You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN
Kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae yang bersifat intraseluler obligat. Penyebaran penyakit ini dari suatu tempat
ke tempat lain dapat disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit
tersebut. 1
Dewasa ini penyakit kusta itu sendiri masih menjadi masalah kesehatan di dunia,
khususnya di negara-negara yang sedang berkembang. Masalah yang dihadapi penderita
bukan hanya dari medis saja, tetapi juga menimbulkan beban psikologis, sosial dan
ekonomi. 2
Sebuah penelitian menyatakan bahwa jumlah penderita kusta di dunia pada tahun
2007 diperkirakan 2-3 juta orang lebih, 80% di antaranya berasal dari daerah tropis. Pada
tahun yang sama Indonesia masih menempati urutan ke tiga setelah India dan Brazil dalam
hal penyumbang jumlah penderita kusta di dunia. Walaupun secara nasional Indonesia
telah mencapai eliminasi kusta sejak Juni 2000. Artinya, secara nasional angka prevalensi
kusta di Indonesia lebih kecil dari 1 per 10.000 penduduk. Namun untuk tingkat provinsi dan
kabupaten sampai akhir tahun 2007 masih ada 14 provinsi dan 155 kabupaten yang angka
prevalensinya di atas 1 per 10.000 penduduk. Ke-14 provinsi tersebut antara lain Nangroe
Aceh Darussalam, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Gorontalo dan Papua.3
Pada penderita kusta itu sendiri dapat mengalami suatu kondisi yang lebih dikenal
dengan reaksi kusta. Istilah reaksi kusta digunakan untuk menggambarkan berbagai
gejala dan tanda radang akut pada lesi dalam perjalanan penyakit yang kronis. Reaksi ini
menyebabkan gangguan dalam keseimbangan sistem imunologi. Meningkatnya insidensi
penyakit kusta dan kondisi reaksi kusta ini menyebabkan penulis tertarik mengangkat hal
tersebut dalam tulisan ini. 4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae, terutama mengenai kulit, sistem saraf perifer, namun dapat
juga terjadi sistem pernapasan bagian atas, mata, kelenjar getah bening dan testis dan
sendi-sendi. 1,5
Kusta itu sendiri dalam perjalannnya bisa menimbulkan suatu kondisi yang disebut
dengan reaksi kusta. Reaksi kusta adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit
kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen
antibody (humoral response) dengan akibat merugikan penderita, terutama jika
mengenai saraf tepi karena menyebabkan gangguan fungsi (cacat). Reaksi ini dapat
terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan.
Reaksi kusta dapat dibagi menjadi dua yaitu reaksi tipe I atau reaksi reversal yang
disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler secara cepat dan reaksi tipe II atau
reaksi erythema nodosum leprosum (ENL) yang merupakan reaksi humoral yang
ditandai dengan timbulnya nodul kemerahan,neuritis,gangguan saraf dan lainnya. Reaksi
ini terutama terjadi pada tipe lepromatosa (LL) dan borderline lepromatosa (BL). 4
2. Epidemiologi
Sebuah penelitian menyatakan bahwa jumlah penderita kusta di dunia pada tahun
2007 diperkirakan 2-3 juta orang lebih, 80% di antaranya berasal dari daerah tropis.
Pada tahun yang sama Indonesia masih menempati urutan ke tiga setelah India dan
Brazil dalam hal penyumbang jumlah penderita kusta di dunia. Walaupun secara
nasional Indonesia telah mencapai eliminasi kusta sejak Juni 2000. Artinya, secara
nasional angka prevalensi kusta di Indonesia lebih kecil dari 1 per 10.000 penduduk.
Namun untuk tingkat provinsi dan kabupaten sampai akhir tahun 2007 masih ada 14
provinsi dan 155 kabupaten yang angka prevalensinya di atas 1 per 10.000 penduduk.
Ke-14 provinsi tersebut antara lain Nangroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa
Tenggara Timur, Maluku, Gorontalo dan Papua.3
Penelitian yang lain yang dilakukan di daerah Brebes, Jawa Tengah diperoleh
sampel sebanyak 106 penderita. 53 orang sebagai control dan 53 orang adalah
penderita kusta. Responden yang mengalami reaksi kusta tipe I sebanyak 24,5 %
2

dan tipe II sebanyak 75,5%. Dari 53 penderita yang mengalami reaksi kusta, sebanyak
94,3 % penderita mengalami reaksi kusta berat dan 5,7 % mengalami reaksi kusta ringan.
Berdasarkan status pengobatan MDT, sebanyak 5,7 % penderita belum mendapat
pengobatan, sedang dalam pengobatan sebanyak 52,8 % dan sesudah pengobatan
sebanyak 41,5 %. 4
3. Etiologi
Meskipun gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis maupun faktor pencetus
reaksi kusta sudah diketahui dengan jelas, namun penyebab pasti belum diketahui.
Kemungkinan reaksi ini menggambarkan episode hipersensitivitas akut terhadap
antigen basil yang menimbulkan gangguan keseimbangan imunitas yang telah ada.
Faktor pencetus yang dapat menyebabkan timbulnya hal tersebut ialah infeksi,
stress mental dan fisik, kehamilan , vaksinasi, faktor hormonal dan nutrisi. 4,6,7
4. Klasifikasi
Pengklasifikasian reaksi kusta yang paling banyak dipakai dewasa ini adalah1 :
1. Reaksi kusta tipe 1 disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal
upgrading)
2. Reaksi kusta tipe 2 disebabkan oleh hipersensitivitas humoral (ENL/eritema
nodusum leprosum), dan
3. Fenomena lucio atau reaksi kusta tipe 3, sebenarnya merupakan bentuk yang lebih
berat.
Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan
tipe 2 yaitu pada reaksi tipe yang memegang peranan adalah imunitas seluler
(SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral.
a. Reaksi Tipe I
Menurut Jopling reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity
reaction seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal dari
kuman yang telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi 3 dengan
limfosit T disertai perubahan sistem imun seluler yang cepat. Jadi pada dasarnya
reaksi tipe I terjadi akibat perubahan keseimbangan antar imunitas dan basil.
Dengan demikian sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/reversal,
apabila menuju kearah bentuk lepromatosa (terjadi penurunan sistem imun
seluler).

Pada kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan reaksi reversal oleh
karena paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan
pengobatan, sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai oleh karena
berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak
mendapat pengobatan.
Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua
bentuk kusta yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi
daripada bentuk yang lain sehingga disebut reaksi borderline.ertambah aktif dan
atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat. Adanya lesi
hipopigmentasi menjadi eritema, lesi macula menjadi infiltrate, lesi luas.

Gambar 1 : Reaksi Tipe 1


b. Reaksi Tipe II
Reaksi tipe 2 terjadi reaksi hipersensitivitas tipe III karena adanya reaksi
kompleks antigen-antibodi yang melibatkan komplemen. Terjadi lebih banyak pada
tipe lepromatus juga tampak pada BL. Reaksi tipe 2 sering disebut sebagai
Erithema Nodosum Leprosum (ENL) dengan gambaran lesi lebih eritematus,
mengkilap, sedikit tampak nodul atau plakat, ukuran macam-macam, pada umumnya
kecil, terdistribusi bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah,
lengan dan paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh
kecuali daerah kepala yang berambut, aksila, lipatan paha dan daerah perineum.
Selain itu didapatkan nyeri, pustulasi dan ulserasi juga disertai gejala sistematik
4

seperti demam dan malaise. Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti
saraf, mata, ginjal, sendi, testis dan limfe.

Gambar 2 : Reaksi Kusta Tipe 2

Gambar 3. Sebelum reaksi

Ketika reaksi

Gambar 4 : Contoh contoh reaksi ENL

Tabel 1. Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 dan Tipe 2


No Gejala / Tanda
1. Kondisi umum
2.

Peradangan di kulit

Tipe 1
Baik atau demam ringan

Tipe2
Buruk, disertai malaise

Bercak kulit lama menjadi

dan febris
Timbul nodul

lebih meradang (merah),

kemerahan, lunak dan

dapat timbul bercak baru.

nyeri tekan. Biasanya


pada lengan dan
tungkai. Nodul dapat

3.

Waktu terjadi

pecah (ulserasi)
Biasanya setelah

Awal pengobatan MDT

pengobatan yang lama,


umumnya lebih dari 6
4.
5.

Tipe Kusta
Saraf

bulan
Hanya terjadi pada MB
Dapat terjadi

Dapat tipe PB dan MB


Sering terjadi, umumnya
berupa nyeri tekan saraf
dan/atau gangguan fungsi

6.

Peradangan pada
organ lain

saraf
Hampir tidak ada

Terjadi pada mata,


KGB, sendi, ginjal,
testis, dll

Tabel 2. Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat Tipe 1 dan Tipe 2
No

Gejala /

Tipe 1

Tipe 2

Tanda
7

1.

Kulit

Ringan
Bercak :

Berat
Bercak :

Ringan
Nodul :

Berat
Nodul : merah,

merah, tebal,

merah, tebal

Merah, panas,

panas,nyeri yang

panas, nyeri

panas, nyeri

nyeri

bertambah parah

yang bertambah

sampai pecah

parah sampai
2.

Saraf Tepi

Nyeri pada

pecah
Nyeri pada

Nyeri pada

Nyeri pada

3.

Keadaan

perabaan (-)
Demam (-)

perabaan (+)
Demam (+)

perabaan (-)
Demam (+)

perabaan (+)
Demam (+)

4.

Umum
Gangguan

pada organ

Terjadi

lain

peradangan
pada:
Mata :
Iridocyclitis
Testis:Epididim
oorchitis
Ginjal : Nefritis
Kelenjar limpa:
Limfadenitis
Gangguan pada
tulang, hidung
dan tenggorokan

* Bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai
reaksi berat

c. Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi
pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau
infiltrate difus, berwarna merah muda, bentuk tidah teratur dan terasa nyeri. Lesi
terutama di ekstermitas, kemudian meluas keseluruh tubuh. Lesi yang berat
8

tampak lebih eritematous disertai purpur, bula kemudian dengan cepat terjadi
nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya
terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukan nekrosis epidermal iskemik dengan
nekrosis pembuluh darah superficial, edema, dan proliferasi endothelial pembuluh
darah lebih dalam. Didapatkan basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak
ditemukan infiltrate polimorfonuklear seperti pada ENL namun dengan
imunofluorensi tampak deposit imonoglobulin dan komplemen didalam dinding
pembuluh darah. Titer kompleks imun yang beredar dan krigobulin sangat tinggi
pada semua penderita.

Gambar 5 : Fenomena Lucio

5. Patofisiologi ENL
Mekanisme imunopatologi ENL masih kurang jelas. ENL diduga merupakan
manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada pembuluh darah.4 Perlu
ditegaskan bahwa pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya dengan reaksi
reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga
9

dapat disebut reaksi borderline. Diperkirakan reaksi pada ENL ada hubungannya dengan
reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil
lepra berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan
pertama.1
Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, yang berarti banyak
pula antigen yang dilepaskan. Adanya faktor pencetus seperti infeksi virus, stress,
vaksinasi dan kehamilan menyebabkan terjadinya infiltrasi sel T helper 2 yang
menghasilkan berbagai sitokin yaitu IL-4 yang menginduksi sel B menjadi sel plasma
yang kemudian memproduksi antibodi. Konsentrasi antigen dan presipitasi antibodi
tersebut akan bereaksi dan membentuk kompleks imun yang terus beredar dalam
sirkulasi darah yang akhirnya dapat diendapkan dalam berbagai organ atau jaringan yang
kemudian mengaktifkan sistem komplemen.8,9
Secara ringkasnya fenomena ini berupa kompleks imun akibat reaksi antara
antigen M.leprae + antibody ( IgM, IgG ) + komplemen kompleks imun. Komplemen
akan bergabung dengan kompleks imun dan akhirnya akan membentuk endapan
kompleks imun dan menghasilkan polimorfonuklear leukotaktik factor. Itulah sebabnya
penimbunan kompleks imun pada pembuluh darah dan lesi merupakan karakteristik
reaksi ENL.1,5
Fagositosis kompleks imun oleh neutrofil yang terakumulasi menimbulkan
pelepasan atau produksi sejumlah substansi proinflamasi tambahan, termasuk
proataglandin, peptida vasodilator, dan substansi kemotaksis,serta enzim lisosom yang
mampu mencerna membran basalis, kolagen, elastin, dan kartilago yang menyebabkan
inflamasi dan nekrosis jaringan.1
Terdapat juga penelitian yang mempelajari peranan tumor nekrosis faktor alfa
(TNF-a) pada patogenesiss ENL. Penderita LL yang menunjukkan reaksi ENL setelah
terapi MDT juga menunjukkan kadar TNF-a yang tinggi. Data ini menunjukkan eratnya
hubungan antara TNF-a dengan patogenesis ENL.7
Faktor nekrosis tumor ini bisa menimbulkan kerusakan langsung pada sel dan
jaringan, mengaktifkan makrofag, memacu makrofag memproduksi IL-1 dan IL-6 dan
memacu sel hepar menghasilkan protein reaktif C (PRC). Peninggian konsenterasi TNF-a
dan PRC dalam serum penderita ENL yang berkorelasi positif sekitar 95% apabila
dibandingkan dengan penderita kusta lepromatosa non reaksi.5
6. Gejala Klinis
10

Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada: multiplikasi dan diseminasi kuman
M. Leprae, respons imun penderita terhadap kuman M. Leprae dan komplikasi yang
diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.

10

Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit,
saraf, dan membran mukosa. Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi
menjadi 'kusta tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen
multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline leprosy). 11
Penilaian untuk tanda-tanda fisik terdapat pada 3 area umum: lesi kutaneus,
neuropathi, dan mata. Untuk lesi kutaneus, menilai jumlah dan distribusi lesi pada kulit.
Makula hipopigmentasi dengan tepian yang menonjol sering merupakan lesi kutaneus
yang pertama kali muncul. Sering juga berupa plak. Lesi mungkin atau tidak mungkin
menjadi hipoesthetik. Lesi pada pantat sering sebagai indikasi tipe borderline.
Tanda-tanda umum dari neuropati lepra : 1) neuropati sensoris jauh lebih umum
dibandingkan neuropathy motorik, tapi neuropati motorik murni dapat juga muncul. 2)
mononeuropati dan multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna dan peroneal
yang lebih sering terlibat dan 3) neuropati perifer simetris dapat juga timbul
Gejala dari neuropati lepra biasanya termasuk berikut: a) anesthesia, tidak nyeri,
patch kulit yang tidak gatal, pasien dengan lesi kulit yang menutupi cabang saraf perifer
mempunyai resiko tinggi untuk berkembangnya kerusakan motoris dan sensoris.
b) deformitas yang disebabkan kelemahan dan mensia-siakan dari otot-otot yang
diinervasi oleh saraf perifer yang terpengaruh (claw hand atau drop foot menyusul
kelemahan otot), c) gejala sensoris yang berkurang untuk melengkapi hilangnya sensasi,
paresthesia dalam distribusi saraf-saraf yang terpengaruh, nyeri neuralgia saat saraf
memendek atau diregangkan dan d) lepuh yang timbul spontan dan ulcus tropik sebagai
konsekuensi dari hilangnya sensoris
Gejala yang terlihat pada suatu reaksi

reaksi reversal onset yang mendadak dari kulit yang kemerahan dan munculnya

lesi-lesi kulit yang baru


reaksi ENL nodul pada kulit yang multiple, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan
mata merah.Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema,dan
nyeri dengan tempat predileksi di lengan dantungkai. Bila mengenai organ lain
dapat menimbulkangejala seperti iridosiklitis, neuritis akut,limfadenitis,arthritis,or
kitis, dan nefritis yang akut dengan adanya proteinuria.Ia juga dapat disertai gejala

11

konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik
pula.
Nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf perifer yang
menghasilkan claw hand atau drop foot.
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder
disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis
palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya,
menyebabkan kerusakan bagian bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama sama
akan menyebabkan kebutaan10.
7. Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada reaksi kusta
antara lain :10
a. Pemeriksaan laboratorium, seperti :
1. Hitung sel darah lengkap
2. Glukosa darah, BUN, creatinine, liver function tests
3. HIV status, terutama nonresponder
4. Kerokan kulit dan atau mukosa hidung untuk AFB
5. Keluarga dan atau screening kontak untuk bukti terjangkit
b. Pemeriksaaan bakterioskopik
Pada pemeriksaan bakterioskopik di ambil sediaan dari kerokan jaringan kulit atau
usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON.

Gambar 6 : Kuman solid

c. Imaging Studies
1. Foto thorak
2. Foto rontgen untuk mendeteksi keterlibatan tulang
3. MRI atau CT dari sendi neurophatik saat diperlukan
4. Magnetic resonance (MR) neurography pada kondisi khusus
12

5. Ultrasonography dan Doppler ultrasonography


Tes Yang Lain
1) Tes Imunologi
a. Lepromin test
b. Respon imun seluler melawan M leprae juga dapat dipelajari dengan
lymphocyte transformation test dan lymphocyte migration inhibition test
(LMIT). Tes berdasar pada deteksi antibody M lepra atau antigen.
c. Tes serologi
d. Estimasi dari komponen spesifik M leprae pada jaringan
2) DNA Recombinant dan polymerase chain reaction (PCR)
3) Penyelidikan tentang abnormalitas konduksi saraf termasuk sebagai berikut:
konduksi yang melambat secara segmental terlihat pada tempat-tempat
terperangkap (segmen siku dari saraf ulnaris), latensi distal memanjang,

berkurangnya (sensorik atau motorik) velositas konduksi saraf


berkurangnya amplitude dari evoked motor responses (compound muscle
action potentials [CMAPs] atau hilangnya amplitodo rendah dari potensial

sensoris.
Saraf-saraf yang paling sering terlibat didalamnya adalah saraf ulnaris,
peroneal, median, dan saraf-saraf tibial.

Sedangkan pemeriksaan penunjang pada ENL dapat berupa pemeriksaan laboratorium


dan pemeriksaan histopatologi. 6,8,12
1. Pada pemeriksaan laboratorium, dilakukan pemeriksaan protein dan sel darah
merah dalam urine yang dapat menunjukkan terjadinya glomerulonefritis akut.
Pada pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop, dapat terlihat kompleks imun
pada glomerulus ginjal. Pada pemerksaan hematologi dapat ditemukan
leukositosis PMN, trombositosis, peninggian LED, anemia normositik normokrom
dan peninggian kadar gammaglobulin
2. Pemerikaan histologi, ENL akan menunjukkan inflamasi akut berupa lapisan
infiltrat pada inflamasi granulomatosa yang kronik dari BL dan LL. Selain itu,
akan tampak peningkatan vaskularisasi dengan dilatasi kapiler pada dermis bagian
atas dan pada dermis bagian bawah terdapat infiltrasi lekosit polimorfonuklear
yang lokalisasinya disekeliling pembuluh darah dan menyerang dinding pembuluh
darah. Terdapat pembengkakan dan edema endothelium vena, arteriole dan arteriartei kecil pada lasi ENL. Fragmen basil sedikit dan, terdapat disekitar pembuluh
darah. Kerusakan dinding vaskuler ini mengakibatkan ekstravasasi eritrosit.
7. Penatalaksanaan
13

Prinsip dalam penatalaksanaan reaksi kusta : 6


1. Mengontrol neurtis akut dalam rangka pencegahan anastesi, paralisis dan
kontraktur
2. Menghentikan kerusakan pada mata dan mencegah kebutaan.
Lebih jauh beberapa kepustakaan menyatakan bahwa penatalaksanaan reaksi kusta
itu sendiri berbeda tergantung manifestasi dan berat ringannya penyakit. 13
a . Reaksi ringan
Pada reaksi ENL ringan dapat diberikan analgesik / antipiretik seperti Aspirin
atau Asetaminofen.
b. Reaksi berat
Berikut adalah pedoman WHO untuk pengelolaan reaksi eritema nodosum
leprosum (ENL) berat.
Prinsip umum:
1. Reaksi ENL berat sering berulang dan kronis serta dapat bervariasi dalam
manifestasinya.
2. Manajemen ENL berat yang terbaik dilakukan oleh dokter di pusat rujukan.
3. Dosis dan durasi obat anti reaksi yang digunakan dapat disesuaikan oleh dokter
sesuai dengan kebutuhan pasien individu
Manajemen dengan kortikosteroid:
1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.
2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri.
3. Gunakan prednisolon dengan dosis per hari tidak melebihi 1mg/KgBB dengan
total durasi pemberian 12 minggu.
Manajemen dengan klofazimin dan kortikosteroid:
Adapun pemberiannya adalah untuk indikasinya pada kasus ENL berat yang
tidak berespon dengan pengobatan kortikosteroid atau dimana risiko toksisitas dengan
kortikosteroid yang tinggi.
1.
2.
3.
4.
5.

Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.


Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri.
Gunakan prednisolon dengan dosis per hari tidak melebihi 1mg/KgBB.
Mulai pemberian klofazimin 100mg 3xsehari selama maksimum 12 minggu.
Teruskan terapi standar prednisolon. Dilanjutkan dengan pemberian klofazimin
seperti di bawah ini.
Manajemen dengan klofazimin saja:
Indikasinya pada kasus ENL berat dimana terdapat kontraindikasi penggunaan
kortikosteroid.
14

1.
2.
3.
4.

Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.


Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri.
Mulai pemberian klofazimin 100mg 3xsehari selama maksimum 12 minggu.
Kurangi dosis klofazimin sampai 100mg 2xsehari selama 12 minggu dan
kemudian 100mg 1 x sehari selama 12-24 minggu.
Obat lain yang berguna dalam pengobatan reaksi ENL adalah pentoxifylline

saja atau dalam kombinasi dengan klofazimin / prednisolone. Karena alasan efek
samping teratogenik, WHO tidak menganjurkan penggunaan thalidomide untuk
manajemen reaksi ENL pada kusta.

1. Reaksi Tipe 1
Terapi untuk reaksi tipe 1 biasanya dengan kortikosteroid.
Prednison (peroral) 40-60 mg/hari sampai lebih dari 1 bulan.
Ketika reaksi terkontrol, dilakukan tappering off.
Clofazimin 300 mg/hari bisa ditambahkan dalam
pengobatan.
Cyclosporin bisa digunakan jika terapi steroid gagal, dengan
dosis 5-10 mg/kg. Jika selama pengobatan, fungsi saraf gagal
berkembang sementara fungsi lainnya kembali normal,
kemungkinan kompresi manual harus dievaluasi melalui
eksplorasi bedah. Transposisi nervus ulnaris tampaknya
tidak lebih efektif dibanding terapi imunosupresi untuk
disfungsi nervus ulnaris.
2. Reaksi Tipe 2
Thalidomide merupakan pilihan utama pengobatan ENL
karena keefektivitasannya. Dosis awal sampai 400 mg/hari
pada pasien yang lebih dari 50 kg. Dosis ini sangat sedatif,
sehingga memiliki efek samping pada SSP. Maka,
pengobatan dengan dosis tinggi diberikan pada jangka
waktu singkat. Pada kasus sedang, dimulai dengan dosis
awal 100-200 mg/kg. Pada kasusENL akut, obat dihentikan

15

setelah beberapa minggu atau bulan. Pada reaksi tipe 2


kronik, usaha penghentian obat dilakukan setelah 6 bulan.
Clofazimine dosis tinggi (hingga 300 mg/hari)efektif pada
ENL dan bisa digunakan sendiri atau untuk mengurangi
dosis kortikosteroid atau thalidomide.
Kombinasi pentoxifylline 400-800 mg 2 kali/hari dan
clofazimine 30 mg/hari dapat digunakan jika thalidomide
tidak dapat diberikan atau untuk menghindari penggunaan
steroid sistemik untuk pengobatan ENL berat.
TNF inhibitor, seperti infliximab, efektif mengobati ENL
yang berulang.

8. Monitoring dan Evaluasi Pengobatan


Adapun hal lain yang juga penting adalah dilakukan monitoring dan evaluasi pengobatan
pada penderita, berupa: 1, 4,8
1. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat
2. Apabila penderita terlambat mengambil obat paling lama dalam 1 bulan harus
dilakukan pelacakan
3. RFT dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan
laboratorium. Setelah RFT penderita dikeluarkan dari form monitoring penderita
4. Masa pengamatan : pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif
a. Tipe PB selama 2 tahun
b. Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium
5. Penderita PB yang telah mendapatkan pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu
6-9 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium
6. Penderita MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu
12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium
7. Defaulter
Jika seorang penderita PB tidak mengambil obatnya lebih dari 3 bulan maka
dinyatakan sebagai Defaulter PB

16

Jika seorang penderita MB tidak mengambil obatnya lebih dari 6 bulan maka
dinyatakan sebagai Defaulter MB.
Tindakan bagi penderita defaulter :
a. Dikeluarkan dari monitoring dan register
b. Bila kemudian datang lagi maka harus dilakukan pemeriksaan klinis ulang,
pengobatan menyesuaikan dengan gejala klinis yang didapat
8. Relaps/ Kambuh
Dinyatakan kambuh setelah dinyatakan RFT timbul lesi baru pada kulit maka untuk
menyatakan relaps harus dikonfirmasikan ke dokter kusta yang memiliki
kemampuan klinis dalam mendiagnosis relaps. Untuk relaps MB jika ternyata pada
pemeriksaan ulang BTA setelah RFT terjadi peningkatan Indeks Bakteriologi 2 atau
lebih disbanding saat diagnosis maka penderita dinyatakan Relaps. Rujuan dalam
kasus relaps memungkinkan karena kasus relaps bukan termasuk kedaruratan. Bila
hasil relaps telah dikonfirmasikan maka penderita diobati sesuai hasil pemeriksaan
pada saat itu
9. Indikasi pengeluaran penderita dari register adalah : RFT, meninggal, pindah, salah
diagnosis, ganti klasifikasi, default
10. Pada keadaan khusus dapat diberikan sekaligus beberapa blister disertai dengan
pesan penyuluhan lengkap dengan efek samping dan indikasi untuk kembali ke
pelayanan kesehatan

17

18

BAB III
KESIMPULAN
Reaksi kusta hampir selalu terjadi pada penderita kusta baik sebelum pengobatan,
sedang dalam pengobatan dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta ini dibagi menjadi 2, yaitu :
reaksi tipe I atau reaksi reversal dan reaksi tipe II atau reaksi ENL dengan manifestasi klinis
yang jelas.
Reaksi kusta ini sangat sering ditemukan namun etiologinya masih belum jelas.
Beberapa kepustakaan menyebutkan adanya faktor pencetus diduga berkaitan dengan angka
kejadian reaksi ini, seperti : setelah pengobatan antikusta yang intensif, stress fisik
/ psikis, imunisasi, kehamilan, persalinan, menstruasi, infeksi, trauma, dan lain-lain.
Penatalaksaan dan terapi yang tepat adalah hal utama untuk reaksi kusta ini, di
samping itu monitoring dan evaluasi pengobatan jua menjadi hal penting lainnya demi
penanganan yang adekuat dan tepat guna.

19

Daftar Pustaka
1. Burns, Tony, Stephen Breathnach, Nail Cox and Christopher Griffiths (Editor). 2010.
Rooks Textbook of Dermatology, Eight Edition, Volume 2. Wiley-Blackwell, Pg. 29.132.19
2. Prasad, PVS. 2005. All About Leprosy. Jaypee Brother Medical Publisher, New Delhi.
3. World Health Organization. Weekly Epidemiological Record- Global Leprosy: Update
on the 2012 Situation. No. 35, 30 August 2013.
(http://www.who.int/wer/2013/wer8835.pdf,
4. Ditjen PPM & PL Dep.Kes. RI, Modul Epidemiologi Penyakit Kusta dan Program
Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta, 2001 ; 1-10.
5. Rea, Thomas H, and Robert L. Modlin. Leprosy. In : Wolff, Klauss, Lowell A.
Goldsmith, Stephen I. Katz, dan Barbara A. Gilchrest, Amy S. Paller, David J. Leffell
(Editor). 2008. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine Seven Edition Volume
1. McGraw-Hill, United States of America. Pg. 1786-1796
6. Ditjen PPM & PL Dep. Kes. RI, Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit
Kusta, Cetakan XVIII, Jakarta, 2006 ; 4-138.
7. Cross H. Wound care for people affected by leprosy: A guide for low resource
situations. South Carolina: American Leprosy Missions, 2003: 18-20.
8.

Srinivasan H, Desikan KV. Cauliflower growths in neuropathic plantar ulcers in


leprosy patients. The Journal of Bone and Joint Surgery, 1971; 53A: 123-32.

9. Kampirapap K, Poonpracha T. Squamous cell carcinoma arising in chronic ulcers in


leprosy. J med Assoc Thai, 2005; 88: 58-60. \
10. Scollard DM, Adams LB, Gillis TP, Krahenbuhl JL, Truman RW, Williams DL. The
continuing challenges of Leprosy. Clin. Microbial. Rev 2006; 19 (2): 338-381.
11. Kar HK, Sharma P. Leprosy reaction. Dalam: Kar HK, Kumar B, editors. IAL
Textbook of Leprosy. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) LTD, 2010:
269-87.
12. Slim FJ, Schie CH, Keukenkamp R, Faber WR, Nollet F. Increased plantar foot
pressure in persons affected by leprosy. Gait & Pusture 2012; 35: 218-24.
13. Yawalkar SJ. Leprosy for medical practitioners and paramedical workers. Edisi ke-8.
Switzerland: Novartis, 2009:100-13.

20

21

You might also like