You are on page 1of 11

http://www.mongabay.co.

id/2015/05/10/batu-kuyu-dan-kearifan-masyarakat-sebadak-raya-menjaga-
hutan/

Batu Kuyu dan Kearifan Masyarakat


Sebadak Raya Menjaga Hutan

Inilah Batu Kuyu yang diyakini warga sebagai peninggalan zaman Megalithikum dan perlu dibuktikan dengan
penelitian. Foto: Aseanty Pahlevi

Matahari pagi terasa hangat menerpa kulit. Namun, sangat kontras dengan dinginnya air gunung
yang kami rasakan di kediaman Kepala Desa Sebadak Raya, Mikael Edi Sairundi (42). Pagi di awal
Mei 2015 itu, Edi bersama beberapa warga; Silvanus Minsol, Samad, Supawi, dan Ason Nelos,
memang telah berjanji akan mengajak kami melihat Bukit Kuyu, hutan adat di Desa Sebadak Raya,
Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

Perjalanan memang harus dilakukan pagi hari, karena bila siang, mentari akan panas menyengat.
Apa yang membuat Bukit Kayu istimewa? Menurut Ason, Kepala Urusan Desa Sebdak Raya, di
hutan tersebut terdapat batu besar. Ukurannya sama dengan bangunan tingkat lima. Namanya Batu
Kuyu.

Daerah Bukit Kuyu ini merupakan wilayah adat masyarakat Dayak Kayong yang berasal dari
Kalimantan Tengah. Mereka menghuni kawasan hulu Kabupaten Ketapang, berbatasan langsung
dengan Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Kata Ason, asal muasal mengapa Dayak
Kayong berada di Nanga Tayap, karena leluhur mereka kala itu mencari daerah baru untuk dijadikan
permukiman dengan menelusuri sungai.

Desa Sebadak Raya sendiri, menurut Edi, telah ada sejak 1800-an. Keluarganya sudah empat
generasi tinggal di daerah tersebut saat masih berupa hutan rimba. Beberapa kepala keluarga,
mendirikan rumah di daerah tersebut. Mereka membuka lahan di sekitar pemukiman untuk bercocok
tanam. Jumlah penduduknya saat ini sekitar 2.000 jiwa, dengan sekitar 600 kepala keluarga.
Sebadak Raya juga dikelilingi tujuh buah sungai yaitu Intip, Sediung, Sekirik, Sendurian, Pampang
Duo, Kebuai, dan Macian yang semuanya ini sebagai sumber air bersih warga, ujar Edi.

Saat penjajahan Belanda, Sebadak Raya pernah mengalami regrouping dengan beberapa warga
yang hidup di dekatnya. Tahun 1980-an, diubah menjadi dusun, karena wilayahnya dianggap kecil.
Baru lah pada 1990-an, Sebadak Raya kembali ditetapkan menjadi Desa, dengan tiga dusun yaitu
Kebuai, Tanjung Beringin, dan Tanjung Bunga.
Ason Nelos dan Minsol menunjuk pohon ulin yang menjadi pohon keramat warga Desa Sebadak Raya.
Foto: Aseanty Pahlevi

Wilayah keramat

Bukit Kuyu merupakan dataran tinggi berbatu. Tanaman keras tumbuh di tanah yang bercampur
dengan humus dari dedaunan yang membusuk. Di beberapa bagian, berupa tanah berlumpur.
Tingkat kemiringan bukit ini mencapai 45 derajat, sehingga harus berjalan dengan berpegangan
akar pohon. Di wilayah tersebut, tidak banyak yang berani membuka lahan pertanian. Kecuali di
punggung bukit yang dekat permukiman, tukas Ason. Kenapa? Wilayah itu terbilang keramat,
lanjutnya.

Warga desa yang datang ke Bukit Kuyu, hanya sekadar mencari tanaman obat. Misalnya pohon
kebuas, pohon yang getahnya bisa menyembuhkan luka bakar. Bagi masyarakat, setiap pohon
memiliki manfaat sehingga pantang bagi Dayak Kayong menebang pohon.

Kami sempat singgah di sebuah pohon raksasa yang menurut masyarakat disebut jenis pohon
pelaik. Menurut Ason, pohon ini diduga yang paling tua, umurnya ratusan tahun dan paling besar
ukurannya. Diameternya hampir tujuh rentang tangan orang dewasa.

Ada juga pohon ulin (Eusideroxylon zwageri) yang berdiri tegak, tak jauh dari pelaik. Diameternya
sekitar 30 centimeter. Pohon tersebut patah dan di sela patahannya, tumbuh ulin baru. Mungkin
baru 30 tahun. Pohon ini tumbuhnya lama. Tetapi tidak pernah kami tebang, kata Ason.

Upacara adat pengobatan penyakit yang dilakukan warga. Foto: Rahmawati Santoso/FFI Ketapang

Leluhur

Sebuah batu besar sebagaimana digambarkan gedung bertingkat lima telah menanti kami. Tampak
sebuah celah di bagian bawahnya yang merupakan pintu masuk yang biasa digunakan warga.
Inilah Batu Kuyu. Lewat celah tersebut, kita akan naik ke atasnya. Di atas batu ini ada sebuah gua.
Kami yakin ini merupakan gua yang dijadikan tempat berlindung leluhur dahulu, tukas Ason.

Untuk naik Batu Kuyu ini terrnyata harus memiliki keahlian layaknya memanjat tebing. Pasalnya,
dinding batu nyaris tegak lurus, praktis hanya akar pohon yang merambat di sekitarnya yang
dijadikan pegangan. Warga desa bahkan mengira batu tersebut peninggalan zaman Megalitikum.
Hal ini didukung dengan temuan sebuah lempengan besi, seperti alat untuk membajak lahan. Walau
demikian, belum ada yang menyelidiki berapa usia lempengan besi tersebut secara ilmiah, giliran
Edi yang berucap.
Batu Kuyu mempunyai bagian yang menjorok ke depan, sehingga membentuk teras. Bagian bawah
teras ini yang tidak terkena air hujan. Memang tidak ada hukum adat untuk masuk wilayah ini. Yang
penting, tidak menebang pohon dan merusak, tukas Supawi.

Di atas Butu Kuyu, pemandangan luar biasa indah terlihat. Hamparan bukit yang mengelilingi Desa
Sebadak Raya terlihat jelas. Meski tengah hari, warna hijau terlihat cerah, bersalut awan yang
menyelimuti punggung bukit yang tinggi. Pemandangan hutan hujan tropis yang eksotis.

Supawi juga sempat menunjukkan jamur berwarna merah dan kuning kepada kami yang
menurutnya, jamur berwarna merah itu bisa dikonsumsi. Pawi pun memperlihatkan beberapa jenis
anggrek hitam yang merupakan kekayaan tumbuhan yang ada di hutan adat mereka.

Bagaimana dengan satwa? Di hutan Bukit Kayu ini, ada burung enggang dan murai batu yang hidup
dengan nyaman. Enggang masih bisa dilihat karena pepohonan di sini tinggi dan ukurannya juga
besar. Kancil, rusa, kijang, hingga beruang madu juga masih ada. Kami bangga dengan hutan adat
kami, begitu juga dengan pepohonan dan satwa yang semua itu memang harus kami lindungi.
Pohon perlambang kehidupan, setiap pohon melambangkan sebuah jiwa, papar Edi seraya
mengajak kami pulang.

Desa Sebadak Raya dan kehidupan warga keseharian. Foto: Aseanty Pahlevi
http://www.mongabay.co.id/2015/05/03/hutan-desa-sebadak-raya-tegar-bertahan-di-tengah-
kepungan-kebun-sawit-perusahaan/

Hutan Desa Sebadak Raya, Tegar


Bertahan di Tengah Kepungan Kebun
Sawit Perusahaan

Pohon belian dan pelaik yang usianya ratusan tahun di kawasan hutan Sebadak Raya. Foto: Aseanty Pahlevi

Sebadak Raya. Nama ini merupakan nama desa yang berada di hulu barat Kabupaten Ketapang,
Kalimantan Barat. Letaknya berbatasan langsung dengan Kabupaten Lamandau, Kalimantan
Tengah. Penduduknya sekitar 600 kepala keluarga atau 2.000 jiwa.
Wilayah desa ini unik, dikelilingi bukit. Kawasan hutannya masih memiliki tajuk pohon yang rapat.
Perkampungannya juga tertata. Hewan ternak, terutama babi tidak boleh dilepasliarkan. Alasannya,
bisa mengotori kampung dan menjadi hama bagi tanaman pangan warga.

Dalam aturan tidak tertulis, jika hewan peliharaan lepas, diberi waktu tiga hari untuk
mengandangkannya. Lebih dari itu, hewan boleh dibunuh dan si pemilik dikenai hukuman adat. Itu
aturan verbal turun temurun di Sebadak Raya, tutur Mikael Edi Sairundi (42), Kepala Desa Sebadak
Raya.

Sebadak Raya terdiri dari tiga dusun, Kebuai, Tanjung Beringin, dan Tanjung Bunga. Dusun Kebuai
merupakan wilayah terluas dan paling padat penduduknya. Di Kebuai sendiri, tata kelola lahan
cukup baik. Ada wilayah pertanian, adat, serta permukiman. Kawasan hutan adatnya ada di Bukit
Kuyu dan Bukit Tinggi, Batu Suling Lubuk Sebadak, serta Pemogangan Silingan Begondang.

Begitu juga dengan Dusun Tanjung Beringin yang ada kawasan adatnya seperti Batu Betungkap,
Batu Behujan, Sepayungan, dan Batu Putih. Sedangkan di Tanjung Bunga, terdapat kawasan adat
yaitu Pelabuhan Boras, Sengkuang Landai, dan Rofus. Di daerah ini terdapat riam dan mata air
bukit, yang menjadi sumber air bersih warga setempat.

Saat sawit akan masuk ke daerah ini, sekitar 1998, warga kompak menolak. Walau saat itu baru
wacana, ujar Edi, sapaan sang kepala desa ini. Edi merupakan tokoh muda yang inovatif dan
idealis. Sarjana Akuntansi Universitas Panca Bhakti Pontianak ini rela keluar dari bank plat merah
untuk lebih memilih pulang kampung. Impiannya adalah warga Sebadak Raya dapat mengenyam
pendidikan lebih tinggi dan hidup lebih sejahtera.

Hingga 2004, beberapa perusahaan sawit yang coba masuk, tetap ditolak masyarakat. Karena,
kebun karet yang dikelola warga, harganya bisa diandalkan. Karet mampu menjamin ekonomi
masyarakat untuk menyekolahkan anak ke ibukota kabupaten, juga mencukupi kebutuhan
keseharian. Bahkan, bisa beli sepeda motor atau antena parabola. Tekad masyarakat untuk
menjaga hutan ini mengundang perhatian masyarakat luas, tuturnya.

Edi sendiri menjadi kepala desa sejak dua tahun silam. Menurutnya, kepala desa sebelum juga juga
berkomitmen menolak sawit. Karena, hutan bagi masyarakat Dayak Kayong yang bermukim di
Sebadak Raya merupakan sumber kehidupan. Bila hutan di perbukitan habis, bencana ekologis
perlahan akan datang.
Mikael Edi Sairundi, Kepala Desa Sebadak Raya, menunjukkan kawasan hutan Sebadak Raya. Foto: Aseanty
Pahlevi

Potensi

Edi menjelaskan, pada 2011, masyarakat Sebadak Raya bersama Fauna & Flora International (FFI)
telah melakukan pemetaan partisipatif dan menginventarisasi keragaman hayati yang ada di hutan
mereka. Untuk satwa, tercatat ada orangutan, enggang, trenggiling, bekantan, klempiau, dan
beruang madu. Dalam satu transek atau sekitar dua kilometer titik pengamatan terdapat sekitar 500
sarang orangutan.

Dari pemetaan tersebut, Edi mengajukan usulan ke Kementerian Kehutanan (saat itu) agar 14 ribu
hektarnya dijadikan hutan desa. Namun, hanya sekitar 2.425 hektar yang disetujui. Sisanya, saat ini
sedang kami perjuangkan sebagai hutan adat dan hutan konservasi. Ini penting dilakukan untuk
mencegah masuknya perusahaan sawit.

Dua perusahaan sawit yakni PT. Permata Sawit Mandiri dan PT. Citra Sawit Cemerlang, serta satu
perusahaan HPH, yakni PT. Alas Kusuma, telah kami ajak untuk melakukan pemetaan dan
pemasangan patok batas. Kami telah memasang 600 patok tapal batas dalam dua tahun terakhir
yang dilakukan berdasarkan koordinat GPS (Global Positioning System).

Untuk memantau itu semua, Lembaga Pengelola Hutan Desa dibentuk. Tugasnya adalah
melakukan patroli. Seorang warga ditunjuk sebegai ketua, yang mengatur jadwal patroli, melakukan
dokumentasi, serta penertiban administrasi.
Sebulan, dua kali patroli dilakukan. Tak hanya itu, empat warga ditempatkan di lokasi perbatasan,
untuk menjaga batas kawasan. Sementara, empat orang lainnya melakukan patroli. Areal hutan
yang luas dan patroli hanya dilakukan berjalan kaki membuat waktu yang dibutuhkan sekitar
setengah bulan lamanya.

Dengan kelestarian hutan pula, Masyarakat Sebadak Raya dapat menggunakan mikro hidro dan
potensi energi surya sebagai pembangkit listrik. Menurut Edi, semua ini mereka lakukan secara
swadaya, selain ada bantuan pula dari pihak ketiga. Sebanyak 20 warga, dibantu dengan listrik
tenaga surya sebesar 10 MV. Sementara, bagi yang mampu, membeli panel surya yang lebih besar
dengan kapasitas 100 MV.

Sedangkan warga yang menikmati listrik dengan mikro hidro, sekitar 50 rumah dengan kapasitas
listrik 10 ribu MV. Hutan harus dijaga, agar debit air terus mengalir menggerakkan turbin, ujar Edi.

Masyarakat Sebadak Raya memperlihatkan pohon ulin yang masih muda di kawasan hutan adat Bukit Kuyu.
Bukit ini memiliki ketinggian sekitar 300 meter diatas permukaan laut. Foto: Aseanty Pahlevi

Ancaman dari dalam

Perjuangan yang dilakukan Edi bersama warga, kini menghadapi cobaan berat. Dalam dua tahun
terakhir, sejak harga karet melorot, banyak warga termakan bujuk rayu perusahaan sawit yang
seolah datang sebagai penolong. Demong desa (pemuka adat), bahkan sudah berpihak ke
perusahaan. Tak hanya itu Kepala Dusun Kebuai juga sudah menjadi humas di salah satu
perusahaan sawit. Karena ketahuan, ia mengundurkan diri, ujar Ason Nelos (30), Kepala Urusan
Desa Sebadak Raya.
Ason mengatakan, pihak perusahaan kerap menggunakan orang setempat untuk meluluskan
keinginannya. Tak sedikit, warga yang sudah menanam sawit di ladangnya. Karet yang sudah tidak
bisa diandalkan, ditebang. Ada warga yang bertugas membawa uang tunai dan hanya minta tanda
tangan masyarakat agar ladangnya dijual. Melihat uang banyak, banyak yang tergiur, katanya.

Menurut Ason, daerah Batu Layang dan Licah, yang merupakan kawasan perbukitan sudah dijual
warga setempat ke perusahaan. Wilayah ini merupakan dataran tinggi sumber mata air bersih dan
tempat tinggalnya satwa dilindungi.

Mengenai kondisi ini, Edi mengatakan bahwa masyarakat belum mengatahui manfaat besar dari
menjaga ekosistem hutan. Ini dikarenakan, bencana ekologis belum menghantam. Padahal,
berdasarkan perhitungan, potensi karbon di Hutan Sebadak Raya ini mencapai 380 ton per hektar.

Bongkahan batu yang dipercaya dulunya sebagai tempat para nenek moyang berburu. Dikenal masyarakat
setempat dengan nama Batu Kuyu. Foto: Aseanty Pahlevi

Lorens Arang, Project Leader Fauna Flora Internasioanal Ketapang, menuturkan bahwa tanah yang
ditempati warga Sebadak Raya berstatus hutan produksi konversi (HPK) dan hutan produksi (HP).
Untuk yang HPK, saat ini sedang diusulkan menjadi daerah konsesi sawit. Berita ini sungguh
meresahkan masyarakat yang berakibat tergusurnya sumber kehidupan mereka.
Padahal, masyarakat telah memperjuangkan sendiri legalitas wilayahnya melalui peraturan Menteri
Kehutanan Nomor: P.49/MENHUT-II/2008 tentang Hutan Desa. Masyarakat mengirim surat usulan
hutan desa kepada Menteri Kehutanan, didampingi oleh Fauna & Flora International. Namun, entah
mengapa, hanya disetujui sekitar dua ribu lebih hektar saja.

Kebijakan penetapan tata guna ruang untuk hutan desa juga tidak jelas dasarnya. Kenapa hanya
dua ribu hektar, letaknya jauh pula dari areal yang diajukan. Padahal, masyarakat mempunyai
alasan kuat, hutannya bernilai konservasi tinggi, ujarnya.

Loren mengatakan, seharusnya pemerintah lebih jeli melihat Sebadak Raya. Pemutihan terhadap
kawasan tersebut menjadi area peruntukan lain, juga dinilai tidak transparan. Untuk itu, pendekatan
yang dilakukan adalah dengan mendekati pemilik konsesi. Pemilik konsesi mempunyai keharusan
agar produknya mendapat lebel pengelolaan lestari, berkelanjutan dan ramah lingkungan. Maka,
kita tekankan investor harus mematuhi hal-hal yang sudah menjadi kewajibannya, tukasnya.

Menurut Lorens, FFI sudah memiliki kesepakatan dengan enam desa, yang hutan desanya
menjadi pilot project. Setelah hak pengelolaan diberikan, masyarakat bisa mengambil manfaat dari
hasil hutan non kayu dan tanaman di dalamnya. Khusus untuk hutan lindung, bisa memanfaatkan
jasa lingkungannya seperti air dan ekowisata, tambahnya.

Masyarakat berjalan menuju hutan adat Bukit Kuyu, yang masih rimbun oleh pepohonan. Foto: Aseanty
Pahlevi

You might also like