You are on page 1of 48

Skenario 1

Laki-laki 37 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan


timbul bercak-bercak merah sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan
disertai rasa gatal dan sering di garuk. Gejala berupa sisik
putih halus pada lesi kulit yang kemerahan. Awalnya, gejala
timbul di kepala, daerah wajah, lengan bawah, dan tungkai
bawah yang bersifat ringan hanya sedikit tetapi kemudian
semakin bertambah, dan menyebar ke dada dan punggung.
Sudah berobat ke puskesmas tetapi tidak mengalami
perubahan. Keluhan makin hebat jika penderita merasa
stress dan kurang stabil. Riwayat keluarga dengan keluhan
gatal ada. Pasien sering mengurung diri dan kadang tidak
masuk bekerja jika lesi kambuh kembali.
Langkah-langkah diagnosis6
ANAMNESIS
a. Tanyakan keluhan utama pasien; tanyakan kapan
mulai muncul. Tanyakan apakah hilang timbul atau
menetap, dimana lokasi awalnya dan kemudian
muncul dimana, lalu bagaimana penyebarannya.
Kelainan kulit bertambah banyak, tetap jumlahnya
atau melebar. Bagaimana warnanya atau terasa
kebal, kurang rasa atau hilang rasa jika diraba atau
ditusuk.
Menanyakan lokasi awal munculnya lesi akan
membantu dalam menegakkan diagnosis, misalnya
pada penyakit psoriasis biasanya lesi muncul
terdistribusi
secara
simetris
pada
ekstensor
ekstremitas, terutama di siku dan lutut, kulit kepala,
lumbo sakral, bokong dan genital. Pada dermatitis
seboroik biasanya muncul pada daerah tubuh yang
banyak mengandung kelenjar sebasea seperti kulit
kepala, wajah, telinga, badan bagian atas dan
fleksura (inguinal, inframma, dan aksila). Pada
pitriasis rosea biasanya mengenai badan, lengan
atas bagian proksimal dan paha atas sehingga
biasanya membentuk seperti pakean renang.

b. Tanyakan demam atau tidak. Pada pitriasis rosea


biasanya akan diawali dengan demam yang
disebabkan oleh virus.
c. Tanyakan disertai gatal atau tidak. Pada beberapa
penyakit kulit ada yang lesinya tidak disertai gatal.
Misalnya pada MH
d. Tanyakan apakah bercak kulit ini ada hubungannya
dengan bercak serangga dan trauma karena
serangga atau luka (trauma). Pada psoriasis dan
dermatitis seboroik biasanya lesi muncul pada
daerah bekas trauma.
e. Tanyakan apakah bercak kulit disertai nyeri atau
tidak. Jika iya, tanyakan kapan hal tersebut, apakah
terjadi mendadak atau tidak. Sifat nyeri atau keram :
ringan, sedang, berat, intermitten atau terus
menerus.
f. Tanyakan apakah ada sakit di daerah lain. Pada
pitriasis rosea kadang akan muncul keluhan nyeri
sendi.
g. Tanyakan riwayat penyakit pasien. Pada pitriasis
rosea gejala awal yang muncul adalah demam,
lemas, mual, tidak nafsu makan, dan adanya
pembesaran kelenjar limfe
h. Tanyakan riwayat penyakit yang sama dalam
keluarga dan riwayat lingkungan sekitar yakni
sekitar tempat tinggal. Ada beberapa penyakit yang
disebabkan karena adanya faktor genetic. Seperti
pada penyakit psoriasis
i. Tanyakan riwayat pengobatan. Pada penyakit
pitriasis rosea kadang disebabkan oleh karena obatobatan
PEMFIS
a. Lihat keadaan umum pasien; inspeksi dari ujung
kepala sampai kaki
b. Tentukan status gizi, status gizi buruk akan
mempengaruhi keadaan pasien
c. Ukur tanda vital pasien
d. Pemeriksaan bercak kulit

e. Lihat permukaan kulit rata bersih atau basah


PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Permeriksaan darah
b. Lampu wood
c. Kerokan kulit
d. Biopsy kulit
e. Histopatologi
f. Tes temple
1. Differential diagnosis
a. Psoriasis
Psoriasis merupakan penyakit multifaktor dengan
beberapapredisposisi
seperti
faktor
genetik,lingkungan, inflamasi (dimediasi proses
imunologis), serta beberapa faktor penyerta seperti
obesitas, trauma, infeksi, serta defsiensi bentuk
aktif vitamin D3.
Epidemiologi
Prevalensi psoriasis bervariasi antara 0,1-11,8% di
berbagai populasi dunia. Insidensdi Asia cenderung
rendah (0,4%). Tidak ada perbedaan insidens pada
pria ataupun wanita.
Etiologi
Psoriasis
merupakan
penyakit
kulit
kronis
inflamatorik dengan faktor genetik yang kuat,
dengan
ciri
gangguan
perkembangan
dan
diferensiasi epidermis, abnormalitas pembuluh
darah, faktor imunologis dan biokimiawi, serta fungsi
neurologis. Penyebab dasarnya belum diketahui
pasti. Dahulu diduga berkaitan dengan gangguan
primer keratinosit, namun berbagai penelitian telah
mengetahui adanya peran imunologis.
Patofsiologi
Lesi kulit psoriasis melibatkan epidermis dan
dermis.Terdapat penebalan epidermis, disorganisasi
stratum korneum akibat hiperproliferasi epidermis

dan peningkatan kecepatan mitosis, disertai


peningkatan ekspresi intercellularadhesionmolecule
1 (ICAM 1) serta abnormalitas diferensiasi sel
epidermis.
Gambaran histopatologisnya antara lain elongasi
reteridges, parakeratosis, serta infltrasi berbagai sel
radang. Sel T CD 3+ dan CD 8+ dapat ditemukan di
sekitar kapiler dermis dan epidermis. Sel dendritik
CD 11c+ biasanya ditemukan di dermis bagian
atas.3,5 Invasi sel CD 8+ ke epidermis berkaitan
dengan munculnya lesi kulit.
Aktivasi sel T terutama dipengaruhi oleh sel
Langerhans. Sel T serta keratinosit yang teraktivasi
akan melepaskan sitokin dan kemokin, dan
menstimulasi inflamasi lebih lanjut. Selain itu, kedua
komponen
ini
akan
memproduksi
tumor
necrosisfactor (TNF ), yang mempertahankan
proses inflamasi. Oleh karena itu, psoriasis bukan
hanya disebabkan oleh autoimunitas terkait sel
limfosit T seperti teori terdahulu, tetapi melibatkan
proses yang lebih kompleks termasuk abnormalitas
mikrovaskuler dan keratinosit.
Manifestasi klinis
Psoriasis merupakan penyakit inflamatorik kronik
dengan manifestasi klinis pada kulit dan kuku. Lesi
kulit biasanya merupakan plak eritematosa oval,
berbatas tegas, meninggi, dengan skuama berwarna
keperakan, hasil proliferasi epidermis maturasi
prematur dan kornif kasi inkomplet keratinosit
dengan retensi nuklei di stratum korneum
(parakeratosis).
Meskipun terdapat beberapa predileksi khas seperti
pada siku, lutut, serta sakrum, lesi dapat ditemukan
di seluruh tubuh.Gambaran klinis lain yang dapat
menyertai adalah artritispsoriatika pada sendi
interfalang jari tangan, distrof kuku, dan lesi
psoriatiknailbed.

b. Pitriasis Rubra Pilaris


Defnisi
Kelainan kulit berupa erupsi papuloskuamosa, yaitu
sisik-sisik di atas kulit eritematosa, jarang dijumpai
dan bersifat herediter.
Etiologi
Penyakit ini herediter atau didapat, penyebab pasti
belum diketahui. Bentuk yang herediter mulai pada
permulaan masa anak, dominan abnormal, dan tidak
disertai kelainan sistemik, bentuk yang didapat
mulai pada setiap umur dan tidak ada yang sakit
seperti ini dalam keluarganya.
Diperkirakan
salah
satu
etiologinya
karena
kekurangan vitamin A. dugaan lain adalah gangguan
kinetic sel epidermis (keratinisasi meningkat dan
proliferasi sel epidermis).
Patogenesis
Pathogenesis dari pitiriasis rubra pilaris tidak
diketahui. Mungkin karena adanya peningkatan
pertumbuhan sel epidermal yang tidak diketahui. Hal
ini didukung oleh adanya keadaan abnormal pada
penilaian biokimia dari diferensiasi epidermal yang
ditemukan pada pasien pitiriasis rubra pilaris.
Pengaktivan sel T supresor dan dihalangi oleh sel T
halper dapat dipisahkan dari pada pasien pitriasis
rubra pilaris.
Gejala Klinis
Pada bentuk herediter meluasnya penyakit bertahap
dan perlahan-lahan, sedangkan bentuk yang
didapat, meluasnya sangat cepat. Eritema dan
skuama pada muka dan kulit kepala umumnya
terlihat terlebih dahulu, kemudian terjadi edema dan
penebalan di telapak tangan dan kaki. Papul folikular

keratotik dikelilingi oleh eritema umumnya pada


dorsum jaritangan siku, dan pergelangan tangan.
Kelainan tersebut dapat menyebar ke tempat lain,
badan pun dapat diserang. Kelainan kulit berbatas
tegas dan sering terlihat pulau-pulau kulit normal.
Eritema dan skuama dapat meluas keseluruh
permukaan kulit.
Rambut dan gigi tidak menunjukan kelainan kecuali
kuku. Kuku menunjukkan penebalan. Mukosa mulut
dapat diserang. Bentuk heredite rmempunyai
kecenderungan untuk menetap seumur hidup.
Bentuk yang didapat mungkin mengalami remisi.
Kelainan sistemik umumnya terjadi, kecuali bila
kelainan sudah menyeluruh.
Pemeriksaan Kulit
Lokalisasi
Kulit kepala, wajah, lengan, dan tangan, tungkai
dan kaki, terutama daerah ekstensor.

Efloresensi / sifat-sifat
:
Macula
eritematosa,
papulafolikularis,
hyperkeratosis, skuama berukuran halus sampai
sedang, warna putih mengkilat

c. Dermatitis Seboroik10,11,12
Defnisi
Dermatitis
seboroik
adalah
dermatosis
papulosquamous
kronis umum yang
mudah
dikenali.Penyakit ini dapat timbul pada bayi dan
dewasa dan seringkali dihubungkan dengan
peningkatan produksi sebum (sebaseus atau
seborrhea) kulit kepala dan daerah folikel kaya
sebaseus pada wajah dan leher.Kulit yang terkena
berwarna merah muda, bengkak, dan ditutupi
dengan sisik berwarna kuning-coklat dan krusta.
Insiden

Dermatitis seboroik memiliki dua puncak usia, yang


pertama pada bayi dalam 3 bulan pertama
kehidupan dan yang kedua sekitar dekade keempat
sampai ketujuh kehidupan. Tidak ada data yang
tepat tersedia kejadian dermatitis seboroik pada
bayi, tetapi gangguan ini umum.Penyakit pada orang
dewasa
diyakini
lebih
umum
daripada
psoriasis.Penyakit inimempengaruhi setidaknya 35% dari populasi di Amerika Serikat. Pria lebih sering
terkena daripada wanita pada semua 7 kelompok
umur.Dermatitis seboroik ditemukan pada 85%
pasien dengan infeksi HIV.Dermatitis seboroik
banyak terjadi pada pasien yang menderita penyakit
parkinson karena produksi sebumnya meningkat.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
timbulnya
penyakit
a. Bangsa dan ras: Semua bangsa
b. Makanan :
Lebih
sering
pada
orang-orang
yang
banyakmemakan
lemak
dan
minum alkohol
c. Iklim
: Insiden meningkat pada iklim
dingin.
d. Keturunan :
Tidak
berpengaruh, tapi cenderung
meningkat pada orang-orang
dengan stress emosional
e. Lingkungan : Yang menyebabkan
kulit
menjadi
lembab
dan
maserasi akan lebih mudah
menimbulkan penyakit
Manifestasi Klinik
Lesi dermatitis seboroik tipikal adalah bercak-bercak
eritema, dengan sisik-sisik yang berminyak. Penyakit
ini suka muncul di bagian-bagian yang kaya kelenjar
sebum, seperti kulit kepala, garis batas rambut, alis

mata, glabela, lipatan nasolabial, telinga, dada atas,


punggung, ketiak, pusar dan sela paha.
Pasien sering mengeluhkan rasa gatal, terutama
pada kulit kepala dan pada liang telinga. Lesi pada
kulit kepala dapat menyebar ke kulit dahi dan
membentuk batas eritema bersisik yang disebut
corona seborrheica.
Dua bentuk dermatitis seboroik bisa terjadi pada
dada, tipe petaloid dan tipe pitiriasiform.
Tipe petaloid diawali dengan papul-papul folikuler
dan perifolikuler merah hingga coklat, yang
berkembang menjadi bercak-bercak yang mirip
bentuk mahkota bunga.
Tipe pitiriasiform mungkin merupakan bentuk berat
dari
dermatitis
seboroik
petaloid.
Tipe
ini
mempunyai bercak-bercak yang mengikuti garisgaris
kulit yang mirip pityriasis rosea.
Dermatitis seboroik juga dapat mengenai liang
telinga yang gambarannya seperti dermatitis kronis.
Gejala yang umum lainnya dari dermatitis seboroik
adalah blefaritis dengan kerak-kerak berwarna
kekuningan sepanjang pinggir kelopak mata. Bila
hanya manifestasi ini yang ada, maka diagnosis
tidaklah sulit. Varian serius dari penyakit kulit ini
adalah
exfoliative
erythroderma
(seborrheic
erythroderma).
Komplikasi yang utama pada lesi adalah infeksi
sekunder, tampak eritema, eksudat, gangguan
kenyamanan dan limfadenopati pada daerah yang
terkena.
Pemeriksaan kulit

a. Lokalisasi :
tempat-tempat
yang
banyak
mengandung kelenjar sebasea, misalnya kulit
kepala, belakang telinga, alis mata, cuping
hidung, ketiak, dada, antara skapula dan daerah
suprapubis
b. Efloresensi : Makula eritomatosa yang ditutupi
oleh papul-papul miliar berbatas tidak tegas dan
skuam halus kekuningan dan berminyak.
Kadang-kadang ditemukan erosi krusta yang
sudah mengering berwarna kekuningan.
Gambaran histopatologik
Pada epidermis dapat ditemukan parakeratirosis
fokal dengan abses munro. Pada dermis, terdapat
pelebaran ujung pembuluh darah di puncak stratum
papilaris
disertai serbukan sel-sel neutrofl dan
monosit.
Pemeriksaan pembantu / laboratorik :
a. Pemeriksaan mikroflora dari kulit kepala untuk
melihat Pityrosporum ovale
b. Menentukan indeks mitosis pada kulit kepala
yang berketombe.
Prognosis
Pada sebagian kasus yang mempunyai faktor
konstitusi penyakit ini agak sukar disembuhkan,
meskipun terkontrol.
2. Penatalaksanaan :
Edukasi :
a. Menjelaskan kepada pasien bahwa obat yang
digunakan bukan untuk menyembuhkan tapi hanya
mengurangi gejala
b. Memberi tahu pasien tentang efek samping yang
ditimbukn agar tidak ketergantungan pada obat
tersebut
Psoriasis :

Jenis pengobatan psoriasis yang tersedia bekerja


menekan gejala dan memperbaiki gejala. Prinsip
pengobatan :
a. Sebelum memilih obat harus dipikirkan evaluasi
dampak penyakit terhadap kualitass hidup pasien.
b. Mengetahui efek samping yag ditimbulkan
Pengobatan topical
a. Topical kortikosteroid
Bekerja
sebagai
antiinflamasi,antiproliferasi,dan
vasokonstriktor masih tetap banyak digunakan
sebagai pengobatan psoriasi secara tunggal ataupun
kombinasi. Bila dalam 4-6 minggu lesi tidak
membaik maka hentikan pengobatan dan digantikan
dengan terapi yang lain. Efek samping : penipisan
kulit,striae,rosasea,dermatitis
kontak,perioral
dermatitis,absorpsi
sistemik
yang
dapat
menimbulkan supresi aksis hipothalaamus pituari.
b. Kalsipotriol / kalsipotrien
Analog vitamin D. mekanisme kerja : menghambat
proliferasi
sel,antiproliferasi
keratinosit
dan
meningkatkan
diferensiasi
juga
menghambat
produksi sitokin. Efek samping sama seperti
kortikosteroid.
Tersedia
dalam
bentuk
krim,salap/solusio ang dapat dipakai 2x/hari.
Penyembuhan terlihat stelah pemakaian 53,5 hari
( 14-78 hari ).
c. Retinoid topical
Tazaroten 0,1% lebih efektif dari 0,05% pada
psoriasis bila pemakaian 12 minggu akan lebih
efektif dibandingkan vehikulum
d. Ter dan antralin
Ter berasal bahan organic,misalnya kayu,batubara
dan fosil ikan. Antralin : dimulai pada konsentrasi
rendah 0,05% sekali sehari kemudian ditingkatkan
menjadi 1% dengan kontak singkat (15-30 menit )
Fototerapi

UVA dan UVB. Psoriasi sedang0berat dapat diobati


dengan UVB dikombinasikan dengan ter meningkatkan
efektiftas terapi.
Sistemik
a. Metotreksat merupakan indikasi untuk penanganan
jangka panjang pada psoriasis berat. Obat ini
dieksresikan pada ginjal dan tidak diperbolehkan
pada ibu hamil karena bersifak tertraorganik. Dosis
dewasa 7,5mg-15mg setiap minggu
b. Aseterin merupakan derivate vitamin A. Dosis
berkisar 0,5mg-1mg/kgBB/hari
c. Siklosporin dosis rendah 2,5mg/kgBB/hari dipakai
pada
terapi
awal,dengan
dosis
maksimal
4mg/kgBB/hari.
Pitiriasis rubra papilaris
Sistemik
a. Vitamin A yang dapat larut pada air dosis 200.000600.000 unit/hari
b. Metotreksat,dosis
2,5mg/12
jam
untuk
3
dosis/minggu
c. Azatioprin
150-200mg
selama
beberapa
minggu/bulan
Topical
Kortikosteroid berpotensi tinggi ( untuk lesi yang luas ),
hidrokortison 0,5% atau triamsinolon asetonida 0,1%
Dermatitis seboroik
a. Shampoo
yang
mengandung
obat
anti
Malassezia,misalnya:
selenium
sulfde,
zinc
pirithione, ketokonazol ,berbagai shampoo yang
mengandung ter dan solusio terbakine 1%
b. Untuk menghilangkan skuama tebal dan mengurangi
jumlah sebum pada kulit gunakan sabun wajah
lunak. Pertumbuhan jamur dapat dikurangi krim
imidazol

c. Skuama dapat diperlunak bila menggunakan dengan


krim yang mengadung asam salisilat atau sulfur
d. Pengibatan
simtomatik
dengan
kortikosteroid
topical,
imunosupresan
(
takrolimus
dan
pimekralimus ) untuk daerah ajah sebagai pengganti
kortikosteroid topical
e. Metronidazol
topical,siklopiroksalamin,talkasitol,benzoil peroksida
dan salep litium suksinat 5%
f. Gunakan sinar UVB bila tidak merespon pada obat
konvensionall
atau
pemberian
itrakonazol
100mg/hari/oral selama 21 hari
g. Bila tidak membaik pada semua terapi berikan
prednisolon 30 mg/hari untuk respon yang cepat

Skenario 2
Perempuan berusia 29 tahun datang ke poliklinik dengan bintikbintik merah bersisik pada wajah, punggung dan dada sejak 4
bulan yang lalu. Keluhan disertai gatal dan pasien merasa ingin
menggaruk tetapi ringan. Jika berobat keluhan sembuh tapi
kemudian muncul kembali. Gejala semakin berat setelah pasien
dipecat dari pekerjaannya dan belum kembali bekerja, sejak 3
bulan terakhir. Pada pemeriksaan fsis ditemukan makula eritema
dan skuama agak kasar dan sebagian halus. Sudah berobat ke
puskesmas berulang kali tetapi tidak mengalami perubahan
malah semakin banyak dan keluhan semakin hebat karena
penderita stres. Riwayat kakak pasien memiliki keluhan yang
sama. Pasien sering merasa nyeri pada sendi-sendi besar.
ANAMNESIS

Anamnesis umum :
Tanyakanlah data pribadi pasien : nama,umur, alamat, dan
pekerjaan
Tanyakanlah apa yang menyebabkan pasien dating ke dokter
(keluhan utama). Untuk heteroanamnesi tanyakan hubungan
pasien dengan pengantar.

Anamnesis terpimpin :
Tanyakanlah kapan kelainan kulit tersebut mulai muncul.

Galilah tentang onset, durasi kelainan tersebut, apakah hilang


timbul atau menetap, bagaimana gambaran lesi awalnya, dimana
lokasi awalnya, bagaimana perkembangan lesinya serta distribusi
lesi selanjutnya.
Tanyakanlah apakah disertai rasa panas pada lesi atau tidak,
adakah demam atau tidak
Tanyakanlah apakah disertai gatal atau tidak.
Tanyakan apakah kelainan kulit ini ada hubungannya dengan :

Penggunaan pakaian baru,

Membersihkan tanaman atau rumah,

Gigitan serangga atau luka (trauma), dan lain-lain.


Tanyakanlah apakah ada keluhan lain yang dirasakan oleh
pasien.
Jika ada tanyakanlah:

Kapan mulai terjadi hal tersebut, apakah terjadi


mendadak atau tidak.

Apakah muncul bersamaan atau sesudahnya.


Tanyakanlah apakah pasien pernah mengalami keluhan yang
sama pada masa lalu.
Tanyakanlah riwayat penyakit yang sama dalam lingkup keluarga
atau lingkungan sekitar tempat tinggal.
Tanyakanlah ada riwayat kontak dengan penderita penyakit
dengan gejala yang sama, riwayat kontak dengan serangga atau
tanaman.
Tanyakanlah riwayat pengobatan yang pernah diterima dari
dokter dan obat yang dibeli sendiri oleh pasien tanpa resep
dokter.
PEMERIKSAAN FISIS

Tanda Vital (Tekanan darah, denyut nadi, pernafasan,


suhu).

Inspeksi :

Dimana letak/lokasi kelainan kulit tersebut

Perhatikan jenis efloresensi yang tampak : eritema,


hipopigmentasi, hiperpigmentasi, nodul, vesikel, dulla, makula,
papula, skuama, urtikari, ulkus, kerusta.

Bila seluruh permukaan lesi rata, perhatikan gambaran


permukaan kulit kering yang terlihat : kering atau basah


Perhatikanlah bentuk dan gambaran kelainan kulit yang
tampak pada pasien

Bagaimana ukuran dan distribusi kelainan kulit yang


terlihat pada pasien

Perhatikanlah secara keseluruhan kulit disekitar kelainan


yang ada apakah terdapat tanda-tanda kekeringan kulit atau kulit
tampak pecah-pecah

Palpasi
Pada palpasi perhatikan masing-masing jenis lesi, apakah
permukaan rata, tidak rata (berbenjol-benjol), licin, kasr atau
halus, dan konsistensi lesi, misalnya padat, kenyal, lunak, dan
nyeri pada penekanan. Perhatikan pula adanya tanda-tanda
radang akut atau tidak, yaitu tumor, colour, dolor, kalor,
fungsioleisa. Bila ada tanda radang akut sebaiknya diperiksa
kelenjar getah bening.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Uji klinis : tanda nikolsky, fenomena tetesan lilin,


dermografsme, uji fungsi saraf motoric

Uji diagnosis dengan alat : dermoskopi, fenomena auspitz,


tzanck smear, lampuwood, uji tempel.

Laboratorium : pengambilan Duh tubuh, pengambilan Pus.

Histopatologi : biopsi kulit, preparat apus.11,24

Diagnosis dan diagnosis banding dari skenario


PSORIASIS
a.
Defnisi
Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit kronis, dan sering
rekuren, dengan gejala klinis berupa plak eritematosa berbatas
tegas dalam berbagai ukuran yang ditutupi oleh skuama tebal
berwarna keperakan. Melibatkan beberapa faktor misalnya:
genetik, sistem imunitas, lingkungan serta hormonal. Lesi paling
sering terdapat pada daerah kulit kepala, siku, lutut, tangan,
kaki, badan dan kuku.17
b.
Epidemiologi
Psoriasis dapat terjadi secara universal. Prevalensi psoriasis
bervariasi disetiap negara. Terdapatnya variasi prevalensi

psoriasis berdasarkan wilayah geografs dan etnis menunjukkan


adanya peranan lingkungan fsik (dikatakan psoriasis lebih sering
ditemukan pada daerah beriklim dingin), faktor genetik dan pola
tingkah laku atau paparan lainnya terhadap perkembangan
psoriasis.18
Laki laki dan perempuan memiliki kemungkinan terkena yang
sama besar.Beberapa pengamatan terakhir menunjukkan bahwa
psoriasis sedikit lebih sering terjadi pada laki laki dibanding
perempuan. Psoriasis dapat mengenai semua usia dan telah
dilaporkan terjadi saat lahir dan pada orang yang berusia lanjut.
Penelitian mengenai onset usia psoriasis mengalami banyak
kesulitan dalam hal keakuratan data karena biasanya ditentukan
berdasarkan ingatan pasien tentang onset terjadinya dan rekam
medis yang dibuat dokter saat kunjungan awal. Beberapa
penelitian berskala besar telah menunjukkan bahwa usia rata
rata penderita psoriasis periode pertama yaitu berkisar 15 20
tahun dan usia tertinggi kedua pada 55 56 tahun.Pada sebuah
penelitian yang meneliti pengaruh jenis kelamin dan usia pada
prevalensi psoriasis, ditemukan bahwa pasien yang berusia lebih
muda (< 20 tahun) prevalensi psoriasis ditemukan lebih tinggi
pada perempuan dibandingkan laki laki.19
c.
Etiopatogenesis
Etiopatogenesis psoriasis belum diketahui secara pasti, namun
ada banyak faktor yang diduga berperan dalam terjadinya
psoriasis, meliputi faktor genetik, stress, infeksi, trauma, hormon,
obat obatan, pajanan sinar ultraviolet (UV), obesitas, merokok,
dan konsumsi alkohol.Sebelumnya psoriasis dianggap sebagai
suatu penyakit akibat gangguan keratinosit, tetapi saat ini
psoriasis dikenal sebagai suatu penyakit yang diperantarai oleh
sistem imun. Psoriasis melibatkan interaksi kompleks diantara
berbagai sel pada sistem imun dan kulit, termasuk sel
dendritikdermal, sel T, neutrofl dan keratinosit. Psoriasis
dianggap sebagai suatu penyakit yang diperantarai oleh sistem
imun yang ditandai dengan adanya sel T helper(Th) 1 yang
predominan pada lesi kulit dengan peningkatan kadar interferon (IFN-), tumor necrosingfactor- (TNF-), interleukin(IL-2) dan
IL-18. Baru-baru ini jalur Th17 telah dibuktikan memiliki peranan
penting dalam mengatur proses inflamasi kronik. Sebagai pusat

jalur ini terdapat sel T CD4+, yang pengaturannya diatur oleh IL23 yang disekresikan oleh sel penyaji antigen (sel
dendritikdermal). Sel Th17 CD4+ mensekresikan IL-17 dan IL-22
yang berperan pada peningkatan dan pengaturan proses
inflamasi dan proliferasi epidermal. 19,20
d.
Gambaran Klinis
Psoriasis merupakan penyakit peradangan kronik yang ditandai
oleh hiperproliferasi dan inflamasi epidermis dengan gambaran
morfologi, distribusi, serta derajat keparahan penyakit yang
bervariasi. Lesi klasik psoriasis biasanya berupa plak berwarna
kemerahan yang berbatas tegas dengan skuama tebal berlapis
yang berwarna keputihan pada permukaan lesi. Ukurannya
bervariasi mulai dari papul yang berukuran kecil sampai dengan
plak yang menutupi area tubuh yang luas. Lesi kulit pada
psoriasis biasanya simetris dan dapat disertai gejala subjektif
seperti gatal dan rasa terbakar.Suatu tanda yang berguna bila
terdapat keraguan mengenai diagnosis adalah dengan
menggores lesi secara kuat dan mengangkat seluruh keratin
yang ikatannya longgar. Kemudian akan muncul suatu
permukaan yang berkilat dengan bintik bintik darah kapiler
(tanda Auspitz).17
Fenomena Koebner(juga dikenal sebagai responisomorfk) adalah
induksi traumatik pada psoriasis pada kulit yang tidak terdapat
lesi, yang terjadi lebih sering selama berkembangnya penyakit
dan merupakan suatu all-or-none phenomenon(misalnya bila
psoriasis terjadi pada salah satu sisi luka, maka akan terjadi pada
semua sisi dari luka). Reaksi Koebnerbiasanya terjadi 7 sampai
14 hari setelah trauma, dan sekitar 25% pasien kemungkinan
memiliki riwayat trauma yang berhubungan dengan fenomena
Koebnerpada beberapa waktu dalam hidupnya. Fenomena
Koebnertidak spesifk untuk psoriasis tetapi dapat menolong
dalam membuat diagnosis ketika terjadi.17
Selain dari presentasi klasik yang disebutkan diatas terdapat
beberapa tipe klinis psoriasis: 17,18
a)
Psoriasis vulgaris
Bentuk ini paling sering dijumpai, mencapai 90% kasus, disebut
juga psoriasis plak kronis. Gambaran klinis berupa plak
eritematosa, berskuama putih seperti mika, berlapis, mudah

lepas dalam bentuk lembaran, tetapi dapat melekat erat dan


terlepas setelah digaruk seperti ketombe. Umumnya mengenai
bagian ekstensor ekstremitas, khususnya siku dan lutut, skalp,
lumbosakral bagian bawah, bokong dan genital. Predileksi pada
daerah lain termasuk umbilikus dan intergluteal.
b)
Psoriasis gutata
Psoriasis yang ditandai dengan bentuk papul berdiameter 0,5
sampai 1,5 cm pada tubuh bagian atas dan bagian proksimal
ekstremitas yang khas pada anak dan dewasa muda. Lebih dari
30% pasien psoriasis mendapat episode pertamanya sebelum
usia 20 tahun. Infeksi streptokokus pada tenggorokan dapat
mengawali 1 sampai 2 minggu atau bersamaan dengan onset
berkembangnya lesi.
c)
Psoriasis inversa
Lesi psoriasis berupa plak eritematosa, berbatas tegas dan
mengkilat yang terdapat di daerah lipatan, seperti aksila, lipatan
payudara, lipatan paha, bokong, telinga, leher dan glans penis.
Skuama biasanya sedikit atau tidak ada. Pada pasien obesitas
atau diabetes dapat mengenai lipatan sempit seperti
interdigitalis dan subaurikuler, berupa lesi satelit dan maserasi.
Infeksi, friksi dan panas dapat menginduksi psoriasis tipe ini
d)
Psoriasis eritroderma
Eritroderma menunjukkan bentuk generalisata dari penyakit yang
mengenai wajah, tangan, kaki, kuku, badan dan ekstremitas.
Eritroderma yang parah berbentuk skuama dan eritema difus
yang biasanya disertai demam, menggigil dan malese. Dapat
muncul sebagai manifestasi awal dari psoriasis namun biasanya
terjadi pada pasien yang sebelumnya mengalami penyakit kronis.
Faktor presipitasi termasuk penggunaan kortikosteroidsistemik,
pemakaian kortikosteroidtopikal yang berlebihan, terapi topikal
yang mengiritasi, komplikasi fototerapi, tekanan emosional yang
berat, penyakit terdahulu seperti infeksi.
e)
Psoriasis pustulosa
Ditandai dengan pustul putih kekuningan, terasa nyeri, dengan
dasar eritematosa. Dapat lokalisata atau generalisata. Beberapa
varian
klinis
psoriasis
pustulosa
yaitu
psoriasis
pustulosageneralisata
(tipe
VonZumbusch),
psoriasis

pustulosaanulare,
impetigoherpetiformis,
psoriasis
pustulosapalmoplantar dan akrodermatitiskontinua.
f)
Psoriasis atritis
Psoriasis ini bermanifestasi pada sendi sebanyak 30% kasus.
Psoriasis tidak selalu dijumpai pada pemeriksaan kulit, tetapi
seringkali pasien datang pertama kali untuk keluhan sendi.
Keluhan pasien yang sering dijumpai adalah artritis perifer,
entesitis, tenosinovitis, nyeri tulang belakang, dan atralgia non
spesifk, dengan gejala kekakuan sendi pagi hari, nyeri sendi
persisten atau nyeri sendi fluktuatif bila psoriasis kambuh.
g)
Diagnosis
Diagnosis psoriasis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan gambaran klinis. Pada beberapa kasus dimana riwayat dan
pemeriksaan klinis tidak menunjang untuk diagnosis, dibutuhkan
pemeriksaan penunjang seperti biopsi histopatologi dan
pemeriksaan laboratorium darah.
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
mengkonfrmasi suatu psoriasis ialah biopsi kulit dengan
menggunakan pewarnaan hematoksilin-eosin. Pada umumnya
tampak penebalan epidermis atau akantolisis serta elongasi
reteridges. Dapat terjadi diferensiasi keratinosit yang ditandai
dengan hilangnya stratum granulosum. Stratum korneum juga
mengalami penebalan dan terdapat retensi inti sel pada lapisan
ini yang disebut dengan parakeratosis. Tampak neutrofl dan
limfosit yang bermigrasi dari dermis. Sekumpulan neutrofl dapat
membentuk mikroabsesMunro. Pada dermis akan tampak tandatanda inflamasi seperti hipervaskularitas dan dilatasi serta
edema papila dermis. Infltrat dermis terdiri dari neutrofl,
makrofag, limfosit dan sel mast.
Selain biopsi kulit, abnormalitas pada pemeriksaan laboratorium
biasanya tidak spesifk dan tidak dapat ditemukan pada semua
pasien. Pada psoriasis vulgaris yang berat, psoriasis
pustulosageneralisata dan eritroderma dapat di deteksi
penurunan
serum
albumin
yang
merupakan
indikator
keseimbangan nitrogen negatif dengan inflamasi kronis dan
hilangnya protein pada kulit. Pada pasien psoriasis terlihat
perubahan profl lipid (peningkatan highdensity lipoprotein, rasio

kolesterol trigliserida serta plasma apolipoprotein - A1).


Peningkatan marker inflamasi sistemik seperti C-reactive protein,
-2 makroglobulin, dan erythrocytesedimentationratedapat
terlihat pada kasus-kasus yang berat. 17,20
h)
Penatalaksanaan
Oleh penyebab pasti belum jelas, maka diberikan pengobatan
simtomatis sambil berusaha mencari/mengeliminasi faktor
pencetus.
1)
Sistemik : 17,18

Kortikosteroid : hanya pada psosiariseritrodermia,


arthritispsosiaris, dan psosiarispustulosa tipe Zumbusch. Dimulai
dengan prednison dosis rendah 30-60 mg, atau steroid lain
dengan dosis ekivalen. Jika gejala klinis berkurang, dilakukan
taperingoff.

Metotreksat (MTX) : diberikan pada psosiaris yang resisten


dengan obat lain. Dosis
2,5-5 mg/hari selama 14 hari dengan
istirahat yang cukup. Dapat dicoba dengan dosis tunggal 25
mg/minggu dan 50 mg tiap minggu berikutnya. Dapat pula
diberikan intramuskular 25 mg/minggu, dan 50 mg pada tiap
minggu berikutnya.

DDS : dipakai pada psoriasis pustulosa tipe barber dengan


dosis 2x100 gr/hari. Efek sampingnya ialah : anemia hemolitik,
methemoglobinemia, dan agrunulossitosis.

Levodopa : diberikan pada penderita Parkinson yang


sekaligus juga menderita psoriasis. Dosisnya antara lain : 2 x 250
mg 3 x 500 mg, efek sampingnya berupa : mual, muntah,
anoreksia, hipotensi, dan gangguangpsikik, dan pada jantung.

Etretinat
(tagison,
tigason)
dan
asitresin
(neotigason). Etretinat merupakan retinoidaromatic, digunakan
bagi psoriasis yang sukar disembuhkan dengan obat-obat lain
mengingat efek sampingnya. Pada psoriasis obat tersebut
mengurangi proliferasi sel epidermal pada lesi psoriasis dan kulit
normal. Dosisnya bervariasi : pada bulan pertama diberikan 1
mg/kgBB, jika belum terjadi perbaikan dosis dapat dinaikkan
menjadi 1,5 mg/kg BB. Asitresin merupakan metabolit aktif
etretinat yang utama. Waktu paruh eleminasinya hanya 2 hari,
dibandingkan dengan etretinat yang lebih dari 100 hari.


Siklosporin : efeknya imunosupresan. Dosisnya 6 mg/kgBB
sehari, bersifat nefrotoksik dan hepatotoksik. Hasil pengobatan
untuk psoriasis baik, hanya setelah obat dihentikan dapat terjadi
kekambuhan.

Terapi biologik : obat biologic merupakan obat yang baru,


efeknya memblok langkah molekuler spesifk penting pada
pathogenesis ialah infksimal, alefasep, etanersep, efalizumab
dan adalimumab.

Topikal: 17,18

Preparat ter (ter kayu, fosil atau batu bara) dengan


konsentrasi 2-5%. Untuk mempercepat, ter dapat dikombinasikan
dengan asam salisilat 2-10% dan sulfur presipitatum 3-5%.

Antralin 0,2-0,8% dalam pasta atau salep, kesembuhan


tampak sesudah 3 minggu, dan dapat beberapa bulan.

Kortikosteroid, biasanya dikombinasikan dengan asam


salisilat 3%, kortikosteroidfluorinasi mempunyai daya kerja lebih
baik, misalnya triansinolonasetonida 1%, betametasonvalerat
0,1%, fluosinolonasetonida 0,025% atau betametason benzoat
0,025%.

PUVA yaitu kombinasi psoralen dan sinar ultraviolet 0,6


mg/kg berat badan. Diberikan oral 2 jam sebelum disinar dengan
sinar ultraviolet. Pengobatan dilakukan
2 x seminggu;
kesembuhan terjadi setelah 2-4 kali pengobatan. Selanjutnya
dilakukan pengobatan rumatan (maintenance) tiap 2 bulan.

Pengobatan cara Goeckerman : pengobatan kombinasi ter


berasal dari batu bara dan sinar ultraviolet. Lama pengobatan 4
5 minggu, penyembuhan setelah 3 minggu.

Fototerapi :
Fototerapi yang dikenal ultraviolet A (UVA) dan ultraviolet B
(UVB). Fototerapi memiliki kemampuan menginduksi apoptosis,
imunosupresan, mengubah profl sitokin dan mekanisme lainnya.
Diketahui efek biologik UVB terbesar kisaran 311-313nm oleh
karena itu sekarang tersedia lampu UVB (TL-01) yang dapat
memancarkan sinar monokromatik dan disebut spektrum sempit
(narrowband). Dalam berbagai uji coba penyinaran 3-5 kali
seminggu dengan dosis eritemogenik memiliki hasil yang efektif.

Bila dibansingkan dengan UVB spektrum luas, UVB spektrun


sempit dosis suberitemogeniknampaknya lebih efektif. Psoriasis
sedang sampai berat dapat diobati dengan UVB, kombinasi
dengan ter meningkatkan efektivitas terapi. Efek samping cepat
berupa sunburn, eritema, vesikulasi dan kulit kering. Efek jangka
panjang berupa penuaan kulit dan keganasan kulit yang masih
sulit dibuktikan. Bila dilakukan di klinik, kombinasi UVB sebgan
ter sdanatralin, memiliki masa remisi berlangaung lama 55%
pasien.
Pemakaian UVB spektrum sempit lebih banyak dipilih karena
lebih aman dibandingkan denga PUVA (psoralen dan UVA) yang
dihubungkana dengan karainoma sel skuamosa, karainoma sel
basal dan melanomamaligna pada kulit. Peningkatan keganasan
kulit karena UVB spektrum sempit sampai saat ini belum bisa
ditetapkan dan masih dalam penyelidikan.17

Komplikasi
Pasien dengan psoriasis memiliki angka morbiditas dan
mortalitas yang meningkat terhadap gangguan kardiovaskuler
terutama pada pasien psoriasis berat dan lama. Resiko infark
miokard terutama sekali terjadi pada pasien psoriasis usia muda
yang diderita dalam jangka waktu panjang. Pasien psoriasis juga
mempunyai peningkatan risiko limfoma malignum. Gangguan
emosional yang diikuti masalah depresi sehubungan denganm
anifestasiklinis berdampak terhadap menurunnya harga diri,
penolakan social, merasa malu, masalah seksual, dangan
gagguan kemampuan profesional. Semuanya diperberat dengan
perasaan gatal dan nyeri, dan keadaan ini menyebabkan
penurunan kualitas hidup pasien. Komplikasi yang dapat terjadi
pada pasien eritroderma adalah hipotermia dan hipoalbuminemia
sekunder terhadap pengelupasan kulit yang berlebihan juga
dapat terjadi gagalj Antung dan pneumonia. Sebanyak 10-17%
pasien dengan psoriasis pustule sageneralisata (PPG) menderita
atralgia, myalgia, dan lesi mukosa.17

Prognonsis
Meskipun psoriasis tidak menyebabkan kematian, tetapi bersifat
kronis dan residitif.18
DERMATITIS SEBOROIK

a.

Defnisi
Dermatitis seboroik adalah penyakit papuloskuamosa
kronis yang menyerang bayi dan orang dewasa sering ditemukan
pada bagian tubuh dengan konsentrasi folikel sebaseus yang
tinggi dan aktif termasuk wajah, kulit kepala, telinga, badan
bagian atas dan fleksura (inguinal, inframma dan aksila).12
b.
Epidemiologi
Dermatitis seboroik adalah penyakit inflamasi kronis yang
umum menyerang sekitar 1-3% populasi umum di Amerika
Serikat, di mana 3-5% pasien terdiri dari orang dewasa muda.
Data di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2000 sampai
2002 menunjukkan insidensi rata rata dermatitis seboroik
sebesar 8,3% dari jumlah kunjungan dan rasio pria dibandingkan
wanita 1,5 : 1.
Kejadian penyakit menunjukkan dua puncak, satu pada bayi baru
lahir hingga usia tiga bulan, dan yang lainnya pada orang dewasa
berusia sekitar 30-60 tahun.11-14 Pria lebih sering terserang
daripada wanita pada semua kelompok umur dan dapat
mengenai semua ras.
Taksiran prevalensi dermatitis seborik dibatasi oleh ketiadaan
kriteria diagnostik yang sah dan juga skala penentuan grade
keparahan. Dermatitis seboroik merupakan salah satu penyakit
kulit paling umum, kondisi ini mempengaruhi sekitar 11,6%
populasi umum dan sampai 70% bayi pada tiga bulan pertama
kehidupan.
Prevalensi dermatitis seboroik yang lebih tinggi juga ditemukan
dalamm kasus kraniosinostosi, pada polineuropati amiloidotik
familial, pada cedera otak traumatik, cedera spinal cord
traumatik, cerebrovascular accidents (CVA), epilepsi dan pada
paralisis saraf wajah. Pada tahun 1996, Ercis et al. melaporkan
bahwa 30,9% pasien penderita sindrom Down mengalami
dermatitis seboroik, akan tetapi, Daneshpazhooh et al.
melaporkan prevalensinya hanya 3%.
Penyakit sistemik lainnya di mana kejadian dermatitis seboroik
lebih tinggi meliputi infark otot jantung akut, pankreatitis
alkoholik dan kecanduan alkohol.12
c.
Etiologi dan Patogenesis

Patogenesis yang pasti dari dermatitis seboroik belum dimengerti


sepenuhnya, tetapi dermatitis ini umumnya terkait dengan jamur
Malassezia, kelainan immunologi, aktivitas sebaseus yang
meningkat dan kerentanan pasien. Spesies Malassezia dan
Propionibacterium acne juga memiliki aktivitas lipase yang
menghasilkan transformasi trigliserida ke dalam asam lemak
bebas. Ketujuh spesies Malassezia adalah lipoflik kecuali spesies
zooflik,
Malassezia pachydermatis, asam lemak bebas dan radikal
oksigen reaktif yang dihasilkan memiliki aktivitas antibakteri
yang merubah flora kulit normal. Sebagian penulis meyakini
bahwa gangguan dalam flora, aktivitas lipase dan radikal oksigen
bebas akan berhubungan erat dengan dermatitis seboroik
dibandingkan dengan perubahan respon kekebalan.
Hormon dan lipid kulit, pasien dengan dermatitis seboroik
memeperlihatkan kadar lipid permukaan kulit yang tinggi
trigliserida dan kolesterol, tetapi level yang rendah dari asam
lemak bebas dan squalene. Penderita dermatitis seboroik
biasanya mempunyai kulit kaya sebum dan berminyak. Seperti
yang telah disebutkan di atas, lipid sebum penting untuk
proliferasi Malassezia dan sintesa faktor-faktor proinflamasi
sehingga menciptakan kondisi yang sesuai untuk perkembangan
dermatitis seboroik. Lesi dermatitis seboroik sering dijumpai pada
bagian-bagian kulit yang kaya kelenjar sebum.
Dermatitis seboroik paling umum terjadi pada masa
pubertas dan remaja, selama periode ini produksi sebum paling
tinggi, hal ini berhubungan dengan hormonal yang meningkat
pada masa pubertas, oleh karena itu dermatitis seboroik lebih
umum pada laki-laki daripada perempuan, yang menunjukkan
pengaruh androgen pada unit pilosebum. Dermatitis seboroik
merupakan kondisi inflamasi, yang sebagian besar disertai
dengan keberadaan jamur Malassezia dan diduga bahwa reaksi
kekebalan yang tidak tepat bisa memberi kontribusi kepada
patogenesis
dermatitis
seboroik.
Walaupun
mekanisme
imunopatogenik yang terlibat dalam perkembangan dermatitis
seboroik belum diketahui dengan jelas. Studi yang dilaksanakan
Bergbrant et al. menunjukkan secara langsung gangguan fungsi
sel-sel T dan peningkatan sel-sel NK (natural killer) dalam darah

perifer pasien dermatitis seboroik dibandingkan dengan


kelompok kontrol. Studi yang sama menunjukkan peningkatan
konsentrasi total antibodi IgA dan IgG serum pada pasien
penderita dermatitis seboroik, yang juga ditegaskan oleh
beberapa studi lainnya, peningkatan produksi imunoglobulin
terjadi sebagai reaksi terhadap toksin jamur dan aktivitas lipase.
Faergemann et al. menemukan infltrasi sel-sel NK (natural
killer) dan makrofag pada bagian-bagian kulit yang terpengaruh ,
dengan aktivasi lokal yang bersamaan dari komplemen dan
pemicuan
sitokin
proinflamasi,
yang
semuanya
bisa
menyebabkan kerusakan pada epidermal.
Berdasarkan hasil penelitian Gupta AK pada tahun 2004
menunjukkan adanya imunodefsiensi sebagai faktor penyebab
prevalensi dermatitis seboroik lebih tinggi secara signifkan (34%83%) .10 Valia RG menyatakan pasien positip-HIV, dermatitis
seboroik yang terjadi gambaran klinisnya lebih berat (bahkan
sering mempengaruhi anggota gerak). Faktor-faktor neurogenik,
kejadian dermatitis seboroik pada pasien penderita penyakit
parkinson sudah lama diamati secara klinik, terutama pada
pasien penderita dermatitis seboroik yang sudah lama dan berat,
menciptakan kondisi yang sesuai terhadap proliferasi Malassezia.
Dermatitis seboroik dapat terjadi pada pasien dengan
parkinson, tampak perubahan dalam konsentrasi sebum yang
dipicu secara endokrinologik bukan secara neurologik. Hal ini
didukung oleh temuan-temuan tentang peningkatan konsentrasi
hormon Melanocyte Stimulating Hormon (-MSH) plasma pada
pasien penderita penyakit parkinson, mungkin disebabkan
ketiadaan faktor penghambat-MSH sebagai akibat dari aktivitas
neuronal dopaminergik yang tidak cukup. Berdasarkan penelitian
Mokos ZB dkk pada tahun 2012 dijumpai pengobatan dengan Ldopa berhasil memulihkan sintesa faktor penghambat-MSH dan
mengurangi sekresi sebum pada pasien penderita penyakit
parkinson.12 Efek sebostatik dari L-dopa ini terbatas hanya pada
pasien penderita penyakit parkinson, sementara pada kondisi
seborea lainnya seperti jerawat, L-dopa tidak mempunyai efek
pada produksi sebum.12 Lebih jauh lagi, immobilitas wajah
pasien penderita penyakit parkinson (wajah seperti-masker) bisa

secara sekunder menyebabkan peningkatan akumulasi sebum,


yang dengan demikian memberi kontribusi tambahan kepada
kecenderungan perkembangan dermatitis seboroik. Beberapa
laporan menyatakan faktor fsik seperti perawatan PUVA
(Psoralen Ultraviolet A) pada wajah juga dapat memicu dermatitis
seboroik. Efek mikrobial, patogenesis dermatitis seboroik masih
kontroversial sejak dahulu, kehadiran atau ketidakseimbangan
flora berperan dalam penyakit ini, meskipun beberapa pasien
memiliki
kultur
yang
menunjukkan
Candida
albicans,
Staphylococcus aureus, Propionobacterium acnes dan bakteri
aerob lainnya, tetapi tidak berhubungan dengan patogenesis
dermatitis seboroik.
Beberapa obat yang dikenal dapat memicu dermatitis
seboroik dari laporan beberapa penelitian seperti laporan dari
Picardo M dan Cameli N pada tahun 2008 seperti griseofulvin,
simetidin, lithium, metildopa, arsenik, emas, auranofn,
aurothioglukose, buspiron, klorpromazin, etionamid, baklofen,
interferon
fenotiasin,
stanozolol,
thiothixene,
psoralen,
methoxsalen, dan trioxsalen. Gangguan proliferasi epidermis,
pasien dengan dermatitis seboroik menunjukkan hiperproliferasi
epidermis atau diskeratinisasi yang terkait dengan peningkatan
aktivitas kalmodulin, yang juga terlihat pada psoriasis. Ini
menjelaskan mengapa pasien dengan dermatitis seboroik yang
diterapi dengan sejumlah obat sitostatik menunjukkan perbaikan.
Faktor genetik, riwayat keluarga dari dermatitis seboroik
seringkali telah dilaporkan, tetapi hanya beberapa tahun terakhir
yang memiliki mutasi (ZNF750) yang menguraikan protein fnger
zinc (C2H2) yang telah dijelaskan dan mengakibatkan terjadinya
dermatosis menyerupai dermatitis seboroik. Beberapa laporan
juga menyatakan stres oksidatif yang muncul sebagai akibat dari
over produksi oksigen radikal atau mekanisme pertahanan
antioksidan
tidak
memadai
dapat
memicu
dermatitis
seboroik.12,13
d.

Gambaran Klinis
Lesi dermatitis seboroik tipikal adalah bercak-bercak
eritema, dengan sisik-sisik yang berminyak. Penyakit ini suka
muncul di bagian-bagian yang kaya kelenjar sebum, seperti kulit

kepala, garis batas rambut, alis mata, glabela, lipatan nasolabial,


telinga, dada atas, punggung, ketiak, pusar dan sela paha.
Pasien sering mengeluhkan rasa gatal, terutama pada
kulit kepala dan pada liang telinga. Lesi pada kulit kepala dapat
menyebar ke kulit dahi dan membentuk batas eritema bersisik
yang disebut corona seborrheica.
Dua bentuk dermatitis
seboroik bisa terjadi pada dada, tipe petaloid dan tipe
pitiriasiform. Tipe petaloid diawali dengan papul-papul folikuler
dan perifolikuler merah hingga coklat, yang berkembang menjadi
bercak-bercak yang mirip bentuk mahkota bunga.
Tipe pitiriasiform mungkin merupakan bentuk berat dari
dermatitis seboroik petaloid. Tipe ini mempunyai bercak-bercak
yang mengikuti garis-garis kulit yang mirip pityriasis rosea.
Dermatitis seboroik juga dapat mengenai liang telinga yang
gambarannya seperti dermatitis kronis.
Gejala yang umum lainnya dari dermatitis seboroik adalah
blefaritis dengan kerak-kerak berwarna kekuningan sepanjang
pinggir kelopak mata. Bila hanya manifestasi ini yang ada, maka
diagnosis tidaklah sulit. Varian serius dari penyakit kulit ini
adalah exfoliative erythroderma (seborrheic erythroderma.
Komplikasi yang utama pada lesi adalah infeksi sekunder,
tampak eritema, eksudat, gangguan kenyamanan dan
limfadenopati pada daerah yang terkena.12,14
e.

Diagnosis
Dermatitis seboroik mempunyai ciri-ciri unik tergantung
pada kelompok usia yang terpengaruh, bentuk anak sifatnya
dapat sembuh sendiri, sementara pada orang dewasa penyakit
ini sifatnya kronis. Lesi terdiri dari plak eritema, bersisik dengan
tingkat keparahan dan intensitas yang bervariasi.
Pada masa bayi, dermatitis seboroik sering dijumpai
dalam tiga bulan pertama kehidupan berupa sisik pada kulit
kepala. Gambaran khas yang berupa sisik-sisik kekuningan yang
muncul segera setelah lahir. Kondisi ini juga bisa berkembang
pada wajah dan pada lipatan-lipatan tubuh seperti pada daerah
retroaurikular, leher, ketiak dan daerah paha.
Pada orang dewasa, dermatitis seboroik adalah
dermatosis kronis berulang yang dimulai dari eritema ringan

sampai moderat hingga lesi papular, eksudatif dan bersisik,


semakin memburuk jika disertai stres atau kurang tidur. Dengan
tingkat puritus bervariasi. Lesi terutama berkembang pada
daerah yang produksi sebumnya tinggi seperti kulit kepala,
wajah, telinga eksternal, daerah retroaurikular dan daerah prasternal, kelopak mata dan lipatan-lipatan tubuh. Lesi pada kulit
kepala dimulai dari pengelupasan ringan hingga kerak-kerak
berwarna kekuningan yang melekat pada kulit kepala dan
rambut, yang bisa memicu atau tidak terjadinya daerah alopesia
(pseudo tinea amiantacea). Pada wajah, keterlibatan daerah
glabela dan malar, lipatan nasolabial dan alis mata merupakan
ciri khas. Keterlibatan kelopak mata menyebabkan blefaritis,
pada pria daerah kumis juga bisa terpengaruh dengan lesi
dermatitis seboroik. Dalam lipatan-lipatan kulit (ketiak, pusar,
inguinal, daerah anogenital), bentuk lesi berupa maserasi,
lembab dengan dasar eritema pada sekitar lesi.12,13
f.
Diagnosis Banding
Dijumpai sejumlah penyakit yang serupa dengan
dermatitis seboroik. Psoriasis pada kulit kepala (scalp psoriasis)
muncul sebagai plak bersisik pada kulit kepala dengan batas
yang tegas mungkin sulit dibedakan dari dermatitis seboroik.
Dermatitis seboroik pada kepala juga bisa mirip dengan tinea
kapitis untuk membedakannya dilakukan pemeriksaan kerokan
KOH 20% dan kultur jamur. Rosasea dan sistemik lupus
eritematosus bisa menimbulkan eritema pada wajah yang mirip
dengan dermatitis seboroik.\ Dermatitis seboroik pada lipatan
nasolabial mirip dengan dermatitis perioral, dermatitis seboroik
pada daerah dada dan punggung yang mirip dengan ptiriasis
rosea dan ptiriasis versikolor, dermatitis seboroik pada daerah
paha bisa mirip dengan dermatoftosis, psoriasis inversa,
kandidiasis dan kadang-kadang histiositosis sel langerhans.12
g.
Histopatologi
Gambaran histopatologi bervariasi menurut stadium
penyakit: akut, subakut, atau kronik. Pada dermatitis seboroik
akut dan subakut, infltrat perivaskuler superfsial dari limfosit
dan histiosit jarang, spongiosis ringan sampai sedang, hiperplasia
psoriasifrom ringan, sumbatan folikuler oleh ortokeratosis dan
parakeratosis, skuama atau krusta mengandung netrofl pada

ujung ostia folikuler. Pada dermatitis seboroik kronis dijumpai


kapiler dan vena kecil yang berdilatasi pada pleksus superfsial.
Lesi dermatitis seboroik kronik secara klinis dan
histopatologis berupa bentuk psoriasiform sehingga sering sulit
dibedakan dengan psoriasis. Bentuk psoriasis memberikan
banyak gambaran yang sama dengan dermatitis seboroik. Lesi
yang menyerupai psoriasis dapat berlangsung bertahun-tahun
sebelum akhirnya berubah menjadi psoriasis yang jelas. 12
h.
Pengobatan
a)
Pertimbangan umum
Pada umumnya, terapi ditujukan untuk melunakkan dan
menghilangkan skuama dan krusta, menghambat kolonisasi
jamur, mengontrol infeksi sekunder, dan mengurangi eritema
dan gatal. Pasien DS dewasa harus diberi penjelasan mengenai
sifat kronik penyakit dan memahami bahwa terapi bekerja
dengan cara mengontrol penyakit dan bukan mengobati.
Prognosis DS infantil bagus karena penyakit bersifat jinak dan
self-limited.
b)
Terapi DS pada bayi

Skalp : Terapi terdiri atas: menghilangkan krusta dengan


asam salisilat 3% dalam oleum olivarium atau water-soluble
base; kompres hangat oleum olivarium; steroid topikal potensi
rendah (hidrokortison 1%) dalam krim atau lotio untuk
beberapahari; anti jamur topikal (imidazole dalam shampo);
sampo bayi ringan; perawatan kulit dengan emolien, krim, dan
pasta lunak.

Daerah intertriginosa : Drying lotion, seperti klioquinol


0.2-0.5% dalam lotio zink atau zink minyak. Dalam kasus
kandidiasis, lotio atau krim nistatin atau amfoterisin B dilanjutkan
dengan pasta lunak. Pada keadaan dermatitis eksudatif,
diberikan gentian violet 0.1%-0.25%. Ketokonazole 2% dalam
pasta lunak, krim, atau lotio dapat pula membantu. Diet. Tidak
efektif (diet rendah lemak, biotin, vit B komplek, asam lemak
esensial).

Terapi DS pada dewasa

DS pada dewasa berlangsung lama dan tidak dapat


diprediksi, disarankan regimen terapi yang ringan dan hati-hati.
Agen anti radang dan, bila ada indikasi, diberikan antimikrobial
dan anti fungal.

Skalp :
Sampo diberikan sering dengan sampo
mengandung selenium sulfd 1-2.5%, ketokonazole 2%, zink
pirition, benzoil peroksid, asam salisilat, coal /juniper tar, atau
detergen. Krusta atau skuama dapat dihilangkan dengan
pemberian steroid atau asam salisilat dalam water-soluble base,
yang diberikan sepanjang malam. Tingtur, alcoholic solution, hair
tonic, biasanya akan merangsang stadium inflamasi sehingga
harus dihindari. Pada pityriasis amiantasea, skuama harus
dihilangkan dengan salap oleum cadini atau salap tar/salicylic.
Setelah 4-6 jam, salap dibuang dengan sampo yang sesuai
(sampo tar/imidazol). Pada beberapa kasus, dapat diberikan
krim/larutan steroid topikal poten. Bila terapi topikal gagal,
diberikan prednisolon oral 0.5 mg/kg/hari selama kisaran 7 hari,
dikombinasikan dengan steroid topikal (mula-mula dengan oklusi
kemudian tanpa oklusi). Pemberian antimikrobial (makrolid,
sulfonamid) hanya untuk kasus yang bandel, terutama bila
koinfeksi bakteri pada skalp terbukti atau dicurigai.

Wajah
dan
badan.
:
Pemakaian
salap
yang
berlemak/greasy dan sabun harus dihindari, demikian pula,
larutan beralkohol atau lotion untuk cukur jenggot. Hidrokortison
1% cukup menolong. Pemakaian jangka lama tidak terkontrol
dapat menimbulkan efek samping steroid dermatitis, steroid
rebound phenomenon, steroid rosacea, dan dermatitis perioral.

Seborrheic otitis externa :


Terbaik diobati dengan
krim/salap steroid potensi rendah. Preparat telinga yang
mengandung neomisin, antibiotik, atau kombinasi, merupakan
sensitizer kuat sehingga harus dihindari. Bila otitis teratasi,
steroid harus dihentikan dan larutan mengandung aluminum
asetat diberikan 1 atau 2 x/hari untuk mempertahankan kondisi
yang sudah dicapai (bekerja sebagai drying agent dan
mengurangi flora mikrobial). Salap dasar atau plain petroleum
jelly, dioles dalam liang telinga (tanpa cotton tips), sering
menolong mempertahankan kepuasan pasien. Pimekrolimus
topikal juga efektif.


Seborrheic blepharitis. : Direkomendasikan pemberian
kompres hangat dan debridemen secara lembut dengan cottontipped applicator dan baby shampoo, 1 atau 2 x/hari. Kasus yang
bandel, memerlukan antibiotik topikal (sodium sulfacetamide
ophthalmic ointment). Bila terdapat Demodex folliculorum dalam
jumlah besar, dapat dicoba pemberian krotamiton, permetrin,
atau benzoil peroksid.

pasein tertentu, karena mempunyai efek anti radang dan anti


jamur.

Isotretinoin : Isotretinoin oral (13-cis-retinoic acid) juga


berguna, walaupun belum disetujui. Dosis rendah (0.05-0.1
mg/kg/hari) untuk beberapa bulan, menyembuhkan DS bandel.
Pemberian pada wanita masa subur, semua persyaratan
pemberian harus dipenuhi.

Fototerapi
Fototerapi narrow-band UVB tampaknya efektif dan aman untuk
pasien dengan DS berat dan refrakter, dan PUVA telah digunakan
dengan sukses pada DS stadium eritrodermik.25

Prognosis
Dapat sembuh dengan sendirinya disertai prognosis yang
baik pada bayi dibandingkan dengan kondisi kronis dan relaps
pada orang dewasa. Tidak ada bukti yang menyatakan bayi
dengan dermatitis seboroik juga akan mengalami penyakit ini
pada saat dewasa. Pasien dermatitis seboroik dewasa dengan
bentuk berat kemungkinan dapat persisten.12

Anti jamur
Anti jamur topikal yang berhasil adalah golongan imidazol
(itrakonazol,
mikonazol,
flukonazol,
ekonazol,
bifonazol,
climbazole, siklopirox, dan siklopiroxolamin). Response rate yang
dicapai antara 63% sampai 90% setelah 4 minggu. Golongan
imidazol yang paling banyak digunakan adalah ketokonazol.
Dalam beberapa penelitian, krim ketokonazol 2% diketahui sama
efektif dengan krim steroid, kadang dengan remisi lebih lama.
Dalam penelitian terbatas, krim butenafne 1%, derivat
benzylamine menunjukkan efektivitas sebagai terapi topikal pada
DS.
Ketokonazol, itrakonazol, dan terbinafne oral efektif pula,
tetapi karena efek samping potensial dan pertimbangan
ekonomi, harus dibatasi pada kasus berat atau parah. Agen anti
jamur memiliki spektrum yang luas, termasuk sifat anti radang
dan hambatan pada sintesis lipid dinding sel. Efek tersebut
bukan bukti dari causal relationship antara M. furfur dan DS.

Metronidazol : Metronidazol topikal adalah alternatif


berharga dalam pengobatan DS. Obat telah digunakan dengan
sukses pada rosasea. Formulasi (1-2% dalam dasar krim) atau
produk komersial (0.75% gel, krim atau lotion; krim 1%) dipakai
1-2 x/hari.

Lithium : Lithium succinate dan lithium gluconate


merupakan agen lain yang efektif dalam pengobatan DS.

Inhibitor calcineurin : Takrolimus dan pimekrolimus topikal


merupakan alternatif superior steroid, karena mempunyai efek
anti radang dan tidak mempunyai efek samping jangka panjang.
Takrolimus menunjukkan pula efek anti jamur.

Analog vit D3 : Krim/lotion calcipotriol, salap calcitriol,


atau salap tacalcitol direkomendasikan pula dan berguna pada

NEURODERMATITIS SIRKUMSKRIPTA (LIKEN SIMPLEKS KRONIKUS)


a.
Defenisi
Neurodermatitis Sirkumskripta atau juga dikenal sebagai Liken
Simpleks Kronikus adalah peradangan kulit kronis, gatal,
sirkumskrip, dan khas ditandai dengan likenifkasi menyerupai
kulit batang kayu, akibat garukan atau gosokan yang berulangulang karena berbagai rangsangan pruritogenik.15
b.
Patogenesis
Stimulus untuk perkembangan neurodermatitis sirkumskripta
adalah pruritus. Pruritus sebagai dasar dari gangguan kesehatan
dapat berhubungan dengan gangguan kulit,proliferasi dari
nervus, dan tekanan emosional.Pruritus yang memegang
peranan penting dapat dibagi dalam dua kategori besar, yaitu
pruritus tanpa lesi dan pruritus dengan lesi. Pasien dengan
neurodermatitis mempunyai gangguan metabolik atau gangguan
hematologik.Pruritus tanpa kelainan kulit dapat ditemukan pada
penyakit sistemik, misalnya gagal ginjal kronik, obstruksi kelenjar
biliaris, Hodgkins lymphoma , polisitemia rubra vera,

hipertiroidisme, gluten-sensitive enteropathy, dan infeksi


imunodefsiensi. Pruritus yang disebabkan oleh kelainan kulit
yang terpenting adalah dermatitis atopik, dermatitis kontak
alergi, dermatitis statis, dan gigitan serangga.
Beberapa jenis kulit lebih rentan mengalami likenefkasi,
contohnya kulit yang cenderung ekzematosa seperti dermatitis
atopi dan diathesis
atopi.Terdapat hubungan antara jaringan
saraf perifer dan sentra dengan sel-sel inflamasi dan produknya
dalam persepsi gatal dan perubahan yang terjadi pada liken
simpleks kronis. Hubungan ini terutama dalam hal lesi primer,
faktorfsik, dan intensitas gatal.15,16
c.
Etiologi
1)
Faktor eksterna15

Lingkungan
Faktor lingkungan seperti panas dan udara yang kering dapat
berimplikasi dalam menyebabkan iritasi yang dapat menginduksi
gatal .Suhu yang tinggi memudahkan seseorang berkeringat
sehingga dapat mencetuskan gatal, hal ini biasanya
menyebabkan neurodermatits sirkumskripta pada daerah
anogenital.

Gigitan Serangga
Gigitan serangga dapat meyebabkan reaksi radang dalam tubuh
yang mengakibatkan rasa gatal.

Faktor Interna

Dermatitis Atopik
Asosiasi antara neurodermatitis sirkumskripta dangan gguan
atopik telah banyak dilaporkan, sekitar 26% sampai 75% pasien
dengan dermatitis atopic terkena neurodermatits sirkumskripta.
2,3

Psikologis
Anxietas telah dilaporkan memiliki prevalensi tertinggi yang
mengakibatkan neurodermatitis sirkumsripta. Anxietas sebagai
bagian dari proses patologis dari lesi yang berkembang. 15

Gejala klinis
Penderita mengeluhkan rasa gatal yang hebat, bila timbul
malam hari dapat menggangu tidur.Rasa gatal memang tidak

terus menerus, biasanya pada waktu tidak sibuk, bila muncul


sulit di tahan untuk di garuk.Penderita merasa enak bila digauk,
setelah luka baru hilang rasa gatal nya untuksementara.
Lesi biasanya tunggal, pada awalnya berupa plak
eritematoa, sedikit edematosa, lambat laun edema dan eritema
menghilang, bagian tengah berskuama dan menebal, likenfkasi
dan ekskoriasi sekitarnya hiperpigmentasi, batas dengan kulit
normal tidak jelas.Wanita lebih sering mengenai bandingkan
pria.Letak lesi dapat timbul di mana saja, tetapi yang biasa
ditemukan ialah scalp tengkuk, samping leher, lengan
bagianektensor, pubis,vulva, krotum,perianal, bagian medial
paha, lutut, tungkai bawah lateral, pergelangan kaki bagian
depan, dan punggung kaki. 15,16

Pemeriksaan penunjang
Pasien dengan neurodermatitis sirkumskripta positif terhadap
patch test. Pada dermatitis atopik dan mikosis fungiodes bisa
terjadi likenefkasi generalisata oleh sebab itu merupakan
indikasi untuk melakukan patch test.Pada pasien dengan pruritus
generalisata yang kronik yang diduga disebabkan oleh gangguan
metabolik dan gangguan hematologi, maka pemeriksaan hitung
darah harus dilakukan, juga dilakukan tes fungsi ginjal dan hati,
tes fungsi tiroid, elechtroporesis serum, tes zat besi serum, tes
kemampuan pengikatan zat besi (iron binding capacity), dan foto
dada. Kadar immunoglobulin E dapat meningkat pada
neurodermatitis yang atopik, tetapi normal pada neurodermatitis
nonatopik. 15

Pengobataan
Sedapat-dapatnya mencari penyebab atau factor yang
memprovokasi.Bila
kulit
kering,
diberi
pelembab
atau
emolien.Secara topical lesi dapat diobati dengan obat anti
inflamasi, misalnya preparat ter, glukokortikoid, takrolimus, atau
pimekrolimus.Bila lesi masih eksudatif, sebaiknya dikompres
dahulu dengan larutan permanganas kalikus 1:10.000. kalo
ditemukaan infeksi bilateral, diberikan antibiotic secara
sistematik. Kortikosteroid sistemik hanya diberikan pada kasus

yang berat dan refrakter, dalam jangka pendek.Pruritus dapat


diobati dengan antihistamin golongan h1, hidroksin hcl.15,16
LUPUS ERITEMATOSUS KUTAN
a.
Defenisi
Lupus eritematosus kutan merupakan penyakit
yang
melibatkan jaringan konektif dan pembuluh darah. Penyakit lupus
ini merupakan penyakit autoimun yaitu penyakit yang terjadi
akibat system imun tubuh yang seharusnya berfungsi melawan
kuman dan benda asing, mengalami kelaianan hiperaktif
sehingga justru menyerang sel,jaringan dan organ tubuh yang
sehat.Penyakit ini dapat menyerang semua usia termasuk bayi
dan lebih sering ditemukan pada perempuan berusia 15-45
tahun.21
b.
Etiopatogenesis
Sepenuhnya penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti
namun berhubungan erat dengan etiopatogenesis dari LES.
Factor pejamu dan factor lingkungan menyebabkan hilangnya
self-tolerance dan menginduksi proses autoimun. Hal ini diikuti
aktivasi dan ekspansi system imun sehingga mencetuskan
penyimpangan imunologik yang berdampak pada beberapa
organ dan tampilan klinis penyakit.Beberapa penelitian baru
memfokuskan pada peran sinyal interferon- (IFN-) dalam
pathogenesis LE.
Selain predisposisi genetic, pajanan factor lingkungan, misalnya
radiasi ultraviolet (UV), infeksi virus, obat, dan rokok mempunyai
peran besar dalam perkembangan penyakit LE. Radiasi UV
mempunyai peran paling penting dalam fase induksi penyakit LE
Kutan. UVB menyebabkan apoptosis keratinosit dan autoantigen
Ro/SS-A, La/SS-B, serta calreticulin, berpindah dari lokasi normal
di dalam keratinosit ke permukaan sel. UVB juga diketahui
menginduksi dan meningkatkan ekspresi beberapa kemokin
sehingga mengaktifkan sel T autoreaktif dan INF-, sel dendrit
yang mempunyai peran utama dalam pathogenesis LE.21,22
c.
Klasifkasi
1)
Lupus eritematosus kutan akut
LE Kutan akut lokalisata biasanya ditemukan diwajah berupa lesi
malar atau butterfly rash dan dilaporkan terjadi pada 20-60%

pasien LES. Gambar khas berupa lesi eritematosa yang simetris


dan konfluens,serta edema pada area malar dan melintasi
hidung. Biasanya dimulai dengan macula kecil atau papul pada
wajah kemudian konfluens dan hiperkeratotik. Terkadang dapat
meluas sampai ked ahi,dagu dan leher area V. Jarang ditemukan
mengenai lipatan nasolabial.
LE Kutan Akut generalisata merupakan perluasan lesi
maculopapular atau erupsi eksantematosa yang biasanya
mengenai ekstremitas atas dan tangan sisi ekstensor dan jarang
melibatkan sendi.Lesi maculopapular ditemukan pada 35-60%
LES.
2)
Lupus eritematosus kutan subakut
Gambaran klinis berupa makula atau papul eritematosa yg
berkembang menjadi lesi papulo-skuamosa atau plak anular
hiperkeratotik. Lesi sangat fotosensitif & ditemukan pada area yg
mudah terpajan UV, yi : punggung atas, bahu, lengan sisi
ekstensor, area leher V & jarang sekali di wajah. Bila mengenai
wajah, biasanya pada sisi lateral.
Lesi biasanya menetap lebih lama dibandingkan lesi pada LE
Kutan Akut
& meninggalkan makula pigmentasi dalam waktu
cukup lama. Lesi LE Kutan Subakut mengalami resolusi tanpa
meninggalkan jaringan parut/skar.
3)
Lupus eritematosus kutan kronik
Lesi diskoid klasik (DLE) merupakan bentuk yg paling sering
ditemukan, dimulai makula merah keunguan, papul atau plak
kecil yg secara cepat berkembang menjadi permukaan yg
hiperkeratotik.
Lesi diskoid awal berupa plak eritematosa dgn bentuk
menyerupai uang logam yg berbatas tegas, ditutupi skuama yg
lekat & menutupi folikel rambut.
Bentuk khas lesi diskoid adalahplak eritema yg meluas dgn area
hiperpigmentasi di bagian perifer, meninggalkan skar atrofk
pada bgn sentral , teleangiektasis & hipopigmentasi.
Area rambut menyebabkan alopesia dgn skar, shg menyebabkan
deformitas & sering memengaruhi kualitas hidup pasien.

Keterlibatan folikel berupa


keratotic plug
merupakan
gambaran yg dominan.
LE Kutan kronik mempunyai predileksi pada wajah,
skalp,telinga, area leher V & sisi ekstensor ekstremitas.
Bila lesi diskoid meluas sampai kebawah bgn leher, maka
digolongkan dalam LE Kutan kronik generalisata & dihubungkan
dgn LES serta rekalsitran terhadap pengobatan.21,22
4)
Gambaran klinis
1)
Demam
2)
Cepat lemas dan capek
3)
Nyeri sendi, otot dan edema
4)
Bercak merah (malar rash) di pipi atau discoid rash di kulit
setelah terkena sinar matahari
5)
Rambut rontok
6)
Sariawan.21
7)
Komplikasi
1)
Ginjal Nefritis lupus dengan akibat gagal ginjal
2)
Jantung pericarditis dan jantung iskemik
3)
Paru pleuritic dan pneumonia
4)
Mata katarak
5)
Ibu hamil keguguran, lahir premature, lupus neonatal
6)
Kelainan system darah anemia, leukopenia dan
trombositopenia.22
7)

Pemeriksaan penunjang
Beberapa autoantibodi mempunyai hubungan erat
dengan LE, sehingga pada LE kutan akut sering ditemukan titer
tinggi ANA, anti-dsDNA, anti Smith dan hipokomplementemia.
Penanda pada LE kutan subakut adalah autoantibodi anti Ro/SS-A
(70-90%) dan anti-La/SS-B (30-50%).ANA dapat ditemukan [ada
60-80% dan factor rheumatoid pada segetiga pasien LE Kutan
subakut. Pada LE Kutan kronik dapat ditemukan titer ANA yang
rendah ( 30-40%). Hanya 5% pasien LED ditemukan titer ANA
tinggi.
Pada pemeriksaan histopatologi LE kutan spesifk dapat
ditemukan hiperkeratotik, atrof epidermal degenerasi mencair

sel basal, penebalan membrane DEJ, edema dan dermis, deposit


musin, serta infltrate sel mononuclear yang dominan tersebar di
perivaskuler dan sekitar adneksa kulit.
Pada pemeriksaan imunofluoresensi langsung pada kulit
yang tampak normal pasien LES dapat dilihat pita terdiri atas
deposit granular immunoglobulin G, M atau A dan komplemen
C3 pada taut epidermal-dermal yang disebut lupus band. Hal ini
dapat dilihat pada 90-100% pasien LES.22
8)
Penatalaksanaan
1)
Pencegahan
Adapun tujuan dari terapi LED adalah untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien, mengontrol lesi yang telah ada,
mengurangi bekas lesi, dan untuk mencegah perkembangan lesi
lebih lanjut. Pengobatan dimulai dengan menghindari faktor
pencetus misalnya panas, obat-obatan dan tentunya sinar
matahari dan semua sumber yang menyebabkan paparan radiasi
sinar UV. Adapun cara yang digunakan untuk melindungi kulit
adalah memakai pakaian yang tertutup, topi yang lebar. Selain
itu pasien disarankan untuk menghindari penggunaan obat
obatan
fotosensitif
seperti
Hidroclorothiazid,
tetrasklin,
griseofulvin, dan piroxicam.21
2)
Pengobatan topikal
Proteksi sinar matahari dengan menggunakan tabir surya
spektrum luas-kedap air [SPF 15 dengan agen penghambat
UVA seperti parsol dan mikronized titanium dioksida.
Glukokortikoid lokal. Walaupun penggunaan potensi medium dari
preparat ini seperti triamcinolon acetonide 0,1% pada area
sensitif wajah, obat topikal superpoten kelas satu seperti
clobetasol
proprionat
atau
betametason
diproprionat
memberikan hasil yang memuaskan pada kulit. Penggunan 2 kali
sehari selama 2 minggu diikuti dengan 2 minggu periode
istirahat dapat meminimalkan komplikasi seperti atropi dan
telengiektasis. Salep lebih efektif daripada krim pada lesi
hiperkeratosis
Glukokortikoid intralesi. Penggunaan intalesi glukokortikoid
seperti suspensi triamsinolon asetonida 2,5 sampai 5 mg/ml pada

wajah dengan konsentrasi tinggi dibolehkan pada kulit yang


kurang sensitif. Hal ini diindikasikan pada lesi hiperkeratosis atau
pada lesi yang tidak merespon pada penggunaan kortikosteroid
lokal, namun pasien dengan lesi yang terlalu banyak perlu
berhati-hati dengan penggunaan terapi ini.21
3)
Pengobatan Sistemik
Anti malaria adalah obat pilihan yang efektif untuk LED. Klorokuin
[CQ] Hidroklorokuin [HCQ], dan kuinakrin adalah tiga obat yang
sering digunakan. Adapun mekanisme dari obat ini adalah
4)
Menginterfensi proses antigen dalam makrofage dan sel
presenting antigen lainnya
5)
Mengurangi
formasi
dari
peptida

Major
Histocompatibility Complex [MHC] kompleks protein sehingga
menurunkan stimulasi dari autoreaktif CD4+ sel T dan
menurunkan pelepasan sitokin.
6)
Memperkenalkan apoptosis pada limfosit, dan
7)
Menurunkan kadar IL-6, IL-1, dan TNF-..
Pada beberapa pasien, hidoklorokuin dimulai dengan dosis 200
mg per hari untuk menilai toleransi saluran cerna terhadap dosis
obat yang diberikan. Apabila pasien tidak mengalami diare atau
gangguan saluran cerna dosis ditingkatkan dua kali lipat menjadi
dua kali 200 mg per hari. Dosis maksimal hidroklorokui kurang
dari 6,5 mg/kgBB/hari. Pemberian hidroklorokuin selama 34minggu pertama kemudian dosis dikurangi perlahan-lahan
selama 3-4 minggu kemudian dengan pemberian 1 kali sehari.
Sedangkan Kuinakrin dapat diberikan jika tidak ada respon
terhadap klorokuin dan hidroklorokuin. Efek samping dari
klorokuin adalah retinopati pada mata, sakit kepala mengantuk
dan gangguan sistem saluran cerna.
Kategori Obat: Obat Anti Malaria mungkin memiliki bagian
imunomodulator. Hidroksikloroquin merupakan obat pilihan
utama [drug of choice] bila obat sistemik dibutuhkan untuk LED.
Kloroquin adalah obat pilihan kedua.22
Nama Obat
Hidroksikloroquin [Plaquenil] Untuk pengobatan
LED dan LES. Menghambat kemotaksis eosinofl, gerakan netrofl,
dan
merusak
reaksi
komplemen
antigen
antibodi.
Hidroksikloroquin sulfat 200 mg sama dengan 155 mg
hidroksikloroquin basa dan

250 mg kloroquin fosfat.


Dosis Dewasa 200-400 mg/hr PO; tidak melebihi 6.5 mg/kgBB/hr;
310 mg PO 4x/hr atau 2x/hr selama beberapa minggu tergantung
respon; 155-310 mg/hr untuk terapi jangka panjang.
Dosis Anak
6.5 mg/kgBB/hr PO; 3-5 mg basa/kgBB/hr PO 4x/hr
atau 2x/hr; tidak melebihi 7 mg/kg/hr.
Kontraindikasi Hipersensitiftas; psoriasis; gangguan retina dan
lapangan pandang akibat 4-aminoquinolon.
Interaksi Obat Jumlah penisillamin dapat meningkat; level serum
meningkat bersama simetidin; magnesium trisilikat dapat
menurunkan absorbsi.
Kehamilan
Keamanan penggunaan selama kehamilan tidak
dijelaskan.
Perhatian
Melewati plasenta dan dapat menyebabkan
toksisitas pada ocular, SSP, dan ototoksik pada fetus; jangan
gunakan selama menyusui; batasi penggunaan pada anak pada
dosis yang aman untuk mencegah kemungkinan yang fatal;
toksisitas ocular dapat disebabkan oleh hidroksikloroquin dan
kloroquin tapi tidak oleh quinakrin; lakukan pemeriksaan
oftalmologi yang teratur selama terapi.
Nama Obat
Kloroquin [Aralen] Menghambat kemotaksis
eosinofl, gerakan netrofl, dan merusak reaksi komplemen
antigen antibodi.
Dosis Dewasa 250-500 mg PO 4x/hr
Dosis Anak
10 mg/kgBB PO 1 jam pertama, kemudian 5
mg/kgBB 6 jam berikutnya, diikuti dengan 5 mg/kgBB pada hari
kedua dan ketiga.
Kontraindikasi Hipersensitiftas; psoriasis; gangguan retina dan
lapangan pandang akibat 4-aminoquinolon.
Interaksi Obat Simetidin dapat meningkatkan level serum dari
kloroquin [kemungkinan 4-aminoquinolon yang lain]; magnesium
trisilikat dapat menurunkan absorbsi dari 4-aminoquinolon.
Kehamilan
Keamanan penggunaan selama kehamilan tidak
dijelaskan.
Perhatian
Perhatian pada penyakit hati, defsiensi G-6-PD,
psoriasis, porfria; tidak dianjurkan terapi jangka panjang pada

anak-anak; lakukan pemeriksaan oftalmologi yang teratur;


lakukan tes untuk kelemahan otot.
Glukokortikoid sistemik sebaiknya tidak digunakan pada kasus
dengan lesi yang sedikit, namun pada beberapa kasus khususnya
pada kasus berat dan simtomatik metilprednisolon intravena
dapat digunakan. Imunosupresif lain seperti azatioprin [imuran]
1,5 -2 mg/kg/hari oral dapat bertindak sebagai glukokortikoidsparing kasus berat lupus eritematosus kulit. Mikofenolat mofetil
[25-45 mg/kg/hari oral] maerupakan analog purin yang serupa
dengan azatioprin. Metotreksat [7,5-25mg/kg oral sekali
seminggu] efektif untuk kasus berat yang refrakter.22
8)

Prognosis
LE Kutan akut sangat erat hubungannya dengan
LES,sehingga prognosis sangat bergantung pada aktivitas dan
derajat keparahan LES. Pada pasien dengan LE kutan subakut
15% berkembang menjadi LES,termasuk nefritis lupus.
Dibutuhkan pemantauan jangka panjang pada pasien LE Kutan
subakut untuk penemuan dini resiko progresivitas keterlibatan
sistemik.
Kebanyakan pasien dengan lesi diskoid yang diterapi
dapat berkembang menjadi skar yang secara progresif melebar
dan alopesia skar. Hal ini sangat mengganggu secara psikososial
dan menurunkan kualitas hidup pasien. Jarang sekali lesi dapat
resolusi spontan. Pada penghentian terapi, lesi non-aktif dapat
mengalami eksaserbasi

Skenario 4
Laki-laki berusia 39 tahun datang ke poliklinik dengan kemerahan
dan bintik kecil warna merah pada wajah, sekitar bibir dan leher
sejak sebulan yang lalu. Keluhan tampak makin merah jika
terkena sengatan matahari dan kadang disertai gatal. Sudah
berobat ke puskesmas dan diberi obat tetrasiklin dan kloroquin
tetapi belum sembuh namun keluhan sedikit berkurang. Pada
pemeriksaan fsis ditemukan papel, pustula dan plak eritema
kedua pipi serta pelebaran pembuluh darah di sekitar hidung.
Keluhan makin hebat seiring dengan bertambahnya usia
penderita dan stres. Riwayat keluarga yakni adik kandung
dengan keluhan yang sama.
10.
Differensial Diagnosis
ROSASEA

Defnisi
Penyakit kulit kronis pada daerah sentral wajah (yang
menonjol/cembung) yang ditandai dengan kemerahan pada kulit
dan
telangiektasi
disertai
episode
peradangan
yang
memunculkan erupsi, papul, pustul dan edema.

Etiologi dan patogenesis


Etiologi rosasea tidak diketahui. Ada beberapa hipotesis faktor
penyebab:
a.
Makanan: alcohol merupakan penyebab rosasea yang
diutarakan sejak zaman Shakespeare dan pernah ditulis dalam
salah satu bukunya. Konstipasi, diare pemyakit gastrointestinal
dan bahkan penyakit kelenjar empedu telah pula dianggap
sebagai faktor penyebabmya.
b.
Psikis
c.
Obat: adanya peningkatan bradikinin yang dilepas dari
adrenalin pada saat kemerahan kulit flushing menimbulkan
dugaan adanya peranan berbagai obat, baik sebagai penyebab
maupun yang dapat digunakan sebagai terapi rosasea.

d.
Infeksi: Demodex folliculorum dahulu dianggap berperan
pada etiologi rosasea, namun akhir-akhir ini mulai ditinggalkan.
e.
Musim: Peran musim panas atau musim dingin, termasuk
didalamnya peran sinar ultraviolet matahari yang dapat
menimbulkan kerusakan pembuluh darah kulit penyebab eritema
persisten masih terus diselidiki karena belum jelas dan
bertentangan hasilnya.
f.
Imunologis: dari lapisan dermo-epidermal penderita
rosasea ditemukan adanya deposit immunoglobulin oleh
beberapa peneliti, sedang di kolagen papiler ditemukan antibody
antikolagen dan antinuclear antibody sehingga ada dugaan
faktor imunologis pada rosasea.
g.
Lainnya: defsiensi vitamin, hormonal dan sebore pernah
disangka berperan pada etiologi rosasea namun tidak dapat
dibuktikan.

Epidemiologi
Rosasea sering diderita pada umur 30-40an, namun dapat pula
pada remaja maupun orang tua. Umumnya wanita lebih sering
terkena dari pada pria. Ras kulit putih (kaukasia) lebih banyak
terkena dari pada kulit hitam (negro) atau berwarna (polinesia),
dan di negara barat lebih sering pada mereka yang bertararf
sosio-ekonomi rendah.

Gejala klinis
Tempat predileksi rosasea adalah di sentral wajah, yaitu hidung,
pipi, dagu, kening, dan alis. Kadang-kadang meluas ke leher
bahkan pergelangan tangan atau kaki. Lesi umumnya simetris.
Gejala utama rosasea adalah eritema, telangiectasia, papul,
edema, dan pustule. Komedo tak ditemukan dan bila ada
mungkin kombinasi dengan akne (komedo solaris, akne
komestika). Adanya eritema dan telangiectasia adalah persisten
pada setiap episode dan merupakan gejala khas rosasea. Papul
kemerahan pada rosasea tidak nyeri, berbeda dengan akne
vulgaris, dan hemisferikal. Pustule hanya ditemukan pada 20%
penderita, sedang edema dapat menghilang atau menetap
antara episode rosasea.
Pada tahap awal (stadium I) rosasea dimulai dengan
timbulnya eritema tanpa sebab atau akibat sengatan matahari.

Eritema ini menetap lalu diikuti timbulnya beberapa


telangiectasia.
Pada tahap kemudian (stadium II) dengan selingi episode
akut yang menyebabkan timbulnya papul, pustule, dan edema,
terjadilah eritema persisten dan banyak telangiectasia, papul,
dan pustule.
Pada tahap lanjut (stadium III) terlihat eritema persisten
yang dalam, banyak telangiectasia, papul, pustule, nodus, dan
edema. Komplikasi rinofma atau peradangan okuler merupakan
hal yang terjadi kemudian.

Histopatologi
Gambaran histopatologi rosasea khas namun tidak patonomonil.
Terdapat ektasia vaskuler, edema dermis, dan disorganisasi
jaringan konektif dermis. Solar elastosis juga sering terlihat.
Derajat peradangan tergantung pada kondisi dan stadium lesi.
Sel radang limfosit dan histiosit dan bahkan sel raksasa pada
dermis dan perivaskuler, sel plasma dan sel mast dapat juga
terlihat, apalagi bila edema berlangsung lama. Pasa pustule
terdapat sebaran sel PMN sekitar folikel. Demodex folliculorum
sering dapat ditemukan dalam folikel infundibulum dan duktus
sebasea.

Pengobatan
1)
Topical
a.
Tertrasiklin, klindamisin, eritomisin dalam salap 0,5-2,0%.
Eritomosin lebih baik hasilnya dibandingkan lainnya.
b.
Metronidasol 0.75% gel atau krim 2% efektif untuk lesi
papul dan pustule
c.
Imidasol sendiri atau dengan ketokonasol atau sulfur 2-5%
dapat dicoba
d.
Isotretinoin krim 0.2% juga bermanfaat
e.
Antiparasit untuk membunuh D.follikuloru; Misalnya
lindane, krotamiton, atau bensoil bensoat.
f.
Kortikosteroid kekuatan rendah (krim hidrokortison 1%)
hanya dianjurkan pada stadium berat.
2)
Sistemik
a.
Tertrasiklin, eritomisin, doksisiklin, minosiklin dengan
dosis sama dengan dosis akne vulgaris beradang memberikan

hasil yang baik karena efek antimikroba dan anti-inflamasinya.


Dosis kemudian diturunkan bila lesi membaik.
b.
Isotretinoin (13 cis retinoat) 0.5-1.0/kgBB/hari dapat
digunakan kecual bila ada rosasea dimata. Penguunaannya harus
diamati secara ketat
c.
Metronidasol 2x500 mg/hari efektif baik stadium awal
maupun akhir.
3)
Lainnya
a.
Sunblock dengan SPF 15 atau lebih dianjurkan dipakai
penderita untuk menahan sinar UVA dan UVB.
b.
Masase fasial dahulu dianjurkan dilakukan, namun
hasilnya tidak jelas.
c.
Diet rokok, alcohol, kopi, pedas dapat dilakukan untuk
mengurangi rangsangan eritema.
d.
Bedah kulit; scalpel atau dermabrasi untuk rinofma dan
bedah listrik untuk telangiectasia.

Komplikasi
Rinofma, inflamasi ocular, dan rosasea limfadema

Prognosis
Rosasea umumnya persisten, berangsur bertambah berat melalui
episode akut. Namun adapula yang remisi secara spontan.
[Referensi :
Djuanda, A; Hamzah, M; Aisah, S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi Keenam. 2010. Jakarta : FK UI.]
AKNE VULGARIS

Defnisi
Acne vulgaris adalah pembentukan papula, nodul, dan kista pada
muka, leher, bahu, dan punggung akibat sumbatan keratin pada
dasar dari kelenjar minyak (pilosebaseus) di dekat folikel rambut.
90% dari penderita adalah mereka dalam usia menjelang
dewasa. Bertambahnya produksi androgen yang terjadi selama
pubertas meningkatkan produksi sebum, suatu pelumas kulit.
Sebum bergabung dongan keratin dan membentuk sumbatan.
Pada acne dapat timbul komedo (sumbatan bahan tanduk dalam
unit pilosebaseus); papula (komedo tertutup yang pecah);
pustula (bentukan padat yang mengalami perlunakan pada
puncaknya, dengan mengeluarkan nanah), nodul (dari komedo

tertutup--penonjolan pada kulit yang lebih besar dari papula),


dan jaringan parut. komedo (bisa berwarna putih atau hitam),
papul (merah), pustul (menonjol dan ada peradangan), nodus
(menonjol lebih dari 0,5 cm), hingga jaringan parut hipotrofk
(cekung) / hipertrofk (seperti keloid) yang terjadi akibat kelainan
aktif tersebut.
Akne Vulgaris adalah peradangan menahun folikel pilosebasea
yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh
sendiri. Gambaran klinis akne vulgaris sering polimorf terdiri atas
berbagai papul, pustul, nodul, komedo, dan jaringan parut yang
terjadi akibat kelainan aktif tersebut, baik jaringan hipertrofk
maupun hipotrofk. Pada kasus ini seorang pasien laki-laki
berumur 20 tahun datang ke poli kulit kelamin RS dengan
keluhan terdapat bintik-bintik di wajah sejak 1 bulan yang lalu.
Sebelumnya pasien sering mengeluhkan jerawat di pipi yang
banyak, namun kemudian bintik-bintik tersebut makin banyak
setelah pasien sering memecah dan menggaruk jerawat itu
sendiri. Bintik-bintik paling banyak di bagian pipi dan beberapa di
bagian dahi. Terasa gatal, tidak

Etiologi
a.
intrinsik :
1)
Genetik ( herediter )
2)
RAS : dimana orang kulit berwarna lebih jarang terkena
daripada orang kulit putih
3)
Hormonal :
Hormon androgen mempunyai peranan penting dalam timbulnya
jerawat. Hormon ini menjadi aktif dan banyak jumlahnya pada
usia remaja, menjelang menstruasi, dan pada saat kehamilan.
Hormon ini dapat meningkatkan produksi sebum (minyak), tapi
hormone estrogen mengurangi produksi sebum.
Kadar hormon androgen pada kulit pasien ternyata lebih tinggi
daripada kadar orang normal. Yang disangka mempunyai peran
pada proses keratinitis sel epidermis, komposisi sebum-sebum
permeabelitas saluran pilosebasea. Infeksi bakteri corybacreium
acnes, staphylococcus albus pytyrosporum ovale mempengaruhi
banyak terbentuknya lipase yang penting dalam pembentukkan
komedo. Keaktivan kelenjar sebasea sendiri menentukan

timbulnya penyakit, kebanyakan pada orang dengan kulit


berminyak.
4)
karena kerja kuman Propionibacterium acnes (proliferasi
dari Propionibacterium acnes)
Bakteri ini merupakan penghuni normal di permukaan kulit
manusia. Ia bisa hidup di wajah maupun di punggung. Dalam
keadaan normal, ia sebetulnya tidak berbahaya. Cuma, ketika
kulit kurang terjaga kebersihannya, ia berulah dan menyebabkan
timbulnya jerawat
5)
Tingginya produksi kelenjar minyak di kulit (sebum).
Itu pula sebabnya jerawat mudah dialami orang yang kulitnya
berminyak. dua faktor ini berkumpul, maka jerawat tentu akan
lebih mudah terjadi. Artinya, mereka yang kulitnya berminyak
dan kurang menjaga kebersihan lebih berpeluang menjadi
pelanggan jerawat.
6)
Adanya gangguan proses pengelupasan lapisan kulit luar.
Jika ini terjadi, lapisan kulit yang mestinya mengelupas itu malah
akan menyumbat saluran kelenjar sebum
7)
Abnormalitas kretaninisasi folikel sebasea
8)
Proses inflamasi
sebum,bakteri ( p.acnes ) dan asam asam lemak diduga
menyebabkan perkembangan peradangan di sekeliling saluran
pilosebasea dan kelenjar sebasea
b.
ekstrinsik :
1)
makan makanan berlemak
2)
klim / suhu / kelembaban : dimana pada daerah beriklim
tropis lebih banyak karena sinar UV, temperatur dan kelembaban
udara mempengaruhi aktivitas kelenjar sebasea.
3)
kejiwaan / stress
4)
pemakaian kosmetik / pelembab yang mengandung
minyak, minyak rambut (hair pomades) dapat memperburuk
akne
5)
Obat-obatan pemicu timbulnya akne antara lain:
kortikosteroid oral kronik yang dipakai untuk mengobati penyakit
lain ( seperti lupus eritematosus sistemik atau transplantasi
ginjal ), dapat menimbulkan vistula dipermukaan kulit wajah.
Dada dan punggung. Selain itu ada steroid, lithium, beberapa
antiepilepsi, dan iodides.

6)
jarang membersihkan muka yang kotor & berminyak
7)
merokok
8)
kontrasepsi juga dapat memperburuk akne
9)
kurang tidur (istirahat)
10)
faktor faktor mekanik seperti mengusap, menggesek
tekanan, dan meregangkan kulit yang kaya akan kelenjar
sebasea dapat memperburuk akne yag sudah ada. Selain itu obat
obatan juga dapat mencetuskan akne sperti, kontrasepsi juga
dapat memperburuk akne.Akne pada perempuan yang berusia
sekitar 20 an, 30-an dan 40-an sering kali disebabkan oleh
kosmetik dan pelembab yang dasarnya dari minyak dan
menimbulkan komedo

Tanda dan Gejala


Gejala lokal termasuk nyeri (pain) atau nyeri jika disentuh
(tenderness).
Biasanya tidak ada gejala sistemik pada acne vulgaris
Akne yang berat (severe acne) disertai dengan tanda dan
gejala sistemik disebut sebagai acne fulminans.
Acne dapat muncul pada pasien apapun sebagai dampak
psikologis, tanpa melihat tingkat keparahan penyakitnya.
Erupsi pada kulit ditempat predileksi yaitu muka, bahu,
punggung bagian atas, leher, dada dan lengan bagian atas yang
berupa komedo, papul, pustule,nodus atau kista dapat disertai
rasa gatal. Isi komedo adalah sebum yang kental atau padat. Isi
kista biasanya berupa pus dan darah. Tempat predileksi adalah
muka, bahu, leher, dada, punggung bagian atas dan lengan
bagian atas.

Epidemiologi
Insiden akne vulgaris 80-100% pada usia dewassa muda, yaitu
umur 14-17 tahun pada wanita, dan 16-19 tahun pada pria.
Meskipun demikian akne vulgaris dapat pula terjadi pada usia
lebih muda atau lebih tua dari pada usia tersebut.
Meskipun kebanyakan jerawat terjadi pada masa remaja atau
dewasa muda, tetapi dalam kenyataannya jerawat juga timbul
pada berbagai golongan usia lainnya. Antara lain pada bayi,
anak, bahkan pada manula. Jerawat seringkali dihubungkan
dengan kondisi tubuh, baik pada saat stress karena banyak

masalah, atau dapat pula sebaliknya pada saat sedang sangat


berbahagia.
Pada waktu pubertas terdapat kenaikan dari hormon androgen
yang beredar dalam darah yang dapat menyebabkan hiperplasia
dan hipertrof dari glandula sebasea.

Klasifkasi
Akne diklasifkasikan sebagai berikut:
1.
Komedonal ( komedo hitam dan komedo putih )

Komedo terbuka

Komedo tertutup
Komedo putih / komedo tertutup kemungkinan besar akan
berkembang menjadi pustule dan papula
2.
Papulopustular ( papula dan Postula )
Papula (komedo tertutup yang pecah), pustula (bentukan padat
yang mengalami perlunakan pada puncaknya, dengan
mengeluarkan nanah)

Patogenesis
Patogenesis akne vulgaris sangat kompleks dipengaruhi banyak
faktor dan kadang-kadang masih controversial. Asam lemak
bebas yang terbentuk dari
trigliserida dalam sebum
menyebabkan kekentalan sebum bertambah dan menimbulkan
sumbatan saluran pilosebasea serta reaksi radang disekitarnya
(komedogenik). Pembentukan pus, nodus, dan kista terjadi
sesudahnya.
Ada empat hal penting yang berhubungan dengan terjadinya
akne :
1)
kenaikan sekresi sebum
Akne biasanya mulai timbul pada masa pubertas pada waktu
kelenjar sebasea membesar dan mengeluarkan sebum lebih
banyak. Terdapat korelasi antara hebatnya akne dan produksi
sebum. Pertumbuhan kelenjar palit dan produksi sebum dibawah
pengaruh hormon androgen. Pada penderita akne terdapat
peningkatan konversi hormon androgen yang normal berada
dalam darah (testosteron) kebentuk metabolit yang lebih aktif (5alfa dihidrotestosteron). Hormon ini mengikat reseptor androgen
di sitoplasma dan akhirnya menyebabkan proliferasi sel
penghasil sebum.

Meningkatnya produksi sebum pada penderita akne disebabkan


oleh respon organ akhir yang berlebihan (end-organ
hyperresponse) pada kelenjar palit terhadap kadar normal
androgen dalam darah. Terbukti bahwa, pada kebanyakan
penderita, lesi akne hanya ditemukan dibeberapa tempat yang
kaya akan kelenjar palit.
Akne mungkin juga berhubungan dengan komposisi lemak.
Sebum bersifat komedogenik tersusun dari campuaran skualen,
lilin (wax), ester dari sterol, kholesterol, lipid polar, dan
trigliserida. Pada penderita akne terdapat kecenderungan
mempunyai kadar skualen dan ester lilin (wax) yang tinggi,
sedangkan kadar asam lemak terutama asam leinoleik, rendah.
Mungkin
hal
ini
ada
hubungan
dengan
terjadinya
hiperkeratinisasi pada kelenjar sebasea.
2)
Adanya keratinisasi folikel
Keratinisasi pada saluran pilosebasea disebabkan oleh adanya
penumpukan korniosit dalam saluran pilosebasea.
Hal ini dapat disebabkan :

bertambahnya erupsi korniosis pada saluran pilosebasea

Pelepasan korniosit yang tidak adekuat

Kombinasi kedua faktor diatas.


Bertambahnya produksi korniosit dari sel keratinosit merupakan
salah satu sifat komedo.
Terdapat hubungan terbalik antara sekresi sebum dan
konsentrasi asam linoleik dalam sebum. Menurut Downing, akibat
dari meningkatnya sebum pada penderita akne, terjadi
penurunan konsentrasi asam lenolik. Hal ini dapat menyebabkan
defsiensi asam lenoleik pada epitel folikel, yang akan
menimbulkan hiperkeratosis folikuler dan penurunan fungsi
barier dari epitel. Dinding komedo lebih mudah ditembus bahanbahan yang menimbulkan peradangan. Walaupun asam lenoleik
merupakan unsur penting dalam seramaid-1, lemak lain mungkin
juga berpengaruh pada patogenesis akne. Kadar sterol bebas
juga menurun pada komedo sehingga terjadi ketidak seimbangan
antara kholesterol bebas dengan kholesterol sulfat sehinggga
adhesi korneosit pada akroinfundibulum bertambah dan terjadi
hiperkeratosis folikel.
3)
Bakteri

Tiga macam mikroba yang terlibat dalam patogenesis akne


adalah corynebakterium Acne, Stafylococcus epidermidis, dan
pityrosporum ovale (malazzea furfur). Adanya sebore pada
pubertas
biasanya
disertai
dengan
kenaikan
jumlah
corynebacterium acne, tetapi tidak ada hubungan dengan jumlah
bakteri pada permukaan kulit atau dalam saluran pilosebasea
dengan derajat hebatnya akne. Tampaknya ketiga macam bakteri
ini bukanlah penyebab primer pada proses patologis akne.
Beberapa lesi mungkin timbul tanpa ada mikroorganisme yang
hidup, sedangkan pada lesi yang lain mikroorganisme mungkin
memegang peranan penting. Bakteri mungkin berperan pada
lamanya masing-masing lesi. Apakah bakteri yang berdiam
dalam folikel (residen bacteria) mengadakan eksaserbasi
tergantung pada lingkungan mikro dalam folikel tersebut.
Menurut hipotesis Saint-Leger skualen yang dihasilkan oleh
kelenjar palit dioksidasi dalam kelenjar folikel dan hasil oksidasi
ini dapat menyeebabkan terjadinya komedo. Kadar oksigen
dalam folikel berkurang dan akhirnya menjadi kolonisasi
C..Acnes. bakteri ini memproduksi porfrin, yang bila dilepaskan
dalam folikel akan menjadi katalisator untuk terjadinya oksidasi
skualen, sehingga oksigen dalam folikel tambah berkurang lagi.
Penurunan tekanan oksigen dan tingginya jumlah bakteri ini
dapat menyebabkan peradangan folikel. Hipotesis ini dapat
menerangkan mengapa akne hanya dapat terjadi pada beberapa
folikel, sedangkan folikel yang lain tetap normal.
4)
Peradangan (inflamasi).
Faktor yang menyebabkan peradangan pada akne belumlah
diketahui dengan pasti. Pencetus kemotaksis adalah dinding sel
dan produk yang dihasilkan oleh C.Acnes seperti lipase,
hialuronidase, protease, lesitinase dan nioranidase, memegang
peranan penting dalam proses peradangan.
Factor kemotaktik yang berberat molekul rendah (tidak
memerlukan komplemen untuk bekerja aktif), bila keluar dari
folikel, dapat menarik leukosit nucleus polimorf (PMN) dan
limfosit. Bila masuk kedalam folikel, PMN dapat mencerna C.
Acnes
dan
mengeluarkan
enzim
hidrolitik
yang
bisa
menyebabkan kerusakan dari folikel sebasea. Limfosit dapat
merupakan pencetus terbentuknya sitokin.

Bahan keratin yang sukar larut, yang terdapat di dalam sel


tanduk serta lemak dari kelenjar palit dapat menyebabkan reaksi
non spesifk, yang disertai makrofag dan sel-sel raksasa.
Pada masa permulaan peradangan yang ditimbulkan oleh
C.Acnes, juga terjadi aktivasi jalur komplemen klasik dan
alternatif (classical and alternative complement pathways).
Respon penjamu terhadap mediator juga amat penting. Selain itu
antibody terhadap C.Acnes juga meningkat pada penderita akne
hebat.

Diagnosis
Walaupun satu macam lesi lebih dominan daripada lesi yang lain,
umumnya diagnosis akne vulgaris didasarkan pada campuran
lesi terbentuk komedo, papula, nodul pada muka, punggung, dan
dada.
Diagnosis akne vulgaris ditegakkan atas dasar klinis dan
pemeriksaan ekskokleasi sebum, yaitu pengeluaran sumbatan
sebum dengan komedo ekstraktor (sendok Unna). Sebum yang
menyumbat folikel tampak sebagai massa padat seperti lilin atau
massa lebih lunak bagai nasi yang ujungnya kadang berwarna
hitam.
Pemeriksaan histopatologis memperlihatkan gambaran yang
tidak spesifk berupa sebukan sel radang kronis di sekitar folikel
sebasea dengan massa sebum di dalam folikel. Pada kista,
radang sudah menghilang di ganti dengan jaringan ikat
pembatas massa cair sebum yang bercampur dengan darah,
jaringan mati, dan keratin yang lepas.
Pemeriksaan mikrobiologis terhadap jasad renik yang mempunyai
peran pada etiologi dan patogenesis penyakit dapat dilakukan
laboratorium mikrobiologi yang lengkap untuk tujuan penelitian,
namun hasilnya sering tidak memuaskan.
Pemeriksaan susunan dan kadar lipid permukaan kulit (skin
surface lipids) dapat pula dilakukan untuk tujuan serupa. Pada
akne vulgaris kadar asam lemak bebas (free fatty acid)
meningkat dan karena itu pada pencegahan dan pengobatan
digunakan cara untuk menurunkannya.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan akne vulgaris meliputi usaha untuk mencegah
terjadinya erupsi (preventif) dan usaha untuk menghilangkan

jerawat yang terjadi (kuratif). Kedua usaha tersebut harus


dilakukan bersamaan mengingat bahwa kelainan ini terjadi akibat
pengaruh berbagai faktor (multifaktorial), baik faktor internal dari
dalam tubuh sendiri (ras, familial, hormonal), maupun faktor
eksternal (makanan, musim, stres) yang kadang-kadang tidak
dapat dihindari oleh penderita.

Pengobatan
Tujuan pengobatan akne adalah mencegah timbulnya sikatrik
serta mengurangi frekuensi dan kerasnya eksaserbasi akne,
untuk itu, selain diperlukan obat-obatan juga diperlukan
kerjasama yang baik antar si penderita dengan dokter yang
merawatnya.
Penatalaksanaan akne memerlukan pendekatan pada prinsip
patogenesis akne dengan menghilangkan obstruksi pada saluran
sebasea, menurunkan produksi sebum, mengurangi populasi
bakteri folikuler dan pengobatan yang ditujukan untuk
mendapatkan efek anti inflamasi.
Pengobatan pada kasus ini diperlukan Pengobatan topikal.
Pengobatan topikal dilakukan untuk mencegah pembentukan
komedo, menekan peradangan, dan mempercepat peradangan
penyembuhan lesi.
Obat topikal yang dapat digunakan yaitu Retinoid topical
merupakan komedolitik dan anti inflamasi isotretinoin, tretinoin,
adapalene dan Antibiotik topical yang berfungsi untuk melawan
Propionibacterium acnes, erythromycin, clindamycin saja atau
kombinasi dengan benzoyl peroxida.
Pengobatan sistemik yang diperlukan yaitu antibakteri sistemik ;
tetrasiklin (250 mg 1,0 g/hari), doksisiklin (50mg/hari),
eritromisin (4x250 mg/hari, azitromisin 250 mg-500mg seminggu
3 kali. Obat hormonal estrogen (50mg/hari selama 21 hari),
antiadrogen siproteron asetat (2 mg/hari), prednison (7,5mg/hari)
atau deksametason (0,25-0,5mg/hari). Vitamin A sebagai (50.000
ui-150.000 ui/hari. Antiinflamasi non-steroid ibuprofen (600
mg/hari) dapson (2x100 mg/hari), seng sulfat (2x200mg/hari)
Terapi terbaru yaitu spironolakton yang dikombinasik dengan
terapi hormonal estrogen dan antiandrogen terhadap akne,
apabila akne disertai gejala sebore ataupun hipertrikosis.

Terapi sinar biru adalah terapi akne dengan memakai sinar biru
yang dapat membunuh P.acne .
Pada kasus ini terapi pada pasien yaitu medikamentosa dengan
pemberian asam Vitamin A topical 2 kali sehari, pengobatan
topikal ini dilakukan untuk mencegah pembentukan komedo,
menekan
peradangan,
dan
mempercepat
peradangan
penyembuhan lesi. Terapi lainnya dengan menggunakan
antibiotik topical yaitu ertomycin 2 kali sehari berfungsi untuk
melawan Propionibacterium acnes.
[Referensi :
Wasitaatmadja, S. 2002. Akne, Erupsi Akneiformis, Rosasea,
Rinofema. Ilmu Penyakit kulit Dan Kelamin. Ed. Adhi Djuanda.
Edisi ke-3. Cetak ulang 2002 dengan perbaikan. FK UI. Hal :235241.]
LUPUS ERITOMATOSUS KUTAN

Defnisi
Lupus Eritomatosus merupakan penyakit autoimun yang
melibatkan jaringan konektif dan pembuluh darah. LE memiliki
manifestasi klinis yang sangat bervariasi, yaitu kelainan kulit saja
(LE Kutan) hingga keterlibatan sistemik (LES). LE kutan
merupakan manifestasi kulit yang dapat terjadi pada 72-85%
paien LES didahului dengan lesi pada kulit. Rasio antara
perempuan dan laki-laki.

Etiopatogenesis
Hingga saat ini penyebab dan patomekanisme LE kutan belum
diketahui secara pasti, tetapi berhubungan erat dengan
patogenesis LES. Faktor pejamu (suseptibilitas, hormonal) dan
faktor lingkungan menyebabkan hilangnya self-tolerance dan
menginduksi proses autoimun. Hal ini diikuti aktivasi dan
ekspansi sistem imun sehingga mencetuskan penyimpangan
imunologik yang berdampak pada beberapa organ dan tampilan
klinis penyakit. Beberapa penelitian baru memfokuskan pada
peran sinyal interferon- (IFN-) dalam patogenesis LE.
Selain predisposisi genetik, pajanan faktor lingkungan, misalnya
radiasi UV , infeksi virus, obat, dan rokok mempunyai peran besar
dalam perkembangan penyakit LE. Radiasi UV mempunyai peran
paling penting dalam induksi penyakit LE kutan. UVB

menyebabkan apoptosis keratinosit dan autoantigen Ro/SS-A,


La/SS-B, serta calreticulin, berpindah dari lokasi normal di dalam
keratinosit ke permukaan sel. UVB juga diketahui menginduksi
dan meningkatkan ekspresi beberapa kemokin sehingga
mengaktifkan sel T autoreaktif dan IFN-, sel dendrit yang
mempunyai peran utama dalam patogenesis LE.

Gambaran Klinis
Manifestasi klinis keterlibatan kulit pada pasien LE sangat sering
ditemukan dan sangat bervariasi. Gilliam membagi berdasarkan
gambaran karakteristik histopatologis, yaitu LE kutan spesifk dan
LE kutan non-spesifk.
LE Kutan Spesifk
LE Kutan Non-Spesifk
A.
LE Kutan Akut
1.
Lokalisata : malar rash; butterfly rash
2.
Generalisata
B.
LE Kutan sub Akut
1.
Tipe anular
2.
Tipe papuloskuamosa
C.
LE Kutan Kronik
1.
Tipe Diskoid Klasik / Diskoid LE (DLE)
a.
Lokalisata
b.
Generalisata
2.
Tipe Hipertrofk
3.
Lupus profundus
4.
Lesi mukosa DLE
a.
Oral
b.
Konjungtiva
5.
Lupus tumidus
6.
Chilblain lupus
7.
Lichenoid DLE
A.
Penyakit Vaskular Kutan
1.
Vaskulitis
a.
Leukositoklastik
b.
Periarteritis nodosa
2.
Vaskulopati
3.
Telangiektasis periungual
4.
Livedo retikularis
5.
Tromboflebitis

6.
Fenomena Raynaud
7.
Eritromyalgia
B.
Alopesia tanpa jaringan parut
1.
Lupus hair
2.
Telogen effluvium
3.
Alopecia areata
C.
Sklerodaktili
D.
Nodul Rheumatoid
E.
Kalsinosis Kubis
F.
Lesi bulosa non-spesifk
G.
Uurtikaria
H.
Musinosis papulonodular
I.
Kutis laxa
J.
Akantosis negricans
K.
Eritema multiforme
L.
Ulkus ada tungkai
M.
likenflanus
a)
LE Kutan Akut
LE Kutan Akut Lokalisata biasanya ditemukan di wajah berupa
lesi malar atau buterfly rash dan dilaporkan pada 20-60% pasien
LES.
Gambaran Khas : lesi eritomatosa yang simetris dan
konfluens serta edema pada area malar dan melintasi hidung.
Biasanya dimulai dengan makula kecil atau papul pada
wajah. Kemudia konfluens dan hiperkeratotik.
Terkadang dapat meluas sampai ke dahi, dagu dan leher
area V. Jarang dtemukan mengenai lipatan nasolabial.
LE Kutan Akut Generalisata merupakan perluasan lesi
makulopapular atau erupsi eksantematosa yang biasanya
mengenai ekstremitas atas dan tangan sisi ekstensor dan jarang
melibatkan sendi. Lesi makulopapular ditemukan pada 35-60%
LES.
b)
LE Kutan Sub Akut
Gambaran klinis berupa makula atau papul yang berkembang
menjadi lesi papulaskuamosa atau plak anular hiperkeratotik.
Lesi sangat fotosensitif dan dietmukan pada area yang terpajan
UV, yaitu punggung atas, bahu, lengan sisis ekstensor, area leher
V, dan jarang di area wajah. Bila mnegenai wajah biasanya pada

sisi yang lateral. Lesi biasanya menetap lebih lama dibandingkan


lesi pada LE Kutan Akut dan meninggalkan makula pigmentasi
dalam waktu cukup lama. Lesi LE kutan subakut mengalami
resolusi tanpa meninggalakn jaringan parut atau skar
c)
LE Kutan Kronik
Lesi diskoid klasik merupakan bentuk yang paling sering
ditemukan. Dimulai dengan makula merah keunguan, papul atau
plak kecil yang secara cepat berkembang menjadi permukaan
yang hiperkeratotik.
Lesi diskoid awal berupa plak eritomatosa dengan bentuk yang
menyerupai uang logam yang berbatas tegas, ditutupi skuama
yang lekat dan menutupi folikel rambut. Bentuk khas lesi diskoid
adalah plak eritema yang meluas dengan plak hiperpigmentasi
dibagian perifer, meninggalkan skar atrofk pada bagian sentral,
telangiektasis, dan hipopigmentasi.
LE kutan kronik mempunyai predileksi pada wajah, skalp, telinga,
area leher V dan sisi ekstensor ekstremitas. Bila lesi diskoid
meluas sampai kebawah bagian leher maka digolongkan dalam
LE Kutan kronik generalisata dan dihubungkan dengan LES serta
rekalsitran terhadap pengobatan.

Pemeriksaan Penunjang
Beberapa autoantibodi mempunyai hubungan yang berat dengan
LE Kutan akut sering ditemukan titer tinggi ANA, anti-dsDNA,
anti-Sm dan hipokomplementemia. Penanda pada kutan subakut
adalah autoantibodi anti-Ro/SS-A (70-90%) dan anti-La/SS-B (3050%). ANA dapat ditemukan pada 60-80% dan faktor rheumatoid
pada sepertiga pasien LE kutan subakut. Pada LE kutan kronik
dapat ditemukan titer ANA yang rendah (30-40%). Hanya 5%
pasien DLE ditemukan titer ANA tinggi.
Pada pemeriksaan histopatologi LE kutan spesifk dapat
ditemukan hiperkeratotik, atrof epidermal degenerasi mencair
sel basal, penebalan membran DEJ, edema pada dermis, deposit
musin, serta infltrat sel mononuklear yang dominan tersebar
diperivaskular dan disekitar adneksa kulit.
Pada pemeriksaan imunofluoresens langsung pada kulit yang
tampak normal pasien LES dapat dilihat pita terdiri atas deposit
granuler imunoglobulin G, M atau A dan komplemen C3 pada taut

epidermal dermal yang disebut lupus band. hal ini dapat dilihat
pada 90-100% pasien LES.

Diagnosis Klinis
Diagnosis LE kutan bergantung subtipe manifestasi klinis kulit
yang timbul. Pada lesi kulit yang tidak khas dibutuhkan
pemeriksaan laboratprium dan histopatologis.

Diagnosis Banding
LE kutan akut lokalisata dapat menyerupai rosasea dan
dermatomiositis. LE kutan akut generelisata menyerupai
hipersensitivitas obat, reaksi fotoalergi dan fotoksis, dan
eksantema viral. Lesi papuloskuamosa pada LE kuatn subakut
memberi gambaran menyerupai eritema anulare sentrifugum
dan granuloma anulare. Lesi DLE terkadang menyerupai lesi
karsinoma sel skuamosa, keratosis aktinik dan keratoakantoma.

Prognosis
LE kutan akut sangat erat hubungannya dengan LES, sehingga
prognosis sangat bergantung pada aktivitas dan derajat
keparahan LES. Pada pasien dengan LE kutan subakut 15%
berkembang menjadi LES, termasuk nefritis lupus. Dibutuhkan
pemantauan jangka panjang pada pasien LE kutan subakut untuk
penemuan dini risiko progresivitas keterlibatan sistemik.
Kebanyakan pasien dengan lesi diskoid yang tidak diterapi dapat
berkembang menjadi skar yang secara progresif melebar dan
alopesia skar. Hal ini sangat mengganggu secara psikososial dan
menurunkan kualitas hidup pasien. Jarang sekali lesi dapat
resolusi spontan. Pada penghentian terapi, lesi non-aktif dapat
mengalami eksaserbasi.

Penatalaksanaan
Semua pasien dengan CLE harus dijelaskan tentang
pentingnya perlindungan dari sinar matahari dan sumber radiasi
ultra violet buatan dan harus dijelaskan untuk menghindari
penggunaan obat yang berpotensi memberi efek fotosensitisasi
seperti hidroklorotiazid, tetrasiklin, griseofulvin dan piroksikam.
Medikamentosa
1)
Imunosupresan atau sitostatik yang lain.
Imunosupresan adalah suatu obat yang ditujukan untuk menekan
sel-sel kekebalan tubuh yang mengenali sel-sel tubuh sendiri

sebagai antigen. Perbedaan imunosupresan dengan kemoterapi


adalah bila imunosupresan hanya mengendalikan sistem imun.
Jenis-jenis obat imunosupresan :
Azathhioprine (Imuran AZA)
Cylophosphamide (chitokxan, CTX)
Chlorambucil (leukeran, CHL)
Cyclosporine A
Tacrolimus (FK506)
Fludarabine
Cladribine
Mycophenolate mofetil
2)
Antimalaria
Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan
sendi telah lama diketahui, dan obat initelah dianggap sebagai
obat pilihan pertama untuk SLE kulit terutama LE diskoid dan LE
kutaneus subakut. Obat ini bekerja dengan cara mengganggu
pemrosesan antigen di makrofag dan sel penyaji antigen yang
lain dengan meningkatkan pH di dalam vakuola lisosomal. Juga
menghambat fagositosis, migrasi netrfl, dam metabolisme
membran fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan
mengabsorbsi sinar UV. Hidrosiklorokuin menghaambat reaksi
kulit karena sinar UV. Bebrapa penelitian melaporkan bahwa
antimalaria dapat menurunkan koSLEterol total, HDL dan LDL,
pada penderita SLE yang menerima steroid maupun yang tidak.
Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia : hidroksiklorokuin
(dosis 200-400mg/hari), klorokuin (250mg/hari), kuinarkrin
(100mg/hari). Hidroksiklorokuin lebih efektif daripada klorokuin,
dan efek sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria
yang paling sering adalah efek pada saluran pencernaan,
kembung, mual, dan muntah; efk sam ping lain adalah timbulnya
ruam, toksisitas retin, daan neurologis (jarang).
3)
Kortikosteroid
Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekaanisme
antiinflamasi dan amunosupreft. Dari berbagai jenis steroid,
yang
paling sering
digunakan
adalah prednison
dan
metilprednisolon.
Pada SLE yang ringan (kutneus, arthritis/arthralgia) yang tidak
dapat dikontrol oleh NSAID dan antimalaria, diberikan

prednison2,5 mg sampai 5 mg perhari. Dosis ditingkatkan 20%


tiap 1 sampai 2 minggu tergantung dari respon klinis. Pada SLE
yang akut dan mengancam jiwa langsung diberikan steroid,
NSAID dan antimalaria tidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi
serius SLE yang membaik dengan steroid antara lain : vaskulitis,
dermatitis berat ataau SCLE, poliarthritis, poliserosistis,
myokarditis, lupus pneumonitis, glomeruloneftritis (bentuk
proliferatif), anemia hemolitik, neuropati perifer dan krisis lupus.
Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regimen pemberian
steroid:
a.
Regimen I: daily oral short acting (prednison, prednisolon,
metilprednisolon), dosis: 1-2 mg/kg BB/hari dimulai dalam dosis
terbagi, lalu diturunkaan secara bertahap (tapering) sesuai
dengan perbaikan klinis dan laboratoris. Regimen ini sangat
cepat mengontrol penyakit ini, 5-10 hari untuk manifestasi
hemotologis atau saraf, serositis, atau vaskulitas; 3-10 minggu
untuk glomerulonephritis.
b.
Regimen II : methylprednisolone intravena, dosis: 5001000 mg/hari, selama 3-5 hari atau 30 mg/kg BB/hari selam 3
hari. Regimen ini mungkin dapat mengontrol penyakit lebih cepat
dari pada terapi oral setiaap hari, tetapi efek yang
menguntungkan ini hanya bersifat sementara, sehingga tidak
digunakan untuk terapi SLE jangka lama.
c.
Regimen III: kombinasi regimen 1 atau 2 dengan obat
sitostatik azayhioprine atau cyclophosphamide.
Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan
kecepatan 2,5-5 mg/minggu sampai dicapai maintenance dose.
4)
Dapsone
Dapsone, atau 4.4- diaminophenylsulphone, bekerja dengan cara
mengganggu metabolisme folat dan menghambat asam para
aminobenzoat, dan menghambat jalur alternative komplemen
serta sitotoksisitas netrofl. Tersedia sejak lebih dari 50 tahun
yang lalu untuk pengobatan lepra. Dapson ternyata efektif untuk
pengobatan Lupus eritematosus kutaneus. Leukopenia, dan
trombositopenia pada SLE, dengan dosis 50-150 mg/hr. hampir
semua penderita yang menerima dapsone akan mengalami
anemia hemolitik ringan yang biasanya berhubungan dengan
dosis.

5)
Clofazimine (Lamprene)
Clofazimine adalah anti leprosi juga yang telah terbukti untuk LE
kutaneus yang refrakter. Digunakan dengan dosis antara 100
sampai 200 mg/hr. efek samping yang terutama adalah warna
kulit yang berubah menjadi pink atau coklat gelap, dan menjadi
kering.
6)
Thalidomide
Thalidomide dengan dosis50 sampai 100 mg/hr serta dosis
pemeliharaan 25 sampai 5o mg/hr, efektif untuk LE kutaneus
refrakter. Obat ini bekerja dengan menghambat TNF alfa. Obat ini
dikontraindikasikan pada kehamilan karena banyak laporan
mengenai terjadinya malformasi janin (fokomelia).
[Referensi:

Linuwih, Sri SW Menaldi.ed.2015. Ilmu Penyakit Kulit dan


Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: badan penerbit FK UI. Hal 300302

Symposium National Immunology Week 2004,Surabaya 910 Oktober 2004;hal201-213.

Current Medical Diagnosis and Treatment 2004;Chapter


20;Arthritis and Musculosceletal disorder ;page 805-807.

Harrissons
Principle
of
Internal
Medicine
15th
Edition;Volume 2;page 1922- 1928.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I,Edisi ketiga;hal 150159.

Medical Journal : Cermin Dunia Kedokteran no.142,2004 ;


hal.27-30.

The Merck Manual Edisi 16 ,Jilid 2 ; hal.878-830.]


DERMATITIS SEBOROIK

Defnisi
Dermatitis seboroik adalah dermatosis papulosquamous kronis
umum yang mudah dikenali. Penyakit ini dapat timbul pada bayi
dan dewasa dan seringkali dihubungkan dengan peningkatan
produksi sebum (sebaseus atau seborrhea) kulit kepala dan
daerah folikel kaya sebaseus pada wajah dan leher. Kulit yang
terkena berwarna merah muda, bengkak, dan ditutupi dengan
sisik berwarna kuning-coklat dan krusta.

Insiden

Dermatitis seboroik memiliki dua puncak usia, yang pertama


pada bayi dalam 3 bulan pertama kehidupan dan yang kedua
sekitar dekade keempat sampai ketujuh kehidupan. Tidak ada
data yang tepat tersedia kejadian dermatitis seboroik pada bayi,
tetapi gangguan ini umum.Penyakit pada orang dewasa diyakini
lebih umum daripada psoriasis.Penyakit inimempengaruhi
setidaknya 3-5% dari populasi di Amerika Serikat. Pria lebih
sering terkena daripada wanita pada semua 7 kelompok
umur.Dermatitis seboroik ditemukan pada 85% pasien dengan
infeksi HIV.Dermatitis seboroik banyak terjadi pada pasien yang
menderita penyakit parkinson karena produksi sebumnya
meningkat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit


Bangsa dan ras
: Semua bangsa
Makanan
: Lebih sering pada orang-orang
yang banyak
memakan lemak dan minum alkohol
Iklim
: insiden meningkat pada iklim dingin.
Keturunan
: Tidak berpengaruh, tapi cenderung
meningkat
pada orang-orang dengan stress emosional
Lingkungan : Yang menyebabkan kulit menjadi lembab
dan
maserasi akan lebih mudah menimbulkan
penyakit

Manifestasi Klinik
Lesi dermatitis seboroik tipikal adalah bercak-bercak eritema,
dengan sisik-sisik yang berminyak. Penyakit ini suka muncul di
bagian-bagian yang kaya kelenjar sebum, seperti kulit kepala,
garis batas rambut, alis mata, glabela, lipatan nasolabial, telinga,
dada atas, punggung, ketiak, pusar dan sela paha.
Pasien sering mengeluhkan rasa gatal, terutama pada kulit
kepala dan pada liang telinga. Lesi pada kulit kepala dapat
menyebar ke kulit dahi dan membentuk batas eritema bersisik
yang disebut corona seborrheica.
Dua bentuk dermatitis seboroik bisa terjadi pada dada, tipe
petaloid dan tipe pitiriasiform.

Tipe petaloid diawali dengan papul-papul folikuler dan


perifolikuler merah hingga coklat, yang berkembang menjadi
bercak-bercak yang mirip bentuk mahkota bunga.
Tipe pitiriasiform mungkin merupakan bentuk berat dari
dermatitis seboroik petaloid. Tipe ini mempunyai bercak-bercak
yang mengikuti garisgaris kulit yang mirip pityriasis rosea.
Dermatitis seboroik juga dapat mengenai liang telinga yang
gambarannya seperti dermatitis kronis.
Gejala yang umum lainnya dari dermatitis seboroik adalah
blefaritis dengan kerak-kerak berwarna kekuningan sepanjang
pinggir kelopak mata. Bila hanya manifestasi ini yang ada, maka
diagnosis tidaklah sulit. Varian serius dari penyakit kulit ini
adalah exfoliative erythroderma (seborrheic erythroderma).
Komplikasi yang utama pada lesi adalah infeksi sekunder,
tampak eritema, eksudat, gangguan kenyamanan dan
limfadenopati pada daerah yang terkena.

Pemeriksaan kulit
1.
Lokalisasi
: tempat-tempat yang banyak mengandung
kelenjar sebasea, misalnya kulit kepala, belakang telinga, alis
mata, cuping hidung, ketiak, dada, antara skapula dan daerah
suprapubis
2.
Efloresensi
: Makula eritomatosa yang ditutupi oleh
papul-papul miliar berbatas tidak tegas dan skuam halus
kekuningan dan berminyak. Kadang-kadang ditemukan erosi
krusta yang sudah mengering berwarna kekuningan.

Gambaran histopatologik
Pada epidermis dapat ditemukan parakeratirosis fokal dengan
abses munro. Pada dermis, terdapat pelebaran ujung pembuluh
darah di puncak stratum papilaris disertai serbukan sel-sel
neutrofl dan monosit.

Pemeriksaan pembantu / laboratorik :


1.
Pemeriksaan mikroflora dari kulit kepala untuk melihat
Pityrosporum ovale
2.
Menentukan indeks mitosis pada kulit kepala yang
berketombe.

Prognosis

Seperti telah dijelaskan pada sebagian kasus yang mempunyai


faktor konstitusi penyakit ini agak sukar disembuhkan, meskipun
terkontrol.

Penatalaksanaan
Pengobatan tidak menyembuhkan secara langsung sehingga
terapi dilakukan berulang kali. Tatalaksana yang dilakukan antara
lain :
a.
Sampo yang mengandung obat anti malassezia,
misalnya : elenium sulfde, zinc prithione, ketokonazol, berbagai
sampo yang mengandung ter dan solusio terbinafne 1%.
b.
Untuk menghilangkan skuama tebal dan mengurangi
jumlah sebum pada kulit dilakukan dengan mencuci wajah
berulang dengan sabun lunak. Pertumbuhan jamur dapat
dikurangi dengan krim imidazole dan turunannya, bhan
antimikotik di daerah lipatan bila ada gejala.
c.
Skuama yang diperlunak dengan krim asam salisilat atau
sulfur.
d.
Pengobatan simptomatik dengan kortikosteroid topical
potensi sedang, imunosupresan topical terutama untuk daerah
wajah sebagai pengganti kortikosteroid topical.
e.
Metronidazole topical, siklopiroksolamin, talkasitol, benzoil
peroksida dan salep litium suksinat 5%.
f.
Pada kasus tidak membaik dengan terapi konvensional
dapat digunakan terapi sinar UVB atau pemberian itrakonazole
100mg/hari per oral selama 21 hari.
g.
Bila tidak membaik dengan semua modalitas terapi,
diberikan prednisolone 30 mg/hari untuk respon cepat.
[Referensi :

Menaldi, sri linuwih SW. 2016. Ilmu penyakit kulit dan


kelamin. edisi 7. Jakarta : Fakultas kedokteran Universitas
Indonesia. Hal 232-233.

Saripati penyakit kulit. Edisi 3. Jakarta : EGC. Hal 104.]

Skenario 5
Laki-laki berusia 39 tahun datang ke poli kinik dengan plak coklat
kehitaman di daerah betis sejak 2 minggu yang lalu. Menurut
pasien lesi sangat gatal dan tampak memerah karena digaruk.
Sebelumnya, riwayat kaki pasien terantuk pada meja. Lesi
terkadangagak basah.Sudah berobat ke puskesmas dan diberi
salep tetrasiklin serta antibiotik sistemik namun belum sembuh
meskipun keluhan sedikit berkurang. Pada pemeriksaan fsis
ditemukan papel dan makula hiperpigmentasi serta ulcerasi
dangkal pada daerah lesi. Gatal semakin hebat bila sedang
santai atau pada saat stres. Keluhan makin hebat seiring dengan
bertambahnya usia. Riwayat keluarga dengan keluhan yang
sama (-).
9.
Diferential diagnosis
Jawaban:
A.
Neurodermatitis
a.
Defnisi
Neurodermatitis adalah suatu peradangan menahun pada lapisan
kulit paling atas yang menimbulkan rasa gatal. Penyakit ini
menyebabkan bercak penebalan kulit yang kering, bersisik dan
berwarna lebih gelap, dengan bentuk lonjong dan tidak

beraturan. Disertai gejala garis kulit tampak menonjol


(likenifkasi), akibat garukan atau gosokan berulang karena
berbagai rangsangan pruritogenik.
b.
Sinonim
Dermatitis
Garukan Terlokalisir,
Liken
Simpleks Kronis,
Neurodermatitis Sirkumskripta.c.
c.
Etiologi
Penyebab neurodermatitis masih belum diketahui secara pasti.
Dapat timbul akibat dari iritasi menahun dan garukan yang
berulang-ulang
meningkatkan
terjadinya
neurodermatitis.
Penyakit ini biasanya berhubungan dengan : 1) Dermatitis Atopik,
2) Psoriasis, 3) Kecemasan, depresi ataupun penyakit psikis
lainnya.
d.
Faktor Resiko
Neurodermatitis sering terjadi pada rentang umur 30 dan 50
tahun. Wanita lebih sering terkena dari pada laki-laki. Lebih
berkembang jika dalam keluarga terdapat riwayat eczema,
psoriasis dan kondisi kulit yang serupa. Dapat juga disebabkan
oleh :
1.
Mengenakan pakaian dengan ketat dan berasal dari
sintetis atau woll,
2.
Kulit kering,
3.
Paparan terus-menerus alergen dan bahan iritan,
4.
Panas,
5.
Gigitan serangga,
6.
Stress,
7.
Jaringan parut (keloid).
e.
Gejala Klinis
Gejala primer neurodermatitis adalah kulit yang sangat gatal,
muncul tunggal didaerah leher, pergelangan tangan, lengan
bawah, paha atau mata kaki, kadang muncul alat kelamin. Rasa
gatal sering hilang timbul. Sering timbul pada saat santai atau
sedang tidur, akan berkurang saat beraktiftas. Rasa gatal yang
digaruk akan menambah berat rasa gatal tersebut.
Gejala klinis neurodermatitis yang muncul adalah : kulit yang
gatal pada daerah tertentu, terjadi perubahan warna kulit, kulit
yang bersisik akibat garukan atau penggosokan dan sudah
terjadi bertahun-tahun.

f.

Diagnosa Banding

a.
Dermatitis Atopik
b.
Dermatitis Kontak Alergi dan Iritan
c.
Dermatitis Herpetiformis
d.
Dermatitis Numularis
e.
Phytopatodermatitis
f.
Myxedema
g.
Psoriasis, Plaque
h.
Dermatitis Seboroik
i.
Tinea cruris
j.
Liken Planus
k.
Liken Amiliodo
g.
Diagnosa
Diagnosa ditegakkan dengan berdasarkan tanda khas dari
pemeriksaan fsik pada kulit dan riwayat gatal dan garukan.
h.
Pemeriksaan Tambahan
Neurodermatitis sering muncul bersamaan dengan psoriasis dan
dermatitis maka harus disingkirkan dengan melakukan
pemeriksaan tambahan.
a.
Patch Test
Test ini menentukan unsur apa yang menyebabkan suatu reaksi
alergi di dalampasien, dapat menyingkirkan gejala dermatitis
kontak alergika. Test ini memakai berbagai alergen dengan
potensial yang rendah dan di pertahankan sampai dua hari. Jika
terdapat suatu tanda bengkak dibawah alergen berarti
hipersensitiv terhadap bahan tersebut
b.
Skin Biopsi
Pengambilan sedikit jaringan kulit pada dearah lesi dan kemudian
dilihat hasilya di bawah suatu mikroskop. Bantuan Prosedur ini
mendiagnose suatu infeksi/peradangan kulit atau kondisi kulit
lain.Gambaran klinis yang didapatkan : suatu hyperkeratosis,
akantosis, spongiosis dan penebalan parakeratosis. Papillary kulit
mengalami fbrosis kearah vertical sampai ke lapisan kolagen, ini
merupakan tanda khas dari neurodermatitis.
i.
Pengobatan

Pengobatan
utama
dari
neurodermatitis
adalah
untuk
mengurangi pruritus dan memperkecil luka akibat garukan atau
gosokan. Gol pharmacotherapy adalah untuk mengurangi rasa
sakit dan untuk mencegah komplikasi. Pemberian kortikosteroid
dan antihistamin oral bertujuan untuk mengurangi reaksi
inflamasi yang menimbulkan rasa gatal. Pemberian steroid
topical juga membantu mengurangi hyperkeratosis. Pemberian
steroid mid-potent diberikan pada reaksi radang yang akut, tidak
direkomendasikan untuk daerah kulit yang tipis (vulva, scrotum,
axilla dan wajah). Pada pengobatan jangka panjang digunakan
steroid yang low-poten, pemakaian high-potent steroid hanya
dipakai kurang dari 3 minggu pada kulit yang tebal.
Anti-depresan atau anti-anxiety sangat membantu pada sebagian
orang dan perlu pertimbangan untuk pemberiannya. Jika terdapat
suatu infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik topical ataupun
oral. Perlu diberikan nasehat untuk mengatur emosi dan perilaku
yang dapat mencegah gatal dan garukan.
j.
Macam-Macam Obat
1.
Corticosteroids
Memiliki kegunaan sebagai anti-inflamasi, yang berguna
mengurangi pruritus, menipiskan liken, dan mengurangi reaksi
inflamasi.
2.
Clobetasol (Temovate)
Termasuk dalam kelas 1 superpotent steroid topical : suppresses
mitosis dan meningkatkan sintesis protein sehingga mengurangi
inflamasi dan menyebabkan vasokontriksi.
3.
Fluocinolon 0,01% atau 0,025% cream (Synalar, Fluonid)
Merupakan topical steroid yang medium potent yang menhambat
proliferasi sel, juga sebagai imunosuprosor, anti-proliferasi, dan
anti-inflamasi.
4.
Hydrocortisone Valerate cream 0,02% (Westcort)
Salah satu derifat dari adrenokortikosteroid sesuai untuk
penggunaan pada kulit atau selaput lendir eksternal.
5.
Fluocinonide cream 0,1% atau 0,05% (Lidex)
Merupakan topical corticosteroid yang menghambat proliferasi
sel.
6.
Anti-pruritic

Memberikan efek pengendalian terhadap pelepasan histamine


secara endogen. Sehingga dapat, mengurangi efek gatal, efek
sedasi dan menyebabkan kantuk. Obat ini bekerja menstabilkan
membrane saraf dan mencegah transmisi dan inisiasi dari impuls
saraf, dan menghasilkan anastesi local.
7.
Diphenhydramine (Benadryl, Benylin, Diphen, Allermax)
Mengurangi rasa gatal yang disebabkan oleh pelepasan
histamine.
8.
Chlorpheniramine (Chlor-Trimeton)
Penghambat histamine atau H1-Reseptor pada sel efektor di
pembuluh darah dan traktus respiratori.
9.
Hydroxyne (Atarax, Vistaril)
Antagonis H1-Reseptor pada bagian luar, dan menekan aktiftas
dari histamine pada subcortikal diregio CNS.
10.
Doxepin (Sinequan, Zonaton)
Penghambat aktiftas histamine dan asetilkolon. Penggunaannya
dapat memberikan efek sedasi, dan penyerapannya tinggi pada
pemberian secara topical.
11.
Immunosuppressant
12.
Tacrolimus (Protopic)
Mekanisme kerja di LCS tidak diketahui. Dapat mengurangi gatal
dan reaksi inflamasi. Juga menghambat transkripsi dari gen yang
mengkode IL-3, IL-4, IL-5, GM-CSF, dan TNF-ALPHA, melibatkan
pada fase awal dari aktifasi T-Cell.
13.
Immune Modulator
14.
Pimecrolimus (Elidel)
Merupakan turunan dari ascomycin, suatu unsur alami yang
diproduksiStreptomyces hygroscopicus var ascomyceticus.
k.
Edukasi Pasien
1.
Anjurkan agar pasien tidak menggaruk lagi, karena
penyakit ini akan bertambah berat jika terus digaruk oleh pasien.
2.
Mendiskusikan tentang bagaimana merubah kebiasaan
menggaruk.
3.
Memilih sabun yang lembut.
4.
Menggunakan pakaian yang berbahan cotton sehingga
mengurangi iritasi.
5.
Dapat ditutup dengan kasa basah, untuk mencegah
penggarukan.

6.
Manajemen stress yang baik.
l.
Komplikasi
Penggarukan yang terjadi berulang-ulang dapat menimbulkan
suatu infeksi atau peradangan kulit. Dapat pula meninggalkan
jaringan parut dan perubahan warna kulit yang bertambah gelap
(hiperpigmentasi).
Komplikasi dari neurodermatitis dapat terjadi bila tidak adanya
control dari kebiasaan menggaruk untuk keluhan gatalnya.
Komplikasinya biisa berupa perubahan warna pada kulit yang
permanen, terdapatnya bekas luka akibat garukan sampai
terjadinya ulkus karena seringnya pasien menggaruk.
m.
Prognosis
i.
Luka dapat sembuh sepenuhnya, dapat timbul jaringan
parut dan perubahan warna kulit.
ii.
Dapat relaps karena stress atau tekanan mental, dan
karena kontak dengan penyebab alergi.
iii.
Tidak sembuh bila pengobatan tidak tuntas.
Referensi : Djuanda, Adhi. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi kempat. Jakarta: FKUI. Hal 382
B.
DERMATITIS NUMULAR
a.
DEFINISI
Dermatitits Numularis ditandai oleh bercak yang sangat
gatal, bersisik, berbentuk bulat, berbatas tegas (berbeda dari
dermatitis pada umumnya), dengan vesikel-vesikel kecil
di
bagian tepi lesi. Sering dijumpai penyembuhan pada bagian
tengah lesi (central clearing), tetapi secara klinis berbedadari
bentuk lesi tinea. Pada kelainan ini bagian tepi lebih vesikuler
dengan batas relatif kurang tegas. Kata numular diambil dari
bahasa Latin nummulus yang berarti koin kecil=
diskoid.
Dermatitis numularis lebih sering dijumpai pada usia dewasa
dibanding pada anak-anak.
Terdapat berbagai variasi bentuk klinis, antara lain dermatitis
numularis pada tangan dan lengan, dermatitis numularis pada
tungkai dan badan, dan dermatitis numularis bentuk kering.
dermatitis numularis merupakan kelainan yang kambuhkambuhan.
pada setiap kekambuhan dapat muncul lesi

tambahan, tetapi umumnya lesi awal selalu menjadi aktif


kembali.
b.
EPIDEMIOLOGI
Dermatitis numularis angka kejadiannya pada usia dewasa lebih
sering pada laki-laki dibandingkan wanita, onsetnya pada usia
antara 55 dan 65 tahun. Penyakit ini jarang pada anak-anak,
jarang muncul dibawah usia 1 tahun, hanya sekitar 7 dari 466
anak yang menderita dermatitis numularis dan frekuensinya
cenderung meningkat sesuai dengan peningkatan umur.
c.
ETIOLOGI
Penyebabnya sampai saat ini belum diketahui. Namun
demikian banyak faktor predisposisi, baik predisposisi primer
maupun sebagai predisposisi sekunder telah diketahui
sebagai agen etiologi. Staphylococci dan Micrococci diketahui
sebagai penyebab langsung melalui mekanisme hipersensitivitas.
Namun demikian, perannya secara patologis belum juga
diketahui.
Dalam
beberapa
kasus,
adanya
tekanan
emosional, trauma lokal seperti gigitan serangga dan kontak
dengan
bahan
kimia
mungkin
dapat
mempengaruhi
timbulnya dermatitis numularis, tetapi bukan merupakan
penyebab
utama.
Penyakit
ini
umumnya
cenderung
meningkat pada musim dingin, juga dihubungkan dengan
kondisi kulit yang kering dan frekuensi mandi yang sering
dalam sehari akan memperburuk kondisi penyakit ini.
d.
PATOFISIOLOGI
Dermatitis numularis merupakan suatu kondisi yang terbatas
pada epidermis dan dermis saja. Hanya sedikit diketahui
patofsiologi dari penyakit ini, tetapi sering bersamaan
dengan kondisi kulit yang kering.
Adanya fssura pada
permukaan kulit yang kering dan gatal dapat menyebabkan
masuknya alergen dan mempengaruhi terjadinya peradangan
pada kulit. Suatu penelitian menunjukkan dermatitis numularis
meningkat pada pasien dengan usia yang lebih tua
terutama yang sangat sensitif dengan bahan-bahan pencetus
alergi.
Barrier pada kulit yang
lemah pada kasus
ini
menyebabkan peningkatan untuk terjadinya dermatitis kontak

alergi oleh bahan-bahan yang mengandung metal. Karena


pada dermatitis numularis terdapat sensasi gatal, telah
dilakukan penelitian mengenai peran mast cell pada proses
penyakit ini dan ditemukan adanya peningkatan jumlah mast
cell pada area lesi dibandingkan area yang tidak mengalami
lesi pada pasien yang menderita dermatitis numularis.
Suatu
penelitian
juga
mengidentifkasi
adanya
peran
neurogenik yang menyebabkan inflamasi pada dermatitis
numularis dan dermatitis atopik dengan mencari hubungan
antara mast cell dengan saraf sensoris dan mengidentifkasi
distribusi neuropeptida pada epidermis dan dermis dari
pasien dengan dermatitis numularis.
Peneliti mengemukakan hipotesa bahwa pelepasan histamin
dan mediator inflamasi lainnya dari mast cell yang kemudian
berinteraksi dengan neural C-fbers dapat menimbulkan gatal.
Para peneliti juga mengemukakan bahwa kontak dermal antara
mast cell dan saraf, meningkat pada daerah lesi maupun
non lesi pada penderita dermatitis numularis. Substansi P
dan kalsitonin terikat rantai peptide meningkat pada daerah
lesi dibandingkan pada non lesi pada penderita dermatitis
numularis. Neuropeptida ini dapat menstimulasi pelepasan
sitokin lain sehingga memicu timbulnya inflamasi. Penelitian
lain telah menunjukkan bahwa adanya mast cell pada dermis
dari pasien dermatitis numularis menurunkan aktivitas enzim
chymase,
mengakibatkan
menurunnya
kemampuan
menguraikan neuropeptida dan protein. Disregulasi ini dapat
menyebabkan menurunnya kemampuan enzim untuk menekan
proses inflamas
e.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala yang umum, antara lain:
a.
Timbul rasa gatal
b.
UKK kulit yang antara lain makula, papul, vesikel, atau
tambalan :
i.
Bentuk numular (seperti koin)
ii.
Terutama pada tangan dan kaki
iii.
Umumnya menyebar
iv.
Lembab dengan permukaan yang keras

c.
Kulit bersisik atau ekskoriasi
d.
Kulit yang kemerahan atau inflamasi
Berdasarkan predileksinya dapat dibagi 3 bentuk klinis dermatitis
numularis yaitu:
b.
Dermatitis numularis pada tangan dan lengan
Kelainannya terdapat pada punggung tangan serta di bagian
sisi atau punggung jari-jari tangan. Sering dijumpai sebagai plak
tunggal yang terjadi pada sisi reaksi luka bakar, kimia atau
iritan. Lesi ini jarang meluas.
c.
Dermatitis numularis pada tungkai dan badan
Bentuk ini merupakan bentuk yang lebih sering dijumpai.
Pada sebagian kasus, kelainan sering didahului oleh trauma
lokal ataupun gigitan serangga.
Umumnya kelainan bersifat akut, persisten dan eksudatif.
Dalam perkembangannya, kelainan dapat sangat edematous
dan berkrusta, cepat meluas disertai papul-papul dan vesikel
yang tersebar. Pada Dermatitis numularis juga sering dijumpai
penyembuhan pada bagian tengah lesi, tetapi secara klinis
berbeda dari bentuk lesi tinea. Pada kelainan ini bagian tepi lebih
vesikuler dengan batas relatif kurang tegas. Lesi permulaan
biasanya timbul di tungkai bawah kemudian menyebar ke kaki
yang lain, lengan dan sering ke badan.
e.
PEMERIKSAAN
Pada pemeriksaan laboratorium, tidak ada penemuan yang
spesifk. Untuk membedakannya dengan penyakit lain,
seperti dermatitis karena kontak diperlukan patch test dan
prick test untuk mengidentifkasikan bahan kontak. Pemeriksaan
KOH untuk membedakan tinea dengan dermatitis numularis
yang mempunyai gambaran penyembuhan di tengah. Jika ada
kondisi lain yang sangat mirip dengan penyakit ini sehingga
sulit untuk menentukan diagnosisnya (contohnya pada tinea,
psoriasis) dapat dilakukan biopsi.
f.
DIAGNOSIS
Dermatitis
numularis
dapat
didiagnosis
berdasarkan
anamnesis dan gejala klinis. Tingkat gatal dan terjadinya
likenifkasi akan
membedakannya dari neurodermatitis.

Distribusi lesi biasanya pada kedua lutut, kedua siku dan kulit
kepala. Pada psoriasis, lesinya kering, skuamanya lebih tebal dan
iritasinya lebih ringan, patch test dan prick test akan membantu
mengidentifkasikan penderita dengan dermatitis kontak.
g.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari penyakit ini antara lain:
a.
Liken simpleks kronikus (neurodermatitis).
Biasanya jarang, lesinya kering berupa plak yang likenifkasi
engan distribusi tertentu.
b.
Dermatitis kontak alergi.
Morfologi
klinis primer antara dermatitis kontak dan
dermatitis numularis sering sulit untuk dibedakan. Pada
dermatitis kontak biasanya lokal, dan ditemukan riwayat
kontak sebelumnya. Untuk membedakan dapat dilakukan
pemeriksaan patch test atau prick test.
c.
Pitiriasis rosea
Merupakan peradangan yang ringan dengan penyebab yang
belum diketahui. Banyak diderita oleh wanita yang berusia
antara 15 dan 40 tahun terutama pada musim semi dan
musim gugur. Gambaran klinisnya bisa menyerupai dermatitis
numularis. Tetapi umumnya terdapat sebuah lesi yang besar
yang mendahului terjadinya lesi yang lain. Lesi tambahan
cenderung mengikuti
h.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaanya difokuskan pada gejala yang mendasari.
a.
Menghindari alergen.
Dermatitis numularis terutama pada anak sangat berkaitan
erat dengan dermatitis atopik, menghindari alergen pada
penderita atopik anak dapat menurunkan insidensi dermatitis
numularis.
b.
Melindungi kulit dari trauma. Karena pada jenis ini
biasanya berawal dari trauma kulit minor. Jika ada trauma
pada tangan, gunakan sarung tangan supaya tidak teriritasi.
c.
Pemberian Emollients
Emollients
merupakan
pelembab.
Digunakan
untuk
mengurangi kekeringan pada kulit. Contoh emollients yang
sering digunakan antara lain: aqueous cream, gliserine dan
cetomacrogol cream, wool fat lotions.

d.
Steroid topikal
Untuk menghilangkan peradangan pada kulit dan mengurangi
iritasi kulit. Dapat diberikan steroid dengan kombinasi
antibiotik untuk dermatitis numularis dengan infeksi sekunder.
e.
Antibiotik oral maupun topikal.
Untuk mengatasi infeksi sekunder. Digunakan antibiotik
golongan sefalosporin sebagai drug of choice untuk pioderma
misalnya cefadroxil dengan dosis oral 125-500 mg selama 7-10
hari. Kadang-kadang dermatitis numularis dapat sembuh
total, hanya timbul lagi jika pengobatan tidak diteruskan.
f.
Antihistamin oral
Mengurangi gatal dan sangat berguna pada malam hari. Yaitu
antihistamin H1 seperti Cetirizine dengan dosis oral 25-100 mg.
g.
Steroid sistemik
Digunakan untuk kasus-kasus dermatitis numularis yang
berat, diberikan prednilson dengan dosis oral 40-60 mg dengan
dosis yang diturunkan secara perlahan-lahan. Hanya berguna
dalam beberapa minggu, dermatitis yang belum sembuh
sempurna, dapat ditangani dengan pemberian krim steroid dan
emolilients.
I.

KOMPLIKASI
Infeksi sekunder. Dermatitis numularis pada anak
seringkali dijumpai datang ke rumah sakit dengan infeksi
sekunder.
J. PROGNOSIS
Pasien perlu untuk diberitahukan tentang perkembangan atau
perjalanan penyakit dari dermatitis numularis yang kronik dan
cenderung sering berulang (residif). Mencegah atau menghindari
dari faktor-faktor yang memperburuk atau meningkatkan
frekuensi untuk cenderung berulang dengan menggunakan
pelembab pada kulit akan sangat membantu mencegah
penyakit ini. Adapun prognosis bervariasi dalam setiap
individu.
Dermatitis
numularis
cenderung
residif
pada
sebagian besar kasus. Umumnya prognosis dari penyakit ini
adalah baik

Referensi : Djuanda, Adhi. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.


Edisi kempat. Jakarta: FKUI. Hal 148
2.
DERMATITIS STATIS
a.
Defnisi
Dermatitis sekunder akibat insufensi kronik vena ( atau
hipertensi vena ) tungkai bawah.
b.
Etiopatogenesis
Mekanisme timbulnya dermatitis inimmasih belum jelas. Ada
teori yang meningkatnya tekanan hidrostatik dalam sistm vena,
terjadi kebocoran fbrinogen masuk kedalam dermis. Selanjutnya
fbrinogen diluar pembuluh darah akan berpolimerisasi
membentuk selubung fbrin perikapiler dan intertisium, sehingga
menghalangi difusi oksigen dan makanan yang dibutuhkan untuk
kelangsungan hidup kulit. Akibatnya akan terjadi kematian sel.
Tetapi, ada data yang kurang mendukung hipotesis tersebut
hipotesis tersebut antara lain bahwa derajat pengendapan fbrin
tidak berhubungan dengan luasnya insufsiensi vena dantekanan
oksigen transkutan. Demikian juga selubung fbrin sekeliling
kapiler dermis tidak kontinu dan tidak teratur, sehingga sulit
berperan sebagai sawar fsis,, terutama untuk molekul kecil
seperti oksigen dan nutrient lain. Teori lain mengatakan adanya
hubungan anterio-vena, mengakibatkan hipoksi dan kekurangan
bahan makan dikulit yang terkena gangguan.
Ada juga hipotesis perangkap faktor pertumbuhan
yang
mengungkapkan bahwa keluarnya kelompok makro, misalnya
seperti fibrinogen , 2-makroglobulin, kedalam dermis akibat
hipertensi vena atau kerusakan kapiler, akan memperangkap
growth factor dan substansi stimulator lain atau homeostatic,
sehingga tidak mampu mempertahankan integritas jaringan dan
proses perbaikan bila terjadi luka akibat trauma yang ringan
sekali pun.
Hipotesis lain yaitu karena terperangkapnya sel darah putih yang
mnegatakan bahwa akibat hipertensi vena maka perbedaan
antara tekanan antara system arteri dan vena menurun,
kecepatan aliran darah dalam kapiler antara
dua system
tersebut berkurang, yang mengakibatkan agregasi eritrosit dan
sumbatan oleh leukosit di dalam kapiler, sehingga terjadi

iskemia. Sumbatan leukosit ini selain menimbulakn sawar fsis,


juga dapat melepaskan mediator tertentu (terutama enzim
proteolitik, misalnya kolagenase dan elastase, sitokin, radikal
bebas, dan faktor kemotaktik), yang dapat mempengaruhi
permebilitas pembuluh darah sehingga molekul yang besar,
misalnya fbrinogen dapat keluar ke jaringan perikapiler.
c.
Gambaran Klinis
Akibat tekanan vena yang meningkat pada tungkai bawah, akan
terjadi pelebara vena atau varises, dan edema. Lambat laun kulit
berwarna merah kehitaman dan timbul purpura (karena
ekstravasasi
sel
darah
merah
kedalam
dermis),
dan
hemosiderosis. Edema dan varises mudah terlihat bila pasien
lama berdiri. Kelainan ini di mulai dari permukaan tungkai bawah
bagian medial dan lateral di atas maleolus. Kemudian secara
bertahap akan meluas keatas sampai di bawah lutut, dan ke
bawah sampai ke punggung kaki. Dalam perjalanan selanjutnya
terjadi perubahan ekzematosa berupa eritema, skuama, kadang
eksudasi, dan gatal. Bila sedang berlangsunng lama kulit akan
menjadi tebal dan fbrotic, meliputi spertiga tungkai bawah,
sehingga seperti botol yang terbalik. Keadaan ini disebut
lipodermatosklerosis.
Dermatitis statis dapat mengalami komplikasi berupa ulkus di
atas maleolus disebut ulkus venosum atau ulkus varikosum;
dapat pula mengalami infeksi sekunder, misalnya selulitis.
Dermatitis staatis dapat diperberat karena mudah teriritasi oleh
bahan kontaktan, atu mengalami autosensitasi.
d.
Diagnosis
Diagnosis di dasarkan atas gambaran klinis. Diagnosis banding
dermatitis statis antara lain ialah dermatitis kontak (dapat terjadi
bersama-sama), dermatitis numularis, dan penyakit Schamberg.
e.
Pengobatan
Untuk mengatasi edema, tungkai di naikkan waktu tidur dan
waktu duduk. Bila tidur kaki diangkat di atas permukaan jantung
selama 30 menit, dilakukan 3 hingga 4 kali sehari, maka edema
akan menghilanng / mengurang dan mikrosirkulasi akan
membaik. Dapat pula bila malam hari, kaki tempat tidur sebelah
kanan di ganjal dengan balok setinggi 15- 20 cm ( sedikit lebih

tinggi dari pada letak kor). Apabila sedang menjalankan aktivitas,


memakai kaos kaki penyangga varieses atau pembalut elastic.
Eksudat di kompres dan setelah kering diberi krim kortikosteroid
potensi rendah sampai sedang., antibiotika sistemik diberikan
untuk mengatasi infeksii sekunder.

Skenario 6
Laki-laki berusia 33 tahun datang ke poliklinik dengan rambut
rontok dan bintik merah pada kepala sejak sebulan yang lalu.
Keluhan kadang disertai gatal meskipun ringan. Menurut pasien
gatal akan berkurang dengan menghentakkan rambutnya.
Rambut rontok tampak pada beberapa tempat di kepala
belakang dan kehilangan rambut cukup luas di kepala bagian
depan. Daerah tidak berambut tampak lebih merah jika terkena
matahari. Sudah berobat ke puskesmas dan diberi obat penyubur
tetapi belum sembuh. Pada pemeriksaan fsis ditemukan eritema
daerah yang tidak berambut, bintik hiperpigmentasi pada
beberapa titik.
Keluhan makin meluas seiring dengan
bertambahnya usia. Riwayat keluarga yakni adik kandung lakilaki dengan keluhan yang sama.
a.
Allopecia areata
1)
Defenisi
Alopesia areata adalah peradangan yang kronis, berulang dari
rambut terminal, yang ditandai oleh timbulnya satu atau lebih
bercak kerontokan rambut pada scalp dan atau kulit yang
berambut terminal lainnya. Lesi pada umumnya berbentuk bulat
atau lonjong dengan batas tegas, permukaan licin tanpa adanya
tanda-tanda atropi, skuamasi maupun sikatriks.14
2)
lnsidens

Prevalensi pada masyarakat umum di Amerika Serikat 0,1 0,2


%. Pada beberapa laporan perbandingan insidens alopesia areata
sama banyak antara pria dan wanita. 6,9 di Unit Penyakit Kulit
dan Ketamin RSCM Jakarta, dalam pengamatan selama 3 tahun
(1983 1985) penderita rata-rata sebanyak 20 orang pertahun
dengan perbandingan pria dan wanita 6 : 4. Umur termuda yang
pernah dicatat adalah 6 tahun, dan yang tertua 59 tahun. Resiko
untuk terkena alopesia areata selama masa hidup adalah 1,7
%.14
3)
Etiopatogenesis
Alopsia areata telah dikenal sejak 20 abad yang lalu, namun
sampai saat ini penyebabnya yang pasti belum diketahui
meskipun ada dugaan merupakan respon auto imun.14
Berbagai faktor atau keadaan patologik yang dianggap
berasosiasi dengan penyakit ini adalah :14
a)
Genetik
Alopesiaa areata dapat diturunkan secara dominan autosomal
dengan penetrasi yang variabel. Frekuensi alopesia areata yang
diturunkan secara genetik adalah 10 50 %. Insidens tinggi pada
alopesia areata dengan onset dini 37 % pada umur 30 tahun dan
7,1 % pada onset lebih dari 30 tahun. Dilaporkan terjadi pada
kembar identik sebesar lebih dari 55 %. Beberapa gen terangkai
erat misalnya sistem genetik HLA (Human Leucocyte Antigen)
yang berlokasi di lengan pendek kromosom-6 membentuk MHC
(Major Histocompatibility Complex). Tiap gen pada sistem genetik
HLA memiliki banyak varian (alel) yang berbeda satu dengan
yang lain. Kompleks HLA pada penderita alopesia areata diteliti
karena banyaknya hubungan penyakit-penyakit autoimun
dengan peningkatan frekwensi antigen HLA.Pernah diteliti
hubungan alopesia areata kelas I (HLA-A, -B, -C0) dan HLA kelas ll
(HLA-DR, -DQ, -DP).
Penelitian terbaru, ada hubungan alopesia areata dengan
beberapaantigen kelas I (HLA-A9, -B7, -B8, -B13, -B27) tapi belum
dipastikan. Beberapa tahun ini banyak terbukti hubungan
alopesia areata dengan HLA kelas ll (HLA-DR4, -DR5 subtipe DR4
dan DR11, -DQ3 subtipe DQ7 dan DQ8) alopesiaareata HLA-DRS
berhubungan dengan bentuk alopesia areata onset dini dan
alopesia areata dengan hilangnya rambut yang luas. Pada

alopesia areata terjadi peningkatan alel HLA-DQB1*0301 (DQ7),


HLA-DQB*03 (DQ3dan HLA-DRB1*110 4 (DR11). HLA-DBR1*03
(DQ3) tampaknya merupakan marker HLA untuk semua bentuk
alopesia areata. Alel HLA-DRB1*0401 (DR4) dan HLA-DRB1*0301
(DQ7) adalah marker untuk alopesia areata totalis/universalis
yang lebihberat. Pada Sindroma Down insiden alopesia areata
sebanyak 60 dibandingkan dengan 1 pada populasi normal.
Diduga ada keterlibatan gen pada kromosom 21 yang
menentukan kerentanan terhadap alopesiaareata.
b)
Stigmata atopi (faktor alergi)
Beberapa penelitian adanya hubungan antara alopesia areata
dengan atopi, terutama alopesia areata berat. Frekuensi
penderita alopesia areata yang mempunyai stigmata atopis
sebesar 10 52 %. Kelainan yang sering dijumpai berupa asma
bronkhial, rhinitis dan atau dermatitis atopik.
c)
Gangguan neurofsiologik dan emosional.
Pada alopesia areata telah dibuktikan dapat terjadi vasokonstriksi
yang disebabkan oleh gangguan saraf autonom, atau setelah
tindakan ortodontik. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa
stres mungkin merupakan faktor presipikasi pada beberapa kasus
pada alopesia areata. Pernah dilaporkan sebelum onset alopesia
areata terjadi psikotrauma, stres karena suatu peristiwa 6 bulan
sebelum rambut gugur, prevalensi yang tinggi terjadinya
kelainan psikiatri faktor psikologis, faktor situasi dalam rumah
tangga. Sebaliknya ada laporan bahwa stres tidak memegang
peranan penting dalam patogenesis alopesia areata.
d)
Gangguan organ ektodermal
Kerusakan kuku distropik dianggap berasosiasi dengan alopesia
areata, demikian pula timbulnya katarak tipe subkapsular
posterior.
e)
Kelainan endokrin
Beberapa penyakit endokrin antara lain gangguan fungsi kelenjar
dan diabetes melitus banyak dihubungan dengan alopesia
areata. Tiroid, kelenjar yang paling sering dijumpai kelainannya
pada penderita alopesia areata, memberikan gambaran penyakit
goiter. Gangguan endokrin lainnya dapat berupa vitiligo dan
kelainan gonad.
f)
Faktor infeksi

Adanya laporan mengenai kemungkinan adanya infeksi


Cytomegato virus (CMV) pada alopesia areata. Infeksi HIV juga
berpotensi sebagai faktor pencetus terjadinya alopesia areata.
Tapi ada penyelidikan lain yang menyebutkan tidak ada
hubungan bukti keterlibatan virus / bakteri belum dapat
disimpulkan.
g)
Faktor neurologi
Perubahan lokal pada sistem saraf perifer pada level papila
dermis mungkin memegang peranan pada evolusi alopesia
areata karena sistem saraf perifer dapat menyalurkan
neuropeptida yang memodulasi proses inflamasi dan proliferasi.
Teori ini didukung oleh Hlordinsk dkk : ada penurunan Calcitonin
Gene-Related Peptide (CGRP) dan Substansi P (SP) pada pasien
alopesia areata. Neuro CGRP bekerja sebagai antiinflamasi poten.
Neuropeptida SP mampu menginduksi pertumbuhan rambut
pada tikus. Pemberian Capsaicin (yang dapat menyebabkan
inflamasi neurogenik dan pelepasan SP) pada seluruh kulit kepala
pada 2 pasien alopesia areata dapat meningkatkan adanya SP
pada saraf perifolikular pasien alopesia areata dan menginduksi
pertumbuhan rambutvelus.
h)
Faktor hormonal / kehamilan
Ketidakseimbangan hormonal pada kehamilan kadang-kadang
dapatmencetuskan terjadi alopesia areata (Sabaroud 1896,
Sabaroud 1913). Banyak dilaporkan kasus alopesia areata terjadi
selama masa kehamilan. Alopesia areata pada keadaan ini pada
umumnya besifat sementara. Masa pubertas dan menopause
juga berpotensi untuk kembalinya alopesia areata.
i)
Bahan kimia
Bahan-bahan kimia yang berpotensi untuk terjadinya alopesia
areata adalah acrylamide (Roselino, 1996), formaldehyde dan
beberapa pestisida.
j)
Perubahan musim
Tercatat beberapa orang dijumpai alopesia areata selama terjadi
perubahan musim yaitu selama musim winter dan bersifat
sementara dan akan tumbuh kembali dalam musim summer.
k)
Trauma fsik.
l)
Local skin injury.
m)
Imunologis

4)
Mekanisme Terjadinya Alopesia Areata
Kelainan yang terjadi pada alopesia areata dimulai oleh adanya
rangsangan yang menyebabkan folikel rambut setempat
memasuki fase telogen lebih awal sehingga terjadi pemendekan
siklus rambut. Proses ini meluas, sedangkan sebagian rambut
menetap di dalam fase telogen. Rambut yang melanjutkan siklus
akan membentuk rambut anagen baru yang lebih pendek, lebih
kurus, terletak lebih superfsial pada middermis dan berkembang
hanya sampai fase anagen lV. Selanjutnya sisa folikel anagen
yang hipoplastik ini akan membentuk jaringan sarung akar
dalam, dan mempunyai struktur keratin seperti rambut yang
rudimenter. Beberapa ciri khas alopesia areata dapat dijumpai,
misalnya berupa batang rambut tidak berpigmen dengan
diameter bervariasi, dan kadang-kadang tumbuh lebih menonjol
ke atas (rambut-rambut pendek yang bagian proksimalnya lebih
tipis dibanding bagian distal sehingga mudah dicabut), disebut
exclamation-mark hairs atau exclamation point hal ini merupakan
tanda patognomonis pada alopesia areata. Bentuk lain berupa
rambut kurus, pendek dan berpigmen yang disebut black dots.
Lesi yang telah lama tidak mengakibatkan pengurangan jumlah
folikel. Folikel anagen terdapat di semua tempat walaupun terjadi
perubahan rasio anagen : telogen. Folikel anagen akan mengecil
dengan sarung akar yang meruncing tetapi tetap terjadi
diferensiasi korteks, walaupun tanpa tanda keratinisasi. Rambut
yang tumbuh lagi pada lesi biasanya didahului oleh rambut velus
yang kurang berpigmen.14
5)
Gambaran Klinis
Lesi alopesia areata stadium awal, paling sering ditandai oleh
bercak kebotakan yang bulat atau lonjong, berbatas tegas.
Permukaan lesi tampak halus, licin, tanpa tanda-tanda sikatriks,
atrof maupun skuamasi. Pada tepi lesi kadang- kadang tampak
exclamation-mark hairs yang mudah dicabut. Pada awalnya
gambaran klinis alopesia areata berupa bercak atipikal, kemudian
menjadi bercak berbentuk bulat atau lonjong yang terbentuk
karena rontoknya rambut, kulit kepala tampak berwarna merah
muda mengkilat, licin dan halus, tanpa tanda-tanda sikatriks,
atrof maupun skuamasi. Kadang-kadang dapat disertai dengan
eritem ringan dan edema. Bila lesi telah mengenai seluruh atau

hampir seluruh scalp disebut alopesia totatis. Apabila alopesia


totalis ditambah pula dengan alopesia dibagian badan lain yang
dalam keadaan normal berambut terminal disebut alopesia
universalis. Gambaran klinis spesifk lainnya adalah bentuk
ophiasis yang biasanya terjadi pada anak, berupa kerontokan
rambut pada daerah occipital yang dapat meluas ke anterior dan
bilateral 1 2 inci di atas telinga, dan prognosisnya buruk. Gejala
subjektif biasanya pasien mengeluh gatal, nyeri, rasa terbakar
atau parastesi seiring timbulnya lesi.14
Ikeda (1965), setelah meneliti 1989 kasus, mengemukakan
klasifkasi alopesia areata sebagai berikut :14
a)
Tipe umum, meliput 83 % kasus diantara umur 20 40
tahun, dengan gambaran lesi berupa bercak bercak bulat selama
masa perjalanan penyakit. Penderita tidak mempunyai riwayat
stigmata atopi ataupun penyakit endokrin autonomik, lama sakit
biasanya kurang dari 3 tahun.
b)
Tipe atopik, meliputi 10 % kasus, yang umumnya
mempunyai stigmata atopi, atau penyakitnya telah berlangsung
lebih dari 10 tahun. Tipe ini dapat menetap atau mengalami
rekurensi pada musim-musim tertentu (perubahan musim).
c)
Tipe kombinasi, meliput 5 % kasus, pada umur > 40 tahun
dengan gambaran lesi-lesi bulat, atau retikular. Penyakit endokrin
autonomik yang terdapat pada penderita antara lain berupa
diabetes melitusdan kelainan tiroid.
d)
Tipe prehipertensif, meliputi 4 % kasus, dengan riwayat
hipertensi pada penderita maupun keluarganya. Bentuk lesi
biasanya retikular.
Klasifkasi tersebut sangat berguna untuk menjelaskan
patogenesis dan meramalkan prognosis penyakit.
Pada beberapa penderita terjadi perubahan pigmentasi pada
rambut didaerah yang akan berkembang menjadi lesi, atau
terjadi pertumbuhan rambut baru pada lesi atau pada rambut
terminal di sekitar lesi. Hal ini disebabkan oleh kerusakan
keratinosit pada korteks yang menimbulkan perubahan pada
rambut fase anagen lll/IV dengan akibat kerusakan mekanisme
pigmentasi pada bulbus rambut.
6)
Diagnosis

Diagnosis Alopesia areata berdasarkan gambaran insfeksi klinis


atas pola mosaik alopesia atau alopesia yang secara klinis
berkembang progresisf. Didukung adanya trikodistrof, efluvium
anagen, atau telogen yang luas, dan perubahan pada gambaran
histopatologi. Pada stadium akut ditemukan distrof rambut
anagen yang disertai rambut tanda seru (exclamation mark hair)
pada bagian proksimal, sedangkan pada stadium kronik akan
didapatkan peningkatan jumlah rambut telogen. Perubahan lain
meliputi berkurangnya diameter serabut rambut, miniaturisasi,
pigmentasi yang tidak teratur. Tes menarik ram but pada bagian
tepi lesi yang positif menunjukkan keaktifan penyakit.14
Biopsi pada tempat yang terserang menunjukkan peradangan
limfostikperibulbar pada sekitar folikel anagen atau katagen
disertai meningkatnyaeosinofl atau sel mast.14
7)
Diagnosis Banding
Gambaran klinis alopesia areata yang berbentukkhas, bulat
berbatas tegas, biasanya tidak memberikan kesulitan untuk
menegakkan diagnosisnya. Secara mikroskopi, hal tersebut
diperkuat oleh adanya rambut distrofk dan exclamation-mark
hairs. Pada keadaan tertentu gambaran seperti alopesia areata
dapat dijumpai pada lupus eritematosus diskoid, dermatoftosis,
trikotilomania atau siflis stadium ll, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang lebih lanjut. Masa awitan alopesia areata
yang cepat dan difus sulit dibedakan secara klinisdari alopesia
pasca febris dan gangguan siklus rambut lainnya, kecuali bila
dijumpai rambut distrofk. Sikatriks pada lesi alopesia areata
yang kronik dapat pula terjadi oleh karena berbagai manipulasi
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan biopsi kulit.14
8)
Pengobatan
Khusus bagi pasien dengan alopesia areata, University of British
Columbia Hair Research and Treatment Centre, 1998, membuat
protokol pengobatan pada orang dewasa, sebagai berikut :14
a)
Kerontokan rambut < 50 %
1.
Tanpa terapi
2.
Penyuntikan triamisinolon asetonid intralesi
3.
Larutan minoxidil 5 %
4.
Kombinasi larutan minoxidil 5 % dengan kortikosteroid
topikal potensi tinggi.

5.
Kombinasi larutan minoxidin 5 % dan antralin.
6.
lmunoterapsie cara topikal apabila berbagai cara tersebut
di atas tidak menolong.
b)
Kerontokan rambut 50 %
7.
Imunoterapi secara topikal dengan diphencyprone (DPCP)
8.
Larutan minoxidil 5 % dan kortikosteroid topikal potensi
tinggi.
9.
Larutan minoxidil 5 % dan antralin.
10.
PUVA.
11.
Kortikosteroid sistemik.
b.
Allopecia androgenic
1)
Defnisi
Alopesia androgenik (juga dikenal sebagai androgenetic alopecia,
alopecia androtesticleas, male pattern baldness, common
baldness) merupakan sebuah bentuk umum kehilangan rambut
pada laki-laki dan perempuan. Pola kerontokan rambut pada
wanita berbeda dengan pola kebotakan laki-laki.15
Alopesia Androgenik adalah gangguan yang sangat umum yang
mempengaruhi baik laki-laki dan perempuan. Insiden ini
umumnya dianggap lebih besar pada laki-laki daripada
perempuan, meskipun beberapa bukti menunjukkan bahwa
perbedaan insiden merupakan cerminan dari ekspresi berbeda
pada pria dan wanita. Kebotakan pada laki-laki (alopesia
androgenik) dianggap normal pada laki-laki dewasa. Hal ini
mudah dikenali oleh distribusi rambut rontok di atas dan depan
kepala dan oleh kondisi sehat kulit kepala.15
2)
Epidemiologi
Sindrom alopesia androgenik mempunyai prevalensi yang tinggi
akhir-akhir ini. Alopesia androgenik merupakan tipe kebotakan
yang paling banyak, sekitar 50-80% dialami laki-laki kaukasia.
Pada wanita sekitar 20-40% populasi. Banyak pria usia muda
yang mengalami penipisan rambut kronis dan menjadi botak
sebelum masanya.15
Angka kejadian pada laki-laki sekitar 50% dan pada perempuan
biasanya terjadi usia lebih dari 40 tahun. Dilaporkan 13% dari
perempuan premenopause menderita alopesia androgenik,
namun, insidennya sangat meningkat setelah menopause.
Menurut beberapa penulis, 75% dari perempuan yang berumur

lebih dari 65 tahun kemungkinan menderita alopesia androgenik.


Insiden tertinggi pada orang kulit putih, kedua di Asia dan AfrikaAmerika, dan terendah pada penduduk asli Amerika dan Eskimo.
Hampir semua pasien memiliki onset sebelum usia 40 tahun,
walaupun banyak pasien (baik laki-laki dan perempuan)
menunjukkan bukti gangguan pada usia 30 tahun.15
3)
Etiologi
Alopesia androgenik adalah suatu kondisi yang ditentukan secara
genetik. Bila pasangan suami istri sama-sama menderita, maka
semua anak laki-laki dan setengah jumlah anak wanita akan
mengalami hal yang sama. Kebotakan pada laki-laki ditentukan
oleh hormon androgen, sedangkan pada wanita, alopesia
androgenik diduga dipengaruhi oleh genetik. Tahun 2008, 95
keluarga dipelajari secara genetik, didapatkan lokus dengan bukti
kuat untuk hubungan alopesia androgenik adalah 3q26 terpaut
pada kromosom X. Para peneliti telah menentukan bahwa
rambut rontok berhubungan dengan hormon androgen. Hormon
yang memproduksi androgen disebut dihidrotestosteron (DHT).
Androgen sangat penting untuk perkembangan seksual laki-laki
sebelum lahir dan selama masa puber. Androgen juga berfungsi
mengatur pertumbuhan rambut dan dorongan seksual pada lakilaki dan perempuan.15
Banyak pria yang masih muda mengalami penipisan rambut
kronis dan botak sebelum waktunya, hal ini disebabkan
percepatan konversi hormon. Adapun yang mempengaruhi
percepatan proses konversi hormon adalah kebiasaan hidup
masyarakat modern seperti fast food, tatanan diet yang kurang
seimbang, penggunaan obat-obatan, dll. Penyakit sistemik sering
mempengaruhi pertumbuhan rambut baik secara selektif atau
dengan mengubah kulit kepala. Salah satu contoh adalah
gangguan tiroid. Hipertiroidisme (T4 melebihi ambang normal,
4,3-12,4 ug/dl). menyebabkan rambut menjadi tipis dan halus.
Hipotiroidisme menyebabkan lebatnya rambut dan penebalan
kulit.15
4)
Patogenesis
Penyebab alopesia androgenik adalah percepatan konversi
hormon testosteron menjadi hormon turunannya yaitu
Dihydrotestosteron (DHT). Konversi ini terjadi sesaat setelah

proses pubertas berakhir atau kisaran usia 20 tahun. Hormon


DHT menghasilkan enzim tipe II, 5-a reductase. Folikel yang
terpapar oleh DHT menjadi lemah dan tidak mampu
menumbuhkan batang rambut (graft sehat). Mekanisme
kebotakan disebabkan singkatnya durasi anagen akibat terpapar
DHT, memanjangnya durasi telogen, dan mengecilnya folikel
rambut.15
Fase anagen lebih pendek sedangkan fase telogen memanjang,
rasio anagen dengan telogen dari 12:1 menjadi 5:1. Akibatnya
lebih banyak rambut berada fase telogen, sehingga penderita
mengalami peningkatan kerontokan rambut. Daerah ini
bervariasi pada individu, namun biasanya ditandai kebotakan
pada vertex. Wanita dengan alopesia androgenik umumnya
dimulai perluasan dari bagian pusat dan kemudian kehilangan
rambut atas mahkota. Hal ini bertahap sehingga akhirnya
mengalami kebotakan. Rambut laki-laki secara bertahap mulai
menipis di daerah temporal. Sebagian besar evolusi kebotakan
berkembang sesuai dengan klasifkasi Norwood/Hamilton bagian
depan dan vertex menipis. Rambut wanita biasanya mulai
menipis di puncak. Secara umum, perempuan mempertahankan
garis rambut bagian depan. Laki-laki dan perempuan dengan
kelainan alopesia androgenik, rambut terminal pigmennya lebih
tipis, lebih pendek, tak jelas dan akhirnya menjadi rambut vellus
nonpigmented secara bertahap.15
5)
Gambaran Klinis
Alopesia androgenik timbul pada akhir umur dua puluh atau awal
umur tiga puluhan. Rambut rontok secara bertahap dimulai dari
bagian verteks dan frontal. Garis rambut anterior menjadi
mundur dan dahi menjadi terlihat lebar. Puncak kepala menjadi
botak. Beberapa varian bentuk kerontokan rambut dapat terjadi,
tetapi yang tersering adalah bagian frontoparietal dan verteks
menjadi botak.15
Folikel membentuk rambut yang lebih halus dan berwarna lebih
muda sampai akhirnya sama sekali tidak terbentuk rambut
terminal. Rambut velus tetap terbentuk menggantikan rambut
terminal. Bagian parietal dan oksipital menipis.15
Adapun gejala klinis alopesia androgenik menurut Hamilton :15
Tipe I
: Rambut masih penuh

Tipe II
: Tampak pengurangan rambut pada kedua bagian
temporal; pada
tipe I dan II belum terlihat alopesia
Tipe III : Border line
Tipe IV : Pengurangan rambut daerah frontotemporal, disertai
pengurangan rambut bagian midfrontal
Tipe V : Tipe IV yang menjadi lebih berat
Tipe VI : Seluruh kelainan menjadi satu
Tipe VII
: Alopesia luas dibatasi pita rambut jarang
Tipe VIII : Alopesia frontotemporal menjadi satu dengan bagian
vertex
Pada wanita tidak dijumpai tipe VI sampai dengan VIII, kebotakan
pada wanita tampak tipis dan disebut female pattern baldness.
Kerontokan terjadi secara difus mulai dari puncak kepala.
Rambutnya menjadi tipis dan suram. Sering disertai rasa
terbakar dan gatal.15
6)
Pemeriksaan Penunjang
Analisis laboratorium dehydroepiandrosterone (DHEA)-sulfate dan
testosteron perlu dilakukan, hal tersebut dilakukan untuk
mengetahui hubungan kelebihan hormon androgen dengan
alopesia androgenik.15
Dehydroepiandrosterone (DHEA), suatu hormon yang diproduksi
glandula adrenal, yang merupakan prekursor dari hormon
estrogen dan testosteron. Kadarnya akan terus meningkat hingga
puncaknya pada usia 20 tahunan dan kemudian menurun hingga
berhenti
pada
usia
70-80
tahun.
Nilai
optimum
Dehydroepiandrosterone (DHEA) pada pria 400-500ug/dl dan
wanita 350-430ug/dl. Kebanyakan pria memproduksi 6-8 mg
testosteron (sebuah androgen) per hari, dibandingkan dengan
kebanyakan wanita yang memproduksi 0,5 mg setiap hari.15
Biopsi jarang dibutuhkan untuk membuat diagnosis. Jika satu
spesimen biopsi diperoleh, itu umumnya dipotong melintang jika
pola alopesia dicurigai.
Pada pemeriksaan histologis didapatkan pola alopesia, dengan
folikel rambut yang mini. Pola alopesia, diameter shaft rambut
bervariasi. Sisa saluran berserat (disebut pita) dapat ditemukan
di bawah miniatur folikel. Meskipun alopesia androgenik

dianggap sebagai bentuk peradangan rambut rontok. Rasio


durasi anagen dan telogen sering diamati.15
7)
Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis alopesia androgenik diperlukan
pengalaman observasi kebotakan. Ada 3 hal yang merupakan
indikasi kebotakan dini:16
a)
Terjadi kerontokan gradual yang menyebabkan penipisan
di areal widows peak (kening, crown, dan vertex)
b)
Rambut-rambut di areal widows peak tipis, ringan, tidak
hitam pekat, dan mudah lepas
c)
Penipisan semakin parah dan melebar seiring dengan
waktu
Bila ketiga hal di atas terjadi dipastikan pria tersebut mengalami
alopesia androgenik. Sehingga memerlukan penanganan yang
sedini mungkin untuk menyelamatkan folikel-folikel yang lemah
agar tidak mati.16
8)
Terapi
a)
Rogaine (minoxidil) adalah obat yang digunakan untuk
mengobati tekanan darah tinggi yang bila dioleskan ke kulit
menyebabkan pertumbuhan rambut. Minoxidil adalah suatu
cairan yang dioleskan pada kulit kepala. Satu mL dari solusi
minoxidil harus diterapkan dua kali sehari untuk mencapai dan
mempertahankan pertumbuhan. Efek samping minoxidil pada
kulit kepala adalah iritasi, kekeringan, scaling, gatal kemerahan,
dan dermatitis alergi.16
b)
Finasteride adalah obat dalam bentuk pil (oral).
Mekanisme obat ini adalah menghambat 2 5-reduktase. Dosis 1
mg/hari
dapat
mencegah
rambut
rontok.
Finasteride
menghambat konversi testosteron menjadi dihidrotestosteron
dan menurunkan tingkat dihidrotestosteron dalam serum dan
kulit kepala. Tidak diperlukan penyesuaian dosis untuk rentang
usia atau hilangnya rambut. Perlu diingatkan penderita yang
mengalami gangguan fungsi hati. Obat ini tidak efektif pada pria
berusia lebih dari 60 tahun. Kontraindikasi pada wanita. Dosis
orang dewasa 1 mg PO qd sedangkan pada anak-anak tidak
tersedia. Efek samping penurunan libido.16

c)
Anthralin memiliki efek modulasi kekebalan tubuh
nonspesifk. Aman dan digunakan pada anak-anak dan orang
dewasa.16
d)
Pencangkokan rambut dilakukan dengan mengangkat
sekumpulan kecil rambut dari daerah dimana rambut masih
tumbuh dan menempatkannya di daerah yang mengalami
kebotakan. Hal ini bisa terbentuk jaringan parut di daerah donor
dengan resiko infeksi rendah.16
9)
Prognosis
Prognosis kebotakan (alopesia) tergantung penyebabnya.
Namun, prognosis androgenetic alopesia tidak diketahui. Pada
umumnya lebih mudah rambut rontok daripada rambut
tumbuh.16
10)
Komplikasi
Rambut rontok dapat menyebabkan gangguan kosmetik,
mempengaruhi secara psikologis (kecemasan) dan jarang
monosymptomatic hypochondriasis. Kulit kepala botak mudah
terpapar sinar matahari (sinar ultraviolet), dan menimbulkan
Multipel Actinic Keratosis.16
c.
Dermatitis Seboroik
1)
Defnisi
Dermatitis seboroik adalah peradangan kulit yang sering terdapat
pada daerah tubuh berambut, terutama pada kulit kepala, alis
mata dan muka, kronik dan superfsial, didasari oleh faktor
konstitusi.17
2)
Epidemiologi
Dermatitis seboroik merupakan penyakit inflamasi kronik yang
mengenai daerah kepala dan badan di mana terdapat glandula
sebasea. Prevalensi dermatitis seboroik sebanyak 1% - 5%
populasi. Lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita1.
Penyakit ini dapat mengenai bayi sampai dengan orang dewasa.
Umumnya pada bayi terjadi pada usia 3 bulan sedangkan pada
dewasa pada usia 30-60 tahun.17
Dermatitis seboroik dan Pityriasis capitis (cradle cap) sering
terjadi pada masa kanak-kanak. Berdasarkan hasil suatu survey
terhadap 1116 anak-anak yang mencakup semua umur
didapatkan prevalensi dermatitis seboroik adalah 10% pada anak
laki-laki dan 9,5% pada anak perempuan. Prevalensi tertinggi

pada anak usia tiga bulan, semakin bertambah umur anaknya


prevalensinya semakin berkurang. Sebagian besar anak-anak ini
menderita dermatitis seboroik ringan. Secara internasional
frekuensinya sebanyak 3-5%. Ketombe yang merupakan bentuk
ringan dari dermatitis ini lebih umum dan mengenai 15 - 20%
populasi.17
3)
Etiologi
Etiologi dermatitis seboroik masih belum jelas, meskipun
demikian berbagai macam faktor seperti faktor hormonal, infeksi
jamur,
kekurangan
nutrisi,
faktor
neurogenik
diduga
berhubungan dengan kondisi ini. Menurut Djuanda (1999) faktor
predisposisinya adalah kelainan konstitusi berupa status
seboroik.17
Keterlibatan faktor hormonal dapat menjelaskan kenapa kondisi
ini dapat mengenai bayi, menghilang secara spontan dan
kemudian muncul kembali setelah pubertas. Pada bayi dijumpai
kadar hormon transplansenta meninggi beberapa bulan setelah
lahir dan penyakitnya akan membaik bila kadar hormon ini
menurun.17
Faktor lain yang berperan adalah terjadinya dermatitis seboroik
berkaitan dengan proliferasi spesies Malassezia yang ditemukan
di kulit sebagai flora normal. Ragi genus ini dominan dan
ditemukan pada daerah seboroik tubuh yang mengandung
banyak lipid sebasea (misalnya kepala, tubuh, punggung). Selden
(2005) menyatakan bahwa Malassezia tidak menyebabkan
dermatitis seboroik tetapi merupakan suatu kofaktor yang
berkaitan dengan depresi sel T, meningkatkan kadar sebum dan
aktivasi komplemen. Dermatitis seboroik juga dicurigai
berhubungan dengan kekurangan nutrisi tetapi belum ada yang
menyatakan alasan kenapa hal ini bisa terjadi.17
4)
Manifestasi Klinis
Dermatitis seboroik umumnya berpengaruh pada daerah kulit
yang mengandung kelenjar sebasea dalam frekuensi tinggi dan
aktif. Distribusinya simetris dan biasanya melibatkan daerah
berambut pada kepala meliputi kulit kepala, alis mata, kumis dan
jenggot. Adapun lokasi lainnya bisa terdapat pada dahi, lipatan
nasolabial, kanalis auditoris external dan daerah belakang
telinga. Sedangkan pada tubuh dermatitis seboroik dapat

mengenai daerah presternal dan lipatan-lipatan kulit seperti


aksila, pusar, inguinal, infra mamae, dan anogenital.17
5)
Diagnosis
a)
Anamnesis
Bentuk yang banyak dikenal dan dikeluhkan pasien adalah
ketombe/ dandruft. Walaupun demikian, masih terdapat
kontroversi para ahli. Sebagian mengganggap dandruft adalah
bentuk dermatitis seboroik ringan tetapi sebagian berpendapat
lain.17
b)
Pemeriksaan fsik
Secara klinis kelainan ditandai dengan eritema dan skuama yang
berbatas relatif tegas. Skuama dapat kering, halus berwarna
putih sampai berminyak kekuningan, umumnya tidak disertai
rasa gatal. Kulit kepala tampak skuama patch ringan sampai
dengan menyebar, tebal, krusta keras. Bentuk plak jarang. Dari
kulit kepala dermatitis seboroik dapat menyebar ke kulit dahi,
belakang leher dan belakang telinga. Distribusi mengikuti daerah
berambut pada kulit dan kepala seperti kulit kepala, dahi, alis
lipatan nasolabial, jenggot dan belakang telinga. Perluasan ke
daerah submental dapat terjadi.17
c)
Histologis
Pemeriksaan histologis pada dermatitis seboroik tidak spesifk.
Dapat ditemukan hiperkeratosis, akantosis, spongiosis fokal dan
paraketatosis Biopsi kulit dapat efektif membedakan dermatitis
seboroik dengan penyakit sejenis. Pada dermatitis seboroik
terdapat neutrofl dalam skuama krusta pada sisi ostia follicular.
AIDS berkaitan dengan dermatitis seboroik tampak sebagai
parakeratosis, nekrotik keratinosites dalam epidermis dan sel
plasma dalam dermis. Ragi kadang tampak dalam keratinosites
dengan pengecatan khusus.17
4)
Terapi pada Dermatitis Seboroik17
Terapi
Dosis
Anti inflamasi
Sampo steroid
Flusinolon
2xseminggu
Steroid topical
Flusinolon
setiap hari
Losion betametason valerate
setiap hari

Krim desonide
Inhibitor kalsineurin topikal
Salep takrolimus
Krim pimekrolimus
Keratolitik
Sampo asam salisilat
Sampo tar
Sampo zinc pyrithione

setiap hari
setiap hari
setiap hari
2xseminggu
2xseminggu
2xseminggu

Anti jamur
Sampo ketokonazole
Sampo selenium sulfde
Pengobatan alternatif
Sampo tea tree oil

2xseminggu
2xseminggu
setiap hari

You might also like