You are on page 1of 30

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Henti jantung berdasarkan The Pediatric Utstein Guidline adalah

terhentinya aktivitas mekanik jantung yang ditentukan oleh tidak adanya respon

dari perabaan pada denyut nadi sentral, dan henti nafas 1.

Pada anak, henti jantung biasanya lebih banyak disebabkan oleh asfiksia

sebagai akibat sekunder dari henti nafas. Hal ini berbeda dengan kejadian henti

jantung pada dewasa yang sebagian besar disebabkan oleh masalah primer pada

jantung. Data yang didapatkan menyebutkan bahwa, lebih kurang 2 4 % pasien

yang dirawat di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) mengalami henti jantung.

Angka kejadian henti jantung dan nafas pada anak di Amerika Serikat sekitar

16.000 setiap tahunnya, hanya 30 % yang menerima resusitasi jantung paru dan

sebagian besarnya terjadi pada anak dengan usia kurang dari 1 tahun 1-3.

Penelitian yang dilakukan oleh Hans Steiner dan Gerald Neligan (1975)

mendapatkan hasil bahwa lamanya henti jantung berhubungan dengan insiden

kerusakan otak, semakin lama bayi mengalami henti jantung, semakin berat

kerusakan otak yang akan dialaminya 4. Hal tersebut dikarenakan henti jantung

yang lama akan menyebabkan tidak adekuatnya Cerbral Perfusion Pressure

(CPP) yang selanjutnya akan berdampak pada kejadian iskemik yang menetap dan

infark kecil di suatu bagian otak 5.

Pemberian penanganan segera pada henti nafas dan jantung berupa Cardio

Pulmonary Resuscitation (CPR) akan berdampak langsung pada kelangsungan

1
hidup dan komplikasi yang ditimbulkan setelah terjadinya henti jantung pada bayi

dan anak1. Resusitasi jantung paru segera yang dilakukan dengan efektif

berhubungan dengan kembalinya sirkulasi spontan dan kesempurnaan pemulihan

neurologis. Hal ini disebabkan karena ketika jantung berhenti, oksigenasi juga

akan berhenti sehingga akan menyebabkan kematian sel otak yang tidak akan

dapat diperbaiki walaupun hanya terjadi dalam hitungan detik sampai beberapa

menit 6.

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk untuk mempelajari dan

mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, dan penatalaksanaan

henti nafas dan henti jantung pada bayi dan anak.

BAB 2

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Henti jantung adalah penghentian tiba-tiba fungsi pemompaan jantung dan

hilangnya tekanan darah arteri. Saat terjadinya serangan jantung, penghantaran

oksigen dan pengeluaran karbon dioksida terhenti, metabolisme sel jaringan

menjadi anaerobik, sehingga asidosis metabolik dan respiratorik terjadi. Pada

keadaan tersebut, inisiasi langsung dari resusitasi jantung paru diperlukan untuk

mencegah terjadinya kerusakan jantung, paru-paru, ginjal, kerusakan otak dan

kematian 1-3.

2.2 Epidemiologi
Angka kejadian henti jantung dan nafas pada anak-anak di Amerika

Serikat sekitar 16.000 setiap tahunnya. Kejadian lebih didominasi oleh anak

berusia lebih kecil, yaitu pada anak usia dibawah 1 tahun dan lebih banyak pada

jenis kelamin laki-laki yaitu 62%. Angka kejadian henti nafas dan jantung yang

terjadi di rumah sakit berkisar antara 7,5 11,2% dari 100.000 orang setiap

tahun. Sebuah penelitian di Amerika Utara menunjukkan bahwa, kejadian henti

nafas dan henti jantung lebih banyak terjadi pada bayi dibandingkan dengan anak

dan dewasa yaitu dengan perbandingan 72,7 : 3,7 : 6,3 dari 100.000 orang setiap

tahunnya 1-3.

Sementara itu, angka kejadian henti nafas dan henti jantung yang terjadi di

rumah sakit berkisar antara 2 6% dari pasien yang dirawat di ICU (Intensive

Unit Care). Sekitar 71-88% terjadi pada pasien dengan penyakit kronis, yang

terbanyak adalah penyakit saluran nafas, jantung, saluran pencernaan, saraf, dan

kanker. Penyebabnya hampir sama dengan henti nafas dan henti jantung yang

terjadi di luar rumah sakit di mana yang terbanyak adalah asfiksia dan syok 1.

3
2.3 Etiologi
Penyebab terjadinya henti nafas dan henti jantung tidak sama pada setiap

usia. Penyebab terbanyak pada bayi baru lahir adalah karena gagal nafas,

sedangkan pada usia bayi yang menjadi penyebabnya bisa berupa 6-9 :
a. Sindrom bayi mati mendadak atau SIDS ( Sudden Infant Death

Syndrome )
b. Penyakit pernafasan
c. Sumbatan pada saluran pernafasan, termasuk aspirasi benda asing
d. Tenggelam
e. Sepsis
f. Penyakit neurologis

Penyebab terbanyak henti nafas dan henti jantung pada anak yang berumur

diatas 1 tahun adalah cedera yang meliputi kecelakaan lalu lintas, terbakar, cedera

senjata api, dan tenggelam 6.

2.4 Patofisiologi

A. Henti nafas

Pada orang dewasa, henti kardiopulmonal lebih sering disebabkan oleh

penyakit jantung primer, sedangkan pada anak lebih sering disebabkan oleh

sepsis, infeksi, aspirasi benda asing, trauma yang meliputi cedera kepala dan

hampir-tenggelam (near drowning), penyakit saluran pernafasan atas dan bawah,

serta sindrom bayi mati mendadak 7,9,10.

Penghirupan cairan amnion yang terinfeksi dapat menyebabkan

pneumonia dan sepsis dalam rahim. Keadaan ini ditandai dengan distress janin

atau asfiksia neonatorum. Pemaparan terhadap patogen saat persalinan dan dalam

ruang perawatan atau di masyarakat merupakan mekanisme infeksi setelah lahir 8.

4
Tenggelam merupakan sumber cedera yang sering terjadi pada anak-anak

dan sering menyebabkan kematian. Akibat terendam dalam media cair, dapat

terjadi mati lemas (sufokasi), dan asfiksia dengan atau tanpa aspirasi paru.

Kematian yang terjadi dalam waktu 24 jam setelah terendam disebut tenggelam,

tapi jika korban dapat bertahan hidup lebih dari 24 jam disebut hampir-tenggelam,

tidak memandang apakah akhirnya pasien meninggal atau sembuh. Pada korban

hampir-tenggelam maupun tenggelam, hipoksemia progresif dapat terjadi, hal ini

dapat mempengaruhi semua organ dan jaringan dengan tingkat keparahan cedera

tergantung pada lamanya tenggelam. Jika terjadi aspirasi paru, hipoksemia dan

kegagalan pernafasan akan semakin berat 9.

Henti nafas juga terjadi akibat adanya disfungsi neurologis seperti yang

disebabkan oleh zat racun dan kejang. Peningkatan tekanan intrakranial (TIK)

akibat cedera kepala nantinya bisa menjadi henti nafas. Kerusakan neurologis

yang berat dapat dicegah sebelum terjadi keadaan henti nafas 9,11.

B. Henti Jantung

Henti jantung timbul akibat terhentinya semua sinyal kendali listrik di

jantung, yaitu tidak ada lagi irama yang spontan. Henti jantung timbul selama

pasien mengalami hipoksia berat akibat respirasi yang tidak adequat. Hipoksia

akan menyebabkan serabut-serabut otot dan serabut-serabut saraf tidak mampu

untuk mempertahankan konsentrasi elektrolit yang normal di sekitar membran,

sehingga dapat mempengaruhi eksatibilitas membran dan menyebabkan hilangnya

irama normal 12.

Apapun penyebabnya, saat henti jantung anak telah mengalami

insufisiensi pernafasan akan menyebabkan hipoksia dan asidosis respiratorik.

5
Kombinasi hipoksia dan asidosis respiratorik menyebabkan kerusakan dan

kematian sel, terutama pada organ yang lebih sensitif seperti otak, hati, dan ginjal,

yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan otot jantung yang cukup berat

sehingga dapat terjadi henti jantung 11.

Penyebab henti jantung yang lain adalah akibat dari kegagalan sirkulasi

(syok) karena kehilangan cairan atau darah, atau pada gangguan distribusi cairan

dalam sistem sirkulasi. Kehilangan cairan tubuh atau darah bisa akibat dari

gastroenteritis, luka bakar, atau trauma, sementara pada gangguan distribusi cairan

mungkin disebabkan oleh sepsis atau anafilaksis. Organ-organ kekurangan nutrisi

esensial dan oksigen sebagai akibat dari perkembangan syok menjadi henti

jantung melalui kegagalan sirkulasi dan pernafasan yang menyebabkan hipoksia

dan asidosis. Sebenarnya kedua hal ini dapat terjadi bersamaan 11.

Pada henti jantung, oksigenasi jaringan akan terhenti termasuk oksigenasi

ke otak. Hal tersebut, akan menyebabkan terjadi kerusakan otak yang tidak bisa

diperbaiki meskipun hanya terjadi dalam hitungan detik sampai menit. Kematian

dapat terjadi dalam waktu 8 sampai 10 menit. Oleh karena itu, tindakan resusitasi

harus segera mungkin dilakukan 11.

2.5 Penatalaksanaan

Pemberian penanganan segera pada henti nafas dan jantung berupa Cardio

Pulmonary Resuscitation (CPR) akan berdampak langsung pada kelangsungan

hidup dan komplikasi yang ditimbulkan setelah terjadinya henti jantung pada bayi

dan anak 1.

6
CPR atau yang lebih dikenal dengan istilah Resusitasi Jantung Paru (RJP)

merupakan upaya yang dilakukan terhadap korban atau penderita yang sedang

berada dalam kondisi gawat atau kritis untuk mengembalikan nafas dan sirkulasi

spontan. RJP terdiri atas Bantuan Hidup Dasar (BHD) dan Bantuan Hidup

Lanjutan (BHL). BHD adalah tindakan resusitasi yang dilakukan tanpa

menggunakan alat atau dengan alat yang terbatas berupa bag-mask ventilation,

sedangkan BHL sudah menggunakan alat dan obat-obatan resusitasi sehingga

penanganan dapat dilakukan lebih optimal 11,13.

Resusitasi jantung paru bertujuan untuk mengoptimalkan tekanan perfusi

dari arteri koronaria jantung dan aliran darah ke organ-organ penting selama fase

low flow. Kompresi jantung yang adekuat dan berkelanjutan dalam pemberian

penanganan bantuan hidup dasar sangat penting pada fase ini 2,13.

Bantuan Hidup Dasar pada Anak

Sebelum melakukan resusitasi, yang sangat penting diperhatikan adalah

meyakinkan bahwa penolong dan korban telah berada pada tempat yang aman.
6,14
Korban dipindahkan hanya jika tempat tersebut membahayakan korban . Selain

itu juga penting dilakukan penilaian kegawatdaruratan anak, berupa :

Segitiga penilaian pediatrik (PAT=Pediatric Assessment Triangle)

Tiga komponen PAT adalah penampilan anak, upaya napas, dan sirkulasi kulit12.

1. Penampilan anak

7
Penampilan anak dapat dinilai dengan berbagai skala. Metoda tides meliputi

penilaian tonus (T=tone), interaksi (I=interactive), konsolabilitas

(C=consolability), cara melihat (L=look/gaze) dan berbicara atau menangis

(S=speech/cry)12.

Tabel 2.1. Penilaian dengan metode Ticles (TICLS)12

Karakteristik Hal yang dinilai


Tone Apakah anak bergerak aktif atau menolak pemeriksaan

dengan kuat? Apakah tonus ototnya baik atau lumpuh?


Interactiveness Bagaimana kesadarannya? Apakah suara

mempengaruhinya? Apakah dia mau bermain dengan

mainan atau alat pemeriksaan? Apa anak tidak bersemangat

berinteraksi dengan pengasuh atau pemeriksa?


Consolability Apakah dia dapat ditenangkan oleh pengasuh atau

pemeriksa? Atau anak menangis terus atau terlihat agitas

sekalipun dilakukan pendekatan yang lembut?


Look/gaze Apakah memfokuskan penglihatan pada muka? Atau

pandangan kosong?
Speech/cry Apakah anak berbicara atau menangis dengan kuat atau

lemah atau parau?

2. Upaya napas

Karakteristik hal yang dinilai adalah suara napas yang tidak normal, posisi tubuh

yang tidak normal, retraksi, dan cuping hidung12.

Tabel 2.2. Penilaian upaya nafas12

Karakteristik Hal yang dinilai


Suara napas yang tidak normal Mengorok, parau, stridor, merintih, mengi
Posisi tubuh yang tidak normal Sniffing, tripoding, menolak berbaring
Retraksi Supraklavikula, interkosta, substernal, head bobbing
Cuping hidung Napas cuping hidung

8
3. Sirkulasi kulit

Hal yang dinilai adalah pucat, mottling, dan sianosis12.

Tabel 2.3. Penilaian sirkulasi kulit12

Karakteristik Hal yang dinilai


Pucat Kulit atau mukosa tampak kurang merah karena

kurangnya aliran darah ke daerah tersebut


Mottling Kulit berbercak kebiruan akibat vasokonstriksi
Sianosis Kulit dan mukosa tampak biru

Secara ringkas penggunaan PAT dapat dilihat dibawah 12:

Penampilan (Normal) Upaya napas ( ) Distress

pernapasan

Sirkulasi kulit (Normal)

Penampilan (Abnormal) Upaya napas ( / ) Gagal

napas

Sirkulasi kulit (Normal/ )

Penampilan (Abnormal) Upaya napas (Normal) Syok

9
Sirkulasi kulit ( )

Penampilan (Abnormal) Upaya napas (Normal) Gangguan

metabolik atau

gangguan primer

Sirkulasi kulit (Normal) susunan syaraf pusat

Gambar 2.1 Penggunaan PAT secara ringkas 12

Langkah langkah Resusitasi Jantung Paru :

CPR terdiri dari ventilasi mulut ke mulut dan kompresi dada. Ventilasi

mulut ke mulut merupakan teknik ventilasi buatan yang awalnya digunakan pada

abad ke-18 namun kemudian ditinggalkan. Pada tahun 1946, selama epidemi polio

ketika korban menderita kelumpuhan pernapasan otot, metode ini digunakan

kembali. The American Medical Association mendukung ventilasi mulut ke mulut

sebagai teknik untuk ventilasi buatan pada tahun 1958. Ketika ventilasi mulut ke

mulut dikombinasikan dengan kompresi dada tertutup pada tahun 1960, CPR

modern lahir dan istilah CPR digunakan untuk pertama kalinya pada tahun 196213.

Kompresi dada tertutup digunakan untuk pertama kalinya sebagai metode

untuk sirkulasi darurat oleh Boehm pada tahun 1878 , sebagaimana dikutip oleh

Kouwenhoven et al. Digunakan kembali pada tahun 1950, dan pada tahun ini juga

Kouwenhoven menunjukkan efektivitas kompresi dada tertutup sebagai metode

untuk sirkulasi buatan pada manusia. Setelah penemuan defibrilator dada tertutup

tahun 1957, Kouwenhoven et al menemukan bahwa pengembalian kerja jantung

spontan (return of spontaneous heart action) tidak mungkin terjadi jika shock

10
counter tidak dilakukan dalam waktu kurang dari tiga menit. Oleh karena itu

kompresi dada tertutup diciptakan untuk memperpanjang waktu di mana

defibrilasi bisa efektif tanpa membuka dada. Metode yang digunakan sebelumnya

adalah pijat jantung terbuka, sehingga upaya resusitasi sangat terbatas dan hanya

menolong sedikit pasien. Kompresi dada tertutup memiliki keuntungan yang besar

dibandingkan dengan pijat jantung terbuka karena tidak membutuhkan peralatan

sama sekali. Satu-satunya hal yang dibutuhkan adalah dua tangan penyelamat13.

Teknik yang digunakan oleh Kouwenhoven banyak memiliki kemiripan

seperti saat ini. Penjelasan Kouwenhoven adalah bahwa sirkulasi diperoleh

dengan penekanan dada pada posisi antara sternum dan vertebra sehingga darah

dipaksa keluar ketika jantung dikompresi. Penelitian yang dilakukan melalui

echocardiography memperlihatkan bahwa katup jantung menjadi tidak efektif

selama resusitasi, sehingga fakta ini bertentangan dengan teori Kouwenhoven.

Kouwenhoven juga berpendapat bahwa kompresi dada tertutup memberikan

beberapa ventilasi pada paru-paru, sehingga jika hanya ada satu orang penolong,

orang ini harus berkonsentrasi pada penekanan dada saja. Jika dua orang atau

lebih penolong, ventilasi mulut ke hidung harus diberikan. Penelitian terbaru telah

menunjukkan bahwa pentingnya lebih banyak waktu untuk flow generating

activities selama resusitasi13.

Pedoman CPR terus berkembang seiring dengan banyaknya penelitian

yang dilakukan. Perubahan pada CPR yang dilakukan bertahun-tahun terutama

pada peningkatan usaha kompresi dan penurunan usaha pemberian ventilasi

sampai pada pedoman CPR menurut AHA 2005. Pedoman AHA 2005

menyebutkan perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2 untuk semua usia

11
selain neonatus jika penolongnya 2 orang, sedangkan jika penolong hanya 1 orang

dilakukan dengan perbandingan 15 : 1. Langkah CPR berdasarkan pedoman AHA

2005 dimulai dengan melakukan evaluasi jalan nafas, pemberian nafas bantuan,

kemudian dilakukan kompresi secara berurutan 6,12,15.

Langkah CPR mengalami perubahan kembali sesuai dengan yang

dipublikasikan AHA pada bulan November 2010. Perubahan itu berupa : ketika

melihat korban anak atau bayi megap-megap atau tampak tidak bernafas, lakukan

evaluasi nadi, bila nadi tidak teraba atau < 60 kali/ menit lakukan resusitasi

jantung paru selama 5 siklus atau 2 menit. Teknik evaluasi setelah RJP sama

dengan AHA 2005. 6,10,14,16

Pada dasarnya, prinsip urutan resusitasi pada AHA 2005 dan 2010 adalah

sama. Teknik CPR berdasarkan AHA 2010 dilakukan dengan asumsi saat kejadian

hanya terdapat satu penolong. Keadaan tersebut menyebabkan munculnya

kesulitan yang sering didapat berupa keterlambatan dalam melakukan resusitasi

jantung paru karena terlalu lama dalam menilai kesadaran dan pernafasan

penderita 6,10,14,16.

Langkah langkah Resusitasi Jantung Paru menurut AHA 2005:

1. Periksa Kesadaran

Panggil korban dengan suara keras dan jelas atau panggil nama korban, lihat

apakah korban bergerak atau memberikan respon. Jika tidak bergerak berikan

stimulasi dengan menggerakkan bahu korban. Pada korban yang sadar, dia akan

menjawab dan bergerak. Setelah tindakan identifikasi kesadaran, lakukan

pemeriksaan untuk mencari kemungkinan adanya cedera dan pengobatan yang

12
diperlukan, namun jika tidak ada respon, artinya korban tidak sadar, maka segera

panggil bantuan 6,14,16.

2. Posisi Korban

Pada penderita yang tidak sadar, tempatkan korban pada tempat yang datar dan

keras dengan posisi terlentang pada tanah, lantai atau meja yang keras. Jika harus

membalikkan posisi, maka lakukan seminial mungkin gerakan pada leher dan

kepala (posisi stabil miring) 6,14,16.

3. Evaluasi jalan nafas

Pada penderita yang tidak sadar sering terjadi obstruksi akibat lidah jatuh ke

belakang. Oleh karena itu penolong harus segera membebaskan jalan nafas

dengan beberapa teknik berikut 6,14,16:

- Bila korban tidak sadar dan tidak dicurigai adanya trauma, buka jalan

nafas dengan teknik Head Tilt-chin lift Maneuver akan tetapi jangan

menekan jaringan lunak dibawah dagu karena akan menyebabkan

sumbatan.
Caranya adalah satu tangan diletakkan pada bagian dahi untuk

menengadahkan kepala, dan secara simultan jari-jari tangan lainnya

diletakkan pada tulang dagu sehingga jalan nafas terbuka.

13
Gambar 2.2. Teknik head tilt and chin lift pada bayi dan anak 14

- Korban yang dicurigai mengalami trauma leher gunakan teknik jaw-thrust

Maneuver untuk membuka jalan nafas, yaitu dengan cara meletakkan 2

atau 3 jari di bawah angulus mandibula kemudian angkat dan arahkan

keluar, jika terdapat dua penolong maka yang satu harus melakukan

imobilisasi tulang servikal 6,14,16.

Gambar 2.3 Teknik Jaw Thrust 14

Mengeluarkan benda asing

Obstruksi karena aspirasi benda asing dapat menyebabkan sumbatan

ringan atau berat, jika sumbatannya ringan maka korban masih dapat bersuara dan

batuk, sedangkan jika sumbatannya sangat berat maka korban tidak dapat bersuara

ataupun batuk. Jika terdapat sumbatan karena benda asing maka pada bayi < 1

tahun dapat dilakukan teknik 5 kali back blows (back slaps) di interskapula,

namun jika tidak berhasil dengan teknik tersebut dapat dilakukan teknik 5 kali

14
chest thrust di sternum, 1 jari di bawah garis imajiner intermamae (seperti

melakukan kompresi jantung luar untuk bayi usia < 1 tahun) 6,14,16.

Gambar 2.4 Teknik Back Blow pada bayi dan anak 14

Pada anak > 1 tahun yang masih sadar dapat dilakukan teknik Heimlich maneuver

yaitu korban di depan penolong kemudian lakukan hentakan sebanyak 5 kali

dengan menggunakan 2 kepalan tangan di antara prosesus xifoideus dan

umbilikus hingga benda yang menyumbat dapat dikeluarkan, sedangkan pada

anak yang tidak sadar, dilakukan teknik Abdominal thrusts dengan posisi korban

terlentang lakukan 5 kali hentakan dengan menggunakan 2 tangan di tempat

seperti melakukan teknik Heimlich manuever. Setelah itu buka mulut korban,

lakukan cross finger manuever untuk melihat adanya obstruksi dan finger sweeps

manuever untuk mengeluarkan benda asing yang tampak pada mulut korban,

namun jangan melakukan teknik tersebut pada anak yang sadar, karena dapat

merangsang gag reflex dan menyebabkan muntah 6,14,16.

15
Gambar 2.5 Teknik Heimlich Manuver 14

Gambar 2.6 Teknik Chest Thrust 16 Gambar 2.7 Teknik Abdominal Thrust 14

4. Periksa nafas

Jika obstruksi telah dikeluarkan maka periksa apakah korban bernafas atau

tidak, lakukan dalam waktu < 10 detik, dengan cara 6,14,16:

- Lihat gerakan dinding dada dan perut ( look )


- Dengarkan suara nafas pada hidung dan mulut korban ( listen )
- Rasakan hembusan udara pada pipi ( feel )

Korban yang mengalami gasping (megap-megap/nafas yang agonal atau nafas

yang tidak efektif) , maka korban tersebut dinyatakan tidak bernafas.

16
5. Berikan bantuan nafas

Lakukan 5 kali bantuan nafas untuk mendapatkan 2 kali nafas efektif. Hal

itu dapat dilihat dengan adanya pengembangan dinding dada. Bila dada tidak

mengembang reposisikan kepala korban agar jalan nafas dalam keadaan terbuka
6,14,16
.

Teknik bantuan nafas pada bayi dan anak berbeda, hal ini dapat dilakukan

dengan menggunakan bag valve mask ventilation atau tanpa alat, yaitu pada bayi

dilakukan teknik mouth-to-mouth-and-nose, sedangkan pada anak menggunakan

teknik mouth-to-mouth 6,14,16.

Gambar 2.8 Posisi pemberian bantuan nafas pada bayi 16

6. Periksa Nadi

Selanjutnya periksa nadi, pada bayi pemeriksaan dilakukan pada arteri

brakialis sedangkan pada anak dapat dilakukan pada arteri karotis ataupun

femoralis. Pemeriksaan nadi ini dilakukan dalam waktu 10 detik. Jika nadi > 60

kali/menit namun tidak ada nafas spontan atau nafas tidak efektif, maka lakukan

pemberian nafas sebanyak 12-20 kali nafas/menit, sekali nafas buatan 3-5 detik

17
hingga korban bernafas dengan spontan, nafas yang efektif akan tampak dada

korban akan mengembang 6,14,16.

Gambar 2.9 Lokasi perabaan nadi pada bayi 12

7. Kompresi Jantung luar

Jika nadi < 60 kali/menit dan tidak ada nafas atau nafas tidak adekuat

maka lakukan kompresi jantung luar. Pada bayi dan anak terdapat perbedaan

teknik yaitu pada bayi dapat dilakukan teknik kompresi di sternum dengan dua

jari ( two finger chest compression technique ). Selain itu, dapat juga dilakukan

dengan menggunakan kedua tangan pada posisi satu jari di bawah garis imajiner

intermamae ( two thumb-encircling hands ) jika didapatkan dua penolong. Pada

anak, kompresi jantung luar dilakukan dengan teknik kompresi pada setengah

bagian bawah sternum dengan satu atau kedua telapak tangan, tapi tidak menekan

prosesus xipoid ataupun sela iga. Kompresi dilakukan harus dengan baik yaitu
6,14,16
:

- Push hard : Kedalaman kompresi berkisar 1/3-1/2 diameter

anteroposterior dada
- Push fast : Kecepatan kompresi 100x/menit

18
- Release complete : Lepaskan tekanan hingga dada dapat mengembang

penuh
- Minimalisasi interupsi pada saat melakukan kompresi dada

Gambar 2.10 Two finger technique pada kompresi bayi 16

Gambar 2.11 Two thumb encircling hands pada kompresi bayi 16

19
Gambar 2.12 Kompresi jantung pada anak dengan satu tangan 14

Gambar 2.13 Kompresi jantung pada anak dengan dua tangan 10,14

Resusitasi jantung paru pada anak yang dilakukan oleh satu penolong

dilakukan 5 siklus selama 2 menit, setiap siklusnya terdiri dari 30 kali kompresi

jantung luar dengan 2 kali nafas bantuan, sedangkan jika terdapat 2 penolong

maka kompresi jantung luar dilakukan 15 kali dengan 2 kali bantuan nafas 6,14,16.

Setelah dilakukan 5 siklus, nilai ulang kondisi korban dengan melakukan

evaluasi nadi. Jika nadi kurang dari 60 kali dalam 1 menit atau tidak ada sama

sekali, resusitasi jantung paru dilanjutkan. Jika nadi lebih dari 60 kali dalam 1

menit, lakukan evaluasi pernafasan, dan jika nafas tidak ada atau tidak adekuat,

lakukan nafas buatan lanjutan selama 12 20 kali 6,14,16.

Tabel 2.4. Perbandingan rekomendasi AHA 2005 dan 2010 6,10,14,16-17

Rekomendasi 2005 Rekomendasi 2010 Penjelasan


CPR diawali dengan Memulai CPR pada Perubahan besar dalam memberikan

pembukaan jalan nafas bayi dan anak-anak kompresi pada CPR sebelum bantuan

dan memberikan 2 dengan kompresi nafas (CAB) menyebabkan perdebatan

20
bantuan nafas sebelum jantung daripada hebat antara para ahli dalam resusitasi

kompresi jantung. napas bantuan pediatrik. Karena sebagian besar henti

(C-A-B bukannya jantung pediatrik berawal dari asfiksia,

A-B-C). CPR harus bukan serangan jantung primer, pendapat

dimulai dengan 30 ahli dan data klinis mendukung kebutuhan

kompresi (1 orang bantuan nafas dan kompresi untuk CPR

penolong) atau 15 pada anak.

kompres(2 penolong) Henti jantung primer pada pediatrik sangat

bukan dengan dua sedikit dewasa, dan banyak penolong tidak

bantuan nafas. melakukan apa-apa karena tidak yakin atau

confuse. Kebanyakan korban henti jantung

anak tidak menerima CPR, sehingga setiap

strategi untuk penolong mungkin

menyelamatkan nyawa. Oleh karena itu,

pendekatan C-A-B untuk korban segala

usia diadopsi dengan harapan

meningkatkan kesempatan bahwa CPR

akan dilakukan. Urutan baru secara teoritis

hanya menunda napas sekitar 18 detik

(waktu yang dibutuhkan untuk

memberikan 30 kompresi) atau kurang

(dengan 2 penolong).
Untuk mencapai Kompresi dengan Bukti dari studi radiologis dada pada anak-

kompresi jantung yang kekuatan yang cukup anak menunjukkan bahwa kompresi untuk

efektif, penolong harus untuk menekan dada satu setengah anterior-posterior diameter

21
melakukan kompresi sekitar sepertiga mungkin tidak dapat dicapai. Namun,

setidaknya sepertiga dari hingga setengah kompresi dada efektif memerlukan

anterior posterior anterior posterior pushing hard, dan berdasarkan data baru,

diameter dada. Hal ini diameter dada. kedalaman sekitar 1 inci (4 cm) untuk

sesuai dengan sekitar 1 sebagian besar bayi dan sekitar 2 inci (5

inci (sekitar 4 cm) di cm) di sebagian besar anak-anak

sebagian besar bayi dan dianjurkan.

sekitar 2 inci (5 cm) di

sebagian besar anak-anak.

Resusitasi Pada Kondisi Khusus

Trauma

Beberapa aspek resusitasi pada trauma memerlukan perhatian khusus

karena tindakan resusitasi yang tidak benar dan tidak adekuat menjadi penyebab

keadaan fatal. Kesalahan umum pada resusitasi trauma pediatrik adalah kegagalan

untuk membuka dan memelihara jalan nafas, kegagalan untuk meresusitasi cairan,

dan kegagalan untuk mengenali serta mengatasi perdarahan internal. Kerjasama

dengan dokter bedah berpengalaman sejak awal, dan jika mungkin, membawa

anak dengan trauma multisistem ke suatu pusat trauma dengan keahlian

pediatrik6,14.

Berikut adalah aspek khusus resusitasi trauma 6,14,16 :

- Pada trauma yang melibatkan tulang belakang, batasi gerakan servikal

tulang belakang dan hindari traksi atau gerakan kepala dan leher. Buka dan

pertahankan jalan nafas dengan jaw thrust, dan jangan memiringkan

kepala. Oleh karena disporposional ukuran kepala bayi dan anak-anak,

22
posisi optimal oksiput atau mengangkat batang tubuh untuk menghindari

backboard-induced fleksi servikal


- Pada kasus trauma kepala intentional brief hyperventilation dapat

digunakan sebagai tindakan sementara untuk mengamati tanda herniasi

otak (misalnya kenaikan tiba-tiba tekanan intrakranial, dilatasi pupil tanpa

reflex cahaya, bradikardi, hipertensi)


- Kecurigaan trauma dada pada semua trauma torakoabdominal, meskipun

tidak ada luka luar. Tension pneumothorax hemotoraks, atau memar

berkenaan dengan paru-paru dapat mengganggu pernafasan


- Jika penderita mempunyai trauma maksilofasial atau dicurigai fraktur

basal tengkorak, sebaiknya dipasang orogastric tube dibandingkan dengan

nasogastric tube. Terapi syok dengan bolus 20 mL/kgBB carian kristaloid

isotonic . Berikan bolus tambahan (20 mL/kgBB) jika perfusi sistemik

tidak meningkat. Jika syok berlangsung 40-60mL/kg kristaloid, berikan

10-15mL/kgbb darah.
- Pertimbangkan trauma intraabdominal, tension pneumotoraks, tamponade

pericardial, cedera sum-sum tulang pada bayi dan anak-anak, dan

perdarahan intrakranial pada bayi dengan tanda syok.

Penghentian Upaya Resusitasi

Belum ada prediktor yang baik untuk menentukan kapan saatnya

menghentikan upaya resusitasi kardiopulmonal, maka waktu antara kejadian dan

datang bantuan yang profesional meningkatkan keberhasilan resusitasi 6,14,16.

Resusitasi jantung paru dapat di akhiri jika sirkulasi telah kembali normal,

dan korban dapat bernafas secara spontan, atau jika sirkulasi tidak dapat kembali

setelah dilakukan tindakan bantuan hidup dasar setelah 30 menit 6,12,14-15.

23
Berdasarkan Resuscitation Counsil, resusitasi jantung paru dihentikan jika
10,14,16,18
:
Anak menunjukkan tanda-tanda kehidupan seperti adanya gerakan,

batuk, bernafas spontan dan normal, atau nadi terba lebih dari 60

kali permenit
Tenaga yang lebih ahli sudah datang
Penolong sudah kelelahan

24
Gambar 2.13 Resusitasi berdasarkan AHA 2005 14

25
Gambar 2.14 Resusitasi berdasarkan AHA 2010 10

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

26
Henti jantung merupakan suatu keadaan terhentinya fungsi pompa otot

jantung secara tiba-tiba yang berakibat pada terhentinya proses penghantaran

oksigen dan pengeluaran karbondioksida. Keadaan ini bisa terjadi akibat hipoksia

lama karena terjadinya henti nafas yang merupakan akibat terbanyak henti jantung

pada bayi dan anak.


Kerusakan otak dapat terjadi luas jika henti jantung berlangsung lama,

karena sirkulasi oksigen yang tidak adekuat akan menyebabkan kematian jaringan

otak. Hal tersebutlah yang menjadi alasan penatalaksanaan berupa CPR atau RJP

harus dilakukan secepat mungkin untuk meminimalisasi kerusakan otak dan

menunjang kelangsungan hidup korban.


Resusitasi jantung paru pada bayi dan anak merujuk kepada pedoman

resusitasi berdasarkan AHA 2005 dengan tahap ABC yaitu dimulai dari Airway,

Breathing dan circulation. Resusitasi dimulai dengan evaluasi jalan nafas

kemudian dilanjutkan dengan pemberian nafas bantuan dan kompresi.


Pedoman AHA 2010 dilakukan jika penolong hanya satu orang, dimana

resusitasi dilakukan dengan tahap CAB yang dimulai dengan melakukan kompresi

5 siklus terlebih dulu jika denyut jantung <60 kali/ menit, setelah itu baru

dilanjutkan dengan evaluasi jalan nafas dan pemberian nafas buatan.


Salah satu alasan dilakukannya perubahan pedoman resusitasi dari ABC ke

CAB pada AHA 2010 adalah karena ditemukannya kelainan jantung seperti VT

( Ventrikuler Takikardi ) sebagai penyebab utama henti jantung pada dewasa. Pada

kasus ini, kompresi jantung sangat diutamakan untuk mengembalikan sirkulasi,

sedangkan pada bayi dan anak yang menjadi penyebab utama henti jantung adalah

gangguan pernafasan, sehingga teknik CAB tidak terlalu dianjurkan.


Hal yang paling penting dalam melakukan resusitasi pada korban, apapun

teknik yang digunakan adalah memastikan penolong dan korban berada di tempat

yang aman, menilai kesadaran korban dan segera meminta bantuan.

27
3.2 Saran

Informasi dan pelatihan tatalaksana henti nafas dan henti henti jantung

sebaiknya dapat diberikan kepada masyarakat umum, mengingat bahwa resusitasi

dapat memberikan pertolongan awal. Dampak yang di timbulkan semakin berat

jika waktu datangnya pertolongan semakin lama.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tress, Erika E et al. Cardiac Arrest in Children. Journal of Emergencies,

Trauma, and Shock 2010; 3(III), 267-77


2. Rusmaladewi A, Leksana E, Nurcahyo WI. Monitoring Kardiovaskuler pada

Pediatric Intensive Care. Jurnal Anestesiologi Indonesia 2010; 3(II), 180-98.


3. Kleinman, ME et al. Pediatric Advanced Life Support : 2010 American

Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and

Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010; 122: 875-908


4. Steiner, H ; Neligan, G. Perinatal Cardiac Arrest-Quality of The Survivors.

Archives of Disease in Childhood 1975; 50: 696-702


5. Nolan JP. Post Cardiac Arrest Syndrome. Resuscitation 2008; 79: 350-79
6. Hakim DDL. Resusitasi Jantung Paru pada Bayi dan Anak. Dalam: Pudjiadi

AH, Latief A, Budiwardhana N, penyunting. Buku Ajar Pediatri Gawat

Darurat. Jakarta: Badan penerbit IDAI, 2013. h. 207-29.


7. Lister G, Julio PF. Perawatan Kristis Anak. Dalam: Behrman RE, Kliegman

RM, Jensen HB, penyunting. Buku Teks Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi

ke 18, Volume ke 1, Jakarta: EGC, 2000. h. 316-17.

28
8. Gotoff SP. Sepsis Dan Meningitis Neonatorum. Dalam: Behrman RE,

Kliegman RM, Jensen HB, penyunting. Buku Teks Ilmu Kesehatan Anak

Nelson. Edisi ke 18, Volume ke 1, Jakarta: EGC, 2000, h. 653-54.


9. Kallas HJ. Tenggelam Dan Hampir-Tenggelam Dalam: Behrman RE,

Kliegman RM, Jensen HB, penyunting. Buku Teks Ilmu Kesehatan Anak

Nelson. Edisi ke 18, Volume ke 1, Jakarta: EGC, 2000. h. 329-30.


10. American Heart Association. Part 13: Pediatric Basic Life Support : 2010

American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation

and emergency cardiovascular care. Circulation 2010; 122: S862-75.


11. Guyton AC, Hall JE 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke 11,

Jakarta: EGC, 2008. h. 163.


12. Kumpulan Materi Pelatihan Resusitasi Pediatri Tahap Lanjut. UKK PGD

IDAI 2008.
13. Thoren AB. The History of Cardiopulmonary Resuscitation. Dalam: Thoren

AB, Axelsson A, Holmberg S et al, penyunting. How can we optimize

bystander basic life support in cardiac arrest. Sweden : Intellecta Docusys,

2007. h. 12-5.
14. American Heart Association. Part 6: Pediatric Basic and Advanced Life

Support. Circulation 2005; 112: III 73-90.


15. Klocko DJ. Have The Latest CPR Guidelines Improved Cardiac Arrest

Outcomes?. JAAPA 2009; 22: XI 33-39


16. American Heart Association. Part 7: Neonatal Resuscitation. Circulation

2005; 112: III 91-9.


17. American Heart Association. Guidelines for CPR and Emergency

Cardiovascular Care Comparison Vhart of Key Changes. Circulation 2010.


18. Field JM, Hazinski MF et al. Part 1: Executive Summary : 2010 American

Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and

Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010; 122: S640-56.


19. Nolan PJ, penyunting. Resuscitation Guidelines 2010. London: Resuscitation

Council (UK) 2010.

29
30

You might also like