Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae yang bersifat intraseluler obligat. Penyebaran penyakit ini dari suatu tempat
ke tempat lain dapat disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit
tersebut. 1
Dewasa ini penyakit kusta itu sendiri masih menjadi masalah kesehatan di dunia,
khususnya di negara-negara yang sedang berkembang. Masalah yang dihadapi penderita
bukan hanya dari medis saja, tetapi juga menimbulkan beban psikologis, sosial dan
ekonomi. 2
Sebuah penelitian menyatakan bahwa jumlah penderita kusta di dunia pada tahun
2007 diperkirakan 2-3 juta orang lebih, 80% di antaranya berasal dari daerah tropis. Pada
tahun yang sama Indonesia masih menempati urutan ke tiga setelah India dan Brazil dalam
hal penyumbang jumlah penderita kusta di dunia. Walaupun secara nasional Indonesia
telah mencapai eliminasi kusta sejak Juni 2000. Artinya, secara nasional angka prevalensi
kusta di Indonesia lebih kecil dari 1 per 10.000 penduduk. Namun untuk tingkat provinsi dan
kabupaten sampai akhir tahun 2007 masih ada 14 provinsi dan 155 kabupaten yang angka
prevalensinya di atas 1 per 10.000 penduduk. Ke-14 provinsi tersebut antara lain Nangroe
Aceh Darussalam, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Gorontalo dan Papua.3
Pada penderita kusta itu sendiri dapat mengalami suatu kondisi yang lebih dikenal
dengan reaksi kusta. Istilah reaksi kusta digunakan untuk menggambarkan berbagai
gejala dan tanda radang akut pada lesi dalam perjalanan penyakit yang kronis. Reaksi ini
menyebabkan gangguan dalam keseimbangan sistem imunologi. Meningkatnya insidensi
penyakit kusta dan kondisi reaksi kusta ini menyebabkan penulis tertarik mengangkat hal
tersebut dalam tulisan ini. 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae, terutama mengenai kulit, sistem saraf perifer, namun dapat
juga terjadi sistem pernapasan bagian atas, mata, kelenjar getah bening dan testis dan
sendi-sendi. 1,5
Kusta itu sendiri dalam perjalannnya bisa menimbulkan suatu kondisi yang disebut
dengan reaksi kusta. Reaksi kusta adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit
kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen
antibody (humoral response) dengan akibat merugikan penderita, terutama jika
mengenai saraf tepi karena menyebabkan gangguan fungsi (cacat). Reaksi ini dapat
terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan.
Reaksi kusta dapat dibagi menjadi dua yaitu reaksi tipe I atau reaksi reversal yang
disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler secara cepat dan reaksi tipe II atau
reaksi erythema nodosum leprosum (ENL) yang merupakan reaksi humoral yang
ditandai dengan timbulnya nodul kemerahan,neuritis,gangguan saraf dan lainnya. Reaksi
ini terutama terjadi pada tipe lepromatosa (LL) dan borderline lepromatosa (BL). 4
2. Epidemiologi
Sebuah penelitian menyatakan bahwa jumlah penderita kusta di dunia pada tahun
2007 diperkirakan 2-3 juta orang lebih, 80% di antaranya berasal dari daerah tropis.
Pada tahun yang sama Indonesia masih menempati urutan ke tiga setelah India dan
Brazil dalam hal penyumbang jumlah penderita kusta di dunia. Walaupun secara
nasional Indonesia telah mencapai eliminasi kusta sejak Juni 2000. Artinya, secara
nasional angka prevalensi kusta di Indonesia lebih kecil dari 1 per 10.000 penduduk.
Namun untuk tingkat provinsi dan kabupaten sampai akhir tahun 2007 masih ada 14
provinsi dan 155 kabupaten yang angka prevalensinya di atas 1 per 10.000 penduduk.
Ke-14 provinsi tersebut antara lain Nangroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa
Tenggara Timur, Maluku, Gorontalo dan Papua.3
Penelitian yang lain yang dilakukan di daerah Brebes, Jawa Tengah diperoleh
sampel sebanyak 106 penderita. 53 orang sebagai control dan 53 orang adalah
penderita kusta. Responden yang mengalami reaksi kusta tipe I sebanyak 24,5 %
2
dan tipe II sebanyak 75,5%. Dari 53 penderita yang mengalami reaksi kusta, sebanyak
94,3 % penderita mengalami reaksi kusta berat dan 5,7 % mengalami reaksi kusta ringan.
Berdasarkan status pengobatan MDT, sebanyak 5,7 % penderita belum mendapat
pengobatan, sedang dalam pengobatan sebanyak 52,8 % dan sesudah pengobatan
sebanyak 41,5 %. 4
3. Etiologi
Meskipun gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis maupun faktor pencetus
reaksi kusta sudah diketahui dengan jelas, namun penyebab pasti belum diketahui.
Kemungkinan reaksi ini menggambarkan episode hipersensitivitas akut terhadap
antigen basil yang menimbulkan gangguan keseimbangan imunitas yang telah ada.
Faktor pencetus yang dapat menyebabkan timbulnya hal tersebut ialah infeksi,
stress mental dan fisik, kehamilan , vaksinasi, faktor hormonal dan nutrisi. 4,6,7
4. Klasifikasi
Pengklasifikasian reaksi kusta yang paling banyak dipakai dewasa ini adalah1 :
1. Reaksi kusta tipe 1 disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal
upgrading)
2. Reaksi kusta tipe 2 disebabkan oleh hipersensitivitas humoral (ENL/eritema
nodusum leprosum), dan
3. Fenomena lucio atau reaksi kusta tipe 3, sebenarnya merupakan bentuk yang lebih
berat.
Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan
tipe 2 yaitu pada reaksi tipe yang memegang peranan adalah imunitas seluler
(SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral.
a. Reaksi Tipe I
Menurut Jopling reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity
reaction seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal dari
kuman yang telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi 3 dengan
limfosit T disertai perubahan sistem imun seluler yang cepat. Jadi pada dasarnya
reaksi tipe I terjadi akibat perubahan keseimbangan antar imunitas dan basil.
Dengan demikian sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/reversal,
apabila menuju kearah bentuk lepromatosa (terjadi penurunan sistem imun
seluler).
Pada kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan reaksi reversal oleh
karena paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan
pengobatan, sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai oleh karena
berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak
mendapat pengobatan.
Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua
bentuk kusta yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi
daripada bentuk yang lain sehingga disebut reaksi borderline.ertambah aktif dan
atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat. Adanya lesi
hipopigmentasi menjadi eritema, lesi macula menjadi infiltrate, lesi luas.
seperti demam dan malaise. Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti
saraf, mata, ginjal, sendi, testis dan limfe.
Ketika reaksi
Peradangan di kulit
Tipe 1
Baik atau demam ringan
Tipe2
Buruk, disertai malaise
dan febris
Timbul nodul
3.
Waktu terjadi
pecah (ulserasi)
Biasanya setelah
Tipe Kusta
Saraf
bulan
Hanya terjadi pada MB
Dapat terjadi
6.
Peradangan pada
organ lain
saraf
Hampir tidak ada
Tabel 2. Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat Tipe 1 dan Tipe 2
No
Gejala /
Tipe 1
Tipe 2
Tanda
7
1.
Kulit
Ringan
Bercak :
Berat
Bercak :
Ringan
Nodul :
Berat
Nodul : merah,
merah, tebal,
merah, tebal
Merah, panas,
panas,nyeri yang
panas, nyeri
panas, nyeri
nyeri
bertambah parah
yang bertambah
sampai pecah
parah sampai
2.
Saraf Tepi
Nyeri pada
pecah
Nyeri pada
Nyeri pada
Nyeri pada
3.
Keadaan
perabaan (-)
Demam (-)
perabaan (+)
Demam (+)
perabaan (-)
Demam (+)
perabaan (+)
Demam (+)
4.
Umum
Gangguan
pada organ
Terjadi
lain
peradangan
pada:
Mata :
Iridocyclitis
Testis:Epididim
oorchitis
Ginjal : Nefritis
Kelenjar limpa:
Limfadenitis
Gangguan pada
tulang, hidung
dan tenggorokan
* Bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai
reaksi berat
c. Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi
pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau
infiltrate difus, berwarna merah muda, bentuk tidah teratur dan terasa nyeri. Lesi
terutama di ekstermitas, kemudian meluas keseluruh tubuh. Lesi yang berat
8
tampak lebih eritematous disertai purpur, bula kemudian dengan cepat terjadi
nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya
terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukan nekrosis epidermal iskemik dengan
nekrosis pembuluh darah superficial, edema, dan proliferasi endothelial pembuluh
darah lebih dalam. Didapatkan basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak
ditemukan infiltrate polimorfonuklear seperti pada ENL namun dengan
imunofluorensi tampak deposit imonoglobulin dan komplemen didalam dinding
pembuluh darah. Titer kompleks imun yang beredar dan krigobulin sangat tinggi
pada semua penderita.
5. Patofisiologi ENL
Mekanisme imunopatologi ENL masih kurang jelas. ENL diduga merupakan
manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada pembuluh darah.4 Perlu
ditegaskan bahwa pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya dengan reaksi
reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga
9
dapat disebut reaksi borderline. Diperkirakan reaksi pada ENL ada hubungannya dengan
reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil
lepra berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan
pertama.1
Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, yang berarti banyak
pula antigen yang dilepaskan. Adanya faktor pencetus seperti infeksi virus, stress,
vaksinasi dan kehamilan menyebabkan terjadinya infiltrasi sel T helper 2 yang
menghasilkan berbagai sitokin yaitu IL-4 yang menginduksi sel B menjadi sel plasma
yang kemudian memproduksi antibodi. Konsentrasi antigen dan presipitasi antibodi
tersebut akan bereaksi dan membentuk kompleks imun yang terus beredar dalam
sirkulasi darah yang akhirnya dapat diendapkan dalam berbagai organ atau jaringan yang
kemudian mengaktifkan sistem komplemen.8,9
Secara ringkasnya fenomena ini berupa kompleks imun akibat reaksi antara
antigen M.leprae + antibody ( IgM, IgG ) + komplemen kompleks imun. Komplemen
akan bergabung dengan kompleks imun dan akhirnya akan membentuk endapan
kompleks imun dan menghasilkan polimorfonuklear leukotaktik factor. Itulah sebabnya
penimbunan kompleks imun pada pembuluh darah dan lesi merupakan karakteristik
reaksi ENL.1,5
Fagositosis kompleks imun oleh neutrofil yang terakumulasi menimbulkan
pelepasan atau produksi sejumlah substansi proinflamasi tambahan, termasuk
proataglandin, peptida vasodilator, dan substansi kemotaksis,serta enzim lisosom yang
mampu mencerna membran basalis, kolagen, elastin, dan kartilago yang menyebabkan
inflamasi dan nekrosis jaringan.1
Terdapat juga penelitian yang mempelajari peranan tumor nekrosis faktor alfa
(TNF-a) pada patogenesiss ENL. Penderita LL yang menunjukkan reaksi ENL setelah
terapi MDT juga menunjukkan kadar TNF-a yang tinggi. Data ini menunjukkan eratnya
hubungan antara TNF-a dengan patogenesis ENL.7
Faktor nekrosis tumor ini bisa menimbulkan kerusakan langsung pada sel dan
jaringan, mengaktifkan makrofag, memacu makrofag memproduksi IL-1 dan IL-6 dan
memacu sel hepar menghasilkan protein reaktif C (PRC). Peninggian konsenterasi TNF-a
dan PRC dalam serum penderita ENL yang berkorelasi positif sekitar 95% apabila
dibandingkan dengan penderita kusta lepromatosa non reaksi.5
6. Gejala Klinis
10
Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada: multiplikasi dan diseminasi kuman
M. Leprae, respons imun penderita terhadap kuman M. Leprae dan komplikasi yang
diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.
10
Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit,
saraf, dan membran mukosa. Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi
menjadi 'kusta tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen
multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline leprosy). 11
Penilaian untuk tanda-tanda fisik terdapat pada 3 area umum: lesi kutaneus,
neuropathi, dan mata. Untuk lesi kutaneus, menilai jumlah dan distribusi lesi pada kulit.
Makula hipopigmentasi dengan tepian yang menonjol sering merupakan lesi kutaneus
yang pertama kali muncul. Sering juga berupa plak. Lesi mungkin atau tidak mungkin
menjadi hipoesthetik. Lesi pada pantat sering sebagai indikasi tipe borderline.
Tanda-tanda umum dari neuropati lepra : 1) neuropati sensoris jauh lebih umum
dibandingkan neuropathy motorik, tapi neuropati motorik murni dapat juga muncul. 2)
mononeuropati dan multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna dan peroneal
yang lebih sering terlibat dan 3) neuropati perifer simetris dapat juga timbul
Gejala dari neuropati lepra biasanya termasuk berikut: a) anesthesia, tidak nyeri,
patch kulit yang tidak gatal, pasien dengan lesi kulit yang menutupi cabang saraf perifer
mempunyai resiko tinggi untuk berkembangnya kerusakan motoris dan sensoris.
b) deformitas yang disebabkan kelemahan dan mensia-siakan dari otot-otot yang
diinervasi oleh saraf perifer yang terpengaruh (claw hand atau drop foot menyusul
kelemahan otot), c) gejala sensoris yang berkurang untuk melengkapi hilangnya sensasi,
paresthesia dalam distribusi saraf-saraf yang terpengaruh, nyeri neuralgia saat saraf
memendek atau diregangkan dan d) lepuh yang timbul spontan dan ulcus tropik sebagai
konsekuensi dari hilangnya sensoris
Gejala yang terlihat pada suatu reaksi
reaksi reversal onset yang mendadak dari kulit yang kemerahan dan munculnya
11
konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik
pula.
Nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf perifer yang
menghasilkan claw hand atau drop foot.
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder
disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis
palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya,
menyebabkan kerusakan bagian bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama sama
akan menyebabkan kebutaan10.
7. Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada reaksi kusta
antara lain :10
a. Pemeriksaan laboratorium, seperti :
1. Hitung sel darah lengkap
2. Glukosa darah, BUN, creatinine, liver function tests
3. HIV status, terutama nonresponder
4. Kerokan kulit dan atau mukosa hidung untuk AFB
5. Keluarga dan atau screening kontak untuk bukti terjangkit
b. Pemeriksaaan bakterioskopik
Pada pemeriksaan bakterioskopik di ambil sediaan dari kerokan jaringan kulit atau
usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON.
c. Imaging Studies
1. Foto thorak
2. Foto rontgen untuk mendeteksi keterlibatan tulang
3. MRI atau CT dari sendi neurophatik saat diperlukan
4. Magnetic resonance (MR) neurography pada kondisi khusus
12
sensoris.
Saraf-saraf yang paling sering terlibat didalamnya adalah saraf ulnaris,
peroneal, median, dan saraf-saraf tibial.
1.
2.
3.
4.
saja atau dalam kombinasi dengan klofazimin / prednisolone. Karena alasan efek
samping teratogenik, WHO tidak menganjurkan penggunaan thalidomide untuk
manajemen reaksi ENL pada kusta.
1. Reaksi Tipe 1
Terapi untuk reaksi tipe 1 biasanya dengan kortikosteroid.
Prednison (peroral) 40-60 mg/hari sampai lebih dari 1 bulan.
Ketika reaksi terkontrol, dilakukan tappering off.
Clofazimin 300 mg/hari bisa ditambahkan dalam
pengobatan.
Cyclosporin bisa digunakan jika terapi steroid gagal, dengan
dosis 5-10 mg/kg. Jika selama pengobatan, fungsi saraf gagal
berkembang sementara fungsi lainnya kembali normal,
kemungkinan kompresi manual harus dievaluasi melalui
eksplorasi bedah. Transposisi nervus ulnaris tampaknya
tidak lebih efektif dibanding terapi imunosupresi untuk
disfungsi nervus ulnaris.
2. Reaksi Tipe 2
Thalidomide merupakan pilihan utama pengobatan ENL
karena keefektivitasannya. Dosis awal sampai 400 mg/hari
pada pasien yang lebih dari 50 kg. Dosis ini sangat sedatif,
sehingga memiliki efek samping pada SSP. Maka,
pengobatan dengan dosis tinggi diberikan pada jangka
waktu singkat. Pada kasus sedang, dimulai dengan dosis
awal 100-200 mg/kg. Pada kasusENL akut, obat dihentikan
15
16
Jika seorang penderita MB tidak mengambil obatnya lebih dari 6 bulan maka
dinyatakan sebagai Defaulter MB.
Tindakan bagi penderita defaulter :
a. Dikeluarkan dari monitoring dan register
b. Bila kemudian datang lagi maka harus dilakukan pemeriksaan klinis ulang,
pengobatan menyesuaikan dengan gejala klinis yang didapat
8. Relaps/ Kambuh
Dinyatakan kambuh setelah dinyatakan RFT timbul lesi baru pada kulit maka untuk
menyatakan relaps harus dikonfirmasikan ke dokter kusta yang memiliki
kemampuan klinis dalam mendiagnosis relaps. Untuk relaps MB jika ternyata pada
pemeriksaan ulang BTA setelah RFT terjadi peningkatan Indeks Bakteriologi 2 atau
lebih disbanding saat diagnosis maka penderita dinyatakan Relaps. Rujuan dalam
kasus relaps memungkinkan karena kasus relaps bukan termasuk kedaruratan. Bila
hasil relaps telah dikonfirmasikan maka penderita diobati sesuai hasil pemeriksaan
pada saat itu
9. Indikasi pengeluaran penderita dari register adalah : RFT, meninggal, pindah, salah
diagnosis, ganti klasifikasi, default
10. Pada keadaan khusus dapat diberikan sekaligus beberapa blister disertai dengan
pesan penyuluhan lengkap dengan efek samping dan indikasi untuk kembali ke
pelayanan kesehatan
17
18
BAB III
KESIMPULAN
Reaksi kusta hampir selalu terjadi pada penderita kusta baik sebelum pengobatan,
sedang dalam pengobatan dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta ini dibagi menjadi 2, yaitu :
reaksi tipe I atau reaksi reversal dan reaksi tipe II atau reaksi ENL dengan manifestasi klinis
yang jelas.
Reaksi kusta ini sangat sering ditemukan namun etiologinya masih belum jelas.
Beberapa kepustakaan menyebutkan adanya faktor pencetus diduga berkaitan dengan angka
kejadian reaksi ini, seperti : setelah pengobatan antikusta yang intensif, stress fisik
/ psikis, imunisasi, kehamilan, persalinan, menstruasi, infeksi, trauma, dan lain-lain.
Penatalaksaan dan terapi yang tepat adalah hal utama untuk reaksi kusta ini, di
samping itu monitoring dan evaluasi pengobatan jua menjadi hal penting lainnya demi
penanganan yang adekuat dan tepat guna.
19
Daftar Pustaka
1. Burns, Tony, Stephen Breathnach, Nail Cox and Christopher Griffiths (Editor). 2010.
Rooks Textbook of Dermatology, Eight Edition, Volume 2. Wiley-Blackwell, Pg. 29.132.19
2. Prasad, PVS. 2005. All About Leprosy. Jaypee Brother Medical Publisher, New Delhi.
3. World Health Organization. Weekly Epidemiological Record- Global Leprosy: Update
on the 2012 Situation. No. 35, 30 August 2013.
(http://www.who.int/wer/2013/wer8835.pdf,
4. Ditjen PPM & PL Dep.Kes. RI, Modul Epidemiologi Penyakit Kusta dan Program
Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta, 2001 ; 1-10.
5. Rea, Thomas H, and Robert L. Modlin. Leprosy. In : Wolff, Klauss, Lowell A.
Goldsmith, Stephen I. Katz, dan Barbara A. Gilchrest, Amy S. Paller, David J. Leffell
(Editor). 2008. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine Seven Edition Volume
1. McGraw-Hill, United States of America. Pg. 1786-1796
6. Ditjen PPM & PL Dep. Kes. RI, Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit
Kusta, Cetakan XVIII, Jakarta, 2006 ; 4-138.
7. Cross H. Wound care for people affected by leprosy: A guide for low resource
situations. South Carolina: American Leprosy Missions, 2003: 18-20.
8.
20
21