Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK
Seperti yang diungkapkan Norberg-Schulz, seorang tokoh fenomenologi dalam arsitektur pada
bukunya yang berjudul Genius Loci : Towards the Phenomenology of Architecture, bahwa
sebuah tempat memiliki arti lebih dari hanya sekedar lokasi, karena setiap tempat memiliki
spirit/jiwa yang tidak dapat dijelaskan secara analitis atau metode ilmiah. Ditegaskan pula
bahwa ada relasi antara topografi (permukaan tanah), kosmologi (langit dan cahaya) dan
makna simbolik dan eksistensial yang melekat pada budaya yang menjadi dasar kegiatan
bermukim. Kekuatan dan karakter lokal dari sebuah tempat tidak boleh hilang dari sebuah
karya arsitektur, walaupun mulai terdesak oleh perkembangan jaman. Norberg-Schulz sendiri
sebenarnya tidak terlalu dikenal sebagai seorang arsitek dengan karya yang terkenal, tetapi
melalui teori dan filosofinya mengenai fenomenologi. Makalah ini akan membahas mengenai
konsep Genius Loci dari Norberg-Schulz dan beberapa karya arsitek lainnya yang menerapkan
konsep Genius Loci dari Norberg-Schulz, antara lain Petter Zumthor dengan karyanya Therme
Vals dan Geoffrey Bawa dengan karyanya Heritance Kandalama Hotel.
Keyword : Genius Loci, Norberg Schulz, Arsitektur
PENDAHULUAN
Karya-karya arsitektur berubah seiring dengan perkembangan jaman. Keindahan estetika
semata yang terpengaruh modernisasi sepertinya menjadi tujuan utama sebagian besar karya
arsitektur saat ini. Karya-karya tersebut seperti kehilangan esensi dan makna akan lokasi atau
tempat karya arsitektur tersebut dibangun, di mana seharusnya esensi dan makna tersebut
tidak boleh hilang dari sebuah karya arsitektur. Tujuan Arsitektur pada hakikatnya adalah
menciptakan tempat penuh makna yang memungkinkan manusia untuk mampu menentukan
orientasi dirinya terhadap lingkungan sekitar. Setiap tempat memiliki keunikan yang bersifat
khusus yang membedakannya dengan tempat lain (Schulz, 1980:5). Berdasarkan kenyataan
tersebut, sudah merupakan kewajiban bagi seorang arsitek untuk menempatkan karyanya
dengan baik sesuai kondisi suatu tempat di mana karyanya akan dibangun. Penempatan karya
yang baik merupakan realisasi dari pikiran yang mengacu pada keadaan setempat agar serasi
dan sesuai untuk kebutuhan manusia di tempat tersebut.
Dalam bidang arsitektur, kajian yang meneliti tentang sifat, jiwa dan esensi suatu tempat
berada dalam ranah fenomenologi arsitektur, di mana istilah Genius Loci yang banyak
digunakan. Christian Norberg-Schulz adalah salah satu yang mempelopori pendekatan
fenomenologi pada bidang arsitektur. Menurut Norberg-Schulz (1979) setiap tempat memiliki
keunikan yang membedakannya dengan tempat lain. Ia juga mengatakan, Genius Loci adalah
spirit of place, atmosfer suatu tempat/place yang memberikan kekhususan makna pada tempat
1
tersebut dan dapat membedakannya dengan tempat yang lain, serta terbentuk dari suatu
aktifitas khusus yang berhubungan dengan ritual religi, sosial dan budaya dari
masyarakat/manusia penghuni tempat tersebut.
Kata Genius merujuk kepada karakter penanda elemen alam tertentu, sedangkan kata Loci
berarti tempat atau lokal, sehingga kata Genius yang disandingkan dengan kata Loci menjadi
bermakna keunikan lokal, potensi lokal, keotentikan suatu lokalitas tertentu (Primi
Artiningrum, 2012). Dalam bukunya yang berjudul Genius Loci : Towards the Phenomenology
of Architecture, Norberg Schulz menegaskan relasi antara topografi (permukaan tanah),
kosmologi (langit dan cahaya) dan makna simbolik dan eksistensial yang melekat pada budaya
yang menjadi dasar kegiatan bermukim (dwelling). Manifestasi dari elemen bermukim tersebut
menjadikan sebuah keharmonisan yang akan memberikan identitas khusus pada sebuah
lingkungan dan karya arsitektur yang dibangun di lingkungan tersebut.
Penerapan Genius Loci dalam karya arsitektur di era modernisasi ini seharusnya bukan
merupakan sesuatu yang bertentangan. Harus ada hubungan antara keduanya, di mana
kekhasan suatu tempat bisa dijadikan karakter karya arsitektur. Untuk lebih memahami konsep
Genius Loci dari Norberg-Schulz maka dalam makalah ini dibahas konsep Genius Loci yang
digunakan oleh Norberg-Schulz dalam arsitektur dan dipaparkan beberapa karya arsitek lain
yang diciptakan menggunakan konsep Genius Loci.
tonggak awal kajian fenomenologi arsitektur. Dalam buku ini, Norberg-Schulz menyatakan
bahwa semua tempat memiliki jiwa atau Genius Loci tersendiri. Suatu karya arsitektur berdiri
berdasarkan pengaruh dan kenyataan yang ada di tempat di mana karya itu berada. Ia juga
menegaskan relasi antara topografi (permukaan tanah), kosmologi (langit dan cahaya) dan
makna simbolik dari eksitensial yang melekat pada budaya yang menjadi dasar kegiatan
bermukim (dwelling) dan mengaitkan dengan konsep Genius Loci sebagai berikut :
Man dwells when he can orientate himself within and identity himself with an
environment, or, in short, when he experiences the environment as meanigful. Dwelling
therefore implies something more than a shelter. It implies that the spaces where life
occurs are the places, in the true sense of the world. A place is a space that has
character. Since ancient times Genius Loci, or Spirit of Place has been recognize as the
concretereality man has to face and come to term with in his daily life.
Norberg-Schulz banyak membawa pemikiran fenomenologi filsuf Martin Heidegger hingga
publikasi-publikasinya seperti Concept of Dwelling (1997, MIT Press) dan Architecture :
Presence, Language, Place (2000, Skira). Dari pengaruh Heidegger, ia menggali makna
keberadaan dan kehadiran ruang (baik natural maupun buatan) melalui fenomena yang ada
agar muncul esensi tempat yang sering disebut sebagai Genius Loci. Kritik terhadap pemikiran
Norberg-Schulz ini muncul dari kecenderungannya untuk menjadikan Genius Loci gagasan yang
romantis milik masa lalu.
memiliki kepribadian dan karakter berupa sebuah kualitas yang lebih dari hanya sekedar
tempat.
Menurut Norberg-Schulz (1980: 47), Genius Loci dalam arsitektur adalah jiwa dari ruang dan
waktu, lokalitas dan region-region di mana arsitektur tumbuh dan berkembang. Di dalamnya
tercakup pelaku-pelaku, pengguna-pengguna, penikmat-penikmat dan keseluruhan
masyarakat yang merasa dekat dan terwakili dalam kesadaran dan pengharapannya.
Norberg-Schulz mengeksplorasi karakter dari sebuah tempat dan maknanya terhadap
penduduk setempat. Norberg-Schulz mengusulkan penggunaan metode fenomenologis untuk
memahami dan menggambarkan spirit/jiwa dari sebuah tempat melalui penggambaran ciri
ciri fisik dan interpretasi pengalaman manusia pada tempat tersebut.
Menurut Norberg-Schulz, tempat terbentuk dari fenomena alami (natural) dan fenomena
buatan manusia (man-made), atau yang dalam istilah konkretnya disebut lingkungan
(landscape) dan pemukiman (settlement). Norberg-Schulz kemudian menjelaskan konsep
ruang eksistensial, dan membaginya menjadi dua elemen, yakni ruang dan karakter, yang
saling melengkapi satu sama lainnya. Sebuah ruang tidak hanya berfungsi sebagai tempat
berlindung (shelter), sebuah ruang adalah tempat (place) di mana kehidupan berlangsung.
Sebuah tempat merupakan kumpulan ruang dengan karakter yang berbeda. Tempat
inilah yang menjadi fokus pembahasan dari genius loci (spirit of place). Tujuan dari ilmu
arsitektur adalah untuk memvisualisasikan spirit of place, di mana tugas seorang arsitek
adalah menciptakan tempat yang memiliki makna, sehingga mendorong manusia untuk
bermukim (dwelling). Sebuah ruang merupakan perwujudan dari elemen tiga dimensi yang
membentuk sebuah tempat, sedangkan karakter diwakili oleh atmosfer, yang merupakan
elemen terpenting dari setiap tempat. Organisasi ruang yang sama pada tempat yang
berbeda dapat memiliki karakter yang berbeda, tergantung pada perlakuan konkret
pengguna/users terhadap elemen ruang.
Ketika seseorang bermukim, maka secara simultan ia akan berlokasi pada ruang, dan secara
bersamaan ia juga mengekspos/mengungkap karakter lingkungan tersebut. Dalam hal ini,
terlibat dua fungsi psikologi, yakni orientasi dan identifikasi. Untuk mendapatkan tumpuan
eksistensial, maka seseorang harus dapat mengorientasikan dirinya. Ia harus tahu di mana ia
berada. Selain itu, ia juga harus mengidentifikasi diri dengan lingkungannya, agar ia tahu
bagaimana harus bersikap pada tempat-tempat tertentu.
Christian Norberg-Schulz menjelaskan bahwa ada empat fungsi yang harus dipenuhi arsitektur,
yaitu :
1. Physical control. Peran physical control meliputi pengendalian iklim (udara,
kelembaban, temperatur, angin, curah hujan, dll), cahaya, suara, bau, hal-hal lain
seperti debu, asap, serangga, hewan serta radioaktif. Kebanyakan dari faktor-faktor
tersebut di atas bersifat geographis dan berhubungan dengan bangunan dan
4
a. Lokasi
Therme Vals berada di Vals, sebuah lembah kecil di Graubunden di Switzerland.
Bangunan berbentuk monolit dengan sebagian besar material berupa batu dari
7
tambang lokal sehingga bangunan ini memiliki fasad yang menyatu dengan lingkungan
pegunungan sekitar. Pembagian ruang dilakukan secara sistematis dan mengambil
referensi bentuk gua untuk bagian ruang dalam. Therme Vals dibangun di satu-satunya
mata air panas di daerah Vals, Switzerland yang dikelilingi padang rumput hijau
pegunungan dan merupakan bangunan yang sangat responsif terhadap lingkungan
sekitarnya. Zumthor sebagai arsitek berusaha mendalami tapak dan sumber daya lokal.
Refleksi kenangan masa lalu, persepsi dan pengalaman ruang menjadi faktor utama
Zumthor dalam mendesain bangunan yang menjadikannya menyatu antara alam dan
lingkungan terbangun.
Seperti yang dikatakan Norberg-Schulz (1980), sebuah tempat memiliki banyak
kelebihan dibandingkan dengan lokasi. Tempat didefinisikan oleh karakter, sebuah
atribut yang dihasilkan melalui tindakan manusia dan persepsi, dimana tubuh dan
pikiran akan terkait. Pikiran memainkan peran mendasar dalam pembentukan karakter
tempat, mengacu pada apa yang dikenal dan terkait dengan masa kanak-kanak dan
budaya seseorang. Oleh karena itu, karakter tempat tergantung pada hubungan
seseorang dengan tempat dan kenangan yang dimilikinya.
Pendekatan yang digunakan Zumthor dalam mendesain Therme Vals menunjukkan bahwa
teori ruang menjadi inspirasi dalam pengembangan desain bangunan ini.
Pertama, desain ini menunjukkan sensitifitas arsitek dalam mengembangkan esensi yang
dimiliki tapak. Bangunan seperti masuk ke dalam tapak dan terasa bangunan tersebut memang
bagian dari tapak dan alam sekitarnya. Konsep massa dan material bangunan bangunan dibuat
dengan material batu lokal yang bernama Valser Quarzite. Zumthor sendiri berbicara tentang
aura dari tapak dan berusaha mewujudkannya ke dalam sebuah tempat yang aman, tenang
dan memiliki sense of belonging. Zumthor juga telah mengaplikasikan konsep Genius Loci
dari Norberg-Schulz seperti tertulis dalam buku The Phenomenology of Place.
Meskipun tujuan Zumthor adalah merancang sebuah pemandian, namun inspirasi untuk
Therme Vals ini tidak selalu datang dari fungsinya, tetapi lebih dari materialitas dan lingkungan
sekitar. Batu yang menjadi wadah air kolam ini juga dapat mengingatkan pada sejarah perayaan
mandi orang-orang 3500 tahun yang lalu.
10
Kedua, hubungan antar ruang juga menjadi landasan berpikir Zumthor. Penataan ruang
memberikan eksplorasi bagi pengunjung yang bergerak dari ruang satu ke ruang lainnya
melalui koridor, karena penataan tersebut menyebabkan banyaknya ruang-ruang yang tak
terduga yang menarik bagi pengunjung. Kolom-kolom batu dan kantilever menciptakan ruang
gerak sesuai modul struktur kolom batu yang membuat bagian-bagian tertentu menjadi
infinite. Seperti teras yang menonjol keluar seakan berada di ruang luar namun masih dalam
naungan bangunan (Gambar 10).
Ketiga, perbedaan lebar dan tinggi ruangan hanya dapat dirasakan secara langsung ketika
memasuki bangunan dan ruang-ruang di dalamnya. Sensasi ini akan mempengaruhi orangorang yang berada di dalamnya, di mana pengalaman ruang yang berbeda akan dirasakan di
setiap ruangan yang mereka masuki. Ini merupakan suatu pengalaman yang tidak akan bisa
dirasakan melalui peta atau gambar rencana saja. Jadi secara keseluruhan Therme Vals ini
memberikan sesuatu yang nyata untuk pengalaman seseorang.
11
12
Sebagai kesimpulan, pendekatan dasar yang dilakukan oleh Zumthor telah dipengaruhi oleh
teori ruang yang menempatkan manusia dalam pengalaman untuk benar-benar merasakan
esensi dari lingkungan dan alam sekitar yang dibuat nyata dalam bentuk karya arsitektur. Karya
Therme Vals ini dapat dikatakan sebagai sebuah memori di masa sekarang dari konteks masa
lalu dan masa depan. Therme Vals menjadi identitas, khususnya oleh masyarakat di daerah
Vals. Untuk itu mereka menganggap bangunan ini sangat berharga dan melakukan perawatan
dengan baik dengan membatasi orang yang berkunjung. Hal ini dilakukan demi menjaga
arsitektur bangunan agar tetap terjaga dengan baik.
2. Heritance Kandalama Hotel, Sri Lanka by Geoffrey Bawa
Geoffrey Bawa adalah seorang arsitek dari Sri Lanka yang menerapkan konsep Genius Loci atau
Sense of place dalam rancangannya. Salah satu karyanya adalah Heritance Kandalama Hotel di
Sri Lanka. Lokasi Hotel ini terletak di Dambulla, Sri Lanka yang berdekatan dengan tempat
historikal yaitu Sigirya.
a. Lokasi.
Pembangunan Hotel Kandalama adalah sebuah inisiatif dari owner dalam idenya untuk
memperluas/menambah area dalam paket wisata di Sri Lanka sepanjang pantai di barat
laut yang juga dikenal dengan cultural Triangle, bangunan dirancang oleh Geoffrey
Bawa dan dibangun pada tahun 1992 dan opening dilakukan pada tahun 1995. Lokasi
tapak terletak di sebuah tepi waduk/danau kuno yang mengelilingi sebuah area lereng
berbatu di dembulla, Sri Lanka, yang lebih dikenal dengan cultural site Segirya.
Tapak ini memiliki karakter dan nilai historis, dalam dengan lanskap berbentuk lereng
bebatuan dan hutan tropis yang dikelilingi oleh waduk/danau kandalama. Dalam hal ini
Arsitek mendapat tantangan untuk mempertahankan nilai kontekstual atau
karakteristik dari sebuah tapak tanpa mengurangi nilai-nilai arsitektur yang akan
diwujudkannya.
13
b. Kandalama Hotel.
Pada tahun 1991 Geoffrey Bawa ditugaskan untuk merancang hotel yang berdekatan
dengan kota sejarah yaitu Sigirya. Posisi tapak yang awalnya ditentukan oleh owner
dimaksudkan untuk menarik banyak wisatawan yang ingin secara langsung
mengunjungi reruntuhan kuno kota di atas tebing Segirya. Namun Geoffrey Bawa
sebagai arsitek tidak ingin bangunan justru mengganggu keberadaan dari lanskap
Budaya Segirya ini, sehingga menyarankan kepada owner untuk menggeser posisi
bangunan ke arah tenggara dari posisi awal. Lokasi tapak yang baru memberi tantangan
kepada arsitek karena terdapat lanskap berbatu dengan lereng bukit yang menghadap
langsung ke danau Kandalama. Lokasi tapak ini menjadi dasar Geoffrey Bawa untuk
merancang bangunan di mana kondisi topografi dan lereng bebatuan yang berombak
membantu untuk membentuk atau merancang bangunan hotel yang dasarnya
mengikuti kontur eksisting pada tapak. Hal ini menjadi suatu sikap Geoffrey Bawa
sebagai arsitek yang sensitif terhadap keadaan eksisting tapak, yang mana sebisa
mungkin meminimalkan kerusakan dan mempertahankan karakter tapak.
Bebatuan pada tapak yang terintegrasi langsung ke dalam desain adalah salah satu dari upaya
Geoffrey yang sensitif terhadap kondisi lanskap eksisting pada tapak. Tujuannya adalah untuk
menciptakan sebuah bangunan yang secara arsitektur dan eksisting lanskap terdefinisi dan
terintegrasi secara baik, dengan lanskap eksisting.
Desain dari Geoffrey Bawa menghasilkan konsep sustainable desain jauh sebelum istilah ini
diciptakan dan Geoffrey Bawa mengembangkan konsep desain yang kontekstual berdasarkan
teori dan keadaan eksisting di dalam tapak. Desain Geoffrey Bawa juga meenjatuhkan konsep
pembatas antara ruang dalam (indoor) dan ruang luar (outdoor), di mana dia justru
14
menggunakan bagian dari arsitektur lanskap menjadi bagian dari ruang interior, dan
menciptakan ruang-ruang yang dipisahkan oleh courtyards dan kebun.
Pada Gambar 16 terlihat interior dari koridor hotel yang menggunakan bagian dari lereng
bebatuan yang terdapat pada lahan eksisting. Melalui konsep kontekstual Geoffrey Bawa ingin
memberikan pengalaman ruang kepada pengunjung hotel tentang apa dan bagaimana
sebenarnya karakter dari sebuah tapak yang terletak di Dambulla dengan nilai historis dari
reruntuhan Segirya. Pada gambar 17 tampak keadaan bangunan di dalam tapak, dengan
bentuk siteplan yang mengikuti kontur atau topografi dari tapak, juga lereng bebatuan yang
menjadi bagian dari rancangan arsitektur. Geoffrey Bawa secara konsisten berpegang pada
konsep desain kontekstual dengan meminimalkan kerusakan pada tapak yang disebabkan oleh
pembangunan.
Pendekatan yang dilakukan Geoffrey Bawa dalam rencangannya jika dikaitkan dengan konsep
genius loci dari Norberg-Schulz memiliki kesamaan dalam mempertahankan nilai kontekstual
dari tapak yang akan memunculkan sebuah genius loci atau spirit of place, yang akan
menempatkan manusia di dalam pengalaman ruang yang menceritakan esensi dari lingkungan
dan alam sekitar yang terintregasi dengan konsep dalam arsitektur.
KESIMPULAN
Genius Loci dalam arsitektur merupakan sebuah konsep yang mengalami perubahan mengkuti
perkembangan zaman dari waktu ke waktu. Genius Loci yang pada masa Romawi Kuno merajuk
pada arwah/spirit yang menempati suatu tempat, seiring dengan perkembangan zamannya
kemudian berubah menjadi unsur-unsur atau bagian-bagian pada suatu karya arsitektur yang
menyesuaikan dengan kondisi fisik sekitar bangunan, tingkah laku manusia, kelompok, dan
budaya setempat.
Therme Valz karya Zumthor telah berhasil menempatkan manusia dalam pengalaman otentik
untuk benar-benar merasakan esensi dari lingkungan dan alam sekitar, yang dibuat nyata
dalam bentuk karya arsitektur. Demikian juga yang dilakukan oleh Geoffrey Bawa dalam
15
Kandalama Hotel. Topografi tapak tertuang dalam desain bangunan secara terintregasi dan
berhasil di dalam pengalaman otentik untuk benar-benar merasakan esensi dari lingkungan
dan alam sekitar.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa bagi para Arsitek, penerapan konsep Genius Loci memiliki
peran penting dalam isu-isu green building, dikarenakan konsep Genius Loci sangat
mengutamakan kondisi alam, cuaca, tapak dan lingkungan disekitarnya. Selain itu konsep ini
juga membantu pelestarian budaya lokal setempat yang di beberapa daerah sudah semakin
memudar dikarenakan perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Ceriden Owen (2007).Architecture Betwee the culture-nature dualism : A-case study of
Geoffrey Bawas Kandalama hotel. International Journal of Architectural Research,
Volume 2 Issue 1 March 2008 (40-56)
Dayang Fatin Nilisa. Tanya Eskander. Miranda McCabe. Timothy Smith. The Kandalama Hoteldescription 06 Mei 2016.
http://geoffreybawa.wix.com/kandalamahotel#!description
Dwi Astuti Depari, Chatarina (2012). Transformasi Ruang Kampung Kauman Yogyakarta
Sebagai Produk Sinkretisme Budaya.
Haddad, Elie, (2010). Christian Norberg-Schulz's Phenomenological Project In Architecture,
Architectural Theory Review, 15:1, 88-101
Pagan, Sabine. Contemporary Jewellery : A Phenomenological Approach to Making Informed by
Architecture.
Punuh, Claudia Susana, 2014, Genius Loci Kampung Los di Kelurahan Malallayang | Timur
Manado
diunduh
dari
ejournal.unsrat.ac.id/index.php/SABUA/article/download/5330/4843
Teori
Arsitektur
Phenomenology.
05
http://www.oocities.org/sta5_ar530_2/tugas_kel2/tgskel6/kel6.htm
Mei
2016.
https://www.academia.edu/1529176/_2012_Fenomenologi_Arsitektur_Konsep_Sejarah_dan
_Gagasannya
16