You are on page 1of 12

Jend. Besar TNI Purn.

Haji Moehammad Soeharto, (ER, EYD: Suharto) (lahir di


Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – meninggal di Jakarta, 27 Januari 2008
pada umur 86 tahun[1]) adalah Presiden Indonesia yang kedua (1967-1998), menggantikan
Soekarno.

Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan
Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan 30
September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab dan
memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.[2]

Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi presiden
pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan
1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21
Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung
DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya
sebagai presiden. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie.

Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa


kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil dan
mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur. Suharto juga membatasi kebebasan
warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, dan dianggap sebagai
rezim paling korupsi sepanjang masa dengan jumlah US$15 milyar sampai US$35 milyar.[3]
Usaha untuk mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya yang memburuk. Setelah
menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta
pada tanggal 27 Januari 2008.

Kasus dugaan korupsi Soeharto menyangkut penggunaan uang negara oleh 7 buah yayasan
yang diketuainya, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan
Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan
Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan
Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995.
Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya
untuk Yayasan Dana Mandiri.

Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an
halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan
dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak
tahun 1999

Uang negara 400 miliar mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara tahun 1996 dan 1998.
Asalnya dari pos Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden. Dalam
berkas kasus Soeharto, terungkap bahwa Haryono Suyono, yang saat itu Menteri Negara
Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, mengalihkan
dana itu untuk yayasan. Ketika itu, dia masih menjadi wakil ketua di Dana Mandiri. Bambang
Trihatmodjo, yang menjadi bendahara yayasan ini, bersama Haryono, ternyata mengalirkan
lagi dana Rp 400 miliar yang telah masuk ke yayasan itu ke dua bank miliknya, Bank Alfa
dan Bank Andromeda, pada 1996-1997, dalam bentuk deposito.

Dari data dalam berkas Soeharto, Bob Hasan paling besar merugikan keuangan negara,
diduga mencapai Rp 3,3 triliun. Hal ini juga terungkap dari pengakuan Ali Affandi,
Sekretaris Yayasan Supersemar, ketika diperiksa sebagai saksi kasus Soeharto. Dia
membeberkan, Yayasan Supersemar, Dakab, dan Dharmais memiliki saham di 27 perusahaan
Grup Nusamba milik Bob Hasan. Sebagian saham itu masih atas nama Bob Hasan pribadi,
bukan yayasan.

Hutomo Mandala Putra, putra bungsu Soeharto bersama bersama Tinton Suprapto, pernah
memanfaatkan nama Yayasan Supersemar untuk mendapatkan lahan 144 hektare di
Citeureup, Bogor, guna pembangunan Sirkuit Sentul. Sebelumnya, Tommy dan Tinton
berusaha menguasai tanah itu lewat Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tapi gagal.

Kronologi Kasus Dugaan Korupsi Soeharto


Senin, 31 Mei 2004 | 17:13 WIB

1 September 1998
Tim Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan-
yayasan yang dikelola Soeharto, dari anggaran dasar lembaga tersebut.

6 September 1998
Soeharto mengumumkan kekayaannya melalui Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). "Saya
tidak punya uang satu sen pun...," kata Soeharto. Dalam wawancara dengan TPI, Soeharto
menyatakan tak memiliki kekayaan seperti pernah dilansir media massa.

9 September 1998
Tim Konsultan Cendana meminta kepada Presiden serta Menteri Pertahanan dan Keamanan
agar memberikan perhatian ekstraketat dan melindungi Soeharto dari penghinaan, cercaan,
dan hujatan.

11 September 1998
Pemerintah Swiss menyatakan bersedia membantu pemerintah RI melacak rekening-rekening
Soeharto di luar negeri.

15 September 1998
Jaksa Agung Andi M. Ghalib ditunjuk sebagai Ketua Tim Investigasi Kekayaan Soeharto.

21 September 1998
Jaksa Agung Andi M. Ghalib berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Cendana untuk
mengklarifikasi kekayaan Soeharto.

25 September 1998
Soeharto datang ke Kantor Kejaksaan Agung untuk menyerahkan dua konsep surat kuasa
untuk mengusut harta kekayaannya, baik di dalam maupun di luar negeri.
29 September 1998
Kejagung membentuk Tim Penyelidik, Peneliti dan Klarifikasi Harta Kekayaan Soeharto
dipimpin Jampidsus Antonius Sujata.

13 Oktober 1998
Badan Pertanahan Nasional mengumumkan tanah Keluarga Cendana tersebar di 10 provinsi
di Indonesia.

22 Oktober 1998
Andi M Ghalib menyatakan, keputusan presiden yang diterbitkan mantan presiden Soeharto,
sudah sah secara hukum. Kesalahan terletak pada pelaksanaannya.

28 Oktober 1998
Tim Pusat Intelijen Kejaksaan Agung memeriksa data tanah peternakan Tapos milik
Soeharto.

21 November 1998
Presiden Habibie mengusulkan pembentukan komisi independen mengusut harta Soeharto.
Tapi, usulan ini kandas.

22 November 1998
Soeharto menulis surat kepada Presiden Habibie, isinya tentang penyerahan tujuh yayasan
yang dipimpinnya kepada pemerintah.

2 Desember 1998
Presiden Habibie mengeluarkan Inpres No. 30/1998 tentang pengusutan kekayaan
Soeharto.

5 Desember 1998
Jaksa Agung mengirimkan surat panggilan kepada Soeharto.

7 Desember 1998
Di depan Komisi I DPR, Jaksa Agung mengungkapkan hasil pemeriksaan atas tujuh yayasan:
Dharmais, Dakab, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong
Royong, dan Trikora. Sejumlah yayasan memiliki kekayaan senilai Rp 4,014 triliun. Jaksa
Agung juga menemukan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri dengan
nilai deposito Rp 24 miliar, Rp 23 miliar tersimpan di rekening BCA, dan tanah seluas 400
ribu hektare atas nama Keluarga Cendana.

9 Desember 1998
Soeharto diperiksa Tim Kejaksaan Agung menyangkut dugaan penyalahgunaan dana
sejumlah yayasan, program Mobil Nasional (mobnas), kekayaan di luar negeri, perkebunan
dan peternakan Tapos.

9 Desember 1998
Soeharto diperiksa oleh Tim 13 Kejaksaan Agung diketuai JAM. Pidsus Antonius Sujata
selama 4 jam di Gedung Kejaksaan Tinggi Jakarta. Dengan alasan keamanan Soeharto,
tempat pemeriksaan tidak jadi dilakukan di Gedung Kejaksaan Agung.
28 Desember 1998
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Hasan Basri Durin
mengungkapkan, keluarga Cendana atas nama pribadi dan badan hukum atau perusahaan
menguasai 204.983 hektare tanah bersertifikat hak guna bangunan (HGB) dan hak milik
(HM).

30 Desember 1998
Mantan Wakil Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo, seusai dimintai keterangan di
Kejaksaan Agung, menyatakan pembuatan Keppres dan Inpres tentang proyek mobil nasional
Timor adalah perintah langsung dari mantan presiden Soeharto.

12 Januari 1999
Tim 13 Kejaksaan Agung mengungkapkan, mereka menemukan indikasi unsur perbuatan
melawan hukum yang dilakukan Soeharto.

4 Februari 1999
Kejaksaan Agung memeriksa Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulung Soeharto, sebagai
bendahara Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan yang dipimpin Soeharto.

9 Februari 1999
Soeharto melalui tujuh yayasan yang dipimpinnya mengembalikan uang negara sebesar Rp
5,7 triliun.

9 Februari 1999
Jaksa Agung Andi M. Ghalib melaporkan hasil investigasi 15 kedutaan besar RI yang
menyimpulkan tidak ditemukan harta kekayaan Soeharto di luar negeri. Laporan dari Belanda
menyebutkan ada sebuah masjid di daerah Reswijk, Belanda yang dibangun atas sumbangan
Probosutedjo, adik tiri Soeharto. Kastorius Sinaga, anggota Gerakan Masyarakat Peduli Harta
Negara (Gempita), meragukan laporan Jaksa Agung itu.

11 Maret 1999
Soeharto, melalui kuasa hukumnya, Juan Felix Tampubolon, meminta Jaksa Agung
menghentikan penyelidikan terhadapnya atas dugaan KKN.

13 Maret 1999
Soeharto menjalani pemeriksaan tim dokter yang dibentuk Kejaksaan Agung di RSCM.

16 Maret 1999
Koran The Independent, London, memberitakan Keluarga Cendana menjual properti di
London senilai 11 juta poundsterling (setara Rp 165 miliar).

26 Mei 1999
JAM Pidsus Antonius Sujata, Ketua Tim Pemeriksaan Soeharto dimutasikan.

27 Mei 1999
Soeharto menyerahkan surat kuasa kepada Kejagung untuk mencari fakta dan data berkaitan
dengan simpanan kekayaan di bank-bank luar negeri (Swiss dan Austria) .

28 Mei 1999
Soeharto mengulangi pernyataannya, bahwa dia tidak punya uang sesen pun.
30 Mei 1999
Andi Ghalib dan Menteri Kehutanan Muladi berangkat ke Swiss untuk menyelidiki dugaan
transfer uang sebesar US$ 9 miliar dan melacak harta Soeharto lainnya.

11 Juni 1999
Muladi menyampaikan hasil penyelidikannya bahwa pihaknya tidak menemukan simpanan
uang Soeharto di bank-bank Swiss dan Austria.

9 Juli 1999
Tiga kroni Soeharto yaitu Bob Hasan, Kim Yohannes Mulia dan Deddy Darwis diperiksa
Kejagung dalam kasus yayasan yang dikelola Soeharto.

19 Juli 1999
Soeharto terserang stroke dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan.

11 Oktober 1999
Pemerintah menyatakan tuduhan korupsi Soeharto tak terbukti karena minimnya bukti.
Kejagung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus
Soeharto. Aset yang ditemukan diserahkan kepada pemerintah.

6 Desember 1999
Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid membuka kembali pemeriksaan kekayaan
Soeharto.

6 Desember 1999
Jaksa Agung baru, Marzuki Darusman mencabut SP3 Soeharto.

29 Desember 1999
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan Soeharto atas pencabutan
SP3.

14 Februari 2000
Kejagung memanggil Soeharto guna menjalani pemeriksaan sebagai tersangka tapi tidak
hadir dengan alasan sakit.

16 Februari 2000
Jaksa Agung Marzuki Darusman membentuk Tim Medis untuk memeriksa kesehatan
Soeharto.

31 Maret 2000
Soeharto dinyatakan sebagai tersangka penyalahgunaan uang dana yayasan sosial yang
dipimpinnya.

3 April 2000
Tim Pemeriksa Kejagung mendatangi kediaman Soeharto di Jalan Cendana. Baru diajukan
dua pertanyaan, tiba-tiba tekanan darah Soeharto naik.

13 April 2000
Soeharto dinyatakan sebagai tahanan kota.
29 Mei 2000
Soeharto dikenakan tahanan rumah.

7 Juli 2000
Kejagung mengeluarkan surat perpanjangan kedua masa tahanan rumah Soeharto.

14 Juli 2000
Pemeriksaan Soeharto dinyatakan cukup dengan meminta keterangan 140 saksi dan siap
diberkas Tim Kejagung.

15 Juli 2000
Kejagung menyita aset dan rekening yayasan-yayasan Soeharto.

3 Agustus 2000
Soeharto resmi sebagai tersangka penyalahgunaan dana yayasan sosial yang didirikannya dan
dinyatakan sebagai terdakwa berbarengan dengan pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan
Tinggi Jakarta.

8 Agustus 2000
Kejaksaan Agung menyerahkan berkas perkara ke PN Jakarta Selatan.

22 Agustus 2000
Menkumdang Yusril Ihza Mahendra menyatakan proses peradilan Soeharto dilakukan di
Departemen Pertanian, Jakarta Selatan.

23 Agustus 2000
PN Jakarta Selatan memutuskan sidang pengadilan HM Soeharto digelar pada 31 Agustus
2000 dan Soeharto diperintahkan hadir.

31 Agustus 2000
Soeharto tidak hadir dalam sidang pengadilan pertamanya. Tim Dokter menyatakan Soeharto
tidak mungkin mengikuti persidangan dan Hakim Ketua Lalu Mariyun memutuskan
memanggil tim dokter pribadi Soeharto dan tim dokter RSCM untuk menjelaskan perihal
kesehatan Soeharto.

14 September 2000
Soeharto kembali tidak hadir di persidangan dengan alasan sakit.

23 September 2000
Soeharto menjalani pemeriksaan di RS Pertamina selama sembilan jam oleh 24 dokter yang
diketuai Prof dr M Djakaria. Hasil pemeriksaan menunjukkan, Soeharto sehat secara fisik,
namun mengalami berbagai gangguan syaraf dan mental sehingga sulit diajak komunikasi.
Berdasar hasil tes kesehatan ini, pengacara Soeharto menolak menghadirkan kliennya di
persidangan.

28 September 2000
Majelis Hakim menetapkan penuntutan perkara pidana HM Soeharto tidak dapat diterima dan
sidang dihentikan. Tidak ada jaminan Soeharto dapat dihadapkan ke persidangan karena
alasan kesehatan. Majelis juga membebaskan Soeharto dari tahanan kota.
PERBANDINGAN KORUPSI SOEHARTO DENGAN PARA KORUPSI
DIBEBERAPA NEGARA

Ferdinand Marcos, Presiden Filipina 1972-1986

Pria ini hanya berkuasa jika sedang di luar rumah. Tiba di kamar, berjumpa istri yang
doyan hidup mewah, ia menekuk lutut. Lelaki itu, Ferdinand Marcos, Presiden
Filipina 1972-1986. Sang istri, Imelda, adalah sang perongrong yang menikmati betul
hasil "jarahan" suaminya.

Empat belas tahun berkuasa, uang yang dikeruk Marcos US$ 5-10 miliar. Tubuh
Imelda bak toko permata berjalan. Suatu saat, Imelda berbelanja ke pusat perhiasan di
Zurich, Swiss. Semua permata paling mahal ia beli. Duit US$ 1 juta (sekitar Rp 9
miliar) ludes cuma sehari.

Gerakan people power menggulingkan Marcos pada 1986. Ketika itu massa menyita
permata Imelda bernilai US$ 10 juta. Pemerintah pernah mendapatkan 1.220 pasang
sepatu dari paling tidak 3.000 pasang koleksi Imelda. Salah satunya selop yang biasa
dipakai pengantin Jawa. Imelda menanggapi dingin penggeledahan itu. "Puji syukur,
Tuhan. Mereka menemukan sepatu ketika membuka lemariku, bukan kerangka
manusia," katanya.

Koleksi sepatu Imelda kini dipajang dalam Museum Imelda di Kota Marikina, dekat
kawasan mewah Makati. Pemerintah juga menyita 500 gaun dan 300 kutang. Satu di
antara beha Imelda itu berbahan anti-peluluru. Yang juga disita: koleksi lukisan,
perabotan rumah dari bahan perak, dan mebel.

Ferdinand Marcos menggunakan hukum militer untuk memelihara kekuasaannya.


Ribuan orang ia penjarakan tanpa pengadilan. Revolusi jalanan rakyat Filipina
menyudahi Marcos dan membuatnya terusir ke Hawaii, Amerika Serikat, pada
Februari 1986. Tiga tahun kemudian Marcos mangkat.

Pemerintah Filipina sempat melarang mayat Marcos dibawa pulang-meski larangan


itu tak berlangsung lama. Yang tetap tak dikabulkan pemerintah adalah permintaan
Imelda agar Marcos dikuburkan di taman makam pahlawan. Jasad itu kini diawetkan
dalam peti kaca berpendingin di rumah keluarga Marcos di Batac, Filipina utara. Kini
dinasti Marcos tinggal di kondominium mewah di Manila.

Presiden Filipina lainnya, Joseph Estrada, menjadi penerus Marcos dalam hal korupsi.
Memerintah pada 1998-2001, Estrada terbukti menggelapkan pajak US$ 80 juta dari
gembong judi. Bekas bintang film ini suka mengambil keputusan politik tatkala
mabuk-mabukan bersama orang-orang dekatnya di istana. Ia juga mengakui memiliki
sejumlah anak dari banyak wanita. Pengadilan korupsi Filipina pada 12 September
lalu menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada lelaki flamboyan itu.

Koruptor kelas dunia lainnya adalah Mobutu Sese Seko. Diktator Zaire 1965-1997 itu
naik ke tampuk kekuasaan setelah mengkudeta Presiden Kasavubu.
Pada awal dekade 1970 ia berkampanye anti-Eropa dan pro-budaya Afrika.
Perusahaan asing di Zaire ia nasionalisasi. Mobutu memanfaatkan kekuasaan untuk
mengeduk duit negara melalui jaringan birokrasi. Hingga 1984, pundi-pundinya di
bank Swiss menyimpan US$ 4 miliar. Sebelum Laurent Desire Kabila
menggulingkannya pada Mei 1997, Mobutu masuk daftar orang terkaya dunia dengan
harta US$ 8 miliar-40 persennya dari hasil menilap bantuan asing.

Sese Seko suka menikmati hidup dengan tingggal di vila mewah berbahan kayu pinus
dan bertatah emas di Rabat, Maroko. Vila ini ia beli dari miliarder Arab Saudi. Selain
itu, Mobutu kerap piknik ke vila-vila mewah Swiss. Pada 1997 ia meninggal akibat
kanker prostat.

Dari Afrika, ada pula Sani Abacha. Pengusaha Nigeria yang berkuasa pada 1993-1998
ini mencuri uang negara US$ 2-5 miliar. Pada 2001 kekayaannya tersimpan atas nama
keluarga dan kroninya di setidaknya 19 bank di Eropa, seperti BNP Paribas, Deutsche
Bank, Commerzbank, Credit Agricole, Credit Suisse, dan HSBC. Pengadilan Swiss
membekukan seluruh aset keluarga Abacha di negeri itu untuk diserahkan ke Nigeria.
Pengadilan meyakini pundi kekayaan Abacha berasal dari kejahatan terorganisasi.

Peringkat lima koruptor dunia versi PBB diduduki Presiden Serbia (Yugoslavia)
Slobodan Milosevic. Selama berkuasa pada 1989-2000, ia mengeduk kekayaan
hingga US$ 1 miliar. Pengadilan menangkap Milosevic pada 1 April 2000, setelah
mengepung rumahnya 36 jam. Milosevic diekstradisi ke Den Haag, Belanda, untuk
diadili dengan tuduhan melakukan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan.
Ketika berkuasa ia memang telah membasmi etnis Kroasia, Bosnia-Herzegovina,
Slovenia, dan Albania. Milosevic meninggal dalam tahanan pada 11 Maret 2006,
beberapa bulan sebelum vonis dijatuhkan.

Lain Milosevic, lain pula Jean-Claude Duvalier-penguasa Haiti pada 1971-1986.


Duvalier memerintah dengan tangan besi dan menggunakan tentara pribadi untuk
menghantam para penentangnya. Selama memerintah, ia mencuri duit negara US$
300-800 juta. Pada 1986 ia mati dan 15 tahun kemudian kerangka Duvalier digali
untuk dipertontonkan dan ditimpuki rakyat Haiti.

Alberto Fujimori berada pada peringkat ketujuh. Berkuasa di Peru pada 1990-2000,
anak imigran Jepang ini bergandeng tangan dengan Kepala Dinas Rahasia Vladimiro
Montesinos dalam mengeruk duit rakyat. Mereka tercebur skandal suap US$ 15 ribu
kepada anggota partai oposisi Alberto Kouri. Ia membungkam pers dengan
memberikan amplop US$ 500 ribu per bulan kepada pemilik televisi Channel 2
dengan permintaan agar televisi itu tak menyiarkan pendapat oposisi. Ia juga
menyogok US$ 350 ribu ke kantong pemilik stasiun televisi Channel 5 dan US$ 50
ribu kepada pemilik Channel 9 agar tak menayangkan hasil investigasi korupsi yang
ia lakukan.

Di Eropa Timur ada Pavlo Lazarenko. Perdana Menteri Ukraina 1996-1997 ini
dituding melakukan pencucian uang. Ia pernah diadili secara in absentia dan dihukum
18 bulan penjara serta denda US$ 5,9 juta. Ia menjadi otak pembunuhan wakilnya,
Yevhen Scherban, pada 1996, dan gubernur bank sentral Vadim Hetman pada 1997.
Pada November 2002, Swiss mengembalikan US$ 6,6 juta uang curian Lazarenko
yang disimpang di bank negara itu.
Si pencuri uang lainnya adalah Arnoldo Aleman, Presiden Nikaragua 1997-2002. Ia
menyelewengkan uang negara US$ 100 juta dan menyimpannya di berbagai bank di
luar negeri. Ia dijatuhi hukuman penjara 20 tahun atas tuduhan korupsi, pencucian
uang, menyalahkan dana publik, pemalsuan, berkomplot dalam kejahatan, dan
kecurangan pemilu. Kekayaan Alema tumbuh dari US$ 50 ribu pada 1989 menjadi
US$ 250 juta pada 2001.

Mobutu Sese Seko Presiden Zaire Miliar

Sese Seko Nkuku Ngbendu wa Za Banga (14 Oktober 1930 - 7 September 1997),
umum dikenal sebagai Mobutu atau Mobutu Sese Seko adalah Presiden Zaire
(Republik Demokratik Kongo) 1965-1997. Sedangkan di kantor, ia membentuk
sebuah rezim otoriter di Zaire dan mencoba untuk membersihkan negara semua
pengaruh budaya kolonial sementara juga mempertahankan sikap anti-komunis.
Sese Seko Nkuku Ngbendu wa Za Banga (14 Oktober 1930 - 7 September 1997),
umum dikenal sebagai Mobutu atau Mobutu Sese Seko adalah Presiden Zaire
(Republik Demokratik Kongo) 1965-1997. Sedangkan di kantor, ia membentuk
sebuah rezim otoriter di Zaire dan mencoba untuk membersihkan negara semua
pengaruh budaya kolonial sementara juga mempertahankan sikap anti-komunis.

Mobutu, anggota kelompok etnis Ngbandi, lahir di Lisala, Kongo Belgia. ibu
Mobutu, Marie Madeleine Yemo, adalah sebuah kamar hotel yang melarikan diri
ke Lisala untuk melarikan diri dari harem dari kepala desa setempat. Di sana dia
bertemu dan menikah Albéric Gbemani, koki untuk hakim Belgia. Dua bulan
kemudian ia melahirkan Mobutu. Nama "Mobutu" dipilih oleh seorang paman.
Gbemani meninggal ketika Mobutu delapan.

Istri hakim Belgia menyukai Mobutu dan mengajarkan kepadanya untuk


berbicara, membaca dan menulis bahasa Prancis yang fasih. Yemo mengandalkan
bantuan saudara untuk mendukung keempat anaknya, dan keluarga sering pindah.
Mobutu studi awal berada di Leopoldville, tapi ibunya akhirnya mengirimnya ke
paman di Coquilhatville, di mana ia menghadiri Christian Brothers School, sebuah
sekolah Katolik misi asrama. Sosok fisik mengesankan, ia didominasi olahraga
sekolah. Dia juga unggul di bidang akademik, dan berlari koran kelas. Ia juga
dikenal karena pranks dan rasa humor nakal; teman sekelas ingat bahwa ketika
para imam Belgia, yang pertama adalah bahasa Belanda, salah bicara dalam
bahasa Prancis, Mobutu akan melompat berdiri di kelas dan menunjukkan
kesalahan. Pada tahun 1949 disimpan Mobutu pergi naik perahu untuk
Leopoldville dan bertemu dengan seorang gadis. Para imam menemukannya
beberapa minggu kemudian, dan pada akhir tahun ajaran ia dikirim ke Force
Publique (FP), tentara Kongo Belgia. Pendaftaran, yang datang dengan tujuh
tahun, adalah hukuman bagi siswa memberontak.

Mobutu ditemukan dalam hidup disiplin tentara, serta sebagai tokoh ayah di
Bobozo Sersan Yusuf. Mobutu terus studinya dengan meminjam surat kabar
Eropa dari para perwira Belgia dan buku-buku dari manapun ia bisa menemukan
mereka, membaca mereka bertugas penjaga dan setiap kali dia punya waktu
luang. favorit pribadinya adalah tulisan Presiden Prancis Charles de Gaulle,
Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, dan Italia filsuf Niccolò Machiavelli.
Setelah lulus kursus akuntansi, ia mulai mencoba-coba profesional dalam
jurnalisme. Masih marah setelah bentrokan dengan para imam sekolah, ia tidak
menikah di gereja. kontribusi-Nya untuk perayaan pernikahan adalah peti bir,
semua gaji pasukannya mampu.

Sebagai seorang prajurit, Mobutu menulis pseudonymously pada politik


kontemporer untuk majalah baru yang didirikan oleh seorang kolonial Belgia,
Actunigalités Africaines. Pada tahun 1956, ia berhenti dari tentara dan menjadi
wartawan penuh waktu, menulis untuk harian L'Avenir Leopoldville. Dua tahun
kemudian, ia pergi ke Belgia untuk menutup Dunia 1958 Pameran dan tinggal
untuk menerima pelatihan dalam jurnalisme. Pada saat ini, Mobutu telah bertemu
banyak intelektual Kongo muda yang menantang kekuasaan kolonial. Dia menjadi
teman dengan Patrice Lumumba dan bergabung Lumumba's Mouvement Congolais
Nasional (MNC). Mobutu akhirnya menjadi asisten pribadi Lumumba, meskipun
beberapa sezaman menunjukkan bahwa intelijen Belgia telah direkrut Mobutu
menjadi informan pada titik ini.

Selama tahun 1960 pembicaraan di Brussels pada kemerdekaan Kongo, Kedutaan


Besar AS mengadakan resepsi untuk memperoleh rasa yang lebih baik dari
delegasi Kongo. Staf Kedutaan Besar masing-masing diberikan daftar anggota
delegasi untuk bertemu dan kemudian mendiskusikan kesan-kesan mereka. Duta
besar mencatat, "Satu nama terus datang Tapi itu tidak ada dalam daftar
siapapun karena ia bukan anggota delegasi resmi, ia menjadi sekretaris Lumumba
itu.. Tapi semua orang setuju bahwa ini adalah orang yang sangat cerdas, sangat
muda, mungkin belum menghasilkan , tetapi seorang pria dengan potensi besar.
Slobodan Miloševic - Presiden Serbia

Slobodan Milošević 20 August 1941 - 11 Maret 2006 adalah Presiden Serbia dan
Yugoslavia. Dia adalah penjahat perang yang menjabat sebagai Presiden Republik
Sosialis Serbia dan Republik Serbia dari tahun 1989 hingga 1997 di tiga syarat
dan sebagai Presiden Republik Federal Yugoslavia 1997-2000. Ia juga memimpin
Partai Sosialis Serbia dari yayasan pada tahun 1990.

Di tengah-tengah pemboman NATO Serbia, Milosevic dituduh melakukan


kejahatan terhadap kemanusiaan oleh Pengadilan Kriminal Internasional untuk
bekas Yugoslavia (ICTY), tetapi pengadilan kemudian berakhir inconclusively
setelah proses panjang dan pertahanan yang kuat, yang berakhir dengan
kematian Milosevic secara mencurigakan

Milošević mengundurkan diri sebagai presiden Yugoslavia di tengah demonstrasi,


menyusul pemilihan presiden yang dipersengketakan tanggal 24 September 2000.
Ia ditangkap oleh pemerintah federal Yugoslavia pada Sabtu 31 Maret atas
dugaan korupsi, 2001, penyalahgunaan kekuasaan, dan penggelapan. Penyelidikan
awal menjadi Milosevic ragu karena kekurangan bukti, membuat Perdana Menteri
Serbia Zoran Ðindic mengirimnya ke Den Haag untuk diadili atas tuduhan
kejahatan perang sebagai gantinya.

Dilakukan Milošević membela diri dalam persidangan panjang lima tahun, yang
berakhir tanpa vonis ketika Milosevic meninggal dalam Perang Pidana Penjara di
Den Haag. Milosevic, yang menderita penyakit jantung dan tekanan darah tinggi,
meninggal karena serangan jantung. Majelis menyangkal bertanggung jawab atas
kematian Milosevic. Mereka mengklaim bahwa ia menolak untuk mengambil resep
obat-obatan dan obat sendiri sebagai gantinya.

Milosevic telah berakar dalam klan Montenegro Vasojevici, lahir dan dibesarkan
di Požarevac, Yugoslavia selama pendudukan Poros Perang Dunia II. Orang tuanya
segera dipisahkan setelah perang. Ayahnya, Svetozar Milosevic, menembak
dirinya sendiri pada tahun 1962, sementara ibunya, Stanislava Resanovic, seorang
guru sekolah dan juga anggota aktif Partai Komunis, bunuh diri pada tahun 1972.

Dia melanjutkan belajar hukum di Universitas Beograd Fakultas Hukum, di mana


ia menjadi ketua komite ideologi Liga Komunis Yugoslavia (SKJ) cabang siswa
(SSOJ). Sementara di universitas, ia berteman dengan Ivan Stambolic, yang
paman Petar Stambolic telah menjadi presiden Serbia Dewan Eksekutif (setara
Komunis perdana menteri). Hal ini untuk membuktikan koneksi penting bagi
prospek karir Milosevic, sebagai Stambolic disponsori naik lewat hirarki SKJ.

Pada meninggalkan universitas pada tahun 1960, Milosevic menjadi penasehat


ekonomi tersebut Walikota Beograd. Lima tahun kemudian, ia menikah dengan
Mirjana Markovic, yang dikenalnya sejak kecil. Markovic akan memiliki pengaruh
pada karier politik suaminya baik sebelum dan setelah naik ke kekuasaan, ia juga
pemimpin mitra koalisi junior Milosevic, Yugoslavia Waktu (Juli) pada 1990-an.
Pada tahun 1968 ia mendapat pekerjaan di perusahaan Tehnogas, di mana
Stambolic bekerja, dan menjadi ketua pada tahun 1973. Pada tahun 1978,
sponsor Stambolic telah diaktifkan Milosevic menjadi kepala Beobanka, salah
satu bank terbesar Yugoslavia; sering pergi ke Paris dan New York memberinya
kesempatan untuk belajar bahasa Inggris.

You might also like