You are on page 1of 9

Nama : Tiara Cintya Destinahayun

NIM : 116 105 0097

Manajemen Konservatif Matoiditis Akut pada Anak

David Bakhos, MD; Jean Paul, MD; Sylvain Moriniere, MD, PhD; Soizick Pondaven, MD;
Musaed Al zahrani, MD; Emmanuel Lescanne, MD, PhD

Objektif : Untuk menentukan apakah terapi mastoiditis pada anak dengan antibiotik yang
dikombinasikan dengan retroauricular puncture dan insersi grommet efektif dibandingkan
manajemen standar dengan mastoidektomi.

Desain : Studi retrospektif

Setting : Tertiary pediatric center

Pasien : Kami mengidentifikasi 50 pasien yang berumur kurang dari 14 tahun dengan mastoiditis
akut (rata-rata umur, 32 bulan). Individu dengan mastoiditis akut dan kolesteatom menjadi
pengecualian dalam studi ini. Semua anak menerima terapi antibiotik. Sebelum 2002, abses
subperiosteal dilakukan mastodektomi. Pada 2002 awal, manajemen konservatif dilakukan untuk
tidak dilakukannya mastoidektomi.

Ukuran Hasil Utama : Banyaknya anak yang sembuh setelah melakukan manajemen
konservatif SA pada mastoiditis.

Hasil : Pada 30 pasien mastoiditis akut yang sudah diberikan antibiotik sebelum masuk rumah
sakit. Pada pemeriksaan, 1 anak mempunyai facial palsy. Semua pasien kecuali 1 (yang
mengalami pembengkakkan pada temporozygomatic) yang terdapat pembengkakkan
postauricular. Miringiotomi atau retroauricular puncture mengisolasi bakteri pada 38 pasien.
Streptococcus pneumonia teridentifikasi pada 28 pasien. CT scan (43 pasien) menunjukkan 31
pasien mengalami SA, termasuk 3 kasus trombosis sinus sigmoid dan 1 kasus abses subdural.
Semua anak sembuh tanpa memperlihatkan komplikasi pada terapi ini. Membandingkan periode
sebelum dan setelah 2002, angka kejadian SA adalah sama (masing-masing adalah 15 dan 16),
tetapi angka mastoidektomi berkurang (masing-masing, 16 dan 1). Lamanya perawatan di rumah
sakit yang menjalani aspirasi lebih pendek daripada pasien yang menjalani mastoidektomi
kortikal.

Kesimpulan : Penggunaan antibiotik yang dikombinasikan dengan retroauricular puncture dan


insersi grommet merupakan terapi alternatif dari mastoidektomi pada mastoiditis akut dengan SA
pada anak.

Mastoiditis akut adalah penyakit infeksi yang mengenai tulang temporal yang merupakan
komplikasi dari otitis media akut (OMA). Angka kejadian MA pada anak yang berumur kurang
dari 14 tahun adalah 1,2 sampai 4,2 pertahun di negara berkembang. Meskipun diterapi dengan
antibiotik modern, MA dapat berkembang dengan cepat dan mengancam hidup, dengan
komplikasi ekstrakranial

dan intrakranial. SA (Subperiosteal Abscess) merupakan komplikasi yang paling banyak dari
MA. Pada case ini, kebanyakan anak ,menjalani mastoidektomi. Tujuan dari studi ini untuk
mencari hipotesis pada SA, yang merupakan komplikasi dari MA, yang dapat diperlakukan sama
baik seperti mastoidektomi oleh manajemen konservatif.

Metode

POPULASI

Kami menggunakan analisis retrospektif dari rekam medic dan CT scan pada anak yang
mengalami MA di pediatric head and neck surgical department di tertiary referral medical center
(Unite dORL pediatrique, CHRU de Tours, Service de Chirurgie Pediatrique de la Te te du
Cou, Centre Hospitalier Regional Universitaire (CHRU) deTours) antara 1 Mei 1994 sampai 30
Mei 2008. Karena tujuan penelitian MA ini, untuk mendiagnosis tanda-tanda dari OMA,
protrunding ear, edem postauricular dengan nyeri di area mastoid, dan demam. Pasien dengan
kolesteato, mastoiditis subakut, atau selulitis postauricular yang merupakan penyakit sekunder
dari otitis eksterna tidak termasuk dalam penelitian ini.
Semua pasien menerima antibiotik spectrum luas yang sebelumnya dilakukan kultur dan
hasil sensitivitas. Sebelum diberikan antibiotik, dilakukan kultur specimen telinga yang
dikumpulkan dengan cara mengumpulkan specimen pada saat miringiotomi atau dari pus yang
diperoleh selama mastoidektomi dan drainase abses. Spesimen segera dikultur pada kultur aerob
dan non aerob botol darah. 2 sediaan dikirim ke departemen mikrobiologi tanpa menunda
pengiriman. Semua pasien dengan SA atau suspect komplikasi intrakranial menjalani CT scan
kepala dengan kontras intravena. Radiologis anak melakukan CT dengan helical CT 0,5-0,6, atau
dengan ketebalan 0,75 mm 0.75 mm sesuai dengan materi yang tersedia, dengan rekonstruksi
multiplanar. bagian yang diperoleh sedikit di bawah garis orbitomeatal untuk menghindari
iradiasi mata yang tidak perlu dengan menggunakan algoritma tulang resolusi tinggi dan
milliampere-nilai kedua. Kami melakukan CT scan pada anak dengan kecurigaan klinis SA atau
komplikasi intrakranial dan untuk pasien yang tidak sembuh pada 48 jam setelah terapi.
Pada kasus ini, pasien sebelum 2002 menjalani mastoidektomi kortikal (kelompok
operatif) dan pasien setelah 2002 tidak melakukan mastoidektomi. Paisen setelah 2002
memasang lubang postaurikular atau penempatan tabung tympanostomy (kelompok konservatif).
PENGUKURAN HASIL
Umur, jenis kelamin, gejala klinis, CT scan dan
temuan kultur telinga, manajemen, dan hasil studi
menggambarkan populasi anak dengan SA dan untuk membandingkan kelompok operatif dengan
kelompok konservatif.

HASIL
Antara 1 Mei 1994 sampai 30 Mei 2008, total 50 anak yang ke rumah sakit dengan
mastoiditis akut. Umur dari 29 anak laki-laki dan 21 anak perempuan dengan MA dari 5 sampai
163 bulan (13,5 tahun), dengan rata-rata umur 32(35) bulan dan pertengahan umur 19 bulan. 43
anak dilakukan pemeriksaan CT scan. Dari CT scan teridentifikasi 31 anak terdapat SA.
Penemuan ini termasuk 3 orang trombosis sinus sigmoid dan 1 orang empiema subdural.
31 anak yang menderita SA, rata-rata umurnya adalah 26(27) bulan. Semua pasien
terdapat pembengkakkan postauricular. Seorang anak laki-laki usia 35 bulan mengalami facial
palsy. Membandingkan 2 kelompok, angka kejadian SA mirip : 15 anak SA dengan kelompok
operatif dan 16 anak dengan kelompok konservatif . Membandingkan kelompok operatif dan
konservatif dengan a t test, perbedaannya tidak signifikan (P=13).
Patogen yang tumbuh terdapat pada 25 kultur dari 31 anak dengan SA (81%). Tujuh belas
pasien telah menerima antibiotik sebelum ke rumah sakit. Streptococcus pneumonia merupakan
pathogen terbanyak dan terdapat pada 19 orang dengan SA. Didapatkan 78% s.pneumonia pada
kelompok operatif, resisten antibiotik dan 90% pada kelompok konsevatif. Tidak ada perbedaan
yang signifikan antara kedua kelompok (odds ratio, 2,4; P=58) dengan menggunakan Fisher
exact test.
Antibiotik yang paling banyak digunakan selama di rawat adalah ceftriaxone sodium
(64%) yang dikombinasikan dengan fosfomycin atau metronidazol. Rata-rata durasi terapi
antibiotik adalah 24 hari untuk kelompok operatif dan 18 hari untuk kelompok konservatif. Pada
kelompok konservatif, 1 anak menjalani mastoidektomi kortikal. Anak laki-laki berusia 16 bulan
yang mengalami phlebitis trombosis sinus sigmoid yang merupakan komplikasi dari SA dan
tidak membaik setalah 48 jam menjalani manajemen konservatif. Hasil dari kultur specimen
negative, namun menunjukkan Fusobacterium necrophorum. Semua anak sembuh dengan terapi
antibiotik intravena yang dikombinasi dengan mastoidektomi kortikal atau manajemen
konservatif. Perbandingan lamanya di rumah sakit antara kelompok operatif dan kelompok
konservatif, sangat signifikan dengan menggunakan a t test : 15 hari dan 19 hari (P<0,2).

KOMENTAR
Istilah mastoiditis menunjukkan macam-macam komplikasi supuratif dari OMA. Dengan
antibiotik, kejadian mastoiditis menjadi lebih rendah yang merupakan komplikasi dari OMA dan
kejadian lebih rendah 6 kasus per 100000 anak yang berumur kurang dari 14 tahun. Laporan
kejadian komplikasi mastoiditis adalah 4,0% sampai 16,6%. Penelitian yang terbaru
menunjukkan demam yang tinggi, neutrofil yang tinggi, dan C-reactive protein yang tinggi
merupakan tanda dari komplikasi MA. Matoiditis akut dengan periostitis merupakan kumpulan
pus pada mastoid dan dapat menghasilkan coalescent mastoiditis, infeksi dari tulang mastoid dan
sel dari mastoid. Arsitektur tulang yang hilang merupakan akibat dari SA. Infeksi supuratif dapat
juga mengenai duramater posterior dan fossa cranial medial dan sinus sigmoid melalui erosi dari
tulang, tromboplebitis atau anatomical pathway, produksi komplikasi intrakranial. Data ini
memukan 31 anak yang terkena abses subperiosteal dari 50 anak yang dirawat di rumah sakit
dengan mastoiditis akut.
CT scan kepala dengan kontras intravena adalah suatu pemeriksaan yang valid untuk
mendeteksi komplikasi intrakranial. Namun, penggunaan CT pada populasi anak, dapat
meningkatkan radiasi pada anak, hal ini menyebabkan pertanyaan tentang perlunya melakukan
CT scan untuk pasien anak dengan AM. Disarankan CT scan yang dilakukan dengan tanda
neurologis, gangguan keadaan umum (muntah dan kelesuan), kecurigaan kolesteatoma, selama
masa terapi pada pasien dengan demam tinggi setelah 48 sampai 72 jam terapi, atau dalam kasus
perkembangan penyakit lokal. Computed tomography memiliki sensitivitas 97% dan nilai
prediksi 94% dalam mendeteksi komplikasi intrakranial sekunder dari AM. Dalam penelitian ini,
CT scan dilakukan pada 43 anak dan teridentifikasi 31 abses subperiosteal, 3 kasus
tromboflebitis sinus lateral, dan 1 empiema subdural.

Magnetic resonance imaging (MRI) adalah pemeriksaan untuk mendiagnosis jika suspect
komplikasi pada intrakranial. Karena sensitivitas yang lebih tinggi untuk mendeteksi
pengumpulan cairan ekstra-aksial dan masalah pembuluh darah yang terkait, MRI dilakukan
pada anak dengan gejala neurologis atau temuan CT scan yang terdapat komplikasi intrakranial.
Keuntungan dari MRI adalah non invasive dan rendahnya radiasi juga tidak memerlukan agent
kontras. Dalam penelitian ini, MRI intrakranial tidak dilakukan karena tidak ada anak-anak yang
menunjukkan tanda-tanda neurologis intrakranial pada pemeriksaan klinis. Untuk anak yang
mengalami facial palsy, MRI tidak mungkin dilakukan selama hari pertama, dan facial palsy
berkurang setelah 24 jam pengobatan. Di masa yang akan datang, MRI intrakranial mungkin
menjadi metode untuk mendiagnosis mastoiditis akut yang rumit, tetapi hari ini di Perancis,
pemeriksaan MRI hanya dalam keadaan darurat, biaya, dan kebutuhan.

Pemeriksaan kultur darah aerob dan non aerob, specimen langsung dikirim ke
departemen mikrobiologi tanpa penundaan, memungkinkan kami untuk meningkatkan laju
pertumbuhan pathogen pada kultur yang diperoleh sebelum terapi antibiotik. Menurut literatur, S
pneumoniae adalah yang paling banyak ditemukan dari telinga pasien. Rata-rata resistensi
antibiotik tinggi tetapi tidak memodifikasi manajemen. Karena patogen yang paling banyak
ditemukan sebagai penyebab AM adalah S pneumoniae, ini menarik untuk melihat apakah
pengenalan vaksin konjugat akan mengurangi komplikasi AOM.

Abses subperiosteal adalah diklasifikasikan sebagai penyakit bedah. Bedah biasanya


melibatkan mastoidectomy dan penempatan tabung tympanostomy, dengan risiko ke dura, sinus
sigmoid, dan saraf wajah, terutama pada anak-anak. Penempatan ini memungkinkan drainase
dari antrum melalui telinga tengah, kanal eksternal, dan postauricularly; nanah dikeringkan
kemudian dapat

dikirim untuk kultur, dan tulang temporal osteitic dapat di debridement. Terapi bedah pada AM
yang rumit, dapat mengurangi terjadinya komplikasi SA. Dalam dekade terakhir, bagaimanapun,
manajemen konservatif (yaitu, antibiotik intravena dikombinasikan dengan tabung
tympanostomy dan puncture retroauricular) telah menjadi alternatif terapi. Data ini menegaskan
kemanjuran manajemen konservatif. Memang, kami tidak menemukan perbedaan yang
signifikan antara kelompok yang dilakukan mastoidectomy dan antibiotik (kelompok operatif)
dan kelompok dengan postaurikular puncture dan antibiotik (kelompok konservatif). Perbedaan
utama adalah lamanya perawatan di rumah sakit, yang lebih sebentar pada kelompok konservatif
dibandingkan pada kelompok operatif. Hasil ini sebanding dengan orang-orang dari penelitian
sebelumnya.

Komplikasi Otogenic intracranial bisa berakibat fatal jika tidak dilakukan penanganan
yang tepat. Beberapa research menyarankan operasi otologic harus dilakukan pada waktu yang
sama dengan operasi intrakranial untuk pasien dengan abses otak yang sudah matang. Namun,
drainase langsung dari abses intrakranial dapat dihindari jika gejala pasien, status neurologis, dan
kemajuan temuan radiografi yang baik. Manajemen konservatif juga dapat dilakukan pada
thrombosis sinus otogenic lateral setelah AM dan abses otogenik intrakranial Jadi, menurut
research, operasi bukan criteria standar dalam penanganan AM. Misalnya, pada studi yang
sekarang, kita menyembuhkan anak dengan empiema subdural dan SA setelah AM dengan
manajemen konservatif.

Kami merekomendasikan bahwa manajemen konservatif dipilih untuk semua anak-anak


yang menderita SA sekunder dari AM. Dalam kasus tersebut, komplikasi intrakranial otogenic
(trombosis sinus lateral atau empiema subdural) membutuhkan antibiotik spektrum luas
intravena dengan dosis tinggi, yang kemudian ditargetkan untuk dilakukan kultur dan hasil yang
sensitive. Bedah tetap pilihan dalam kasus tanda-tanda neurologis atau setelah kegagalan
manajemen konservatif, seperti dalam 1 kasus ini disebabkan oleh F necrophorum.

Kesimpulannya, frekuensi dan morbiditas berkurang sejak diperkenalkannya antibiotik.


Subperiosteal abses biasanya merupakan penyakit bedah. Namun, penelitian ini menunjukkan
bahwa manajemen konservatif dengan postaurikular punture atau tabung tympanostomy dengan
antibiotik adalah pengobatan alternatif untuk anak-anak dengan SA. Lamanya di rumah sakit
berkurang dibandingkan dengan anak-anak dengan manajemen bedah. Namun, ketika mastoiditis
disebabkan oleh F necrophorum, dokter harus menyadari bahwa infeksi ini mungkin lebih
agresif dan lebih rumit untuk diobati. Jika manajemen konservatif gagal, mastoidectomy harus
dipertimbangkan.

You might also like