You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 latar Belakang
Acute Respiratory Distress Syndrome merukan bentuk dari keadaan gagal nafas yang
menyebabkan terjadinya hipoksemia berat. Terdapat beberapa defisi yang menjelaskan
mengenai ARDS, namun berdasakan kriteria Berlin keadaan ARDS didefinisikan
memalui keadaan derajat hipoksemia yaitu derajat ringan (200 mm Hg <PaO2 / FIO2
300 mmHg), sedang (100 mm Hg <PaO2 / FIO2 200 mm Hg), dan berat (PaO2 / FIO2
100 mm Hg) disertai 4

variabel tambahan untuk ARDS berat yaitu keparahan

radiografi, compliance sistem pernapasan (40 mL / cm H2O), tekanan positif akhir


ekspirasi (10 cm H2O). (1,2)
Terdapat 2 faktor yang menyebabkan terjadinya ARDS, diantaranya kondisi penyakit
yang langsung menyebabkan kerusakan langsung dan tidak langsung pada paru. Keadaan
sepsis merupakan penyebab umum terjadinya gagal nafas. Keadaan langsung yang terkait
ARDS adalah pneumonia kontusio paru, aspirasi cairan gaster, tenggelam, edema paru
dan banyak lainnya. Mekanisme terjadinya ARDS masih belum banyak diketahui,
penambahan cairan dalam paru yang merupakan suatu edema paru yang berbeda dengan
edema paru akibat kelainan jantung oleh karena tidak adanya peningkatan tekanan
hidrostatik kapiler paru, kondisi pada ARDS terjadi saat terjadi kerusakan membran
kapiler alveoli, kemudian terjadi peningkatan permeabilitas endotel kapiler paru dan
epitel alveoli yang menyebabkan edema alveoli dan interstitial. toksin akibat sepsi juga
akan merangsang neutrofil dan makrofag untuk memproduksi TNF dan IL-1. Sitokin ini
selanjutnya akan menyebabkan adhesi neutrofil dan merangsang makrofag untuk kembali
memproduksi TNF dan IL-1 serta mediator toksik lainnya oksigen radikal bebas,
protease, metabolit arakidonat, dan platelet activating factor. Adhesi granulosit neutrofil
selanjutnya akan merusak sel endotel dengan cara melepaskan protease sehingga dapat
menghancurkan struktur protein seperti kolagen, elastin, fibronektin, serta menyebabkan
proteolisis plasma dalam sirkulasi dan berakhir pada kerusakan paru yang mencetuskan
ARDS. (3,5)
Tingkat keselamatan pasien dengan ARDS berat yang menjalani tatalaksana yang di
ICU sekitar 60% melalui bantuan ventilator dan pemantauan hemodinamik seta keadaan
komorbid penyakit yang meyertai pasien. Insiden kematian akibar ARDS meningkat
pada kelompok orang tua, pasien dengan imunosupresi dan pasien dengan
penyakit kronis berat. Biasanya pasien mulai pulih dalam waktu dua minggu sejak

onset ARDS. Angka kematian keseluruhan di ARDS sekarang sekitar 32 sampai 45


persen, dibandingkan dengan 53-68 persen pada tahun 1980. Ada kemungkinan bahwa
cedera yang disebabkan ventilator bisa telah menyumbang angka kematian yang tinggi.
Pengelolaan agresif terhadap kedaan klinis, infeksi yang timbul dan dukungan nutrisi juga
memainkan peran dalam menurunkan angka kematian.(5,7)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Definisi Acute Respiratory Distress Syndrome

Sindrom distres respiratorik akut merupakan bentuk edema pulmoner yang


menyebabkan gagal respiratorik akut dan disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas
membran alveolokapiler. Cairan terakumulasi dalam interstisium paru-paru dan ruang
alveolar. ARDS berat bisa menyebabkan hipoksemia yang sulit disembuhkan dan fatal, tetapi
pasien yang sembuh mungkin hanya mengalami sedikit kerusakan paru-paru atau tidak sama
sekali.(1)
Selain itu, Sindroma gagal nafas juga dapat didefinisikan sebagai gangguan fungsi paru
akibat kerusakan alveoli yang difus, ditandai dengan kerusakan sawar membran kapiler
alveoli, sehingga menyebabkan terjadinya edema alveoli yang kaya protein disertai dengan
adanya hipoksemia. Kelainan ini umumnya timbul mendadak pada pasien tanpa kelainan paru
sebelumnya dan dapat disebabkan oleh berbagai macam keadaan.(2)
Berdasarkan definisi berlin, ARDS didefinisikan berdasarkan waktu, radiologi, edema,
dan oksigenasi. Berikut merupakan definisi ARDS berdasarkan kriteria tersebut.
Tabel 1. Definisi Acute Respiratory Distress Syndrome Berlin. (3)

Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) perlu dibedakan dengan Acute Lung Injury
(ALI). ALI didefinisikan sebagai sindrom inflamasi dan peningkatan permeabilitas yang

berhubungan dengan gambaran klinis, radiologis, dan kelainan fisiologis yang tidak dapat
dijelaskan oleh tetapi dapat terjadi bersamaan dengan, hipertensi kapiler paru atau atrium kiri.

Pengecualian hipertensi atrium kiri sebagai penyebab utama hipoksemia sangat penting untuk
definisi ini. Perbedaan antara ALI dan ARDS adalah derajat hipoksemia, yang digambarkan
oleh rasio tekanan oksigen arteri terhadap konsentrasi oksigen inspirasi fraksional
(PaO2/FIO2). ALI didefinisikan dengan rasio yang kurang dari 300 mmHg sedangkan kurang
200 mmHg untuk ARDS. (2)
2.2. Faktor Resiko
Terdapat berbagai faktor resiko terjadinya ARDS. Sindrom sepsis tampaknya menjadi
faktor resiko paling umum, tetapi secara keseluruhan risiko akan meningkat secara
multifaktor. Transfusi darah merupakan risiko independen faktor. Usia lanjut dan rokok
berhubungan dengan peningkatan risiko ARDS, sementara konsumsi alkohol tampaknya
tidak memiliki pengaruh. Sebuah studi menunjukkan bahwa kematian akibat ARDS pertahun
mengalami penurunan, tetapi pria dan orang kulit hitam memiliki angka kematian lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan dan groups. ras lainnya.(1)
Secara umum, faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya ARDS dibagi menjadi
dua yaitu cedera yang secara langsung mengenai paru dan secara tidak langsung. Berikut
beberapa faktor resiko penyebab ARDS baik secara lansung maupun tidak langsung. (1)
Tabel 2. Faktor resiko langsund dan tidak langsung Acute Respiratory Distress Syndrome. (1)

Selain itu terdapat berbagai faktor lain yang jug dapat menyebabkan terjadinya ARDS,
seperti diantaranya :

Tabel 3. Faktor resiko Acute Respiratory Distress Syndrome. (4)

2.3. Patogenesis
Mekanisme terjadinya ARDS masih belum jelas diketahui mengapa mempunyai sebab
bermacam-macam yang dapat menjadi sindrom klinis dan patofisiologi yang sama. Sindrom
gagal nafas pada orang dewasa selalu berhubungan dengan dengan penambahan cairan dalam
paru dan merupakan suatu edema paru yang berbeda dengan edema paru akibat kelainan
jantung oleh karena tidak adanya peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru. Mula-mula
terjadi kerusakan membran kapiler alveoli, kemudian terjadi peningkatan permeabilitas
endotel kapiler paru dan epitel alveoli yang menyebabkan edema alveoli dan interstitial.(2, 3)
Penyelidikan dengan mikroskop elektron menunjukkan pembatas udara-darah terdiri
dari pneumosit tipe I (sel-sel penyokong) dan pneumosti tipe II (sumber surfaktan) bersamasama dengan membran basalis dari sisi alveolar; pembatas tersebut bersinggungan dengan
membran basalis kapiler dan sel-sel endotel. Selain itu alveolus juga memiliki sel-sel
jaringan pengikat yang bekerja sebagai pembantu dan pengatur volume. Membran kapiler
alveolar dalam keadaan normal tidak mudah ditembus partikel-partikel. Tetapi dengan adanya
cedera, maka terjadi perubahan pada permeabilitasnya, sehingga dapat dilalui cairan, sel
darah merah dan protein darah. Mula-mula cairan akan berkumpul pada interstitium dan jika
melebihi kapasitas interstitium, cairan akan berkumpul di rongga alveoli , sehingga
mengakibatkan ateletaksis kongestif. (2, 3)
Mekanisme yang pasti kerusakan endotel pada sindrome gagal nafas pada orang dewasa
belum diketahui, walaupun telah dibuktikan adanya peran beberapa sitokin. Adanya faktor
pencetus misalnya toksin kuman akan merangsang neutrofil dan makrofag untuk

memproduksi TNF dan IL-1. Sitokin ini selanjutnya akan menyebabkan adhesi neutrofil dan
merangsang makrofag untuk kembali memproduksi TNF dan IL-1 serta mediator toksik
lainnya oksigen radikal bebas, protease, metabolit arakidonat, dan platelet activating factor.
Adhesi granulosit neutrofil selanjutnya akan merusak sel endotel dengan cara melepaskan
protease sehingga dapat menghancurkan struktur protein seperti kolagen, elastin, fibronektin,
serta menyebabkan proteolisis plasma dalam sirkulasi. Beberapa hal yang menyokong peran
granulosit dalam proses timbulnya sindrom gagal nafas adalah adanya granulositopenia yang
berat pada binatang percobaan yang disebabkan berkumpulnya granulosit dalam paru-paru.
(2, 3)
Pada keadaan normal, paru mempunyai mekanisme proteksi untuk melindungi sel-sel
parenkim paru karena adanya antiprotease dan antioksidan dalam bentuk glutation. Pada
sindrom gagal nafas ini didapatkan adanya defisiensi glugation serta hambatan aktivitas
antiprotease. Biopsi paru pasien sindrom gagal nafas pada orang dewasa menunjukkan
adanya pengumpulan granulosit secara tidak normal teraktivasi tersebut akan melepaskan
enzim proteolitik seperti elastase, kolagenase dan juga oksigen radikal yang dapat
menghambat aktivitas antiprotease paru. (2, 3)
2.4. Patofisiologi
Saat terjadinya kerusakan pada kapiler paru dan epitel alveoli, plasma dan darah akan
bocor menuju ke interstisial dan ruang-ruang intraalveolar. Hasilnya, terjadi penumpukan
cairan dan atelektasis pada alveolus. Atelektasis merupakan mekanisme yang mengikuti
upaya paru untuk mengurangi aktivitas surfaktan. Kerusakan ini tidak bersifat homogen dan
hanya mempengaruhi daerah paru yang terkena. Dalam dua sampai tiga hari, terjadi inflamasi
interstisial dan bronkoalveolar serta proliferasi sel-sel interstisial. Kemudian akan terjadi
akumulasi kolagen secara cepat sehingga berakibat fibrosis interstisial dua hingga tiga
minggu kemudian. Perubahan patologis ini mengakibatkan penurunan komplians paru,
menurunkan kapasitas residual fungsional, ketidakseimbangan ventilasi/perfusi, hipoksemia
hebat, serta hipertensi pulmonal.(2)
Dalam ARDS, paru-paru akan melalui tiga fase: eksudatif, proliferasi, dan fibrosis,
tetapi tentu saja masing-masing fase dan perkembangan penyakit secara keseluruhan
bervariasi. Pada tahap eksudatif, kerusakan pada epitel alveolar dan endotelium vaskular
mengakibatkankan kebocoran cairan, protein, sel inflamasi dan sel darah merah ke lumen
alveolus dan interstitium. Perubahan ini disebabkan oleh interaksi kompleks dari mediator
pro-inflamasi dan anti-inflamasi. (2, 5)

Sel alveolar tipe I mengalami kerusakan ireversibel dan ruang yang rusak diisi oleh
protein, fibrin, dan debris sel, dan memproduksi membran hialin, sementara cedera pada selsel penghasil surfaktan tipe II mengakibatkan kolaps alveolar. Pada fase proliferatif, sel tipe
II berproliferasi dengan beberapa regenerasi, reaksi fibroblastik, dan remodeling sel epitel.
Pada beberapa pasien, ini berkembang menjadi fase fibrosis ireversibel melibatkan deposisi
kolagen pada alveolar, vaskular, dan interstisial dengan pengembangan microcyss. (2, 5)
ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah mengalami trauma fisik,
meskipun dapat juga terjadi pada individu yang terlihat sangat sehat segera sebelum awitan,
misalnya awitan mendadak seperti infeksi akut. Biasanya terdapat periode laten sekitar 18- 24
jam dari waktu cedera paru. Durasi sindrom dapat dapat beragam dari beberapa hari sampai
beberapa minggu.(1)
Pada ARDS dipikirkan bahwa kaskade inflamasi timbul beberapa jam kemudian yang
berasal dari suatu fokus kerusakan jaringan tubuh. Neutrofil yang teraktivasi akan beragregasi
dan melekat pada sel endotel yang kemudian menyebabkan pelepasan berbagai toksin, radikal
bebas, dan mediator inflamasi seperti asam arakidonat, kinin, dan histamin. Proses kompleks
ini dapat diinisiasi oleh berbagai macam keadaan atau penyakit dan hasilnya adalah
kerusakan endotel yang berakibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Alveoli menjadi
terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein dan banyak mengandung neutrofil dan sel
inflamasi sehingga terbentuk membran hialin. (1, 2)
Pada dasarnya, kelainan dari ARDS adalah kerusakan pada pertahanan alveolar capillary.
Selain itu fakta saat ini terjadinya ARDS tidak sesederhana berasal dari edema pulmonal akibat
peningkatan permeabilitas microvaskular, tetapi mempunyai manifestasi yang lebih menyeluruh
dari kerusakan permeabilitas. (1, 2)
Peningkatan permeabilitas kapiler akan menyebabkan cairan merembes ke jaringan
interstitial dan alveoli, menyebabkan edema paru, paru menjadi kaku dan kelenturan paru
(complience) menurun. Kapasitas sisa fungsional juga menurun. (1, 2)
Hipoksemia yang berat merupakan gejala penting sindrom gagal nafas pada orang dewasa.
Penyebab utama hipoksemia pada sindrom gagal nafas ini adalah adanya pirau aliran darah paru
intrapulmonal masif. Pada keadaan normal pirau intrapulmonal ini didapatkan dalam presentase
yang kecil dari curah jantung total. Pada sindrom gagal nafas ini pirau tersebut meningkat hingga
25-50% dari curah jantung total dan hal ini terjadi karena adanya perfusi yang persisten pada
alveoli yang kolaps/alveoli yang terisi cairan. Akibat darah yang mengalir dari arteri pulmonalis
tidak dapat terpajan dengan udara dalam alveoli dan tidak terjadi pertukaran gas sehingga
menyebabkan terjadi ketidakseimbangan antara ventilasi-perfusi. (1, 2)

2.5. Manifestasi Klinis

ARDS biasanya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan awal pada
paru. Setelah 72 jam 80% pasienn menunjukkan gejala klinis ARDS yang jelas. Awalnya
pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti dengan pernapasan yang cepat
dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan perifer, bahkan tanda yang khas pada ARDS
ialah tidak membaiknya sianosis meskipun pasien sudah diberi oksigen. Sedangkan pada
auskultasi dapat ditemui ronkhi basah kasar, serta kadang wheezing.(2, 4)
Diagnosis dini dapat ditegakkan jika pasien mengeluhkan dispnea, sebagai gejala
pendahulu ARDS. Diagnosis presumtif dapat ditegakkan dengan pemeriksaan analisa gas
darah serta foto toraks. Analisa ini pada awalnya menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO 2
sangat rendah, PaCO2 normal atau rendah, serta peningkatan pH). Foto toraks biasanya
memperlihatkan infiltrat alveolar bilateral difus yang mirip dengan edema paru atau batasbatas jantung, namun siluet jantung biasanya normal. Bagaimanapun, belum tentu kelainan
pada foto toraks dapat menjelaskan perjalanan penyakit sebab perubahan anatomis yang
terlihat pada gambaran sinar X terjadi melalui proses panjang di balik perubahan fungsi yang
sudah lebih dahulu terjadi.(4)
PaO2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun konsentrasi
oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini merupakan indikasi adanya pintas
paru kanan ke kiri melalui atelektasis dan konsolidasi unit paru yang tidak terjadi ventilasi.
Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru pasien sudah mengalami bocor di berbagai
tempat, bentuk yang tidak teratur, serta perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat. (4)
Setelah dilakukan perawatan hipoksemia, diagnosis selanjutnya ditegakkan dengan
bantuan beberapa alat. Untuk menginvestigasi adanya gagal jantung dapat dipasang kateter
Swan-Ganz, dari sini dapat dilihat bahwa pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) akan
terukur rendah (<18 mmHg) pada ARDS serta meningkat (>20 mmHg) pada gagal jantung.
Jika terdapat emboli paru (keadaan yang menyerupai ARDS) mesti dieksplorasi hingga
pasien stabil sambil mencari sumber trombus yang mungkin terdapat pada pasien, misalnya
dari DVT. Pneumosystis carinii dan infeksi-infeksi paru lainnya patut dijadikan diagnosis
diferensial, terutama pada pasien imunokompromais. (1, 4)

2.6. Diagnosis

Hingga saat ini, belum ada cara penilaian yang spesifik dan sensitive terhadap
kerusakan endotel/epitel, diagnosis ARDS ditegakkan dengan kriteria fisiologi, namun hal ini
masih kontroversi. Meskipun begitu, pemeriksaan laboratorium dan gambaran radiologi
mungkin berguna.(3)
Pada tahap dini ARDS, pemeriksaan fisik mungkin tidak banyak ditemukan kelainan,
tetapi kemudian didapatkan adanya krepitasi yang meluas pada lapangan paru dalam waktu
yang singkat. Pemeriksaan laboratorium yang paling dini menunjukkan kelainan dalam
analisis gas darah berupa hipoksemia, kemudian hiperkapnia dengan asidosis respiratorik
pada tahap akhir. (3)
Mula-mula tidak ada kelainan jelas pada foto dada. Setelah 12-24 jam tampak infiltrat
tanpa batas-batas yang tegas pada seluruh lapangan paru, mirip dengan edema paru pada
gagal jantung tetapi tanpa tanda-tanda pembesaran jantung dan tanda bendungan lainnya.
Infiltrat tersebut biasanya meluas dengan cepat dan simetris dalam beberapa jam/hari
sehingga mengenai seluruh lapangan paru tetapi kedua sinus kostofrenikus masih tetap
normal (bilateral white-out). Infiltrat dapat juga bertambah secara lambat dan asimetris.
Biasanya perbaikan foto dada pada ARDS lambat, sedangkan pada edema paru oleh gagal
jantung, infiltratnya cepat menghilang dengan pemberian diuretik. (3)
a. Laboratorium
Selain hipoksemia, gas darah arteri sering awalnya menunjukkan alkalosis pernapasan.
Namun, dalam ARDS terjadi dalam konteks sepsis, asidosis metabolik yang dengan atau
tanpa kompensasi respirasi dapat terjadi.
Bersamaan dengan penyakit yang berlangsung dan pernapasan meningkat, tekanan
parsial karbon dioksida (PCO2) mulai meningkat. Pasien dengan ventilasi mekanik untuk
ARDS dapat dikondisikan untuk tetap hiperkapnia (hiperkapnia permisif) untuk mencapai
tujuan volume tidal yang rendah yang bertujuan menghindari cedera paru-paru terkait
ventilator.
Kelainan lain yang diamati pada ARDS tergantung pada penyebab yang mendasarinya
atau komplikasi yang terkait dan mungkin termasuk yang berikut:
Hematologi. Pada pasien sepsis, leukopenia atau leukositosis dapat dicatat.
Trombositopenia dapat diamati pada pasien sepsis dengan adanya koagulasi
intravaskular diseminata (DIC). Faktor von Willebrand (vWF) dapat meningkat pada

pasien beresiko untuk ARDS dan dapat menjadi penanda cedera endotel.
Ginjal. Nekrosis tubular akut (ATN) sering terjadi kemudian dalam perjalanan ARDS,
mungkin dari iskemia ke ginjal. Fungsi ginjal harus diawasi secara ketat.

Hepatik. Kelainan fungsi hati dapat dicatat baik dalam pola cedera hepatoseluler atau

kolestasis.
Sitokin. Beberapa sitokin, seperti interleukin (IL) -1, IL-6, dan IL-8, yang meningkat
dalam serum pasien pada risiko ARDS.(2)

b. Radiologi
Pada pasien dengan onset pada paru langsung, perubahan fokal dapat terlihat sejak dini
pada radiograf dada. Pada paien dengan onset tidak langsung pada paru, radiograf awal
mungkin tidak spesifik atau mirip dengan gagal jantung kongestif dengan efusi ringan.
Setelah itu, edema paru interstisial berkembang dengan infiltrat difus (Gambar 1). Seiring
dengan perjalanan penyakit, karakteristik kalsifikasi alveolar dan retikuler bilateral difus
menjadi jelas (Gambar 2). Komplikasi seperti pneumotoraks dan pneumomediastinum
mungkin tidak jelas dan sulit ditemukan, terutama pada radiografi portabel dan dalam
menghadapi kalsifikasi paru difus. Gambaran klinis pasien mungkin tidak parallel dengan
temuan radiografi. Dengan resolusi penyakit, gambaran radiografi akhirnya kembali normal.
(6)

Gambar 1.Awal fase ARDS menunjukkan perubahan interstisial dan bercak infiltrat

Gambar 2. Akhir tahap ARDS menunjukkan kalsifikasi alveolar dan retikuler bilateral dan
difus.
Gambaran dominan ARDS pada scan tomografi (CT) dada adalah konsolidasi difus
dengan air bronchograms (Gambar 3), bula, efusi pleura, pneumomediastinum, dan
pneumotoraks. Selanjutnya pada penyakit ini, timbul kista paru-paru dengan jumlah dan
ukuran yang bervariasi. CT scan dada harus dipertimbangkan pada pasien gagal pernapasan

untuk membantu koreksi klinis. CT scan dapat mendeteksi komplikasi ARDS dan yang
terkait dengan penempatan kateter dan tabung seperti pneumotoraks, pneumomediastinum,
pneumonia fokal, malposisi kateter, dan infark paru. (6)

Gambar 3. CT-scan dada menunjukkan infiltrat difus, ground glass appearance, dan
air bronchograms.
c. Invasif hemodinamik monitoring
Dikarenakan diagnosis banding ARDS meliputi edema paru kardiogenik, pemantauan
hemodinamik dengan kateter arteri pulmonalis (Swan-Ganz) dapat membantu dalam
membedakan edema paru kardiogenik dari noncardiogenic.
Kateter arteri pulmonal melalui introducer yang ditempatkan dalam vena sentral,
biasanya vena jugularis atau subklavia kanan internal. Hal ini memungkinkan pengukuran
tekanan atrium kanan, tekanan ventrikel kanan, tekanan arteri pulmonalis, dan tekanan oklusi
arteri paru (PAOP).
Dengan posisi kateter yang tepat, PAOP mencerminkan tekanan pengisian pada kiri
jantung dan, secara tidak langsung, volume intravaskular. PAOP rendah dari 18 mmHg
biasanya konsisten dengan edema paru noncardiogenic, meskipun faktor-faktor lain, seperti
tekanan onkotik plasma rendah, memungkinkan terjadi edema paru kardiogenik.
Kateter arteri paru-paru juga menyediakan informasi lain yang mungkin dapat
membantu dalam diagnosis diferensial baik dan pengobatan pasien. Sebagai contoh,
perhitungan resistensi vaskular sistemik berdasarkan output thermodilution jantung, tekanan
atrium kanan, dan tekanan arteri rata-rata dapat memberikan dukungan bagi kecurigaan klinis
dari sepsis.
Karena menghindari overload cairan bermanfaat dalam pengelolaan ARDS,
penggunaan kateter vena sentral atau kateter arteri paru dapat memfasilitasi manajemen
cairan yang tepat. Hal ini sangat membantu pada pasien dengan hipotensi atau gagal ginjal.
Meskipun kateter arteri paru-paru memberikan informasi yang cukup, penggunaannya masih

kontroversi. Kateter arteri paru-paru memberikan komplikasi terkait kateter dua kali lebih
banyak, terutama aritmia.(3)

d. Bronkoskopi
Pertimbangan penggunaan bronkoskopi dapat dilakukan untuk mengevaluasi
kemungkinan infeksi pada pasien akut dengan infiltrat paru bilateral. sampel dapat diperoleh
dengan bronkoskop bronkus subsegmental dalam dan mengumpulkan cairan yang dihisap
setelah meberikan cairan garam nonbacteriostatic (bronchoalveolar lavage; UUPA). Cairan
dianalisis untuk diferensial sel, sitologi, perak noda, dan Gram stain dan pemeriksaan
kuantitatif. (3)
e. Pemeriksaan Histologi
Perubahan histologis dalam ARDS adalah kerusakan alveolar difus. Fase eksudatif
terjadi dalam beberapa hari pertama dan ditandai oleh edema interstisial, perdarahan dan
edema alveolar, kolaps alveolar, kongesti kapiler paru, dan pembentukan membran hialin
(Gambar 4). Perubahan-perubahan histologis tidak spesifik dan tidak memberikan informasi
yang akan memungkinkan ahli patologi untuk menentukan penyebab ARDS. (3)

Gambar 4. Photomicrograph dari pasien ARDS menunjukkan dalam tahap eksudatif


2.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ARDS terdiri atas penatalaksanaan terhadap penyakit dasar yang
dikombinasi dengan penatalaksanaan suportif terutama mempertahankan oksigenasi yang
adekuat dan optimalisasi fungsi hemodinamik sehingga diharapkan mekanisme kompensasi
tubuh akan bekerja dengan baik bila terjadi gagal multiorgan. Penatalaksanaan penyakit dasar
sangat penting, misalnya penatalaksanaan hipotensi dan eradikasi sumber infeksi pada sepsis.
Khas pada ARDS, hipoksemia yang terjadi refrakter terhadap terapi oksigen dan hal ini

kemungkinan diakibatkan adanya shunting (pirau) darah melalui daerah paru yang tidak
terventilasi yang disebabkan alveoli terisi eksudat protein dan terjadi atelektasis.(1, 4)
Prinsip penatalaksanaan ARDS adalah sebagai berikut :
Lakukan penentuan klinis dini kesulitan pernapasan.
Lakukan penilaian obyektif dengan gas darah arteri dan radiografi dada.
Menyediakan oksigen, saturasi memantau, dan menyelidiki faktor-faktor risiko untuk

ARDS.
Tentukan kebutuhan untuk intubasi dan ventilasi mekanik.
Gunakan volume tidal yang rendah, tekanan dataran rendah, paru-pelindung strategi

ventilator.
Optimalkan status cairan, nutrisi, dan toilet paru, dan mengobati komplikasi.
Pertimbangkan transfer ke pusat-pusat tersier untuk uji klinis dan teknik canggih.
Optimalisasi fungsi hemodinamik dilakukan dengan berbagai cara. Dengan

menurunkan tekanan arteri pulmonal berarti dapat membantu mengurangi kebocoran kapiler
paru. Caranya ialah dengan restriksi cairan, penggunaan diuretik dan obat vasodilator
pulmonar (nitric oxide/NO). Pada prinsipnya penatalaksanaan hemodinamik yang penting
yaitu mempertahankan keseimbangan yang optimal antara tekanan pulmoner yang rendah
untuk mengurangi kebocoran ke dalam alveoli, tekanan darah yang adekuat untuk
mempertahankan perfusi jaringan dan transport O2 yang optimaI. Kebanyakan obat
vasodilator arteri pulmonal seperti nitrat dan antagonis kalsium juga dapat menyebabkan
vasodilatasi sistemik sehingga dapat sekaligus menyebabkan hipotensi dan perfusi organ
yang terganggu. Obat-obat inotropik dan vasopresor seperti dobutamin dan noradrenalin
mungkin diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah sistemik dan curah jantung yang
cukup terutama pada pasien dengan sepsis (vasodilatasi sistemik). Inhalasi NO telah
digunakan sebagai vasodilator arteri pulmonal yang selektif. Karena diberikan secara inhalasi
sehingga terdistribusi pada daerah di paru-paru yang menyebabkan vasodilatasi. Vasodilatasi
yang terjadi pada alveoli yang terventilasi akan memperbaiki disfungsi ventilasi/perfusi
sehingga dengan demikian fungsi pertukaran gas membaik. NO secara cepat diinaktivasi oleh
hemoglobin mencegah reaksi sistemik. (5)
ARDS seringkali menyebabkan deplesi volum intravaskular akibat terapi diuresis,
inisiasi PPV yang mengurangi aliran balik vena, atau mungkin akibat sepsis. Pada keadaan
ini, yang paling penting ialah monitoring volume vaskular, jangan sampai dehidrasi atau
hipervolemia. Pada keadaan ARDS, meskipun terdapat edema alveolar, infus tetap diberikan
jika diperlukan untuk mengembalikan perfusi perifer, keluaran urin, serta menstabilkan
tekanan darah. Karena pengobatan yang terpenting ialah menjaga volum intravaskular,

pemantauan pasien difokuskan pada perfusi kulit, status mental, keluaran urin, hipoksemia,
serta tekanan vena sentral secara intensif. Dalam mengukur volum infus, digunakan kateter
Swan-Ganz terutama jika terdapat ventilasi buatan dengan PEEP. Dalam penanganan
emergensi yang intensif ini sebaiknya pasien dijaga dalam keadaan 'kering', yakni dalam
kondisi diuresis dan restriksi cairan. (1, 4)
Jika terjadi sepsis akibat ARDS, terapi empirik antibiotik mesti dimulai selagi kultur
dikerjakan. Kultur yang dipakai bisa berasal dari sputum atau aspirasi trakea. Kultur ini
membantu mendeteksi superinfeksi paru secara dini serta memantau terapi antibiotik. Untuk
memperkuat imunitas pencernaan, sebaiknya dalam 48 hingga 72 jam pasien sudah harus
dibiasakan makan dengan saluran pencernaan normal alias jalur enteral. (1, 4)
Tidak ada bukti kortikosteroid bisa memberi keuntungan dalam menangani ARDS akut.
Malah kortikosteroid membuka peluang terjadi infeksi paru. Sedangkan sampai sekarang
belum ditemukan terapi yang benar-benar efektif dalam melawan ARDS, semisal antibodi
monoklonal terhadap endotoksin, antibodi monoklonal terhadap tumor necrosis factor,
antagonis reseptor interleukin-1, profilaksis PEEP, oksigenasi membran ekstrakorporeal serta
mengurangi CO2 ekstrakorporeal, IV albumin, obat-obatan untuk ekspansi volum dan
kardiotonik untuk oksigenasi, kortikosteroid untk ARDS akut, ibuprofen parenteral untuk
menghambat siklooksigenase, prostaglandin E1, serta pentoxifylline. (1, 4, 5)
Demi menjaga efektivitas pernapasan ARDS, telah terbukti bahwa posisi pasien yang
dibaringkan secara tengkurap akan mengalami perbaikan yang berarti. Kemungkinan posisi
ini memperbesar perfusi dan pertukaran gas seperti pada keadaan normal. Meski
menelungkupkan pasien juga tidak mudah dikerjakan, namun posisi seperti ini telah lama
diaplikasikan dan membawa hasil yang tidak buruk bagi pasien. Ketokonazol terbukti
bermanfaat untuk pasien ARDS karena bisa mensupresi makrofag dalam pelepasan tumor
necrosis factor. Pemberian surfaktan sintetik tidak memberi hasil yang memuaskan,
sementara surfaktan alami terbukti memberi efek yang sangat baik meskipun tergolong jarang
digunakan. (1, 4, 5)
Kebanyakan pasien memerlukan intubasi endotrakea dan ventilasi buatan dengan
ventilator mekanis. Intubasi endotrakea dan PPV face mask mesti dikerjakan jika frekuensi
napas lebih dari 30 kpm atau jika FiO2 lebih besar dari 60%. Tindakan ini dapat menjaga PO2
arteri tetap berada sekitar 70 mmHg selama lebih dari beberapa jam. Sebagai alternatif
intubasi, continous positive airway pressure (CPAP) dapat memberikan PEEP pasien ARDS
sedang atau berat secara efektif. Pemasangan masker napas ini mesti dipertimbangkan pada
pasien yang mengalami penurunan kesadaran karena berisiko aspirasi dan mesti digantikan
dengan ventilator jika pasien mengalami perburukan gejala ARDS. (4)

Pengaturan ventilator secara konvensional pada ARDS ialah kisaran volum tidal 10
hingga 15 mL/kg, PEEP 5-10 cm H 2O, FiO2 60%, dengan mode pengontrolan yang dipicu
oleh pasien (patient-triggered assisted-control mode). Ventilasi dilakukan secara intermiten
dengan irama awal sebesar 10 hingga 12 napas permenit tentunya dengan PEEP. (4)
Terdapat beberapa pendapat yang menyakan bahwa ventilator dengan tekanan dan
volum yang tinggi dapat memperburuk keadaan paru pasien ARDS, namun sampai sekarang
pendapat ini belum bisa dibuktikan dengan baik. Justru PEEP yang terlalu rendah yang dapat
merusak paru karena menyebabkan bagian distal paru yang tidak stabil dipaksa untuk terbuka
dan tertutup berulang-ulang.
Masalah ini dapat diatasi dengan penyetelan volum tidal yang rendah (hanya 6 sampai 8
mL/kg) namun PEEP yang lebih tinggi (antara 10 hingga 18 cm H 2O). Tujuan penyetelan
volum tidal yang kecil ialah mencegah pernapasan berlebih yang dipaksa oleh ventilator
akibat titik infleksi (defleksi) yang melebihi batas kurva tekanan napas pasien tersebut,
keadaan ini bisa juga menyebabkan overdistensi paru. Akibatnya, paru-paru tetap akan
bertambah kaku, serta terjadi peningkatan tekanan plateau ventilator karena tekanan yang
diperlukan untuk menjaga paru dan inflasi dinding dada telah habis terpakai. Untuk alasan
teknis, titik infleksi atas paru sering tidak dihitung secara langsung. Taktiknya, dengan
menyetel tekanan plateau ventilator tidak lebih dari 25 hingga 30 cm H 2O, insya Allah pasien
tidak akan tersiksa akibat ventilator ini. Apalagi dengan penurunan volum tidal paru,
frekuensi napas dari ventilaor dapat ditingkatkan untuk mengatur pH dan PCO 2 yang cukup.
Jika pH arteri turun di bawah 7.20, akan terjadi infusi bikarbonat secara perlahan-lahan.
Beberapa pasien mungkin akan menunjukkan hiperkapina dan asidosis respiratorik, namun
biasanya keadaan ini dapat terkompensasi dengan baik. Daripada ambil risiko menyetel
pernapasan pasien terlalu tinggi dengan paksa, lebih baik menurunkan setelan namun tetap
dijaga dengan pemantauan yang intensif. (4)
Secara teoretis, PEEP yang dipilih mesti beberapa cm H 2O di atas titik infleksi bawah
kurva tekanan napas pasien. Tindakan ini bertujuan agar makin banyak alveolus yang bisa
berfungsi lagi serta mencegah inflasi yang berlebihan. Jika titik bawah infleksi masih tidak
bisa ditentukan secara langsung, dibutuhkan PEEP dengan nilai 10 hingga 15 cm H 2O. Jika
telah ditentukan nilai PEEP yang tepat, FiO2 ventilator biasanya akan turun hingga ke batas
yang normal <50 atau 60%. Artinya, akan tercapai PaO 2 yang memuaskan, yakni 60% atau
saturasi O2 90%. Untuk perfusi O2 yang adekuat ke jaringan, indeks kardiak mesti 3
L/min/m2, bahkan kadang-kadang infusi volum atau obat-obatan kardiotonik parenteral
dibutuhkan. (1, 4)

Ventilator dapat dilepas jika fungsi paru sudah membaik (misalnya kebutuhan O 2 dan
PEEP sudah berkurang), hasil rntgen sudah menunjukkan perbaikan, serta sudah tidak ada
takipnea. Biasanya, pasien yang memang tidak memiliki riwayat penyakit paru yang parah
sebelumnya, akan lebih mudah dilepas. Kesulitan pelepasan alat bantu napas biasanya akibat
adanya infeksi yang baru atau infeksi lama yang tidak diterapi dengan baik, overhidrasi,
bronkospasme, anemia, gangguan elektrolit, disfungsi kardiak, atau status gizi yang sangat
jelek yang menyebabkan kelemahan otot. Jika penyulit-penyulit tersebut berhasil diperbaiki,
ventilator dapat dilepas perlahan-lahan dengan penyetelan ventilator intermiten, frekuensi
napas yang diturunkan, sering pula dengan ventilasi yang didukung oleh pengaturan tekanan
napas, atau dilepas begitu saja dengan meletakkan pipa T pada pipa endotrakeal. Pada proses
ini disetel PEEP yang rendah (sekitar 5 cm H2O) agar nantinya pasien bisa bernapas kembali
dengan normal. Untuk penanganan lebih detail serta rawat jalan yang baik, setelah fase
emergensi selesai, terapi difokuskan pada etiologi yang menyebabkan pasien menjadi ARDS.
Dengan demikian dapat mencegah kemungkinan timbulnya episode ARDS serupa di
kemudian hari. (1, 4)
Berikut merupakan tatalaksana hipoksemia yang mengancam jiwa melalui pendekatan
secara fisiologi serta penggunaan peralatan suplementasi oksigen berdasarkan saturasi
oksigennya.(4)

Tabel 4. Terapi hipoksemia yang mengancam jiwa. (4)

Tabel 5. Suplementasi oksigen. (4)

Berikut merupakan pedoman tatalaksana ARDS berdasarkan PaO2 dan rasio fraksi
inspirasi oksigen. (4)

2.8. Komplikasi
Superinfeksi bakteri paru berupa bakteri gram negatif (Klebsiella, Pseudomonas, dan
Proteus spp) serta bakteri gram positif Staphylococcus aureus yang resisten merupakan
penyebab utama meningkatnya mortalitas dan morbiditas akibat ARDS. Tension
pneumothorax juga bisa terjadi akibat pemasangan kateter vena sentral dengan positive
pressure ventilation (PPV) serta positive end-expiratory pressure (PEEP). Pasien ARDS yang
dirawat dengan bantuan ventilasi mekanis akan mengalami penurunan volume intravaskular
serta penekanan curah jantung hingga berakibat penurunan transpor O2 dan kegagalan organ.
Lemah, lesu, tak bergairah, seakan di ambang kematian, merupakan gejala umum yang
dirasakan pasien ARDS.(2)
2.9. Pencegahan
Walaupun faktor risiko untuk ARDS telah banyak diketahui, namun tidak ada tindakan
pencegahan yang ditemukan. Manajemen cairan yang tepat pada pasien dengan risiko tinggi
dapat membantu mencegah terjadinya ARDS karena pneumonitis aspirasi merupakan faktor

risiko untuk ARDS. Tindakan yang tepat untuk mencegah aspirasi (misalnya, mengangkat
kepala tempat tidur) juga dapat mencegah beberapa kasus ARDS. (2)

2.10. Prognosis
Survival rate pasien dengan ARDS parah yang mendapatkan perawatan ialah 60%.
Sedangkan jika ARDS dengan hipoksemia hebat tidak dikenali dan ditangani dengan cepat,
hampir 90% pasien akan mengalami cardiac arrest. Pasien yang mendapatkan pengobatan
efektif biasanya tidak mengalami disfungsi kapasitas residual paru, meskipun pasien yang
memerlukan ventilator dalam waktu lama dengan FiO2>50% cenderung akan mengalami
fibrosis paru. Sedangkan pasien-pasien ARDS lainnya lama-kelamaan juga akan mengalami
fibrosis paru.(4)
Biasanya, pasien mulai pulih dalam waktu dua minggu sejak onset ARDS. Angka
kematian keseluruhan di ARDS sekarang sekitar 32 sampai 45 persen, dibandingkan dengan
53-68 persen pada tahun 1980. Ada kemungkinan bahwa cedera yang disebabkan ventilator
bisa telah menyumbang angka kematian yang tinggi. Pengelolaan agresif terhadap kedaan
klinis, infeksi yang timbul dan dukungan nutrisi juga memainkan peran dalam menurunkan
angka kematian.
Populasi yang dikaitkan dengan tingkat kematian yang lebih tinggi adalah orang tua,
pasien dengan imunosupresi dan pasien dengan penyakit kronis. Umur kurang dari 55 tahun
dan etiologi trauma diprediksi memberikan outcome lebih menguntungkan. Pada ARDS,
kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan organ multisystem yang progresif daripada
kegagalan pernapasan. Kebanyakan pasien yang membaik dapat menjalani kehidupan yang
cukup normal. Obstruksi ringan sampai moderat, difusi, dan kelainan restriktif dapat
bertahan, dan follow up diperlukan. Uji neuropsychologic dapat menunjukkan defisit yang
signifikan pada pasien yang mengalami hypoxemia. parah dan berlarut-larut.(7)

DAFTAR PUSTAKA
1. Fanelli V, Vlachou A, Ghannadian S, Simonetti U, Slutsky AS, Zhang H. Acute
respiratory distress syndrome: new definition, current and future therapeutic options.
Journal of thoracic disease. 2013;5(3):326.
2. Harman EM PM. Acute Respiratory Distress Syndrome. 2015.
3. Ranieri VM RG, Thompson BT. Acute respiratory distress syndrome. Jama.
2012;307(23):2526-33.
4. Przybysz TM, Heffner AC. Early Treatment of Severe Acute Respiratory Distress
Syndrome. Emergency Medicine Clinics of North America. 2015.
5. Afshari A, Brok J, Mller AM, Wetterslev J. Inhaled nitric oxide for acute respiratory
distress syndrome (ARDS) and acute lung injury in children and adults. The Cochrane
Library. 2010.
6. Gibbons

C.

Acute

Respiratory

Distress

Syndrome.

Radiologic

technology.

2015;86(4):419-36.
7. Herridge MS, Tansey CM, Matt A, Tomlinson G, Diaz-Granados N, Cooper A, et al.
Functional disability 5 years after acute respiratory distress syndrome. New England
Journal of Medicine. 2011;364(14):1293-304.

You might also like