You are on page 1of 2

Apakah bebanmu wahai generasi milenial angkatan dekatku?

Mengutip orasi singkat Hariman Siregar (Aktivis Peristiwa Malari 15 Januari 1974
), "..beban kita adalah menetapkan gandengan dengan sesama generasi muda memikir
kan masa kini dan masa depan, ringkasnya beban sejarah kita adalah menggalakkan
keberanian rakyat untuk menyuarakan diri, sekali kita mengelak, untuk selamanya
kita akan menjadi warga negara yang dikutuk oleh sejarah."
Mengingat bahwa semenjak peristiwa diturunkannya Soeharto dari tahta orang nomor
1 di Indonesia tahun 1998, UUD 1945 tidak lagi di tafsirkan menjadi ragam kekay
aan perspektif, yang objektif dengan keluasannya menghadirkan opsi-opsi menemuka
n yang terbaik. Namun hal tersebut telah hangus karena amandemen UUD 1945 terlan
jur dituliskan atau diubah-ubah hingga bubrah ambigu untuk siapa peraturan dasar
konstitusi ditujukan outputnya.
Pemerintahan Orba yang berpondasi masyarakat monolitik sejak 1966 telah dikonsol
idasi dengan mengangkat perwira di ranah militer pada orang-orang yang disukainy
a saja. Bentuk sterilisasi lain di bidang politik Soeharto menancapkan beragam r
ekayasa untuk mengangkat parpolnya yaitu Golkar untuk mengatasi partai oposisi t
ahun 1971. Di ranah ekonomi rezim Orba justru membuka keran-keran politik atau d
isebut kebijakan "Pintu Terbuka" untuk pemodal asing membuka investasi asing dem
i meraih keuntungan atas nama pertumbuhan yang nyatanya hanya dapat dicapai bebe
rapa orang saja. Apalagi syarat dan prasyaratnya tentu berasal dari pemodal asin
g yang datang untuk pemenuhan kebutuhannya (meraup keuntungan).
Kedatangan IGGI (Intergovernmental Group on Indonesia) atau lembaga pemodal asin
g multilateral bentukan AS pada hari Minggu 11 Nopember 1973. Kedatangan yang di
wakili oleh Jan P. Pronk di Jakarta ini dijadikan mahasiswa untuk mengawali demo
nstrasi menolak pemodal asing di Indonesia. Dilanjutkan aksi demo mahasiswa yang
lebih besar menolak kedatangan PM Jepang Tanaka pada 14-17 Januari 1974. Ya, ti
tik tolak represi rezim Soeharto pada 15 Januari 1974 atau disebut peristiwa Mal
ari (Malapetaka Lima Belas Januari) yaitu puncak kekagetan rezim Orba dengan ada
nya huru-hara bentuk kekuatan rakyat besar-besaran menolak kebijakan pemerintah
yang dinilai tidak bertujuan untuk kesejahteraan rakyat atau sebagai Gelombang P
enolakan I.
Seorang pengamat ekonomi (Rizal Malarangeng) berpendapat lain, bahwa penetrasi e
konomi Indonesia saat itu sangat minim dibandingkan negara lain seperti Singapur
a, Thailand, maupun Malaysia. Sedangkan komposisi pemodal besar tentunya dimilik
i oleh negara AS yang telah menandai investasi besar pertama pada proyek Freepor
t bersama rezim Soeharto. Sehingga penolakan "anti-asing" malah akan memperlamba
t pertumbuhan ekonomi Indonesia saat itu.
Tetapi lagi-lagi Hariman Siregar, seperti tulisannya pada Gerakan Mahasiswa Indo
nesia tahun 2001 yaitu "Bangsa kita sudah menjadi kapitalis benar, yang mengejar
keuntungan dan pertumbuhan tanpa melihat aspek sosial. Kita hanya bicara soal p
asar, seakan pasar bisa mendistribusikan kekayaan."
Peristiwa Malari seperti menimbulkan bekas mendalam sebuah penanda sejarah di ne
geri ini di tahun ke-7 pemerintahan Soeharto. Bagaimana tidak, akibat dari peris
tiwa tersebut yaitu; terbakarnya pertokoan Senen yang baru dibangun dengan biaya
2,7 M. Menurut Menteri Pertahanan dan Keamanan saat itu, kerusuhan ini mengakib
atkan 807 mobil dan 187 motor rusak dan dibakar. 144 Gedung juga hangus terbakar
, lalu 160 kg emas hilang dan dijarah dari toko emas, 11 orang tewas dan 177 ora
ng terluka.
Rezim ini kemudian memberi represi bagi para aktor kritis terhadap pemerintah. C
aranya salah satunya dengan membentuk NKKBKK, membubarkan dewan mahasiswa, menor
malisasi kampus, dan lain sebagainya. Dengan watak seperti ini, Raja Jawa Soehar

to melowongkan Korupsi-Kolusi-Nepotisme bagi teater pemerintahnya. Kampus ITB di


serbu direpresi oleh militer Komandan Batalyon, mahasiswa dipukul dan ditangkap.
Namun mahasiswa tidak berhenti, bukan karena mahasiswa pro Anti-Kapitalisme dan
mengetahui benar apa itu Kapitalisme dan berikut modal asing serta dialektika i
deologisnya, tapi karena semangat juang yang sama membangun Indonesia.
Faktanya, refleksi mengenai peristiwa sejarah insiden ini tidak pernah diinvesti
gasi secara tuntas. Dalang peristiwa ini tidak ditemukan hingga sekarang, Harima
n Siregar ditangkap sebagai tokoh mahasiswa sebagai pemimpin demo mahasiswa, dia
nggap merusak stabilitas negara. Namun Hariman Siregar pun ternyata tidak terbuk
ti bersalah dan bukan seorang pemicunya konflik kerusuhan. Beberapa analisis men
yatakan peristiwa ini adalah konflik rekayasa internal militer untuk merebut kek
uasaan pengaruh meredam mahasiswa. Antara Jenderal Soemitro dan Kepala Opsus Ali
Moertopo yang saling tuding bersalah dan sama-sama ingin menguasai gerakan maha
siswa.
Sejarah akurat tidak lagi dapat dijadikan pembelajaran, karena tidak dibarengi k
einginan menelusuri kebenarannya. Hal inilah yang berulang kali membuat bangsa i
ni terjatuh untuk mencapai masa depan. Kecintaan terhadap bangsa Indonesia dibar
engi beban sejarah generasi angkatanku, generasi milenial untuk mencari kebenara
n, bukan untuk mempertahankan kebenaran masing-masing.

You might also like