You are on page 1of 6

GREEN s

the

sexiestword






GREEN is the sexiest word
ATMA JAYA yang HIJAU oleh : Ag. Djoko Istiadji


Membicarakan tentang GREEN sebagai sebuah konsep yang menunjukkan empati kita
terhadap alam memang tengah naik daun. Hampir disemua aspek kehidupan tersentuh oleh
kata ini, baik di bidang pembangunan fisik yang langsung dekat dengan alam maupun
dibidang lain yang tidak bersentuhan secara langsung dengan alam seperti makanan, produk
barang bahkan jasa atau aktifitas. Kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan dan bumi,
sudah menjadi wacana umum. Namun demikian apa benar dan sungguh-sungguh seluruh
hiruk pikuk suara dan tindakan yang mengatas-namakan Green berkontribusi secara nyata
terhadap keselamatan bumi? Bagaimana kita mengetahui bahwa semua tindakan yang telah
ditambah label Green, benar bertindak sesuai kaidah Green? Seberapa besar kontribusinya?
Bagaimana seandainya ternyata tindakan yang sesungguhnya malah menyebabkan masalah
terhadap alam? Bagaimana cara kita mengukurnya? Dan siapa yang seharusnya mengontrol
serta mengawasinya? Dst.

Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya lahir dikarenakan sangat seksi-nya kata GREEN
dewasa ini. Kata yang sangat sakti untuk menambah nilai jual, untuk memberi image yang
hebat bagi yang menyandangnya dan yang lebih hebat lagi tanpa basa-basi kita terlena dan
percaya terhadap tawarannya. Sangat jarang kita meneliti lebih jauh sebenarnya apa yang
ditawarkan sehingga pantas menempelkan label GREEN, bahkan rasanya belum pernah ada
kasus yang diperbincangkan atau diperkarakan oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan
mengatur penawaran barang atau jasa. Hal ini tentu sangat perlu untuk diwaspadai karena
pertumbuhan produk barang maupun jasa dengan label GREEN sangat pesat dan sangat
dimungkinkan dapat menyesatkan.


sumber : http://sinsofgreenwashing.com

Kesadaran akan kemungkinan penyesatan dan penipuan dengan motif Label GREEN
sebenarnya telah diprovakasikan sejak tahun 2009 awal. Banyak perusahaan mencoba untuk
meningkatkan dan memperbaiki persepsi publik terhadap merek produk mereka dengan cara
berlabel GREEN namun tanpa dibarengi pembuktian atau data pendukung yang jelas dan
lengkap. Mereka berani membelanjakan banyak uang dan waktu untuk klaim menjadi GREEN
melalui pengiklanan dan marketing daripada mengimplementasikan praktek bisnis yang
mengurangi dampak buruk ke lingkungan. Tindakan tersebut dikenal dengan istilah

1
GREENWASHING. Kata ini merujuk pada situasi dimana ada gap yang signifikan antara apa
yang diekspresikan dan komitmen yang murni dalam melakukan keberlanjutan atau GREEN.

Green-wash (green'wash', -wsh') menyebabkan tindakaan yang salah arah atau salah
pengertian bagi konsumen terkait praktek berbasis lingkungan sebuah perusahaan atau
keuntungan lingkungan dari produk atau jasa yang dipilih (UL Environment,2015). Kesalahan
ini kemudian dikenal dengan istilah 6 dosa dari Greenwash, yaitu :

1. Hidden Trade-Off: Memberi label sebuah produk ramah lingkungan hanya berbasis
satu atau dua atribut lingkungan dan sebagian besar atribut lingkungan yang lain tidak
dipertimbangkan, yang menyebabkan produk tetap berbahaya bagi lingkungan.
Contoh sebuah produk dibuat dengan recycled content namun atribut lain seperti
energy use of manufacturing, gas emissions, etc. tidak dipertimbangkan.
2. No Proof: Melakukan klaim ramah lingkungan tanpa disediakan data dan bukti yang
mencukupi dan mudah diakses baik yang tertera dalam label atau dalam produk web
sitenya. Contoh sebuah lampu mencantumkan energy efficient namun tidak ada data
lanjutan yang mendukung.
3. Vagueness: Menggunakan istilah terkait lingkungan yang bias dan sangat lebar
pengertiannya serta lemah definisinya sehingga tidak mudah dimengerti. Contoh
sebuah produk pembersih (cleaner) mengunakan istilah "all-natural", padahal
sebenar produk seperti ini tetap masih mengandung bahan yang berbahaya yang
secara alamiah muncul.
4. Irrelevance: Menyatakan satu atribut lingkungan yang secara teknis adalah benar
namun ternyata sudah tidak relevan atau tidak lagi menjadi faktor yang signifikan
berkontribusi berhubungan dengan produk ramah lingkungn. Contoh diiklankan
sebagai produk "CFC-Free" padahal sebenar produk CFC memang telah dilarang untuk
digunakan oleh pemerintah, hal ini terasa menjadi unremarkable atau tidak terlalu
berarti atau penting.
5. Lesser of Two Evils: melakukan klaim lebih hijau (greener) dari produk lain yang se-
katagori, padahal katagori produk ini memang masuk katagori tidak ramah
lingkungan. Contoh menawarkan sebuah organic cigarette yang mungkin memang
lebih hijau (katagori rokok), namun dikarenakan ini adalah sebuah rokok, tentu tetap
saja tidak Green.
6. Fibbing: Melakukan iklan yang memang tidak benar atau berbohong. Contoh
melakukan promosi sebagai produk Energy Star Certified, padahal tidak tersertifikasi.

http://sinsofgreenwashing.com

2
Megunakan metode promosi dengan label Green secara berdosa, sebenarnya tidak
sepenuhnya merugikan, terutama ketika tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah
akan konsep Green. Menunggu niat baik para produsen untuk benar-benar melakukan
tindakan produksi dan pemasaran berbasis green secara benar, dan selanjutnya baru
diperkenakan untuk melabel Green, tentu memakan waktu. Perlu dipertimbangkan pula,
bersama dengan waktu tunggu tersebut, efek negative suatu produk tetap saja terjadi. Jadi
Iklan atau marketing yang dilakukan, paling tidak, dapat digunakan untuk meprovokasi secara
cepat dan ekonomis (dibiaya oleh produsen). Namun ketika situasi kesadaran dasar (basic
awareness) sudah mulai diresapi dan perangkat-perangkat kontrol Green sudah dimiliki,
sangat perlu untuk mulai menyetop kegiatan-kegiatan penyesatan ini. Tindakan membangun
kesadaran yang lebih tinggi tingkatnya, dibarengi dengan pendidik intergritas yang
mendorong perubahan motivasi klaim Green kearah yang benar perlu dijalankan. Motivasi
harus dibalik dari pijakan nilai ekonomis ke nilai green menjadi nilai green didahulukan dan
berakibat pada nilai ekonomis. Hal ini merubah passion pelaku untuk lebih murni melakukan
penyelamatan dan konservasi pada alam. Beberapa penelitian telah menemukan kenaikan
Sin-Free yang cukup baik yang menunjukkan perubahan motivasi tersebut.


sumber : http://sinsofgreenwashing.com

Tidakan untuk menyetop Greenwash dan mendorong terjadi perubahan motivasi dapat
dilakukan dengan teknik Green Marketing yang tepat. Green Marketing berarti melakukan
pemasaran nilai-niali green, beda orientasi dengan marketing green (marketing green
building service misalnya) yang berarti memasarkan pelayanan proyek-proyek green. Green
Marketing menjadi bagian awal dari marketing green. Berhubungan dengan permasalahan
Greenwash beberapa aspek Green marketing dibawah ini penting untuk dipertimbangkan
(Greenpeace, 2015):

1. Perusahan harus memainkan peran utama dalam penyelesaikan permasalahan dan
tantangan lingkungan dengan melakukan perubahan nyata melalui kebijakan dan
praktek.
2. Pada waktu yang sama, stakeholder yang lain harus mampu melihat keuntungan
konsep hijau dan berpijak pada perusahaan yang akuntable terhadap kegiatan bisnis
berkonsep Green dengan kriteria sin-free.
3. Konsumen dapat melakukan tindakan aktif dan berani untuk menyuarakan komplain
ketika menemukan tindakaan Greenwash baik dengan menyuarakan langsung ke
perusahaan, lembaga yang berwenang atau melalui media umum yang dilakukan
secara santun dan taat aturan. http://www.stopgreenwash.org/introduction

3
Mengaris-bawahi kata akuntabilitas perusahaan dalam usaha keberlanjutannya, melakukan
tindakaan Green, langkah-langkah manajerial pengelolaan aksi Green perlu diutamakan.
Tindakan mulai dari perencanaan, implementasi dan pelaporan (planning, Implementation
and reporting) harus terdokumentasi dan mudah diakses sebagai bagian dari tindakaan
transparasi. Konsep transparasi (accountable) akan mendorong naiknya tingkat kepercayaan
publik dan kontrol terhadap operasional serta komitment perusahaan tersebut. Lebih jauh
lagi, stakeholder yang lain, sebagai contoh konsumen, juga akan lebih mudah dan cepat dapat
merespon, menentukan komitmen, sikap dan tindakan yang berhubungan dengan aksi-reaksi
Green ini.

Transparasi yang harus dilakukan meliputi green economic, environmental and social
performance yang dapat memberi petunjuk outcome dan nilai keuntungan dari segala aspek
(tangible dan intangible). Representasi dari ke-transparan aksi Green seharusnya diwujudkan
dalam bentuk laporan tertulis (reporting). Hal ini akan mendorong pelaporan yang berkualitas
dan reliable. Dewasa ini, Green reporting belum banyak dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan yang beraliansi Green. Padahal fungsi dari report tidak saja untuk pengarsipan
namun dapat berguna untuk (Dahlstrom,R., 2011) :
1. Demonstrating; Perusahaan mendemostrasikan komitmennya pada keberlanjutan
yang terilustrasi dalam bagaimana perusahaan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
sustainable development.
2. Benchmarking; merujuk pada perbandingan performa green perusahaan terhadap
hukum, peraturan (codes), norma (standard) dan voluntary initiatives. Hal ini lasimnya
diakhir dengan adanya sertifikasi yang legal.
3. Comparing; akan digunakan untuk meilustrasikan usaha perubahan dan peningkatan
performa Green dari waktu ke waktu serta secara longitudinal performa relatif
terhadap kompetitor. Ukuran perubahan dengan mudah diakses dan diukur. Demikian
pula faktor-faktor yang mempengaruhi dapat dideteksi dan diidentifikasi. Hal ini dapat
mendorong perlu tidaknya akselerasi, tindakan improvement lanjut, tindakaan kreatif
dan sebagainya, untuk mewujudkan cita-cita mencapai tingkat green (Greenness)
yang semakin tinggi.

Menutup kajian singkat mengenai keseksian kata GREEN, terasa bahwa apa yang tengah
terjadi di masyarakat kita dewasa ini, sebenarnya adalah suatu perjalan perubahan yang
bersifat alami untuk menyadari pentingnya hidup bersama dengan alam.
Untuk kita sadari, EMPATI ke ALAM perlu untuk disediakan atau ditingkatkan. Ada yang
melakukan secara sungguh-sungguh, ada yang berlaku sambil lalu atau bahkan yang memang
berperilaku curang dengan memanipulasinya. Kesadaran yang terus bermunculan dan
bertambah kuat merupakan bagian dari hasil usaha ini. Munculnya komunikasi penggerak dan
atau pelaku aksi GREEN termasuk seluruh STAKEHOLDER Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
nampak signifikan sebagai bagian dari proses tersebut dan inline terus untuk meningkatkan
jenjang kesadaran ketingkat yang lebih tinggi. Adanya lembaga pendorong, kontrol dan
pengevaluasi adalah kebutuhan. Cepat atau lambat budaya ini, tentunya dorongan,
pembelajaran dan ekperimen yang terus menerus perlu selalu digalakkan untuk
meningkatkan integritas dan passion seluruh stakeholder menuju masyarakat yang Green. Ini
saat bagi kita untuk menjejak pada satu tahapan lebih tinggi untuk me-stop Greenwash dan
memulai melakukan Green aksi dengan hati dan kesungguhan. ATMA JAYA yang HIJAU.
Amien.

4
DAFTAR PUSTAKA :

1. Dahlstrom, Robert, 2011, GREEN MARKETING MANAGEMENT, South-Western
Cengage Learning, USA.

2. http://www.stopgreenwash.org/introduction

3. http://sinsofgreenwashing.com

4. Koester, Eric, 2011, GREEN ENTREPRENEUR HANDBOOK THE GUIDE TO BUILDING
AND GROWING A GREEN AND CLEAN BUSINESS, CRC Press Taylor & Francis, United
States of America

5. Yudelson, Jerry, 2008, MARKETING GREEN BUILDING SERVICES STRATEGIES FOR
SUCCESS, Elsevier, Burlington, USA

6. Yudelson, Jerry, 2006, MARKETING GREEN BUILDINGS: Guide for Engineering,
Construction and Architecture, The Fairmont Press, Inc., USA






You might also like