You are on page 1of 35

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ACUTE RESPIRATORY

DISTRESS SYNDROME
Makalah Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan GADAR

OLEH :
1. BELLA MARTHALENA
2. HENDRIK TAUFIK

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA


KEDIRI
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karuniaNya, Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah

yang berjudul Asuhan Keperawatan Klien Dengan Abses Paru ini dengan lancar dan

tepat waktu. Sholawat serta salam tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW,beserta sahabat, keluarga dan seluruh pengikutnya.

Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini banyak memperoleh bimbingan

dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis

menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Ibu Dwi Setyorini, M.Biomed selaku Pembimbing dari kelompok kami yang telah

meluangkan waktu untuk membimbing kami dalam proses pembuatan makalah ini.

2. Teman-teman sebagai motivator dan pendukung dalam pembuatan makalah ini.

3. Semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam menyusun makalah ini, maka

tidak lupa mohon kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca untuk lebih

menyempurnakan makalah ini. Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini berguna

dan bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Pare, Agustus 2017

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................1


DAFTAR ISI ..............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..............................................................................................3
B. Tujuan ............................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi ..........................................................................................................5
B. Etiologi ..........................................................................................................5
C. Patofisiologi ...................................................................................................7
D. Manifestasi Klinis .........................................................................................10
E. Pemeriksaan Diagnostik ................................................................................10
F. Komplikasi .....................................................................................................11
G. Penatalaksanaan ............................................................................................11
H. Konsep Asuhan Keperawatan ........................................................................16
BAB III TINJAUAN KASUS
A. Ilustrasi Kasus ...............................................................................................23
B. Pengkajian Keperawatan ...............................................................................24
C. Diagnosa Keperawatan ..................................................................................28
D. Rencana Keperawatan ...................................................................................29
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................................32
B. Saran ..............................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................33

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) pada tahun 1967 digambarkan
sebagai penyakit akut dengan manifestasi dypsnea, takipnea dan penurunan
komplians paru. ARDS adalah keadaan darurat medis yang dipicu oleh berbagai
proses akut yang berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan kerusakan
paru. (Aryanto Suwondo, 2006). ARDS mengakibatkan terjadinya gangguan paru
yang progresif dan tiba-tiba ditandai dengan sesak napas yang berat, hipoksemia dan
infiltrat yang menyebar dikedua belah paru.
Definisi ARDS telah diperluas dan disempurnakan selama bertahun-tahun.Pada
tahun 1994, American European Consensus Conference merekomendasikan definisi
ARDS sebagai bagian dari cedera paru akut. Definisi termasuk tiga kriteria: rasio
PaO2 / FiO2 kurang dari 200, infiltrat bilateral pada rontgen dada, dan tekanan oklusi
arteri pulmonalis kurang dari 18mmHg atau tidak ada bukti klinis hipertensi atrium
kiri. Perubahan patofisiologi yang terjadi pada ARDS adalah edema paru interstistial
dan penurunan kapasitas residu fungsional (KRF) karena atelektasis kongestif difus.
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) adalah salah satu penyakit paru
akut yang memerlukan perawatan di Intensive Care Unit (ICU) dan mempunyai
angka kematian yang tinggi yaitu mencapai 60%. Estimasi yang akurat tentang
insidensi ARDS sulit karena definisi yang tidak seragam serta heterogenitas
penyebab dan manifestasi klinis.Estimasi insidensi ARDS di Amerika Serikat sebesar
100.000-150.000 jumlah penduduk per tahun (1996). Dahulu ARDS memiliki
banyak nama lain seperti wet lung, shock lung, leaky-capillary pulmonary edema dan
acute respiratory distress syndr ome. Tidak ada tindakan yang spesifik untuk
mencegah kejadian ARDS meskipun faktor risiko sudah diidentifikasi
sebelumnya.Pendekatan dalam penggunaan model ventilasi mekanis pada pasien
ARDS masih kontroversial.American European Concencus Conference Committee
(AECC) merekomendasikan pembatasan volume tidal, positive end expiratory
pressure (PEEP) dan hiperkapne.
Penggunaan ventilasi mekanis invasif pada pasien ARDS merupakan pendekatan
yang masih kontroversial. Penggunaan ventilator mekanis pada ARDS perlu
diketahui aspek fisiologi ventilasi mekanis, kapasitas residu fungsional, gerakan
diapragma, resistensi paru, pengaruh intermittent positif pressure ventilation (IPPV)

3
atau positive end expiratory pressure (PEEP) terhadap hemodinamik, pengaruh IPPV
terhadap hubungan ventilasi-perfusi dan pertukaran gas.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui asuhan
keperawatan gawat darurat pada pasien distress pernapasan dewasa (acute
respiratory distress syndrome, ARDS).
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui definisi dari ARDS.
b. Untuk mengetahui etiologi dari ARDS.
c. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari ARDS.
d. Untuk mengetahui patofisiologi dari ARDS.
e. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari ARDS.
f. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic ARDS.
g. Untuk mengetahui komplikasi dari ARDS.
h. Untuk mengetahui asuhan keperawatan ARDS.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Gagal nafas akut/ARDS adalah kegagalan sistem pernafasan untuk
mempertahankan pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam jumlah yang dapat
mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS Jantung Harapan Kita, 2001).
Gagal nafas akut/ARDS terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap
karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsi oksigen dan
pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan
oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan
karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001).
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan keadaaan gagal
napas mendadak yang timbul pada kilen dewasa tanpa kelainan paru yang mendasari
sebelumnya. Sulit untuk membuat definisi secara tepat, karena patogenesisnya belum
jelas dan terdapat banyak factor predisposisi seperti syok karena perdarahan, sepsis,
rudakpaksa / trauma pada paru atau bagian tubuh lainnya, pancreatitis akut, aspirasi
cairan lambung, intoksikasi heroin, atau metadon. (Arif Muttaqin, 2009).
Sindrom distress pernapasan dewasa (acute respiratory distress syndrome,
ARDS) adalah suatu penyakit yang ditandai oleh kerusakan luas alveolus dan/atau
membrane kapiler paru. ARDS selalu terjadi setelah suatu gangguan besar pada
system paru, kardiovaskular, atau tubuh secara luar (Corwin, 2009).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ARDS (Gagal nafas Akut)
merupakan ketidakmampuan atau kegagalan sitem pernapasan oksigen dalam darah
sehingga pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru - paru tidak dapat
memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam selsel
tubuh.sehingga tegangan oksigen berkurang dan akan peningkatan karbondioksida
akan menjadi lebih besar.

B. Etiologi
ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa
trauma jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyebabnya bisa
penyakit apapun, yang secara langsung ataupun tidak langsung melukai paru-paru:
1. Trauma langsung pada paru
a. Pneumoni virus, bakteri, fungal
b. Contusio paru
c. Aspirasi cairan lambung

5
d. Inhalasi asap berlebih
e. Inhalasi toksin
f. Menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam waktu lama
2. Trauma tidak langsung
a. Sepsis
b. Shock, Luka bakar hebat, Tenggelam
c. DIC (Dissemineted Intravaskuler Coagulation)
d. Pankreatitis
e. Uremia
f. Overdosis Obat seperti heroin, metadon, propoksifen atau aspirin.
g. Idiophatic (tidak diketahui)
h. Bedah Cardiobaypass yang lama
i. Transfusi darah yang banyak
j. PIH (Pregnand Induced Hipertension)
k. Peningkatan TIK
l. Terapi radiasi
m. Trauma hebat, Cedera pada dada
Gejala biasanya muncul dalam waktu 24-48 jam setelah terjadinya penyakit atau
cedera. SGPA(sindrom gawat pernafasan akut) seringkali terjadi bersamaan dengan
kegagalan organ lainnya, seperti hati atau ginjal. Salah satu faktor resiko dari SGPA
adalah merokok sigaret. Angka kejadian SGPA adalah sekitar 14 diantara 100.000
orang/tahun.
Menurut Hudak & Gallo (1997), gangguan yang dapat mencetuskan terjadinya
ARDS adalah:
Sistemik :
1. Syok karena beberapa penyebab
2. Sepsis gram negative
3. Hipotermia, Hipertermia
4. Takar lajak obat (Narkotik, Salisilat, Trisiklik, Paraquat,Metadone, Bleomisin)
5. Gangguan hematology (DIC, Transfusi massif, Bypass kardiopulmonal)
6. Eklampsia
7. Luka bakar
Pulmonal :
1. Pneumonia (Viral, bakteri, jamur, penumosistik karinii)
2. Trauma (emboli lemak, kontusio paru, inhalasi asap)
3. Aspirasi ( cairan gaster, tenggelam, cairan hidrokarbon )
4. Pneumositis
Non-Pulmonal :
1. Cedera kepala
2. Peningkatan TIK
3. Pascakardioversi
4. Pankreatitis
5. Uremia

C. Patofisiologi

6
ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran alveolar kapiler
yang mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel alveolar dan
perubahan dalam jaring-jaring kapiler, terdapat ketidakseimbangan ventilasi dan
perfusi yang jelas akibat kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekstansif darah
dalam paru-paru. ARDS menyebabkan penurunan dalam pembentukan surfaktan,
yang mengarah pada kolaps alveolar. Komplians paru menjadi sangat menurun atau
paru-paru menjadi kaku akibatnya adalah penurunan karakteristik dalam kapasitas
residual fungsional, hipoksia berat dan hipokapnia (Brunner & Suddart 616).
Ada 3 fase dalam patogenesis ARDS:
1. Fase Eksudatif
Fase permulaan, dengan cedera pada endothelium dan epitelium, inflamasi, dan
eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut.
2. Fase Proliferatif
Terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan proliferasi fibroblast,
sel tipe II, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan dinding alveolus dan
perubahan eksudat perdarahan menjadi jaringan granulasi seluler/membran
hialin. Fase proliferatif merupakan fase menentukan yaitu cedera bisa mulai
sembuh atau menjadi menetap, ada resiko terjadi lung rupture (pneumothorax).

3. Fase Fibrotik/Recovery
Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan mengalami remodeling dan
fibrosis. Fungsi paru berangsurangsur membaik dalam waktu 6 12 bulan, dan
sangat bervariasi antar individu, tergantung keparahan cederanya.

Perubahan patofisiologi berikut ini mengakibatkan sindrom klinis yang dikenal


sebagai ARDS (Philip etal, 1995):
1. Sebagai konsekuensi dari serangan pencetus, complement cascade menjadi aktif
yang selanjutnya meningkatkan permeabilitas dinding kapiler.
2. Cairan, lekosit, granular, eritrosit, makrofag, sel debris, dan protein bocor
kedalam ruang interstisiel antar kapiler dan alveoli dan pada akhirnya kedalam
ruang alveolar.
3. Karena terdapat cairan dan debris dalam interstisium dan alveoli maka area
permukaan untuk pertukaran oksigen dan CO2 menurun sehingga
mengakibatkan rendahnyan rasio ventilasi-perfusi dan hipoksemia.
4. Terjadi hiperventilasi kompensasi dari alveoli fungsional, sehingga
mengakibatkan hipokapnea dan alkalosis resiratorik.

7
5. Sel-sel yang normalnya melaisi alveoli menjadi rusak dan diganti oleh sel-sel
yang tidak menghasilkan surfaktan ,dengan demikian meningkatkan tekanan
pembukaan alveolar.
ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah mengalami trauma
fisik, meskipun dapat juga terjadi pada individu yang terlihat sangat sehat segera
sebelum awitan, misalnya awitan mendadak seperti infeksi akut. Biasanya terdapat
periode laten sekitar 18-24 jam dari waktu cedera paru sampai berkembang menjadi
gejala. Durasi sindrom dapat dapat beragam dari beberapa hari sampai beberapa
minggu. Pasien yang tampak sehat akan pulih dari ARDS. Sedangkan secara
mendadak relaps kedalam penyakit pulmonary akut akibat serangan sekunder seperti
pneumotorak atau infeksi berat (Yasmin Asih. Hal 125).
Sebenarnya sistim vaskuler paru sanggup menampung penambahan volume
darah sampai 3 kali normalnya, namun pada tekanan tertentu, cairan bocor keluar
masuk ke jaringan interstisiel dan terjadi edema paru.( Jan Tambayog 2000, hal 109).

8
ARDS

Aktivitas
surfaktan

MK : kelebihan volume cairan


Edema Stabilitas alveolar
interstitial
alveolar
MK : Bersihan paru
jalan nafas tidak atelektasis
efektif
Kolaps alveolar paru

Keseimbangan ventilasi perfusi


MK : Kerusakan pertukaran gas

Compliance paru

MK : Intoleransi aktivitas
hipoksemia

Tahanan vascular paru hyperventilasi


takikardi

hipokapnea MK : gangguan perfusi jaringan


Hipoksia berat

MK : pola nafas Sesak nafas Kapasitas


tak efektif residu fungsional

9
D. Manifestasi Klinis
Gejala klinis utama pada kasus ARDS :
1. Peningkatan jumlah pernapasan
2. Klien mengeluh sulit bernapas, retraksi dan sianosis
3. Pada Auskultasi mungkin terdapat suara napas tambahan
4. Penurunan kesadaran mental
5. Takikardi, takipnea
6. Dispnea dengan kesulitan bernafas
7. Terdapat retraksi interkosta
8. Sianosis
9. Hipoksemia
10. Auskultasi paru : ronkhi basah, krekels, stridor, wheezing
11. Auskultasi jantung : BJ normal tanpa murmur atau gallop
12. Penurunan compliance paru
13. Pernapasan yang dangkal dan cepat pada mulanya, yang menyebabkan
alkalosis respiratorik karena karbon dioksida banyak terbuang. (Corwin, 2009).

E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan fungsi ventilasi
1) Frekuensi pernafasan per menit
2) Volume tidal
3) Ventilasi semenit
4) Kapasitas vital paksa
5) Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik
6) Daya inspirasi maksimum
7) Rasio ruang mati/volume tidal
8) PaCO2, mmHg
b. Pemeriksaan status oksigen
c. Pemeriksaan status asam-basa
d. Arteri gas darah (AGD) menunjukkan penyimpangan dari nilai normal pada
PaO2, PaCO2, dan pH dari pasien normal; atau PaO2 kurang dari 50
mmHg, PaCO2 lebih dari 50 mmHg, dan pH < 7,35.
e. Oksimetri nadi untuk mendeteksi penurunan SaO2
f. Pemantauan CO2 tidal akhir (kapnografi) menunjukkan peningkatan
g. Hitung darah lengkap, serum elektrolit, urinalisis dan kultur (darah, sputum)
untuk menentukan penyebab utama dari kondisi pasien.
h. Sinar-X dada dapat menunjukkan penyakit yang mendasarinya.
i. EKG, mungkin memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan,
disritmia.
2. Pemeriksaan hasil Analisa Gas Darah :
Analisis gas darah arteri akan memperlihatkan penurunan konsentrasi oksigen
arteri. Terapi oksigen tidak efektif untuk ARDS, berapapun jumlah oksigen
yang diberikan, karena difusi gas terbatas akibat penimbunan fibrin, edema,
dan rusaknya kapiler dan alveolus (Corwin, 2009).
a. Hipoksemia ( pe PaO2 ) 2. Hipokapnia ( pe PCO2 ) pada tahap awal
karena hiperventilasi
b. Hiperkapnia ( pe PCO2 ) menunjukkan gagal ventilasi

10
c. Alkalosis respiratori ( pH > 7,45 ) pada tahap dini
d. Asidosis respiratori / metabolik terjadi pada tahap lanjut
3. Pemeriksaan Rontgent Dada :
a. Tahap awal ; sedikit normal, infiltrasi pada perihilir paru
b. Tahap lanjut ; Interstisial bilateral difus pada paru, infiltrate di alveoli
4. Tes Fungsi paru :
a. Pe komplain paru dan volume paru
b. Pirau kanan-kiri meningkat

F. Komplikasi
1. kegagalan pernapasan dapat timbul seiring dengan perkembangan penyakit dan
individu harus bekerja lebih keras untuk mengatasi penurunan compliance
paru. Akhirnya individu kelelahan dan ventilasi melambat. Hal ini
menimbulkan asidosis respiratorik karena terjadi penimbunan karbon dioksida
di dalam darah. Melambatnya pernapasan dan menurunnya pH arteri adalah
indikasi akan datangnya kegagalan pernapasan dan mungkin kematian.
2. Pneumonia dapat timbul setelah ARDS, karena adanya penimbunan cairan di
paru dan kurangnya ekspansi paru.
3. Akibat hipoksia dapat terjadi gagal ginjal dan tukak saluran cerna karena stress
(stress ulcers).
4. Dapat timbul koagulasi intravascular diseminata akibat banyaknya jaringan
yang rusak pada ARDS.
(Corwin, 2009).

G. Penatalaksanaan
Pendekatan terapi terkini untuk ARDS adalah meliputi perawatan suportif,
bantuan ventilator dan terapi farmakologis. Prinsip umum perawatan suportif bagi
pasien ARDS dengan atau tanpa multiple organ dysfungsi syndrome (MODS)
meliputi (Susanto, 2012):
1. Pengidentifikasian dan terapi penyebab dasar ARDS.
2. Menghindari cedera paru sekunder misalnya aspirasi, barotrauma, infeksi
nosokomial atau toksisitas oksigen.
3. Mempertahankan penghantaran oksigen yang adekuat ke organ dengan cara
meminimalkan angka metabolik.
4. Mengoptimalkan fungsi kardiovaskuler serta keseimbangan cairan tubuh.
5. Dukungan nutrisi.
Penatalaksanaan ARDS terdiri atas penatalaksanaan terhadap penyakit dasar
yang dikombinasi dengan penatalaksanaan suportif terutama mempertahankan
oksigenasi yang adekuat dan optimalisasi fungsi hemodinamik sehingga diharapkan
mekanisme kompensasi tubuh akan bekerja dengan baik bila terjadi gagal
multiorgan. Penatalaksanaan penyakit dasar sangat penting, misalnya
penatalaksanaan hipotensi dan eradikasi sumber infeksi pada sepsis. Khas pada
ARDS, hipoksemia yang terjadi refrakter terhadap terapi oksigen dan hal ini
kemungkinan diakibatkan adanya shunting (pirau) darah melalui daerah paru yang
tidak terventilasi yang disebabkan alveoli terisi eksudat protein dan terjadi
atelektasis (Ware, 2000).

11
Prinsip Manajemen ARDS
Lakukan penentuan klinis dini kesulitan pernapasan.
Lakukan penilaian obyektif dengan gas darah arteri dan radiografi dada.
Menyediakan oksigen, saturasi memantau, dan menyelidiki faktor-faktor
risiko untuk ARDS.
Tentukan kebutuhan untuk intubasi dan ventilasi mekanik.
Gunakan volume tidal yang rendah, tekanan dataran rendah, paru-pelindung
strategi ventilator.
Optimalkan status cairan, nutrisi, dan toilet paru, dan mengobati komplikasi.
Pertimbangkan transfer ke pusat-pusat tersier untuk uji klinis dan teknik
canggih.

Optimalisasi fungsi hemodinamik dilakukan dengan berbagai cara. Dengan


menurunkan tekanan arteri pulmonal berarti dapat membantu mengurangi
kebocoran kapiler paru. Caranya ialah dengan restriksi cairan, penggunaan diuretik
dan obat vasodilator pulmonar (nitric oxide/NO). Pada prinsipnya penatalaksanaan
hemodinamik yang penting yaitu mempertahankan keseimbangan yang optimal
antara tekanan pulmoner yang rendah untuk mengurangi kebocoran ke dalam
alveoli, tekanan darah yang adekuat untuk mempertahankan perfusi jaringan dan
transport O2 yang optimaI. Kebanyakan obat vasodilator arteri pulmonal seperti
nitrat dan antagonis kalsium juga dapat menyebabkan vasodilatasi sistemik
sehingga dapat sekaligus menyebabkan hipotensi dan perfusi organ yang terganggu.
Obat-obat inotropik dan vasopresor seperti dobutamin dan noradrenalin mungkin
diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah sistemik dan curah jantung yang
cukup terutama pada pasien dengan sepsis (vasodilatasi sistemik). Inhalasi NO
telah digunakan sebagai vasodilator arteri pulmonal yang selektif. Karena diberikan
secara inhalasi sehingga terdistribusi pada daerah di paru-paru yang menyebabkan
vasodilatasi. Vasodilatasi yang terjadi pada alveoli yang terventilasi akan
memperbaiki disfungsi ventilasi/perfusi sehingga dengan demikian fungsi
pertukaran gas membaik. NO secara cepat diinaktivasi oleh hemoglobin mencegah
reaksi sistemik (Ware, 2000; Farid, 2006).
ARDS seringkali menyebabkan deplesi volum intravaskular akibat terapi
diuresis, inisiasi PPV yang mengurangi aliran balik vena, atau mungkin akibat
sepsis. Pada keadaan ini, yang paling penting ialah monitoring volume vaskular,
jangan sampai dehidrasi atau hipervolemia. Pada keadaan ARDS, meskipun
terdapat edema alveolar, infus tetap diberikan jika diperlukan untuk
mengembalikan perfusi perifer, keluaran urin, serta menstabilkan tekanan darah.
Karena pengobatan yang terpenting ialah menjaga volum intravaskular, pemantauan
pasien difokuskan pada perfusi kulit, status mental, keluaran urin, hipoksemia, serta

12
tekanan vena sentral secara intensif. Dalam mengukur volum infus, digunakan
kateter Swan-Ganz terutama jika terdapat ventilasi buatan dengan PEEP. Dalam
penanganan emergensi yang intensif ini sebaiknya pasien dijaga dalam keadaan
'kering', yakni dalam kondisi diuresis dan restriksi cairan (Harman, 2014).
Jika terjadi sepsis akibat ARDS, terapi empirik antibiotik mesti dimulai selagi
kultur dikerjakan. Kultur yang dipakai bisa berasal dari sputum atau aspirasi trakea.
Kultur ini membantu mendeteksi superinfeksi paru secara dini serta memantau
terapi antibiotik. Untuk memperkuat imunitas pencernaan, sebaiknya dalam 48
hingga 72 jam pasien sudah harus dibiasakan makan dengan saluran pencernaan
normal alias jalur enteral (Ware, 2000; Harman, 2014).
Tidak ada bukti kortikosteroid bisa memberi keuntungan dalam menangani
ARDS akut. Malah kortikosteroid membuka peluang terjadi infeksi paru.
Sedangkan sampai sekarang belum ditemukan terapi yang benar-benar efektif
dalam melawan ARDS, semisal antibodi monoklonal terhadap endotoksin, antibodi
monoklonal terhadap tumor necrosis factor, antagonis reseptor interleukin-1,
profilaksis PEEP, oksigenasi membran ekstrakorporeal serta mengurangi CO2
ekstrakorporeal, IV albumin, obat-obatan untuk ekspansi volum dan kardiotonik
untuk oksigenasi, kortikosteroid untk ARDS akut, ibuprofen parenteral untuk
menghambat siklooksigenase, prostaglandin E1, serta pentoxifylline (Ware, 2000;
Udobi, 2003; Herman, 2014).
Demi menjaga efektivitas pernapasan ARDS, telah terbukti bahwa posisi
pasien yang dibaringkan secara tengkurap akan mengalami perbaikan yang berarti.
Kemungkinan posisi ini memperbesar perfusi dan pertukaran gas seperti pada
keadaan normal. Meski menelungkupkan pasien juga tidak mudah dikerjakan,
namun posisi seperti ini telah lama diaplikasikan dan membawa hasil yang tidak
buruk bagi pasien. Ketokonazol terbukti bermanfaat untuk pasien ARDS karena
bisa mensupresi makrofag dalam pelepasan tumor necrosis factor. Pemberian
surfaktan sintetik tidak memberi hasil yang memuaskan, sementara surfaktan alami
terbukti memberi efek yang sangat baik meskipun tergolong jarang digunakan
(Ware, 2000; Udobi, 2003).
Kebanyakan pasien memerlukan intubasi endotrakea dan ventilasi buatan
dengan ventilator mekanis. Intubasi endotrakea dan PPV face mask mesti
dikerjakan jika frekuensi napas lebih dari 30 kpm atau jika FiO2 lebih besar dari
60%. Tindakan ini dapat menjaga PO2 arteri tetap berada sekitar 70 mmHg selama
lebih dari beberapa jam. Sebagai alternatif intubasi, continous positive airway
pressure (CPAP) dapat memberikan PEEP pasien ARDS sedang atau berat secara
efektif. Pemasangan masker napas ini mesti dipertimbangkan pada pasien yang
mengalami penurunan kesadaran karena berisiko aspirasi dan mesti digantikan
dengan ventilator jika pasien mengalami perburukan gejala ARDS (Ware, 2000;
Udobi, 2003).

13
Pengaturan ventilator secara konvensional pada ARDS ialah kisaran volum
tidal 10 hingga 15 mL/kg, PEEP 5-10 cm H2O, FiO2 60%, dengan mode
pengontrolan yang dipicu oleh pasien (patient-triggered assisted-control mode).
Ventilasi dilakukan secara intermiten dengan irama awal sebesar 10 hingga 12
napas permenit tentunya dengan PEEP (Ware, 2000; Udobi, 2003).
Terdapat beberapa pendapat yang menyakan bahwa ventilator dengan tekanan
dan volum yang tinggi dapat memperburuk keadaan paru pasien ARDS, namun
sampai sekarang pendapat ini belum bisa dibuktikan dengan baik. Justru PEEP
yang terlalu rendah yang dapat merusak paru karena menyebabkan bagian distal
paru yang tidak stabil dipaksa untuk terbuka dan tertutup berulang-ulang (Ware,
2000).
Masalah ini dapat diatasi dengan penyetelan volum tidal yang rendah (hanya 6
sampai 8 mL/kg) namun PEEP yang lebih tinggi (antara 10 hingga 18 cm H2O).
Tujuan penyetelan volum tidal yang kecil ialah mencegah pernapasan berlebih yang
dipaksa oleh ventilator akibat titik infleksi (defleksi) yang melebihi batas kurva
tekanan napas pasien tersebut, keadaan ini bisa juga menyebabkan overdistensi
paru. Akibatnya, paru-paru tetap akan bertambah kaku, serta terjadi peningkatan
tekanan plateau ventilator karena tekanan yang diperlukan untuk menjaga paru dan
inflasi dinding dada telah habis terpakai. Untuk alasan teknis, titik infleksi atas paru
sering tidak dihitung secara langsung. Taktiknya, dengan menyetel tekanan plateau
ventilator tidak lebih dari 25 hingga 30 cm H2O, insya Allah pasien tidak akan
tersiksa akibat ventilator ini. Apalagi dengan penurunan volum tidal paru, frekuensi
napas dari ventilaor dapat ditingkatkan untuk mengatur pH dan PCO2 yang cukup.
Jika pH arteri turun di bawah 7.20, akan terjadi infusi bikarbonat secara perlahan-
lahan. Beberapa pasien mungkin akan menunjukkan hiperkapina dan asidosis
respiratorik, namun biasanya keadaan ini dapat terkompensasi dengan baik.
Daripada ambil risiko menyetel pernapasan pasien terlalu tinggi dengan paksa,
lebih baik menurunkan setelan namun tetap dijaga dengan pemantauan yang
intensif (Ware, 2000).
Secara teoretis, PEEP yang dipilih mesti beberapa cm H2O di atas titik infleksi
bawah kurva tekanan napas pasien. Tindakan ini bertujuan agar makin banyak
alveolus yang bisa berfungsi lagi serta mencegah inflasi yang berlebihan. Jika titik
bawah infleksi masih tidak bisa ditentukan secara langsung, dibutuhkan PEEP
dengan nilai 10 hingga 15 cm H2O. Jika telah ditentukan nilai PEEP yang tepat,
FiO2 ventilator biasanya akan turun hingga ke batas yang normal <50 atau 60%.
Artinya, akan tercapai PaO2 yang memuaskan, yakni 60% atau saturasi O2 90%.
Untuk perfusi O2 yang adekuat ke jaringan, indeks kardiak mesti 3 L/min/m2,
bahkan kadang-kadang infusi volum atau obat-obatan kardiotonik parenteral
dibutuhkan (Ware, 2000).

14
Ventilator dapat dilepas jika fungsi paru sudah membaik (misalnya kebutuhan
O2 dan PEEP sudah berkurang), hasil rntgen sudah menunjukkan perbaikan, serta
sudah tidak ada takipnea. Biasanya, pasien yang memang tidak memiliki riwayat
penyakit paru yang parah sebelumnya, akan lebih mudah dilepas. Kesulitan
pelepasan alat bantu napas biasanya akibat adanya infeksi yang baru atau infeksi
lama yang tidak diterapi dengan baik, overhidrasi, bronkospasme, anemia,
gangguan elektrolit, disfungsi kardiak, atau status gizi yang sangat jelek yang
menyebabkan kelemahan otot. Jika penyulit-penyulit tersebut berhasil diperbaiki,
ventilator dapat dilepas perlahan-lahan dengan penyetelan ventilator intermiten,
frekuensi napas yang diturunkan, sering pula dengan ventilasi yang didukung oleh
pengaturan tekanan napas, atau dilepas begitu saja dengan meletakkan pipa T pada
pipa endotrakeal. Pada proses ini disetel PEEP yang rendah (sekitar 5 cm H2O)
agar nantinya pasien bisa bernapas kembali dengan normal. Untuk penanganan
lebih detail serta rawat jalan yang baik, setelah fase emergensi selesai, terapi
difokuskan pada etiologi yang menyebabkan pasien menjadi ARDS. Dengan
demikian dapat mencegah kemungkinan timbulnya episode ARDS serupa di
kemudian hari (Ware, 2000).

15
H. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Keadaan Umum: Takipnea, dispnea, sesak nafas, pernafasan menggunakan
otot aksesoris pernafasan dan sianosis sentral.
b. Riwayat Penyakit Sekarang: Sesak nafas, bisanya berupa pernafasan yang
cepat dan dangkal. Batuk kering dan demam yang terjadi lebih dari beberapa
jam sampai seharian. Kulit terlihat pucat atau biru.
c. Riwayat Penyakit Dahulu: Sepsis, Shock (hemoragi, pankreatitis
hemoragik), Luka bakar hebat, Tenggelam DIC (Dissemineted Intravaskuler
Coagulation), Pankreatitis, Uremia, Bedah Cardiobaypass yang lama, PIH
(Pregnand Induced Hipertension), Peningkatan TIK, Trauma hebat (cedera
kepala, cedera dada, rudapaksa paru), Radiasi, Fraktur majemuk (emboli
lemak berkaitan dengan fraktur tulang panjang seperti femur), Riwayat
merokok.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
e. Riwayat Alergi
2. Survey Primer
a. Airway
1) Peningkatan sekresi pernapasan
2) Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
b. Breathing
1) Distress pernapasan: pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu,
retraksi.
2) Menggunakan otot aksesori pernapasan
3) Kesulitan bernafas : lapar udara, diaforesis, sianosis
c. Circulation
1) Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
2) Sakit kepala
3) Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk
4) Papiledema
5) Penurunan haluaran urine
3. Survey Sekunder
Pemeriksaan Fisik
a. B1 (Breath) : Respirasi : rapid, swallow, grunting
Peningkatan kerja nafas ; penggunaan otot bantu pernafasan seperti retraksi
intercostal atau substernal, nasal flaring, meskipun kadar oksigen tinggi.
Suara nafas : biasanya normal, mungkin pula terjadi crakles, ronchi, dan
suara nafas bronchial
Perkusi dada : Dull diatas area konsolidasi
Penurunan dan tidak seimbangnya ekpansi dada

16
Peningkatan fremitus (tremor vibrator pada dada yang ditemukan dengan
cara palpasi.
Sputum encer, berbusa
Pallor atau cyanosis
b. B2 (Blood) : pucat, sianosis (stadium lanjut), tekanan darah bisa normal
atau meningkat (terjadinya hipoksemia), hipotensi terjadi pada stadium
lanjut (shock), takikardi biasa terjadi, bunyi jantung normal tanpa murmur
atau gallop.
c. B3 (Brain) : kesadaran menurun (seperti bingung dan atau agitasi),
tremor.
d. B4 (Bowel) :-
e. B5 (Bladder) :-
f. B6 (Bone) : kemerahan pada kulit punggung setelah beberapa hari
dirawat.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. LED : meningkat pada hampir semua kasus, jumlah eosinofilnya
normal.
b. Tes fungsi paru : normal atau menunjukkan defek restriktik disertai
gangguan pertukaran udara.
c. BGA : hasil BGA menunjukkan adanya hipoksemia.
d. Biopsi Darah :
PaO2/FiO2 < 200 = ARDS
PaO2/FiO2 < 300=ALI
e. Foto thorak dan CT: terdapat infiltrasi jaringan parut lokasi terpusat pada
region perihilir paru yang biasanya multivokal. Pada tahap lanjut, interstisial
bilatareral difus dan alveolar infiltrate menjadi bukti dan dapat melibatkan
semua lobus paru.Ukuran jantung normal, berbeda dari edema paru
kardogenik. Gas darah arteri seri membedakan gambaran kemajuan
hipoksemia, hipokapnea dapat terjadi pada tahap awal sehubungan dengan
hiperventilasi. Alkalosis respiratorik dapat terjadi pada tahap dini dan pada
tahap lanjut terjadi asidosis metabolik. Tes fungsi paru, Pengukuran pirau,
dan kadar asam laktat meningkat (Doenges1999 Hal 218 219 ).
5. Diagnosa
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya fungsi
silia, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan alveolar hipoventilasi,
penumpukan cairan di permukaan alveoli, hilangnya surfaktan pada
permukaan alveoli
c. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan pertukaran gas tidak adekuat,
peningkatan sekresi, penurunan kemampuan untuk oksigenasi dengan

17
adekuat atau kelelahan.
d. Kelebihan volome cairan di paru-paru berhubungan dengan edema
pulmonal non Kardia.
e. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran balik vena
dan penurunan curah jantung, edema, hipotensi.
f. Gangguan mobilisasi berhubungan dengan gangguan kesadaran, agitasi.
g. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang
lama.

18
6. Intervensi
Diagnosa NANDA NOC NIC
Respiratory status : Airway suction
Bersihan Jalan Nafas tidak Ventilation
Efektif : Nanda-NIC-NOC Respiratory status : Pastikan kebutuhan
2010 Airway patency oral / tracheal
Aspiration Control suctioning
Definisi : Ketidakmampuan Auskultasi suara
untuk membersihkan sekresi nafas sebelum dan
Kriteria Hasil :
atau obstruksi dari saluran sesudah suctioning.
pernafasan untuk Informasikan pada
Mendemonstrasikan klien dan keluarga
mempertahankan kebersihan
batuk efektif dan suara tentang suctioning
jalan nafas.
nafas yang bersih, tidak ada Minta klien nafas
sianosis dan dyspneu dalam sebelum suction
Batasan Karakteristik :
(mampu mengeluarkan dilakukan.
sputum, mampu bernafas Berikan O2 dengan
Dispneu, Penurunan
dengan mudah, tidak ada menggunakan nasal
suara nafas
Orthopneu pursed lips) untuk memfasilitasi
Cyanosis Menunjukkan jalan suksion nasotrakeal
Kelainan suara nafas nafas yang paten (klien Gunakan alat yang
(rales, wheezing) tidak merasa tercekik, irama steril sitiap melakukan
Kesulitan berbicara nafas, frekuensi pernafasan tindakan
Batuk, tidak efektif atau dalam rentang normal, tidak Anjurkan pasien
tidak ada ada suara nafas abnormal) untuk istirahat dan
Mata melebar Mampu napas dalam setelah
Produksi sputum mengidentifikasikan dan kateter dikeluarkan dari
Gelisah
mencegah factor yang dapat nasotrakeal
Perubahan frekuensi dan
menghambat jalan nafas Monitor status
irama nafas
oksigen pasien
Ajarkan keluarga
Faktor-faktor yang
bagaimana cara
berhubungan:
melakukan suksion
Hentikan suksion
Lingkungan : merokok,
dan berikan oksigen
menghirup asap, perokok
apabila pasien
pasif-POK, Infeksi
menunjukkan
Fisiologis : disfungsi
bradikardi, peningkatan
neuromuskular, hiperplasia
saturasi O2, dll.
dinding bronkus, alergi jalan
nafas, asma
Airway Management
Obstruksi jalan nafas :
spasme jalan nafas, sekresi
Buka jalan nafas,
tertahan, banyaknya mukus,
guanakan teknik chin
adanya jalan nafas buatan,
lift atau jaw thrust bila
sekresi bronkus, adanya
perlu
eksudat di alveolus, adanya Posisikan pasien
benda asing di jalan nafas. untuk memaksimalkan
ventilasi
Identifikasi pasien
perlunya pemasangan

19
alat jalan nafas buatan
Pasang mayo bila
perlu
Lakukan fisioterapi
dada jika perlu
Keluarkan sekret
dengan batuk atau
suction
Auskultasi suara
nafas, catat adanya
suara tambahan
Lakukan suction
pada mayo
Berikan
bronkodilator bila perlu
Berikan pelembab
udara Kassa basah
NaCl Lembab
Atur intake untuk
cairan mengoptimalkan
keseimbangan.
Monitor respirasi
dan status O2

Terapi Oksigen
Pola Nafas tidak efektif :
Nanda-NIC-NOC 2010 Bersihkan mulut,
Respiratory status : hidung dan secret
Definisi : Pertukaran udara Ventilation trakea
inspirasi dan/atau ekspirasi tidak Respiratory status : Pertahankan jalan
adekuat Airway patency nafas yang paten
Vital sign Status Atur peralatan
Batasan karakteristik : oksigenasi
Kriteria Hasil : Monitor aliran
Penurunan tekanan oksigen
Mendemonstrasikan Pertahankan posisi
inspirasi/ekspirasi
batuk efektif dan suara pasien
Penurunan pertukaran
nafas yang bersih, tidak ada Onservasi adanya
udara per menit
Menggunakan otot sianosis dan dyspneu tanda tanda
pernafasan tambahan (mampu mengeluarkan hipoventilasi
Nasal flaring sputum, mampu bernafas Monitor adanya
Dyspnea dengan mudah, tidak ada kecemasan pasien
Orthopnea pursed lips) terhadap oksigenasi
Perubahan Menunjukkan jalan Vital sign
penyimpangan dada nafas yang paten (klien Monitoring
Nafas pendek tidak merasa tercekik, irama Monitor TD, nadi,
Assumption of 3-point suhu, dan RR
nafas, frekuensi pernafasan
position Catat adanya
dalam rentang normal, tidak
Pernafasan pursed-lip fluktuasi tekanan darah
Tahap ekspirasi ada suara nafas abnormal
Tanda Tanda vital Monitor VS saat
berlangsung sangat lama pasien berbaring,
Peningkatan diameter dalam rentang normal
(tekanan darah, nadi, duduk, atau berdiri
anterior-posterior Auskultasi TD

20
Faktor yang berhubungan :
pernafasan) pada kedua lengan dan
Hiperventilasi bandingkan
Deformitas tulang Monitor TD, nadi,
Kelainan bentuk dinding RR, sebelum, selama,
dada dan setelah aktivitas
Penurunan Monitor kualitas
energi/kelelahan dari nadi
Perusakan/pelemahan Monitor frekuensi
muskulo-skeletal dan irama pernapasan
Obesitas Monitor suara paru
Posisi tubuh Monitor pola
Kelelahan otot pernapasan abnormal
pernafasan Monitor suhu,
Hipoventilasi sindrom warna, dan kelembaban
Nyeri
kulit
Kecemasan
Monitor sianosis
Disfungsi
perifer
Neuromuskuler
Monitor adanya
Kerusakan
cushing triad (tekanan
persepsi/kognitif
Perlukaan pada jaringan nadi yang melebar,
syaraf tulang belakang bradikardi, peningkatan
Imaturitas Neurologis sistolik)
Identifikasi
penyebab dari
perubahan vital sign

NOC:
Gangguan Pertukaran Gas : manajemen jalan napas
Nanda-NIC-NOC 2014 respon alergi: sistemik; (NIC):
keparahan respon identifikasi
Batasan karakteristik hipersensitifitas imun kebutuhan pasien
Subjektif sistemik terhadap antigen terhadap pemasangan
lingkungan tertentu jalan napas aktua atau
Dispnea Keseimbangan potensial
Sakit kepala pada saat elektrolit dan asam basa; auskultasi suara
bangun tidur keseimbangan elektrolit dan napas, tandai area
Gangguan penglihatan non elektrolit dalam penurunan atau
kompartemen intrasel dan hilangnya ventilasi dan
Objektif adanya bunyi tambahan
ekstrasel tubuh
Respon ventilasi pantau status
Gas darah arteri yang pernapasan dan
mekanis: orang dewasa;
tidak normal oksigenasi sesuai
pertukaran alveolar dan
pH arteri yang tidak
perfusi jaringan yang kebutuhan
normal
ketidaknormalan disokong oleh ventilasi
frekuensi, irama, dan mekanis
Status pernapasan:
kedalaman pernapasan
warna kulit tidak normal pertukaran gas; pertukaran
konfusi O2 dan CO2 di alveoli
sianosis untuk mempertahankan
karbondioksida menurun konsentrasi gas darah
diaphoresis Status pernapasan:
ventilasi; pergerakan udara

21
hiperkapnia yang masuk dan keluar ke
hiperkarbia dan dari paru
hipoksia Perfusi jaringan paru;
hipoksemia keadekuatan aliran darah
iritabilitas
melewati vaskular paru
napas cuping hidung
gelisah yang utuh untuk perfusi unit
somnolen alveoli-kapiler
takikardi TTV; TTv dalam batas
normal
Faktor yang berubungan
Tujuan dan Kriteria evaluasi
Perubahan membrane
kapiler-alveolar Gangguan pertukaran
Ketidakseimbangan gas berkurang yang
perfusi-ventilasi dibuktikan oleh tidak
terganggunya respon alergi:
sistemik, keseimbangan
elektrolit dan asam basa,
respon ventilasi mekanis:
orang dewasa, status
pernapasan: pertukaran gas,
status pernapasan: ventilasi,
perfusi jaringan paru, TTV

22
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. ILUSTRASI KASUS
EA 21 tahun, laki-laki datang dibawa oleh keluarga ke UGD. Menurut keluarga
Pasien baru di evakuasi dari kebakaran di daerah Papar, menurut keluarga pasien
sesak nafas berat karena menghirup asap dari kebakaran, dan oleh keluarga dibawa
ke puskesmas dan di rujuk ke RSUD PARE

23
YAYASAN KARYA HUSADA KEDIRI AS
Y A YE D I R AI N
STIKES KARYA HUSADA KEDIRI
K

Ijin Mendiknas RI No. 164/D/O/2005 Rekomendasi Depkes RI No. HK.03.2.4.1.03862


PROGRAM STUDI PROFESI NERS

K A

A
R Y
A H U SA

D
Jl. Soekarno Hatta, Kotak Pos 153, Telp/Fax. (0354) 395203 Pare Kediri
Website: www.stikes-khkediri.ac.id

B. Pengkajian Keperawatan

FORMAT RESUME IGD


TRIAGE :
R Y G B

I. DATA UMUM

Nama : Sdr. EA
Ruang : IRD
No. Register : 988876
Umur : 21 Th
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Bahasa : Jawa dan Indonesia
Alamat : Jl. Raya Aspal Minggiran No. 101 Papar
Pekerjaan : Swasta
Penghasilan : Tidak Terkaji
Status : Menikah
Pendidikan Terakhir : Tidak Terkaji
Golongan Darah : B Rh +
Tanggal MRS : 19 Agustus jam : 13:51
Tanggal Pengkajian : 19 Agustus jam : 13:52
Diagnosa Medis : Suspect ARDS post Inhalasi Asap

II. DATA DASAR

1. Keluhan Utama :
Pasien sesak dan kesulitan bernafas
Alasan Masuk Rumah Sakit :
Pasien datang ke IGD RS SEMOGA LEKAS SEMBUH jam 23.45 pasien rujukan
dari Puskesmas Papar. Menurut petugas Pasien baru di evakuasi dari kebakaran di
daerah Papar, menurut keluarga pasien sesak nafas berat karena menghirup asap
dari kebakaran, dan oleh keluarga dibawa ke puskesmas dan di rujuk ke RSUD
PARE

2. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien mengeluhkan sesak sesaat setelah menghirup asap kebakaran dirumahnya,
pasien mengatakan nafas terasa sesak berat, dan dada terasa panas seperti
terbakar, dan seperti ditindih dengan batu yang berat, sesak bertambah saat
digunakan beraktifitas dan berbicara

3. Upaya yang telah dilakukan:


Diolesi minyak kayu putih oleh keluarga

4. Terapi yang telah diberikan:


Infus RL 16 tpm
Inj Dexamethasone 5mg

24
5. Riwayat Kesehatan Dahulu :
Riwayat minum obat-obatan tertentu sebelumnya disangkal, riwayat penyakit
seperti diabetes, hipertensi, jantung, asam urat disangkal.Riwayat operasi
sebelumnya juga disangkal.

6. Riwayat Kesehatan Keluarga :


Klien dan keluarga mengatakan dalam keluarga tidak ada anggota keluarga yang
pernah menderita hal yang sama dengan klien dan tidak ada riwayat mempunyai
hipertensi atau DM serta penyakit ginjal lainnya dalam keluarganya.

III. Pemeriksaan Primer


1. Air Way + C Spine Control
Mengi (+), terdapat secret kental dan pasien batuk-batuk saat di suction,
Pasienberbicara tampak tersengal-sengal

2. Breathing
Nafas spontan, Cuping hidung (+), retraksi intercostae (+), Wheziing (+), Ronchii
(+), RR 32 x/menit, saturasi 89%, Sianosis (+) dipasang NRBM 10 lpm

3. Circulation
TD 160/100 mmHg, Nadi 119 x/menit kuat reguler, Suhu 35,9 0C, Crt 3,
dipasang

4. Disability (AVPU)
Alert

5. Exposure + Prevent Hypothermia


-

IV. Pemeriksaan Sekunder


AMPLE:
A (Alergi) : Tidak ada riwayat alergi obat-obatan atau makanan
M (Medikasi) :
P (Pertinent medical history) :
L (Last Meal) : makan terakhir jam 11:00
E (Event) :

Tingkat kesadaran :
GCS : E = 3 V = 4 M = 5

1. Kepala
Anemis (-), Icterik (-), pupil isokor 2mm, tidak ada hematom atau luka pada
kepala

2. Leher
Tidak ada pembesaran kelenja tiroid, JVP meningkat

3. Thorax (dada)/ Paru dan Jantung


I : Pengembangan tidak berirama, ictus cordis tidak tampak
P: Sterm fremitus kanan dan kiri sama, ictus cordis teraba pada SIC 5,2cm LMCS
P: Sonor seluruh lapang paru pekak pada jantung
A: Ronchi (+), Wheezing (+) seluruh lapang paru, Suara jantung S1,S2 tunggal,
Gallops (-), Murmur (-)

4. Abdomen

25
I : Datar
P: Bising usus Normal 14x/menit
P: Timpani
A: Tidak ada pembesaran Hepar maupun lien, Nyeri tekan (-), Nyeri lepas (-)
5. Tulang Belakang
Tidak ada kelainan maupun luka pada tulang belakang

6. Ekstremitas
Bentuk dan ukuran Ekstremitas atas bawah simetris, pergerakan ROM bebas
kesegala arah, tidak terdapat nyeri persendian maupun pada tulang, tidak ada
bengkak maupun luka, Kekuatan otot 5/5, reflek patella +/+ achilles +/+

7. Genitallia dan Anus


Struktur utuh, keadaan Penis bersih, klien tidak merasakan adanya keluhan.

8. Pemeriksaan Neurologis
GCS= 345, gelisah, kaku kuduk (-), kejang (-), tanda brudzinski (-), lasegue (-)

V. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
Pemeriksaan tanggal 19 Agustus 2017

Hematologi
Darah rutin
Hemoglobin : 14,7 g/dL
Lekosit : 17,4 ribu/mmk
Eritrosit : 4,5 juta/mmk
Hematokrit : 27, 1%
Trombosit : 260 ribu/mmk
Differential Count
Eosinofil :0%
Basofil :0%
Neutrofil batang :1%
Neutrofil segmen : 84 %
Limfosit :8%
Monosit :7%
Golongan darah :A
Kimia Klinik
BGA laktat
Ph : 7,23
PCO2 : 66 mmHg
PO2 : 66,6 mmHg

BE.EC : -11,7 mmol/L


B.E : 9,4 mmol/L
HCO3 : 14,2 mmol/L
TCO2 : 15,0 mmol/L
SO2 : 92,3 %
02 CT : 15,2 V%
Laktat : 4 mmol/L
HCT : 35 %
Hb : 11,7 g/dL
NA+ : 133,5 mmol/L
K+ : 5,00 mmol/L
Ca++ : 0,64 mmol/L
A-aDO2 : 553,4 mmHg
PO2 / FIO2 : 74,1 mmHg

26
2. Radiologi
Foto Thorax dada
Kesimpulan ukuran jantung normal, tampak adanya infiltrat paru bilateral

VI. Tindakan di IGD :


Pasang ETT dengan mode Biggler BIPAP
Paang infus NaCl 12 Tpm
Inj. Ceftriaxone 1gr
Nebul bisolvon
Fisioterapi nafas+suction tiap 3 jam

VII. Terapi
Ceftriaxone 2x1
Nebulizer bisolvon 4x1
Dexamethasone 4x1

27
C. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot-otot
pernafasan
3. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus berlebih

28
D. Rencana Keperawatan
N DIAGNOSA NOC NIC
O KEPERAWATAN

Gangguan Setelah dilakukan asuhan Manajemen jalan napas


pertukaran keperawatan selama 2 hari Identifikasi kebutuhan pasien
gas berhubungan Diharapkan klien dapat terhadap pemasangan jalan
dengan membran merasakan kenyamanan. napas aktual atau potensial
kapiler alveoli Dengan criteria hasil Auskultasi suara napas, tandai
( 00030) Status pernafasan area penurunan atau hilangnya
pertukaran gas ventilasi dan adanya bunyi
pertukaran c02 dan o2 di tambahan
alveoli untuk Pantau status pernapasan dan
mempertahankan oksigenasi sesuai kebutuhan
konsentrasi gas darah
alveoli

Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan Terapi Oksigen


pola nafas keperawatan selama 2 hari Bersihkan mulut, hidung dan
berhubungan dengan Diharapkan klien dapat secret trakea
kelemahan otot-otot merasakan kenyamanan. Pertahankan jalan nafas yang
pernafasan ( 00032) Dengan kriteria hasil paten
Mendemonstrasikan Atur peralatan oksigenasi
batuk efektif dan suara Monitor aliran oksigen
nafas yang bersih, tidak Pertahankan posisi pasien
ada sianosis dan dyspneu Onservasi adanya tanda tanda
(mampu mengeluarkan hipoventilasi
sputum, mampu bernafas
Monitor adanya kecemasan
dengan mudah, tidak ada
pasien terhadap oksigenasi
pursed lips)
Vital sign Monitoring
Menunjukkan jalan nafas
Monitor TD, nadi, suhu, dan
yang paten (klien tidak
RR
merasa tercekik, irama
Catat adanya fluktuasi tekanan
nafas, frekuensi
darah
pernafasan dalam
Monitor VS saat pasien
rentang normal, tidak
berbaring, duduk, atau berdiri
ada suara nafas abnormal
Auskultasi TD pada kedua
Tanda Tanda vital dalam
lengan dan bandingkan
rentang normal (tekanan
Monitor TD, nadi, RR,
darah, nadi, pernafasan)

29
sebelum, selama, dan setelah
aktivitas
Monitor kualitas dari nadi
Monitor frekuensi dan irama
pernapasan
Monitor suara paru
Monitor pola pernapasan
abnormal
Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
Monitor sianosis perifer
Monitor adanya cushing triad
(tekanan nadi yang melebar,
bradikardi, peningkatan
sistolik)
Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign
Ketidak efektifan Setelah dilakukan asuhan Airway suction
bersihan jalan nafas keperawatan selama 2 hari Pastikan kebutuhan oral /
berhubungan dengan Diharapkan klien dapat tracheal suctioning
mukus berlebih merasakan kenyamanan. Auskultasi suara nafas
(00031) Dengan criteria hasil sebelum dan sesudah
Pengisapan jalan nafas suctioning.
mengeluarkan sekret dari Informasikan pada klien dan
jalan nafas dengan keluarga tentang suctioning
memasukan kateter Minta klien nafas dalam
pengisap jalan nafas oral sebelum suction dilakukan.
dan atau trakea . Berikan O2 dengan
Pencegahan aspirasi : menggunakan nasal untuk
tindakan personal untuk memfasilitasi suksion
mencegah masuknya nasotrakeal
cairan dan partikel padat unakan alat yang steril sitiap
kedalam paru melakukan tindakan
Status pernafasan Anjurkan pasien untuk
ventilasi: pergerakan istirahat dan napas dalam
udara masuk dan keluar setelah kateter dikeluarkan dari
paru. nasotrakeal
Monitor status oksigen pasien

30
Hentikan suksion dan berikan
oksigen apabila pasien
menunjukkan bradikardi,
peningkatan saturasi O2, dll.

Airway Management
Buka jalan nafas, guanakan
teknik chin lift atau jaw thrust
bila perlu
Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
Identifikasi pasien perlunya
pemasangan alat jalan nafas
buatan
Pasang mayo bila perlu
Lakukan fisioterapi dada jika
perlu
Keluarkan sekret dengan batuk
atau suction
Auskultasi suara nafas, catat
adanya suara tambahan
Lakukan suction pada mayo
Berikan bronkodilator bila
perlu
Berikan pelembab udara Kassa
basah NaCl Lembab
Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.
Monitor respirasi dan status
O2

31
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
ARDS adalah Penyakit akut dan progressive dari kegagalan
pernafasan disebabkan terhambatnya proses difusi oksigen dari
alveolar ke kapiler (a-c block) yang disebabkan olehkarena
terdapatnya edema yang terdiri dari cairan koloid protein baik
interseluler maupunintra alveolar. Penyebabnya bisa penyakit
apapun, yang secara langsung ataupun tidak langsung melukai
paru-paru seperti: Pneumoni virus, bakteri, fungal; contusio paru,
aspirasicairan lambung, inhalasi asap berlebih, inhalasi toksin,
menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam waktu lama, Sepsis, Shock,
Luka bakar hebat, Tenggelam,dsb. Gejala biasanya muncul dalam
waktu 24-48 jam setelah terjadinya penyakit atau cedera. Penyebab
spesifik ARDS masih belum pasti,banyak faktor penyebab yang dapat berperan
pada gangguan ini menyebabkan ARDS tidak disebut sebagai penyakit tetapi
sebagai sindrom.
Perubahan patofisiologi yang terjadi pada ARDS adalah edema paru
interstistial dan penurunan kapasitas residu fungsional (KRF) karena atelektasis
kongestif difus. Pendekatan dalam penggunaan model ventilasi mekanis pada
pasien ARDS masih kontroversial. American European Concencus Conference
Committee (AECC) merekomendasikan pembatasan volume tidal, positive end
expiratory pressure (PEEP) dan hiperkapne.

B. Saran
1. Menghindari faktor resiko yang dapat menyebabkan ARDS.
2. Apabila gejala ARDS mulai muncul sesegera mungkin bawalah
ke rumah sakit terdekat untuk mendapat pertolongan lebih
lanjut agar tidak terjadi komplikasi pada hati dan ginjal.

32
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Medikal Keperawatan Vol.3. EGC: Jakarta.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Miracle, Vickie A. Springhouse Review for Critical Care Nursing Certification: An
Indispensable Study Guide for the C.C.R.N Exam. Third Edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Muttaqin, Arif & Nurachman, Elly. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan
Gangguan Sistem Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika.
Segel, Barbara. 1998. Critical Care Nursing Care Plans. America: Delmar.
Glavan BJ, Holden TD, Goss CH, Black RA, Neff MJ, Nathens AB, et al. Genetic
variation in the FAS gene and associations with acute lung injury. Am J Respir Crit
Care Med. Feb 1 2011;183(3):356-63.
Rubenfeld GD, Caldwell E, Peabody E, Weaver J, Martin DP, Neff M. Incidence and
outcomes of acute lung injury. N Engl J Med. Oct 20 2005;353(16):1685-93.
Luhr OR, Antonsen K, Karlsson M. Incidence and mortality after acute respiratory failure
and acute respiratory distress syndrome in Sweden, Denmark, and Iceland. The
ARF Study Group. Am J Respir Crit Care Med. Jun 1999;159(6):1849-61.
Davidson TA, Caldwell ES, Curtis JR. Reduced quality of life in survivors of acute
respiratory distress syndrome compared with critically ill control patients. JAMA.
Jan 27 1999;281(4):354-60.
Davey-Quinn A, Gedney JA, Whiteley SM. Extravascular lung water and acute
respiratory distress syndromeoxygenation and outcome. Anaesth Intensive Care.
Aug 1999;27(4):357-62.
Ashbaugh DG, Bigelow DB, Petty TL. Acute respiratory distress in adults. Lancet. Aug
12 1967;2(7511):319-23.
Bernard GR, Artigas A, Brigham KL. The American-European Consensus Conference on
ARDS. Definitions, mechanisms, relevant outcomes, and clinical trial coordination.
Am J Respir Crit Care Med. Mar 1994;149(3 Pt 1):818-24.
Chen CY, Yang KY, Chen MY, Chen HY, Lin MT, Lee YC, et al. Decoy receptor 3 levels
in peripheral blood predict outcomes of acute respiratory distress syndrome. Am J
Respir Crit Care Med. Oct 15 2009;180(8):751-60.
Herridge MS, Cheung AM, Tansey CM. One-year outcomes in survivors of the acute
respiratory distress syndrome. N Engl J Med. Feb 20 2003;348(8):683-93.
Herridge MS, Tansey CM, Matt A, et al. Functional disability 5 years after acute
respiratory distress syndrome. N Engl J Med. Apr 7 2011;364(14):1293-304.
Masclans JR, Roca O, Muoz X, Pallisa E, Torres F, Rello J, et al. Quality of life,
pulmonary function, and tomographic scan abnormalities after ARDS. Chest. Jun
2011;139(6):1340-6.

33
Kress JP, Pohlman AS, OConnor MF, Hall JB. Daily interruption of sedative infusions in
critically ill patients undergoing mechanical ventilation. N Engl J Med. May 18
2000;342(20):1471-7.
Levitt JE, Vinayak AG, Gehlbach BK, et al. Diagnostic utility of B-type natriuretic
peptide in critically ill patients with pulmonary edema: a prospective cohort study.
Crit Care. 2008;12(1):R3.
Mekontso Dessap A, Boissier F, Leon R, Carreira S, Campo FR, Lemaire F, et al.
Prevalence and prognosis of shunting across patent foramen ovale during acute
respiratory distress syndrome. Crit Care Med. Sep 2010;38(9):1786-92.

34

You might also like