You are on page 1of 2

25 Juni 2016

#Daur #Esai
Ta qid : Penyakit-penyakit itu namanya kesempitan, kedangkalan, kesepenggalan, kese
mentaraan, kepadatan, kekerdilan, dan bermacam-macam lagi yang sefamili
Masyarakat di mana Markesot bertugas, tiga era silam, hampir sepenuhnya sudah di
tenggelamkan oleh sejumlah penyakit yang mereka tidak pernah menyebutnya sebagai
penyakit. Apalagi merasakannya. Mereka bahkan sangat menikmati, membanggakan da
n mempertahankan mati-matian penyakit-penyakit yang mereka derita.
Dan sekarang ternyata semakin parah. Generasi pertama yang dikenai epidemic peny
akit-penyakit itu masih berpikir dan melakukan sejumlah antisipasi atau perlawan
an, dengan cara berpikir yang membedakan dan merentang jarak antara penyakit itu
dengan gagasan-gagasan hidup sehat.
Generasi berikutnya sejak kecil sudah terbiasa mengidap penyakit itu, mampu meng
antisipasinya, sanggup beradaptasi dan bahkan bisa menikmatinya sehingga perlawa
nannya menurun, tidak sebagaimana yang terjadi pada generasi sebelumnya.
Generasi berikutnya lagi sudah ajur-ajer dengan penyakit-penyakit itu. Sudah men
yatu. Sudah beranggapan bahwa kehidupan di dunia ini memang begitu. Mereka tidak
memiliki lagi polarisasi pemikiran antara sehat dengan sakit. Yang sebenarnya p
enyakit itu mereka banggakan sebagai kesehatan.
Kalau ada siapa-siapa yang mencoba memberitahukan kepada mereka bahwa itu adalah
penyakit, mereka tersinggung. Kemudian marah. Lantas menuduh bahwa yang memberi
tahukan itu adalah provokator, golongan sesat, kelompok sempalan, dan akhirnya:
kafir, teroris. Mereka mengizinkan, gembira dan merestui para penyebar penyakit
menghukum para teroris itu, bahkan didorong untuk memberantasnya sampai tuntas,
membunuh dan memusnahkan mereka semua.
Penyakit-penyakit itu namanya kesempitan, kedangkalan, kesepenggalan, kesementar
aan, kepadatan, kekerdilan, dan bermacam-macam lagi yang sefamili.
Para penyebar penyakit global menyuntikkan cairan, arus magnetik maupun kelas-ke
las pendidikan, media, kursus-kursus, forum pencerahan, makalah, jurnal dan berb
agai macam bentuk lagi sehingga Bangsa Narapidana itu tidak mengenal kata kesempi
tan , sebab diperkenalkan sebagai keluasan .
Demikian pun kemunduran diinformasikan sebagai kemajuan.
Kehancuran di-iman-kan sebagai sukses.
Kedunguan diyakinkan sebagai kecanggihan.
Kebodohan dilabeli kepandaian.
Kehinaan dikibarkan sebagai kemuliaan.
Dunia sebagai akhirat.
Neraka sebagai sorga.
Bahkan lebih membumi lagi: hewan sebagai manusia.
Setan dilantik sebagai Khalifah.
Kemunafikan disebut moderat.
Perampokan disamarkan menjadi Demokrasi.
Cuci otak diperkenalkan sebagai Universitas.
Percetakan disebut Sekolahan.
Sekularisme disubversikan ke dalam terapan Agama.
Keserakahan disebut liberalisme.
Fir aunisme diganti nama egalitarianisme.
Egosentrisme dibungkus kemerdekaan berbicara.
Keteguhan iman dikasih merk keras kepala.
Pemeliharaan martabat disebut konservatisme.
Berpikir mendasar dikutuk sebagai fundamentalisme.
Ayam berlaku sebagai ayam dikatakan rasisme.
Itik tak mau jadi bebek dibilang diskriminasi.
Kepatuhan kepada sunnah diklaim sempalan.
Mencari kedalaman hidup dianggap kesesatan.
Kesesatan disebut pengetahuan.
Kecurangan diajarkan sebagai ilmu.
Tipu muslihat dibukukan sebagai hukum.
Keserakahan disebut kesejahteraan.
Kerakusan dihadirkan sebagai kemakmuran.
Keadilan dijadikan alat utama penipuan.
Buruh dilantik sebagai tukang perintah.
Perusahaan diumumkan sebagai Negara .
Untunglah Markesot bukan penulis. Sebab akan habis kertasnya jika harus menerusk
an kalimat-kalimat itu untuk dituliskan. Lebih untung lagi Markesot sangat tahan
berpuasa untuk tidak semau-maunya mengungkapkan hal itu. Bisa-bisa ia dikeroyok
oleh orang sekampung.

You might also like