You are on page 1of 49

PEMBEDAAN SECARA SPESIFIK

WAYANG YOGYAKARTA DAN SURAKARTA

KRONOLOGI PEMBEDAAN WAYANG KULIT DI JAWA TENGAH


Pada mulanya, hanya ada satu jenis wayang di Jawa. Wayang tersebut berasal dari relief candi-candi
yang ada di wilayah Jawa yang saat itu masih dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Saat itu tokoh-tokh
pewayangan di gambar di atas daun tal atau daun lontar sehingga di kenal dengan nama wayang lontar.
Wayang lontar dan Wayang kulit awal Demak
Setelah Majapahit runtuh pada tahun 1478, berdirilah kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa,
dengan Raden Patah sebagai raja pertamanya dari tahun 1478-1520 mencipta wayang kulit dengan
tangan masih menyatu dengan tubuhnya. Raden Patah kemudian digantikan oleh Prabu Sabrangan yang
memerintah dari tahun 1520-1521. Prabu Sabrangan yang gemar dengan pertunjukan wayang lalu
menciptakan wayang beber yang semua gambarnya telah diubah ke dalam gaya Islam karena saat itu
Islam melarang pengikutnya melukis manusia secara realistik. Hal tersebut dianggap bertentangan
dengan ajaran agama Islam. Sedang pola candi yang ada di Jawa di teruskan dalam pola wayang kulit di
Bali.
Setelah masa kejayaan wayang Beber lewat, munculah sosok-sosok Wali Songo yang secara giat
menyebarakan ajaran Agama Islam. Sunan Kalijaga lalu mencipta wayang dari kulit kerbau yang ditatah
dengan menggunakan gapit sebagai pegangan. Namun tangannya masih menyatu dengan tubuh.
Wayang tersebut dibuat menjadi satu kotak dan diwarna hanya dengan warna hitam. Jumlah wayang di
buat cukup untuk menyampaikan cerita-cerita Mahabarata dan Ramayana yang sudah di sesuaikan
kedalam ajaran Islam selama semalam suntuk.
Wayang Beber
Pada tahun 1521, jumlah wayang diperbanyak dengan adanya wayang-wayang ricikan seperti gunungan
dan binatang serta adanya perubahan dengan tangan yang sudah dapat digerakkan. Pertunjukan pun
mulai menggunakan kelir, debog, dan blencong. Selain itu wayang yang tadinya masih berwarna hitam
puith mulai diwarnai. Dan pagelaran mulai memakai istilah simpingan.
Simpinagan Kiri dan Kanan
Kerajaan Demak yang runtuh kemudian digantikan oleh kerajaan Pajang. Jaka Tingkir sebagai raja
Pajang mulai memperkenalkan Wayang Kidang Kencana yang memiliki ukuran sedikit lebih kecil dari
wayang kulit umumnya. Di sinilah pertama kalinya digunakan istilah ngore, topongan, gelung dan
sebagainya.
Pada awal pemerintahan Kerajaan Mataram, Panembahan Senopati menambahkan wayang Garuda dan
Gajah untuk pelengkap pertunjukan. Saat ini pula lah rambut mulai ditatah halus. Wayang inilah yang
sekarang dikenal sebagai wayang gagrak/gaya Mataraman.
Pada masa pemerintahan Mas Jolang, Wayang kembali diperbesar. Dengan mulai menggunakan istilah
wanda pada wayang-wayang tertentu.
Setelah jaman pemerintahan Sultan Agung, tepatnya zaman pemerintahan Amangkurat Tegal Arum,
pakem pedalangan kemudian pecah menjadi dua. Yaitu Gaya Kanoman oleh Nyi Anjang Mas dengan

penggunaan sepatu, jubah, dan keris pada wayang dewa dan pendeta yang beroprasi di wilayah timur.
Gaya yang satu lagi adalah gaya Kasepuhan oleh Kyai Panjang Mas. Gaya pedalangan ini
menghilangkan Bagong karena mendapat larangan dari pemerintah Belanda. Bagong dianggap sebagai
orang yang lancang mulut dan sering mengkritik pemerintahan Belanda di Jawa.
Anoman Gaya Surakarta
Pada pemerintahan Pakubuono III pusat pemerintahan Mataram dipindah dari Kartasura ke Surakarta. Ini
adalah masa peralihan dari gaya Mataraman ke jaman Surakartan. Perubahan ini terlihat dengan
diubahnya bentuk kera dan raksasa sehingga hanya bermata satu. Selain itu wayang gaya Surakarta
juga di peramping sehingga memudahkan dalang dalam melakukan sabet atau olah wayang.
Anoman Gaya Yogyakarta dan Gaya Mangkunegaran
Pada masa pemerintahan Pakubuono IV, terjadi perselisihan antara golongan tua dan muda. Golongan
tua yang dikepalai oleh Pangeran Mangkubumi menyatakan perselisihannya terhadap Pakubuono IV
yang mau bekerjasama dan mengakui kedaulan pemerintahan Belanda atas kerajaan Mataram. Akibat
dari perjanjian Giyanti, Mataram di pecah menjadi dua yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan
Kasunanan Surakarta. Pangeran Mangkubumi lalu menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono I. Sebagai
golongan tua, kemudian Mangkubumi mengembangkan wayang gaya Mataraman sedangkan Pakubuono
IV mengembangkan wayang gaya Surakarta atau sekarang lebih tenar dengan nama wayang gaya Solo.
Lebih lanjut, Kasunanan Surakarta yang kemudian pecah lagi menjadi Kasunanan Solo dan
Mangkunegaran. Oleh Mangkunegara I, wayang gaya Solo lalu di perbesar. Pada wayang gaya
Yogyakarta pun lalu terjadi perubahan dengan adanya gaya baru yaitu wayang Paku Alaman yang masih
mempertahankan bentuk gaya Mataram namun kebanyakan wayangnya menggunakan keris.

PENDAHULUAN
Jika kita melihat suatu pertunjukan wayang kulit baik melalui televisi maupun secara langsung biasanya
kita hanya tahu bahwa itu merupakan sebuah boneka wayang yang sama saja namun sesungguhnya
berbeda. Meskipun kesemuannya wayang kulit namun ada berbagai macam wayang. Contohnya wayang
gagrak/gaya Surakarta, Yoyakarta, Jawa Timuran, Banyumasan, Cirebonan, Palembang dan lain-lain
semuanya memiliki perbedaan dan memiliki ciri yang khas.
Pagelaran Wayang Kulit adegan Jejer Pandawa
Setelah Wayang mendapat penghargaan sebagai warisan budaya dunia dari UNESCO, rasanya sangat
penting bagi kita untuk terus melestarikan wayang yang ada. Banyaknya jenis wayang yang telah punah
seperti wayang Banjar, dan wayang Palembang membawa keprihatinan di dalam diri pencinta wayang
sendiri yang semakin lama semakin menurun.
Di dalam buku ini sendiri saya hanya akan membahas perbedaan yang ada dalam boneka wayang dari
Surakarta dan Yogyakarta yang jarang sekali diperhatikan perbedaannya.
Tentu saja masih banyak perbedaan yang dapat kita temukan dalam dunia pewayangan yang dapat
dibahas lebih lanjut. Namun di sini saya hanya akan membahas tentang perbedaan fisik wayang dari
kedua daerah tersebut, bukan gaya pedalangannya. Meskipun buku ini masih sangat dangkal jika kita
melihat secara keseluruhan dunia pewayangan karena banyaknya wayang wayang yang masih eksis
dalam kehidupan seperti wayang menak, wayang golek, wayang gedok dan lain-lain, namun diharapkan
dengan adanya buku ini, para pencinta wayang sadar akan beraneka ragamnya kebudayaan yang kita
miliki dan diharapkan pula buku ini menjadi tumpuan unuk penulisan dan pembahasan keaneka ragaman
budaya wayang lainnya. Jika kita lihat, wayang kulit purwa saja dari daerah Jawa Tengah memiliki

beberapa gaya.
Pagelaran Wayang Semalam Suntuk oleh Ki Sukoco
Tujuan dari penulisan buku ini adalah sebagai sarana untuk mengembangkan pengetahuan tentang
boneka wayang dan juga untuk menyadarkan bahwa kita memiliki beraneka ragam budaya yang sangat
perlu untuk dilestarikan dan ini bukanlah suatu persaingan untuk menentukan mana yang unggul dan
lebih baik karena dalam budaya seni tidak ada yang lebih baik ataupun lebih buruk. Kesemuanya
memiliki keunikan masing-masing sehingga janganlah pembaca salah menangkap bahwa penulisan buku
ini hanya semata-mata mencari pengikut gaya mana yang lebih pantas dan lebih sempurna.
WAYANG DEWA DAN PENDETA
Dalam buku ini, boneka-boneka wayang akan di bagi menjadi tujuh bagian. Yang pertama adalah
wayang dewa dan pendeta, wayang putren, wayang ksatria dan raja, wayang kera, wayang raksasa,
wayang ricikan seperti hewan dan gunungan dan kemudian wayang punakawan.
Khusus untuk wayang Dewa, dan pendeta yang akan dibahas di bagian ini. Banyak sekali perbedaan
yang sangat signifikan yang dapa kita lihat dari bentuk wayang tersebut secara keseluruhan. Di sini dapat
kita dapati dalam wayang Batara Guru, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu dan Batara Narada.
Tentu masih banyak perbedaan yang bisa kita temui pada dewa-dewa lainnya. Namun di sini saya
hanya ingin menunjukkan perbedaan yag terdapat pada dewa-dewa yang cukup terkenal di dunia
pedalangan saja.

Batara Guru gaya Surakarta dan Yogyakarta


Gambar diatas adalah merupakan sebuah perbedaan yang sangat menonjol yang dapat kita lihat. Secara
mudah kita bisa menyimpulkan bahwa wayang Batara Guru gaya Yogyakarta memiliki tangan yang dapat
di gerakkan. Itu memang sebuat tanda yang sangat jelas terlihat namun bukan sebuah kepastian. Bukan
sebuah kepastian karena gaya Yogyakarta pun memiliki wayang Batara Guru yang tubuh dan tangannya
bersatu dan tak dapat digerakkan seperti yang terlihat di bawah ini dan mengenalkan topong (semacam
mahkota) seperti gaya Surakarta yang menganut gaya wayang Kyai Inten. Pada umumnya hanya dalangdalang kraton Yogyakarta saya yang menggunakan wayang Batara Guru seperti yang tampak di atas.

Batara Guru gaya Yogyakarta koleksi Ki Sukoco


Yang dapat dilihat dari sini adalah wayang Yogyakarta memiliki perawakan yang lebih gemuk dan lebih
pendek sehingga terlihat gempal dan ini menjadi patokan untuk wayang-wayang lainnya.
Bagaimana jika kita berhadapan dengan wayang bertubuh gemuk? Tentu kedua gaya pun memiliki jenis
wayang yang gemuk pula seperti maha patih kayangan, Batara Narada. Secara umum, Batara Narada
gaya Yogyakarta berpakaian sederhana dan tidak mengenakan jubah serta keris di pinggang bagian
belakangnya. Selain itu mulut Batara Narada gaya Yogyakarta lebih kecil jika di bandingkan dengan
wayang Batara Narada gaya Surakarta. Selain itu Batara Narada dari kedua gaya dapat duibedakan juga
dengan bentuk tangannya. Jika pda gaya Surakarta tangan depan Batara Narada menunjuk, maka dalam
gaya Yogyakarta kedua tangan Batara Narada sama-sama menekuk jari manis dan jari tengahnya
sehingga kedua jari tersebut menyentuh ibu jari. Satu hal lagi, Batara Narada gaya Yogyakarta memiliki
badan yang dapat kita bandingkan dengan salah seorang punakawan yaitu Semar.

Batara Narada gaya Surakarta dan Yogyakarta


Setelah Batara Guru dan Batara Narada dibahas diaatas, kini mari kita lihat lebih lanjut ke Batara Indra
dan dewa-dewa lainnya.

Batara Indra gaya Surakarta dan Yogyakarta


Untuk Batara Indra, yang merupakan dewa langit dan raja dari para bidadari dari gaya Surakarta
menggunakan mahkota sebagai hiasan kepala dan mengenakan jubah lengkap, keris dan sepatu. Konon
sepatu yang mulai diperkenalkan pada wayang-wayang gaya Surakarta mulai banyak kita jumpai pada
wayang wayang Yogyakarta seperti wayang Batara Indra milik salah seorang dalang dari Yogyakarta, Ki
Sukoco yang memakai jubah, keris dan sepatu. Satu lagi hal yang perlu di perhatikan adalah Batara
Indra Gaya Surakarta memiliki jenggot yang bermula dari dagu sampai pada pangkal leher, sedang pada
gaya Yogyakarta sangan jarang ditemui wayang dengan jenggot seperti yang terlihat pada Batara Indra
Gaya Surakarta.

Batara Indra gaya Yogyakarta koleksi Ki Sukoco


Untuk wayang Batara Brahma, sebuah bentuk fisik yang akan sangat jelas dijumpai perbedaannya
terdapat pada muka dari dewa penguasa Api tersebut. Batara Brahma gaya Yogyakarta memiliki wajah
dan tubuh yang mirip dengan Gatotkaca atau Antareja. Sedang wayang kulit gaya Surakarta lebih
condong untuk menunjukkan tali persaudaraan anatar Batara Sambu, Batara Indra, dan Batara Brahma

yang menggambarkan Batara Brahma dengan wajah mirip dengan Barata Indra namun mendongak.
Selain itu suatu hal yang umum yang dapat ditemui melalui Batara Brahma adalah wayang Batara
Brahma yang umumnya di beri warna Merah, meskipun terkadang wajah Batara Brahma hanya di prada
(warna emas). Seperti dewa-dewa gaya Surakarta lainnya, Batara Sambu juga menggunakan jenggot
dari dagu hingga pangkal leher. Berbeda dengan gaya Surakarta, gaya Yogyakarta pada umumnya
memisah jenggot menjadi dua bagian, pada ujung dagu dan pangkal leher.

Batara Brahma gaya Surakarta dan Yogyakarta


Berbeda dengan dewa-dewa sebelumnya, Batara Bayu gaya Surakarta dan Yogyakarta memiliki
kemiripan. Kemiripan yang terdapat di sini adalah keduanya memilikitubuh yang besar dan ukuran yang
hampir sama dengan Raden Werkudara atau Bimasena pada masing-masing wilayah.
Perbedaan yang terlihat adalah, bila Batara Bayu gaya Yogyakarta memiliki pakaian yang sama dengan
Werkudara ditambah sorban dan sampur (semacam kain yang ditaruh di pundak), Batara Bayu gaya
Surakarta berpakaian lebih mewah. Pada gaya Surakarta, Batara Bayu menggunakan jubah layaknya
dewa-dewa lainnya, keris di depan, sepatu, dan mahkota yang menandakan bahwa ia adalah raja dari
segala jenis angin. Jenggot kembali perlu menjadi perhatian di sini. Batara Bayu gaya Surakarta ternyata
juga menggunakan jenggot panjang dari dagu sampai pangkal leher sedang dari gaya Yogyakarta,
Batara Bayu memiliki jenggot yang sama dengan Batara Brahma gaya Yogyakarta.

Batara Bayu gaya Yogyakarta dan Surakarta


Demikianlah perbedaan-perbedaan yang dapat kita temui dalam pertokohan wayang-wayang dewa di
Yogyakarta dan Surakarta secara umum.

Berpindah dari para dewa-dewa, kini kita akan membahan tokoh-tokoh pendeta yang eksis dalam
pewayangan wayang kulit purwa. Tokoh-tokoh pendeta yang ada dalam pewayangan Surakarta pada
umumnya menggunakan satu wayang saja untuk tokoh-tokoh yang kurang dikenal seperti Begawan
Kesawawidi, Resi Padmanaba, Begawan Druwasa yang menggunakan wayang srambahan (wayang
pinjaman untuk memainkan tokoh tertentu). Hanya tokoh seperti Begawan Abiyasa, Begawan Drona,
Resi Bisma saja yang memiliki wayang khusus. Di bawah ini akan kita lihat bagaimana perbedaan
wayang pendeta dan ciri khas dari masing-masing daerah.
Pada wayang Begawan Abiyasa di bawah ini ternyata kedua belah pihak sama-sama menggunakan
jubah dan sorban. Ciri khas dari wayang gaya Yogyakarta yang dapat kita temui pada wayang pendeta
ini adalah, Begawan Abiyasa pada gaya Yogyakarta memiliki tubuh yang lebih membungkuk dan
mengenakan topong kethu (jenis topong) yang merupa kan ciri khas dari wayang gaya Yogyakarta
terutama untuk pendeta dan beberapa dewa. Selain itu wayang pendeta gaya Yogyakarta juga dapat
ditemui garida mungkur yang berada tepat setelah topong kethu. Dalam gambar di bawah, garuda
mungkur memang kurang jelas, namun ini akan dibahas dalam bab selanjutnya.
Layaknya para dewa, Begawan Abiyasa dari Surakarta mengenakan jubah, sorban, dan pernik-pernik
lainnya sehingga terlihat lebih mewah dari gaya Yogyakarta. Wajah dari sang pendeta pun terlihat hanya
menunduk secara normal.

Begawan Abiyasa gaya Yogyakarta dan Surakarta


Setelah kita mengamati kedua bentuk wayang di atas, jangan terlalu cepat mengambil keputusan tentang
bungkuknya seorang begawan atau resi menjadi ciri khas Yogyakarta karena gaya Surakarta pun
memiliki begawan bungkuk. Yang di gunakan sebagai wayang srambahan. Ciri-ciri khusus pada wayang
begawan bungkuk gaya Surakarta adalah bnetuk wajah yang sudah mulai melenceng dari bentuk wajah
seperti Begawan Abiyasa ataupun Batara Bayu. Selain itu wayang ini juga hanya satu tangan saja yang
dapat di gerakkan, sebuah kontroversi dalam bentuk pakem wayang di Surakarta karena pada umumnya
kedua tangan pada wayang Surakata dapat digerakkan.
Jika pada wayang dewa, jenggot menjadi identitas khusus, makan begitu pula denga wayang begawan
atau pendeta dari Surakarta kendati hal ini bukan merupakan sebuah patokan yang dapat di pegang
selamanya mengingat wayang Yogyakarta juga mengalami perkembangan.

Begawan Bungkuk gaya Surakarta


WAYANG PUTREN
Wayang putren menrupakan wayang yang menampilkan karakter wanita. Pada umumnya wayangwayang putren miliki nama depan Batari unuk dewi-dewi contohnya Batari Durga, Dewi digunakan secara
umum, dan Endang sebagai nama dari putri seorang pertapa atau putri seorang ksatria yang hidup dari
kecil di sebuah pertapan sebagai contoh adalah Endang Pergiwa dan Endang Pergiwati.
Jika di awal disebutkan bahwa wayang putran (wayang yang menampilkan karakter dari wayang pria)
dari gaya Yogyakarta memiliki kesan gagah dan lebih dinamis, hal sebaliknya terjadi pada wayang putrn
gaya Yogyakarta yang lebih terkesan statis jika dibandingkan dengan wayang putren dari Surakarta dan
wayang putren Surakarta lbih terkesan seperti putri-putri terhormat dengan tubuh yang lebih ramping.
Demikian dapat kita lihat dalam gambar dua putren luruh (merunduk) di bawah ini.

Dewi Drupadi gaya Surakarta dan Yogyakarta


Dalam wayang putren gaya Yogyakarta, dapat kita lihat dari arus tatahan yang tampak bahwa seakan-

akan semuanya mengarah ke depan dengan kain jarik dan juga rambut yang mengarah ke depan. Selain
itu tubuh dari wayang putren gaya Yogyakarta yang lebih membungkuk, menjadikannya terlihat seperti
kebesaran buah dada. Dalam hal ini wayang Surakarta yang memang berusia lebih muda dari wayang
gaya Yogyakarta terlihat lebih realistis dengan kain jarik yang mengarah kebelakang sehingga terlihat
sepetri terseret. Dalam hal logika memang wayang Surakarta lebih dapat diterima dan masuk akal.
Mengenai arah rambut wayang putren gaya Surakarta yang munkin kurang tampak pada wayang Dewi
Drupadi di atas dapat terlihat lebih jelas dalam wayang Dewi Dursilawati dibawah ini.

Dewi Dursilawati gaya Surakarta koleksi Ki Manteb Soedarsono


Demi lebih memperjelas keeterangan yang telah ada di bawah ini akan ditunjukkan beberapa contoh
perbandingan gaya dalam wayang putren.

Dewi Banowati gaya Surakarta dan Yogyakarta


Sedikit perubahan yang terjadi dalam wayang putren gaya Yogyakarta tampak dalam wayang Dewi Lara
Ireng dibawah ini. Jika di lihat sepintas memang terlihat seperti layaknya wayang gaya Yogyakarta
namun bila di perhatikan dengan seksama, ada sedikit perubahan dalam wayang Kyai Inten ini. Kain jarik
pada wayang putren gaya yogyakarta yang umumnya mengarah ke depan kini menjadi diarahkan
kebelakang. Ini adalah tipikal dari wayang kulit Kyai Inten yang saat ini berada di Museum Wayang

Jakarta kendati demikian masih banyak aspek wayang putren gaya Yogyakarta yang di pertahankan
dalam wayang-wayang Kyai Inten seperti rambut yang masih mengarah ke depan dan badan yang masih
membungkuk.

Dewi Lara Ireng gaya Surakarta dan Yogyakarta (Kyai Inten)


PEMBEDAAN SECARA UMUM PEWAYANAN GAYA YOGYAKARTA DAN SURAKARTA
Dalam bab ini saya akan mengungkapkan secara singkat tentang perbedaan pewayangan gaya
Yogyakarta dan Surakarta yang agak kurang diperhatikan dalam dunia pewayangan masa kini mengingat
penurunan minat yang ada pada generasi muda yang hanya akan melihat wayang sebagai suatu
perwujudan yang aneh karena tidak ada makhluk yang memiliki bentuk seperti wayang. Pada umumnya,
para penonton wayang masa kini hanya menunggu adegan goro-goro atau limbukan sehingga nilai
estetis yang teradapat dalam wayang sendiri seolah menjadi hilang atau kurang diperhatikan.
Langusng saja masuk kedalam permasalahan, menurut beberapa sumber perorangan, wayang gaya
Yogyakarta memiliki keindahan tersendiri karena perawakan wayang Yogyakarta yang terkesan kekar,
sehingga tampak gagah dan indah sebagai hiasan dan juga memiliki kesan lebih dinamis jika
dibandingkan dengan wayang Surakarta yang terkesan statis tertama wayang putrannya. Namun wayang
Yogyakarta memiliki kelemahan yaitu dengan bentuk tubuh yang besar tersebut menyulitkan sang dalang
dalam mempermainkan boneka wayang. Hal ini yang menyebabkan wayang gaya Yogyakarta menjadi
sedikit membosankan dan kurang menarik jika dipergelarkan.
Raden Werkudara gaya Yogyakarta dan Surakarta
Sebaliknya, wayang gaya Surakarta yang memilik bentuk fisik yang ramping akan menjadi kurang
berwibawa jika diamati, namun memiliki nilai keindahan tersendiri jika dimainkan dalam suatu pargelaran
wayang karena dalang dapat dengan mudah menggerakkan dan mengendalikan boneka wayang
sehingga pedalangan gaya Surakarta lebih menonjol.
Hal kedua inilah yang mendorong banyak dalang dari Yogyakarta yang memilih untuk memainkan
wayang gaya Surakarta terutama wayang raksasa sehingga dalam adegan perang penampilannya
menjadi lebih menarik. Tak dapat dihindari lagi hal tersebut yang membawa pewayangan zaman
sekarang mulai berevolusi ke gaya baru yaitu campuran antara gaya Surakarta dan Yogyakarta. Hal ini
jika kita pertimbangkan lagi memiliki sisi positif yaitu dengan adanya penggabungan ini macam
kebudayaan yang ada akan semakin banyak. Namun hal yang perlu diperhatikan adalah banyaknya
transformasi bentuk wayang tersebut akan mulai mamudarkan citra pedalangan klasik yang ada.
Kumbakarna gaya Campuran
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa kedua jenis wayang atau kedua jenis gaya memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing secara merata.
Namanya pendek, Oluka. Tapi pemunculannya di arena pewayangan cukup menarik. Dia anak Sakuni
yang urakan, pembual pandai memperolok orang. BUalnya menyebalkan dan bila mengejek sanggung

membuat orang menjadi kesal. Sifat-sifat ini menarik perhatian Suyudana untuk dimanfaatkan
menghadapi perang dengan Pandawa. Lalu disusun taktik perang urat syaraf, yaitu mengintimidasi,
mencaci maki atau mengejek musuh disertai gerak dan gaya yang menyebalkan untuk menjatuhkan
mental Pandawa. Setelah diberi latihan bagaimana cara mengejek orang dan pesan-pesan yang harus
disampaikan, berangkatlah ia ke perkemahan Pandawa dengan predikat Caraka atau Duta yang memiliki
kekebalan diplomatik sehingga akan terhindar dari gangguan fisik.
Kebetulan saat itu Pandawa sedang mengadakan musyawarah dengan para raja membahas persiapan
perang. Di saat itulah Oluka muncul ke tengah persidangan. Dengan gaya dibuat-buat jalan terbungkukbungkuk kemudian duduk bersimpuh di hadapan Yudhistira seraya berkata: "Duh gusti manusia berbudi
luhur, hamba adalah Caraka Kurawa diutus Prabu Duryudana untuk menyampaikan pesan beliau ke
hadapan gusti dan para satria Pandawa," ujarnya.
"kedatanganmu kuterima dengan senang hati. Adakah engkau membawa surat dari gustimu?" "Ampun
gusti, tak sehelai pun hamba bawa, kecuali pesan lisan yang harus hamba sampaikan melalui mulut
hamba," katanya mengundang rasa heran. Pesan apa gerangan yang ingin disampaikan Duryudana
menjelang perang? Kresna yang sejak tadi curiga bertanya: "Apakah pesan itu bersifat terbuka? "Siapa
pun boleh mendengarkan," katanya dengan suara parau dibuat-buat. Kresna membisikkan sesuatu
kepada Yudhistira dimana kemudian ia minta perhatian seluruh yang hadir untuk mendengarkan pesan
Duryudana melalui Carakanya. Tetapi diingatkan, apabila bunyi pesan dan tingkah laku si Caraka tidak
berkenan, diminta untuk tidak melakukan tindakan atau menyakiti sang Caraka. Kemudian Caraka
dipersilahkan menyampaikan pesan-pesan itu.
Mula-mula ia berlaku sopan, sujud di hadapan Yudhistira, memberi hormat kepada semua yang hadir.
Tetapi sejurus kemudian tak diduga, tiba-tiba ia melompat ke tengah persidangan sambil tertawa
terbahak-bahak. Kedua kakinya direntangkan, tangan kiri bertolak pinggang, sedang tangan kanan
menunjuk-nunjuk Yudhistira seraya berkata: "Hei, Yudhi, aku adalah Suyudana raja agung di seluruh
jagat raya. Dengarkan aku ingin bicara kepadamu. Engkau keturunan raja perkasa berdarah satria, tapi
mengapa engkau menjadi seorang pengecut, hah." Menyaksikan ulah si Oluka yang mendadak seperti
orang gila keadaan menjadi kacau, para raja menjadi kesal dan sebal. Serentak mereka bangun dari
kursinya dan berteriak-teriak histeris: "Tangkap dia, dia Caraka gila yang sengaja dikirim Suyudana untuk
menghina kita. Ayo tangkap bunuh dia." Melihat gelagak tak baik segera Yudhistira berseru: "Tengan,
tengan, tuan-tuan, sudah kami ingatkan bahwa seorang Duta tak boleh disakiti. Ini ujian bagi kita
khususnya bagi kami kaum Pandawa. Kendalikan diri anda masing-masing. Terima kasih." Akhirnya
suasana menjadi tenang kembali meskipun di sana-sini masih terdengar suara menggerutu. Kemudian
Oluka dipersilahkan kembali menyampaikan pesan Suyudana. Maka Oluka melirik ke arah sang Bima
dan dengan mata melotot serta telunjuk dituding-tudingkan hampir mengenai hidung Bima mulai ia
mengoceh: "Naaah, sekarang giliranmu hei orang gemblung. Sejak tadi kuperhatikan kau seperti orang
melamun. Rupa-rupanya kau sedang melamun ingin menjadi orang kaya jika berhasil merebut negara
Astrina," ejeknya sambil tertawa terbahak-bahak. "Wah, wah, orang miskin pengen jadi kaya kemudian
memimpin negara, lalu seenaknya memakai uang untuk membeli keperluan rumah tangga, ... wah celaka
negara bisa bangkrut. Cisss tak tahu malu. Tapi sayang hei orang edan, keinginanmu itu tidak seimbang
dengan keberanianmu. Buktinya wakt Drupadi ditelanjangi didepan orang banyak, kau hanya
menggeram-geram saja seperti orang sedang sakit meriang, ha ha haaa ... lalu, oya ... kau pernah
mengancam akan membunuh adikku Dursasana, oouhh, lucu, karena sebelum kau sempat
melakukannya, tubuhmu yang besar tapi tak bergizi itu sudah kulemparkan ke dalam lumpur di Tegal
Kuru, ha.. ha.. haaa....," ejeknya.
Begitu selesai Oluka memaki, meloncatlah Bima memburu berusaha menjambak rambut Oluka.
Untunglah Arjuna dan Nakula Sadewa yang sudah menduga Bima takkan tahan menerima ejekan, telah
bersiap-bersiap menghadang. Sementara para raja berteriak-teriak mendukung Bima: "Bunuh dia, cekik
dia, gantung dia...." mendengan suara dukungan Bima semakin bernafsu hendak membanting si Caraka,
tetapi tiba-tiba ia mendengar suara lembut tapi berwibawa: "Sena, elinglah dik. Kita sedang diuji Dewata.
Penjarakan nafsumu, kau tak akan terkenal dengan membunuh dia, lagi pula dia hanyalah seorang
Caraka, dik," ujar Yudhistira minta pengertian. Bima hanya bisa menggeram-geram sambil mencoba
memulihkan kesadarannya. Tapi sebagai ganti melampiaskan amarhnya, ia salurkan lewat mulutnya:

"Hei anak bajingan licik penipu judi, sampaikan pesanku kepada si keparat Suyudana, bahwa apabila
wakti itu aku tidak menolong Drupadi, bukan karena aku takut, tetapi aku tunduk kepada saudaraku
Yudhistira. Sebaliknya kalau saja tak dihalang-halangi,kepala si keparat Suyudana pasti sudah
kuhancurkan rata dengan tanah," katanya geram. Oluka mengira Bima sudah selesai memaki ditambah
perasaan takut yang tak kepalang, ia beranjak hendak kembali ke tempat semula, tetapi tiba-tiba: "Diam,"
bentak Bima hingga Oluka semakin gemetaran dibuatnya. "Aku belum puas ngomong goblok. Dengarkan
dan katakana kepada suyudana, bahwa saatnya akan segera tiba di mana aku telah bersumpah, di
medan perang nanti pahanya akan kuremukkan dengan gadaku dan kulitnya akan ku beset-beset hingga
kelihatan dagingnya, mengerti, hah?" Oluka menjawab: "Me, me, me, mengerti gusti.....," sahutnya
gemetaran. "Sudahlah kang," bujuk Arjuna. "Diam," Arjuna pun kena bentak hingga tertunduk.
"Sampaikan juga kepada si Dursasana, bahwa perutnya akan ku odet-odet sampai keluar isinya
darahnya akan kuminum serta sebagian lagi untuk keramas Drupadi," tukasnya sambil balik ke
tempatnya.
Demikianlah berturut-turut pesan Suyudana itu disampaikan oleh Oluka masing-masing kepada Arjuna
dan Kresna dengan gaya dan kata-kata yang menyebalkan, tetapi dijawab dengan kata-kata yang tak
kurang bernadakan ancaman dalam peperangan nanti di Tegal Kuru. Setelah selesai Oluka berkata:
"Duh gusti ratu adil paramarta, hanya kebesaran jiwa padukalah yang dapat memaafkan segala tindakan
hamba tadi. Hamba hanyalah titah belaka," katanya mohon pengertian. Yudhistira pun maklum bahwa
sedikitpun Oluka tidak bersalah. Yudhistira menyampaikan pesan kepada Suyudana, bahwa ia minta
maaf apabila nanti di medan perang pihaknya akan bersikap keras sebagai layaknya, yang berperang.
Setelah itu Oluka kembali ke kubu Kurawa.

Cinta adalah urusan hati. karena itu tidak mengenal kelas tinggi rendahnya derajat, kaya miskin, suku
bahkan yang berlainan bangsa. Bila cinta telah bersemi dalam dua hati sulit untuk dipisahkan. Walaupun
demikian bukan berarti tidak ada batas kewajaran ketentuan yang hak dan non hak, baik menurut
ketentuan adat istiadat maupun azas peradaban manusia.
Tetapi yang namanya cinta terkadang melanggar peradaban hak azasi seperti makhluk raksesa jatuh
cinta kepada bangsa manusia. Tentu saja itu hanya terjadi dalam cerita seperti cerita pewayangan
raksesi Arimbi jatuh cinta kepada Bima sebagai simbol manusia. Tetapi itu pun hanya merupakan
lambang semata.
Awal terjadinya cinta itu ketika kaum Pandawa sedang menjalani hukum buang akibat kalah main judi
dengan Kurawa hingga harus menderita merana di hutan belantara. Ketika itu Pandawa bersama ibunya
sedang meneduh di bawah sebuah pohon yang daunnya amat rindang. Karena kelelahan yang amat
sangat, mereka tertidur dengan lelap hanya Bima yang menjaga menolak bahaya yang mungkin datang.

Ternyata mereka berada di daerah kekuasaan raja raseksa yang ganas beranma Arimba penguasa
kerajaan Pringgandani.
Si raja itu mengetahui bahwa ada beberapa orang sedang meneduh di daerah kekuasaannya. Segera
diperintahkan adiknya raseksi Arimbi untuk membunuh orang-orang itu. Berangkatlah si raseksi yang
sama ganasnya itu menuju tempat para Pandawa sedang beristirahat.
Tetapi apa yang terjadi? Begitu si raseksi melihat Bima yang gagah dan tampan rupawan, mendadak
dalam hatinya timbul rasa cinta terhadap sang pengawal itu. Buyarlah niat ingin membantai dan tanpa
sadar terlepas kata-kata: "Duh, biang, biang, cukup banyak laki-laki yang telah kutemui, tapi tak
setampan dan segagah dia. Tubuhnya yang jantan bertenaga rahasia, gerak-gerikanya menarik
menyeret hati. Duhai Dewa Asmara lepaskan anak panahmu agar mengenai jantungnya, bakarlah naluri
kejantanannya."
Maklum adat raseksi yang tidak tahu malu, didatangilah Bima dan dirayunya bahkan mengajak kawin.
Tentu saja Bima menjadi marah dan Arimbi hendak dibunuhnya, tapi secepat kilat si raseksi menjatuhkan
diri dan sujud di hadapan Dewi Kunti seraya mohon tolong. Seketika Kunti pun terbangun serta
mencegah niat sang Bima hendak membunuh raseksi itu.
Tiba-tiba muncul raseksa Arimba serta mengetahui apa yang sedang terjadi dengan adiknya. Tentu saja
raseksa itu dengan amat murkanya hendak membantai para Pandawa. Tetapi dengan sigap pula Bima
menghadang dan terjadilah pertarungan dahsyat antara Bima dengan Arimba yang berakhir dengan
terbunuhnya raja Pringgandani itu. Belum puas membunuh Arimba, Bima berbalik hendak menjambak
Arimbi tetapi dengan sigap pula si raseksi merangkul Dewi Kunti untuk minta dilindungi dan menyatakan
cintanya kepada sang Bima. Sang Dewi seperti digerakkan hatinya seketika timbul rasa kasihnya. Sambil
memelai-belai rambut gimbalnya bagai kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya, serta dengan katakata memuji kecantikan si raseksi, agaknya kata-kata pujian itu sudah dikehendaki Dewata, karena tibatiba wujud raseksi yang menjijikkan itu seketika berubah menjadi seorang putri yang benar-benar cantik
jelita. Sang ibu yang bjak dan manusiawi itu minta agar Bima mau mengawini raseksi yang telah berubah
menjadi seorang putri yang cantik itu.
Demikianlah keadilan dan kasih sayang Tuhan terhadap umatnya tanpa membedakan golongan, maka
hal yang tidak masuk akal pun atas kehendaknya dapat terwujud. Bagi Pandawa persitiwa ini merupakan
nilai tambah di tengah derita yang dialami masih sempat berbuat amal menolong makhluk raseksi yang
dengan kejujuran dan keikhlasannya, ingin menjadi makhluk yang baik dan berbudi luhur.
Secara rohaniah perkawinan Bima dengan raseksi Arimbi merupakan lambang, bahwa Bima mampu
mengendalikan nafsu angkaranya untuk tidak membunuh Arimbi. Dari hasil perkawinan itu lahirlah
seorang putra diberi nama Gatotkaca yang kelak akan menjadi seorang pahlawan pembela keadilan dan
kebenaran. Sedangkan Arimbi akhirnya menjadi ratu negara Pringgandani menggantikan kedudukan
Braja Arimba.
HomeBlogPhotosVideoMusicReviewsLinks
The image cannot be display ed. Your computer may not
hav e enough memory to open the image, or the image
may hav e been corrupted. Restart y our computer, and
then open the file again. If the red x still appears, y ou
may hav e to delete the image and then insert it again.

Jogja VS Surakarta VI
SUNGGINGAN

Sep 4, '07 8:16 PM


for everyone

*(gambar nyusul)*
Setelah kita melihat bentuk tatahan dari kedua gaya maka tahap terakhir pada klasisifikasi bentuk
wayang adalah warna dari wayang tersebut atau dalam dunia pewayangan sering disebut
sunggingan. Dan warna utama yang digunakan pada zaman dulu adalah :
Warna putih

Terbuat dari tulang binantang yang dibakar. Ditumbuk hingga halus, ditambah dengan kapur sirih dan
ancur mentah yang di rendam dalam proporsi perbandingan yang tepat.
Warna Hitam
Warna hitam dihasilkan dari hoyan yang dicampur londho jangkang kepuh. Bisa juga dari langer
kukus lampu.
Warna Kuning
Warna kuning dihasilkan dari dari batu atal yang digerus.
Warna Biru
Dibuat dari bahan nila (nila werdi)
Warna merah
Bahan dari gincu merah.
Seiring berkembangnya zaman maka warna-warna tersebut sudah tidak digunakan lagi. Adapun
pengrajin wayang kulit jaman sekarang menggunakan cat acrylic sebagai bahan penyunggingnya.
Selain mudah didapat di toko-toko, dengan menggunakan cat ini maka pengrajin wayang dapat
menghemat waktu yang dulunya digunakan untuk membuat warna-warna tersebut.
Untuk pewarnaan gaya Yogyakarta akan banyak ditemui kombinasi dari warna-warna komplementer
pada bagian celana, kain lipatan, sampur dan bagian sabuk seperti Merah dan Hijau, dan Orange
dan Biru. Sebenarnya gaya Surakata juga menggunakan pewarnaan yang sama, namun karena
pada gaya Surakarta, warna prada (emas) lebih di utamakan maka warna complementer tersebut
terkesan kalah terang yang mengakibatkan pewarnaan ini kurang menyala. Dan juga bagian
pewarnaan yang lebih besar pada gaya Yogyakarta seperti yang tampak pada gambar Werkudara
yang terlihat berdada merah sebagai gambaran rambut di dada dan punggung.
Pada bagian mata juga tampak jelas sekali perbedaannya dimana gaya Surakarta tidak menyisakan
warna putih seperti yang terlihat pada wayang Kumbakarna dibawah.
Raden Werkudara gaya Yogyakarta dan Surakarta
Raden Kumbakarna gaya Yogyakarta dan Surakarta
Selain itu gaya Yogyakarta cenderung menggunakan warna merah dan biru untuk menghias wayang
seperti pada utah-utahan, dan kelat bahu sedang pada gaya Surakarta hanya merah saja dengan
kombinasi hijau dan prada sedikit-sedikit.
Pada pewarnaan bibir umumnya gaya Surakarta lebih pendek sehingga hanya bagian depan saja
yang berwarna merah sedang pada bagian belakang hanya ada garis emas tipis (kiri bawah) dimana
pada gaya Yogyakarta (kanan bawah) umumnya pewarnaan bibir adalah merah tebal pada bagian
depan dan menipis sampai ke belakang.
Perbedaan sunggingan kedua gaya ini juga terletak pada kumis dimana kumis pada gambar kiri
bawah adalah kumis dari gaya Yogyakarta untuk wayang ksatria gagah dan pideksa pada umumnya
sedang kumis dengan sedikit sayatan pada gambar kanan bawah adalah gaya Surakarta karena saat
itu di Surakarta banyak penatah sedang di Yogyakarta banyak penyungging.
Dan perbedaan terakhir ada pada pola kain poleng dimana gaya Yogyakarta hanya berpola hitam
putih/emas polos (kiri bawah) sedang gaya Surakarta berpola hitam putih dan kuning serta terdapat
titik merah pada bagian kain poleng gaya Surakarta pada umumnya (kanan bawah).
Kiranya demikian penjelasan singkat tentang perbedaan sunggingan gaya Yogyakarta dan Surakarta
pada bagian ini.
Tags: wayang purwa, jogja vs surakarta, wayang kulit, shadow puppet

reply share

The image cannot be display ed. Your computer may not


hav e enough memory to open the image, or the image
may hav e been corrupted. Restart y our computer, and
then open the file again. If the red x still appears, y ou
may hav e to delete the image and then insert it again.

Jogja VS Surakarta V (pt.3)


PRABA

Sep 4, '07 8:04 PM


for everyone

Praba adalah hiasan yang digunakan oleh ksatria besar berwujud seperti sayap yang melambangkan
cahaya dari kehidupan atau lambang sebagai orang terpandang. Perbedaan yang tampak pada
praba adalah bentuk ukiran padat pada gaya Surakarta dan adanya tepian pada gaya Yogyakarta.
Selain itu pokok cabang pohon yang dilukiskan dengan warna merah dan biru pada gaya Yogyakarta
terkesan lebih besar dari pada gaya Surakarta sehingga praba gaya Surakarta terlihat lebih rumit.

KELAT BAHU

Untuk hiasan tangan dan kaki saya rasa hanya kelat bahu yang memiliki sedikit perbedaan dari gaya
Yogyakarta dan Surakarta. Hal ini di sebabkan oleh bentuk gelang dan hiasan sejenisnya memiliki
bentuk yang sederhana sehingga terkadang tidak ada bedanya. Dalam kelat bahu biasa ini yang
dapat dijelaskan perbedaannya adalah banyaknya rongga pada gaya Yogyakarta karena keduannya
memiliki alur ukiran yang sama

Kelat Bahu biasa gaya Yogyakarta dan Surakarta


Satu lagi bentuk kelat bahu yang istimewa adalah Kelat Bahu Candrakirana. Kelat bahu ini dikatakan
istimewa karena hanya kelompok tunggal bayu yang menggunakan kelat bahu jenis ini seperti
Anoman, Bima, Batara Bayu, Pulasiya dan lainnya. Perbedaan keduannya ada pada bagian tepi
bawah dimana gaya Yogyakarta memiliki tepi bawah yang lebih panjang dari gada gaya Surakarta
dan juga mata panah pada bagian tengah lengan gaya Yogyakarta tidak ditemui pada gaya
Surakarta.

Kelat Bahu Candrakirana gaya Surakarta dan Yogyakarta

ULUR-ULUR
Pada Tubuh Wayang umumnya terdapat ulur-ulur yaitu semacam hiasan pada bagian dada yang
menyerupai tali yang terulur. Perbedaaan tatahan dari kedua gaya tampak sangat significan di sini.
Pada tali bagian atas dan bawah wayang gaya Yogyakarta hanya berbentuk garis tanpa hiasan
tatahan di dalamnya sedang pada gaya Surakarta, yang terjadi adalah sebaliknya, ulur-ulur di tatah
sampai pada talinya sehingga tampak lebih menarik jika dibandingkan gaya Yogyakarta. Perbedaan
lain adalah adanya pembatas beruap benjolan pada kiri dan kanan ulur-ulur untuk membatasi tali dan
pokok bunga (tengah) yang berbentuk belah ketupat pada ulur-ulur gaya Yogyakarta sedang dalam
gaya Surakarta yang ditemui adalah bentuk halus tanpa benjolan signifikan antara tali dan pokok
bunga gaya Surakarta.

Ulur-ulur gaya Yogyakarta dan Surakarta


Tags: wayang purwa, wayang kulit, jogja vs surakarta, shadow puppet
reply share

The image cannot be display ed. Your computer may not


hav e enough memory to open the image, or the image
may hav e been corrupted. Restart y our computer, and
then open the file again. If the red x still appears, y ou
may hav e to delete the image and then insert it again.

Jogja VS Surakarta V (pt.2)


UTAH-UTAHAN DAN GARUDA MUNGKUR

Sep 4, '07 8:02 PM


for everyone

Utah-utahan merupakan hiasan kepala yang umunnya di gunakan di bagian belakang kepala untuk
pelengkap mahkota, topong ataupun hanya digunakan begitu saja. Dikatakan utah utahan karena
bentuknya seperti raksasa atau makhluk yang mengeluarkan isi mulutnya.
Gaya Yogyakarta dan Surakarta juga memiliki perbedaan yang sangat menonjol pada Utah-utahan.
Hal yang sama seperti pada irah-irahan yaitu pada pola isian dari utah-utahan ini. Bagian atas kanan
kepala bisa di lihat pola tatahan khas Yogyakarta dengan
adanya pola: ( ( ( ( dan Surakarta juga sama denagn pola khasnya )))) dan ((((
Dan juga jik kita lihat, Surakarta memiliki ukiran yang lebih padat daripada gaya Yogyakarta sehingga
terlihat lebih rumit.
Pada utah-utahannya sendiri, Yogyakarta tetap menggunakan prinsip dasar pola
( ( ( ( di tepi, dengan bagian tengah berpola ))) ))) . (( ((

Utah-Utahan gaya Yogyakarta dan Surakarta


Di bagian hiasan Kepala Yogyakarta memiliki satu jenis hiasan lagi yang disebut Garudho Mungkur.
Hiasan ini hanya ditemui pada wayang gaya Yogyakarta. Garuda Mungkur berarti garuda terbalik
karena memang sesuai dengan bentuknya dengan ilustrasi seperti gambar dibawah ini.

RAMBUT

Bagian Rambut ini akan dibagi kedalam dua kategori. Katgori pertama adalah rambut gelung (sapit
urang) yang umumnya ditatah halus dan kategori kedua adalah rambut ngore udalan yang umumnya
berbentuk gimbal dengan tatahan yang lebih besar.
Pada bagian rambut gelung yang umumnya adalah rambut dari ksatria dan dewa (kecuali dewa
raksasa seperti Batara Kala, dan Batara Kali) adalah pada bagian ujung dari gaya Yogyakarta lebih
ramping jika dibandingkan dengan gaya Surakarta dan juga isian dari gelung Yogyakarta terlihat
lebih besar sehingga terkesan padat, sedang gaya Surakarta sebaliknya. Perhatikan gambar
dibawah ini.

Gelung Sapit Urang gaya Surakarta (atas) dan Yogyakarta (bawah) Bagian kedua adalah rambut
ngore udalan atau gimbalan. Rambut ini umumnya digunakan pada wayang raksasa seperti Dewa
Mambang, Kumbakarna, dan wayang raksasa besar lainnya. Pada tatahan kedua gaya ini hanya ada
dua perbedaan yang dapat diperhatikan. Yang pertama adalah alur dari ukiran. Pada gaya
Yogyakarta ukiran yang jatuh kebawah, menggelung ke bawah atau ke dalam ( ) sedang pada gaya
Surakarta ukiran yang tampak adalah ukiran jatuh namun menggelung ke atas atau ke luar ( ). Pada
gambar ini untuk menunjukan luar dan dalam adalah bagian tengah yang berlaku sebagai leher.
Kedua adalah bentuk udalan gaya Surakarta lebih bulat dah berpangkal/buntut lebih kecil sedang
gaya Yogyakarta lebih membentuk huruf S terbalik.

Rambut Ngore Udalan gaya Yogyakarta dan Surakarta

SUMPING
Sumping adalah salah satu perhiasan atau aksesori pada tubuh Wayang Kulit Purwa, yakni sebagai
penghias telinga. Jenis-jenis sumping pada seni kriya Wayang Kulit Purwa gaya
Yogyakarta, antara lain :

1. Sumping Mangkara
2. Sumping Surengpati
3. Sumping Kudhup Turi
4. Sumping Gajah Ngoling,
5. Sumping Mangkara Terate,
6. Sumping Pudhak Sategal
7. Sumping Setegal.
Surakarta, antara lain :
1. Sumping Waderan
2. Sumping Kembang Kluwih
3. Sumping Pudak Sinumpet
4. Sumping Surengpati
5. Sumping Gajah Ngoling
6. Sumping Kembang Pacar
7. Sumping Kembang Telekan.
Selain nama, perbedaan juga terletak pada tatahan seperti halnya yang ditemukan pada bagian irahirahan dan garudha mungkur. Di bawah ini adalah contoh sumping yang dimiliki Yogyakarta :

Sumping mangkoro setegal dan sumping gajah ngoling gaya Yogyakarta


Sumping Yogyakarta dan Surakarta

Tags: shadow puppet, jogja vs surakarta, wayang kulit, wayang purwa


reply share

The image cannot be display ed. Your computer may not


hav e enough memory to open the image, or the image
may hav e been corrupted. Restart y our computer, and
then open the file again. If the red x still appears, y ou
may hav e to delete the image and then insert it again.

Jogja VS Surakarta V (pt.1)


TATAHAN

Sep 4, '07 7:45 PM


for everyone

Sebelum kita memasuki bagian Tatahan ini ada baiknya jika kita mengenal begian-bagian tubuh
serta peralatan yang di gunakan oleh wayang seperti yang terpampang pada halaman berikut.
Pada wayang Gatotkaca, di tunjukkan bagian-bagian tubuh yang merupakan dasar dari wayang itu
sendiri. Bagian-bagian tersebut adalah:
Gelung Sapit Urang
Rambut depan atau Jambul
Mata
Tangan (2 bagian)
Jari
Kaki
Pundak
Jenggot pangkal leher
Mulut
Jenggot dagu atau jenggot kambing
Pada wayang Buta Raton atau Kumbakarna, di tunjukkan bagian-bagian perlengkapan yang
umumnya di gunakan oleh wayang. Bagian-bagian tersebut adalah :
01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.

Jamang Lidi
Jamang
Mahkota
Tali Garuda
Utah-utahan
Dawala/Tali
Sumping
Praba
Kelatbahu
Kelatbahu depan
kalung
Tali praba
Tali Ulur-ulur
Sabuk/ Paningset
Timang Slepe
Tali Sabuk
Gelang
Kampuh/ Dodot
Uncal wastra
Badong
Uncal kencana
Celana pendek
Celana Panjang
Kunca
Gelang kaki

MAHKOTA DAN IRAH-RAHAN


Setelah kita melihat bentuk fisik dari wayang gaya Yogyakarta dan Surakarta, kini mari kita lihat
bentuk tatahan, karena perbedaan dasar dari kedua gaya adalah pada bentuk tatahan pada boneka
wayang itu sendiri.
Bagian Pertama dalam pembahasan tatahan ini adalah bagian mahkota dan jamang yang
merupakan penghias kepala. Pada jamang, perbedaan tatahan yang terlihat adalah pada bagian
jamang lidi dimana pada bagian tepi dari jamang lidi milik wayang Yogyakarta masih ada bentuh
tatahan yang merupakan variasi dari jamang lidi itu sendiri dengan pola tatah intenan: ( ( ( ( ( (
( ( ( (. Konon tatahan pada tepi yang seperti bingkai dari jamang lidi ini juga akan pula ditemui

pada bentuk tatahan sumping, badong, utah-utahan dan banyak tempat lainnya. Selain itu bentuk
dari jamang lidi sendiri memang sangat berbeda antara gaya Yogyakarta dan Surakarta. Surakarta
memiliki jamang lidi yang lebih kecil dengan mataan yang lebih besar yang terlihat di tengah-tengah
jamang lidi jika dibandingkan dengan gaya Yogyakarta dengan pola : c(O) yang memenuhi area
jamang lidi.

Jamang Susun gaya Yogyakarta dan Surakarta


Pada bagian mahkota hanya akan di bahas bagian atasnya saja karena ada bagian bawahnya
adalah jamang susun yang umumnya susun tiga seperti gambar jamang susun gaya Yogyakarta
diatas.
Bentuk tatahan mahkota Yogyakarta lebih gemuk dan lebih berbentuk kotak sedang gaya Surakarta
memiliki bentuk layang-layang yang terpotong bagian bawahnya. Untuk hal isian dari mahkota
sendiri, gaya Yogyakarta memiliki hiasan kain jatuh yang melebar kesamping sehingga terlihat
seperti dua ular yang menjauh (lihat warna biru di dalam bagian merah) sedang pada gaya Surakarta
pola tersebut di balik sehingga terlihat berpola (SZ) seperti dia ular sedang berhadapan (bagian putih
kecil). Dalam hal isian, Yogyakarta memiliki isian mahkota yang lebih banyak dengan juga adanya
pembagian wilayah contohnya wilayah depan, wilayah atas (bagian yang menonjol di bagian atas)
wilayah tengah (merah) dan wilayah belakang yang mirip dengan bagian depan karena bidang
tatahnya yang memang relatif lebih besar sedang gaya Surakarta hanya ada tatahan sedikit-sedikit
dengan hanya menampilkan dua bagian yang jelas yaitu bagian atas (tonjolan pada pucuk mahkota
dan bagian bawah. Di bawah kepala mahkota terdapat semacam dua tangga (di atas jamang susun)
yang merupakan penopang mahkota tersebut. Dalam hal ini juga tampak perbedaannya dimana
pada gaya Yogyakarta dapat ditemui pola ( ( ( ( ( ( sedang pada gaya Surakarta hanya
tatahan panjang yang berjajar berbentuk (((( atau ))))
))))
((((

Mahkota gaya Yogyakarta dan Surakarta


Tags: wayang purwa, wayang kulit, jogja vs surakarta, shadow puppet
reply 3 replies share

The image cannot be display ed. Your computer may not


hav e enough memory to open the image, or the image
may hav e been corrupted. Restart y our computer, and
then open the file again. If the red x still appears, y ou
may hav e to delete the image and then insert it again.

Jogja VS Surakarta IV (pt.7)


(gambar nyusul!)

Sep 4, '07 11:53 AM


for everyone

GUNUNGAN DAN BINATANG


Wayang Gunungan dan binatang adalah wayang yang disebut sebagai wayang ricikan. Dalam hal ini
tidak banyak binatang yang dapat di bahas. Hal ini disebabkan oleh wayang binatang adalah bentuk
dasar yang harus dikuasai oleh pemahat atau pembuat wayang sehingga bentuk tatahannya yang
masih dasar menjadi cenderung sama dengan anatara kedua gaya.
Gunungan sendiri memiliki nilai filsafat yang sangat tinggi karena dalam satu gunungan itu
menggambarkan asal mula kehidupan hingga akhir dari kehidupan. Di gunungan sendiri terdapat
berbagai jenis ciptaan yang maha kuasa yang menunjukkan bahwa suatu ketentraman dunia akan
trercapai dengan adanya keseimbangan antara sesama makhluk hidup yang terlukis dalam
gunungan tersebut.
Mari kita masuk ke pokok pembahasan yaitu perbedaan dalam gunungan dari Surakarta dan
Yogyakarta.
Kayon/Gunungan gaya Surakarta dan Yogyakarta
Dari dua Gunungan di atas saya kira terdapat dua perbedaan menonjol yang juga merupakan
kekhasan masing-masing daerah.
Pertama adalah bentuk dari gunungan itu sendiri dimana gunungan gaya Surakarta pada bagian
bawah gapura berbentuk lurus atau malah melebar sedang wayang gaya Yogyakarta memiliki bentuk
yang mengecil. Seperti gambar yang terlihat dibawah.
Hal kedua adalah adanya pembatas pada tepi gunungan yang agak tebal pada gaya Surakarta
sedang pada gaya Yogyakarta pembatas tepinya cenderung lebih kecil dan diberi variasi sehingga
tidak hanya berbentu garis lurus saja.
Suatu tambahan untuk Gunungan gaya Yogyakarta adalah bentuk yang cenderung lebih gemuk
seperti yang tampak pada Gunungan milik Kraton Yogyakarta.
Gunugan Gapuran gaya Yogyakarta, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Garuda gaya Yogyakarta dan Surakarta
Karena tidak ada perbedaan yang meonjol pada wayang binatang yang lain, maka di bagian ini
hanya wayang garuda saja yang akan di bahas. Sesungguhnya yang kita lihat dalam wayang garuda
gaya Yogyakarta adalah merupakan corak dasar dan khas dari gaya Yogyakarta yang di gambarkan
dengan mulut dari burung yang terbuka lebar serta sayap yang membentang seakan sedang terbang
di angkasa. Hal ini sangata berbeda dengan burung dari Surakarta yang memiliki mulut terbuka juga
namun tidak terlalu lebar dan bentanagn sayap yang memiliki kesan seperti burung yang baru akan
terbang bebas.
Demikian perbedaan-perbedaan bentuk yang dapat di jelaskan dalam bagian ini. Untuk lebih lanjut,
mari kita lihat bentuk tatahan dan sunggingan pada bagian selanjutnya.
Tags: wayang purwa, wayang kulit, jogja vs surakarta, yogyakarta, shadow puppet
reply share

The image cannot be display ed. Your computer may not


hav e enough memory to open the image, or the image
may hav e been corrupted. Restart y our computer, and
then open the file again. If the red x still appears, y ou
may hav e to delete the image and then insert it again.

Jogja VS Surakarta IV (pt.6)


PUNAKAWAN

Sep 4, '07 11:34 AM


for everyone

Tak dapat dihindari lagi bahwa wayang punakawan merupakan tokoh-tokoh yang tak dapat di
pisahkan dari dunia pewayangan. Bagi kebanyakan orang, punakawan hanya merupakan orangorang lucu yang gemar menyampaikan guyonan-guyonan segar dalam petunjukan wayang. Namun
sesungguhnya punakawan adalah gambaran rakyat kecil. Sebuah negara tidak akan dapat
berkembang jika tidak ada rakyat yang mendukung. Punakawan inilah yang kemudian menjadi
perlambang rakyat yang mendukung rajanya. Dalam cerit-cerita umumnya wayang berkarakter jahat
dengan Togog dan Bilung sebagai penasehatnya tidak pernah mendengar nasehat-nasehat dari
abdinya sehingga berakhir dengan kehancuran serta kematianlah mereka. Sedang Ksatria yang
berbudi luhur dan mengikuti nasehat punakawannya selalu dapat lolos dari bahaya.
Pada wayang Purwa terdapat delapan punakawan yang terdiri dari Semar, Bagong, Petruk, Gareng
sebagai penasehat ksatria berbudi luhur, Togog dan Bilung sebagai penasehat raja-raja jahat dari
tanah seberang, lalu Limbuk dan Cangik, ibu,anak yang merupakan abdi dalem atau emban kraton.
Tidak banyak perbedaan yang dapat dilihat di sini karena semua wayang-wayang ini serupa baik dari
gaya Surakarta maupun Yogyakarta seperti yang kita telah bahas pada kelompok wayang terdahulu.

Ki Lurah Semar Badranaya gaya Surakarta dan Yogyakarta

Ki Lurah Petruk Kantongbolong gaya Surakarta dan Yogyakarta

Nala Gareng Gaya Surakarta dan Yogyakarta

Bagong gaya Surakarta dan Yogyakarta

Togog gaya Yogyakarta dan Surakarta


Mari kita lihat perbedaan yang ada diantara wayang-wayang diatas dalam tebel di bawah ini :

* click to enlarge table


Demikianlah perbedaan-perbedaan pasti yang dapat disebutkan dalam wayang-wayang punakawan
ini.
Tags: wayang purwa, wayang kulit, jogja vs surakarta, shadow puppet, yogyakarta
reply share

The image cannot be display ed. Your computer may not


hav e enough memory to open the image, or the image
may hav e been corrupted. Restart y our computer, and
then open the file again. If the red x still appears, y ou
may hav e to delete the image and then insert it again.

Jogja VS Surakarta IV (pt.5)


WAYANG RAKSASA

Sep 4, '07 11:24 AM


for everyone

Seperti yang telah di jelaskan pada bagian sesbelumnya, wayang raksasa gaya Yogyakarta dan
Surakarta adalah satu dari tiga bagian utama yang menjadi proyek transformasi. Seperti halnya
wayang kera, wayang raksasa dari gaya Yogyakarta juga menggunakan dua mata seperti yang
terlihat di gambar dibawah ini. Ini adalah wayang Raden Kumbakarna atau juga sering disebut buta
raton makutan (raksasa bermahkota). Kita lihat bagaimana bentuk tubuh dari wayang gaya
yogyakarta yang besar dan juga mulut yang lebih besar sepertinya akan siap memangsa siapa saja
dengan telapak tangan yang besar pula. Sedang dalam gaya Surakarta yang kita temui adalah hal
sebaliknya.

Raden Kumbakarna gaya Yogyakarta dan Surakarta


Konon karena bentuk tubuh yang besar seperti ini banyak dalang yang agak enggan memainkan
wayang raksasa dari Yogyakarta. Selain lebih berat, bentuknya yang besar juga menyulitkan sang
dalang dalam memainkan wayang secara leluasa. Contohnya adalah dalam adegan perang akan
sulit bagi dalang untuk melakukan manuver salto seperti yang sering diperagakan sang dalang setan,
Ki Manteb Soedarsono. Hal ini lah yang mengakibatkan adanya transformasi bentuk dari gaya
Yogyakarta ke gaya Surakarta seperti pada wayang Kumbakarna koleksi dalang muda, Ki Sukoco
dari Bantul, Yogyakarta dibawah ini. Sepintas memang tampak seperti wayang Surakarta namun ini
adalah wayang Yogyakarta yang di-Surakartakan. Hal ini dapat dilihat lebih lanjut pada bagian
tatahan. Mengingat perbedaan gaya buka semata-mata perbedaan bentuk namun juga perbedaan
tatahan.

Raden Kumbakarna gaya Campuran

Pada wayang raksasa lainnya yang lebih kecil, umumnya pada gaya Surakarta lebih menguruskan
bentuk tubuh dan juga mengaktifkan bagian tangan belakang yang biasanya hanya menyatu dengan
tubuh sebagaimana kita lihat pada wayang Brajamusthi ini dan juga wayang Kumbakarna diatas.
Selain itu, perbedaan yang menonjol yang terlihat diantara dua wayang Brajamusthi ini adalah
bagaimana wayang gaya Surakarta selalu menggunakan sandangan dan pernik-pernik yang
terkesan lebih mewah jiak dibandingkan gaya Yogyakarta.

Brajamusthi gaya Surakarta dan Yogyakarta


lagi-lagi penyimpangan terjadi. Suatu hal yang diluar kebiasaan adalah bentuk wayang Rahwana.
Pada wayang Rahwana atau dasamuka yang terjadi adalah sebaliknya. Jika sebelumnya wayang
raksasa gaya Yogyakarta bertangan satu dan wayang Surakarta bertangan dua, pada wayang
Dasamuka dibawah ini yang terjadi adalah justru wayang Dasamuka dari Surakart memiliki tubuh
lebih gemuk dengan tangan bagian belakang yang menyatu dengan badan dan tidak dapat
digerakkan.

Prabu Dasamuka gaya Surakarta dan Yogyakarta


Jangan pernah mengatakan bahwa wayang gaya Yogyakarta pasti tidak memiliki wayang raksasa
bermata satu. Pada umumnya wayang sering dikeluarkan pada perang kembang hanya memiliki
mata satu seperti Buta Cakil, Buta Rambutgeni, Buta Odol, Buta Terong, Buta Galiyuk dan Bragalba.
Khusus Buta Galiyuk, pada gaya apapun, ia selalu memiliki mata dua. Jadi yang akan mendai
patokan pada wayang Raksasa kali ini adalah panjang tangan dari masing-masing gaya. Pada gaya

Surakarta umumnya panjang tangan hanya melebihi lutut sedikit, namun pada wayang Yogyakarta
biasanya panjang tangan mencapai telapak kaki.

Buta Rambutgeni gaya Surakarta dan Yogyakarta


Tags: wayang purwa, wayang kulit, jogja vs surakarta, shadow puppet, yogyakarta
reply 2 replies share

The image cannot be display ed. Your computer may not


hav e enough memory to open the image, or the image
may hav e been corrupted. Restart y our computer, and
then open the file again. If the red x still appears, y ou
may hav e to delete the image and then insert it again.

Jogja VS Surakarta IV (pt.4)


WAYANG KERA

Sep 4, '07 9:04 AM


for everyone

Sesungguhnya transformasi bentuk gaya dari gaya Mataraman ke gaya Surakarta terletak pada tiga
aspek besar jika di pilah-pilah. Setelah kita membahas aspek pertama yaitu wayang putren, mari kita
masuk ke aspek kedua yaitu wayang kera. Pada gambar wayang-wayang Anoman ini tampak jelas
perubahannya dari bentuk wayang bermata dua ke wayang bermata satu. Hal lain yang dapat di
cermati adalah wayang Anoman gaya Yogyakarta terkesan lebih menunduk dengan pundak baian
belakang yang lebih naik ke atas sedang wayang Anoman gaya Surakarta yang terlihat lebih
mendangak namun pundak belakangnya terlihat datar sehingga gelung sapit urangnya terlihat lebih
tinggi. Hal lain yang sering kita jumpai adalah adanya kalung atau ulur-ulur yang sering kita jumpai
pada wayang-wayang Anoman dari Surakarta, sedangkan dari Yogyakarta terlihat lebih sederhana
dan sangat jarang di jumpai wayang Anoman dengan kalung ataupun ulur-ulur. Kendati demikian,
permasalahan kalung dan ulu-ulur bukanlah sebuah hal yang signifikan dalam perbandingan kedua
jenis wayang Anoman ini mengingat kalung hanyalah perlengkapan yang dapat ditambahkan pada
tiap wayang sesuai dengan kehendak pembuatnya.

Anoman gaya Yogyakarta dan Surakarta


Pada wayang Jaya Anggada di bawah ini juga terlihat perbedaan yang sama pada wayang Anoman
seperti transformasi jumlah mata dan juga perbedaan bentuk moncong dari wayang-wayang kera ini.
WayangYogyakarta memiliki bentuk moncong yang agak bulat pada bagian depannya sedang pad
wayang Surakarta, moncong dari wayag-wayang keranya berbentuk lebih tajam atau lancip.

Jaya Anggada gaya Yogyakarta dan Surakarta


Meskipun bentuk moncong kera yang ada memang merupakan suatu perbedaan yang dapat terlihat
jelas, namun seperti pada pembahasan yang sudah-sudah, hal tersebut tidak dapat dijadikan sebuah
patokan yang pasti. Lihat saja wayang Kapi Susena milik Bp. M Basiroen Cermagupita dari
Yogyakarta pada halaman selanjutnya. Di sana tampak bahwa Yogyakarta pun memiliki wayang kera
dengan moncong agak lacip yang mendekati bentuk wayangkera gaya Surakarta, hanya saja
perbedaan yang terlihat adalah jumlah mata dari wayang Kapi Susena yang masih merupakan
bentuk umum dari pewayangan gaya Yogyakarta yaitu dua buah mata. Hal ini disebabkan oleh
banyaknya jumlah wayang kera yang tercatat di pedalangan sehingga seniman wayang kulit pun
harus lebih kreatif dalam menciptakan bentuk wayang yang baru. Dan hal tersebut tampak pada
wayang Kapi Susena ini.

Kapi Susena gaya Yogyakarta


Dalam kisah ramayana yang disesuaikan dengan versi jawa atau pedalangan terdapat ratusan
wayang kera namun hanya puluhan yang terealisasi dalam bentuk wayang secara real. Diantara
puluhan wayang yang ada itu terdapat wayang kera biasa dan ada pula yang berkepala binatang. Di
sini aka ditunjukkan dua tokoh wayang berkepala binatang setelah kita membahas bentuk wayang
kera biasa di atas.

Kapi Satabali gaya Yogyakarta


Wayang kapi satabali di atas adalah contoh dari wayang kera dengan kepala hewan yaitu ayam. Jika
kita lihat , sesungguhnya tidak ada perbedaan dari wayang kera gaya Yogyakarta biasa dalam hal
tubuh. Perbedaannya hanya terletak pada perbedaan bentuk wajah, dimana dalam gambar tersebut,
Kapi Satabali menggunakan kepala ayam jago.

Wayang Satabali di atas adalah wayang yang menunjukkan bentuk Yogyakarta yang masuh daapt
diidentifikasikan dari jumlah mata, namun wayang kera gaya Yogyakarta juga memiliki bentuk
wayang kera dengan mata satu. Contohnya adalah wayang Kapi Cocak Rawun dibawah ini.

Kapi Cocak Rawun gaya Yogyakarta


Sekarang menjadi agak sulit bagi kita dalam mengidentifikasikan wayang-wayang seperti ini karena
jumlah mata dari wayang ini hanya satu dan tidak seperti wayang kera Yogyakarta lainnya. Hal yang
perlu kita lakukan dalam pengidentifikasian jenis wayang yang kurang jelas seperti ini adalah
membandingkan bentuk tubuh dan juga panjang tangan. Wayang gaya Yogyakarta cenerung
memiliki tangan y ang lebih panjang daripada wayang gaya Surakarta. Hal ini dapat pula dilihat pada
wayang-wayang yang lain.
Di bawah ini adalah perwujudan Kapi Celeng ( babi hutan) dalam gaya Yogyakarta dan Surakarta.

Kapi Celeng gaya Surakarta dan Yogyakarta


Tags: jogja vs surakarta, wayang kulit, wayang purwa, yogyakarta, shadow puppet
reply share

Jogja VS Surakarta IV (pt.3)


WAYANG KSATRIA DAN RAJA

Sep 4, '07 8:17 AM


for everyone

Di bagian ini saya lebih condong untuk menempatakan wayang raja dan ksatria dalam satu kelompok
karena menurut pandangan saya golongan ksatria dan raja memiliki kemiripan dari bentuk fisik. Letak
perbedaan yag paling menonjol adalah busana yang dikenakan. Kesamaan busana wayang ksatria

dan raja yaitu keduanya umumnya menggunakan kain batik parang rusak sebagai sandangan
sekaligus menandakan bahwa ia adalah ksatria besar meskipun ada juga beberapa ksatria yang
tidak menggunakan kain parang rusak. Ini adalaah contoh kain batik bermotif parang rusak barong.
Perbedaannya, seorang raja biasanya menggunakan pakaian yang lebih mewah denagn mahkota,
dan pernik-pernik lainnya.

Kain Batik Parang Pusak Barong, Yogyakarta


Wayang Ksatria atau raja sendiri dapat di bedakan menjadi beberapa bagian. Yang pertama adalah
wayang gagahan luruh seperti Bima, Gatutkaca, Antareja, dan Prabu Bomanarakasura. Yang kedua
adalah wayang ksatria gagah tegak seperti Durasasana dan Antasena. Ketiga adalah wayang ksatria
bagus luruh seperti Arjuna, wayang ksatria bagus ndongak atau mbranyak seperti Wisanggeni dan
Samba. Dan yang terakhir adalah ksatria pideksa seperti Setyaki yang merupakan masa transisi dari
wayang ksatria bagus ke wayang ksatria gagah.
Pertama-tama kita akan melihat perbandingan antara wayang kstaria bagus gaya Surakarta dan
Yogyakarta.
Pada wayang Arjuna yang terpampang di bawah memang secara sekilas terlihat sama dan agak sulit
menemukan perbedaannya, tidak seperti wayang putren. Kita akan mulai melihat perbedaan yang
terdapat pada wayang Arjuna ini dimulai dari bagian kepala. Jika kita perhatikan, ada beberapa
perbedaan yang dapat kita temui di bagian kepala dari wayang-wayang Arjuna ini. Dimulai dari
gelung sapit urang yang berbentuk seperti lingkaran, tampak bahwa wayang Arjuna gaya Yogyakarta
memiliki gelung yang relatif lebih kecil sedang wayang Arjuna gaya Surakarta memiliki gelung sapit
urang yang relatif lebih tinggi yang disesuaikan dengan postur tubuh wayang gaya Surakarta yang
memang lebih tinggi dan ramping. Yang kedua adalah mata dari kedua wayang di bawah ini. Mata
yang semacam ini dikenal dengan sebutan mata gabahan. Wayang gaya Yogyakarta umumnya
memiliki mata gabahan yang lebih besar daripada wayang gaya Surakarta. Hal ini di sesuaikan
dengan bentuk wajah gaya Yogyakarta yang lebih besar. Bentuk leher yang panjang dan lebih
menjulur ke depan seperti yang dapat kita lihat di gambar ini adalah merupakan tipikal bentuk
wayang gaya Yogyakarta.

Raden Arjuna gaya Surakarta dan Yogyakarta


Dari bagian kepala kita akan turun ke bagian tubuh dari ksatria penegah Pandawa ini. Pada bagian
tubuh dari Arjuna gaya Surakarta, karena gaya Surakarta yang lebih memtingkan keperluan sabet, di
buat semakin meramping sampai pada pinggang sedang dalam wayang gaya Yogyakarta bagian
tubuh yang diawali dari pundak semakin mengecil pada saat turun kebawah namun terlihat kembali
melebar saat melewati perut dan sampai di pingang seperti yang terlihat dalam perbesaran gamabr
di bawah ini.

Tubuh Wayang Arjuna gaya Surakarta dan Yogyakarta


Hal yang paling menonjol dan dapat dilihat perbedaannya secara jelas adalah bagian bawah pinngan
yang biasa disebut bokongan. Corak batik yang ada pada gaya Surakarta yang terlihat seperti
kelombang vertical menjadi sangat berbeda dengan corak batik pada wayang gaya Yogyakarta yang
lebih ke arah horizontal. Ini adalah jalan termudah yang dapat di tempuh dalam mengidentifikasikan
sebuah wayang Arjuna.

Bokongan Arjuna gaya Surakarta dan Yogyakarta


Hal diatas saya rasa cukup untuk mengidentifikasikan bentuk wayang ksatria bagus baik yang luruh
maupun yang mbranyak atau ndongak. Lebih lanjut kita mari kita lihat bentuk wayang ksatria
pideksa. Kali ini yang akan digunakan sebagai peragaan adalah wayang Setyaki, ksatria dari
Lesanpura.

Raden Harya Setyaki gaya Yogyakarta dan Surakarta


Seperti halnya Arjuna yang telah di bahas diatas, wayang Setyaki gaya Yogyakara dan Surakarta
juga terdapat dalam tinggi dari gelung sapit urang, dan bentuk wajah yang mana, Raden Setyaki
gaya Yogyakarta memiliki bentuk wajah yang lebih lebar dan wayag gaya Surakarta dengan wajah
yang diperkecil. Hal ini mengakibatkan, wayang Setyaki gaya Surakarta memiliki raut muka yang
terlihat lebih tenang dan tidak berangasan seperti yang terlihat di gaya Yogyakarta. Dari proporsi kaki
dan badan dari wayang ini terlihat bahwa wayang jangkahan (menjangkah tanpa menggunakan
bokongan gaya Yogyakarta terlihat lebih dinamis sedang wayang gaya Surakarta terlihat lebih kearah
berdiri diam dan tenang.
Pada bagian wayang gagahan akan dibahas bebrapa wayang yaitu Raden Werkudara, Prabu
Bomanarakasura dan Raden Gatotkaca. Di sini Raden Werkudara di bedakan dengan wayang
gagahan yang lain karena menurut saya, Raden Werkudara memilik kekhasan tersendiri yang tidak
dapat di jumpai pada ksatria biasa.

Raden Werkudara gaya Yogyakarta dan Surakarta

Prabu Tugu Wasesa (Werkudara saat menjadi Raja) gaya Surakarta dan Yogyakarta.
Memang mudah untuk melihat keduanya berbeda namun mencari letak perbedaan kedua wayang di
atas yang agak sulit. Seperti sebelum-sebelumnya, wayang gaya Yogyakarta masih memiliki bentug
gelung spit urang yang lebih pendek jika dibandingkan dengan gaya Surakarta. Yang terlihat jelas
dalam wayang Werkudara ini adalah raut wajahnya. Pada gaya Yogyakarta, Werkudara memiliki raut
wajah yang agak berangasan dengan mata dan mulut yang lebih besar. Dari segi perwatakan
memang Werkudara gaya Yogyakarta lebih sesuai karena seorang Werkudara memang harus
terlihat keras dan berwibawa terutama untuk adaegan peprangan. Karena bawaannya yang tenang
pada wayang gaya Surakarta, Werkudara semacam ini rasanya lebih cocok digunakan dalam
adegan jejeran atau pertemuan resmi. Dari segi tubuh, Werkudara gaya Yogyakarta juga terlihat
lebih kekar sedang pada wayang Surakarta, Werkudara hanya terkesan sebagai seorang yang tinggi.
Gambar ini juga menunjukkan bagaimana wayang Yogyakarta menjadi lebih dinamis jika
dibandingkan wayang Surakarta. Jika wayang Arjuna dan Setyaki, perbedaan menonjol terdapat
pada bentuk tubuh, maka pada wayang Werkudara ini sandangan kain polengnya yang memiliki
kekhasan pada masing-masaing wayang. Wayang Yogyakarta hanya menampilkan wayang
Werkudara dengan cawat atau sepotong kain sedang pada gaya Surakarta, Werkudaranya
menggunakan celana pendek. Hal yang sama juga dapat di perhatikan pada wayang Prabu
Tuguwasesa di atas.

Seperti halnya Werkudara, Arjuna dan Setyaki, Gatotkaca pun memiliki persoalan yang sama.
Perbedaan pada tubuh dari kehdua jenis wayang sepertinya sudah menjadi hal yang umum. Pada
gambar diatas hal terlihat adalah bentuk jenggor yang sama-sama berpangkal di leher. Pada wayang
Surakarta (kanan) jenggot lehernya terlihat sebagai tempelan karena wajah dan leher menjadi satu
kesatuan dalam garis yang diberi panah, namun tidak demikian halnya pada wayang Yogyakarta.
Pada ilustrasi di bawah ini dapat dilihat bagaimana perbandingan wayang gagahan gaya Surakarta
dan Yogyakarta secara lebih jelas.

Raden Gatotkaca gaya Surakarta dan Yogyakarta

Prabu Bomanarakasura gaya Yogyakarta dan Surakarta


Sebenarnya tidak terlalu banyak yang dapat di bahas dalam wayang raja-raja karena sebenarnya
sebagian besar perbedaannya telah di bahas pada wayang-wayang di atas seperti raut wajah, dan
bentuk tubuh. Suatu hal yang dapat kita cermati dalam bentuk wayang raja-raja di surakarta adalah,
adanya tali jatuhan yang terletak pada ujung ikatan pada tali bokongan yang berbentuk X. Gaya
Surakarta yang memiliki tali ikatan yang lebih panjang pada bagian atas bokongan ini biasanya
menambahkan tali jatuhan yaitu semacam ukiran yang di letakkan pada ujung tali X tersebut
sehingga permaslahan umumnya lemah karena wilayah yang kecil dan panjang serta mudah putus
dapat di atasi dengan tali jatuhan tersebut. Hal ini dapat terlihat lebih ejlas pada wayang Prabu
Basudewa di halaman berikutnya.

Prabu Ramawijaya gaya Yogyakarta dan Surakarta

Prabu Basudewa gaya Surakarta dan Yogyakarta

Pada umumnya seorang beranggapan dia berwatak


buruk perusak perdamaian dan tukang fitnah, tetapi dia seorang resi bergelar Danghyang Dwija Wirpa.
Artinya saking lihung derajatnya hampir setingkat dewa. Sikapnya bijaksana, cerdas tetapi rendah diri
walau berilmu tinggi. Ia puns eorang sarjana ilmu perang memiliki Sir Weda Danur Weda, yakni kitab ilmu
bercinta dan ilmu menggunakan senjata dan strategi perang.
Tubuhnya yang cacat berawal ketika mengunjungi bekas sahabat karibnya Sucitra yang ketika itu telah
menjadi raja negara Pancala bernama Drupada. Dahulu ketika keduanya masih menjadi siswa Resi
Baratwadya mereka sangat bersahabat, berperibahasa makan sepiring bersama minum semangkuk
bersama. Bahkan ketika Sucitra kempali ke negeranya berjanji akan memberikan sebagian tanah negara
kepada Dorna. Karena itu harapannya bila nanti bertemu dengan Sucitra, ia pasti akan disambut dengan
penuh keramah tamahan sehingga akan merupakan pertemuan nostalgia yang sangat indah mengenang
masa lalu.
Tetapi apa yang terjadi, lain harapan yang diangankan lain pula yang dialami. Begitu ia masuk keraton

menyapa sahabatnya dengan kata-kata penuh kerinduan, lain pula budi perangai Drupada yang
diperlihatkan dingin, muram dan berucap ketus: "Hei, siapa engkau ... beraninya mengaku kau sahabat
karibku. Sejak kapan aku bersahabat dengan kau. Tidak mungkin seorang raja agung seperti aku
bersahabat dengan seorang pengemis seperti engkau. Cisss, dasar gelandangan tak tahu diri," ujarnya
sambil memblengoskan muka.
Dorna terperangah tak menyangka akan disambut dengan sikap dan kata-kata yang menyakitkan. Tapi ia
masih mencoba mengingatkan, hanya kata-katanya berbeda dengan yang tadi: "Oh, maaf beribu maaf
tuan. Hamba memang orang dari dusun tak tahu sopan santun. Sikap hamba tadi karena hamba mengira
tuan masih seperti tuan yang dahulu ketika kita sama-sama menuntut ilmu dan, ..." "Cukup," bentak
Drupada memutus pembicaraan Dorna. "Itu pengakuan yang tidak akan pernah terjadi dan hanya dibuatbuat agar aku mau mengakui bahwa kaubenar sahabatku. Aku memang pernah berguru ilmu, tetapi tidak
pernah seperguruan dengan orang serendahmu," kilahnya.
Seterusnya Drupada menuduh Dorna sengaja hendak mempermalukan dirinya di hadapan para mantri
Bopati yang hadir saat itu. Sementara patih Gandamanah, body guard sang raja yang sejak tadi
memperhatikan tingkah laku Dorna, telah melanggar kesopanan menjadi naik pitam. Tak ayal lagi
diseretnya pendeta muda itu keluar Keraton dan dihajar habis-habisan hingga tak sadarkan diri, lalu
dibuang ke tengah hutan belantara.
Akibat penganiayaan berat tubuhnya menjadi cacat, hidungnya benkung, mata picak sebelah, tangan
sengkong bekas diplintir hingga patah tulangnya. Dalam keadaan tubuh rusak ia memaksakan diri
berjalan sambil merasakan sakitnya lahir dan batin.
Akhirnya tibalah ia di sebuah negara yang tidak lain adalah negara Astinapura. Nasib baik telah menanti
berkat ilmunya tinggi. Ia diangkat oleh Arya Bisma menjadi guru besar jurusan ilmu perang menggunakan
senjata dan strategi perang. Sedang mahasiswanya terdiri dari keluarga kerajaan yaitu Kurawa dan
Pandawa.
Bertahun-tahun sudah dia membina kedua golongan keturunan Barata dan melahirkan manusia-manusia
berjiwa ksatria. Sekalipun demikian luka hatinya oleh Drupada menjadi obsesi yang tak terlupakan.
Peribahasa luka di badan masih dapat disembuhkan, luka di hati sulit dihilangkan. Ia ingin membalas
tetapi tanpa harus melukai fisik orang itu. Ia hanyaingin mempermalukan sahabatnya itu, seperti pernah
ia ipermalukan di hadapan para Mentri Bopati Pancala. Karena itu ia ingin menangkap Drupada tapi tidak
oleh tangannya sendiri, melainkan oleh murid-muridnya. Untuk itu ia harus meningkatkan ilmu perang
murid-muridnya untuk menghadapi balatentara Pancala.
Demikianlah suatu hari ia memanggil murid-muridnya untuk dicoba keterampilan menggunakan senjata
panah. Sasarannya seekor burung yang hinggap di dahan pohon. Caranya iatur secara adil dimulai dari
Yudhistira. Sebelum diperkenankan melepas senjata sang guru bertanya dahulu: "Kau harus awas
terhadap burung itu, coba lihat, selain burung apa kau lihat menurut ciptaanmu?" Yudhistira: "Selain
burung saya lihat batang pohon, wujud bapak guru dan keempat saudara saya." Sang resi mengulangi
pertanyaan yang sama dan dijawab dengan jawaban yang sama pula. Resi jengkel mendengar jawaban
yang itu-itu juga, lalu katanya: "Sudah, jemparing tak usah dilepas, tak bakal kena, ayo minggir."
tukasnya ketus. Giliran Duryudana, sang guru bertanya dengan pertanyaan yang sama yang dijawa oleh
Duryudana: "Selain burung saya lihat daun bergumpluk banyak sekali, kemudian dahan dan ranting,
kemudian euu, kemudiannn euuu....." "Sudah, sudah, sama bodohnya, ayo minggir." katanya jengkel.
Demikian para Kuawa dan Pandawa telah mendapat giliran, tetapi semua jawaban tidak satu pun yang
memuaskan sang guru.
Terakhir giliran Arjuna lalu ditanya: "Apa yang kau lihat disana" "Burung," jawab Arjuna. "Selain burung
apalagi yang kau lihat?" "Saya tidak melihat apa-apa selain badan burung," jawabnya. Mendadak wajah
sang resi berseri, tapi ia bertanya lagi: "Coba lihat apa warna bulunya dan sebutkan satu persatu
warnanya." Tetapi Arjuna hanya menjawab: "Yang kelihatan hanya kepalanya." Seketika sang guru
memerintahkan: "Lepaskan anak panah itu." Dan melesatlah anak panah suaranya bersuling tepat
mengenai sasarannya hingga burung itu jatuh ke bumi, disambut tampik sorak para siswa tanda gembira

atas keberhasilan Arjuna.


Demikianlah di hadapan murid-muridnya ia mengharap rasa solider mau menangkap Drupada tanpa
dilukai. Duryudana ketua kelompok Kurawa unjuk muda ingin mendapat nama sebagai murid yang paling
menyayangi guru lalu berkata: "Bapak guru, luka hatimu adalah luka hati di hatiku. Karena itu akulah
yang akan menyeret si Drupada keparat itu ke hadapanmu," katanya pongah. Maka tanpa minta restu
dahulu, berangkatlah ia dengan kelompokKurawa menuju negara Pancala. Tetapi apa hasilnya, mereka
hanya pulang dengan tangan hampa bahkan babak belur dihajar tentara Pancala dan langsung pulang
keasramanya karena malu unjuk muka. Giliran Pandawa mohon restu menangkap Drupada. Dorna
berpesan: "Anakku Pandawa, meski hatiku sakit tangkaplah ia tanpa kau lukai. Balaslah kejahatan
dengan keadilan dan balaslah kebaikan dengan kebajikan, camkan itu." pesannya.
Berangkatlah para Pandawa menuju Pancala. Selang berapa lama Arjuna berhasil menangkap Drupada
dalam keadaan utuh dan membawanya ke hadapan Dorna. Drupada duduk termenung menanggung
malu tak berani bertatap mata dengan Dorna. Ia telah merasa sakit sebelum dianiaya. Terbayang
kembali dalam ingatannya ketika Dorna datang menemui tapi tak diakui, bahkan dihina dan ia menjadi
tawanan untuk menerima peembalasan bahkan mungkin nyawa melayang. Ia terkejut Dorna menyapa:
"Selamat datang paduka raja agung negara Pancala. Hamba mohon maaf belum bisa menerima paduka
dengan selayaknya. Maklumlah hamba hanya seorang pengemis hina tak berharga." ujarnya menirukan
kata-kata penghinaan Drupada kepadanya dulu. "Oh, kakang Dorna, aku terima salah telah membuat
kakang sakit lahir dan batin. Tetap juga waktu itu kakang tidak menghargai aku sebagai raja. kakang
masih menyamakan aku sebagai orang biasa berteriak-teriak memanggil namaku dibawah sorotan
puluhan mata para sentana praja dan mentri bopati, sehingga aku merasa dipermalukan," Drupada coba
memberi alasan. Dorna tertunduk mendengar alasan yang benar dan tak menyalahi. Tapi kemudian ia
menjawab: "Hamba merasa bersalah tak tahu sopan santun sehingga mempermalukan paduka di
hadapan para mentri bopati walau di saat itu juga hamba sudah memohon maaf itu tidak berarti sedikit
pun bagi paduka. Malah lebih dari itu paduka tega membiarkan hamba diseret dan dianiaya oleh
pengawal paduka. Padahal kita pernah bersahabat bagai kakak adik," ujarnya dengan nada sendu. "Yah,
aku memang bersalah, kini terserah mati hidupku ada ditangan kakang," katanya pasrah. "Jangan
samakan diri paduka dengan hamba. Mana mungkin orang kecil seperti hamba berani berbuat keji,
walaupun paduka telah mengiris-iris hati hamba dengan pisau kebencian hingga terasa pedih tak
terperikan, tetapi rasa kemanusian hamba tak mengizinkan membalas dengan cara seperti pernah
paduka laukan terhadap diri hamba.
Sebab bagaimanapun paduka adalah bekas sahabat karib hamba ketika sama-sama menjadi siswa resi
Baratwaja. itu pun kalau paduka masih mengakui kita bekas teman akrab," ujarnya. "Lalu apa maksud
kakang sekarang aku telah menjadi tawananmu," tanyanya. "Hamba akan menagih janji yang pernah
paduka ikrarkan ketika di perguruan, bahwa paduka akan menganugerahkan separuh tanah dari kerajaan
Pancalareja kepada hamba. Itulah yang harus paduka tetapi sekarang juga," tukasnya dengan nada
serius. Seketika terdengar suara orang banyak mengatakan rasa puas dengan keputusan Dorna.
Sementara lainnya mengatakan, bahwa Drupada beruntung tidak dianiaya seperti dahuli dialami Dorna.
Mendengar umpatan itu Drupada yang rasa ke-aku-akuannya sangat tinggi merasa sangat malu. Dalam
hatinya ia berkata, ternyata Dorna lebih kejam dari dugaan semula. Biar tak disakiti tapi dipermalukan di
hadapan orang banyak hancurlah keagungannya. Belum lagi ia harus menyerahkan sebagian tanah
kerajaan yang kesemuanya tak dapat dinilai dengan harta benda. Dalam hatinya ia berjanji akan
membalas sakit hatinya kepada Dorna. Begitulah nafsu itu bagaikan hawa tiada tepinya, maka saling
mendendam pun tiada habisnya.*

You might also like