersebut tidak
berhenti.
d. Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin diperiksa faal
paru

dan

dipastikan

asal

perdarahannya,

sedang

jenis

pembedahan berkisar dari segmentektomi, lobektomi dan


pneumonektomi dengan atau tanpa torakoplasti 7.
Penting

juga

dilakukan

usaha-usaha

untuk

menghentikan

perdarahan. Metode yang mungkin digunakan adalah 4.


a. Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan dengan
bronkoskopi serat lentur dengan posisi pada lokasi bronkus yang
berdarah. Masukkan larutan NaCl fisiologis pada suhu 4C
sebanyak 50 cc, diberikan selama 30-60 detik. Cairan ini
kemudian dihisap dengan suction.
b. Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20 cm
penampang 8,5 mm.
2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat mengancam jiwa penderita adalah asfiksia,
sufokasi dan kegagalan sirkulasi akibat kehilangan banyak darah dalam
waktu singkat. Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah penyebaran
penyakit ke sisi paru yang sehat dan atelektasis. Atelektasis dapat terjadi
karena sumbatan saluran napas sehingga paru bagian distal akan
mengalami kolaps dan terjadi atelektasis. Atelektasis dapat terjadi karena
sumbatan saluran napas sehingga paru bagian distal akan mengalami
kolaps dan terjadi atelectasis 14.
Tingkat kegawatan dari batuk darah ditentukan oleh 3 faktor 6.
15

Terjadinya asfiksia karena adanya pembekuan darah dalam saluran

pernapasan. Pada dasarnya asfiksia tergantung dari:


a. Frekuensi batuk darah
b. Jumlah darah yang dikeluarkan
c. Kecemasan penderita
d. Siklus inspirasi
e. Reflek batuk yang buruk
f. Posisi penderita
2 Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya batuk darah dapat
menimbulkan syok hipovolemik. Bila jumlah perdarahan banyak maka
digolongkan dalam massive hemoptysis. Kriteria massive hemoptysis
menurut Yeoh adalah perdarahan 200 cc dalam 24 jam sedangkan
menurut Sdeo adalah perdarahan lebih dari 600 cc dalam 24 jam.

3 Aspirasi pneumonia
Yaitu infeksi yang terjadi beberapa jam atau beberapa hari
setelah perdarahan. Aspirasi adalah masuknya bekuan darah ke
dalam jaringan paru yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a Meliputi bagian yang luas dari paru
b Terjadi pada bagian percabangan bronkus yang lebih kecil
c Disamping perdarahan dapat pula disebabkan oleh masuknya
cairan lambung ke dalam paru karena penutupan glottis yang tidak
sempurna
d Dapat diikuti sekunder infeksi. Aspirasi pneumonia merupakan
keadaan berat karena saluran napas dan bagian fungsional paru
tidak dapat berfungsi dengan baik.
2.9 Prognosis
Pada hemoptoe idiopatik prognosisnya baik kecuali bila
penderita mengalami hemoptoe yang rekuren.Sedangkan pada
hemoptoe sekunder ada beberapa faktor yang menentukan
prognosis :
1 Tingkatan hemoptoe : hemoptoe yang terjadi pertama kali
mempunyai prognosis yang lebih baik.
2 Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptoe.
16

3 Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera


dilakukan untuk menghisap darah yang beku di bronkus dapat
menyelamatkan penderita

16,9

BAB III
KESIMPULAN

1. Hemoptoe merupakan salah satu gejala pada penyakit paru saluran


pernapasan dan atau kardiovaskuler yang disebabkan oleh berbagai
macam etiologi.
2. Pecahnya aneurisma dari Rasmmusens pada dinding kavitas paru
disertaifibrosis perivaskuler merupakan penyebab utama hemoptoe yang
masif.
3. Sampai saat ini klasifikasi hemoptisis masih didasarkan pada penyebab
dan banyaknya darah yang keluar bersama batuk.
4. Sebagian besar hemoptisis sekunder disebabkan oleh tuberkulosis paru,
karsinoma dan bronkiektasis. Bila ditemukan pada usia relatif muda
harus dipikirkan pertama tama tuberkulosis paru, lalu bronkiektasis,
kemudian stenosis mitral. Sedangkan hemoptoe pada usia lebih dari 40
tahun kemungkinan urutannya adalah karsinoma bronkogenik, lalu
tuberkulosis, kemudian bronkiektasis.
5.

Bronkoskopi pada saat ini merupakan cara pembantu diagnosis dan


tindakan terapeutik yang penting pada hemoptisis masif dan harus
dikerjakan pada waktu perdarahan masih berlangsung.
17

6. Komplikasi yang paling sering terjadi dari hemoptisis adalah terjadinya


asfiksia, renjatan hipovolemik dan bahaya aspirasi.
7.

Pada prinsipnya penanganan hemoptoe ditujukan untuk memperbaiki


kondisi kardiopulmoner dan mencegah semua keadaan yang dapat
menyebabkan

kematian.

Penanganan

tersebut

dilakukan

secara

konservatif maupun dengan operasi, tergantung indikasi serta berat


ringannya hemoptisis yang terjadi.
8. Prognosis dari hemoptoe ditentukan oleh tingkatan hemoptoe, macam
penyakit dasar dan cepatnya tindakan yang dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

1 Price SA.Wilson LM. 2012.Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses


Penyakit ed.6, Jakarta: EGC.
2 PAPDI. 2012. Hemoptisis. Dalam: Rani Aziz, Sugondo Sidartawan, Nasir
Anna U.Z., Wijaya Ika Prasetya, Nafrialdi, Mansyur Arif. Panduan
pelayanan medik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI
3 Soeroso HL. Susilo H. Parhussip RS. Sumari. Usman. Hemoptisis Masif.
Cermin Dunia Kedokteran. 1992. (80) : 90 94
4 Rab T. Prinsip Gawat Paru. ed.2. EGC. Jakarta. 1996. p. 185 201
5 Moxham. Symptoms And Sign in Respiratory Disease. Medicine Internat.
Par East Ed. 1991. 4(14) : 3644
6 Pitoyo CW. 2011. Hemoptisis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid
II, edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI
7 Purwandianto A. Sampurna B. Kedaruratan Medik. ed. 3. Bina Rupa
Aksara. Jakarta. p.19 2
8 Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM. Tuberkulosis paru dalam
buku at a glance Sistem respirasi. Jakarta: Erlangga; 2008.hal.80-81.
18

9 Snell, SS. Thorak dalam buku anatomi klinik. Jakarta: EGC; 2009.Hal :
94-95
10 Arief,Nirwan. 2009. Kegawatdaruratan Paru. Jakarta: Departemen
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI
11 Alsagaff H. Rai IB. Alrasyid SH. Penanggulangan Batuk Darah dalam
Simposium Ilmu Kedokteran Darurat. FK Unair. Surabaya. 1979. p.162
164
12 Snell, SS. Thorak dalam buku anatomi klinik. Jakarta: EGC; 2009.Hal :
94-95
13 Eddy, JB. Clinical assessment and management of massive hemoptysis.
Crit Care Med 2010; 28(5):1642-7
14 Kosasih A., Susanto AD., Pakki TR., Martini T., Diagnosis dan
tatalaksana kegawatdaruratan paru dalam praktek sehari-hari, Jakarta :
Sagung Seto, 2008. Hal 1-15.
15 Osaki S, Nakanishi Y, Wataya H, Takayama K, Inoue K, Takaki Y, etal.
2013. Prognosis of bronchial artery embolization in the management of
hemoptysis. Respiration 67:412-6
16 American Thoracic society. The Management of hemoptysis. A Statement
by the committee on Therapy, Am rev Respir Dis. 1996. (93) : 471 474
17 Amirana, et al. An Aggressive Surgical approach to Significant
hemoptysis in Patients with Woodley M. Whelan A. Pedoman
Pengobatan. (Manual of Medical Therapeutics). Andi offset. Yogyakarta.
1995. p. 326 327
18 Woodley M. Whelan A. Pedoman Pengobatan. (Manual of Medical
Therapeutics). Andi offset. Yogyakarta. 1995. p. 326 327
19 Yusuf I. Manifestasi Klinis Penyakit Paru. dalam Ilmu Penyakit Dalam.
Soeparman. Waspadji, editor. BP-FKUI Jakarta. 1987. p. 688
20 Arif N. Batuk darah dalam pulmonologi klinik. Bagian pulmonologi FKUI;
Jakarta :1992, 179-183.
21 Sidipratomo P, Suroyo I, Pandelaki J, Nasution DB. Embolisasi arteri
bronkialis alternatifterapi penatalaksanaan pada batuk darah. Dalam:
Jusuf A, Rasmin M. Batuk darah.Jakarta: FKUI;1996.hal.56-64.

19

20

You might also like