Professional Documents
Culture Documents
penggunaan sepatu, jubah, dan keris pada wayang dewa dan pendeta yang beroprasi di wilayah timur.
Gaya yang satu lagi adalah gaya Kasepuhan oleh Kyai Panjang Mas. Gaya pedalangan ini
menghilangkan Bagong karena mendapat larangan dari pemerintah Belanda. Bagong dianggap sebagai
orang yang lancang mulut dan sering mengkritik pemerintahan Belanda di Jawa.
Anoman Gaya Surakarta
Pada pemerintahan Pakubuono III pusat pemerintahan Mataram dipindah dari Kartasura ke Surakarta. Ini
adalah masa peralihan dari gaya Mataraman ke jaman Surakartan. Perubahan ini terlihat dengan
diubahnya bentuk kera dan raksasa sehingga hanya bermata satu. Selain itu wayang gaya Surakarta
juga di peramping sehingga memudahkan dalang dalam melakukan sabet atau olah wayang.
Anoman Gaya Yogyakarta dan Gaya Mangkunegaran
Pada masa pemerintahan Pakubuono IV, terjadi perselisihan antara golongan tua dan muda. Golongan
tua yang dikepalai oleh Pangeran Mangkubumi menyatakan perselisihannya terhadap Pakubuono IV
yang mau bekerjasama dan mengakui kedaulan pemerintahan Belanda atas kerajaan Mataram. Akibat
dari perjanjian Giyanti, Mataram di pecah menjadi dua yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan
Kasunanan Surakarta. Pangeran Mangkubumi lalu menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono I. Sebagai
golongan tua, kemudian Mangkubumi mengembangkan wayang gaya Mataraman sedangkan Pakubuono
IV mengembangkan wayang gaya Surakarta atau sekarang lebih tenar dengan nama wayang gaya Solo.
Lebih lanjut, Kasunanan Surakarta yang kemudian pecah lagi menjadi Kasunanan Solo dan
Mangkunegaran. Oleh Mangkunegara I, wayang gaya Solo lalu di perbesar. Pada wayang gaya
Yogyakarta pun lalu terjadi perubahan dengan adanya gaya baru yaitu wayang Paku Alaman yang masih
mempertahankan bentuk gaya Mataram namun kebanyakan wayangnya menggunakan keris.
PENDAHULUAN
Jika kita melihat suatu pertunjukan wayang kulit baik melalui televisi maupun secara langsung biasanya
kita hanya tahu bahwa itu merupakan sebuah boneka wayang yang sama saja namun sesungguhnya
berbeda. Meskipun kesemuannya wayang kulit namun ada berbagai macam wayang. Contohnya wayang
gagrak/gaya Surakarta, Yoyakarta, Jawa Timuran, Banyumasan, Cirebonan, Palembang dan lain-lain
semuanya memiliki perbedaan dan memiliki ciri yang khas.
Pagelaran Wayang Kulit adegan Jejer Pandawa
Setelah Wayang mendapat penghargaan sebagai warisan budaya dunia dari UNESCO, rasanya sangat
penting bagi kita untuk terus melestarikan wayang yang ada. Banyaknya jenis wayang yang telah punah
seperti wayang Banjar, dan wayang Palembang membawa keprihatinan di dalam diri pencinta wayang
sendiri yang semakin lama semakin menurun.
Di dalam buku ini sendiri saya hanya akan membahas perbedaan yang ada dalam boneka wayang dari
Surakarta dan Yogyakarta yang jarang sekali diperhatikan perbedaannya.
Tentu saja masih banyak perbedaan yang dapat kita temukan dalam dunia pewayangan yang dapat
dibahas lebih lanjut. Namun di sini saya hanya akan membahas tentang perbedaan fisik wayang dari
kedua daerah tersebut, bukan gaya pedalangannya. Meskipun buku ini masih sangat dangkal jika kita
melihat secara keseluruhan dunia pewayangan karena banyaknya wayang wayang yang masih eksis
dalam kehidupan seperti wayang menak, wayang golek, wayang gedok dan lain-lain, namun diharapkan
dengan adanya buku ini, para pencinta wayang sadar akan beraneka ragamnya kebudayaan yang kita
miliki dan diharapkan pula buku ini menjadi tumpuan unuk penulisan dan pembahasan keaneka ragaman
budaya wayang lainnya. Jika kita lihat, wayang kulit purwa saja dari daerah Jawa Tengah memiliki
beberapa gaya.
Pagelaran Wayang Semalam Suntuk oleh Ki Sukoco
Tujuan dari penulisan buku ini adalah sebagai sarana untuk mengembangkan pengetahuan tentang
boneka wayang dan juga untuk menyadarkan bahwa kita memiliki beraneka ragam budaya yang sangat
perlu untuk dilestarikan dan ini bukanlah suatu persaingan untuk menentukan mana yang unggul dan
lebih baik karena dalam budaya seni tidak ada yang lebih baik ataupun lebih buruk. Kesemuanya
memiliki keunikan masing-masing sehingga janganlah pembaca salah menangkap bahwa penulisan buku
ini hanya semata-mata mencari pengikut gaya mana yang lebih pantas dan lebih sempurna.
WAYANG DEWA DAN PENDETA
Dalam buku ini, boneka-boneka wayang akan di bagi menjadi tujuh bagian. Yang pertama adalah
wayang dewa dan pendeta, wayang putren, wayang ksatria dan raja, wayang kera, wayang raksasa,
wayang ricikan seperti hewan dan gunungan dan kemudian wayang punakawan.
Khusus untuk wayang Dewa, dan pendeta yang akan dibahas di bagian ini. Banyak sekali perbedaan
yang sangat signifikan yang dapa kita lihat dari bentuk wayang tersebut secara keseluruhan. Di sini dapat
kita dapati dalam wayang Batara Guru, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu dan Batara Narada.
Tentu masih banyak perbedaan yang bisa kita temui pada dewa-dewa lainnya. Namun di sini saya
hanya ingin menunjukkan perbedaan yag terdapat pada dewa-dewa yang cukup terkenal di dunia
pedalangan saja.
yang menggambarkan Batara Brahma dengan wajah mirip dengan Barata Indra namun mendongak.
Selain itu suatu hal yang umum yang dapat ditemui melalui Batara Brahma adalah wayang Batara
Brahma yang umumnya di beri warna Merah, meskipun terkadang wajah Batara Brahma hanya di prada
(warna emas). Seperti dewa-dewa gaya Surakarta lainnya, Batara Sambu juga menggunakan jenggot
dari dagu hingga pangkal leher. Berbeda dengan gaya Surakarta, gaya Yogyakarta pada umumnya
memisah jenggot menjadi dua bagian, pada ujung dagu dan pangkal leher.
Berpindah dari para dewa-dewa, kini kita akan membahan tokoh-tokoh pendeta yang eksis dalam
pewayangan wayang kulit purwa. Tokoh-tokoh pendeta yang ada dalam pewayangan Surakarta pada
umumnya menggunakan satu wayang saja untuk tokoh-tokoh yang kurang dikenal seperti Begawan
Kesawawidi, Resi Padmanaba, Begawan Druwasa yang menggunakan wayang srambahan (wayang
pinjaman untuk memainkan tokoh tertentu). Hanya tokoh seperti Begawan Abiyasa, Begawan Drona,
Resi Bisma saja yang memiliki wayang khusus. Di bawah ini akan kita lihat bagaimana perbedaan
wayang pendeta dan ciri khas dari masing-masing daerah.
Pada wayang Begawan Abiyasa di bawah ini ternyata kedua belah pihak sama-sama menggunakan
jubah dan sorban. Ciri khas dari wayang gaya Yogyakarta yang dapat kita temui pada wayang pendeta
ini adalah, Begawan Abiyasa pada gaya Yogyakarta memiliki tubuh yang lebih membungkuk dan
mengenakan topong kethu (jenis topong) yang merupa kan ciri khas dari wayang gaya Yogyakarta
terutama untuk pendeta dan beberapa dewa. Selain itu wayang pendeta gaya Yogyakarta juga dapat
ditemui garida mungkur yang berada tepat setelah topong kethu. Dalam gambar di bawah, garuda
mungkur memang kurang jelas, namun ini akan dibahas dalam bab selanjutnya.
Layaknya para dewa, Begawan Abiyasa dari Surakarta mengenakan jubah, sorban, dan pernik-pernik
lainnya sehingga terlihat lebih mewah dari gaya Yogyakarta. Wajah dari sang pendeta pun terlihat hanya
menunduk secara normal.
akan semuanya mengarah ke depan dengan kain jarik dan juga rambut yang mengarah ke depan. Selain
itu tubuh dari wayang putren gaya Yogyakarta yang lebih membungkuk, menjadikannya terlihat seperti
kebesaran buah dada. Dalam hal ini wayang Surakarta yang memang berusia lebih muda dari wayang
gaya Yogyakarta terlihat lebih realistis dengan kain jarik yang mengarah kebelakang sehingga terlihat
sepetri terseret. Dalam hal logika memang wayang Surakarta lebih dapat diterima dan masuk akal.
Mengenai arah rambut wayang putren gaya Surakarta yang munkin kurang tampak pada wayang Dewi
Drupadi di atas dapat terlihat lebih jelas dalam wayang Dewi Dursilawati dibawah ini.
Jakarta kendati demikian masih banyak aspek wayang putren gaya Yogyakarta yang di pertahankan
dalam wayang-wayang Kyai Inten seperti rambut yang masih mengarah ke depan dan badan yang masih
membungkuk.
membuat orang menjadi kesal. Sifat-sifat ini menarik perhatian Suyudana untuk dimanfaatkan
menghadapi perang dengan Pandawa. Lalu disusun taktik perang urat syaraf, yaitu mengintimidasi,
mencaci maki atau mengejek musuh disertai gerak dan gaya yang menyebalkan untuk menjatuhkan
mental Pandawa. Setelah diberi latihan bagaimana cara mengejek orang dan pesan-pesan yang harus
disampaikan, berangkatlah ia ke perkemahan Pandawa dengan predikat Caraka atau Duta yang memiliki
kekebalan diplomatik sehingga akan terhindar dari gangguan fisik.
Kebetulan saat itu Pandawa sedang mengadakan musyawarah dengan para raja membahas persiapan
perang. Di saat itulah Oluka muncul ke tengah persidangan. Dengan gaya dibuat-buat jalan terbungkukbungkuk kemudian duduk bersimpuh di hadapan Yudhistira seraya berkata: "Duh gusti manusia berbudi
luhur, hamba adalah Caraka Kurawa diutus Prabu Duryudana untuk menyampaikan pesan beliau ke
hadapan gusti dan para satria Pandawa," ujarnya.
"kedatanganmu kuterima dengan senang hati. Adakah engkau membawa surat dari gustimu?" "Ampun
gusti, tak sehelai pun hamba bawa, kecuali pesan lisan yang harus hamba sampaikan melalui mulut
hamba," katanya mengundang rasa heran. Pesan apa gerangan yang ingin disampaikan Duryudana
menjelang perang? Kresna yang sejak tadi curiga bertanya: "Apakah pesan itu bersifat terbuka? "Siapa
pun boleh mendengarkan," katanya dengan suara parau dibuat-buat. Kresna membisikkan sesuatu
kepada Yudhistira dimana kemudian ia minta perhatian seluruh yang hadir untuk mendengarkan pesan
Duryudana melalui Carakanya. Tetapi diingatkan, apabila bunyi pesan dan tingkah laku si Caraka tidak
berkenan, diminta untuk tidak melakukan tindakan atau menyakiti sang Caraka. Kemudian Caraka
dipersilahkan menyampaikan pesan-pesan itu.
Mula-mula ia berlaku sopan, sujud di hadapan Yudhistira, memberi hormat kepada semua yang hadir.
Tetapi sejurus kemudian tak diduga, tiba-tiba ia melompat ke tengah persidangan sambil tertawa
terbahak-bahak. Kedua kakinya direntangkan, tangan kiri bertolak pinggang, sedang tangan kanan
menunjuk-nunjuk Yudhistira seraya berkata: "Hei, Yudhi, aku adalah Suyudana raja agung di seluruh
jagat raya. Dengarkan aku ingin bicara kepadamu. Engkau keturunan raja perkasa berdarah satria, tapi
mengapa engkau menjadi seorang pengecut, hah." Menyaksikan ulah si Oluka yang mendadak seperti
orang gila keadaan menjadi kacau, para raja menjadi kesal dan sebal. Serentak mereka bangun dari
kursinya dan berteriak-teriak histeris: "Tangkap dia, dia Caraka gila yang sengaja dikirim Suyudana untuk
menghina kita. Ayo tangkap bunuh dia." Melihat gelagak tak baik segera Yudhistira berseru: "Tengan,
tengan, tuan-tuan, sudah kami ingatkan bahwa seorang Duta tak boleh disakiti. Ini ujian bagi kita
khususnya bagi kami kaum Pandawa. Kendalikan diri anda masing-masing. Terima kasih." Akhirnya
suasana menjadi tenang kembali meskipun di sana-sini masih terdengar suara menggerutu. Kemudian
Oluka dipersilahkan kembali menyampaikan pesan Suyudana. Maka Oluka melirik ke arah sang Bima
dan dengan mata melotot serta telunjuk dituding-tudingkan hampir mengenai hidung Bima mulai ia
mengoceh: "Naaah, sekarang giliranmu hei orang gemblung. Sejak tadi kuperhatikan kau seperti orang
melamun. Rupa-rupanya kau sedang melamun ingin menjadi orang kaya jika berhasil merebut negara
Astrina," ejeknya sambil tertawa terbahak-bahak. "Wah, wah, orang miskin pengen jadi kaya kemudian
memimpin negara, lalu seenaknya memakai uang untuk membeli keperluan rumah tangga, ... wah celaka
negara bisa bangkrut. Cisss tak tahu malu. Tapi sayang hei orang edan, keinginanmu itu tidak seimbang
dengan keberanianmu. Buktinya wakt Drupadi ditelanjangi didepan orang banyak, kau hanya
menggeram-geram saja seperti orang sedang sakit meriang, ha ha haaa ... lalu, oya ... kau pernah
mengancam akan membunuh adikku Dursasana, oouhh, lucu, karena sebelum kau sempat
melakukannya, tubuhmu yang besar tapi tak bergizi itu sudah kulemparkan ke dalam lumpur di Tegal
Kuru, ha.. ha.. haaa....," ejeknya.
Begitu selesai Oluka memaki, meloncatlah Bima memburu berusaha menjambak rambut Oluka.
Untunglah Arjuna dan Nakula Sadewa yang sudah menduga Bima takkan tahan menerima ejekan, telah
bersiap-bersiap menghadang. Sementara para raja berteriak-teriak mendukung Bima: "Bunuh dia, cekik
dia, gantung dia...." mendengan suara dukungan Bima semakin bernafsu hendak membanting si Caraka,
tetapi tiba-tiba ia mendengar suara lembut tapi berwibawa: "Sena, elinglah dik. Kita sedang diuji Dewata.
Penjarakan nafsumu, kau tak akan terkenal dengan membunuh dia, lagi pula dia hanyalah seorang
Caraka, dik," ujar Yudhistira minta pengertian. Bima hanya bisa menggeram-geram sambil mencoba
memulihkan kesadarannya. Tapi sebagai ganti melampiaskan amarhnya, ia salurkan lewat mulutnya:
"Hei anak bajingan licik penipu judi, sampaikan pesanku kepada si keparat Suyudana, bahwa apabila
wakti itu aku tidak menolong Drupadi, bukan karena aku takut, tetapi aku tunduk kepada saudaraku
Yudhistira. Sebaliknya kalau saja tak dihalang-halangi,kepala si keparat Suyudana pasti sudah
kuhancurkan rata dengan tanah," katanya geram. Oluka mengira Bima sudah selesai memaki ditambah
perasaan takut yang tak kepalang, ia beranjak hendak kembali ke tempat semula, tetapi tiba-tiba: "Diam,"
bentak Bima hingga Oluka semakin gemetaran dibuatnya. "Aku belum puas ngomong goblok. Dengarkan
dan katakana kepada suyudana, bahwa saatnya akan segera tiba di mana aku telah bersumpah, di
medan perang nanti pahanya akan kuremukkan dengan gadaku dan kulitnya akan ku beset-beset hingga
kelihatan dagingnya, mengerti, hah?" Oluka menjawab: "Me, me, me, mengerti gusti.....," sahutnya
gemetaran. "Sudahlah kang," bujuk Arjuna. "Diam," Arjuna pun kena bentak hingga tertunduk.
"Sampaikan juga kepada si Dursasana, bahwa perutnya akan ku odet-odet sampai keluar isinya
darahnya akan kuminum serta sebagian lagi untuk keramas Drupadi," tukasnya sambil balik ke
tempatnya.
Demikianlah berturut-turut pesan Suyudana itu disampaikan oleh Oluka masing-masing kepada Arjuna
dan Kresna dengan gaya dan kata-kata yang menyebalkan, tetapi dijawab dengan kata-kata yang tak
kurang bernadakan ancaman dalam peperangan nanti di Tegal Kuru. Setelah selesai Oluka berkata:
"Duh gusti ratu adil paramarta, hanya kebesaran jiwa padukalah yang dapat memaafkan segala tindakan
hamba tadi. Hamba hanyalah titah belaka," katanya mohon pengertian. Yudhistira pun maklum bahwa
sedikitpun Oluka tidak bersalah. Yudhistira menyampaikan pesan kepada Suyudana, bahwa ia minta
maaf apabila nanti di medan perang pihaknya akan bersikap keras sebagai layaknya, yang berperang.
Setelah itu Oluka kembali ke kubu Kurawa.
Cinta adalah urusan hati. karena itu tidak mengenal kelas tinggi rendahnya derajat, kaya miskin, suku
bahkan yang berlainan bangsa. Bila cinta telah bersemi dalam dua hati sulit untuk dipisahkan. Walaupun
demikian bukan berarti tidak ada batas kewajaran ketentuan yang hak dan non hak, baik menurut
ketentuan adat istiadat maupun azas peradaban manusia.
Tetapi yang namanya cinta terkadang melanggar peradaban hak azasi seperti makhluk raksesa jatuh
cinta kepada bangsa manusia. Tentu saja itu hanya terjadi dalam cerita seperti cerita pewayangan
raksesi Arimbi jatuh cinta kepada Bima sebagai simbol manusia. Tetapi itu pun hanya merupakan
lambang semata.
Awal terjadinya cinta itu ketika kaum Pandawa sedang menjalani hukum buang akibat kalah main judi
dengan Kurawa hingga harus menderita merana di hutan belantara. Ketika itu Pandawa bersama ibunya
sedang meneduh di bawah sebuah pohon yang daunnya amat rindang. Karena kelelahan yang amat
sangat, mereka tertidur dengan lelap hanya Bima yang menjaga menolak bahaya yang mungkin datang.
Ternyata mereka berada di daerah kekuasaan raja raseksa yang ganas beranma Arimba penguasa
kerajaan Pringgandani.
Si raja itu mengetahui bahwa ada beberapa orang sedang meneduh di daerah kekuasaannya. Segera
diperintahkan adiknya raseksi Arimbi untuk membunuh orang-orang itu. Berangkatlah si raseksi yang
sama ganasnya itu menuju tempat para Pandawa sedang beristirahat.
Tetapi apa yang terjadi? Begitu si raseksi melihat Bima yang gagah dan tampan rupawan, mendadak
dalam hatinya timbul rasa cinta terhadap sang pengawal itu. Buyarlah niat ingin membantai dan tanpa
sadar terlepas kata-kata: "Duh, biang, biang, cukup banyak laki-laki yang telah kutemui, tapi tak
setampan dan segagah dia. Tubuhnya yang jantan bertenaga rahasia, gerak-gerikanya menarik
menyeret hati. Duhai Dewa Asmara lepaskan anak panahmu agar mengenai jantungnya, bakarlah naluri
kejantanannya."
Maklum adat raseksi yang tidak tahu malu, didatangilah Bima dan dirayunya bahkan mengajak kawin.
Tentu saja Bima menjadi marah dan Arimbi hendak dibunuhnya, tapi secepat kilat si raseksi menjatuhkan
diri dan sujud di hadapan Dewi Kunti seraya mohon tolong. Seketika Kunti pun terbangun serta
mencegah niat sang Bima hendak membunuh raseksi itu.
Tiba-tiba muncul raseksa Arimba serta mengetahui apa yang sedang terjadi dengan adiknya. Tentu saja
raseksa itu dengan amat murkanya hendak membantai para Pandawa. Tetapi dengan sigap pula Bima
menghadang dan terjadilah pertarungan dahsyat antara Bima dengan Arimba yang berakhir dengan
terbunuhnya raja Pringgandani itu. Belum puas membunuh Arimba, Bima berbalik hendak menjambak
Arimbi tetapi dengan sigap pula si raseksi merangkul Dewi Kunti untuk minta dilindungi dan menyatakan
cintanya kepada sang Bima. Sang Dewi seperti digerakkan hatinya seketika timbul rasa kasihnya. Sambil
memelai-belai rambut gimbalnya bagai kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya, serta dengan katakata memuji kecantikan si raseksi, agaknya kata-kata pujian itu sudah dikehendaki Dewata, karena tibatiba wujud raseksi yang menjijikkan itu seketika berubah menjadi seorang putri yang benar-benar cantik
jelita. Sang ibu yang bjak dan manusiawi itu minta agar Bima mau mengawini raseksi yang telah berubah
menjadi seorang putri yang cantik itu.
Demikianlah keadilan dan kasih sayang Tuhan terhadap umatnya tanpa membedakan golongan, maka
hal yang tidak masuk akal pun atas kehendaknya dapat terwujud. Bagi Pandawa persitiwa ini merupakan
nilai tambah di tengah derita yang dialami masih sempat berbuat amal menolong makhluk raseksi yang
dengan kejujuran dan keikhlasannya, ingin menjadi makhluk yang baik dan berbudi luhur.
Secara rohaniah perkawinan Bima dengan raseksi Arimbi merupakan lambang, bahwa Bima mampu
mengendalikan nafsu angkaranya untuk tidak membunuh Arimbi. Dari hasil perkawinan itu lahirlah
seorang putra diberi nama Gatotkaca yang kelak akan menjadi seorang pahlawan pembela keadilan dan
kebenaran. Sedangkan Arimbi akhirnya menjadi ratu negara Pringgandani menggantikan kedudukan
Braja Arimba.
HomeBlogPhotosVideoMusicReviewsLinks
The image cannot be display ed. Your computer may not
hav e enough memory to open the image, or the image
may hav e been corrupted. Restart y our computer, and
then open the file again. If the red x still appears, y ou
may hav e to delete the image and then insert it again.
Jogja VS Surakarta VI
SUNGGINGAN
*(gambar nyusul)*
Setelah kita melihat bentuk tatahan dari kedua gaya maka tahap terakhir pada klasisifikasi bentuk
wayang adalah warna dari wayang tersebut atau dalam dunia pewayangan sering disebut
sunggingan. Dan warna utama yang digunakan pada zaman dulu adalah :
Warna putih
Terbuat dari tulang binantang yang dibakar. Ditumbuk hingga halus, ditambah dengan kapur sirih dan
ancur mentah yang di rendam dalam proporsi perbandingan yang tepat.
Warna Hitam
Warna hitam dihasilkan dari hoyan yang dicampur londho jangkang kepuh. Bisa juga dari langer
kukus lampu.
Warna Kuning
Warna kuning dihasilkan dari dari batu atal yang digerus.
Warna Biru
Dibuat dari bahan nila (nila werdi)
Warna merah
Bahan dari gincu merah.
Seiring berkembangnya zaman maka warna-warna tersebut sudah tidak digunakan lagi. Adapun
pengrajin wayang kulit jaman sekarang menggunakan cat acrylic sebagai bahan penyunggingnya.
Selain mudah didapat di toko-toko, dengan menggunakan cat ini maka pengrajin wayang dapat
menghemat waktu yang dulunya digunakan untuk membuat warna-warna tersebut.
Untuk pewarnaan gaya Yogyakarta akan banyak ditemui kombinasi dari warna-warna komplementer
pada bagian celana, kain lipatan, sampur dan bagian sabuk seperti Merah dan Hijau, dan Orange
dan Biru. Sebenarnya gaya Surakata juga menggunakan pewarnaan yang sama, namun karena
pada gaya Surakarta, warna prada (emas) lebih di utamakan maka warna complementer tersebut
terkesan kalah terang yang mengakibatkan pewarnaan ini kurang menyala. Dan juga bagian
pewarnaan yang lebih besar pada gaya Yogyakarta seperti yang tampak pada gambar Werkudara
yang terlihat berdada merah sebagai gambaran rambut di dada dan punggung.
Pada bagian mata juga tampak jelas sekali perbedaannya dimana gaya Surakarta tidak menyisakan
warna putih seperti yang terlihat pada wayang Kumbakarna dibawah.
Raden Werkudara gaya Yogyakarta dan Surakarta
Raden Kumbakarna gaya Yogyakarta dan Surakarta
Selain itu gaya Yogyakarta cenderung menggunakan warna merah dan biru untuk menghias wayang
seperti pada utah-utahan, dan kelat bahu sedang pada gaya Surakarta hanya merah saja dengan
kombinasi hijau dan prada sedikit-sedikit.
Pada pewarnaan bibir umumnya gaya Surakarta lebih pendek sehingga hanya bagian depan saja
yang berwarna merah sedang pada bagian belakang hanya ada garis emas tipis (kiri bawah) dimana
pada gaya Yogyakarta (kanan bawah) umumnya pewarnaan bibir adalah merah tebal pada bagian
depan dan menipis sampai ke belakang.
Perbedaan sunggingan kedua gaya ini juga terletak pada kumis dimana kumis pada gambar kiri
bawah adalah kumis dari gaya Yogyakarta untuk wayang ksatria gagah dan pideksa pada umumnya
sedang kumis dengan sedikit sayatan pada gambar kanan bawah adalah gaya Surakarta karena saat
itu di Surakarta banyak penatah sedang di Yogyakarta banyak penyungging.
Dan perbedaan terakhir ada pada pola kain poleng dimana gaya Yogyakarta hanya berpola hitam
putih/emas polos (kiri bawah) sedang gaya Surakarta berpola hitam putih dan kuning serta terdapat
titik merah pada bagian kain poleng gaya Surakarta pada umumnya (kanan bawah).
Kiranya demikian penjelasan singkat tentang perbedaan sunggingan gaya Yogyakarta dan Surakarta
pada bagian ini.
Tags: wayang purwa, jogja vs surakarta, wayang kulit, shadow puppet
reply share
Praba adalah hiasan yang digunakan oleh ksatria besar berwujud seperti sayap yang melambangkan
cahaya dari kehidupan atau lambang sebagai orang terpandang. Perbedaan yang tampak pada
praba adalah bentuk ukiran padat pada gaya Surakarta dan adanya tepian pada gaya Yogyakarta.
Selain itu pokok cabang pohon yang dilukiskan dengan warna merah dan biru pada gaya Yogyakarta
terkesan lebih besar dari pada gaya Surakarta sehingga praba gaya Surakarta terlihat lebih rumit.
KELAT BAHU
Untuk hiasan tangan dan kaki saya rasa hanya kelat bahu yang memiliki sedikit perbedaan dari gaya
Yogyakarta dan Surakarta. Hal ini di sebabkan oleh bentuk gelang dan hiasan sejenisnya memiliki
bentuk yang sederhana sehingga terkadang tidak ada bedanya. Dalam kelat bahu biasa ini yang
dapat dijelaskan perbedaannya adalah banyaknya rongga pada gaya Yogyakarta karena keduannya
memiliki alur ukiran yang sama
ULUR-ULUR
Pada Tubuh Wayang umumnya terdapat ulur-ulur yaitu semacam hiasan pada bagian dada yang
menyerupai tali yang terulur. Perbedaaan tatahan dari kedua gaya tampak sangat significan di sini.
Pada tali bagian atas dan bawah wayang gaya Yogyakarta hanya berbentuk garis tanpa hiasan
tatahan di dalamnya sedang pada gaya Surakarta, yang terjadi adalah sebaliknya, ulur-ulur di tatah
sampai pada talinya sehingga tampak lebih menarik jika dibandingkan gaya Yogyakarta. Perbedaan
lain adalah adanya pembatas beruap benjolan pada kiri dan kanan ulur-ulur untuk membatasi tali dan
pokok bunga (tengah) yang berbentuk belah ketupat pada ulur-ulur gaya Yogyakarta sedang dalam
gaya Surakarta yang ditemui adalah bentuk halus tanpa benjolan signifikan antara tali dan pokok
bunga gaya Surakarta.
Utah-utahan merupakan hiasan kepala yang umunnya di gunakan di bagian belakang kepala untuk
pelengkap mahkota, topong ataupun hanya digunakan begitu saja. Dikatakan utah utahan karena
bentuknya seperti raksasa atau makhluk yang mengeluarkan isi mulutnya.
Gaya Yogyakarta dan Surakarta juga memiliki perbedaan yang sangat menonjol pada Utah-utahan.
Hal yang sama seperti pada irah-irahan yaitu pada pola isian dari utah-utahan ini. Bagian atas kanan
kepala bisa di lihat pola tatahan khas Yogyakarta dengan
adanya pola: ( ( ( ( dan Surakarta juga sama denagn pola khasnya )))) dan ((((
Dan juga jik kita lihat, Surakarta memiliki ukiran yang lebih padat daripada gaya Yogyakarta sehingga
terlihat lebih rumit.
Pada utah-utahannya sendiri, Yogyakarta tetap menggunakan prinsip dasar pola
( ( ( ( di tepi, dengan bagian tengah berpola ))) ))) . (( ((
RAMBUT
Bagian Rambut ini akan dibagi kedalam dua kategori. Katgori pertama adalah rambut gelung (sapit
urang) yang umumnya ditatah halus dan kategori kedua adalah rambut ngore udalan yang umumnya
berbentuk gimbal dengan tatahan yang lebih besar.
Pada bagian rambut gelung yang umumnya adalah rambut dari ksatria dan dewa (kecuali dewa
raksasa seperti Batara Kala, dan Batara Kali) adalah pada bagian ujung dari gaya Yogyakarta lebih
ramping jika dibandingkan dengan gaya Surakarta dan juga isian dari gelung Yogyakarta terlihat
lebih besar sehingga terkesan padat, sedang gaya Surakarta sebaliknya. Perhatikan gambar
dibawah ini.
Gelung Sapit Urang gaya Surakarta (atas) dan Yogyakarta (bawah) Bagian kedua adalah rambut
ngore udalan atau gimbalan. Rambut ini umumnya digunakan pada wayang raksasa seperti Dewa
Mambang, Kumbakarna, dan wayang raksasa besar lainnya. Pada tatahan kedua gaya ini hanya ada
dua perbedaan yang dapat diperhatikan. Yang pertama adalah alur dari ukiran. Pada gaya
Yogyakarta ukiran yang jatuh kebawah, menggelung ke bawah atau ke dalam ( ) sedang pada gaya
Surakarta ukiran yang tampak adalah ukiran jatuh namun menggelung ke atas atau ke luar ( ). Pada
gambar ini untuk menunjukan luar dan dalam adalah bagian tengah yang berlaku sebagai leher.
Kedua adalah bentuk udalan gaya Surakarta lebih bulat dah berpangkal/buntut lebih kecil sedang
gaya Yogyakarta lebih membentuk huruf S terbalik.
SUMPING
Sumping adalah salah satu perhiasan atau aksesori pada tubuh Wayang Kulit Purwa, yakni sebagai
penghias telinga. Jenis-jenis sumping pada seni kriya Wayang Kulit Purwa gaya
Yogyakarta, antara lain :
1. Sumping Mangkara
2. Sumping Surengpati
3. Sumping Kudhup Turi
4. Sumping Gajah Ngoling,
5. Sumping Mangkara Terate,
6. Sumping Pudhak Sategal
7. Sumping Setegal.
Surakarta, antara lain :
1. Sumping Waderan
2. Sumping Kembang Kluwih
3. Sumping Pudak Sinumpet
4. Sumping Surengpati
5. Sumping Gajah Ngoling
6. Sumping Kembang Pacar
7. Sumping Kembang Telekan.
Selain nama, perbedaan juga terletak pada tatahan seperti halnya yang ditemukan pada bagian irahirahan dan garudha mungkur. Di bawah ini adalah contoh sumping yang dimiliki Yogyakarta :
Sebelum kita memasuki bagian Tatahan ini ada baiknya jika kita mengenal begian-bagian tubuh
serta peralatan yang di gunakan oleh wayang seperti yang terpampang pada halaman berikut.
Pada wayang Gatotkaca, di tunjukkan bagian-bagian tubuh yang merupakan dasar dari wayang itu
sendiri. Bagian-bagian tersebut adalah:
Gelung Sapit Urang
Rambut depan atau Jambul
Mata
Tangan (2 bagian)
Jari
Kaki
Pundak
Jenggot pangkal leher
Mulut
Jenggot dagu atau jenggot kambing
Pada wayang Buta Raton atau Kumbakarna, di tunjukkan bagian-bagian perlengkapan yang
umumnya di gunakan oleh wayang. Bagian-bagian tersebut adalah :
01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
Jamang Lidi
Jamang
Mahkota
Tali Garuda
Utah-utahan
Dawala/Tali
Sumping
Praba
Kelatbahu
Kelatbahu depan
kalung
Tali praba
Tali Ulur-ulur
Sabuk/ Paningset
Timang Slepe
Tali Sabuk
Gelang
Kampuh/ Dodot
Uncal wastra
Badong
Uncal kencana
Celana pendek
Celana Panjang
Kunca
Gelang kaki
pada bentuk tatahan sumping, badong, utah-utahan dan banyak tempat lainnya. Selain itu bentuk
dari jamang lidi sendiri memang sangat berbeda antara gaya Yogyakarta dan Surakarta. Surakarta
memiliki jamang lidi yang lebih kecil dengan mataan yang lebih besar yang terlihat di tengah-tengah
jamang lidi jika dibandingkan dengan gaya Yogyakarta dengan pola : c(O) yang memenuhi area
jamang lidi.
Tak dapat dihindari lagi bahwa wayang punakawan merupakan tokoh-tokoh yang tak dapat di
pisahkan dari dunia pewayangan. Bagi kebanyakan orang, punakawan hanya merupakan orangorang lucu yang gemar menyampaikan guyonan-guyonan segar dalam petunjukan wayang. Namun
sesungguhnya punakawan adalah gambaran rakyat kecil. Sebuah negara tidak akan dapat
berkembang jika tidak ada rakyat yang mendukung. Punakawan inilah yang kemudian menjadi
perlambang rakyat yang mendukung rajanya. Dalam cerit-cerita umumnya wayang berkarakter jahat
dengan Togog dan Bilung sebagai penasehatnya tidak pernah mendengar nasehat-nasehat dari
abdinya sehingga berakhir dengan kehancuran serta kematianlah mereka. Sedang Ksatria yang
berbudi luhur dan mengikuti nasehat punakawannya selalu dapat lolos dari bahaya.
Pada wayang Purwa terdapat delapan punakawan yang terdiri dari Semar, Bagong, Petruk, Gareng
sebagai penasehat ksatria berbudi luhur, Togog dan Bilung sebagai penasehat raja-raja jahat dari
tanah seberang, lalu Limbuk dan Cangik, ibu,anak yang merupakan abdi dalem atau emban kraton.
Tidak banyak perbedaan yang dapat dilihat di sini karena semua wayang-wayang ini serupa baik dari
gaya Surakarta maupun Yogyakarta seperti yang kita telah bahas pada kelompok wayang terdahulu.
Seperti yang telah di jelaskan pada bagian sesbelumnya, wayang raksasa gaya Yogyakarta dan
Surakarta adalah satu dari tiga bagian utama yang menjadi proyek transformasi. Seperti halnya
wayang kera, wayang raksasa dari gaya Yogyakarta juga menggunakan dua mata seperti yang
terlihat di gambar dibawah ini. Ini adalah wayang Raden Kumbakarna atau juga sering disebut buta
raton makutan (raksasa bermahkota). Kita lihat bagaimana bentuk tubuh dari wayang gaya
yogyakarta yang besar dan juga mulut yang lebih besar sepertinya akan siap memangsa siapa saja
dengan telapak tangan yang besar pula. Sedang dalam gaya Surakarta yang kita temui adalah hal
sebaliknya.
Pada wayang raksasa lainnya yang lebih kecil, umumnya pada gaya Surakarta lebih menguruskan
bentuk tubuh dan juga mengaktifkan bagian tangan belakang yang biasanya hanya menyatu dengan
tubuh sebagaimana kita lihat pada wayang Brajamusthi ini dan juga wayang Kumbakarna diatas.
Selain itu, perbedaan yang menonjol yang terlihat diantara dua wayang Brajamusthi ini adalah
bagaimana wayang gaya Surakarta selalu menggunakan sandangan dan pernik-pernik yang
terkesan lebih mewah jiak dibandingkan gaya Yogyakarta.
Surakarta umumnya panjang tangan hanya melebihi lutut sedikit, namun pada wayang Yogyakarta
biasanya panjang tangan mencapai telapak kaki.
Sesungguhnya transformasi bentuk gaya dari gaya Mataraman ke gaya Surakarta terletak pada tiga
aspek besar jika di pilah-pilah. Setelah kita membahas aspek pertama yaitu wayang putren, mari kita
masuk ke aspek kedua yaitu wayang kera. Pada gambar wayang-wayang Anoman ini tampak jelas
perubahannya dari bentuk wayang bermata dua ke wayang bermata satu. Hal lain yang dapat di
cermati adalah wayang Anoman gaya Yogyakarta terkesan lebih menunduk dengan pundak baian
belakang yang lebih naik ke atas sedang wayang Anoman gaya Surakarta yang terlihat lebih
mendangak namun pundak belakangnya terlihat datar sehingga gelung sapit urangnya terlihat lebih
tinggi. Hal lain yang sering kita jumpai adalah adanya kalung atau ulur-ulur yang sering kita jumpai
pada wayang-wayang Anoman dari Surakarta, sedangkan dari Yogyakarta terlihat lebih sederhana
dan sangat jarang di jumpai wayang Anoman dengan kalung ataupun ulur-ulur. Kendati demikian,
permasalahan kalung dan ulu-ulur bukanlah sebuah hal yang signifikan dalam perbandingan kedua
jenis wayang Anoman ini mengingat kalung hanyalah perlengkapan yang dapat ditambahkan pada
tiap wayang sesuai dengan kehendak pembuatnya.
Wayang Satabali di atas adalah wayang yang menunjukkan bentuk Yogyakarta yang masuh daapt
diidentifikasikan dari jumlah mata, namun wayang kera gaya Yogyakarta juga memiliki bentuk
wayang kera dengan mata satu. Contohnya adalah wayang Kapi Cocak Rawun dibawah ini.
Di bagian ini saya lebih condong untuk menempatakan wayang raja dan ksatria dalam satu kelompok
karena menurut pandangan saya golongan ksatria dan raja memiliki kemiripan dari bentuk fisik. Letak
perbedaan yag paling menonjol adalah busana yang dikenakan. Kesamaan busana wayang ksatria
dan raja yaitu keduanya umumnya menggunakan kain batik parang rusak sebagai sandangan
sekaligus menandakan bahwa ia adalah ksatria besar meskipun ada juga beberapa ksatria yang
tidak menggunakan kain parang rusak. Ini adalaah contoh kain batik bermotif parang rusak barong.
Perbedaannya, seorang raja biasanya menggunakan pakaian yang lebih mewah denagn mahkota,
dan pernik-pernik lainnya.
Prabu Tugu Wasesa (Werkudara saat menjadi Raja) gaya Surakarta dan Yogyakarta.
Memang mudah untuk melihat keduanya berbeda namun mencari letak perbedaan kedua wayang di
atas yang agak sulit. Seperti sebelum-sebelumnya, wayang gaya Yogyakarta masih memiliki bentug
gelung spit urang yang lebih pendek jika dibandingkan dengan gaya Surakarta. Yang terlihat jelas
dalam wayang Werkudara ini adalah raut wajahnya. Pada gaya Yogyakarta, Werkudara memiliki raut
wajah yang agak berangasan dengan mata dan mulut yang lebih besar. Dari segi perwatakan
memang Werkudara gaya Yogyakarta lebih sesuai karena seorang Werkudara memang harus
terlihat keras dan berwibawa terutama untuk adaegan peprangan. Karena bawaannya yang tenang
pada wayang gaya Surakarta, Werkudara semacam ini rasanya lebih cocok digunakan dalam
adegan jejeran atau pertemuan resmi. Dari segi tubuh, Werkudara gaya Yogyakarta juga terlihat
lebih kekar sedang pada wayang Surakarta, Werkudara hanya terkesan sebagai seorang yang tinggi.
Gambar ini juga menunjukkan bagaimana wayang Yogyakarta menjadi lebih dinamis jika
dibandingkan wayang Surakarta. Jika wayang Arjuna dan Setyaki, perbedaan menonjol terdapat
pada bentuk tubuh, maka pada wayang Werkudara ini sandangan kain polengnya yang memiliki
kekhasan pada masing-masaing wayang. Wayang Yogyakarta hanya menampilkan wayang
Werkudara dengan cawat atau sepotong kain sedang pada gaya Surakarta, Werkudaranya
menggunakan celana pendek. Hal yang sama juga dapat di perhatikan pada wayang Prabu
Tuguwasesa di atas.
Seperti halnya Werkudara, Arjuna dan Setyaki, Gatotkaca pun memiliki persoalan yang sama.
Perbedaan pada tubuh dari kehdua jenis wayang sepertinya sudah menjadi hal yang umum. Pada
gambar diatas hal terlihat adalah bentuk jenggor yang sama-sama berpangkal di leher. Pada wayang
Surakarta (kanan) jenggot lehernya terlihat sebagai tempelan karena wajah dan leher menjadi satu
kesatuan dalam garis yang diberi panah, namun tidak demikian halnya pada wayang Yogyakarta.
Pada ilustrasi di bawah ini dapat dilihat bagaimana perbandingan wayang gagahan gaya Surakarta
dan Yogyakarta secara lebih jelas.
menyapa sahabatnya dengan kata-kata penuh kerinduan, lain pula budi perangai Drupada yang
diperlihatkan dingin, muram dan berucap ketus: "Hei, siapa engkau ... beraninya mengaku kau sahabat
karibku. Sejak kapan aku bersahabat dengan kau. Tidak mungkin seorang raja agung seperti aku
bersahabat dengan seorang pengemis seperti engkau. Cisss, dasar gelandangan tak tahu diri," ujarnya
sambil memblengoskan muka.
Dorna terperangah tak menyangka akan disambut dengan sikap dan kata-kata yang menyakitkan. Tapi ia
masih mencoba mengingatkan, hanya kata-katanya berbeda dengan yang tadi: "Oh, maaf beribu maaf
tuan. Hamba memang orang dari dusun tak tahu sopan santun. Sikap hamba tadi karena hamba mengira
tuan masih seperti tuan yang dahulu ketika kita sama-sama menuntut ilmu dan, ..." "Cukup," bentak
Drupada memutus pembicaraan Dorna. "Itu pengakuan yang tidak akan pernah terjadi dan hanya dibuatbuat agar aku mau mengakui bahwa kaubenar sahabatku. Aku memang pernah berguru ilmu, tetapi tidak
pernah seperguruan dengan orang serendahmu," kilahnya.
Seterusnya Drupada menuduh Dorna sengaja hendak mempermalukan dirinya di hadapan para mantri
Bopati yang hadir saat itu. Sementara patih Gandamanah, body guard sang raja yang sejak tadi
memperhatikan tingkah laku Dorna, telah melanggar kesopanan menjadi naik pitam. Tak ayal lagi
diseretnya pendeta muda itu keluar Keraton dan dihajar habis-habisan hingga tak sadarkan diri, lalu
dibuang ke tengah hutan belantara.
Akibat penganiayaan berat tubuhnya menjadi cacat, hidungnya benkung, mata picak sebelah, tangan
sengkong bekas diplintir hingga patah tulangnya. Dalam keadaan tubuh rusak ia memaksakan diri
berjalan sambil merasakan sakitnya lahir dan batin.
Akhirnya tibalah ia di sebuah negara yang tidak lain adalah negara Astinapura. Nasib baik telah menanti
berkat ilmunya tinggi. Ia diangkat oleh Arya Bisma menjadi guru besar jurusan ilmu perang menggunakan
senjata dan strategi perang. Sedang mahasiswanya terdiri dari keluarga kerajaan yaitu Kurawa dan
Pandawa.
Bertahun-tahun sudah dia membina kedua golongan keturunan Barata dan melahirkan manusia-manusia
berjiwa ksatria. Sekalipun demikian luka hatinya oleh Drupada menjadi obsesi yang tak terlupakan.
Peribahasa luka di badan masih dapat disembuhkan, luka di hati sulit dihilangkan. Ia ingin membalas
tetapi tanpa harus melukai fisik orang itu. Ia hanyaingin mempermalukan sahabatnya itu, seperti pernah
ia ipermalukan di hadapan para Mentri Bopati Pancala. Karena itu ia ingin menangkap Drupada tapi tidak
oleh tangannya sendiri, melainkan oleh murid-muridnya. Untuk itu ia harus meningkatkan ilmu perang
murid-muridnya untuk menghadapi balatentara Pancala.
Demikianlah suatu hari ia memanggil murid-muridnya untuk dicoba keterampilan menggunakan senjata
panah. Sasarannya seekor burung yang hinggap di dahan pohon. Caranya iatur secara adil dimulai dari
Yudhistira. Sebelum diperkenankan melepas senjata sang guru bertanya dahulu: "Kau harus awas
terhadap burung itu, coba lihat, selain burung apa kau lihat menurut ciptaanmu?" Yudhistira: "Selain
burung saya lihat batang pohon, wujud bapak guru dan keempat saudara saya." Sang resi mengulangi
pertanyaan yang sama dan dijawab dengan jawaban yang sama pula. Resi jengkel mendengar jawaban
yang itu-itu juga, lalu katanya: "Sudah, jemparing tak usah dilepas, tak bakal kena, ayo minggir."
tukasnya ketus. Giliran Duryudana, sang guru bertanya dengan pertanyaan yang sama yang dijawa oleh
Duryudana: "Selain burung saya lihat daun bergumpluk banyak sekali, kemudian dahan dan ranting,
kemudian euu, kemudiannn euuu....." "Sudah, sudah, sama bodohnya, ayo minggir." katanya jengkel.
Demikian para Kuawa dan Pandawa telah mendapat giliran, tetapi semua jawaban tidak satu pun yang
memuaskan sang guru.
Terakhir giliran Arjuna lalu ditanya: "Apa yang kau lihat disana" "Burung," jawab Arjuna. "Selain burung
apalagi yang kau lihat?" "Saya tidak melihat apa-apa selain badan burung," jawabnya. Mendadak wajah
sang resi berseri, tapi ia bertanya lagi: "Coba lihat apa warna bulunya dan sebutkan satu persatu
warnanya." Tetapi Arjuna hanya menjawab: "Yang kelihatan hanya kepalanya." Seketika sang guru
memerintahkan: "Lepaskan anak panah itu." Dan melesatlah anak panah suaranya bersuling tepat
mengenai sasarannya hingga burung itu jatuh ke bumi, disambut tampik sorak para siswa tanda gembira