You are on page 1of 27

Archaebacteria (Archaea) : Pengertian, Ciri-ciri, Struktur dan Fungsi Sel

- Archaebacteria terdiri dari bakteri-bakteri yang hidup di tempat-tempat kritis atau


ekstrim, misalnya bakteri yang hidup di air panas, bakteri yang hidup di tempat berkadar
garam tinggi, dan bakteri yang hidup di tempat yang panas atau asam, di kawah
gunung berapi, dan di lahan gambut. Menurut para ahli, Archaebacteria
dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama, yaitu metanogen, halofil ekstrim,
dan termofil ekstrim (termoasidofil). Secara struktural, kelompok prokariotik ini memiliki
beberapa karakteristik, yaitu dinding selnya tidak mengandung peptidoglikan,
ribosomnya mengandung beberapa jenis RNA-polimerase sehingga lebih mirip
eukariotik, dan plasmanya mengandung lipid dengan ikatan ester.

Metanogen merupakan kelompok prokariotik yang mereduksi karbondioksida (CO2)


menjadi metana (CH4) menggunakan hidrogen (H2). Metanogen merupakan
mikroorganisme anaerob, tidak membutuhkan oksigen karena baginya oksigen
merupakan racun. Metanogen memiliki tempat hidup di lumpur dan rawa, tempat
mikroorganisme lain menghabiskan semua oksigen. Contohnya adalah
Methanococcus janascii (Gambar ).

Gambar 1. Methanococcus jannaschii UC Berkeley Electron Microscope Lab


Akibatnya rawa akan mengeluarkan gas metana atau gas rawa. Beberapa spesies lain
yang termasuk kelompok metanogen hidup di lingkungan anaerob di dalam perut
hewan seperti sapi, rayap, dan herbivora lain yang mengandalkan makanan
berselulosa. Metanogen berperan penting dalam nutrisi. Contohnya
adalah Succinomonas amylolytica yang hidup di dalam pencernaan sapi
dan merupakan pemecah amilum. Peran lain metanogen adalah sebagai pengurai,
sehingga bisa dimanfaatkan dalam pengolahan kotoran hewan untuk memproduksi gas
metana, yang merupakan bahan bakar alternatif.

Halofil ekstrim merupakan kelompok prokariotik yang hidup di tempat yang asin, seperti
di Great Salt Lake (danau garam di Amerika) dan Laut Mati. Kata halofil berasal dari
bahasa Yunani, halo yang berarti garam, dan phylos yang berarti pencinta. Beberapa
spesies sekadar memiliki toleransi terhadap kadar garam, tetapi ada pula spesies lain
yang memerlukan lingkungan yang sepuluh kali lebih asin dari air laut untuk dapat
tumbuh. Beberapa koloni halofil ekstrim membentuk suatu buih bewarna ungu. Warna
tersebut adalah bakteriorhodopsin. Bakteriorhodopsin merupakan suatu pigmen yang
menangkap energi cahaya.

Sedangkan Termofil ekstrim adalah kelompok organisme prokariotik yang hidup di


lingkungan yang panas, optimum pada suhu 60 - 80 oC. Contohnya adalah Sulfolobus
sp. yang hidup di mata air panas bersulfur di Yellowstone National Park (Amerika
Serikat).

Gambar 2. Sulfolobus metallicus (Etzel et al., 2007)


Sulfolobus sp. hidup dengan mengoksidasi sulfur untuk memperoleh energi. Karena
suka dengan panas dan asam, kelompok ini disebut juga termoasidofil. Jenis lain yang
memetabolisme sulfur adalah organisme prokariotik yang hidup pada air
bersuhu 105 oC di dekat lubang hidrotermal di laut dalam (kawah gunung api
bawah laut). Termofil ekstrim merupakan kelompok prokariotik yang paling dekat
dengan organisme eukariotik.

The Black Smookers

The black smokers adalah sebutan untuk kawah gunung api di dasar laut. Di
sana terdapat berbagai bentuk kehidupan yang unik dan kondisi lingkungannya
juga sangat ekstrim. Contohnya adalah sejenis termofil ekstrim yang hidup
bersimbiosis dengan cacing tabung (Acetabularia) (www.deepseanews. blogspot.com)

Referensi :

Etzela, K., A. Klinglb, H. Huberb, R. Rachelb, G. Schmalzc, M. Thommb, W. Depmeiera.


2008. Etching of {111} and {210} synthetic pyrite surfaces by two archaeal strains,
Metallosphaera sedula and Sulfolobus metallicus. Hydrometallurgy, 94 (14): pp. 116
120. DOI : 10.1016/j.hydromet.2008.05.026.

Widayati, S., S. N. Rochmah dan Zubedi. 2009. Biologi : SMA dan MA Kelas X. Pusat
Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 290.

Berikut ini adalah makalah mengenai Struktur dan Organisasi Sel Archaea

Struktur dan Organisasi Sel Archaea

Pada awalnya Archaea merupakan salah anggota dari dunia prokariota yang
mempunyai ciri belum mempunyai pembagian ruang (kompartemensasi) yang jelas
diantara komponen-komponen selnya. Sehingga semua komponen selnya, termasuk
bahan genetiknya terletak di dalam membran sitoplasma (Yuwono 2005). Sebagian
besar Archaea tidak berbeda nyata ketika diamati menggunakan mikroskop cahaya,
bahkan dengan resolusi paling tinggi sekalipun. Padahal secara biokimia dan genetik
mereka berbeda dari bakteri yang sebenarnya.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan penelitian selanjutnya diketahui bahwa organisme ini memiliki sifat


molekular yang lebih mirip dengan Eukariot. Pada tahun 1990 peneliti dari Universitas
Illinois, Dr. Carl Woese dan koleganya dapat membuktikan bahwa Archaea memiliki
perbedaan yang mendasar dengan bakteri dan eukaria. Sehingga dia memisahkan
Archaea ke dalam domain tersendiri yaitu Archaea. Pemisahan ini berdasarkan
pendekatan sekuen gen penyandi 16S rRNA yang bersifat universal bagi seluruh
organisme. Atas dasar penelitiannya tersebut, woese mengajukan bahwa kehidupan
dibagi menjadi 3 domain, yaitu Bacteria, Eukarya, dan Archaea (Woese et al., 1990).
Beberapa anggota Archaea diketahui merupakan organisme penghuni lingkungan
paling ekstrim di bumi. Diantaranya hidup di dekat kantung-kantung gas di dasar laut,
sementara lainnya berada pada sumber mata air panas atau bahkan pada air dengan
kadar garam/asam yang sangat tinggi. Beberapa Archaea juga ditemukan pada saluran
pencernaan sapi, rayap. Mereka juga dapat hidup pada lumpur di dasar laut tanpa ada
oksigen sekalipun. Namun saat ini telah ditemukan beberapa Archaeayang juga hidup
pada kondisi normal seperti bakteri kebanyakan.

1.2. Tujuan

1. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah mengetahui perbedaan struktur dan
organisasi sel pada Archaea dengan bakteri dan eukaria.

2. Dapat memahami perbedaan antara Archaeadan bakteri serta eukaria terkait


struktur dan organisasi selnya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Bentuk dan Ukuran Sel

Secara umum struktur sel Archaea memiliki bentuk yang hampir sama seperti bakteri,
dan bentuknya cukup beragam. Beberapa Archaea berbentuk batang/basil, bulat/kokus,
atau spiral. Bahkan terdapat beberapa Archaea yang memiliki bentuk tidak biasa ,
yaitu segitiga dan persegi panjang. Meskipun morfologi sel relatif mudah untuk diamati,
tetapi terkadang sulit untuk membedakan bakteri dan Archaea, karena keduanya
memiliki ragam bentuk yang hampir sama.

Gambar 3. Beberapa bentuk morfologi yang terdapat pada Archaea (a)


Methanobrevibacter smithii; (b) Methanobacterium uliginosum; (c) Methanosphaera
stadtmanae; (d) Methanoplanus limicola ; (e) Methanospirillum hungatei; (f)
Halobacteriumhalobium; (g) Halococcus morrhuae; (h) Thermoplasma acidophilum; (i)
Methanolobus vulcani; (j) Pyrococcus furiosus; (k) Haloferax mediterranei; (l)
Thermofilum librum; (m) Pyrodictium occultum; (n) Thermoproteus tenax.
Archaea merupakan organisme yang berukuran sangat kecil, yaitu sekitar 1.5-2.5 m
(Beveridge, 2001). Ukuran yang kecil ini memberikan keuntungan tersendiri bagi sel
tersebut. Sel yang berukuran lebih kecil memiliki luas permukaan yang lebih besar
dibandingkan dengan volume sel, jika dibandingkan dengan sel yang berukuran lebih
besar. Sehingga memiliki rasio permukaan terhadap volume lebih tinggi. Rasio
permukaan/volum memberikan beberapa akibat pada kehidupannya. Sebagai contoh
pada pertukaran nutrisi, sel yang memiliki rasio permukaan/volum lebih tinggi akan
mendukung pertukaran nutrisi lebih cepat dibanding yang lebih rendah, oleh karena itu
sel yang lebih kecil akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan sel yang lebih besar
karena memiliki rasio yang lebih tinggi. Sedangkan secara genetik, hal ini dapat
berdampak pada evolusi karena sel Archaea adalah haploid, sehingga mutasi akan
diekspresikan secara langsung. Sedangkan mutasi itu sendiri adalah sumber dari suatu
evolusi. Oleh sebab itu Archaea dapat lebih cepat menanggapi perubahan lingkungan.

2.2 Membran sitoplasma pada Archaea

Struktur dasar dari membran sel Archaea tersusun atas fosfolipid. Struktur ini tersusun
dari molekul gliserol yang berikatan dengan fosfat pada ujung pertama (kepala) dan
berikatan dengan rantai samping yang berupa isoprenoid pada ujung lainnya (ekor).

Gambar 4. membran sel Archaea.


Karena sifatnya yang hidrofilik maka ketika membran sel berada pada lingkungan cair,
ujung molekul yang mengandung gugus fosfat akan berada pada permukaan luar
membran yang berhubungan langsung dengan lingkungan luar sel, dan sisi lainnya
yang bersifat hidrofobik akan berada dibagian dalam. Pelapisan seperti ini menciptakan
penghalang kimia yang sangat efektif disekitar sel dan membantu dalam menciptakan
keseimbangan kimiawi. Secara komposisi, membran sel Archaea memiliki perbedaan
dengan membran sel bakteri dan eukaria. Perbedaan tersebut antara lain adalah
perbedaan kiralitas gliserol yang menjadi penyusun membran sel, ikatan antara gliserol
dan rantai samping isoprenoid berupa ikatan eter, rantai samping berupa isoprenoid
bukan asam lemak seperti pada bakteri dan eukaria, dan memiliki rantai samping yang
bercabang.

2.2.1. Kiralitas dari gliserol

Gliserol yang digunakan Archaea untuk membentuk fosfolipid merupakan stereoisomer


dari gliserol yang digunakan untuk membentuk membran sel pada bakteri dan eukaria.
Dua molekul yang stereoisomer adalah cerminan satu sama lain. Pada membran sel
bakteri dan eukaria, gliserol yang menyusun membran selnya berupa D-Gliserol,
sedangkan pada arkaea berupa L-gliserol.

Gambar 5. Struktur penyusun membran sel Archaea dan bakteri/eukaria.


2.2.2. Ikatan eter

Pada kebanyakan organisme, gliserol yang terdapat pada membran selnya akan
berikatan dengan rantai samping menggunakan ikatan ester. Namun tidak demikian
halnya pada membran sel Archaea. Ikatan yang terbentuk antara gliserol dan rantai
samping pada membran sel Archaea adalah ikatan eter. Hal ini memberikan fosfolipid
yang dihasilkan memiliki sifat mekanik kimia yang berbeda dari lipid membran
organisme lain.
Gambar 6. Ikatan yang terbentuk pada membran sel bakteri/eukaria dan Archaea.
2.2.3. Rantai Isoprenoid

Archaea memiliki rantai samping penyusun fosfolipid yang berbeda dengan bakteri dan
eukaria. Rantai samping penyusun fosfolipid pada bakteri dan eukaria adalah asam
lemak, sedangkan pada Archaea rantai samping yang dimilikinya adalah isoprenoid.
Isoprenoid merupakan hidrokarbon yang memiliki 20 atom C dan merupakan anggota
paling sederhana dari kelas bahan kimia yang disebut terpene. Menurut definisi,
terpene adalah molekul yang menghubungkan molekul isoprenoid bersama-sama.

Gambar 7. Struktur membran monolayer pada Archaea.


Lipid yang terdapat pada Archaea termoasidodfil dan metanogen adalah tetralipid,
dimana ujung rantai samping phytanil pada struktur tetralipid berikatan secara kovalen
dengan molekul gliserol yang lain. Sehingga akan membentuk struktur monolayer.
Struktur seperti ini tidak memiliki area tengah yang kosong seperti pada struktur lipid
bilayer. Sehingga struktur seperti ini memiliki resistensi yang lebih terhadap temperatur
tinggi dibandingkan struktur lipid bilayer. Pada umumnya Archaea yang hidup optimal
pada suhu tinggi, membran selnya terdiri dari lipid monolayer ataupun kombinasi antara
lipid bilayer dan monolayer.

Gambar 8. Membran monolayer dan bilayer.


2.2.4. Rantai samping yang Bercabang

Tidak hanya rantai samping Archaea yang dibentuk dari komponen yang berbeda. Akan
tetapi rantai sampingnya memiliki struktur fisik yang juga berbeda. Rantai samping pada
membran sel Archaea memiliki cabang, karena penggunaan isoprenoid untuk
membentuk rantai sampingnya. Asam lemak pada bakteri dan eukariot tidak memiliki
rantai cabang, sehingga sifat ini menjadikan membran Archaea yang memiliki karakter
unik. Hal ini menciptakan beberapa properti yang menarik di membran Archaea. Rantai
samping isoprenoid bisa bergabung bersama-sama antara dua rantai samping fosfolipid
tunggal atau bergabung ke rantai fosfolipid sisi lain di sisi lain membran (membentuk
fosfolipid transmembran). Rantai samping tersebut juga dapat mempunyai kemampuan
untuk membentuk cincin karbon. Hal ini terjadi ketika salah satu cabang mengelilingi
dan mengikat atom bawah rantai untuk membuat cincin lima atom karbon. Cincin
tersebut diperkirakan memberikan stabilitas struktural membran.

2.3 Dinding Sel Archaea

Archaea memiliki keragaman dalam hal lapisan yang menyelubungi selnya. Beberapa
Archaea memiliki lapisan protein permukaan atau S-layer. Lapisan ini terdiri dari protein
monomolekular yang identik atau lebih dikenal dengan sebutan glikoprotein (Kandler
dan Konig, 1993). Lapisan ini secara langsung berhubungan dengan bagian luar
membran plasma dan berfungsi untuk melindungi dari lisis osmotik. Lapisan ini juga
dapat berfungsi sebagai penyeleksi molekul yang dapat masuk kedalam sel.
Gambar 9. S-Layer.
Selain S-Layer, diketahui beberapa Archaea juga memiliki struktur yang mirip dengan
dinding sel pada bakteri, namun berbeda dalam hal komposisi kimia penyusunnya.
Dinding sel Archaea tidak memiliki peptidoglikan namun memiliki molekul yang mirip
dengan peptidoglikan yang disebut pseudomurein. Pseudomurein dibangun dari N-
Asetil glukosamin dengan Asam N-Asetil talosamin uronat yang berikatan dengan
ikatan glikosidik pada -1,3 hal ini berbeda dengan peptidoglikan pada bakteri yang
dibangun menggunakan N-Asetil glukosamin dan N-Asetil muramat yang berikatan
pada -1,4.

Gambar 10. Struktur pseudomurein.


Perbedaan lainnya adalah asam amino yang terdapat pada pseudomurein semuanya
berupa L-Steroisomer. Struktur seperti ini memberikan dampak yang menguntungkan
pada Archaea, yaitu dinding sel mereka resisten terhadap antibiotik dan juga tidak
terpengaruh terhadap aktivitas lisosim dan protease yang umum (Konig, 2001).
Beberapa Archaea tidak memiliki pseudomurein namun memiliki polisakarida lainnya,
yaitu glutaminylglycan, heterosakarida, methanochondroitin.

2.4. Struktur Permukaan Sel Archaea, Inklusi Sel, dan Vesikula Udara
Penelitian mengenai struktur tambahan pada permukaan sel Archaea telah banyak
dilakukan dengan memanfaatkan observasi elektron mikroskopis pada beberapa jenis
Archaea. Penelitian ini menunjukkan beberapa tipe struktur tambahan pada permukaan
sel Archaea, seperti pili dan flagella yang tampak seperti struktur yang ada pada
bakteri, tetapi ternyata memiliki perbedaan. Selain itu struktur lain seperti cannulae
(kanula), Hami, Iho670 Fibers, dan bindosome muncul sebagai struktur unik lain yang
dimiliki oleh Archaea.

2.4.1. Struktur Permukaan Sel Archaea

a. Pili

Fimbriae dan pili merupakan struktur filamen yang tersusun atas protein yang
memanjang dari permukaan sel dan memiliki banyak fungsi. Fimbriae memungkinkan
sel untuk menempel pada suatu permukaan. Secara umum pili mirip dengan fimbriae,
tetapi pili lebih panjang dan hanya satu atau sebagian kecil pili yang bisa melekat pada
permukaan sel. Fungsi pili itu sendiri adalah untuk memfasilitasi pertukaran gen di
antara sel pada suatu proses yang disebut sebagai konjugasi. Walaupun sebenarnya
proses konjugasi tidak selalu diperantarai oleh pili.

Gambar 11. Tanda panah menunjukkan pili pada struktur permukaan sel.

b. Cannula, Hami, Iho670 Fibers, dan Bindosome

Struktur permukaan sel Archaea terdiri dari banyak bagian, yaitu kanula, hami, Cannula,
Hami, Iho670 Fibers, dan Bindosome. Struktur permukaan tersebut tidak banyak
dibahas seperti halnya pili dan flagella, hal ini disebabkan karena sistem genetik di
dalam struktur tersebut tidak mudah untuk dipelajari dan tidak ditemukan pada semua
jenis Archaea.

c. Cannulae (Kanula)

Kanula merupakan jaringan tubula yang sampai saat ini hanya ditemukan pada genus
Pyrodictium. Kanula berupa pipa berongga berdiameter luar 25 nm (Gambar 12) yang
sangat resisten terhadap panas dan proses denaturasi (Rieger et al., 1995). Strukturnya
hampir sama dengan struktur permukaan sel lainnya yaitu terbentuk atas lapisan
glikoprotein, yang memiliki tiga subunit glikoprotein yang homolog. Kanula menunjukkan
aktivitasnya sebagai penghubung intraseluler antar ruang periplasmik sel yang berbeda
(Nickell et al., 2003). Walaupun fungsi kanula belum diketahui secara jelas, tetapi dapat
diasumsikan bahwa dengan adanya kanula, sel dapat melakukan pertukaran nutrisi
atau bahkan materi genetik.

Gambar 12. Kanula (Rieger et al., 1995).


d. Hami

Struktur permukaan Archaea yang lain adalah hamus atau hami (Gambar 13). Hami
banyak ditemukan pada Archaea yang hidup di daerah suhu rendah yang mengandung
kadar sulfat tinggi (cold sulphidic springs). Strukturnya menunjukkan filamen-filamen
yang sangat kompleks dengan kenampakan seperti kawat berduri yang ujungnya
memiliki kait dengan diameter 60 nm (Moissl et al., 2005). Masing-masing sel dikelilingi
oleh sekitar 100 hami. Hami stabil pada kisaran temperatur dan pH yang luas yaitu
antara 0-70 oC dan 0,5-11,5. Hami dapat bertindak sebagai perantara proses adesi
seluler permukaan terhadap komposisi kimia yang berbeda sebagaimana adesi yang
berlangsung di antara sel. Hami juga terbukti menjadi komponen protein utama dalam
pembentukan biofilm Archaea, dimana sel membentuk susunan tiga dimensi yang
jaraknya konstan melalui proses perlekatan antar sel Archaea (Henneberger et al.,
2006).

Gambar 13. (a) Sekitar 100 hami keluar secara melingkar di permukaan sel. (b)
Kenampakan kait yang berada di ujung hami. Tanda panah menunjukkan lokasi kait. (c)
Hami menunjukkan kenampakan seperti kawat berduri (Moissl et al., 2005).
e. Bindosome

Bindosome (Gambar 14) adalah struktur Archaea yang diduga mempunyai fungsi unik
pada Sulfolobus solfataricus (Albers dan Pohlschrder, 2009). Komponen struktural
bindosome yang utama adalah substrat pengikat protein (substrat binding protein/SBP)
yang diketahui sebagai glikoprotein (Elferink et al., 2001), yang disusun oleh Pilin tipe
IV seperti pada sekuen peptida sinyal dan mengandung protein khas yang diketahui
mampu membentuk struktur oligomerik pada Archaea dan bakteri. Susunan oligomerik
komplek berperan dalam penyerapan gula, hal ini dapat membantu S. solfataricus untuk
dapat tumbuh pada substrat yang bervariasi (Ng et al., 2008).
Gambar 12. Gambar asli bindosome belum diketahui secara pasti, dan gambar diatas
merupakan formasi alternatif yang menunjukkan bindosome terletak pada S-layer (Ng
et al., 2008).
f. Iho670 Fibers

Pada pertengahan tahun 2009 telah dilakukan penelitian oleh Muller et al. mengenai
struktur permukaan Ignicoccus hospitalis, hasilnya menunjukkan adanya tambahan
permukaan sel baru yang kemudian diberi nama Iho670 fiber (Gambar 15). Iho670 fiber
merupakan struktur yang sangat rapuh, berbeda dengan flagella dan pili yang memliliki
struktur primer dari protein. Hal ini juga menunjukkan bahwa Iho670 fiber bukan salah
satu organel sel yang motil. yang menjadi bagian menarik adalah bahwa komponen
utama Iho670 fiber disintesis oleh Pilin tipe IV seperti peptida sinyal dan diproses oleh
peptidase prepilin homolog. Karena Pilin tipe IV seperti sistem ini juga digunakan untuk
flagela, pili tertentu, dan bindosome dalam Archaea, Pilin tipe IV menjadi jalur yang
sangat banyak digunakan oleh Archaea dalam hal perakitan struktur permukaan.
Gambar 13. Hasil analisis serat Ignicoccus hospitalis menggunakan TEM (Transmission
Electron Microscopy) yang mengindikasikan adanya Iho670 fibers.
2.4.2. Inklusi Sel

Di dalam sel prokariotik biasanya terdapat senyawa lain yang menyertai sel di dalam
sitoplasma yang disebut dengan inklusi sel. Inklusi sel berfungsi sebagai energi
cadangan atau sebagai tempat penyimpanan struktur building blocks. Penyimpanan
karbon atau senyawa lain di dalam inklusi yang tidak larut dalam air bermanfaat bagi sel
karena dapat mengurangi tekanan osmotik yang dapat mungkin terjadi apabila senyawa
dalam jumlah yang sama terlarut dalam sitoplasma (Madigan et al., 2012).

Gambar 16. Tanda panah menunjukkan poly--hydroxyalkanoat (PHA) (Madigan et al.,


2012).
Salah satu jenis inklusi sel yang paling banyak ditemukan di dalam organ prokariotik
adalah asam poly--hydroxybutirat (PHB). PHB adalah lipid yang tersusun atas unit-unit
asam -hydroxybutirat. Sedangkan polimer yang diproduksi oleh Archaea adalah poly-
-hydroxyalkanoat (PHA) (Gambar 16). PHA disintesis oleh Archaea di dalam polimer
penyimpanan ketika sel mengalami kondisi pertumbuhan yang tidak seimbang. PHA
merupakan salah satu jenis komoditas plastik yang dapat dirombak menjadi
karbondioksida dan air melalui proses mineralisasi mikrobiologis secara alami.

2.4.3. Vesikula Udara

Salah satu jenis Archaea yang bersifat planktonic dan mampu hidup di air laut adalah
Nitrosopumilus maritimus dari kelompok Crenarchaeota (Brochier-Armanet et al., 2011).
Jenis organisme ini mampu mengapung di air laut karena memiliki vesikula udara.
Kemampuan mengapung yang dimilikinya memungkinkan untuk menempatkan diri
dalam kolom air untuk dapat merespon kondisi lingkungan.

Gambar 17. Vesikula udara pada struktur permukaan sal Archaea.


Secara umum struktur vesikula udara tersusun atas protein yang berbentuk kumparan,
berongga namun kaku dengan panjang dan diameter yang bervariasi (Gambar 17).
Panjang vesikula udara yang dihasilkan oleh masing-masing organisme berbeda-beda,
mulai dari 300 sampai lebih dari 1000 nm dengan lebar 45 sampai 120 nm, tetapi
kisaran ukuran tersebut masih bisa berubah-ubah.

Jumlah vesikula dalam satu organisme sangat bervariasi mulai dari sedikit hingga
ratusan tiap selnya, kedap air dan larut dalam gas (Madigan et al., 2012).

2.5 Pergerakan Sel Archaea

a. Flagella Archaea

Flagella Archaea berukuran sangat kecil hingga mencapai setengah dari ukuran flagella
bakteri, yaitu 10-13 nm (Madigan et al., 2012). Flagella Archaea memberikan
kemampuan terhadap sel Archaea untuk dapat bergerak memutar seperti halnya
bakteri. Flagella Archaea tidak hanya sebagai alat untuk bergerak, tetapi juga berperan
dalam interaksi di dalam sel dan sebagai pengenal pada permukaan sel sebagai syarat
terbentuknya biofilm pada beberapa Archaea. Flagella ditemukan pada semua sub
kelompok utama Archaea Crenarchaeota dan Euryarchaeota yaitu halofil, haloalkalofil,
metanogen, hipermetrofil, dan termoasidofil. Sampai saat ini telah dilaporkan berbagai
macam Archaea yang memiliki flagella, termasuk Methanococcus, Halobacterium,
Sulfolobus, Natrialba, Thermococcus dan Pyrococcus (Ng et al., 2006).

Gambar 18. (a) Sel Methanococcus maripaludis dengan diameter 1m menunjukkan


banyaknya flagella yang terdapat di permukaan selnya dan (b) flagella yang telah
dimurnikan dari sel Methanococcus maripaludis. Tanda panah menunjukkan kait di
ujung flagella.
Secara umum penampakan flagella Archaea (Gambar 18) mirip dengan flagella bakteri
tetapi flagella Archaea memiliki pergerakan yang unik seperti pada pili bakteri tipe IV
(Jarrell et al., 2007). Kemiripan ini meliputi struktur flagella termasuk keberadaan jumlah
gen pada masing-masing struktur. Pada awal penelitian mengenai flagella Archaea,
diketahui kemiripan antara flagella Archaea dengan pili bakteri tipe IV adalah pada N-
termini (Faguy et al., 1994) dan adanya pilin tipe IV yang mirip sinyal peptide (Kalmokoff
and Jarrell, 1991). Penelitian terbaru menyebutkan bahwa protein yang ada pada
flagella Archaea maupun pili bakteri tipe IV adalah ATPase (Bayley and Jarrel, 1998),
membran protein (Peabody et al., 2003) dan sinyal peptidase (FlaK/PibD) (Bardy and
Jarrel, 2002).

Salah satu perbedaan antara flagella Archaea dengan flagella bakteri diketahui pada
penelitian yang dilakukan tahun 2008 oleh Streif et al. mengenai pergerakan memutar
pada flagella Archaea, hasilnya menunjukkan bahwa pergerakan flagella tersebut
didukung oleh proses hidrolisis ATP dan bukan dari proton atau natrium seperti yang
digunakan oleh flagella bakteri.

b. Kemotaksis Archaea
Kemotaksis merupakan respon gerakan Archaea terhadap rangsangan dari senyawa
kimia. Walaupun Archaea termasuk ke dalam kelompok yang berbeda dari bakteri,
tetapi banyak spesies Archaea yang memiliki sifat kemotaksis. Berbagai macam protein
yang mengatur proses kemotaksis pada bakteri juga ditemukan pada Archaea yang
mampu bergerak (motil).

2.6. Pengemasan DNA Archaea

Dalam filogenetik Archaea berbeda dengan bakteri, walaupun keduanya memiliki


beberapa kemiripan dalam struktur sel. Perbedaan ini lebih pada taraf molekular antara
keduanya, dimana Archaea memiliki banyak kesamaan dengan eukaria. Salah satu
contohnya adalah pengemasan DNA pada Archaea.

DNA pada Archaea dikemas dalam bentuk sirkular, dimana pada beberapa Archaea
pengemasannya melibatkan DNA-girase dan protein histon untuk membentuk struktur
DNA superkoil. Hal ini berbeda dengan bakteri yang membentuk struktur DNA superkoil
dengan bantuan DNA-girase saja. Pengemasan DNA menggunakan protein histon
seperti ini mirip dengan pengemasan DNA pada eukaria. Protein histon yang ditemukan
pada Archaea berukuran lebih pendek dibandingkan dengan protein histon eukaria,
tetapi keduanya memiliki sekuen asam amino dan struktur 3 dimensi yang homolog.

Pada beberapa Archaea juga ditemukan beberapa titik awal replikasi, dimana protein
yang mengenali titik awal replikasi dan sintesis DNA memiliki banyak kemiripan dengan
eukaria dibandingkan dengan bakteri. Selain itu Archaea juga memiliki beberapa RNA
polimerase. Hal ini berbeda dengan bakteri yang hanya memiliki satu RNA polimerase.
Faktor transkripsi yang dimiliki Archaea juga memiliki kemiripan dengan faktor
transkripsi pada eukaria. Beberapa gen penyandi tRNA dan rRNA Archaea memiliki
intron. Intron yang terdapat pada Archaea diproses dengan mekanisme yang sedikit
berbeda dengan intron pada eukaria. Sedangkan pada bakteri tidak ditemukan intron.

Pada saat sintesis protein Archaea membutuhkan ribosom yang fungsional serta
beberapa faktor translasi. Ribosom yang terdapat pada Archaea mirip dengan ribosom
pada bakteri, yaitu sama-sama 70S. Namun faktor translasi yang ditemukan pada
Archaea ternyata dua kali lebih banyak dibanding dengan yang ada pada bakteri.
Bakteri dan Archaea menggunakan asam amino yang berbeda pada awal proses
translasi. Asam amino yang digunakan bakteri adalah N-formil metionin, sedangkan
Archaea adalah metionin. Metionin juga merupakan asam amino yang digunakan
eukaria untuk awal proses translasi. Secara keseluruhan, perbandingan sekuen
menunjukkan beberapa kesamaan antara eukaria dan Archaea dalam hal RNA dan
protein yang digunakan untuk membentuk translation machine.

BAB III
KESIMPULAN

1. Archaea merupakan organisme yang terpisah antara bakteri dan eukaria.

2. Beberapa Archaea memiliki kemampuan untuk dapat hidup pada kondisi


lingkungan yang ekstrim, seperti salinitas tinggi dan temperatur tinggi, karena
struktur membrannya yang berbeda yaitu adanya ikatan eter dan komposisi
membran monolayernya.

3. Archaea memiliki struktur tambahan permukaan sel yang tidak ditemukan pada
bakteri atau pun eukaria, seperti canullae, hami, bindosome, Iho670, fibers.

4. Archaea memiliki sifat kemotaksis seperti pada bakteri. Berbagai macam protein
yang mengatur proses kemotaksis pada bakteri juga ditemukan pada Archaea.

DAFTAR PUSTAKA

Albers S dan Pohlschroder M. 2009. Diversity of Archaeal type IV pilin-like structures,


Extremophiles, vol. 13, no. 3, pp. 403410.
Bardy SL dan Jarrell KF. 2002. Flak of the archaeon Methanococcus maripaludis
possesses preflagellin peptidase activity, FEMS Microbiology Letters, vol. 208, no. 1,
pp. 53 59.

Bayley DP dan Jarrell KF. 1998. Further evidence to suggest that Archaeal flagella are
related to bacterial type IV pili,Journal of Molecular Evolution, vol. 46, no. 3, pp. 370
373.

Brochier-Armanet, CP. Deschamps, P. Lpez-Garca, Y. Zivanovic, F. Rodrguez-Valera


and D. Moreira. 2011. Complete-fosmid and fosmid-end sequences reveal frequent
horizontal gene transfers in marine uncultured planktonic Archaea. The ISME Journal.
Vol. 5. p.1291-1302.

Elferink MGL, Albers S, Konings W, and Driessen AJM. 2001. Sugar transport in
Sulfolobus solfataricus ismediated by two families of binding protein-dependent ABC
transporters. Molecular Microbiology, vol. 39, no. 6, pp.14941503.

Faguy DM, Jarrell KF, Kuzio J, and Kalmokoff ML. 1994. Molecular analysis of Archaeal
flagellins: similarity to the type IV pilintransport superfamily widespread in bacteria.
Canadian Journal of Microbiology, vol. 40, no. 1, pp. 6771.

Henneberger R, Moissl C, Amann T, Rudolph C, dan Huber R. 2006. New insights into
the lifestyle of the cold-loving SM1 euryarchaeon: natural growth as a monospecies
biofilm in the subsurface, Applied and EnvironmentalMicrobiology, vol. 72, no. 1, pp.
192199.

Jarrell KF, S. Y. Ng, and Chaban B. 2007. Flagellation and chemotaxis, in Archaea:
Molecular and Cellular Biology, R. Cavicchioli, Ed., pp. 385410, ASM Press,
Washington, DC, USA.

Kalmokoff ML dan Jarrell KF. 1991. Cloning and sequencing of a multigene family
encoding the flagellins of Methanococcus voltae, Journal of Bacteriology, vol. 173, no.
22, pp. 71137125.

Konig H. 2001. Archaeal cell wall. Di dalam : Encyclopedia of life science. Chichester :
1486-1493

Moissl C, Rachel R, Briegel A , Engelhardt H, and Huber R. 2005. The unique structure
of Archaeal hami, highly complex cell appendages with nano-grappling
hooks,Molecular Microbiology, vol. 56, no. 2, pp. 361370.

Muller, D.W., C. Meyer, S. Gurster, U. Kuper, H. Huber, R. Rachel, G. Wanner, R. Wirth,


and A. Belack. 2009. The Iho670 fibers of Ignicoccus hospitalis: a new type of Archaeal
cell surface appendage. Journal of Bacteriology. Vol. 191, No. 20. p. 64656468

Ng S.Y., B. Zolghadr, A.J.M. Driessen, S. J. Albers, and K. F. Jarelli. 2008. Cell surface
structures of Archaea. Journal of Bacteriology. Vol. 190. No. 18. P. 60396047.

Ng, S. Y., B. Chaban, and K. F. Jarrell. 2006. Archaeal flagella, bacterial flagella and
type IV pili: a comparison of genes and posttranslational modifications. J. Mol. Microbiol.
Biotechnol. 11:167191.

Nickell R, Hegerl R, Baumeister W, and Rachel R. 2003. Pyrodictium cannulae enter the
periplasmic space but do not enter the cytoplasm, as revealed by cryo-electron
tomography,Journal of Structural Biology, vol. 141, no. 1, pp. 3442.

Peabody CR, Chung YJ, Yen MR, Vidal-Ingigliardi D, Pugsley AP, and Saier MH. 2003.
Type II protein secretion and its relationship to bacterial type IV pili and Archaeal
flagella, Microbiology, vol. 149, no. 11, pp. 30513072.

Rieger G,Rachel R, Hermann R, dan Stetter KO. 1995. Ultrastructure of the


hyperthermophilic archaeon Pyrodictiumabyssi, Journal of Structural Biology, vol. 115,
no. 1, pp. 78 87.

Streif S, Staudinger WF, Marwan W, and Oesterhelt D. 2008. Flagellar rotation in the
archaeon Halobacterium salinarum depends on ATP, Journal of Molecular Biology, vol.
384, no. 1, pp. 18.

Thoma C, Frank M, Rachel R. 2008. The Mth60 fimbriae of Methanothermobacter


thermoautotrophicus are functional adhesins, Environmental Microbiology, vol. 10, no.
10, pp. 27852795.

Woese C, Kandler O, dan Wheelis ML. 1990. Towards a natural system of organisms:
Proposal for the domains Archaea, Bacteria, and Eucarya. Proc. Nati. Acad. Sci. 8

Yuwono T. 2005. Biologi molekular. Safitri a, editor. Jakarta : Erlangga.

Anda sekarang sudah mengetahui mengenai Archaebacteria. Terima kasih anda


sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Manfaat dan Peranan Bakteri yang Menguntungkan dan Merugikan bagi Manusia - Di dalam
benak kalian mungkin selalu terbayang bahwa organisme prokariotik merupakan suatu makhluk
hidup amat kecil yang menyebabkan bermacam-macam penyakit. Perkiraan kalian
tersebut tidaklah salah, tetapi tidak 100% benar. Memang organisme prokariotik, terutama
bakteri merupakan mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit. Akan tetapi, tidak semua
jenis bakteri menyebabkan penyakit. Bahkan lebih dari 90% jenis bakteri tidak berbahaya dan
justru bermanfaat bagi manusia. Bakteri digunakan dalam industri dengan berbagai tujuan yang
bervariasi. Selain dalam bidang industri, bakteri juga berperan dalam pembusukan sampah. Coba
kalian bayangkan yang akan terjadi jika di bumi ini tidak ada bakteri. Tentu bumi ini akan penuh
dengan sampah, yang terserak di mana-mana. Ini menunjukkan bahwa bakteri memiliki peran
ekologis yang sangat penting.

Pada uraian tentang klasifikasi organisme prokariotik telah disinggung beberapa contoh spesies
prokariotik dan peranannya. Tentu kalian masih ingat, bukan? Mari kita bahas kembali dengan
lebih mendalam. Organisme prokariotik merupakan penghubung yang harus ada dalam pendaur-
ulangan unsur kimia dalam ekosistem, misalnya dalam siklus biogeokimia. Organisme
prokariotik merupakan pengurai (dekomposer). Tanpa dekomposer, maka karbon, nitrogen,
dan unsur-unsur lainnya yang penting bagi kehidupan akan terjebak selamanya dalam molekul
organik bangkai dan produk buangan.

Prokariotik juga memperantai pengembalian unsur dari komponen tak hidup dalam lingkungan
(udara, tanah organik, dan air) ke kumpulan senyawa organik. Prokariotik autrotrofi k memfi
ksasi CO2, mendukung rantai makanan yang mengalirkan nutrien organik dari prokariotik ke
pemakan prokariotik, kemudian ke konsumen sekunder. Karena banyaknya kemampuan
metabolik yang unik, prokariotik merupakan satu-satunya organisme yang mampu
memetabolisme molekul anorganik yang mengandung unsur seperti besi, sulfur, nitrogen, dan
hidrogen. Sianobakteri tidak hanya mensintesis makanan dan mengembalikan oksigen ke
atmosfer, tetapi juga memfi ksasi nitrogen, memberi senyawa yang dapat digunakan oleh
organisme lain untuk membentuk protein ke dalam tanah dan air. Saat tumbuhan dan hewan
memakan senyawa-senyawa nitrogen itu, prokariotik tanah akan mengembalikan nitrogen ke
atmosfer. Semua kehidupan di atas bumi ini bergantung pada organisme prokariotik dan
keanekaragaman metabolismenya tiada bandingnya.

Organisme prokariotik sangat jarang berfungsi sendirian di lingkungan, tetapi lebih sering
berinteraksi dalam kelompok dan membentuk simbiosis. Rhizobium sp. merupakan organisme
prokariotik yang bersimbiosis mutualisme dengan bintil akar tanaman kacang-kacangan, hidup
pada bagian yang disebut nodul. Bakteri yang menempati permukaan dalam dan luar tubuh
manusia sebagian besar terdiri dari spesies komensalisme, tetapi beberapa merupakan
simbion mutual. Sebagai contoh, bakteri fermentasi yang hidup di dalam vagina menghasilkan
asam yang mempertahankan pH antara 4,0-4,5, sehingga menekan pertumbuhan kapang dan
mikroorganisme lain yang memiliki potensi membahayakan. Di alam, beberapa sianobakteri juga
bersimbiosis dengan jamur membentuk lichens atau lumut kerak, yang berperan penting sebagai
indikator polusi udara dan berpotensi sebagai obat.

Beberapa anggota Archaebacteria, yaitu kelompok Metanogen berperan penting dalam nutrisi
hewan dan juga sebagai pengurai, sehingga bisa dimanfaatkan dalam pengolahan kotoran hewan
untuk memproduksi gas metana, yang merupakan bahan bakar alternatif. Jenis yang lain adalah
halofil ekstrim yang memiliki bakteriorhodopsin yang banyak terdapat pada tambak garam.

Warna dari kolam yang menguapkan air laut tersebut disebabkan oleh pertumbuhan padat halofil
ekstrim yang bertahan hidup dalam kolam tersebut ketika air mencapai salinitas 15-20%.
Sebelum penguapan, salinitas air tersebut adalah sekitar 3%. Kolam ini digunakan untuk
produksi garam komersial dan Arkea halofilik tersebut tidak berbahaya.

Organisme prokariotik anggota eubacteria juga memiliki banyak peran, apalagi bakteri
merupakan penyusun utama organisme prokariotik. Proteobakteria merupakan kelompok bakteri
pengikat Nitrogen (N-Fixing Bacteria) contohnya adalah Rhizobium sp. yang hidup bersimbiosis
dengan membentuk bintil akar pada tanaman kacang-kacangan. Rangkuman beberapa bakteri
yang menguntungkan disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Bakteri yang Bermanfaat bagi Manusia

No. Bidang Nama Bakteri Manfaat Bagi Manusia


1. Pertanian Bakteri nitrogen

a. Clostridium pasteurianum Dapat menyuburkan tanah sehingga kaya


akan senyawa organik (N2)
b. Azotobacter sp. Dapat menyuburkan tanah sehingga kaya
akan senyawa N2
c. Rhizobium leguminosarum Dapat menyuburkan tanah karena dapat
memfiksasi nitrogen dari atmosfer, sehingga
tanah kaya akan unsur N2. Bakteri ini
bersimbiosis dengan membentuk bintil akar
pada tanaman anggota Famili Leguminoceae
(suku kacang-kacangan).
Bakteri Nitrifikasi Menyuburkan tanah
a. Nitrosomonas sp. dan Mengubah Amoniak menjadi Nitrit
Nitrosococus sp. (bakteri
nitrit)
b. Nitrobacter sp. (bakteri Mengubah Nitrit menjadi Nitrat
nitrat)
Persamaan reaksinya:
NH3 + O2 + bakteri nitrit HNO2 + O2 +
bakteri nitrat HNO3
2. Industri a. Streptococus lactis dan Digunakan dalam pembuatan keju dan
Streptococus cremoris mentega.
b. Acetobacter xylinum Digunakan dalam pembuatan nata de coco
c. Lactobacillus citrovorum Memberikan aroma pada mentega dan keju
Digunakan dalam pembuatan yogurt
d. Lactobacillus caucasicus
Penghasil Asam
a. Asam cuka (CH3COOH) Mengubah etanol (alkohol) menjadi asam
dihasilkan Acetobacter aceti cuka, dengan reaksi oksidasi: CH3CH2OH +
O2 + Acetobacter CH3COOH + H2O +
energi
b. Asam lemak
1) Asam propionat dihasilkan Pembuatan keju
oleh bakteri
Propionibacterium
acetobutylicum
2) Asam butirat Menghasilkan butil alkohol, dan Aceton
(C3H2COOH) Clostridium
sp. dan Butyrinobacterium
sp.
3. Kesehata Penghasil Antibiotik
n
1) Stryptomyces venezualea Penghasil kloroamfenikol yang dipakai untuk
batuk rejan, typus, dan gonorhoe
2) Stryptomyces griceus Penghasil streptomycin yang digunakan
untuk melawan bakteri dan jamur, dan untuk
mengatasi penyakit TBC
3) Bacillus brevis Penghasil gramisidin digunakan untuk
melawan bakteri gram positif
4) Bacillus polymixa Penghasil polimiksin

Secara alami keberadaan organisme prokariotik, terutama bakteri, juga sangat potensial dalam
mengembangkan bioremediasi, yaitu studi mengenai kegunaan organisme untuk membersihkan
sampah-sampah beracun (toksik) dan polusi. Sejenis bakteri mampu memproduksi enzim yang
merombak nitrogliserin dan trinitrotoulena yang merupakan kontaminan tanah di sekitar industri
mesiu dan tempat-tempat ledakannya. Bakteri mampu menguraikan sampah dan material
kontaminan menjadi residu yang tidak berbahaya dalam waktu 6 bulan.

Jenis bakteri lain, Pseudomonas cepacia, juga mempunyai kemampuan serupa dalam
mendegradasi trikloroetilen (TCE) dan senyawa-senyawa kimia lainnya. Bahkan beberapa jenis
bakteri diduga mampu mendegradasi sampah-sampah nuklir (radioaktif ). Bakteri juga banyak
digunakan sebagai model penelitian.

Dalam bidang rekayasa genetika, penelitian bakteri juga berkembang pesat. Bakteri mudah
mengalami mutasi bahkan berevolusi dalam waktu relatif singkat karena pertumbuhan dan daya
reproduksinya yang tinggi. Beberapa bakteri juga dimanfaatkan dalam mengendalikan
hama, yaitu sebagai biokontrol. Contohnya adalaha Bacillus thuringensis dan Bacillus popilliae
yang digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan hama seperti ulat dan menghambat
perkembangan kepompong. Dalam bidang rekayasa genetika, B. thuringensis diintegrasikan pada
tanaman kapas (kapas BT) sehingga tanaman tersebut terbebas dari hama.

Selain menguntungkan, organisme prokariotik juga memiliki spesies yang bersifat patogen
(menimbulkan penyakit). Beberapa penyakit manusia yang disebabkan bakteri disajikan pada
Tabel 2.

Tabel 2. Beberapa Penyakit pada Manusia yang Disebabkan Bakteri

No Nama Penyakit Jenis Bakteri Bagian Tubuh yang Terpengaruh


.
1 Dipteri Coryuebacterium Bagian atas saluran respirasi,
diptherie terutama tenggorokan.

2 Desentri Shygella desentri Saluran pencernaan, terutama ileum


Shygella ciyake (usus penyerapan) dan colon (usus
besar)
3 Demam tifora Samonela thyposa Saluran pencernaan, kemudian
menyebar ke limfe, darah, paru-paru
sumsum tulang belakang dan limpa.
4 Batuk rejan (pertusis) Bordetella pertusis Bagian atas saluran respirasi sehingga
menyebabkan batuk yang sangat
keras.

5 Gonorhoe (kencing nanah) Nesseireia Organ reproduksi, terutama membran


gonorrhoeae mukosa saluran urogenital
6 Kolera Vibrio cholerae Saluran pencernaan, terutama usus
halus.
7 Sifilis (kencing darah) Tryponema Organ reproduksi, kemudian mata
pallidum tulang, persendian, sistem saraf pusat,
jantung, dan kulit.
8 Tifus Salmonella thyposa Organ pencernaan makanan, terutama
usus halus.
9 TBC Mycobacterium Saluran respirasi, terutama pada paru-
tuberculosis paru dan alveoli.
10 Radang otak/ meningitis Neiterrial Otak
meningitis

Selain menyerang manusia, beberapa bakteri juga menyerang hewan-hewan ternak dan
tumbuhan. Beberapa jenis penyakit pada hewan, yang disebabkan oleh bakteri adalah antraks,
yaitu penyakit yang disebabkan oleh bakteri Bacillus antracis. Bakteri ini menyerang hewan
ternak (sapi, kerbau, dan domba). Bila menular ke manusia bisa mematikan. Antrak merupakan
salah satu senjata biologis dalam peperangan. Perhatikan Gambar 1.

Gambar 1. Bacillus antracis, senjata biologis yang mematikan (Mitka, 2012)


Contoh lain penyakit hewan akibat bakteri adalah bruselosis, disebabkan oleh bakteri Brucella.
Brucella abortus menyebabkan keguguran kandungan pada sapi, dan sewaktu-waktu dapat
menular kepada manusia jika meminum susu yang tidak di-pasteurisasi. Penyakit lainnya adalah
bengkak rahang atau penyakit mulut yang disebabkan oleh Actinomycetes bovis, biasanya
menyerang sapi. Sedangkan penyakit pada tumbuhan yang disebabkan oleh bakteri adalah
kanker pada batang jeruk (disebabkan oleh Xanthomonas citri), kanker pada batang kopi
(disebabkan oleh Agrobacterium tumefasiens), penyakit busuk pada daun labu (disebabkan oleh
Erwinia tracheinas solanacearum), dan penyakit pada kapas (disebabkan oleh
Pseudomonas malvacearum).

Selain hidup parasit pada hewan dan tumbuhan, beberapa jenis bakteri saprofit hidup pada bahan
makanan. Akibatnya dapat merusak serta meracuni bahan makanan tersebut. Racun yang
ditimbulkannya sangat membahayakan kesehatan manusia. Pseudomonas cocovenenan adalah
bakteri ini menghasilkan racun asam bongkrek. Bakteri ini biasa hidup pada tempe bongkrek,
yang berasal dari ampas tahu dan ampas kelapa, yang pembuatannya kurang higienis. Contoh
lain adalah Clostridium botulinum, menghasilkan racun botulinin yang ditemukan pada makanan
kaleng yang mulai rusak. Perhatikan Gambar 2.

Gambar 2. Clostridium botulinum (skywind.wkhc.ac.kr)


Racun botulinin dapat mematikan manusia yang mengkonsumsinya, bahkan 1 gram racun
tersebut dapat membunuh sejuta manusia. Leuconostoc mesentroides merupakan penghasil lendir
pada makanan yang telah lama dan basi. Salmonella sp. merupakan bakteri yang umum
ditemukan dalam produk daging unggas. Bakteri ini menghasilkan endotoksin yang merupakan
racun dalam makanan.

Anda sekarang sudah mengetahui Bakteri yang Menguntungkan dan Merugikan. Terima kasih
anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Referensi :

Mitka, M. 2012. Anthrax Detection. JAMA, 308(18): p. 1849. doi:


10.1001/jama.2012.14658.

Widayati, S., S. N. Rochmah dan Zubedi. 2009. Biologi : SMA dan MA Kelas X. Pusat
Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 290.

You might also like