You are on page 1of 2

Di meja itu, kamu dikelilingi tulisan tangannya yang tersisa.

Kamu baru sadar betapa tidak adilnya ini semua. Kenapa harus kamu yang
kebagian tugas dokumentasi dan arsip, sehingga cuma kamulah yang tersiksa?
Jangan heran kalau kamu menangis sejadi-jadinya.
Dia yang tidak pernah menyimpan gambar rupamu, pasti tidak tahu rasanya
menatap lekat-lekat rambut yang polos tanpa busa pengeras, rasa hangat uap
tubuh yang kamu hafal betul temperaturnya.
Dan kamu hanya bisa berbagai kesedihan itu, ketidakrelaan itu, kelemahan itu,
dengan wangi bunga yang melangu, dengan nyamuk-nyamuk yang putus asa,
dengan malam yang pasrah digusur pagi, dengan detik jam dinding yang ragu
karena habis daya.
Sampai pada halaman kedua suratmu, kamu yakin dia akan paham, atau
setidaknya setengah memahami, betapa sulitnya perpisahan yang dilakukan
sendirian.
Tidak ada sepasang mata lain yang mampu meyakinkanmu bahwa ini memang
sudah usai.
Tidak ada kata, peluk, cium, atau langkah kaki yang beranjak pergi yang mampu
menjadi penanda dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama.
Atau sebaliknya, tidak ada sergahan yang membuatmu berubah pikiran, tidak ada
kata jangan yang mungkin, apabila diucapkan dan ditindakkan dengan tepat,
akan membuatmu menghambur kembali dan tak mau pergi lagi.
Kamu pun tersadar, itulah perpisahan paling sepi yang pernah kamu alami.
Ketika surat itu tiba di titik yang terakhir, masih aka nada sejumput kamu yang
bertengger tak mau pergi dari perbatasan usai dan tidak usai.
Bagian dirimu yang merasa paling bertanggung jawab atas semua yang sudah
kalian bayarkan bersama demi mengalami perjalanan hati yang sedahsyat itu.
Dirimu yang mini, tapi keras kepala, memilih untuk tidak ikut pergi bersama yang
lain, menetap untuk terus menemani sejarah.
Dan karena waktu yang semakin larut, tenagamu pun sudah menyurut, maka kamu
akan membiarkan si kecil itu bertahan semaunya.
Mungkin, suatu saat, apabila sekelumit dirimu itu mulai kesepian dan bosan, ia akan
berteriak-teriak ingin pulang.
Dan kamu akan menjemputnya, lalu membiarkan sejarah membentengi dirinya
dengan tembok tebal yang tak lagi bisa ditembus.

Atau mungkin, ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia
semacam mercusuar, kompas, bintang selatan, yang menunjukkan jalan pulang
bagi hatimu, untuk, akhirnya menemuiku.
Aku, yang merasakan apa yang kau rasakan, yang mendamba untuk mengalami.
Aku, yang telah menuliskan surat-surat cinta padamu.
Surat-surat yang tak pernah sampai.

(Dewi Lestari)

You might also like