You are on page 1of 35

GEOLOGI BATUBARA GENESA BATUBARA Batubara adalah sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan

n yang terhumifikasi, berwarna coklat sampai hitam yang selanjutnya terkena proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun hingga mengakibatkan pengkayaan kandungan C (Wolf, 1984 dalam Anggayana 2002). Cook (1999) menerangkan bahwa batubara berasal dari sisa tumbuhan yang terakumulasi menjadi gambut yang kemudian tertimbun oleh sedimen, setelah pengendapan terjadi peningkatan temperatur dan tekanan yang nantinya mengontrol kualitas batubara. Pembentukan tanaman menjadi gambut dan batubara melalui dua tahap, yaitu tahap diagenesa gambut (peatilification) dan tahap pembatubaraan (coalification). Tahap diagenesa gambut disebut juga dengan tahap biokimia dengan melibatkan perubahan kimia dan mikroba, sedangkan tahap pembatubaraan disebut juga dengan tahap geokimia atau tahap fisika-kimia yang melibatkan perubahan kimia dan fisika serta batubara dari lignit sampai antracit (Cook, 1982) Ditinjau dari cara terbentuknya, batubara dapat dibedakan menjadi batubara ditempat (insitu) dan batubara yang bersifat apungan (drift). Batubara ditempat terbentuk di tempat tumbuhan itu terbentuk, mengalami proses dekomposisi dan tertimbun dalam waktu yang cepat, batubara ini dicirikan dengan adanya bekas bekas akar pada seat earth serta memiliki kandungan pengotor yang rendah, sedangkan batubara apungan terbentuk dari timbunan material tanaman yang telah mengalami perpindahan selanjutnya terdekomposisi dan tertimbun, pada batubara ini tidak dijumpai bekas-bekas akar pada seat earth dan memiliki kandungan pengotor yang tinggi. Diessel (1992, dalam Mendra, 2008) menyatakan enam parameter yang mengendalikan pembentukan endapan batubara, yaitu : adanya sumber vegetasi, posisi muka air tanah, penurunan yang terjadi dengan pengendapan, penurununan yang terjadi setelah pengendapan, kendali lingkungan geoteknik endapan batubara dan lingkungan pengendapan terbentuknya batubara. 1

PENGGAMBUTAN (PEATIFICATION) Gambut merupakan batuan sedimen organik (tidak padat) yang dapat terbakar dan berasal dari sisa sisa hancuran atau bagian tumbuhan yang tumbang dan mati di permukaan tanah, pada umumnya akan mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang sempurna sehingga setelah beberapa waktu kemudian tidak terlihat lagi bentuk asalnya. Pembusukan dan penghancuran tersebut pada dasarnya merupakan proses oksidasi yang disebabkan oleh adanya oksigen dan aktivitas bakteri atau jasad renik lainya. Jika tumbuhan tumbang disuatu rawa, yang dicirikan dengan kandungan oksigen yang sangat rendah sehingga tidak memungkinkan bakteri anaerob (bakteri memerlukan oksigen) hidup, maka sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang sempurna sehingga tidak akan terjadi proses oksidasi yang sempurna. Pada kondisi tersebut hanya bakteri-bakteri anaerob saja yang berfungsi melakukan proses dekomposisi yang kemudian membentuk gambut (peat). Daerah yang ideal untuk pembentukan gambut misalnya rawa, delta sungai, danau dangkal atau daerah yang kondisi tertutup udara. Gambut bersifat porous, tidak padat dan umumnya masih memperlihatkan struktur tumbuhan asli, kandungan airnya lebih besar dari 75% (berat) dan komposisi mineralnya kurang dari 50 % (dalam keadaan kering). Menurut Bend (1992) dalam Diessel (1992) untuk dapat terbentuknya gambut, beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu : 1) Evolusi tumbuhan 2) Iklim 3) Geografi dan tektonik daerah Syarat untuk terbentuknya formasi batubara antara lain adalah ketika kenaikan mukan air tanah lambat, perlindungan rawa terhadap pantai atau sungai dan energi relatif rendah. Jika muka air tanah terlalu cepat naik (atau penurunan dasar rawa cepat) maka kondisi akan menjadi limnic atau bahkan akan terjadi endapan marine. Sebaliknya kalau terlalu lambat, maka sisa tumbuhan yang terendapkan akan teroksidasi dan terisolasi. Terjadinya kesetimbangan antara penurunan cekungan

(land subsidence) dan kecepatan penumpukan sisa tumbuhan (kesetimbangan bioteknik) yang stabil akan menghasilkan gambut yang tebal (Diessel, 1992). Lingkungan tempat terbentuknya rawa gambut umumnya merupakan tempat yang mengalami depresi lambat dengan sedikit sekali atau bahkan tidak ada penambahan material dari luar. Pada kondisi tersebut muka air tanah akan terus mengikuti perkembangan akumulasi gambut dan mempertahankan tingkat

kejenuhannya. Kejenuhan tersebut dapat mencapai 90 % dan kandungan air menurun drastis hingga 60 % pada saat terbentuknya brown-coal. Sebagian besar lingkungan yang memenuhi kondisi tersebut merupakan topogenic low moor. Hanya pada beberapa tempat yang mempunyai curah hujan sangat tinggi dapat terbentuk rawa ombrogenic (high moor) PEMBATUBARAAN (COALIFICATION) Proses pembatubaraan adalah perkembangan gambut menjadi lignit, subbituminuous, bitominous, antracite hingga meta-antracite. Proses pembentukan gambut dapat berhenti karena beberapa proses alam seperti misalnya karena penurunan dasar cekungan dalam waktu yang singkat. Jika lapisan gambut yang telah terbentuk kemudian ditutupi oleh lapisan sedimen, maka tidak ada lagi bahan anaerob, atau oksigen yang dapat mengoksidasi, maka lapisan gambut akan mengalami tekanan dari lapisan sedimen. Tekanan terhadap lapisan gambut akan meningkat dengan bertambahnya tebal lapisan sedimen. Tekanan yang bertambah besar pada proses coalification akan mengakibatkan menurunya porositas dan meningkatnya anisotropi. Porositas dapat dilihat dari kandungan airnya yang menurun secara cepat selama proses perubahan gambut menjadi brown coal. Hal ini memberikan indikasi bahwa masih terjadi proses kompaksi. Proses coalification terutama dikontrol oleh kenaikan temperatur, tekanan dan waktu. Pengaruh temperatur dan tekanan dipercaya sebagai faktor yang sangat dominan, karena sering ditemukan lapisan batubara high rank (antracite) yang berdekatan dengan daerah intrusi batuan beku sehingga terjadi kontak metamorfisme. Kenaikan peringkat batubara juga dapat disebabkan karena bertambahnya kedalaman. Sementara bila tekanan makin tinggi, maka proses coalification semakin 3

cepat, terutama didaerah lipatan dan patahan. FASIES BATUBARA Fasies batubara berhubungan dengan tipe genetik batubara yang

diekspresikan melalui komposisi maseral, kandungan mineral, komposisi kimia dan tekstur (Taylor and Teichmuller, 1993). Faktor yang mempengaruhi karakteristik fasies batubara : 1. Tipe pengendapan Autochtonous Berkembang dari tumbuhan yang ketika tumbang akan membentuk gambut di tempat dimana tumbuhan itu pernah hidup tanpa adanya proses transportasi yang berarti. Allochtonous Terendapkan secara detrital dimana sisa-sisa tumbuhan hancur dan tertransportasi kemudian terendapkan di tempat lain. Lebih banyak mengandung mineral matter (abu). 2. Rumpun tumbuhan pembentuk Daerah air terbuka dengan tumbuhan air Rawa ilalang terbuka Rawa hutan Rawa lumut

Gambar 3.1 Urutan tipe rawa gambut (Taylor, 1998)

Menurut Martini dan Glooscenko (1984) dalam Diessel (1992), rawa gambut dapat dibedakan menjadi 4 jenis berdasarkan jenis tumbuhan pembentuk, yaitu : Bog, yaitu sebagai lokasi rawa yang banyak ditumbuhi oleh tanaman lumut atau tanaman merambat yang miskin kandungan makanan. Fen, yaitu lokasi rawa yang kaya akan tumbuhan perdu dan beberapa jenis pohon lainnya. Umumnya terletak pada lingkungan yang ombrogenic yaitu transisi antara daerah yang selalu melimpah kandungan air dengan daerah yang terkadang kering. Marsh, yaitu rawa yang didominasi oleh tumbuhan perdu atau tanaman merambat yang sering terdapat di sekitar pinggir danau atau laut. Swamp, yaitu daerah basah pada iklim tropis hingga dingin yang tumbuh rawa yang didominasi tanaman berkayu. 3. Lingkungan pengendapan Pembentukan batubara tidak dapat dipisahkan dengan kondisi lingkungan dan geologi disekitarnya. Distribusi lateral, ketebalan, komposisi dan kualitas batubara banyak dipengaruhi oleh lingkungan pengendapanya. Telmatis/Terestrial Lingkungan yang berada pada daerah pasang surut ini menghasilkan gambut yang tidak terganggu dan tumbuh insitu (forest peat, reed peat dan high moor moss peat) Limnik Lingkungan ini terendapkan di bawah air rawa danau. Batubara yang terendapkan pada lingkungan telmatis dan limnis sulit dibedakan karena pada forest Swamp biasanya ada bagian yang berada di bawah air (feed Swamp) Marine Batubara yang terendapkan pada lingkungan ini mempunyai ciri khas kaya abu, S dan N yang mengandung fosil laut. Untuk daerah tropis biasanya terbentuk dari mangrove (bakau) dan kaya S Ca-rich

Lingkungan ini menghasilkan batubara yang kaya akan Ca dan mempunyai ciri yang sama pada endapan payau. Batubara Ca-rich selalu terjadi pada lingkungan bawah air dengan kondisi oksigen terbatas. Lingkungan pengendapan ini juga banyak mengandung fosil. Batubara Ca-rich banyak mengasilkan bitumen. 4. Persediaan Bahan Makanan a. Eutrofik b. Mesotrofik c. Oligotrofik Rawa eutropik, mesotropic dan oligotropik dibedakan dari banyak sedikitnya bahan makanan yang bisa digunakan. Low moor biasanya eotropik (kaya nutrisi) karena menerima air dari air tanah yang banyak menganduk makanan terlarut. High moor bersifat oligotropik (miskin nutrisi) karena sirkulasi hanya mengandalkan air hujan. Gambut pada high moor secara umum mengandung sisa-sisa tumbuhan yang terawetkan dengan baik. Di bawah kondisi hidrologi yang seragam maka tumbuhan rawa eutropik banyak speciesnya. Oligotropik di daerah iklim sedang pada umumnya berupa sphagnum sedangkan untuk daerah tropis bisa ditumbuhi oleh hutan kayu tetapi tidak banyak speciesnya karena rawa jenis ini akan asam 3,5 4) dan kandungan mineralnya sangat rendah. 5. PH, Aktivitas Bakteri, dan Sulfur Keasaman gambut sangat mempengaruhi keberadaan bakteri sehingga dengan demikian akan sangat mempengaruhi proses dekomposisi struktur dan kimia dari sisa tumbuhan. Disamping tipe batuan dasar dan air yang mengalir masuk ke rawa maka keasaman rawa tergantung pada rumpun tumbuhan yang ada, suplai O2 dan konsentrasi asam humik yang terbentuk. Bakteri hidup dengan baik pada kondisi netral (pH 7 7,5), jika makin asam maka bakteri akan makin sedikit dan struktur kayu akan terawetkan dengan lebih baik. Bakteri sulfur mempunyai peran khusus pada gambut (lumpur organik) untuk membentuk pirit atau markasit singenetik dengan adanya sulfat dalam gambut tersebut.

6. Temperatur Pada iklim yang hangat dan basah membuat bakteri hidup dengan baik sehingga proses kimia akibat bakteri bisa berjalan baik. Temperatur permukaan gambut memegang peranan penting pada proses dekomposisi primer. Pada iklim yang hangat dan basah membuat bakteri hidup dengan lebih baik sehingga prosesproses kimia dapat berjalan dengan baik. Temperatur tertinggi untuk bakteri penghancur sellulosa pada gambut adalah 35 40 C Lebih lanjut menurut Diessel (1992) menjelaskan karakteristik lingkungan pengendapan batubara sebagai berikut : 1. Braid Plain Merupakan dataran aluvial yang terdapat diantara pegunungan, dimana terendapkan sedimen berukuran kasar (> 2 mm). Batubara yang terbentuk pada daerah ini merupakan hasil diagenesa gambut ombrogenik yang mempunyai penyebaran lateral terbatas dengan ketebalan rata-rata 1,5 m. Kandungan abu, total sulfur dan vitrinitnya umumnya rendah, sementara pada daerah tropis kandungan vitrinit umumnya tinggi. Pada bagian tengah lahan gambut umumnya kaya maseral inertinit (28%) karena suplai nutrisi yang terbatas. Kandungan inertinit (khususnya semifusinit) yang sangat besar memnyebabkan nilai TPI relatif tinggi yang sekaligus menunjukan bahwa tumbuhan asalnya didominasi oleh bahan kayu. Sementara itu nilai GI yang rendah dan warna batubara yang buram dapat menunjukan bahwa secara periodik permukaan gambut mengalami kekeringan dan proses oksidasi. Kandungan abu yang kadang ditemukan cukup tinggi ( 20%), kemungkinan dapat berasal dari banjir musiman dan keluarnya air dari tanah kepermukaan. 2. Alluvial Valley dan Upper Delta Plain Kedua lingkungan ini sulit dibedakan karena adanya kesamaan litofasies dan sifat batubara yang terbentuk sehingga pembahasan dapat disatukan. Lingkungan ini merupakan transisi dari lembah dan dataran aluvial dengan dataran delta, umumnya melalui sungai berstadium dewasa yang memiliki banyak meander. Lapisan batubara umumnya memiliki ketebalan bervariasi dan endapan sedimen terutama terdiri atas perselingan batupasir dan lanau/lempung. 7

Gambut dapat terakumulasi pada berbagai morfologi seperti rawa, dataran dan cekungan banjir, bagian luar saluran sungai dan lain-lain. Permukaan cenderung selalu basah dan jarang mengalami periode kemarau sehingga menghasilkan endapan batubara yang mengkilap dengan nilai TPI dan GI relatif tinggi serta didominasi oleh maseral telovitrinit/humotelitin dan secara kualiatas memiliki kandungan abu dan sulfur yang rendah dibanding batubara pada lingkungan lain 3. Lower Delta Plain Lingkungan ini dibedakan dengan upper delta plain dari tingkat pengaruh pasang air laut terhadap sedimentasi, dimana batas antara keduanya adalah pada daerah batas tertinggi dari air pasang. Endapan sedimen pada lower delta plain terutama dari batulanau, batulempung dan serpih yang diselingi oleh batupasir halus. Pada saat pasang naik air laut akan membawa nutrisi kedalam rawa gambut sehingga memungkinkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik, namun di sisi lain dengan naiknya batas pasang maka akan ternendapkan sedimen klasitik halus yang akan menjadi pengotor dalam batubara. Disamping itu, pengaruh laut akan meningkatkan kandungan pirit dalam batubara yang terbentuk dari reduksi sulfat yang terdapat dalam air laut. Menurut Horne dan Ferm (1978), batubara yang ternendapkan dalam lingkungan ini memiliki penyebaran luas tetapi ketebalan tipis, batubaranya memiliki kandungan inertinit yang rendah dengan nilai GI yang tinggi. Kandungan vitrinit/huminit nya terutama didominasi oleh detrovitrinit/humotellinit sehingga nulai TPI nya relatif rendah. Hal ini menunjukan tingginya proporsi tumbuhan dengan jaringan lunak (soft tissued plant) dan bio degredasi pada kondisi pH yang relatif tinggi 4. Barrier Beach Pada lingkungan ini, morfologis garis pantai dikontrol oleh rasio suplai sedimen dengan daerah pantai, yaitu gelombang pasang dan arus. Jika nilai rasio tinggi maka akan terbentuk delta, namun jika nilai rasio rendah maka sedimentasi akan terdistribusi di sepanjang pantai. Rawa gambut pada barrier beach memiliki permukaan yang relatif lebih rendah terhadap muka air laut sehingga sering kebanjiran dan ditumbuhi alang-alang. Gambut yang akan terakumulasi di suatu tempat jika fluktuasi air pasang tidak 8

tinggi sehingga timbunan material gambut tidak berpindah tempat. Dengan demikian rawa gambut pada lingkungan ini sangat dipengaruhi oleh regresi dan trangresi air laut. Diesel (1992) mengelompokan berbahai kondisi akumulasi gambut menjadi lima kategori berdasarkan penelitian terhadap batubara humik bituminous (gambar 3.2). Kelima kategori tersebut diberdakan berdasarkan faktor kelembaban, konsentrasi ion hidrogen (pH), suplai makanan dan aktifitas bakteri. Tiga kategori diantara nya adalah tipe topogenik mires (rawa gambut topogenik) yang terbagi atas: high watertable dangan kondisi asam, high watertable dengan kondisi netral serta variabel watertable dan dua lainya adalah rawa gambut ombrogenik yang dibagi atas: continuusly wet dan intermitenly dry. Pada kategori high watertable dibedakan menjadi asam dan netral. Perbedaan utama antara kedua kondisi tersebut adalah terletak pada konsentrasi ion hidrogennya, dimana pada kolom 1 yang konsentrasi nya rendah merupakan lingkungan air tawar (flood basin) dan kolom 2 yang konsentrasinya lebih tinggi merupakan lingkungan payau dan laut. Kategori variable watertable adalah lingkungan air tawar namun dengan muka air tanah berubah-ubah, seperti pada dataran banjir yang terkadang kering pada masa tertentu. Adanya kecenderungan dalam kondisi tergenang pada ketiga kategori ini menyebabkan suplai makanan tersedia cukup banyak (eutrophy). Kategori continuosly wet dan intermedietly dry merupakan tipe rawa gambut yang tumbuh berkembang karena suplai air yang berasal dari curah hujan yang sangat tinggi (iklim tropis), hanya pada interemidietly dry sering mengalami perubahan musim, terkandung di dalam musim kering. Gambut yang terendapkan pada lingkungan bog-ombrotopic terbentuk dalam kondisi asam dengan suplai makanan yang rendah (oligotropi).

Gambar 3.2. Sketsa lingkungan pengendapan dan kondisi akumulasi gambut (Diessel, 1992) Lingkungan Pengendapan Batubara Menurut Horne, 1978 dalam Bambang Kuncoro Prasongko, 1996 bahwa lingkungan pengendapan berpengaruh terhadap sebaran, ketebalan, kemenerusan, kondisi roof dan kandungan sulfur batubara serta peran tektonik dalam pembentukan lapisan batubara. Berdasarkan karakteristik lingkungan pengendapan batubara, maka dapat dibagi atas : a. Lingkungan Barrier dan Back-barrier b. Lingkungan lower delta plain c. Lingkungan trantitional lower delta plain d. Lingkungan upper delta plain fluvial Back barrier: tipis, sebaran memanjang sejajar sistem penghalang atau sejajar jurus perlapisan, bentuk lapisan melembar karena pengaruh tidal channel setelah pengendapan atau bersamaan dengan proses pengendapan dan kandungan sulfur

10

tinggi. Lingkungan barrier mempunyai peranan penting yaitu menutup pengaruh oksidasi dari air laut dan mendukung pembentukan gambut di bagian dataran, kriteria utama lingkungan barrier adalah hubungan lateral dan vertikal dari struktur sedimen dan pengenalan tekstur batupasirnya, ke arah laut, butirannya menjadi halus dan berselang seling dengan serpih gampingan merah kecoklatan sampai hijau, batuan karbonat dengan fauna laut ke arah darat membentuk gradasi menjadi serpih berwarna abu-abu gelap sampai hijau tua yang mengandung fauna air payau, akibat pengaruh gelombang dan pasang surut, sehingga batupasir di lingkungan barrier lebih bersih dan sortasi yang lebih baik daripada lingkungan sekelilingnya meskipun memiliki sumber yang sama, penampang lingkungan pengendapan pada bagian Back Barier dapat dilihat pada ( Gambar 3.1 ). Batubara yang terbentuk cenderung menunjukkan bentuk memanjang, berorientasi sejajar dengan arah orientasi dari penghalang dan sering juga sejajar dengan jurus pengendapan. Bentuk perlapisan batubara yang dihasilkan mungkin berubah sebagian oleh aktivitas tidal channel pada post depositional atau bersamaan dengan proses sedimentasi.

Gambar 3.1 Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Back Barier (Horne,1978)

11

Lower deltaplain: tipis, sebaran sepanjang channel atau jurus pengendapan, ditandai hadirnya splitting oleh endapan crevasse splay dan kandungan sulfur agak tinggi. Litologinya didominasi oleh urutan serpih dan batulanau yang mengkasar ke arah atas, ketebalannya berkisar antara 15-55 m dengan pelamparan lateral.

Pada bagian bawah dari teluk tersusun atas lempung-serpih abu-abu gelap sampai hitam yang merupakan litologi dominan, kadang- kadang terdapat batugamping dan mudstone siderite yang sebarannya tidak teratur, pada bagian atas sikuen ini terdapat batupasir berukuran ripples dan struktur lain yang ada hubungannya dengan arus, hal ini menunjukkan adanya penambahan energi pada perairan dangkal ketika teluk terisi endapan.

Umumnya endapan teluk terisi mengandung fosil air laut atau air payau dan struktur burrow fosil-fosil ini biasanya melimpah pada bagian bawah serpih

lempung, tetapi mungkin juga muncul pada seluruh sikuen.

Endapan Distributary Mouth Bar dicirikan oleh adanya batupasir yang memiliki dasar yang lebih lebar dan memiliki kontak gradasi pada bagian bawah dan adanya kontak lateral yang cenderung mengkasar ke atas dan mengarah pada bagian tengah serta berkembangnya struktur ripples dan flow rolls, Sekuen Vertikal endapan Lower Delta Plain, Sekuen Mengkasar keatas dapat dilihat pada ( Gambar 3.2 ). Endapan Creavasse Splay, karakteristik endapan ini adalah minidelta yang mengkasar keatas, butirannya semakin menghalus jika menjauhi tanggul, bergradasi kearah lateral, tersusun atas batupasir dengan struktur burrowed siderite dan ripples, endapan ini memiliki ketebalan lebih dari 12 m dengan pelamparan horizontal berkisar dari 30 m sampai 8 km, Sekuen Vertikal endapan Lower Delta Plain Sikuen yang sama di potong oleh Creavasse Splay deposit ( Gambar 3.3 ).

Rawa-rawa di dalam sungai yang mendominasi pada lower delta plain berkembang di atas tanggul-tanggul (levees) sepanjang distribusi cahnnel, endapan ini pada 12

umumnya lurus dan tegak lurus dengan jurus pengendapan. Lapisan batubara yang di hasilkan relative tipis dan terbelah membentuk split oleh sejumlah endapan creavvase splay dan cenderung menerus sepanjang jurus kemiringan pengendapan, tetapi sering juga tidak menerus sejajar dengan jurus pengendapan batubara di gantikan oleh material bay fill.

Gambar 3.2 Sekuen Vertikal endapan Lower Delta Plain (Horne, 1978) Sekuen Mengkasar keatas

Gambar 3.3. Sekuen Vertikal endapan Lower Delta Plain (Horne, 1978) Sikuen yang sama di potong oleh Creavasse Splay deposit. 13

Transisional Lower Delta Plain: Tebal dapat lebih dari 10 m, sebaran luas cenderung memanjang sejajar jurus pengendapan, kemenerusan lateral sering terpotong channel, di tandai splitting akibat adanya Channel kontemporer dan Washout oleh Channel subsekuen dan kandungan sulfur agak rendah. Zona di antara lower dan upper delta plain di tandai zona transisi yang mengandung karakteristik litofasies keduanya. Sikuen Bay Fill tidaklah sama dengan sikuen litologi yang berbutir halus, lebih tipis (1,5-7,5 m) dari lower delta plain. Namun sikuen Bay Fill tidaklah sama dengan sikuen upper delta, zona ini mengandung fauna air payau yang menunjukkan kenampakan migrasi lateral lapisan point bar accretion menjadi upper delta plain, channel pada transisi delta plain ini berbutir halus dari upper delta plain, Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Transitional Lower Delta Plain dapat dilihat pada ( Gambar 3.4 ). Lapisan batubara pada umumnya tersebar meluas dengan kecenderungan agak memanjang sejajar dengan jurus pengendapan. Seperti pada batubara upper delta plain, batubara di transisi ini berkembang split di daerah channel kontemporer dan oleh washout yang di sebabkan oleh aktivitas channel subsekuen. Lapisan batubara pada daerah Transitional Lower Delta Plain terbentuk pada daerah transisi antara Upper Delta Plain dan Lower Delta Plain dan merupakan yang paling tebal dan penyebarannya juga paling luas karena perkembangan rawa yang ekstensif pada pengisian yang hampir lengkap dari teluk yang interdistribusi.

14

Gambar 3.4. Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Transitional Lower Delta Plain (Horne, 1978)

Upper delta plain-fluvial: tebal dapat mencapai lebih dari 10 meter, sebaran luas cenderung memanjang sejajar jurus pengendapan, kemenerusan lapisan lateral sering terpotong channel, di tandai splitting akibat channel kontemporer dan washout olehchannel subsekuen dan kandungan sulfur rendah.

Endapannya didominasi oleh bentuk linier, tubuh pasir lentikuler, pada tubuh pasir dapat gerusan pada bagian bawahnya, permukaan terpotong tajam, tetapi secara lateral pada bagian atas bagian batupasir ini melidah dengan serpih abu-abu, batulanau dan lapisan batubara. Di atas bidang gerusan terdapat kerikil lepas dan hancuran batubara yang melimpah pada bagian bawah, semakin ke atas butiran semakin menghalus pada batupasir. Sifat khas tersebut menunjukkan energi yang besar pada channel pada sekitar rawa kecil dan danau-danau, dari bentuk batupasir dan pertumbuhan lapisan point bar menunjukkan bahwa hal ini di kontrol oleh meandering.

15

Sikuen endapan backswap dari atas ke bawah terdiri dari seat earth, batubara, dengan serpih dengan fosil tanaman yang melimpah dan jarang pelecupoda air tawar, batubara secara lateral menebal dan akhirnya bergabung dengan tubuh utama batupasir, batupasirnya tipis (1,5-4,5 m), berbutir halus, mengkasar ke atas, sikuen tipe ini merupakan endapan pada tubuh air terbuka, mungkin rawa dangkal atau danau, Penampang lingkungan pengendapan bagian Upper Delta Plain dapat dilihat pada ( Gambar 3.5 ). Lapisan batubara pada endapan upper delta plain cukup tebal (lebih dari 10m), tetapi secara lateral tidak menerus, lapisan pembentuk endapan fluvial plain cenderung lebih tipis dibandingkan dengan endapan upper delta plain, lapisan batubara cenderung sejajar dengan kemiringan pengendapan, tetapi sedikit yang menerus dibandingkan dengan fasies lower delta plain, karena bagian yang teratur sedikit jumlahnya yang mengikuti channel sungai maka lapisan-lapisannya sangat tebal dengan jarak yang relatif pendek dengan sejumlah split yang berkembang dan dalam hubungannya dengan endapan tanggul yang kontemporer.

Gambar 3.5. Penampang lingkungan pengendapan bagian Upper Delta Plain (Horne,1978)

16

Geometri Lapisan Batubara Geometri lapisan batubara merupakan aspek dimensi atau ukuran dari suatu lapisan batubara yang meliputi parameter ketebalan, kemiringan, sebaran, kemenerusan, keteraturan, bentuk lapisan, kondisi roof dan floor, cleat dan pelapukan ( Kuncoro, 2000 ). Adapun parameter geometri lapisan batubara harus dikaitkan dengan kondisi penambangannya, karena hasil pemetaan mengenal geometri lapisan batubara akan menjadi dasar untuk tahap berikutnya, yaitu tahap penambangan.

Pembagian parameter geometri lapisan batubara ( Jeremic, 1985 dalam Kuncoro, 2000 ) ini didasarkan pada hubungannya dengan terdapatnya lapisan batubara ditambang dan kestabilan lapisannya, meliputi : Ketebalan lapisan batubara : a) Sangat tipis : apabila tebalnya kurang dari 0,5 meter b) Tipis c) Sedang d) Tebal : 0,5 - 1,5 meter : 1,5 - 3,5 meter : 3,5 - 25 meter, dan

e) Sangat tebal : apabila >25 meter. Kemiringan lapisan batubara a) Lapisan horizontal. b) Lapisan landai, apabila kemiringannya kurang dari 25. c) Lapisan miring, apabila kemiringannya 25 - 45. d) Lapisan miring curam, apabila kemiringannya 45 - 75. e) Vertikal. Pola kedudukan lapisan batubara atau sebarannya : a) Teratur b) Tidak teratur Kemenerusan lapisan batubara : a) Ratusan meter b) Ribuan meter 5 - 10 km, dan menerus sampai lebih dari 100 km 17

Selanjutnya agar geometri lapisan batubara menjadi berarti dan menunjang untuk perhitungan cadangan, bahkan sampai pada tahap perencanaan tambang, penambangan, pencucian, pengangkutan, penumpukan, maupun pemasaran, maka parameternya adalah: 1. Ketebalan

Ketebalan lapisan batubara adalah unsur penting yang langsung berhubungan dengan perhitungan cadangan, perencanaan produksi, sistem penambangan, dan umur tambang. Oleh karena itu perlu diketahui faktor pengendali terjadinya kecenderungan arah perubahan ketebalan, penipisan, pembajian, splitting, dan kapan terjadinya. Apakah terjadi selama proses pengendapan, antara lain akibat perbedaan kecepatan akumulasi batubara, perbedaan morfologi dasar cekungan, hadirnya channel, sesar, dan proses karst atau terjadi setelah pengendapan, antara lain karena sesar atau erosi permukaan. Pengertian tentang tebal, perlu dijelaskan apakah tebal lapisan batubara tersebut termasuk parting (gross coal thickness), tebal lapisan batubara tidak termasuk parting (net coal thickness), atau tebal lapisan batubara yang dapat ditambang (mineable thickness). 2. Kemiringan

Besarnya kemiringan lapisan batubara berpengaruh terhadap perhitungan cadangan ekonomis, nisbah pengupasan, dan sistem penambangan. Besarnya kemiringan harus berdasarkan hasil pengukuran dengan akurasi tinggi. Dianjurkan pengukuran kedudukan lapisan batubara menggunakan kompas dengan metode dip direction, sekaligus harus mempertimbangkan kedudukan lapisan batuan yang mengapitnya. Pengertian kemiringan, selain besarnya kemiringan lapisan juga masih perlu dijelaskan: a. Apakah pola kemiringan lapisan batubara tersebut bersifat menerus dan

18

sama besarnya sepanjang cross strike maupun on strike atau hanya bersifat setempat. b. Apakah pola kemiringan lapisan batubara tersebut membentuk pola

linier, pola lengkung, atau pola luasan ( areal ). c. 3. Mengenai faktor-faktor pengendalinya. Pola sebaran lapisan batubara

Pola sebaran lapisan batubara akan berpengaruh pada penentuan batas perhitungan cadangan dan pembagian blok penambangan. Oleh karena itu, faktor pengendalinya harus diketahui, yaitu apakah dikendalikan oleh struktur lipatan (antiklin, sinklin, menunjam), homoklin, struktur sesar dengan pola tertentu atau dengan pensesaran kuat. 4. Kemenerusan lapisan batubara

Selain jarak kemenerusan, maka faktor pengendalinya juga perlu diketahui, yaitu apakah kemenerusannya dibatasi oleh proses pengendapan, split, sesar, intrusi, atau erosi. Misal pada split, kemenerusan lapisan batubara dapat terbelah oleh bentuk membaji dari sedimen bukan batubara. Berdasarkan penyebabnya dapat karena proses sedimentasi ( autosedimentational split ) atau tektonik yang ditunjukan oleh perbedaan penurunan dasar cekungan yang mencolok akibat sesar. Oleh karena itu, pemahaman yang baik tentang split akan sangat membantu pada: a. Kegiatan eksplorasi untuk menentukan sebaran lapisan batubara dan penentuan perhitungan cadangan. b. Kegiatan penambangan hadirnya split dengan kemiringan sekitar 45
o

yang umumnya disertai dengan perubahan kekompakan batuan, maka akan menimbulkan masalah dalam kegiatan tambang terbuka, kestabilan lereng, dan kestabilan atap pada operasi penambangan bawah tanah.

19

5.

Keteraturan Lapisan Batubara

Keteraturan lapisan batubara ditentukan oleh pola kedudukan lapisan batubara ( jurus dan kemiringan ), artinya: a. Apakah pola lapisan batubara di permukaan ( crop line ) menunjukkan pola teratur ( garis menerus yang lurus, melengkung/meliuk pada elevasi yang hampir sama ) atau membentuk pola tidak teratur ( garis yang tidak menerus, melengkung/meliuk pada elevasi yang tidak sama ). b. Apakah bidang lapisan batubara membentuk bidang permukaan yang hampir rata, bergelombang lemah, atau bergelombang ). c. Juga harus dipahami faktor pengendali keteraturan lapisan batubara. 6. Bentuk Lapisan Batubara

Bentuk lapisan batubara adalah perbandingan antara tebal lapisan batubara dan kemenerusannya, apakah termasuk kategori bentuk melembar, membaji, melensa, atau bongkah. Bentuk melembar merupakan bentuk yang umum dijumpai, oleh karena itu selain bentuk melembar, maka perlu dijelaskan faktor-faktor pengendalinya. 7. Cleat

Cleat adalah kekar di dalam lapisan batubara, khususnya pada batubara bituminous yang ditunjukkan oleh serangkaian kekar yang sejajar, umumnya mempunyai orientasi berbeda dengan kedudukan lapisan batubara. Adanya cleat dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu mekanisme pengendapan, petrografi batubara, derajat batubara, tektonik ( struktur geologi ), dan aktivitas penambangan. Berdasarkan genesanya dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: a. Endogenous cleat dibentuk oleh gaya internal akibat pengeringan atau penyusutan material organik. Umumnya tegak lurus bidang perlapisan sehingga bidang kekar cenderung membagi lapisan batubara menjadi 20

fragmen-fragmen tipis yang tabular. b. Exogenic cleat dibentuk oleh gaya eksternal yang berhubungan dengan kejadian tektonik. Mekanismenya tergantung pada karakteristik struktur dari lapisan pembawa batubara. Cleat ini terorientasi pada arah tegasan utama dan terdiri dari dua pasang kekar yang saling membentuk sudut. c. Induced cleat bersifat lokal akibat proses penambangan dengan adanya perpindahan beban kedalam struktur tambang. Frekuensi induced cleat tergantung pada tata letak tambang dan macam teknologi penambangan yang digunakan. Berdasarkan bentuknya dapat dikelompokan menjadi lima, yaitu: a. b. Bentuk kubus, umumnya pada endogenous cleat yang berderajat rendah. Bentuk laminasi, pada exogenic cleat berupa perselingan antara batubara keras dan lunak atau antara durain dan vitrain. c. Bentuk tidak menerus, berhubungan dengan endogenous dan exogenic cleat. d. Bentuk menerus, berhubungan dengan struktur geologi atau akibat penambangan. e. Bentuk bongkah yang disebabkan oleh kejadian tektonik. Besarnya pengaruh cleat pada beberapa bagian dari suatu rangkaian industri pertambangan, membuat cleat menjadi penting untuk dipelajari dan diketahui karena kehadiran dan orientasi cleat antara lain akan mempengaruhi pemilihan tata letak tambang, arah penambangan, penerapan teknologi penambangan, proses pengolahan batubara, penumpukan batubara, dan bahkan pemasaran batubara (mulai fine coal sampai lumpy coal). Oleh karena itu, perekaman data cleat tidak hanya terbatas pada kedudukan dan kisaran jarak antar cleat, tetapi perlu dilengkapi dengan merekam jenis, pengisi, 21

pengendali terbentuknya, karakteristik kerekatannya, dan jarak dominan cleat. 8. Pelapukan Tingkat pelapukan batubara penting ditentukan karena berhubungan dengan dimensi lapisan batubara, kualitas, perhitungan cadangan, dan penambangannya. Oleh karena itu karakteristik pelapukan dan batas pelapukan harus ditentukan. Pada batubara lapuk selain harus ditentukan batasnya dengan batubara segar, juga berpengaruh pada pengukuran tebalnya. Kondisi ini umumnya dijumpai pada batubara dengan kandungan abu dan moisture tinggi. MASERAL PADA BATUBARA KLASIFIKASI MASERAL Maseral pada batubara analog dengan mineral pada batuan. Maseral merupakan bagian terkecil dari batubara yang bisa teramati dengan mikroskop. Maseral dikelompokan berdasarkan tumbuhan atau bagian tumbuhan menjadi tiga grup, yaitu : 1. Vitrinit Vitrinit adalah hasil dari proses pembatubaraan materi humic yang berasal dari selulosa (C6H10O5) dan lignin dinding sel tumbuhan yang mengandung serat kayu (woody tissue) seperti batang, akar, daun. Vitrinit adalah bahan utama penyusun batubara di indonesia (>80 %). Dibawah mikroskop, kelompok maseral ini memperlihatkan warna pantul yang lebih terang dari pada kelompok liptinit, namun lebih gelap dari kelompok inertinit, berwarna mulai dari abu-abu tua hinggga abu-abu terang. Kenampakan dibawah mikroskop tergantung dari tingkat pembantubaraanya (rank), semakin tinggi tingkat pembatubaraan maka warna akan semakin terang. Kelompok vitrinit mengandung unsur hidrogen dan zat terbang yang presentasinya berada diantara inertinit dan liptinit. Mempunyai berat jenis 1,3 1,8 dan kandungan oksigen yang tinggi serta kandungan volatille matter sekitar 35,75 %. 2. Liptinit (Exinit) Liptinit tidak berasal dari materi yang dapat terhumifikasikan melainkan berasal 22

dari sisa tumbuhan atau dari jenis tanaman tingkat rendah seperti spora, gangang (algae), kutikula, getah tanaman (resin) dan serbuk sari (pollen). Berdasarkan morfologi dan bahan asalnya, kelompok liptinit dibedakan menjadi sporinite (spora dan butiran pollen), cuttinite (kutikula), resinite (resin/damar), exudatinite (maseral sekunder yang berasal dari getah maseral liptinit lainya yang keluar dari proses pembantubaraan), suberinite (kulit kayu/serat gabus), flourinite (degradasi dari resinit), liptoderinit (detritus dari maseral liptinite lainya), alganitie (gangang) dan bituminite (degradasi dari material algae). Relatif kaya dengan ikatan alifatik sehingga kaya akan hidrogen atau bisa juga sekunder, terjadi selama proses pembatubaraan dari bitumen. Sifat optis : refletivitas rendah dan flourosense tinggi dari liptinit mulai gambut dan batubara pada tangk rendah sampai tinggi pada batubara sub bituminus relatif stabil (Taylor 1998) dibawah mikroskop, kelompok liptinite menunjukan warna kuning muda hingga kuning tua di bawah sinar flouresence, sedangkan dibawah sinar biasa kelompok ini terlihat berwarna abu-abu sampai gelap. Liptinite mempunyai berat jenis 1,0 1,3 dan kandungan hidrogen yang paling tinggi dibanding dengan maseral lain, sedangkan kandungan volatile matter sekitar 66 %. 3. Inertinit Inertinit disusun dari materi yang sama dengang vitrinite dan liptinite tetapi dengan proses dasar yang berbeda. Kelompok inertinite diduga berasal dari tumbuhan yang sudah terbakar dan sebagian berasal dari hasil proses oksidasi maseral lainya atau proses decarboxylation yang disebabkan oleh jamur dan bakteri. Kelompok ini mengandung unsur hidrogen paling rendah dan karakteristik utamanya adalah reflektansi yang tinggi diantara kelompok lainya. Pemanasan pada awal penggambutan menyebabkan inertinit kaya akan karbon. Sifat khas inertinit adalah reflektinitas tinggi, sedikit atau tanpa flouresnse, kandungan hidrogen, aromatis kuat karena beberapa penyebab, seperti pembakaran (charring), mouldering dan pengancuran oleh jamur, gelifikasi biokimia dan oksidasi serat tumbuhan. Sebagian besar inertinit sudah pada bagian awal proses pembatubaraan. Inertinite mempunyai berat jenis 1,5 2,0 dan

23

kandungan karbon yang paling tinggi dibanding maseral lain serta kandungan volattile matter sekitar 22,9 %.

Gambar : Maseral vitrinit, inertinit dan liptinit (Identification of Coal Components, Kentucky Geological Survey, 2006) Untuk pengelompokan maseral yang digunakan adalah mengacu pada pengelompokan maseral berdasarkan Standart Australia (AS 2856-1986)(Tabel 3.1) untuk hasil pengamatan klasifikasi maseral dalam presentase volume (%vol). Tabel 3.1 Klasifikasi group maseral berdasarkan Standar Australia

Group maseral Vitrinite

Sub group maseral Tellovitrinite

Type maseral Textinite Texto-ulminite Eu ulminite Telocolinite

Detrovitrinite

Atrinite Desinite Desmocolinite

24

Gelovitrinite

Corpogelinite Porigelinite Eugelinite

Liptinite

Sporinite Cutinite Resinit Suberinite Fluorinite Liptodetrinite Exudatinite Alganite Bituminite

Inertinite

Teloinertinite

Fusinite Semifusinite Scelorotinite

Detroinertinite

Inertodetrinite Micrinite

Geloinertinite

macrinite

Maseral menghasilkan materi yang mudah menguap (volattile matter). Materi ini banyak dihasilkan oleh liptinite yaitu sekitar 66 % sedangkan vitrinite menghasilkan 35,75 % dan inertinite menghasilkan 22,9 % MASERAL DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Peranan maseral dalam analisis penetuan pengandapan batubara didasarkan pada sifat-sifat yang dimilikinya, antara lain : sifat attribute dan sifat skalar. Suatu lapisan batubara mulai dari lapisan dasar (floor) hingga atas (roof) memiliki sifat tertentu, yang mencerminkan kondisi lingkungan pengendapanya. Sifat attribute adalah suatu sifat yang dicirikan oleh ada tidaknya suatu maseral tertentu, dalam hal ini kelimpahan maseral sangat penting untuk dijadikan penciri suatu lingkungan tertentu (Diessel, 1992). Navale (1981) menyatakan bahwa 25

batubara yang diendapkan pada lingkungan lagoon relatif kaya akan desmocolinit, batubara dari lingkungan upper delta plain dan fluviatil (wet frorest Swamp) kaya akan vitrinit dan material klastik seperti mineral lempung, sedangkan batubara dari lingkungan air tawar biasanya lebih kaya akan telinit, resinit dan inertinit. Sifat skalar dari suatu maseral bukan didasarkan atas faktor kehadiran atau morfologi maseral tertentu, tetapi didasarkan pada hubungan kuantitatif antara tiap maseral dalam batubara. Diessel (1992) memperkenalkan dua parameter utama dalam penertuan fasies batubara berdasarkan komposisi maseral pada batubara yaitu: 1. TPI TPI (Tissue Presevation Index) menyatakan perbandingan antara struktir jaringan pada maseral yang terawetkan dan struktur jaringan yang tidak terawetkan (terdekomposisi). TPI juga dapat menunjukkan derajat humifikasi yang terjadi pada lahan gambut dalam proses penggambutan. Tingginya derajat humifikasi dapat menyebabkan terjadinya penghancuran jaringan sel yang dinyatakan oleh harga TPI yang kecil.

Pengrusakan struktur sel oleh organisme akan sangat mudah terjadi pada tanaman yang mengandung banyak seloluse (tanaman perdu), sedangkan tanaman yang banyak mengandung lignin (tumbuhan kayu) akan sulit dihancurkan. Semakin meningkatnya harga TPI dapat menunjukkan semakin tingginya presentasi kehadiran tumbuhan-tumbuhan kayu dalam hal ini ditunjukkan dengan banyaknya presentasi telovitrinit. Sementara itu bila harga TPI , maka maseral vitrinit akan disertai oleh kehadiran cutinit yang biasanya akan cepat terhancurkan oleh air laut. Kombinasi antara kandungan densinit dan cutinit yang banyak dengan kandungan vitrinit yang sedikit dapat menggambarkan bahwa batubara berasal dari serta tumbuhan perdu pada suatu lingkungan Marsh

26

2. GI GI (Gelification Index) berhubungan dengan kontinuitas kelembaban pada lahan gambut serta menyatakan perbandingan antara maseral yang terbentuk karena proses gelifikasi dan maseral yang terbentuk akibat proses oksidasi.

Harga GI akan berbanding terbalik dengan tingkat oksidasi, dalam hal ini semakin kecil harga GI menunjukan tingkat oksidasi yang semakin besar. Tingkat gelifikasi akan memberikan beberapa gambaran antara lain : 1. Menunjukan basah keringnya kondisi pembentukan batubara. Hal ini terjadi karena gelifikasi membutuhkan keadaan lembab yang kontinyu. 2. Sebagai indikator pH relatif karena efektifitas bakteri dapat berlangsung pada derajat keasaman rendah 3. Sebagai ukuran proses diagenesa selama gelifikasi biokimia Kombinasi TPI dan GI dapat dipergunakan untuk memperkirakan derajat dekomposisi dan penentuan lingkungan pengendapan batubara. Nilai TPI dan GI yang tinggi dapat mengindikasikan tingkat dekomposisi aerobik yang rendah, sebaliknya kondisi kering dicirikan oleh nilai TPI rendah dan GI yang tinggi mengindikasikan dekomposisi aerobik yang terbatas. PENGARUH AIR TANAH DAN VEGETASI Salah satu parameter dalam pembentukan mire / lahan gambut (rheotophic, mesotropic dan ombrotopic) adalah kondisi pengaruh air tanah yang dicerminkan melalui nilai indeks GWI (Graoundwater Index) yang secara langsung berhubungan dengan kontinuitas air hujan dan suplai nutrisi / ion-ion yang ada pada air. Rheotropic mire menerima suplai air dari aliran tanah, air dari lingkungan dan air hujan sehingga kaya akan suplai nutrisi dan ion serta kandungan mineral, sementara ombrotropic mire hanya akan menerima dari air hujan sehingga miskin nutrisi (oligotropic). Rheotrophic mire dapat dibagi menjadi Fen, Swamp, dan Marsh yang tergantung pada tingkat genangan air pada lahan gambut. Sementara mire dapat 27

diistilahkan sebagai Bogs (Moore, 1987 dalam Calder 1991). GWI merupakan rasio perbandingan antara jumlah tumbuhan yang tergelifikasi kuat terhadap jaringan tumbuhan yang tergelifikasi lemah. Perbandingan ini dapat menggaqmbarkan proses gelifikasi yang menyimpulkan tentang keadaan suplai air dan pH dari suatu lahan gambut / mire. Pada lingkungan rawa yang berkembang menjadi kondisi rawa di bawah pengaruh air tanah yang semakin berkurang akan menghasilkan gambut yang lebih baik (Grosse Braukman, 1979, Tallis, 1983, Moore, 1987 dalam Calder 1991). Bukti kondisi ini dapat terlihat pada lapisan batubara yang menunjukan perubahan tendensi umum secara vertikal. Perubahan tendensi umum tersebut diantaranya adalah penurunan kadar sulfur dan abu, kenaikan pengawetan jaringan tumbuhan, penurunan gelifikasi biokimia dan penurunan maseral liptinite yang berasal dari lingkungan air (Calder, 1991)

Dalam perhitungan GWI juga dimasukan parameter mineral matter selain maseral. Kegunaan parameter mineral matter disini dapat mengindikasikan asal mula dari dominasi detrital masuk pada mire dan juga dapat mengasumsikan ukuran kondisi rawa gambut (Rheotrophic, mesotrophic dan ombrotropic). (Cecil, C.B dalam Taylor, 1998) Selain dari pengaruh air tanah yang dalam hal ini dinyatakan dalam GWI, aspek vegetasi (Vegetation Index) juga dapat dijadikan petunjuk dalam menginterpretasikan asal mula suatu lahan gambut (paleomire). Secara teori lahan gambut dapat dibedakan berdasarkan tipe tumbuhan pembentuk dengan

menggunakan paramater kesamaan antar maseral. Tumbuhan yang kaya akan lignin ditunjukan dengan kandungan telovitrinit, fusinit dan semifusinit yang tinggi. Dalam hal ini, suberinit dan resinit adalah

maseral penyerta. Tumbuhan asal perdu yang kaya selulosa melalui proses pembatubaraan akan membentuk batubara yang kaya akan detrovitrinit, inertodetrinit

28

dan liptodetrinit (Teichmuller, 1989). Kondisi seharusnya akan diindikasikan oleh kehadiran maseral alganite. Sementara sporanite dan cutinite mempunyai distribusi yang sama pada batubara yang terbentuk dari tumbuhan bawah air.

KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA Sulfur dalam batubara terdapat dalam bentuk inorganik, dan organik. Sulfur

inorganik banyak ditemui dalam bentuk senyawa sulfida ( piritik) dan sulfat. Sulfida organik adalah unsur atau senyawa sulfur yang terikat dalam rantai hidrokarbon material organik. Umumnya komponen sulfur dalam batubara terdapat sebagai sulfur syngenetic yang erat hubunganya dengan proses fisika dan kimia selama proses penggambutan (Mayers, 1982) dan juga sebagai sulfur epigenetik yang dapat diamati sebagai pengisi cleat pada batubara akibat proses presipitasi kimia pada akhir proses pembatubaraan (Mackowsky, 1968) Menurut Suits dan Arthur (2000) sulfat umumnya dari sedimen laut dangkal, direduksi senyawa karbon organik menjadi hidrogen sulfida, kemudian dioksidasi oleh geohite (FeOOH) atau hidrogen sulfida dan mereduksi ferric iron (Fe3+) menjadi senyawa ferrous iron (Fe2+). Oksigen sering kali menembus sedimen anaerob dan mengoksidasi hidrogen sulfida menjadi unsur sulfat (S0). Horne et.al (1978) menjelaskan bahwa penurunan cekungan dengan kecepatan tinggi selama sedimentasi umumnya akan menghasilkan beragam geometri dan petrografi batubara, tetapi kandungan sulfurnya rendah. Apabila penurunan berjalan secara perlahan maka akan menghasilkan kemenerusan lapisan secara luas tapi kandungan sulfurnya tinggi. Mansfield and Spackman (1968) menyatakan bahwa batubara dibawah pengaruh air laut mempunyai kandungan sulfur yang tinggi dibandingkan yang di air tawar. Pada lingkungan pengendapan batubara yang dipengaruhi oleh endapan laut akan menghasilkan batubara dengan kadar sulfur yang tinggi serta pirit berbentuk 29

framboidal dan kristal euhedral (Williams and Keith, 1963, Naeval, 1996, Cohen 1983, Davies and Raymond, 1983, Casagrande 1987 dalam International Journal of Coal Geology, 1992). Sedangkan batubara yang terendapkan di lingkungan darat/air tawar umumnya didominasi oleh sulfur organik dengan presentasi pirit rendah. Dilingkungan laut, pH umumnya berkisar antara 5 8 dan EH cukup rendah, kecuali pada beberapa centimeter dari permukaan. Sulfat berlimpah dan umumnya cukup ion Fe yang hadir baik sebagai unsur terlarut dalam air laut atau penguraian dari bahan tumbuhan dan mineral. Keadaan ini menyebabkan aktifitas bakteri sangat berperan untuk terbentuknya sulfur. Sedangkan lingkungan pengendapan batubara pada ait tawar (lacustrine dan rawa) pH umumnya rendah. Sulfat terlarut juga rendah ( < 40 ppm). Sehingga sulfur yang terbentuk sedikit karena aktifitas bakteri rendah. Dengan demikian jumlah sulfur yang dihasilkan tergantung pada kondisi pH, Eh, konsentrasi sulfat dan untuk pirit khususnya perlu kehadiran ion Fe dan aktivitas bakteri. Dari hasil penelitian mengenai bentuk dan keberadaan sulfur pada batubara dan gambut. Casagrande (1987) membuat beberapa kesimpulan yaitu : a. Secara umum batubara bersulfur rendah (<1 %) mengandung lebih banyak sulfur organik daripada sulfur piritik. Sebaliknya batubara dengan kandungan sulfur tinggi lebih banyak mengandung sulfur piritik dari pada organik. b. Batubara bersulfur tinggi biasanya berasosiasi dengan batuan penutup yang berasal dari lingkungan laut c. Kandungan sulfur pada batubara umumnya paling tinggi pada bagian roof dan floor lapisan batubara. Batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang rendah biasanya terendapkan pada lingkungan darat pada saat penggambutan, dengan lapisan penutup dan lapisan bawahnya berupa sedimen klasik yang terendapkan pada lingkungan darat juga. Sedangkan untuk batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang tinggi berasosiasi dengan sedimen yang terendapkan pada lingkungan payau atau laut (Cecil 1979) Proses paling penting dalam pembentukan unsur dan senyawa sulfur adalah reaksi reduksi sulfat oleh aktivitas bakteri. Berikut skema yang menunjukan urutan 30

proses pembentukan sulfur dalam batubara.

Gambar 3.4. Skema pembentukan sulfur dalam batubara (modifikasi dari Suits & Arthur, 2000)

Ward (1984) menyebutkan sulfur dalam batubara meliputi sulfur sulfat, sulfida sulfur dan organic sulfur yang kesemuanya merupakan penjumlahan dalam total sulfur dalam analisa proksimat. Kandungan sulfur dalam batubara terdiri : 1. Sulfur sulfat. Senyawa yang tebentuk sebagai kalsium sulfat (CaSO4) dalam batubara dan merupakan sumber belerang yang tidak dominan (<0,05%). Sulfur sulfat banyak dipengaruhi oleh air laut 2. Sulfur pirit Sulfur yang terdapat dalam batubara dalam bentuk besi sulfida, muncul sebagai markasit atau pirit. Kedua jenis mineral ini memiliki komposisi kimia yang sama (FeS2) tetrapi berbeda pada sistem kristalnya, pirit (isometrik) dan markasit (orthorombik) 31 Taylor (1998). Diendapkan bersamaan/seumur dengan

pembentukan batubara dan memiliki ukuran 0,5 40 mm. Berasal dari mineralmineral tanah yang dilepaskan untuk tanaman, terutaman pada tanah dengan drainase terbatas, banyak terdapat pada rawa-rawa. 3. Sulfur organic Sulfur yang terikat dengan senyawa organik pada struktur molekul hidrokarbon pada struktur batubara dan tidak dapat dipisahkan. Unsur yang mempengaruhi kandungan sulfur: 1. Plant remains. Merupakan sisa-sisa tumbuhan yang terdapat pada lapisan roof dan floor batubara. Berdasarkan pengamatan lapangan hadirnya plant remains diisi sulfur organik akan mempengaruhi nilai sulfur. Plant remains menaikan total sulfur betubara. Pada saat pembusukan sulfur tidak ikut membusuk dan tersisa hingga pada saat pembentukan batubara (Stachs, 1982 vide Putrasakti 2007) 2. Penyebaran mineral pirit pada batubara Kahdiran mineral pirit pada batubara sebagian dapat dihilangkan dengan mencuci karena pirit bercampur pada cleat sebagai markasit. Pengaruh pirit terhadap total sulfur jauh lebih besar dibandingkan pengaruh plant reamins terhadap jumlah total sulfur. Menurut Caraccio (1977, vide Putrasakti, 2007) ada empat bentuk pirit dalam batubara, yaitu : 1. Euhedral pirit, butiran kasar >25 mikron 2. Replecment mengantikan mineral asli tumbuhan 3. Flaty, berupa lembaran mengisi cleat 4. Frambodial pirit. Berasal dari pengurangan sulfur oleh mikroba organisme yang dijumpai di lingkungan air laut hingga air payau dan tidak pada air tawar. Memiliki kenampakan fisik yang bulat.

32

Gambar 3.5. Bentuk - bentuk mineral pirit dalam batubara : a) Pirit berbentuk famboidal; b) Pirit berbentuk konkresi; c) Pirit dalam bentuk Nodule; d) pirit epigenetik sebagai pengisi rekahan / cleat (Stach 1982 dalam coal petrology) Pirit dapat terbentuk sebagai hasil reduksi sulfur primer oleh organisme dan air tanah yang mengandung ion besi. Bentuk pirit dari hasil reduksi ini biasanya framboidal dengan sumber sulfur yang tereduksi kemungkinan terdapat dalam material yang terendapkan bersama batubara. Terbentuknya pirit epigenetik sangat berhubungan dengan frekwensi cleat karena kation kation yang terlarut (ion Fe) akan terbawa kedalam batubara oleh aliran yang telah tereduksi untuk kemudian membentuk pirit (Demchuck TD, dalam International Journal of Coal Geology, 1992) Pirit epigenetik umumnya hadir dalam bentuk masif, butiran kecil (granular) dan kristal euhedral. Pembentukan pirit epigenetik sangat dipengaruhi oleh keterdapatan sulfur primer yang telah tereduksi, ion besi dan tempat yang cocok bagi pembentukanya (Casagrande, 1987) Pirit framboidal berasosiasi dengan batuan penutup yang terendapkan pada lingkungan laut sampai payau. Gambut yang mengandung sulfur tinggi (dalam bentuk pirit framboidal) terbentuk pada lingkungan pengendapan yang dipengaruhi oleh trangresi air laut atau payau, kecuali apabila terdapat dalam batuan sedimen yang cukup tebal dan terendapkan sebelum fase trangresi (Cohen AD dalam Taylor

33

1998). Secara umum sebagian besar sulfur dalam batubara berupa sulfur syngenetik yang keterdapatanya dan distribusinya dikontrol oleh kondisi fisika dan kimia selama proses pembentukan gambut. Sulfur organik dalam batubara dapat berasal dari material kayu dan pepohonan. Disamping itu sebagian sulfur juga mungkin terjadi dari sisa-sisa organisme yang hidup selama perkembangan gambut. Sulfur organik dapat terakumulasi dari sejumlah material organik oleh proses penghancuran biokimia dan oksidasi. Namun secara umum, penghancuran biokimia merupakan proses yang paling penting dalam pembentukan sulfur organik, yang pembentukanya berjalan lebih lambat dari lingkungan basah atau jenuh air (Cook, 1982) Navael (1981), sulfur organik atau bisa dikatakan sebagai pirit,

mengindikasikan aktivitas bakteri pereduksi sulfur dalam gambut. Deulfovibrio sedlfurican dan Clostridium nigrificans mereduksi sulfat menjadi H2S yang diperlukan untuk terbentuknya pirit, dimana unsur besi kemungkinan masuk ke dalam rawa yang terbawa dalam material lempung. Oleh karena itu, pada umumnya pirit ditemukan pada lapisan lempung sebagai floor / roof maupun sisipan. Sulfur yang bukan berasal dari material pembentuk batubara diduga mendominasi dalam menertukan kandungan sulfur total. Sulfur inorganik yang biasanya melimpah dalam lingkungan marine atau payau kemungkinan besar akan terubah membentuk hidrogen sulfida dan senyawa sulfat dalam kondisi dan proses geokimia. Reaksi yang terjadi adalah reduksi sulfat oleh material organik menjadi hidrogen sulfida (H2S). Reaksi reduksi ini dipicu oleh adanya bakteri desulfovibrio dan desulfotomaculum (Trudinger dalam Mayers, 1982) Unsur sulfur, hidrogen sulfida dan ion sulfida dapat bereaksi dengan unsur atau molekul organik dari gambut menjadi sulfur organik. Unsur sulfur (S0) kemungkinan mucul dari proses oksidasi hidrogen sulfida yang terkena kontak dengan oksigen terlarut dalam kisi-kisi air, disamping itu S0 juga bisa muncul karena adanya aktivitas bakteri. Unsur sulfur (S0) dapat berekasi dengan asam humik yang terbentuk selama proses penggambutan. (Mayers, 1982) Berdasarkan eksperimen dapat diketahui bahwa H2S juga dapat bereaksi 34

dengan asam humik yang terbentuk selama proses penggambutan. Jenis interaksi antaea H2S dengan asam humik inilah yang mempunyai peranan paling penting dalam mementukan kandungan sulfur organik dalam batubara (Mayers, 1982). Disamping itu kandungan sulfur organik yang tinggi hanya akan berasosiasi dengan lingkungan rawa gambut yang minim suplai Fe (Gransh & Postuma, 1974, Bein, 1990, Zaback & Pratt dalam Suits & Arthur, 2000) Bukti-bukti kimia dan molekul menyatakan bahwa sulfur organik pada sedimen muda dan purba terbentuk pada awal proses diagenesa (Nissenbaum & Kaplam, 1972; Casagrande, 1979; Kohnen, 1990 dalam Suits & Arthur, 2000). Bukti dari isotop sulfur memperkuat hipotesa tersebut, pada sulfur organik isotop sulfur 34S terkayakan relatif sama pada sulfur pirit untuk batuan sedimen muda dan purba. Bukti isotop ini juga sering membuktikan bahwa sulfur organik terbentuk setelah proses presipitsi pirit (Kaplan, 1963, Price & Shieh, 1979, Francois, 1987, Raiswell, 1993 dalam Suits & Arthur, 2000)

35

You might also like