You are on page 1of 3

Pulau-Pulau Kecil Terluar, Siapa Peduli?

Penulis : Fakhruddin Mustofa


: Eks Geografi KPJ UGM 96
: Staf Bakosurtanal, Bogor

Isu perbatasan kian menghangat dalam beberapa pekan ini. Eksekutif,


Legislatif, tak ketinggalan pula berbagai komponen Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) melontarkan komentar dan pemikiran kritis tentang problem perbatasan.
Komentar tersebut kadangkala membangkitkan ‘emosi kebangsaan sesaat’. Bisa
dimaklumi, karena perbatasan berhubungan erat dengan wilayah kedaulatan negara.
Kasus perbatasan yang sempat terangkat luas ke publik antara lain reklamasi pantai
Singapura, penutupan 4 pintu perbatasan darat di Belu, dan Blok Ambalat yang mulai
mencuat. Contoh kasus, proyek reklamasi pantai Singapura yang berlangsung sejak
Tahun 1960 dikawatirkan berdampak negatif terhadap lingkungan dan sumberdaya
perikanan. Kekhawatiran dari sejumlah pihak akan terusiknya kedaulatan negara
akibat reklamasi juga patut dicermati. Persoalan semakin kompleks ketika pasir untuk
keperluan reklamasi Singapura diambil dari wilayah perairan Kepulauan Riau.
Beberapa pulau di kawasan ini dikhawatirkan tenggelam. Di sisi lain, luas daratan
Singapura meningkat dalam kurun waktu tertentu. Tercatat pada Tahun 1960 luas asli
Singapura sebesar 580 Km2. Bertambah menjadi 660 Km2 sampai Tahun 1999,
bahkan peningkatan drastis terjadi pada Tahun 2002 menjadi 680 Km2. Diperkirakan
luas Singapura di penghujung 2006 sampai 760 Km2. Apakah dengan bertambahnya
daratan Singapura berpengaruh pada masalah perbatasan?, bagaimana nasib pulau
kecil di wilayah perbatasan di Kepulauan Riau terkait ekspor pasir?, siapa yang dapat
menjamin keutuhan wilayah kedaulatan?. Dibutuhkan kajian detil untuk menjawabnya.
Persoalan terkait yang lebih besar tanpa mengecilkan kasus diatas yakni
tentang ‘nasib’ Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT). Mungkin sudah usang
membicarakannya, tetapi tidak akan basi untuk mengungkapnya. Wawasan Nusantara
hanya akan menjadi wacana kosong bila tidak mengenal nama dan dimana pulau-
pulau tersebut berada. Terlalu banyak buih di mulut daripada optimalisasi rekaman
kaset di otak. Begitulah kurang lebih ungkapannya. Tidak berlebihan bila PPKT
menjadi garda terdepan dalam menjaga wilayah kedaulatan Indonesia. Posisinya
sangat strategis untuk menarik garis Batas Laut Teritorial, Zona Tambahan, Batas
Landas Kontinen, dan zona ekonomi Eksklusif. Indonesia sebagai negara kepulauan
yang telah diakui oleh UNCLOS dan telah diratifikasi, berhak menentukan garis
batasnya. Dari 183 Titik Dasar (TD) yang menjadi patokan untuk menarik garis
pangkal, tercatat ada 92 TD berada di pulau-pulau kecil terluar. Hal ini berarti
keberadaan PPKT sangat vital dalam kerangka kedaulatan negara. Dipertegas lagi
oleh PP No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia. Di situ disebutkan bahwa ada 92 PPKT yang menjadi
acuan menarik garis pangkal. Anggapan bahwa PPKT merupakan pulau liar tak terurus
dan seonggok batu karang, tidak selamanya benar. Kurang lebih hanya sepertiga dari
PPKT yang dihuni, selebihnya masih berupa hutan bervegetasi lebat sampai jarang.
Selain itu beberapa PPKT memiliki potensi wisata, keanekaragaman terumbu karang,
dan sumber daya perikanan
Lepasnya dua PPKT yakni Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia menjadi
pelajaran berharga bagi Indonesia. Walaupun menurut perjanjian Inggris dan Belanda,
kedua pulau tersebut masuk wilayah Indonesia, tetapi Mahkamah Internasional lebih
menitikberatkan pada bukti peranan Malaysia di Sipadan-Ligitan. Tiga aspek utama
yang dijadikan alasan Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia yakni
keberadaan secara terus menerus (continuous presence), penguasaan efektif
(effective occupation), dan pelestarian ekologis (ecology preservation). Indonesia
lemah dalam ketiga hal tersebut dibanding Malaysia.
Kekhawatiran terhadap keberadaan pulau kecil terluar tidak terbatas pada
lepasnya pulau ke negara lain. Letaknya yang berhadapan langsung dengan 10
negara tetangga (Singapura, Malaysia, Thailand, India, Vietnam, Palau, Papua Nugini,
Australia, Philipina, dan Timor Leste) berpotensi rawan terhadap pengaruh ideologi,
ekonomi, politik, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan. Lingkungan alam juga
dapat terancam karena sebagian besar pulau berhadapan langsung dengan lautan
bebas, contohnya abrasi yang dapat menghilangkan titik dasar. Dari 92 PPKT yang
tersebar di 20 Provinsi, terdapat 12 pulau yang menjadi perhatian khusus yakni Pulau
Rondo, Sekatung, Nipa, Berhala, Marore, Miangas, Marampit, Batek, Dana, Fani,
Fanildo, dan Pulau Bras.
Pulau Nipa yang berbatasan dengan Singapura terancam tenggelam akibat
aktifitas penambangan pasir laut. Hal ini sangat berasalan. Luas Pulau Nipa ketika
surut mencapai 60 Ha, saat pasang hanya 3.600 m2, cukup memprihatinkan!.
Diperparah dengan degradasi kualitas lingkungan dan berkurangnya sumberdaya
perikanan. Letaknya yang berada dimulut Selat Malaka juga sangat rawan terhadap
penyelundupan. Prasasti di Nipa yang berbunyi ‘Nipa pulau terluar, pertahankan
sampai titik darah penghabisan’ menjadi saksi bisu betapa vitalnya pulau ini.
Selanjutnya menengok Pulau Miangas di Sulawesi Utara, Konggres (DPR) Philipina
masih mengklaim pulau ini menjadi bagian dari wilayahnya. Secara de yure Pulau
Miangas menjadi milik Indonesia seutuhnya. Dibuktikan dengan pengakuan Mahkamah
Arbitrase Internasional Jarak pulau ke Philipina yang hanya 48 mil menyebabkan
warga Miangas lebih banyak ke Philipina dibanding ke Nanusa (Ibukota kecamatan)
dalam hal aktifitas ekonomi, bahkan merambah ke ranah sosial budaya. Tak heran bila
barang-barang kebutuhan pokok sampai barang rumah tangga didominasi produk
Philipina. Ikatan emosional warga yang terjalin akibat hubungan personal secara
kontinyu dengan Philipina tentu berpotensi terhadap degradasi ideologi. Untuk
mencapai Miangas butuh waktu 20 hari sekali kapal dari Pelabuhan, terhitung sangat
jarang untuk sebuah kegiatan perekonomian yang butuh waktu cepat. Penulis ingat
betul ketika seorang guru besar dari Universitas Indonesia merasa prihatin ketika tidak
menemui toponimi Miangas dari beberapa peta yang beliau lihat. Sungguh ironis.
Miangas dan Nipa hanya segelintir contoh kecil dibanding kekomplekan masalah PPKT
lainnya.

Siapa Peduli?

Patut disyukuri ketika keluar Perpres No. 78 Tahun 2005 tentang adanya upaya
pengelolaan pulau-pulau kecil, termasuk pulau terluar. Terjalin sinergi antar berbagai
departemen dan lembaga non departemen yang bahu membahu memperhatikan dan
mengelola terutama PPKT. Tentu saja dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing
sesuai dengan kapasitasnya. Beberapa program pembangunan harus dicanangkan
dan berkelanjutan terhadap PPKT. Untuk PPKT yang berpenghuni dapat dilakukan
pengembangan pariwisata, eksplorasi sumber daya perikanan, peningkatan aktifitas
perdagangan, pembangunan infrastruktur, dan penguatan kelembagaan. Sedangkan
untuk pulau yang tidak berpenghuni lebih diarahkan pada pengembangan konservasi
dan taman nasional laut, laboratorium alam, wisata bahari, dan menjadikan pulau
sebagai wilayah persinggahan.
Hal yang tidak boleh terlupakan adalah pembangunan basis data spasial
mengenai PPKT. Basis data spasial contoh sederhana adalah pemberian nama pulau
(toponimi). Inisiatif Dr Alex Retraubun dari Departemen Kelautan dan Perikanan untuk
mendaftarkan nama pulau-pulau Indonesia termasuk pulau kecil ke PBB, patut
diacungi jempol. Hal ini bila terwujud akan berdampak positif karena pengakuan dari
pihak internasional semakin kuat. Selain itu pemetaan dengan menggunakan sumber
data terbaru harus kontinyu dilakukan untuk mengamati kondisi riil di lapangan. Dalam
hal ini citra satelit resolusi tinggi dapat dimanfaatkan. Koordinasi dan sharing data
spasial dan non spasial memegang peranan penting.
Pertanyaan mendasar adalah seberapa besar perhatian dan kepedulian Warga
Negara Indonesia terhadap keberadaan pulau kecil terluar?. Jawaban kuncinya ada
tiga yakni ‘ AMAT PEDULI; PEDULI; AH PEDULI AMAT!. Untuk jawaban 1 dan 2
berarti sangat diharapkan, tetapi bila menjawab kalimat ketiga maka hanya rumput
bergoyanglah yang siap menggeleng-gelengkan daunnya (meminjam istilah om Ebiet
G Ade). Semua kembali ke kesadaran kita masing-masing.

You might also like