You are on page 1of 44

LAPORAN PBL

BLOK INDERA KHUSUS


MODUL KULIT

Dosen Pembimbing : dr. Abdul Mubdi Ardiansar A.K


KELOMPOK 10
Indra

110 2014 0002

Fifi Alfiah

110 2014 0020

Nur Siamu Ramadhani

110 2014 0029

Dian Hariati

110 2014 0039

Kamila Furqani

110 2014 0044

Fitrah Hanafi

110 2014 0055

St.Mardayanti Marzuki

110 2014 0071

Aridayanti Arifin

110 2014 0090

Sitti Aisyah Jusmadil

110 2014 0095

Fenny Putriana Salim

110 2014 0106

Afifah Fatimah Azzahra

110 2014 0144

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2016

I.

SKENARIO
Laki-laki berusia 39 tahun datang ke poliklinik dengan kemerahan dan bintik
kecil warna merah pada wajah, sekitar bibir dan leher sejak sebulan yang lalu.
Keluhan tampak makin merah jika terkena sengatan matahari dan kadang
disertai gatal. Sudah berobat ke puskesmas dan diberi obat tetrasiklin dan
kloroquin tetapi belum sembuh namun keluhan sedikit berkurang.

Pada

pemeriksaan fisis ditemukan papel, pustula dan plak eritema kedua pipi serta
pelebaran pembuluh darah di sekitar hidung. Keluhan makin hebat seiring
dengan bertambahnya usia penderita dan stres. Riwayat keluarga yakni adik
kandung dengan keluhan yang sama.
II.

KLARIFIKASI KATA SULIT


1. Papul adalah tonjolan kecil di permukaan kulit dengan konsistensi keras
berukuran < 1 cm
2. Pustula adalah vesikel berisi nanah
3. Eritema adalah peninggian kulit berbatas tegas berwarna kemerahan
akibat kongesti pembuluh darah

III.

KATA/KALIMAT KUNCI
1. Laki-laki 39 tahun
2. Kemerahan dan bintik kecil
3. Pada wajah, sekitar bibir dan leher
4. Dialami 1 bulan yang lalu
5. Bertambah merah jika terkena sinar matahari
6. Kadang gatal
7. Riwayat pengobatan tetrasiklin dan kloroquin
8. Pemeriksaan fisis : papul, pustule, plak eritema, pelebaran pembuluh
darah
9. Pada kedua pipi
10. Keluhan makin hebat saat stress dan bertambahnya umur
11. Riwayat adik kandung dengan keluhan yang sama

IV.

PERTANYAAN PENTING

1. Bagaimana gambaran patologi anatomi dan histologi organ terkait?


2. Apa penyebab dan bagaimana mekanisme timbulnya papul, pustula dan
plak eritema pada kedua pipi serta pelebaran pembuluh darah sekitar
3.
4.
5.
6.
7.
8.

hidung?
Apa saja faktor resiko yang menyebabkan timbulnya gejala?
Jelaskan kemungkinan faktor genetik pada skenario!
Apa yang menyebabkan keluhan bertambah saat terkena sinar matahari?
Mengapa keluhan makin hebat seiring bertambahnya usia dan stres?
Mengapa predileksi hanya di sekitar wajah, bibir dan leher?
Bagaimana mekanisme kerja obat tetrasiklin dan kloroquin terhadap

keluhan pasien?
9. Bagaimana tatalaksana penegakan diagnosis pada skenario?
10. Apa kemungkinan diagnosis pada skenario tersebut?
11. Bagaimana perspektif islam terhadap skenario?
V.

JAWABAN PERTANYAAN
1. Anatomi dan histologi kulit
Gambaran Anatomi umum kulit :

Gbr.1 Gartner, Leslie P, James L Hiatt, Judy M Strum. Biologi sel dan Histology. Edisi
6. Binarupa Aksara. Hal 289.

Kulit melapisi seluruh tubuh, kecuali bagian tubuh yang terdapat lubang .
Terdiri dari 3 lapisan :

1) Epidermis : Lapisan epithel, terdapat melanosit . terdiri dari lima


lapisan

yaitu:

stratum

korneum,stratum

lucidum,stratum

granulosum,stratum spinosum,stratum basalis.


2) Dermis : Lapisan jaringan ikat pembuluh darah dan limfe, kelenjar,
follikel rambut,ujung syaraf / Reseptor Raba + nyeri. Terdiri dari
lapisan papiler dan retikuler.
3) Subcutis : Lapisan lemak, terdapat juga pembuluh darah dan limfe,
follikel rambut,kelenjar keringat, ujung saraf / reseptor suhu+
tekanan .
Gambaran Histologi umum Kulit :

Gbr.2 Gartner, Leslie P, James L Hiatt, Judy M Strum. Biologi sel dan Histology. Edisi
6. Binarupa Aksara. Hal 290.

Stratum Korneum :

Terdiri dari puluhan lapis sel yang mati

Berbentuk pipih dan penuh dengan keratin

Membentuk lapisan kedap air

Selalu luluh dan digantikan oleh lapisan di bawahnya

Stratum Lucidum :

Terdiri dari beberapa lapis sel mati yang jernih

Tembus cahaya karena mengandung eledin

Hanya terdapat pada kulit yang tebal, seperti telapak tangan dan kaki.

Stratum Granulosum :

Terdiri atas beberapa lapis sel yang sudah memipih

Menunjukkan tanda-tanda kematian sel

Mengandung keratohialin, yang merupakan cikal bakal keratin (zat


tanduk)

Stratum Spinosum :

Terdiri atas beberapa lapis sel

Di bawah mikroskop terlihat memiliki tonjolan dan saling melekat satu


sama lain

Diskus merkel untuk rasa raba terletak dalam stratum spinosum

Stratum Basalis :

Terdiri atas satu lapis sel kolumner

Terletak di atas membrana basalis

Selalu mengadakan mitosis

Sel -sel hasil mitosis didorong ke atas menjadi lapisan sel di atas
stratum basalis

Gambaran Patologi Anatomi dari Eflorosensi kulit pada skenario


(papul, pustula, dan plak) :
o Pustul
Vesikel yang berisi nanah,nanah (pus) mengendap di bagian bawah
vesikel.

Gbr.3 dr.H.Soekimin,Sp.PA,dr.Ibnu Alferraly,Sp.PA. Dermatopatholgy Departemen


Patologi anatomi FK USU.

o Papul
Penonjolan diatas permukaan kulit,sirkumkrip. Terdapat deposit
metabolik,serbukan sel radang, dan hiperplasi sel epidermia

Gbr.4 dr.H.Soekimin,Sp.PA,dr.Ibnu Alferraly,Sp.PA.Dermatopatholgy.Departemen


Patologi anatomi FK USU

o Plak
Peninggian diatas permukaan kulit,permukaannya datar. Terdapat
gambaran papul datar,dan penampang lebih dari 1 cm.

Gbr.5 Siti Aisah Boediardja,Unandar Budimulja.Buku Ilmu Penyakit Kulit dan


Kelamin.Edisi ketujuh.Hal.52.FK UI

[Referensi :

Siti Aisah Boediardja,Unandar Budimulja. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan


Kelamin. Edisi 2. Ketujuh. Hal 50-52. FK UI

Gartner, Leslie P, James L Hiatt, Judy M Strum. Biologi sel dan Histology.
Edisi 6. Binarupa Aksara. Hal 289-290

dr.H.Soekimin,Sp.PA, dr.Ibnu Alferraly,Sp.PA. Dermatopatholgy Departemen


Patologi anatomi FK USU
file.upi.edu. SISTEM_INTEGUMEN/SISTEM_INTEGUMEN.pdf (Diakses
Tanggal 01-okt-2016)]
2. Patomekanisme papul, pustul, dan teleangiektasis
Antigen mencetuskan reaksi inflamasi akut yang ditandai dengan
kalor, dolor, rubor, tumor dan fungsi lesia. Edema subepidermis maupun
dermis menyebabkan peninggian permukaan yang membentuk papul pada
kulit. Pelebaran pembuluh darah menyebabkan warna kemerahan
disekitar papul atau eritema. Adanya infeksi ataupun reaksi imunologis
menyebabkan terakulumulasinya sel-sel radang limfosit dan PMN
dibawah epidermis maupun dermis yang kemudian membentuk kumpulan
nanah atau pustula.
Pelebaran pembuluh darah teleangiektasis pada wajah terutama
akibat vasodilatasi arteriole yang menetap yang disebabkan oleh

kelemahan dinding pembuluh darah serta perubahan yang timbul pada


jaringan ikat sekitarnya akibat pajanan sinar matahari yang menahun.
[Referensi :
Price, Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 2005.
Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC.]
3. Faktor resiko:

a.

Makanan

b.

Psikis

c.

Obat: adanya peningkatan bradikinin yang dilepas dari adrenalin pada


saat kemerahan kulit flushing menimbulkan dugaan adanya peranan
berbagai obat.

d.

Musim: Peran musim panas atau musim dingin, termasuk didalamnya


peran sinar ultraviolet matahari yang dapat menimbulkan kerusakan
pembuluh darah kulit penyebab eritema persisten masih terus diselidiki
karena belum jelas dan bertentangan hasilnya.

e.

Imunologis: dari lapisan dermo-epidermal penderita rosasea ditemukan


adanya deposit immunoglobulin oleh beberapa peneliti, sedang di
kolagen papiler ditemukan antibody antikolagen dan antinuclear
antibody sehingga ada dugaan faktor imunologis pada rosasea.

f. Lainnya: defisiensi vitamin dan hormonal


[Referensi :
Djuanda, A; Hamzah, M; Aisah, S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi Keenam. 2010. Jakarta : FK UI.]
4. Factor genetic
Genetika telah lama dianggap memegang peran dalam rosacea, namun
para peneliti belum mengisolasi pengaruh mereka. Dalam apa yang
mungkin menjadi studi pertama rosacea untuk mengukur dan menentukan
kontribusi genetik dan lingkungan, Dr Daniel Popkin, asisten profesor

dermatologi di Case Western Reserve University, dan rekan menemukan


bahwa faktor genetik dan lingkungan dapat berkontribusi sama untuk
gangguan ini.
Untuk meneliti dan mengisolasi faktor genetik

dan lingkungan yang

potensial yang mungkin terlibat dalam rosacea, para peneliti mempelajari


sampel dari 275 pasangan kembar (550 individu) di antaranya setidaknya
satu saudara telah rosacea, direkrut di Festival Twin Day di Twinsburg,
Ohio, dekat Cleveland. Kelompok penelitian termasuk 233 pasang
kembar identik dan 42 pasangan kembar non-identik. Peserta mencetak
berdasarkan sistem grading Nasional Rosacea Society dan pemeriksaan
fisik oleh dermatologists bersertifikat-. Para peneliti menemukan bahwa
gangguan tersebut terjadi secara signifikan lebih sering di kedua kembar
identik daripada di kedua anggota dari sepasang fraternal (nonidentical)
kembar, dan mencatat asosiasi diadakan benar bahkan setelah faktor
risiko rosacea umum seperti usia dan jenis kulit dipertanggungjawabkan,
menunjukkan bahwa genetika mungkin memainkan peran besar dalam
rosacea. (1)
Para peneliti kemudian mengevaluasi faktor-faktor seperti jenis kelamin,
usia, merokok / sejarah konsumsi alkohol, kesehatan jantung dan paparan
seumur hidup matahari untuk menentukan pengaruh variabel lingkungan
tertentu pada penyakit, dan menemukan bahwa skor rosacea lebih positif
berhubungan dengan usia dan paparan sinar uv seumur hidup. Mereka
juga menemukan korelasi dengan indeks massa tubuh (BMI), merokok,
konsumsi alkohol, masalah jantung dan kanker kulit.(1)
Hanya dua daerah genom yang terkait dengan rosacea, dan dua area
tersebut berada di dekat gen yang dikenal karena peran mereka dalam
penyakit inflamasi dan autoimun seperti multiple sclerosis, diabetes,
sarkoidosis dan penyakit inflamasi usus. polimorfisme nukleotida tunggal
yang terletak di dekat gen dapat memainkan peran dalam mengatur gen
yang - misalnya, mengatur bagaimana gen diekspresikan.(2)
[Referensi:

https://www.rosacea.org/weblog/study-finds-genetic-and-environmental-factors-rosacea

https://med.stanford.edu/news/all-news/2015/03/genetic-basis-ofrosacea-identified-by-researchers.html]

5. Reaksi yang paling umum dari kulit manusia terhadap reaksi UV adalah
terjadinya eritema yang biasa disebut sebagai sunburn. Kondisi kulit
seperti ini lebih sering disebabkan oleh UVB. UV B biasa disebut sinar
sunburn, dipengaruhi oleh lingkungan, musim, waktu dan lamanya
pajanan. Sifat eritemanya berbatas tegas. Periode laten antara 8-16 jam
sebelum tampak eritema secara klinis
Banyak protein di epidermis mengabsorpsi sinar UV B misalnya nukleat.
Melanin adalah pigmen gelap di lapisan luar kulit (epidermis) yang
memberi warna kulit yang normal. Bila Anda terkena sinar UV, tubuh
melindungi diri dengan mempercepat produksi melanin. Melanin
merupakan zat yang dapat mengabsorpsi UV .

Melanin ekstra

menciptakan warna yang lebih gelap dari cokelat. Suntan adalah cara
tubuh Anda memblokir sinar UV untuk mencegah sunburn dan kerusakan
kulit lainnya. Jumlah melanin yang dihasilkan ditentukan secara genetik.
Banyak orang tidak menghasilkan cukup melanin untuk melindungi kulit
dengan baik. Akhirnya, sinar UV menyebabkan kulit terbakar,
menimbulkan rasa sakit, kemerahan dan bengkak.
Sunburn terjadi oleh Karena vasodilatasi pembuluh darah dermis. Factorfaktor yang memperngaruhi oleh terjadinya vasodilatasi adalah efek
langsung dari UV terhadap endotel pembuluh darah, pelepasann
mediator-mediator inflamasi, dan sekresi substansi-substansi vasoaktif
dan sel mast. Setiap orang memiliki insensitas terpapar sinar matahari
yang berbeda - beda dalam memicu sunburn ato fotosensitifitas.
Pada kulit manusia jika terkena sinar UV akan menimbulkan reaksi
eritema di ikuti oleh perubahan besar pada fleksus-fleksus dalam dan
superficial kulit. Sel-sel endotel akan edema setelah radiasi selama 30

menit, dengan pembengkakan maksimalnya saat 24 jam. Sedangkan


terjadinya edema preventriular akan terjadi minimal 1 jam setelah radiasi
dan mencapai puncak 3-4 jam setelah radiasi. Edema preventrikular ini
disebabkan oleh adanya mediator yang di keluarkan oleh sel mast, seperti
histamine dan prostanoid.
[Referensi :
Nur Utami, Anna. Perbandingan efek antiinflamasi kurkumin 1% dalam
vehikulum krim dan salep pada kulit mencit yang telah disinari UV. 2009.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.]
6. Pengaktifan respon stres oleh stresor mungkin merugikan. Percepatan
aktivitas kardiovaskular dan pernapasan, retensi garam dan H2O, serta
mobilisasi bahan bakar metabolik dan bahan baku dapat bermanfaat
sebagai respon terhadap stresor fisik, misalnya pada pertandingan atletik.
Namun, sebagian besar stresor dalam kehidupan sehari-hari bersifat
psikososial namun menimbulkan respon serupa. Stresor misalnya cemas
menghadapi ujian, konflik dengan pacar atau ketidaksabaran menghadapi
kemacetan dapat memicu respon stres. Meskipun merupakan hal yang
pantas dalam cedera fisik yang mengancan atau nyata, namun mobilisasi
cepat sumber daya tubuh merupakan respon yang tidak sesuai terhadap
stres non fisik. Jika tidak ada kebutuhan akan tambahan energi, tidak ada
kerusakan jaringan, dan tidak ada kehilangan darah maka penguraian
simpanan tubuh dan retensi cairan akan menjadi sia0sia atau bahakan
mungkin

merugikan

bagi

individu

yang

bersangkutan.

kenyataannya, terdapat bukti yang tidak langsung yang

Pada

kuat tentang

keterkaitan pajanan kronik stresor psikososial dengan timbulnya keadaankeadaan patologis seperti tekanan darah tinggi meskipun belum
dibuktikan adanya hubungan sebab-akibat yang pasti.
[Referensi :
Sherwood, Laurale. 2011. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Jakarta:
EGC. Edisi 6. Hal 776.]

7. Wajah dan leher merupakan daerah yang paling sering terkena atau
terpapar oleh matahari, dimana peran sinar ultraviolet yang dihasilkan
oleh matahari itu dapat menimbulkan kerusakan pembuluh darah kulit.
Sebab, kulit yang terpapar sinar matahari menyebabkan respon
imunologis baik humoral maupun neural. Selain itu dapat menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah diwajah. Eritema Terlihat menyolok pada
wajah disebabkan aliran darah di wajah meningkat dibandingkan dengan
tempat tubuh yang lain. Selain itu, Pembuluh darah kulit di wajah lebih
superfisial dan pembuluh darahnya lebih banyak serta lebih besar
dibandingkan tempat-tempat lain.
Meningkatnya kegiatan kelenjar sebasea juga turut berperan. Kelenjar
sebasea ini terdapat di seluruh tubuh, kecuali telapak tangan dan kaki.
Pada saat dewasa kelenjar ini jadi lebih besar serta berfungsi aktif.
Kelenjar ini menghasilkan sebum atau minyak. Sebum bersifat
komedogenik tersusun dari campuran skualen, wax, ester dari sterol,
kolesterol, lipid polar, dan trigliserida. Beberapa peningkatan hormon
seperti androgen, gonadotropin, kortikosteroid, anabolik serta ACTH
mempengaruhi kegiatan dari kelenjar sebasea. Ketika terbentuk fraksi
asam lemak bebas mak akan menyebabkan terjadinya prosesinflamasi di
dalam sebum.
[Referensi:

Djuanda, A.Hamzah, M. Aisah, S.2010. Ilmu Penyakit Kulit dan


Kelamin Edisi 6. Jakarta:FK UI

www: journal.unair.ac.id/download-fullpapersbik3e77d6d7917full.pdf diakses pada tanggl 3 oktober 2016]

8. Mekanisme kerja obat

Kloroquin

Biasa diberikan pada beberapa penyakit contohnya yang paling


sering pada penderita malaria dan Sistemik Lupus Eritematosus, dalam
scenario pemberian obat kloroquin mungkin diberikan pada penderita
karena memiliki gejala klinis yaitu kemerahan dan bintik kecil warna
merah pada wajah dan ini merupakan salah satu gejala klinis Sistemik
Lupus Eritematosus.
Mekanisme kerjanya adalah klorokuin berikatan pada DNA dan
RNA

sehingga

menghambat

polimerase

DNA

dan

RNA,

mempengaruhi metabolisme dan kerusakan haemoglobin oleh parasit,


menghambat efek prostaglandin, klorokuin mempengaruhi keasaman
cairan sel parasit dan menaikkan pH internal sehingga menghambat
pertumbuhan parasit, berpengaruh terhadap agregasi feriprotoporpirin
IX pada reseptor kloroquin sehingga merusak membran parasit dan
juga berpengaruh pada sintesis nulkeoprotein.
[Referensi :
Azlin, E. 2004. Obat Anti Malaria. Sari Pediatri.]

Tetrasiklin
Tetrasiklin adalah zat anti mikroba yang diperolah denga cara
deklorrinasi klortetrasiklina, reduksi oksitetrasiklina, atau dengan
fermentasi.
Tetracycline adalah spektrum luas Poliketida antibiotik yang
dihasilkan oleh Streptomyces genus dari Actinobacteria , diindikasikan
untuk digunakan melawan infeksi bakteri. Hal ini umumnya digunakan
untuk mengobati jerawat dan yang lebih baru, rosacea , dan memerangi
kolera di negara maju
Golongan tetrasiklin menghambat sintesisprotein bakteri pada
ribosomnya. Paling sedikit terjadi dua proses dalam masuknya anti
biotik ke dalam ribosom bakteri gram negative, pertama secara difusi
pasif melalui kanal hidrofilik, kedua melalui sistem transport aktif.
Setelah masuk anti biotik berikatan secara revarsible dengan ribosom
30S dan mencegah ikatan tRNA amino asil pada kompleks mRNA
ribosom. Hal tersebut mencegah perpanjangan rantai peptida yang
sedang tumbuh dan berakibat terhentinya sintesis protein.

[Referensi :
Anonim. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Bagian farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Gayabaru. Jakarta.]
9. Anamnesis Kulit
a. Anamnesis umum
Tanyakan data pribadi pasien :

Nama

Umur

Alamat

Pekerjaan

Tanyakan Keluhan Utama


Untuk heteroanamnesis tanyakan hubungan pasien dengan pengantar
b. Anamnesis terpimpin

Tanyakan kapan kelainan kulit mulai muncul

Galilah tentang onset, durasi kelainan tersebut, apakah hilang


timbul atau menetap, bagaimana gambaran lesi awalnya, dimana
lokasi awalnya, bagaimana perkembangan lesinya serta distribusi
lesi selanjutnya.

Tanyakan apakah disertai panas atau tidak, adakah demam atau


tidak

Tanyakan apakah disertai gatal atau tidak

Tanyakan apakah kelainan kulit ada hubungannya dengan :


o Penggunaan pakaian baru
o Membersihkan taman, kebun, atau rumah
o Gigitan serangga atau luka (trauma), dan lain-lain

Tanyakan apakah pasien pernah mengalami keluhan yang sama


pada masa lalu

Tanyakan riwayat penyakit yang sama dalam lingkup keluarga atau


lingkungan

sekitar tempat tinggal.

Tanyakan adakah riwayat kontak dengan penderita lain dengan


gejala yang sama, riwayat kontak dengan serangga maupun
tanaman.

Tanyakan riwayat pengobatan yang pernah diterima dari dokter dan


obat yang dibeli sendiri oleh pasien tanpa resep dokter.

[Referensi :
Modul Keterampilan Klinik & Laboratorium Indera Khusus.]
Pemeriksaan Fisis Kulit

Inspeksi
Pemeriksaan dilakukan dalam ruangan yang cukup cahaya dan dapat
menggunakan alat bantu kaca pembesar. Bila ada kelainan lain, dapat
dilakukan inspeksi seluruh kulit tubuh pasien. Perlu juga dilakukan
pemeriksaan rambut, kuku, selaput lender.
Pada inspeksi perlu diperhatikan lokasi dan penyebaran, warna,
bentuk, batas, ukuran setiap jenis morfologi (efloresensi) di masingmasing lokasi lesi.

Palpasi
Pada palpasi perhatikan masing-masing jenis lesi, apakah permukaan
rata, tidak rata (berbenjol-benjol), licin/halus atau kasar, dan
konsistensi lesi, misalnya padat, kenyal, lunak, dan nyeri pada
penekanan. Perlu juga memperhatikan tekstur kulit, elastisitas, suhu
kulit, kulit lembab atau kering atau berminyak.
Perhatikan pula adanya tanda-tanda peradangan akut, yaitu tumor,
colour, dolor, kalor, dan fungsiolesa.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan fenomena tetesan lilin


Pada skuama pasien psoriasis dilakukan goresan menggunakan kaca
objek pada tengah lesi ecara perlahan. Jika terjadi perubahan warna
menjadi lebih putih maka dikatakan pemeriksaan positif.

Pemeriksaan fenomena autpitz

Pada skuama pasien psoriasis dilakukan goresan pada bagian tengah


lesi sampai skuamanya terbuang habis, kemudian dengan goresan
kembali perlahan dan perhatikan perubahannya. Positif jika terjadi
perubahan dan timbul bintik-bintik perdarahan.

Pemeriksaan langsung
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat elemen jamur seperti hifa
panjang, hifa pendek, pseudohifa, spora, dan blastospora. Specimen
berasal dari kulit, kuku, rambut.

Pemeriksaan biakan
Bertujuan

untuk

identifikasi

jamur

penyebab,

kepentingan

epidemiologi dan penelitian. Dilakukan dengan membiakkan jamur


selama 4 minggu untuk mengamati pertumbuhan jamur. Pemeriksaan
specimen dapat dilakukan dengan pemeriksaan basil tahan asam.

Pemeriksaan lampu wood


Dengan sinar panjang gelombang 320-400 nm (365 nm) berwarna
ungu. Pemeriksaan ini untuk mengetahui flourosensi dari kuman
pathogen seperti infeksi : Micosporum sp (kuning orange), P. ovale
(kuning kehijauan), eritrasma : C. minutissimun (kuning kemerahan).
Pemeriksaan ini juga untuk mengetahui kedalaman pigmentasi pada
melisma, apabila pada penyinaran dengan lampu wood batas
pigmentasi terlihat jelas daripada pemeriksaan langsung.

Prick test (Tes Tusuk)


Untuk mengetahui allergen yang terlibat pada reaksi hipersensitivitas
tipe I, seperti udara atau makanan pada kasus urtikaria.

Patch test (Tes Tempel)


Untuk mengetahui allergen kontak pada pasien DKA atau allergen
udara dan makanan pada pasien dermatitis atopic. Prinsip untuk
mengetahui allergen yang terlibat pada reaksi hipersensitivitas tipe IV.

Biopsy kulit
Untuk mengetahui jenis atau proses patologi kulit.

Pemeriksaan darah, urin, feses, kimia darah, serologi, biologi


molekuler untu mengetahui beberapa penyakit infeksi dan sistemik.

[Referensi :

Djuanda, A; Hamzah, M; Aisah, S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Edisi Ketujuh. 2016. Jakarta : FK UI.

Modul Keterampilan Klinik & Laboratorium Indera Khusus.]

10. Differensial Diagnosis


ROSASEA

Definisi
Penyakit

kulit

kronis

pada

daerah

sentral

wajah

(yang

menonjol/cembung) yang ditandai dengan kemerahan pada kulit dan


telangiektasi disertai episode peradangan yang memunculkan erupsi,
papul, pustul dan edema.

Etiologi dan patogenesis


Etiologi rosasea tidak diketahui. Ada beberapa hipotesis faktor
penyebab:
a. Makanan: alcohol merupakan penyebab rosasea yang diutarakan
sejak zaman Shakespeare dan pernah ditulis dalam salah satu
bukunya. Konstipasi, diare pemyakit gastrointestinal dan bahkan
penyakit kelenjar empedu telah pula dianggap sebagai faktor
penyebabmya.
b. Psikis
c. Obat: adanya peningkatan bradikinin yang dilepas dari adrenalin
pada saat kemerahan kulit flushing menimbulkan dugaan adanya
peranan berbagai obat, baik sebagai penyebab maupun yang dapat
digunakan sebagai terapi rosasea.
d. Infeksi: Demodex folliculorum dahulu dianggap berperan pada
etiologi rosasea, namun akhir-akhir ini mulai ditinggalkan.
e. Musim: Peran musim panas atau musim dingin, termasuk
didalamnya

peran

sinar

ultraviolet

matahari

yang

dapat

menimbulkan kerusakan pembuluh darah kulit penyebab eritema


persisten masih terus diselidiki karena belum jelas dan bertentangan
hasilnya.
f. Imunologis: dari lapisan dermo-epidermal penderita rosasea
ditemukan adanya deposit immunoglobulin oleh beberapa peneliti,
sedang di kolagen papiler ditemukan antibody antikolagen dan
antinuclear antibody sehingga ada dugaan faktor imunologis pada
rosasea.
g. Lainnya: defisiensi vitamin, hormonal dan sebore pernah disangka
berperan pada etiologi rosasea namun tidak dapat dibuktikan.

Epidemiologi
Rosasea sering diderita pada umur 30-40an, namun dapat pula pada
remaja maupun orang tua. Umumnya wanita lebih sering terkena dari
pada pria. Ras kulit putih (kaukasia) lebih banyak terkena dari pada
kulit hitam (negro) atau berwarna (polinesia), dan di negara barat lebih
sering pada mereka yang bertararf sosio-ekonomi rendah.

Gejala klinis
Tempat predileksi rosasea adalah di sentral wajah, yaitu hidung, pipi,
dagu, kening, dan alis. Kadang-kadang meluas ke leher bahkan
pergelangan tangan atau kaki. Lesi umumnya simetris.
Gejala utama rosasea adalah eritema, telangiectasia, papul, edema, dan
pustule. Komedo tak ditemukan dan bila ada mungkin kombinasi
dengan akne (komedo solaris, akne komestika). Adanya eritema dan
telangiectasia adalah persisten pada setiap episode dan merupakan
gejala khas rosasea. Papul kemerahan pada rosasea tidak nyeri,
berbeda dengan akne vulgaris, dan hemisferikal. Pustule hanya
ditemukan pada 20% penderita, sedang edema dapat menghilang atau
menetap antara episode rosasea.
-

Pada tahap awal (stadium I) rosasea dimulai dengan timbulnya


eritema tanpa sebab atau akibat sengatan matahari. Eritema ini
menetap lalu diikuti timbulnya beberapa telangiectasia.

Pada tahap kemudian (stadium II) dengan selingi episode akut yang
menyebabkan timbulnya papul, pustule, dan edema, terjadilah
eritema persisten dan banyak telangiectasia, papul, dan pustule.

Pada tahap lanjut (stadium III) terlihat eritema persisten yang


dalam, banyak telangiectasia, papul, pustule, nodus, dan edema.
Komplikasi rinofima atau peradangan okuler merupakan hal yang
terjadi kemudian.

Histopatologi
Gambaran histopatologi rosasea khas namun tidak patonomonil.
Terdapat ektasia vaskuler, edema dermis, dan disorganisasi jaringan
konektif dermis. Solar elastosis juga sering terlihat. Derajat
peradangan tergantung pada kondisi dan stadium lesi. Sel radang
limfosit dan histiosit dan bahkan sel raksasa pada dermis dan
perivaskuler, sel plasma dan sel mast dapat juga terlihat, apalagi bila
edema berlangsung lama. Pasa pustule terdapat sebaran sel PMN
sekitar folikel. Demodex folliculorum sering dapat ditemukan dalam
folikel infundibulum dan duktus sebasea.

Pengobatan
1) Topical
a. Tertrasiklin, klindamisin, eritomisin dalam salap 0,5-2,0%.
Eritomosin lebih baik hasilnya dibandingkan lainnya.
b. Metronidasol 0.75% gel atau krim 2% efektif untuk lesi papul
dan pustule
c. Imidasol sendiri atau dengan ketokonasol atau sulfur 2-5%
dapat dicoba
d. Isotretinoin krim 0.2% juga bermanfaat
e. Antiparasit untuk membunuh D.follikuloru; Misalnya lindane,
krotamiton, atau bensoil bensoat.
f. Kortikosteroid kekuatan rendah (krim hidrokortison 1%) hanya
dianjurkan pada stadium berat.
2) Sistemik

a. Tertrasiklin, eritomisin, doksisiklin, minosiklin dengan dosis


sama dengan dosis akne vulgaris beradang memberikan hasil
yang baik karena efek antimikroba dan anti-inflamasinya.
Dosis kemudian diturunkan bila lesi membaik.
b. Isotretinoin (13 cis retinoat) 0.5-1.0/kgBB/hari dapat digunakan
kecual bila ada rosasea dimata. Penguunaannya harus diamati
secara ketat
c. Metronidasol 2x500 mg/hari efektif baik stadium awal maupun
akhir.
3) Lainnya
a. Sunblock dengan SPF 15 atau lebih dianjurkan dipakai
penderita untuk menahan sinar UVA dan UVB.
b. Masase fasial dahulu dianjurkan dilakukan, namun hasilnya
tidak jelas.
c. Diet rokok, alcohol, kopi, pedas dapat dilakukan untuk
mengurangi rangsangan eritema.
d. Bedah kulit; scalpel atau dermabrasi untuk rinofima dan bedah
listrik untuk telangiectasia.

Komplikasi
Rinofima, inflamasi ocular, dan rosasea limfadema

Prognosis
Rosasea umumnya persisten, berangsur bertambah berat melalui
episode akut. Namun adapula yang remisi secara spontan.

[Referensi :
Djuanda, A; Hamzah, M; Aisah, S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi Keenam. 2010. Jakarta : FK UI.]
AKNE VULGARIS

Definisi
Acne vulgaris adalah pembentukan papula, nodul, dan kista pada
muka, leher, bahu, dan punggung akibat sumbatan keratin pada dasar

dari kelenjar minyak (pilosebaseus) di dekat folikel rambut. 90% dari


penderita adalah mereka dalam usia menjelang dewasa. Bertambahnya
produksi androgen yang terjadi selama pubertas meningkatkan
produksi sebum, suatu pelumas kulit. Sebum bergabung dongan
keratin dan membentuk sumbatan.
Pada acne dapat timbul komedo (sumbatan bahan tanduk dalam unit
pilosebaseus); papula (komedo tertutup yang pecah); pustula (bentukan
padat

yang

mengalami

perlunakan

pada

puncaknya,

dengan

mengeluarkan nanah), nodul (dari komedo tertutup--penonjolan pada


kulit yang lebih besar dari papula), dan jaringan parut. komedo (bisa
berwarna putih atau hitam), papul (merah), pustul (menonjol dan ada
peradangan), nodus (menonjol lebih dari 0,5 cm), hingga jaringan
parut hipotrofik (cekung) / hipertrofik (seperti keloid) yang terjadi
akibat kelainan aktif tersebut.
Akne Vulgaris adalah peradangan menahun folikel pilosebasea yang
umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri.
Gambaran klinis akne vulgaris sering polimorfi terdiri atas berbagai
papul, pustul, nodul, komedo, dan jaringan parut yang terjadi akibat
kelainan aktif tersebut, baik jaringan hipertrofik maupun hipotrofik.
Pada kasus ini seorang pasien laki-laki berumur 20 tahun datang ke
poli kulit kelamin RS dengan keluhan terdapat bintik-bintik di wajah
sejak 1 bulan yang lalu. Sebelumnya pasien sering mengeluhkan
jerawat di pipi yang banyak, namun kemudian bintik-bintik tersebut
makin banyak setelah pasien sering memecah dan menggaruk jerawat
itu sendiri. Bintik-bintik paling banyak di bagian pipi dan beberapa di
bagian dahi. Terasa gatal, tidak

Etiologi
a. intrinsik :
1) Genetik ( herediter )
2) RAS : dimana orang kulit berwarna lebih jarang terkena daripada
orang kulit putih

3) Hormonal :
Hormon androgen mempunyai peranan penting dalam timbulnya
jerawat. Hormon ini menjadi aktif dan banyak jumlahnya pada
usia remaja, menjelang menstruasi, dan pada saat kehamilan.
Hormon ini dapat meningkatkan produksi sebum (minyak), tapi
hormone estrogen mengurangi produksi sebum.
Kadar hormon androgen pada kulit pasien ternyata lebih tinggi
daripada kadar orang normal. Yang disangka mempunyai peran
pada proses keratinitis sel epidermis, komposisi sebum-sebum
permeabelitas saluran pilosebasea. Infeksi bakteri corybacreium
acnes, staphylococcus albus pytyrosporum ovale mempengaruhi
banyak terbentuknya lipase yang penting dalam pembentukkan
komedo. Keaktivan kelenjar sebasea sendiri menentukan
timbulnya penyakit, kebanyakan pada orang dengan kulit
berminyak.
4) karena kerja kuman Propionibacterium acnes (proliferasi dari
Propionibacterium acnes)
Bakteri ini merupakan penghuni normal di permukaan kulit
manusia. Ia bisa hidup di wajah maupun di punggung. Dalam
keadaan normal, ia sebetulnya tidak berbahaya. Cuma, ketika
kulit kurang terjaga kebersihannya, ia berulah dan menyebabkan
timbulnya jerawat
5) Tingginya produksi kelenjar minyak di kulit (sebum).
Itu pula sebabnya jerawat mudah dialami orang yang kulitnya
berminyak. dua faktor ini berkumpul, maka jerawat tentu akan
lebih mudah terjadi. Artinya, mereka yang kulitnya berminyak
dan kurang menjaga kebersihan lebih berpeluang menjadi
pelanggan jerawat.
6) Adanya gangguan proses pengelupasan lapisan kulit luar.
Jika ini terjadi, lapisan kulit yang mestinya mengelupas itu
malah akan menyumbat saluran kelenjar sebum

7) Abnormalitas kretaninisasi folikel sebasea


8) Proses inflamasi
sebum,bakteri ( p.acnes ) dan asam asam lemak diduga
menyebabkan perkembangan peradangan di sekeliling saluran
pilosebasea dan kelenjar sebasea
b. ekstrinsik :
1) makan makanan berlemak
2) klim / suhu / kelembaban : dimana pada daerah beriklim tropis
lebih banyak karena sinar UV, temperatur dan kelembaban udara
mempengaruhi aktivitas kelenjar sebasea.
3) kejiwaan / stress
4) pemakaian

kosmetik

pelembab

yang

mengandung

minyak, minyak rambut (hair pomades) dapat memperburuk


akne
5) Obat-obatan pemicu timbulnya akne antara lain: kortikosteroid
oral kronik yang dipakai untuk mengobati penyakit lain ( seperti
lupus eritematosus sistemik atau transplantasi ginjal ), dapat
menimbulkan vistula dipermukaan kulit wajah. Dada dan
punggung. Selain itu ada steroid, lithium, beberapa antiepilepsi,
dan iodides.
6) jarang membersihkan muka yang kotor & berminyak
7) merokok
8) kontrasepsi juga dapat memperburuk akne
9) kurang tidur (istirahat)
10) faktor faktor mekanik seperti mengusap, menggesek tekanan,
dan meregangkan kulit yang kaya akan kelenjar sebasea dapat
memperburuk akne yag sudah ada. Selain itu obat obatan juga
dapat

mencetuskan akne sperti, kontrasepsi

juga dapat

memperburuk akne.Akne pada perempuan yang berusia sekitar


20 an, 30-an dan 40-an sering kali disebabkan oleh kosmetik dan
pelembab yang dasarnya dari minyak dan menimbulkan komedo

Tanda dan Gejala


-

Gejala

lokal

termasuk

nyeri

(pain)

atau

nyeri

jika

disentuh (tenderness).
-

Biasanya tidak ada gejala sistemik pada acne vulgaris

Akne yang berat (severe acne) disertai dengan tanda dan


gejala sistemik disebut sebagai acne fulminans.

Acne dapat muncul pada pasien apapun sebagai dampak psikologis,


tanpa melihat tingkat keparahan penyakitnya.

Erupsi pada kulit ditempat predileksi yaitu muka, bahu,


punggung bagian atas, leher, dada dan lengan bagian atas yang
berupa komedo, papul, pustule,nodus atau kista dapat disertai rasa
gatal. Isi komedo adalah sebum yang kental atau padat. Isi kista
biasanya berupa pus dan darah. Tempat predileksi adalah muka,
bahu, leher, dada, punggung bagian atas dan lengan bagian atas.

Epidemiologi
Insiden akne vulgaris 80-100% pada usia dewassa muda, yaitu umur
14-17 tahun pada wanita, dan 16-19 tahun pada pria. Meskipun
demikian akne vulgaris dapat pula terjadi pada usia lebih muda atau
lebih tua dari pada usia tersebut.
Meskipun kebanyakan jerawat terjadi pada masa remaja atau dewasa
muda, tetapi dalam kenyataannya jerawat juga timbul pada berbagai
golongan usia lainnya. Antara lain pada bayi, anak, bahkan pada
manula. Jerawat seringkali dihubungkan dengan kondisi tubuh, baik
pada saat stress karena banyak masalah, atau dapat pula sebaliknya
pada saat sedang sangat berbahagia.
Pada waktu pubertas terdapat kenaikan dari hormon androgen yang
beredar dalam darah yang dapat menyebabkan hiperplasia dan
hipertrofi dari glandula sebasea.

Klasifikasi
Akne diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Komedonal ( komedo hitam dan komedo putih )

Komedo terbuka

Komedo tertutup
Komedo putih / komedo tertutup kemungkinan besar akan
berkembang menjadi pustule dan papula

2. Papulopustular ( papula dan Postula )


Papula (komedo tertutup yang pecah), pustula (bentukan padat
yang

mengalami

perlunakan

pada

puncaknya,

dengan

mengeluarkan nanah)

Patogenesis
Patogenesis akne vulgaris sangat kompleks dipengaruhi banyak faktor
dan kadang-kadang masih controversial. Asam lemak bebas yang
terbentuk dari trigliserida dalam sebum menyebabkan kekentalan
sebum bertambah dan menimbulkan sumbatan saluran pilosebasea
serta reaksi radang disekitarnya (komedogenik). Pembentukan pus,
nodus, dan kista terjadi sesudahnya.
Ada empat hal penting yang berhubungan dengan terjadinya akne :
1) kenaikan sekresi sebum
Akne biasanya mulai timbul pada masa pubertas pada waktu
kelenjar sebasea membesar dan mengeluarkan sebum lebih
banyak. Terdapat korelasi antara hebatnya akne dan produksi
sebum. Pertumbuhan kelenjar palit dan produksi sebum dibawah
pengaruh hormon androgen. Pada penderita akne terdapat
peningkatan konversi hormon androgen yang normal berada
dalam darah (testosteron) kebentuk metabolit yang lebih aktif (5alfa dihidrotestosteron). Hormon ini mengikat reseptor androgen
di sitoplasma dan akhirnya menyebabkan proliferasi sel penghasil
sebum.
Meningkatnya produksi sebum pada penderita akne disebabkan
oleh

respon

organ

akhir

yang

berlebihan

(end-organ

hyperresponse) pada kelenjar palit terhadap kadar normal


androgen dalam darah. Terbukti bahwa, pada kebanyakan

penderita, lesi akne hanya ditemukan dibeberapa tempat yang


kaya akan kelenjar palit.
Akne mungkin juga berhubungan dengan komposisi lemak.
Sebum bersifat komedogenik tersusun dari campuaran skualen,
lilin (wax), ester dari sterol, kholesterol, lipid polar, dan
trigliserida.

Pada

penderita

akne

terdapat

kecenderungan

mempunyai kadar skualen dan ester lilin (wax) yang tinggi,


sedangkan kadar asam lemak terutama asam leinoleik, rendah.
Mungkin hal ini ada hubungan dengan terjadinya hiperkeratinisasi
pada kelenjar sebasea.
2) Adanya keratinisasi folikel
Keratinisasi pada saluran pilosebasea disebabkan oleh adanya
penumpukan korniosit dalam saluran pilosebasea.
Hal ini dapat disebabkan :

bertambahnya erupsi korniosis pada saluran pilosebasea

Pelepasan korniosit yang tidak adekuat

Kombinasi kedua faktor diatas.

Bertambahnya produksi korniosit dari sel keratinosit merupakan


salah satu sifat komedo.
Terdapat hubungan terbalik antara sekresi sebum dan konsentrasi
asam linoleik dalam sebum. Menurut Downing, akibat dari
meningkatnya sebum pada penderita akne, terjadi penurunan
konsentrasi asam lenolik. Hal ini dapat menyebabkan defisiensi
asam lenoleik pada epitel folikel, yang akan menimbulkan
hiperkeratosis folikuler dan penurunan fungsi barier dari epitel.
Dinding komedo lebih mudah ditembus bahan-bahan yang
menimbulkan peradangan. Walaupun asam lenoleik merupakan
unsur penting dalam seramaid-1, lemak lain mungkin juga
berpengaruh pada patogenesis akne. Kadar sterol bebas juga
menurun pada komedo sehingga terjadi ketidak seimbangan antara
kholesterol bebas dengan kholesterol sulfat sehinggga adhesi

korneosit

pada

akroinfundibulum

bertambah

dan

terjadi

hiperkeratosis folikel.
3) Bakteri
Tiga macam mikroba yang terlibat dalam patogenesis akne adalah
corynebakterium

Acne,

Stafylococcus

epidermidis,

dan

pityrosporum ovale (malazzea furfur). Adanya sebore pada


pubertas

biasanya

disertai

dengan

kenaikan

jumlah

corynebacterium acne, tetapi tidak ada hubungan dengan jumlah


bakteri pada permukaan kulit atau dalam saluran pilosebasea
dengan derajat hebatnya akne. Tampaknya ketiga macam bakteri
ini bukanlah penyebab primer pada proses patologis akne.
Beberapa lesi mungkin timbul tanpa ada mikroorganisme yang
hidup, sedangkan pada lesi yang lain mikroorganisme mungkin
memegang peranan penting. Bakteri mungkin berperan pada
lamanya masing-masing lesi. Apakah bakteri yang berdiam dalam
folikel (residen bacteria) mengadakan eksaserbasi tergantung pada
lingkungan mikro dalam folikel tersebut. Menurut hipotesis SaintLeger skualen yang dihasilkan oleh kelenjar palit dioksidasi dalam
kelenjar folikel dan hasil oksidasi ini dapat menyeebabkan
terjadinya komedo. Kadar oksigen dalam folikel berkurang dan
akhirnya menjadi kolonisasi C..Acnes. bakteri ini memproduksi
porfirin, yang bila dilepaskan dalam folikel akan menjadi
katalisator untuk terjadinya oksidasi skualen, sehingga oksigen
dalam folikel tambah berkurang lagi. Penurunan tekanan oksigen
dan tingginya jumlah bakteri ini dapat menyebabkan peradangan
folikel. Hipotesis ini dapat menerangkan mengapa akne hanya
dapat terjadi pada beberapa folikel, sedangkan folikel yang lain
tetap normal.
4) Peradangan (inflamasi).
Faktor yang menyebabkan peradangan pada akne belumlah
diketahui dengan pasti. Pencetus kemotaksis adalah dinding sel

dan produk yang dihasilkan oleh C.Acnes seperti lipase,


hialuronidase, protease, lesitinase dan nioranidase, memegang
peranan penting dalam proses peradangan.
Factor

kemotaktik

yang

berberat

molekul

rendah

(tidak

memerlukan komplemen untuk bekerja aktif), bila keluar dari


folikel, dapat menarik leukosit nucleus polimorfi (PMN) dan
limfosit. Bila masuk kedalam folikel, PMN dapat mencerna C.
Acnes dan mengeluarkan enzim hidrolitik yang bisa menyebabkan
kerusakan dari folikel sebasea. Limfosit dapat merupakan
pencetus terbentuknya sitokin.
Bahan keratin yang sukar larut, yang terdapat di dalam sel tanduk
serta lemak dari kelenjar palit dapat menyebabkan reaksi non
spesifik, yang disertai makrofag dan sel-sel raksasa.
Pada masa permulaan peradangan yang ditimbulkan oleh C.Acnes,
juga terjadi aktivasi jalur komplemen klasik dan alternatif
(classical and alternative complement pathways).

Respon

penjamu terhadap mediator juga amat penting. Selain itu antibody


terhadap C.Acnes juga meningkat pada penderita akne hebat.

Diagnosis
Walaupun satu macam lesi lebih dominan daripada lesi yang lain,
umumnya diagnosis akne vulgaris didasarkan pada campuran lesi
terbentuk komedo, papula, nodul pada muka, punggung, dan dada.
Diagnosis akne vulgaris ditegakkan atas dasar klinis dan pemeriksaan
ekskokleasi sebum, yaitu pengeluaran sumbatan sebum dengan
komedo ekstraktor (sendok Unna). Sebum yang menyumbat folikel
tampak sebagai massa padat seperti lilin atau massa lebih lunak bagai
nasi yang ujungnya kadang berwarna hitam.
Pemeriksaan histopatologis memperlihatkan gambaran yang tidak
spesifik berupa sebukan sel radang kronis di sekitar folikel sebasea
dengan massa sebum di dalam folikel. Pada kista, radang sudah

menghilang di ganti dengan jaringan ikat pembatas massa cair sebum


yang bercampur dengan darah, jaringan mati, dan keratin yang lepas.
Pemeriksaan mikrobiologis terhadap jasad renik yang mempunyai
peran pada etiologi dan patogenesis penyakit dapat dilakukan
laboratorium mikrobiologi yang lengkap untuk tujuan penelitian,
namun hasilnya sering tidak memuaskan.
Pemeriksaan susunan dan kadar lipid permukaan kulit (skin surface
lipids) dapat pula dilakukan untuk tujuan serupa. Pada akne vulgaris
kadar asam lemak bebas (free fatty acid) meningkat dan karena itu
pada

pencegahan

dan

pengobatan

digunakan

cara

untuk

menurunkannya.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan akne vulgaris meliputi usaha untuk mencegah
terjadinya erupsi (preventif) dan usaha untuk menghilangkan jerawat
yang terjadi (kuratif). Kedua usaha tersebut harus dilakukan bersamaan
mengingat bahwa kelainan ini terjadi akibat pengaruh berbagai faktor
(multifaktorial), baik faktor internal dari dalam tubuh sendiri (ras,
familial, hormonal), maupun faktor eksternal (makanan, musim, stres)
yang kadang-kadang tidak dapat dihindari oleh penderita.

Pengobatan
Tujuan pengobatan akne adalah mencegah timbulnya sikatrik serta
mengurangi frekuensi dan kerasnya eksaserbasi akne, untuk itu, selain
diperlukan obat-obatan juga diperlukan kerjasama yang baik antar si
penderita dengan dokter yang merawatnya.
Penatalaksanaan

akne

memerlukan

pendekatan

pada

prinsip

patogenesis akne dengan menghilangkan obstruksi pada saluran


sebasea, menurunkan produksi sebum, mengurangi populasi bakteri
folikuler dan pengobatan yang ditujukan untuk mendapatkan efek anti
inflamasi.

Pengobatan pada kasus ini diperlukan Pengobatan topikal. Pengobatan


topikal dilakukan untuk mencegah pembentukan komedo, menekan
peradangan, dan mempercepat peradangan penyembuhan lesi.
Obat topikal yang dapat digunakan yaitu Retinoid topical merupakan
komedolitik dan anti inflamasi

isotretinoin, tretinoin, adapalene

dan Antibiotik

yang

topical

berfungsi

untuk

melawan Propionibacterium acnes, erythromycin, clindamycin saja


atau kombinasi dengan benzoyl peroxida.
Pengobatan sistemik yang diperlukan yaitu antibakteri sistemik ;
tetrasiklin (250 mg 1,0 g/hari), doksisiklin (50mg/hari), eritromisin
(4x250 mg/hari, azitromisin 250 mg-500mg seminggu 3 kali. Obat
hormonal estrogen (50mg/hari selama 21 hari), antiadrogen siproteron
asetat (2 mg/hari), prednison (7,5mg/hari) atau deksametason (0,250,5mg/hari). Vitamin

sebagai

(50.000

ui-150.000

ui/hari. Antiinflamasi non-steroid ibuprofen (600 mg/hari) dapson


(2x100 mg/hari), seng sulfat (2x200mg/hari)
Terapi terbaru yaitu spironolakton yang dikombinasik dengan terapi
hormonal estrogen dan antiandrogen terhadap akne, apabila akne
disertai gejala sebore ataupun hipertrikosis.
Terapi sinar biru adalah terapi akne dengan memakai sinar biru yang
dapat membunuh P.acne .
Pada kasus ini terapi pada pasien yaitu medikamentosa dengan
pemberian asam Vitamin A topical 2 kali sehari, pengobatan topikal ini
dilakukan

untuk

mencegah

pembentukan

komedo,

menekan

peradangan, dan mempercepat peradangan penyembuhan lesi. Terapi


lainnya dengan menggunakan antibiotik topical yaitu ertomycin 2 kali
sehari berfungsi untuk melawan Propionibacterium acnes.
[Referensi :
Wasitaatmadja, S. 2002. Akne, Erupsi Akneiformis, Rosasea, Rinofema.
Ilmu Penyakit kulit Dan Kelamin. Ed. Adhi Djuanda. Edisi ke-3. Cetak
ulang 2002 dengan perbaikan. FK UI. Hal :235-241.]

LUPUS ERITOMATOSUS KUTAN

Definisi
Lupus Eritomatosus merupakan penyakit autoimun yang melibatkan
jaringan konektif dan pembuluh darah. LE memiliki manifestasi
klinis yang sangat bervariasi, yaitu kelainan kulit saja (LE Kutan)
hingga keterlibatan sistemik (LES). LE kutan merupakan manifestasi
kulit yang dapat terjadi pada 72-85% paien LES didahului dengan
lesi pada kulit. Rasio antara perempuan dan laki-laki.

Etiopatogenesis
Hingga saat ini penyebab dan patomekanisme LE kutan belum
diketahui secara pasti, tetapi berhubungan erat dengan patogenesis
LES. Faktor pejamu (suseptibilitas, hormonal) dan faktor lingkungan
menyebabkan hilangnya self-tolerance dan menginduksi proses
autoimun. Hal ini diikuti aktivasi dan ekspansi sistem imun sehingga
mencetuskan penyimpangan imunologik yang berdampak pada
beberapa organ dan tampilan klinis penyakit. Beberapa penelitian
baru memfokuskan pada peran sinyal interferon- (IFN-) dalam
patogenesis LE.
Selain predisposisi genetik, pajanan faktor lingkungan, misalnya
radiasi UV , infeksi virus, obat, dan rokok mempunyai peran besar
dalam perkembangan penyakit LE. Radiasi UV mempunyai peran
paling penting dalam induksi penyakit LE kutan. UVB menyebabkan
apoptosis keratinosit dan autoantigen Ro/SS-A, La/SS-B, serta
calreticulin, berpindah dari lokasi normal di dalam keratinosit ke
permukaan sel. UVB juga diketahui menginduksi dan meningkatkan
ekspresi beberapa kemokin sehingga mengaktifkan sel T autoreaktif
dan IFN-, sel dendrit yang mempunyai peran utama dalam
patogenesis LE.

Gambaran Klinis

Manifestasi klinis keterlibatan kulit pada pasien LE sangat sering


ditemukan dan sangat bervariasi. Gilliam membagi berdasarkan
gambaran karakteristik histopatologis, yaitu LE kutan spesifik dan
LE kutan non-spesifik.
LE Kutan Spesifik
A. LE Kutan Akut
1. Lokalisata

LE Kutan Non-Spesifik
A. Penyakit Vaskular Kutan
:

malar

rash;

butterfly rash
2. Generalisata
B. LE Kutan sub Akut

1. Vaskulitis
a. Leukositoklastik
b. Periarteritis nodosa
2. Vaskulopati

1. Tipe anular

3. Telangiektasis periungual

2. Tipe papuloskuamosa

4. Livedo retikularis

C. LE Kutan Kronik
1. Tipe Diskoid Klasik / Diskoid
LE (DLE)
a. Lokalisata
b. Generalisata

5. Tromboflebitis
6. Fenomena Raynaud
7. Eritromyalgia
B. Alopesia tanpa jaringan parut
1. Lupus hair

2. Tipe Hipertrofik

2. Telogen effluvium

3. Lupus profundus

3. Alopecia areata

4. Lesi mukosa DLE

C. Sklerodaktili

a. Oral

D. Nodul Rheumatoid

b. Konjungtiva

E. Kalsinosis Kubis

5. Lupus tumidus

F. Lesi bulosa non-spesifik

6. Chilblain lupus

G. Uurtikaria

7. Lichenoid DLE

H. Musinosis papulonodular
I. Kutis laxa
J. Akantosis negricans
K. Eritema multiforme
L. Ulkus ada tungkai
M. likenflanus

a) LE Kutan Akut

LE Kutan Akut Lokalisata biasanya ditemukan di wajah berupa lesi


malar atau buterfly rash dan dilaporkan pada 20-60% pasien LES.
-

Gambaran Khas : lesi eritomatosa yang simetris dan konfluens


serta edema pada area malar dan melintasi hidung.

Biasanya dimulai dengan makula kecil atau papul pada wajah.


Kemudia konfluens dan hiperkeratotik.

Terkadang dapat meluas sampai ke dahi, dagu dan leher area V.


Jarang dtemukan mengenai lipatan nasolabial.

LE

Kutan

Akut

Generalisata

merupakan

perluasan

lesi

makulopapular atau erupsi eksantematosa yang biasanya mengenai


ekstremitas atas dan tangan sisi ekstensor dan jarang melibatkan
sendi. Lesi makulopapular ditemukan pada 35-60% LES.
b) LE Kutan Sub Akut
Gambaran klinis berupa makula atau papul yang berkembang
menjadi lesi papulaskuamosa atau plak anular hiperkeratotik.
Lesi sangat fotosensitif dan dietmukan pada area yang terpajan UV,
yaitu punggung atas, bahu, lengan sisis ekstensor, area leher V, dan
jarang di area wajah. Bila mnegenai wajah biasanya pada sisi yang
lateral. Lesi biasanya menetap lebih lama dibandingkan lesi pada
LE Kutan Akut dan meninggalkan makula pigmentasi dalam waktu
cukup lama. Lesi LE kutan subakut mengalami resolusi tanpa
meninggalakn jaringan parut atau skar
c) LE Kutan Kronik
Lesi diskoid klasik merupakan bentuk yang paling sering
ditemukan. Dimulai dengan makula merah keunguan, papul atau
plak kecil yang secara cepat berkembang menjadi permukaan yang
hiperkeratotik.
Lesi diskoid awal berupa plak eritomatosa dengan bentuk yang
menyerupai uang logam yang berbatas tegas, ditutupi skuama yang
lekat dan menutupi folikel rambut. Bentuk khas lesi diskoid adalah
plak eritema yang meluas dengan plak hiperpigmentasi dibagian

perifer,

meninggalkan

skar

atrofik

pada

bagian

sentral,

telangiektasis, dan hipopigmentasi.


LE kutan kronik mempunyai predileksi pada wajah, skalp, telinga,
area leher V dan sisi ekstensor ekstremitas. Bila lesi diskoid meluas
sampai kebawah bagian leher maka digolongkan dalam LE Kutan
kronik generalisata dan dihubungkan dengan LES serta rekalsitran
terhadap pengobatan.

Pemeriksaan Penunjang
Beberapa autoantibodi mempunyai hubungan yang berat dengan LE
Kutan akut sering ditemukan titer tinggi ANA, anti-dsDNA, anti-Sm
dan hipokomplementemia. Penanda pada kutan subakut adalah
autoantibodi anti-Ro/SS-A (70-90%) dan anti-La/SS-B (30-50%).
ANA dapat ditemukan pada 60-80% dan faktor rheumatoid pada
sepertiga pasien LE kutan subakut. Pada LE kutan kronik dapat
ditemukan titer ANA yang rendah (30-40%). Hanya 5% pasien DLE
ditemukan titer ANA tinggi.
Pada pemeriksaan histopatologi LE kutan spesifik dapat ditemukan
hiperkeratotik, atrofi epidermal degenerasi mencair sel basal,
penebalan membran DEJ, edema pada dermis, deposit musin, serta
infiltrat sel mononuklear yang dominan tersebar diperivaskular dan
disekitar adneksa kulit.
Pada pemeriksaan imunofluoresens langsung pada kulit yang tampak
normal pasien LES dapat dilihat pita terdiri atas deposit granuler
imunoglobulin G, M atau A dan komplemen C3 pada taut epidermal
dermal yang disebut lupus band. hal ini dapat dilihat pada 90-100%
pasien LES.

Diagnosis Klinis
Diagnosis LE kutan bergantung subtipe manifestasi klinis kulit yang
timbul. Pada lesi kulit yang tidak khas dibutuhkan pemeriksaan
laboratprium dan histopatologis.

Diagnosis Banding

LE

kutan

akut

dermatomiositis.

lokalisata
LE

kutan

dapat
akut

menyerupai
generelisata

rosasea

dan

menyerupai

hipersensitivitas obat, reaksi fotoalergi dan fotoksis, dan eksantema


viral. Lesi papuloskuamosa pada LE kuatn subakut memberi
gambaran menyerupai eritema anulare sentrifugum dan granuloma
anulare. Lesi DLE terkadang menyerupai lesi karsinoma sel
skuamosa, keratosis aktinik dan keratoakantoma.

Prognosis
LE kutan akut sangat erat hubungannya dengan LES, sehingga
prognosis sangat bergantung pada aktivitas dan derajat keparahan
LES. Pada pasien dengan LE kutan subakut 15% berkembang
menjadi LES, termasuk nefritis lupus. Dibutuhkan pemantauan
jangka panjang pada pasien LE kutan subakut untuk penemuan dini
risiko progresivitas keterlibatan sistemik.
Kebanyakan pasien dengan lesi diskoid yang tidak diterapi dapat
berkembang menjadi skar yang secara progresif melebar dan alopesia
skar. Hal ini sangat mengganggu secara psikososial dan menurunkan
kualitas hidup pasien. Jarang sekali lesi dapat resolusi spontan. Pada
penghentian terapi, lesi non-aktif dapat mengalami eksaserbasi.

Penatalaksanaan
Semua pasien dengan CLE harus dijelaskan tentang pentingnya
perlindungan dari sinar matahari dan sumber radiasi ultra violet
buatan dan harus dijelaskan untuk menghindari penggunaan obat
yang berpotensi memberi efek fotosensitisasi seperti hidroklorotiazid,
tetrasiklin, griseofulvin dan piroksikam.
Medikamentosa
1) Imunosupresan atau sitostatik yang lain.
Imunosupresan adalah suatu obat yang ditujukan untuk
menekan sel-sel kekebalan tubuh yang mengenali sel-sel tubuh

sendiri sebagai antigen. Perbedaan imunosupresan dengan


kemoterapi adalah bila imunosupresan hanya mengendalikan
sistem imun.
Jenis-jenis obat imunosupresan :
-

Azathhioprine (Imuran AZA)

Cylophosphamide (chitokxan, CTX)

Chlorambucil (leukeran, CHL)

Cyclosporine A

Tacrolimus (FK506)

Fludarabine

Cladribine

Mycophenolate mofetil

2) Antimalaria
Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit
dan sendi telah lama diketahui, dan obat initelah dianggap
sebagai obat pilihan pertama untuk SLE kulit terutama LE
diskoid dan LE kutaneus subakut. Obat ini bekerja dengan cara
mengganggu pemrosesan antigen di makrofag dan sel penyaji
antigen yang lain dengan meningkatkan pH di dalam vakuola
lisosomal. Juga menghambat fagositosis, migrasi netrfil, dam
metabolisme membran fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam
kulit

dan

mengabsorbsi

sinar

UV.

Hidrosiklorokuin

menghaambat reaksi kulit karena sinar UV. Bebrapa penelitian


melaporkan bahwa antimalaria dapat menurunkan koSLEterol

total, HDL dan LDL, pada penderita SLE yang menerima steroid
maupun yang tidak.
Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia : hidroksiklorokuin
(dosis 200-400mg/hari), klorokuin (250mg/hari), kuinarkrin
(100mg/hari).

Hidroksiklorokuin

lebih

efektif

daripada

klorokuin, dan efek sampingnya lebih ringan. Efek samping


antimalaria yang paling sering adalah efek pada saluran
pencernaan, kembung, mual, dan muntah; efk sam ping lain
adalah timbulnya ruam, toksisitas retin, daan neurologis (jarang).
3) Kortikosteroid
Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekaanisme
antiinflamasi dan amunosuprefit. Dari berbagai jenis steroid,
yang

paling

sering

digunakan

adalah

prednison

dan

metilprednisolon.
Pada SLE yang ringan (kutneus, arthritis/arthralgia) yang
tidak dapat dikontrol oleh NSAID dan antimalaria, diberikan
prednison2,5 mg sampai 5 mg perhari. Dosis ditingkatkan 20%
tiap 1 sampai 2 minggu tergantung dari respon klinis. Pada SLE
yang akut dan mengancam jiwa langsung diberikan steroid,
NSAID dan antimalaria tidak efektif pada keadaan itu.
Manifestasi serius SLE yang membaik dengan steroid antara lain
:

vaskulitis,

dermatitis

berat

ataau

SCLE,

poliarthritis,

poliserosistis, myokarditis, lupus pneumonitis, glomeruloneftritis


(bentuk proliferatif), anemia hemolitik, neuropati perifer dan
krisis lupus.
Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regimen
pemberian steroid:

a. Regimen I: daily oral short acting (prednison, prednisolon,


metilprednisolon), dosis: 1-2 mg/kg BB/hari dimulai dalam
dosis terbagi, lalu diturunkaan secara bertahap (tapering)
sesuai dengan perbaikan klinis dan laboratoris. Regimen ini
sangat cepat mengontrol penyakit ini, 5-10 hari untuk
manifestasi hemotologis atau saraf, serositis, atau vaskulitas;
3-10 minggu untuk glomerulonephritis.
b. Regimen II : methylprednisolone intravena, dosis: 500-1000
mg/hari, selama 3-5 hari atau 30 mg/kg BB/hari selam 3
hari. Regimen ini mungkin dapat mengontrol penyakit lebih
cepat dari pada terapi oral setiaap hari, tetapi efek yang
menguntungkan ini hanya bersifat sementara, sehingga tidak
digunakan untuk terapi SLE jangka lama.
c. Regimen III: kombinasi regimen 1 atau 2 dengan obat
sitostatik azayhioprine atau cyclophosphamide.
Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan
dengan kecepatan 2,5-5 mg/minggu sampai dicapai maintenance
dose.
4) Dapsone
Dapsone, atau 4.4- diaminophenylsulphone, bekerja dengan
cara mengganggu metabolisme folat dan menghambat asam para
aminobenzoat, dan menghambat jalur alternative komplemen
serta sitotoksisitas netrofil. Tersedia sejak lebih dari 50 tahun
yang lalu untuk pengobatan lepra. Dapson ternyata efektif untuk
pengobatan Lupus eritematosus kutaneus. Leukopenia, dan
trombositopenia pada SLE, dengan dosis 50-150 mg/hr. hampir
semua penderita yang menerima dapsone akan mengalami
anemia hemolitik ringan yang biasanya berhubungan dengan
dosis.

5) Clofazimine (Lamprene)
Clofazimine adalah anti leprosi juga yang telah terbukti
untuk LE kutaneus yang refrakter. Digunakan dengan dosis
antara 100 sampai 200 mg/hr. efek samping yang terutama
adalah warna kulit yang berubah menjadi pink atau coklat gelap,
dan menjadi kering.
6) Thalidomide
Thalidomide dengan dosis50 sampai 100 mg/hr serta dosis
pemeliharaan 25 sampai 5o mg/hr, efektif untuk LE kutaneus
refrakter. Obat ini bekerja dengan menghambat TNF alfa. Obat
ini dikontraindikasikan pada kehamilan karena banyak laporan
mengenai terjadinya malformasi janin (fokomelia).
[Referensi:

Linuwih, Sri SW Menaldi.ed.2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.


Edisi ketujuh. Jakarta: badan penerbit FK UI. Hal 300-302

Symposium National Immunology Week 2004,Surabaya 9-10 Oktober


2004;hal201-213.

Current Medical Diagnosis and Treatment 2004;Chapter 20;Arthritis


and Musculosceletal disorder ;page 805-807.

Harrissons Principle of Internal Medicine 15th Edition;Volume 2;page


1922- 1928.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I,Edisi ketiga;hal 150-159.

Medical Journal : Cermin Dunia Kedokteran no.142,2004 ; hal.27-30.

The Merck Manual Edisi 16 ,Jilid 2 ; hal.878-830.]

DERMATITIS SEBOROIK

Definisi

Dermatitis seboroik adalah dermatosis papulosquamous kronis umum


yang mudah dikenali. Penyakit ini dapat timbul pada bayi dan dewasa
dan seringkali dihubungkan dengan peningkatan produksi sebum
(sebaseus atau seborrhea) kulit kepala dan daerah folikel kaya sebaseus
pada wajah dan leher. Kulit yang terkena berwarna merah muda,
bengkak, dan ditutupi dengan sisik berwarna kuning-coklat dan krusta.

Insiden
Dermatitis seboroik memiliki dua puncak usia, yang pertama pada bayi
dalam 3 bulan pertama kehidupan dan yang kedua sekitar dekade
keempat sampai ketujuh kehidupan. Tidak ada data yang tepat tersedia
kejadian dermatitis seboroik pada bayi, tetapi gangguan ini
umum.Penyakit pada orang dewasa diyakini lebih umum daripada
psoriasis.Penyakit inimempengaruhi setidaknya 3-5% dari populasi di
Amerika Serikat. Pria lebih sering terkena daripada wanita pada semua
7 kelompok umur.Dermatitis seboroik ditemukan pada 85% pasien
dengan infeksi HIV.Dermatitis seboroik banyak terjadi pada pasien
yang menderita penyakit parkinson karena produksi sebumnya
meningkat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit


-

Bangsa dan ras

: Semua bangsa

Makanan

: Lebih sering pada orang-orang yang banyak


memakan lemak dan minum alkohol

Iklim

: insiden meningkat pada iklim dingin.

Keturunan

: Tidak berpengaruh, tapi cenderung meningkat


pada orang-orang dengan stress emosional

Lingkungan

: Yang menyebabkan kulit menjadi lembab dan


maserasi akan lebih mudah menimbulkan
penyakit

Manifestasi Klinik
Lesi dermatitis seboroik tipikal adalah bercak-bercak eritema, dengan
sisik-sisik yang berminyak. Penyakit ini suka muncul di bagian-bagian

yang kaya kelenjar sebum, seperti kulit kepala, garis batas rambut, alis
mata, glabela, lipatan nasolabial, telinga, dada atas, punggung, ketiak,
pusar dan sela paha.
Pasien sering mengeluhkan rasa gatal, terutama pada kulit kepala dan
pada liang telinga. Lesi pada kulit kepala dapat menyebar ke kulit dahi
dan membentuk batas eritema bersisik yang disebut corona
seborrheica.
Dua bentuk dermatitis seboroik bisa terjadi pada dada, tipe petaloid
dan tipe pitiriasiform.
Tipe petaloid diawali dengan papul-papul folikuler dan perifolikuler
merah hingga coklat, yang berkembang menjadi bercak-bercak yang
mirip bentuk mahkota bunga.
Tipe pitiriasiform mungkin merupakan bentuk berat dari dermatitis
seboroik petaloid. Tipe ini mempunyai bercak-bercak yang mengikuti
garisgaris kulit yang mirip pityriasis rosea.
Dermatitis seboroik juga dapat mengenai liang telinga yang
gambarannya seperti dermatitis kronis.
Gejala yang umum lainnya dari dermatitis seboroik adalah blefaritis
dengan kerak-kerak berwarna kekuningan sepanjang pinggir kelopak
mata. Bila hanya manifestasi ini yang ada, maka diagnosis tidaklah
sulit. Varian serius dari penyakit kulit ini adalah exfoliative
erythroderma (seborrheic erythroderma).
Komplikasi yang utama pada lesi adalah infeksi sekunder, tampak
eritema, eksudat, gangguan kenyamanan dan limfadenopati pada
daerah yang terkena.

Pemeriksaan kulit
1. Lokalisasi : tempat-tempat yang banyak mengandung kelenjar
sebasea, misalnya kulit kepala, belakang telinga, alis mata, cuping
hidung, ketiak, dada, antara skapula dan daerah suprapubis
2. Efloresensi : Makula eritomatosa yang ditutupi oleh papul-papul
miliar berbatas tidak tegas dan skuam halus kekuningan dan

berminyak. Kadang-kadang ditemukan erosi krusta yang sudah


mengering berwarna kekuningan.

Gambaran histopatologik
Pada epidermis dapat ditemukan parakeratirosis fokal dengan abses
munro. Pada dermis, terdapat pelebaran ujung pembuluh darah di
puncak stratum papilaris

disertai serbukan sel-sel neutrofil dan

monosit.

Pemeriksaan pembantu / laboratorik :


1. Pemeriksaan

mikroflora

dari

kulit

kepala

untuk

melihat

Pityrosporum ovale
2. Menentukan indeks mitosis pada kulit kepala yang berketombe.

Prognosis
Seperti telah dijelaskan pada sebagian kasus yang mempunyai faktor
konstitusi penyakit ini agak sukar disembuhkan, meskipun terkontrol.

Penatalaksanaan
Pengobatan tidak menyembuhkan secara langsung sehingga terapi
dilakukan berulang kali. Tatalaksana yang dilakukan antara lain :
a. Sampo yang mengandung obat anti malassezia, misalnya : elenium
sulfide, zinc prithione, ketokonazol, berbagai sampo yang
mengandung ter dan solusio terbinafine 1%.
b. Untuk menghilangkan skuama tebal dan mengurangi jumlah sebum
pada kulit dilakukan dengan mencuci wajah berulang dengan sabun
lunak. Pertumbuhan jamur dapat dikurangi dengan krim imidazole
dan turunannya, bhan antimikotik di daerah lipatan bila ada gejala.
c. Skuama yang diperlunak dengan krim asam salisilat atau sulfur.
d. Pengobatan simptomatik dengan kortikosteroid topical potensi
sedang, imunosupresan topical terutama untuk daerah wajah
sebagai pengganti kortikosteroid topical.
e. Metronidazole

topical,

siklopiroksolamin,

peroksida dan salep litium suksinat 5%.

talkasitol,

benzoil

f. Pada kasus tidak membaik dengan terapi konvensional dapat


digunakan

terapi

sinar

UVB

atau

pemberian

itrakonazole

100mg/hari per oral selama 21 hari.


g. Bila tidak membaik dengan semua modalitas terapi, diberikan
prednisolone 30 mg/hari untuk respon cepat.
[Referensi :

Menaldi, sri linuwih SW. 2016. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. edisi
7. Jakarta : Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Hal 232-233.

Saripati penyakit kulit. Edisi 3. Jakarta : EGC. Hal 104.]

11. Perspektif islam


Penyakit kulit sudah terdapat dari zaman dahulu kala. Nabi Ayyub A.S
adalah Nabi yang paling sabar ketika mendapat cobaan dari Allah SWT.
Nabi Ayyub diberi cobaan dengan penyakit kulit yang keras dalam waktu
yang

lama,

sehingga

membuat

sahabat

dan

keluarganya

meninggalkannya.
Dan berikkut adalah lafadz doa yang penuh berkah, yang kemudian
tertulis dalam Al-Quran Surah Al-Anbiyaa Ayat 83

Artinya :
Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan
Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di anatara semua
penyayang. (QS. Al-Anbiyaa : 83)
Itulah bacaan doa Nabi Ayyub ketika sakit parah yang kemudian Allah
SWT menyembuhkan penyakitnya. Dengan kesabarannya itu maka ia
merupakan suri teladan bagi orang-orang yang sabar, penghibur bagi
orang-orang yang mendapat ujian atau ditimpa musibah serta pelajaran
berharga bagi orang-orang yang mau mengambil pelajaran.
Adapun salah satu hikmah dan makna dari penyakit itu sendiri yaitu
agar kita mengingat nikmatnya sehat. Nikmat adalah kesempatan yang

tidak sempurna kecuali disertai oleh adanya kesehatan. Maka akan


diperoleh rasa bersyukur terhadap kesehatan yang disebabkan oleh
ingatan pada saat sakit karena besarnya kenikmatan tersebut.
Allah Swt berfirman Al-Quran Surah Al-Araaf ayat 168 :

Artinya :
Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan
(bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).
(QS. Al-Araaf: 168)

You might also like