You are on page 1of 1

Indonesia berada pada area sabuk pterigium yang merupakan wilayah di antara 37 derajat lintang

utara dan selatan, sehingga prevalensi pterigium di Indonesia cukup tinggi.

Besar pterigium berhubungan dengan astigmatisme dan irregularitas kornea namun tidak
berhubungan dengan mean refractive power, keberhasilan operasi pterigium akan menurunkan
astigamat dan irregularitas kornea serta meningkatkan mean refractive power (Sjarifudhin &
Suhendro, 2015). Semakin besar ukuran pterigium, desakan yang dihasilkan juga semakin besar
(Tomidokoro, Miyata, Sakaguchi, Samejima, Tokunaga, & Oshika, 2000). 31-61-1 SM

Pterigium berasal dari kata Pterygion, bahasa Yunani yang berarti sayap kecil. Pterigium adalah
pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang muncul dari subkonjungtiva menuju kornea pada area
fisura palpebra (Silviandari, 2016).

Epitelium dicirikan dengan pertumbuhan secara sentripetal sel epitel limbal yang mengalami
perubahan diikuti dengan epitel konjungtiva yang abnormal dengan ciri hiperplasia sel goblet dan
metaplasia skuamosa. Jaringan penghubung stroma berisi fibroblast dan vaskular yang aktif dan
berproliferasi. Infiltrat inflamatorik kronik dapat dijumpai termasuk di dalamnya ialah limfosit, sel
plasma, sel mast, sel Langerhans, monosit dan makrofag, dengan neutrofil yang berada pada lesi
akut. Keberadaan IgE dan IgG pada membran basal, ekspresi HLA-DR yang menyimpang dan molekul
adhesi (ICAM-1 dan VCAM-1) juga didapatkan. Perubahan matriks ekstraseluler merupakan ciri
utama dari pterigium, termasuk rusaknya lapisan Bowman dan migrasi material elastoik di antara
stroma.

Peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS) diketahui memiliki akibat pada patogenesis berbagai
jenis penyakit permukaan mata. ROS diproduksi sebagai hasil sampingan dari transport elektron
mitokondria dan mempengaruhi kerusakan striktur sel, meskipun demikian ROS memiliki peran
penting dalam proses seluler termasuk proliferasi sel. Sehingga, ROS memiliki efek membahayakan
dan bermanfaat.

You might also like