You are on page 1of 3

Are You Tired of Being Green?

Tantangan Problem Lingkungan bagi Para Marketer 3.0

Im so tired of being green, demikian keluhan Susan H. Greenberg dalam kolomnya yang menggelitik di sebuah edisi majalah Newsweek bulan Juni 3 tahun yang lalu. Entah apakah Anda pernah merasakan hal yang sama, yang jelas Susan tak sendirian.

Hijau Tak lagi Diminati? Studi Energy Pulse 2007 yang dilakukan oleh The Shelton Group menemukan bahwa antusiasme masyarakat Amerika terhadap produk-produk hemat energi pada tahun 2007 mengalami penurunan jika dibandingkan tahun sebelumnya. Sebagai contoh, partisipasi masyarakat Amerika dalam mengurangi polusi akibat asap kendaraan melalui kebiasaan menggunakan sepeda ke tempat kerja menurun dari 3,63 (2006) menjadi hanya 3,0 (2007). Lebih jauh lagi, jumlah responden yang menganggap efisiensi energi sebagai faktor yang penting/sangat penting sebagai pertimbangan dalam memilih suatu produk pada tahun 2007 hanya sebesar 67 persen, padahal tahun sebelumnya 72 persen. Ada apa gerangan? Apakah memang kepedulian masyarakat dunia terhadap masalah lingkungan telah mengalami titik jenuh? Susan berasumsi, meningkatnya apatisme terhadap kampanye hijau muncul karena masyarakat mulai merasa bahwa gaya hidup hemat energi yang mereka lakukan selama ini tak cukup mampu meredam bumi yang semakin memanas. Berita yang muncul tiap hari tentang kondisi bumi yang semakin memburuk seolah menihilkan upaya yang telah dilakukan. Diskusi-diskusi mengenai pentingnya memakai lampu hemat energi ataupun menggunakan mobil hybrid seolah tak ada artinya ketika pada saat yang sama kita dibombardir dengan berita seputar penggundulan hutan yang menghasilkan buangan karbondioksida dalam kapasitas luar biasa. Asa Itu Tetap Ada Kepedulian itu masih ada. Hanya saja, ketika gaya hidup hijau yang sifatnya personal itu dihadapkan pada ketidakpedulian yang bersifat struktural, siapa yang tak merasa kelelahan? Inilah teori sederhana tentang kebaikan. Saat seseorang melakukan sebuah kebaikan di tengah-tengah orang lain yang justru melakukan hal yang berlawanan, maka kemungkinan selanjutnya ada dua: ikut larut dalam keburukan atau mengisolasi diri agar bisa bertahan dalam prinsip kebaikan yang diyakininya. Memang ada kemungkinan ketiga menjadi pahlawan yang mampu mengubah keburukan masyarakat menjadi kebaikan, namun mungkin hanya Nabi dan orang-orang terpilih yang bisa melakukannya.

Bagi para marketer 3.0 yang memiliki concern terhadap masalah lingkungan, ada satu pelajaran penting untuk direnungkan dari teori di atas: jangan biarkan pelanggan Anda merasa sendirian! Sebuah global trends study yang dilakukan tahun 2010 lalu terhadap 22,000 responden dari 28 negara (Afrika Selatan, Argentina, Belgia, Brazil, Kanada, Chili, China, Colombia, Denmark, Mesir, Perancis, Jerman, Hong Kong, Indonesia, Itali, India, Jepang, Mexico, Netherlands, Norwegia, Russia, Serbia, Korea Selatan, Spanyol, Swedia, UAE, UK dan USA) mengungkap sebuah temuan menarik. Studi tentang green habits and consumption ini menjelaskan bahwa responden yang cenderung lebih banyak melakukan praktek recycle ternyata juga memiliki kecenderungan hidup bersosial lebih tinggi (more group-oriented). Di tengah pergeseran pelanggan yang menjadi semakin social seperti saat ini, sudah waktunya bagi para green marketer untuk merancang program-program pemasaran yang berbasis komunitas. Kebersamaan yang terbentuk dalam komunitas akan menekan apatisme terhadap perilaku hidup hijau sebagaimana yang dirasakan oleh Susan di pembuka tulisan ini. Unilever Green and Clean: Kisah Kebaikan Berjamaah Berdasarkan data dari Unilever Indonesia, rata-rata 80% sampah (116 juta ton per tahun) yang ada di sekitar kita akan bermuara ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Dengan keterbatasan kapasitas TPA yang ada di kota-kota di Indonesia, tentu hal ini bisa memicu permasalahan di kemudian hari. Dengan program Green and Clean yang digagasnya, Unilever Indonesia Foundation melakukan empowerment kepada komunitas masyarakat lokal untuk melakukan penanganan dan pengolahan (waste segregation, recycling, dan composting) terhadap sampah yang ada di sekitar lingkungan mereka. Namun program ini tidak dieksekusi hanya melalui seminar-seminar ataupun sosialisasi yang cenderung bersifat vertikal. Unilever menggunakan pendekatan yang disebut Cadre Network Model. Penggerak utama dari model ini adalah para kader dan fasilitator yang bertanggung jawab untuk memotivasi komunitas di sekitarnya. Fasilitator dan kader ini adalah pemimpin informal dari komunitas lokal yang telah dilatih oleh tim internal Unilever. Topik pelatihannya mencakup isu-isu aktual, program knowledge, interpersonal skills, SWOT analysis dan sebagainya. Kader-kader inilah yang kemudian menjadi change agent sesungguhnya di dalam komunitasnya. Merekalah yang menjaga sustainability program dengan terus menyuntikkan motivasi kepada anggota-anggota komunitasnya agar tak patah arang dalam menyebarkan kebaikan bagi lingkungan. Cadre Network Model ini terbukti sangat sukses. Di akhir tahun 2010 lalu, jumlah kader yang dibina oleh Unilever mencapai angka 135,000 orang. Bandingkan dengan tahun 2001 yang hanya berjumlah 2 orang!

Sesungguhnya kesuksesan program Green and Clean ini tidak hanya terwujud melalui pendekatan komunitas. Masih ada satu lagi kunci kesuksesannya: kolaborasi! Melalui pendekatan Stakeholder Model, Unilever menggandeng pemerintah lokal, media massa, serta Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki concern serupa. Problem lingkungan pun menjadi lebih ringan karena dikeroyok bersama-sama. Kutipan yang mengawali artikel ini tentu tidak untuk menjadikan kita pesimis, karena di baliknya justru mewakili kegelisahan tersembunyi (anxiety) pelanggan terhadap isu lingkungan yang ada di sekitarnya. Kegelisahan karena selama ini mereka merasa berjuang sendirian. Inilah peluang bagi perusahaan untuk mendapatkan loyalitas mereka dengan menjadi icon yang mampu menciptakan perubahan bagi lingkungan. Tidak perlu menjadi superman yang menyelamatkan dunia sendirian, justru inilah saatnya bagi kita bergandengan tangan dengan semua pihak yang memiliki cita-cita sejalan. Ardhi Ridwansyah Head of Knowledge Management Development MarkPlus Institute of Marketing

You might also like