You are on page 1of 13

ARDS

dr. Syamsul Bihar, M.Ked(Paru), Sp.P


PENDAHULUAN
ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) adalah suatu gangguan
fungsi paru yang bersifat akut, ditandai dengan 3 gambaran klinis yang utama,
yaitu hipoksemia yang kurang atau tidak respon terhadap terapi oksigen,
dijumpai adanya gambaran infiltrat alveolus yang difus dan tidak dijumpainya
tanda-tanda gagal jantung kongestif. Ada beberapa nama sinonim untuk ARDS,
diantaranya

shock lung, white lung, permeability pulmonary oedema,

pulmonary capillary leak syndrome, adult respiratory distress syndrome dan


yang lainnya.
ARDS merupakan akibat cedera langsung ataupun tidak langsung
terhadap paru yang akan menimbulkan kebocoran plasma ke dalam ruang
interstisial

dan

ruang

alveolus.

Faktor-faktor

predisposisi

yang

dapat

menyebabkan ARDS dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu: kelainan paru dan


kelainan ekstra paru.
Menurut National Institutes of Health (NIH), di Amerika Serikat dijumpai
angka kejadian ARDS sebanyak 71 orang dalam tiap 100.000 populasi.
Menurut laporan terakhir, penurunan angka kematian yang disebabkan ARDS
sangat

memuaskan,

dikarenakan

keterpaduan

antara

berbagai

aspek

penanganan, seperti penanganan dengan menggunakan alat bantu napas


(ventilator), dan penanganan infeksi dan pemberian nutrisi makanan yang baik
juga tidak kalah pentingnya. Sampai saat ini penanganan ARDS masih terus
diteliti dan dilakukan, termasuk juga prone position, yang berperan dalam
penanganan Acute Respiratory Distress Syndrome.
DEFINISI
Pada tahun 1967, Ashbaugh dan kawan-kawan mendeskripsikan suatu
sindroma yang ditandai dengan sesak napas onset akut, hipoksemia berat,
infiltrasi paru yang difus dan berkurangnya

compliance paru tanpa adanya

tanda-tanda gagal jantung kongestif. Sindroma ini kemudian pada orang


dewasa disebut ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome).
Pada tahun 1988, Murray dan kawan kawan mengemukan LIS Lung
Injury Score, yaitu :
Value
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.

Chest X-ray Score


No alveolar shadowing
Alveolar consolidation confined to 1 quadrant
Alveolar consolidation confined to 2 quadrant
Alveolar consolidation confined to 3 quadrant
Alveolar consolidation confined to 4 quadrant
Hypoxemia score
PaO2/FIO2 300
PaO2/FIO2 225 299
PaO2/FIO2 175 224
PaO2/FIO2 100 174
PaO2/FIO2 < 100
PEEP score
PEEP score 5 cm H2O
PEEP score 6 8 cm H2O
PEEP score 9 11 cm H2O
PEEP score 12 14 cm H2O
PEEP score 15 cm H2O
Respiratory compliance score (if available)
Compliance 80 ml/cmH2O
Compliance 60 - 79 ml/cmH2O
Compliance 40 - 59 ml/cmH2O
Compliance 20 - 39 ml/cmH2O
Compliance 19 ml/cmH2O
The final score is obtained by dividing the aggregate sum by the
number of component that were included :
No lung injury
:0
Mild/Moderate lung injury : 0,1 2,25
Severe lung injury (ARDS) : > 2,5

0
1
2
3
4
0
1
2
3
4
0
1
2
3
4
0
1
2
3
4

Tabel 1. Murrays Lung Injury Score


Pada tahun 1994, American European Consensus Conference (AECC)
on ARDS menyebutkan bahwa secara defenisi dikatakan ARDS jika dijumpai 4
komponen, yaitu :
1. Gagal napas yang bersifat akut.
2. PaO2/FiO2 200 mmHg.

3. Pada foto toraks terlihat gambaran infiltrat bilateral yang sesuai dengan
edema paru.
4. Tidak dijumpai adanya tanda tanda payah jantung kongestif. Ini dapat
disingkirkan dengan mengukur tekanan baji arteri pulmonalis, dimana
pada ARDS < 18 mmHg.
FAKTOR PREDISPOSISI DAN FAKTOR PENYEBAB
Sebagaimana

yang

telah

dijelaskan

sebelumnya,

bahwa

ARDS

merupakan akibat dari adanya cedera langsung atau tidak langsung terhadap
paru, sehingga terjadi kebocoran plasma ke dalam ruang instertisial dan ruang
alveolus. Dari itu sesungguhnya sangat banyak faktor yang dapat menimbulkan
ARDS, sebagaimana yang dapat kita lihat pada tabel 2 dibawah ini:

Kelainan paru
Kelainan ekstra paru
Pneumonia (bakteri, jamur, parasit,
Sepsis
virus)
Trauma
dengan
transfusi
Aspirasi cairan lambung
berlebihan
Trauma paru
Bypass jantung paru
Emboli lemak
Pankreatitis akut
Tenggelam
Transfusi komponen darah
Cedera Inhalasi
Edema paru setelah transplantasi
Tabel 2. Etiologi Acute Respiratory Distress Syndrome.2

yang

PATOGENESIS
Fase Eksudatif Akut
-

ARDS yang berkaitan dengan mekanisme cedera langsung paru


Pada pemeriksaan klinis dan penelitian penelitian yang pernah

dilakukan mendukung hipotesis bahwa cedera pada epitel alveolus yang


menyebabkan terjadinya perubahan permeabilitas merupakan mekanisme yang
terlibat langsung pada paru.
Cedera

menimbulkan

rusaknya

sel

pneumosit

tipe

II

alveolus

sebagaimana terlihat pada pneumonia yang ditimbulkan Pneumocystis carinii


dan paska terhirupnya gas-gas toksik seperti nitrogen dioksida (NO2).
Hilangnya fungsi kerja dari surfaktan alveolus juga dapat ditemukan
pada ARDS. Telah diketahui bahwa surfaktan alveolus yang diproduksi oleh sel
3

pneumosit tipe II berfungsi untuk menjaga rigiditas alveolus. Pada ARDS,


cedera atau kerusakan pada sel pneumonosit tipe II akan menyebabkan
terjadinya penurunan produksi surfaktan dan plasma yang memasuki rongga
alveolus akan menginaktivasi surfaktan yang ada dan selanjutnya akan dapat
menimbulkan atelektase serta menimbulkan penurunan compliance paru.
Pada ARDS, ada 3 mekanisme yang dapat menyebabkan penurunan
aktifitas surfaktan, yaitu:
1. Rongga alveolus mengalami kebanjiran yang dapat menyebabkan
pengeluaran surfaktan.
2. Kerusakan pada sel pneumosit tipe II yang memproduksi dan
mengeluarkan surfaktan akan mengalami penurunan.
3. Aktifitas surfaktan akan menurun oleh karena terjadi kontak dengan
plasma protein.
-

ARDS dengan mekanisme cedera tidak langsung pada paru


Cedera paru dapat juga terjadi akibat kelainan-kelainan pada organ lain.

Cedera paru dan organ lain ini terutama dimediasi melalui aktivasi dari
mekanisme endogen seluler dan non seluler. Contohnya , ARDS terjadi pada
20-40 % pasien-pasien yang sepsis oleh karena bakteri gram negatif. Pada
keadaan ini diduga bahwa netrofil merupakan mediator yang sangat penting
dalam hal kerusakan paru. Netrofil pertama sekali menumpuk pada kapilerkapiler paru oleh endotoxin-mediated complement activation atau pelepasan
sitokin. Netrofil kemudian melepaskan enzim proteolitik dan memproduksi
Reactive Oxygen Species seperti hidrogen peroksida yang dapat menimbulkan
kerusakan sel-sel endotel dan epitel, intercellular junction yang pada akhirnya
akan meningkatkan permeabilitas. Di samping itu cedera pada endotel dan
epitel oleh sitokin seperti tumor necrosing factor (TNF) dapat menimbulkan
terjadinya peningkatan permeabilitas.
Fase Subakut
Fase

berikutnya

adalah

fase

subakut

yang

ditandai

dengan

berlangsungnya kerusakan alveolus yang difus, disebut DAD (diffuse alveolar


4

damage), hiperplasia sel tipe II alveolus, infiltrasi seluler dan fibrosis yang
dimulai beberapa hari setelah onset ARDS terjadi.

Gambar 1. Gambar alveolus normal dan alveolus yang rusak. 1

MANIFESTASI DAN DIAGNOSIS KLINIS


Tampilan pasien-pasien ARDS pada umumnya mempunyai riwayat
respiratory distress dengan onset yang akut tanpa adanya gejala kelainan paru
yang lain. Pada pemeriksaan fisik pasien menunjukkan pernapasan yang cepat
dan dalam tetapi tidak dijumpai adanya tanda-tanda congestive heart failure.
Pada pemeriksaan radiologis, dijumpai adanya gambaran infiltrat
alveolus yang difus tanpa adanya gambaran bayangan pembesaran jantung.
Disamping

itu,

pada

pemeriksaan

radiologis

gambaran

foto

dada

memperlihatkan adanya infiltrat yang difus, progresif serta bilateral dan sering
berupa infiltrasi yang simetris.
5

Gambar 2.A. CT Scan thoraks: tampak adanya gambaran ground glasses


bilateral.
2.B. Foto rontgen toraks: tampak adanya infiltrat difus bilateral.
Dari

pemeriksaan

analisa

gas

darah

pada

awal-awal

ARDS

menunjukkan keadaan hipoksemia dan hipokapnia dengan suatu alkalosis


respiratorius. Hipoksemia akan menjadi lebih berat dan tidak ada tanda-tanda
perbaikan sekalipun dengan pemberian oksigen murni. Pada kasus-kasus yang
berat, takipnoe dan spontaneous minute ventilation yang tinggi menyebabkan
otot-otot pernapasan akan lelah dan selanjutnya akan terjadi keadaan
hiperkapni.
PERUBAHAN FISIOLOGIS DAN FUNGSI PARU
Perubahan Keseimbangan Cairan di Paru
Terbentuknya edema paru berkaitan dengan perubahan dari faktor-faktor
yang menyebabkan cairan dalam pembuluh darah di paru mengalami
akstravasasi sebagaimana digambarkan oleh persamaan Starling:
Q = K (Pc Pt) d (c t)
Keterangan : Q = kecepatan filtrasi melewati membrane kapiler.
K = koefisien filtrasi hidrostatik.
Pc = tekanan hidrostatik kapiler.
6

Pt = tekanan hidrostatik interstisial.


d = koefisien refleksi protein.
c = tekanan onkotik kapiler.
t = tekanan onkotik interstisial.
Dalam keadaan normal, adanya keseimbangan dari faktor-faktor yang
mempengaruhi aliran cairan yang mengalami ekstravasasi maka hanya
sejumlah kecil saja cairan yang masuk ke dalam interstisial paru dan
selanjutnya akan dialirkan melalui sistem limfatik.
Pada ARDS, terbentuknya edema paru oleh karena meningkatnya
koefisien filtrasi hidrostatik dan menurunnya koefisien refleksi protein akan
mempengaruhi permeabilitas paru terhadap cairan dan makromolekul. Hal ini
akan menyebabkan kurangnya kemampuan untuk menahan aliran cairan dan
kurang efektifnya tekanan onkotik untuk mereabsorbsi cairan yang sudah
mengalami ekstravasasi.
Hipoksemia
Pada ARDS, permasalahan yang paling mengancam jiwa adalah
hipoksemia berat, terutama yang berkaitan dengan tingginya right to left
intrapulmonary shunt

melalui sejumlah cairan yang mengisi alveolus.

Peninggian shunt sebanding dengan penurunan functional residual capacity.


Naik-turunnya shunting ini dapat dikalkulasikan ketika pasien bernapas dengan
oksigen 100% dengan estimasi shunting 5% tiap 100 mmHg. Sebagai contoh,
jika PaO2 pada 100% oksigen adalah 200 mmHg, kemudian terjadi shunting
25%, pada kondisi ini estimasi nilai PaO2 nya diatas 150 mmHg.
Pasien-pasien yang memerlukan ventilasi mekanis umumnya kalau
sudah terjadi keadaan right-left shunt sekitar 20-50%, dimana normalnya < 5%.
Terjadinya peningkatan shunting ini merupakan keadaan yang sangat
menyulitkan dalam memperbaiki kondisi hipoksemia pada ARDS. Penanganan
harus ditujukan untuk menurunkan fraksi shunt.
Penurunan compliance paru

Penurunan compliance paru pada ARDS berkaitan dengan edema yang


luas pada interstisial dan alveolus serta kolapsnya alveolus. Kondisi ini
diperburuk dengan penurunan aktifitas surfaktan. Bertambahnya kekakuan paru
ditunjukkan oleh compliance yang rendah pada pasien-pasien yang memakai
ventilator mekanis. Nilai normal compliance paru adalah 50 100 ml /cm H2O.
Sebagai contoh, tidal volume yang diberikan melalui ventilator 1000 ml tanpa
menggunakan PEEP menghasilkan end inspiratory pressure 10 cm H2O,
dengan perhitungan:
C Stat (Compliance) = volume / pressure
Pressure = 10 cm H2O = end-inspiratory pressure. Jika PEEP=0.
Puncak tekanan ventilator pada contoh ini sekitar 12 cmH2O jika tekanan
saluran napas dan angka inspiratory flow normal.
Pada ARDS dengan compliance paru 20 ml/cmH2O mempunyai tekanan
end inspiratory 50 cmH2O ketika diberikan tidal volume yang sama yaitu 1000
ml. Selanjutnya puncak tekanan inspiratory yang ditimbulkan oleh ventilator
lebih tinggi lagi oleh karena high inspiratory flow rates dibutuhkan untuk
menimbulkan ventilasi permenit yang adekuat.
PENANGANAN
Sampai saat ini prinsip penanganan kasus kasus ARDS kebanyakan
masih bersifat empiris dan suportif. Terapi suportif yang standar pada ARDS
ditujukan untuk melakukan identifikasi dan penanganan gangguan fungsi organ,
baik fungsi paru ataupun bukan paru. Oleh karena itu sebagai tahap yang
paling awal dalam pengobatan ARDS adalah mendiagnosis dan mengobati
kondisi-kondisi yang merupakan faktor-faktor predisposisi dan penyebabnya.
Selanjutnya yang kedua adalah untuk mengembalikan kondisi patologis yang
sudah terjadi. Akan tetapi untuk pencegahan dan pengobatan spesifik yang
efektif untuk munculnya ARDS masih sangat kurang.
Dalam

strategi

penatalaksanaan

ARDS

ada

beberapa

prioritas

penanganan, yaitu :
1. Pengobatan penyakit dasar

Kondisi-kondisi yang menyebabkan ARDS haruslah ditemukan, dan


segera diatasi, misalkan: pneumonia, sepsis, tb milier dan sebagainya. Infeksi
sering merupakan penyebab dasar terjadinya ARDS, oleh karena itu pemberian
antibiotika yang sesuai dan penilaian yang cermat terhadap lokasi infeksi
sangatlah penting.
2. Strategi ventilator
Pada beberapa pasien ARDS, timbulnya shunt pada intrapulmonal dan
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi menyebabkan hipoksemia yang dapat
mengancam jiwa. Selanjutnya peningkatan alveolar dead space dan penurunan
sistem compliance pernapasan dapat menyebabkan kegagalan ventilasi yang
selanjutnya akan menyebabkan hiperkapni dan asidosis respiratorius. Hal yang
utama dalam penanganan suportif ARDS adalah ventilasi mekanis. Dengan
menstabilkan pernapasan, ventilasi mekanis dapat memberikan waktu untuk
tindakan

pengobatan

penyakit

yang

mendasarinya

dan

untuk

proses

penyembuhan secara alami.


a. Perlindungan ventilasi dengan tidal volume kecil
Salah satu tanda yang sangat penting pada ARDS adalah terjadinya
penurunan sistem compliance paru. Hal ini disebabkan oleh atelektase dan
terendamnya alveolus.
Pemberian tidal volume yang tinggi (10-15 ml/kgBB) pada pasien-pasien
yang memakai ventilator akan menimbulkan peningkatan tekanan pada saluran
napas, dan pada beberapa laboratorium percobaan, ventilasi dengan tekanan
saluran napas ini akan menimbulkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah paru, inflamasi yang akut, perdarahan pada alveolar, shunt intrapulmonal
dan munculnya gambaran infiltrat yang difus pada foto toraks.
Oleh karena itu, pemberian ventilasi dengan tidal volume yang kecil dan
adanya pembatasan tekanan saluran napas yang kecil akan mengurangi
terjadinya cedera paru akibat pemakaian mesin ventilator. Sebaliknya
pemberian tidal volume yang kecil dapat mengakibatkan komplikasi yang dapat
berbahaya yaitu asidosis respiratorius yang akut.
b. Perbaikan oksigenasi arteri
9

Kebanyakan pasien ARDS sangat memerlukan perbaikan oksigen arteri


melalui kombinasi PEEP (Positive End Expiratory Pressure) dan FIO2 (Fraction
of Inspired Oxygen). Namun teknik pengaturan PEEP dan FIO2 ini harus
berhati-hati.
Beberapa penelitian pada manusia dilaporkan bahwa tidak dijumpai
adanya keracunan oksigen pada pemberian FIO2 < 50%, akan tetapi gangguan
pertukaran gas dapat terjadi ketika pemakaian FIO2 100% selama 40 jam.
Pada Pasien-pasien ARDS, pemberian FIO2 < 0,6 masih dianggap aman untuk
terjadinya cedera paru.
PEEP dapat mengurangi terjadinya shunt intrapulmonal dan dapat
memperbaiki oksigenasi arteri. Akan tetapi dengan pemberian PEEP akan
mengakibatkan terjadinya penurunan cardiac output (CO), meningkatkan
terjadinya edema paru, meningkatnya dead space, peningkatan resistensi
sirkulasi bronkial dan peningkatan volume paru serta regangan selama inspirasi
akan menimbulkan cedera paru atau barotrauma. Oleh karena itu sangat
dibutuhkan kehatian-hatian dalam pengaturan PEEP untuk menghindari resiko
terjadinya efek samping. Beberapa peneliti menganjurkan bahwa penggunaan
PEEP yang lebih tinggi digunakan untuk meminimalkan FiO2 atau untuk
melindungi paru agar tidak mengalami kolaps pada akhir ekspirasi.
3. Strategi sirkulasi/hemodinamik
Pada dasarnya dalam strategi ini adalah mengurangi preload tanpa
menurunkan cardiac output. Pegangan dalam mengoptimalkan sirkulasi adalah
menghindari pemberian cairan intravena yang berlebihan dan obat obat yang
diberikan secara intravena harus dalam kadar yang maksimal. Hal yang penting
untuk diperhatikan dalam hal ini adalah status mental, jumlah urin, dan berat
jenis serta tanda-tanda berkurangnya perfusi jaringan perifer. Pada pasienpasien

dengan

disfungsi

sistolik

dobutamin

dapat

dipakai

untuk

mempertahankan perfusi dengan pengurangan preload.


4. Pengobatan penyelamatan (salvage therapies)

10

Pengobatan ini dinamakan pengobatan penyelamatan pada pasienpasien yang tidak menunjukkan perbaikan dengan cara-cara yang sudah
dilakukan sebelumnya.
a. Posisi telungkup (prone position)
Banyak penelitian yang membuktikan bahwa pasien-pasien ARDS
dengan posisi telungkup akan menghasilkan oksigenasi yang lebih baik. Posisi
telengkup bila memunginkan dilakukan sejak awal terjadinya ARDS, dan
perhatian khusus diberikan untuk mencegah dekubitus pada hidung, muka dan
telinga serta harus dicegah penekanan pada bola mata yang dapat
menimbulkan iskemik pada bola retina.

Pada beberapa penelitian, posisi

telungkup, atau yang dikenal dengan prone position, rasio PaO2/FiO2 (P/F
ratio) meningkat antara 7 dan yang tertinggi adalah 161, dengan rata rata 76.
Penelitian Gattinoni et al 73% pasien dengan prone position, P/F ratio
meningkat diatas 10 15 mm Hg selama 10 hari. Dengan oksigenasi yang lebih
baik, maka proses shunt intrapulmonal akan berkurang, dan compliance paru
akan menjadi lebih baik.
b. Tracheal gas insufflation
Teknik ini merupakan suatu teknik untuk memasukkan O2 ke dekat
karina melalui selang endotrakeal yang dimodifikasi. Dengan cara ini gas yang
banyak mengandung CO2 akan lebih cepat keluar, dan dengan demikian akan
mengurangi ruang rugi anatomik dan menurunkan CO2. Kerugiannya adalah
erosi trakea, keracunan oksigen karena FIO2 sulit diukur.
c. High-Frequency Ventilation (HFV)
HFV memakai volume tidal diantara 1 5 ml/kg BB dengan RR 0 30
permenit. Pertukaran gas pada kondisi ini kurang jelas.
d. Inverse Ratio Ventilation
Cara ini dilakukan dengan memanjangkan waktu inspirasi (I:E ratio >1).
IRV diharapkan dapat meningkatkan pertukaran gas di alveoli dengan tekanan
rendah dan mengoptimalkan distribusi dan ventilasi.
e. ECMO dan IVOX
Penggunaan Extracorporal Membrane Oxygenation (ECMO) untuk
memperbaiki oksigenasi sambil mengistirahatkan paru pada ARDS belum
11

didukung penelitian secara klinis. Intravenous Oxygenation (IVOX) adalah suatu


alat kecil dengan membran untuk pertukaran gas yang dimasukkan ke dalam
vena inferior.
f.

Perflubron
Perflubron adalah suatu perfluorokarbon, dialirkan ke trakea dan

diharapkan memperbaiki oksigenasi dengan membuka kembali alveolus


dengan tekanan hidrolik. Tindakan ini dinamakan juga partial liquid lung
ventilation. Cara ini masih dalam tahap penelitian.
5. Farmakoterapi
a. Nitrit Oksida
NO

merupakan

vasodilator

seluler

yang

jika

diinhalasi

dapat

menimbulkan dilatasi sirkulasi pulmonal, tapi tidak untuk sirkulasi sistemik.


Sebagai akibatnya akan menurunkan shunt intrapulmonary meningkatkan rasio
ventilasi-perfusi, menurunkan tekanan arteri pulmonalis dan meningkatkan
oksigenasi arteri.
b. Surfaktan
Merupakan zat endogen yang mempunyai fungsi untuk menurunkan
tekanan alveoli sehingga dapat mencegah terjadinya atelektase.
c. Kortikosteroid
Pada fase awal ARDS tidak terbukti memperbaiki pertukaran gas atau
fungsi paru lainnya. Akan tetapi pemakaian kortikosteroid bermanfaat pada fase
akhir ARDS.
Namun, beberapa penelitian membuktikan pemberian kortikosteroid
pada fase awal ARDS, mampu menurunkan reaksi inflammasi sistemik dan
secara signifikan memberikan perbaikan terhadap disfungsi paru dan ekstra
paru serta mengurangi masa pemakaian ventilator dan lama perawatan di ICU.
Tetapi pemakaian obat ini mempunyai efek samping yaitu, terjadinya
infeksi nosokomial, sepsis dan kelemahan neuromuskular.

12

DAFTAR PUSTAKA
1. Mtthay A. Michael. Acute respiratory distress syndrome: pathogenesis. In:
Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, et al, Eds. Fishmans pulmonary
diseases and disorders. 4th ed, Vol 2. New York: Mc Graw Hill Companies,
2008: 2523 - 2534.
2. D Jason, Lanken PN. Acute lung injury and the acute respiratory distress
syndrome: clinical features, management and outcomes. In: Fishman AP,
Elias JA, Fishman JA, et al, Eds. Fishmans pulmonary diseases and
disorders. 4th ed, Vol 2. New York: Mc Graw Hill Companies, 2008 : 2535 2560.
3. Persons EP. Acute respiratory distress syndrome. In: Hanley ME, Welsh
CH, editors. Current diagnosis and treatment in pulmonary medicine.
International ed. New York: Mc Graw Hill Companies, 2003 : 161 166.
4. Stone CK, Humpries Rogers, editors. Acute lung injury and acute
respiratory distress syndrome. In: Current emergency diagnosis and
treatment. 5th ed. New York: Mc Graw Hill Companies, 2003 : 672 673.
5. Flick MR. Pulmonary edema and acute lung injury. In: Murray JF, Nadell
JA. Text book of respiratory medicine. Vol 2, 3rd ed. Philadelphia: W.B
Saunders Company, 2005 : 1573 1593
6. Bhorade S. Acute hypoxemic respiratory. In: Hall JB, Schmid GA, Wood
LDH. Principles of critical care. 2nd ed. New York: Mc Graw Hill
Companies, 1999: 175 187.
7. Blanch L, Mancebo J, Perez M, et al. Short-term effects of prone position
in criticallyill patients with acute respiratory distress syndrome. Intensive
Care Med 23,1997 :1033 1039, 1997.

13

You might also like