Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh:
PROGRAM MAGISTER
PRODI ENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2015/2016Latar Belakang
Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran, (Jakarta: PT. Sinar Agape Press),
Dewasa ini dalam hubungannya dengan pengertian agama sebagai bidang cakup
(scope) pengkajian ilmu agama, belum terlahir rumusan pengertian agama secara utuh dan
dapat diterima oleh semua pihak secara universal sebagai hasil pemikiran para ahli ilmu
agama, filsafat, maupun teologia. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, menurut W.B.
Sidjabat, kajian ilmu agama juga mengalami beberapa bentuk distorsi dari tujuan awalnya,
yakni pemanfaatan hasil penelitian yang seharusnya bersifat konstruktif dan positif. Hasil
penelitian ilmu agama yang semestinya adalah an sich atau netral untuk maksud ilmiah,
justru digunakan untuk kegiatan yang mengarah pada rencana-rencana destruktif dan negatif.
Sehingga diperlukan adanya pembahasan ulang terkait rumusan tujuan dan fungsi penelitian
ilmu agama itu sendiri.
Dari uraian latar belakang tersebut, maka dapat diambil beberapa pokok masalah
yang muncul terkait dengan pembahasan agama dan cakupan ilmu agama, antara lain sebagai
berikut:
1. Apa saja rumusan bidang cakup (scope) ilmu agama menurut W. B. Sidjabat?
3
3. Apa saja yang merupakan bentuk distorsi pada tujuan penelitian ilmu agama dalam
pandangan W. B. Sidjabat?
Telaah Pustaka
Bidang cakup (scope) ilmu agama banyak bergantung pada pengertian seseorang
tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dalam agama itu sendiri, sehingga rumusan
bidang cakup tersebut tentunya sangat dipengaruhi oleh latar belakang, subjektivitas, maupun
passion yang dimiliki oleh seorang tokoh ilmu agama. Keluasan bidang cakup itulah yang
nantinya akan menjadi bahan pertimbangan penting dalam menentukan metodologi yang
akan digunakan oleh seorang peneliti ilmu agama dalam penelitian ilmiahnya. Untuk
membahas secara mendalam terkait bidang cakup ilmu agama tersebut, maka dalam
pembuatan makalah ini penulis menggunakan beberapa referensi. Referensi yang paling
utama adalah buku hasil penyusunan Mulyanto Sumardi yang berjudul Penelitian Agama
(Masalah dan Pemikiran) yang diterbitkan pada tahun 1982. Di dalam buku tersebut terdapat
dokumentasi pemikiran-pemikiran yang berkembang di wilayah metodologi penelitian
agama, termasuk salah satu di antaranya adalah pemikiran tokoh ilmu agama yang berlatar
belakang agama Kristen, W. B. Sidjabat.
Pada beberapa bab sebelumnya, buku tersebut juga memberikan gambaran umum
terkait metode penelitian yang merupakan hasil pemikiran dari H.A. Mukti Ali, kemudian
pembahasan terkait mengapa penelitian agama perlu dilaksanakan dan permasalahan yang
mendasar dalam penelitian agama sebagai hasil pemikiran dari H.A. Ludjito, serta
pembahasan terkait perlu atau tidaknya metodologi tersendiri dalam penelitian agama sebagai
hasil pemikiran dari Mattulada berikut ilustrasi bagaimana penelitian hidup keagamaan
tersebut dilaksanakan oleh Mattulada. Sedangkan W.B. Sidjabat, berlainan dengan para
kontributor tulisan yang mendahuluinya dalam buku tersebut, justru memberikan gambaran
tentang berbagai sarjana ilmu agama di dunia berikut karya-karyanya. Baru kemudian W.B.
Sidjabat mengemukakan pandangannya terkait agama dan bidang cakup (scope) ilmu agama,
tujuan dan fungsi, serta distorsi pada tujuan penelitian ilmu agama. Meskipun menurut hemat
penulis, penjabaran terkait bidang cakup ilmu agama yang dipaparkan di dalam buku tersebut
terasa masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan paparan tentang tujuan dan fungsi
4
penelitian ilmu agama serta distorsi pada tujuan ilmu agama dalam pandangan W. B.
Sidjabat.
Untuk mendukung analisis terkait bidang cakup (scope) ilmu agama di dalam
makalah ini, penulis juga menggunakan beberapa referensi pendukung, di antaranya sebuah
katalog terbitan yang berjudul Metodologi Penelitian Agama (Suatu Pengantar) dengan
editor Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim. Buku tersebut secara ringkas membahas suatu
tema besar untuk mendudukkan penelitian agama dalam khazanah ilmu-ilmu sosial.
Metodologi
Di dalam buku-buku dan jurnal ilmiah yang dijadikan referensi utama maupun
referensi pendukung oleh penulis makalah, tidak dijelaskan secara khusus terkait pendekatan
ataupun teori penulisan yang digunakan oleh tokoh ilmu agama, yakni W.B. Sidjabat, dalam
merumuskan bidang cakup (scope) ilmu agama maupun tujuan dan fungsi serta distorsi ilmu
agama yang dimaksud. Akan tetapi jika dilihat dari isinya secara umum, penelitian dan
penulisan terkait bidang cakup, tujuan, fungsi, dan distorsi ilmu agama tersebut
menggunakan pendekatan teologis, filologis, dan anthropologis serta menggunakan metode
penelitian simpatetik ilmiah.
5
Sedangkan pendekatan anthropologis yang dimaksud ialah upaya memahami agama dengan
cara melihat praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Adapun
metode simpatetik ilmiah yang dimaksud adalah penelitian agama-agama dengan
menekankan pengertian yang mendalam terhadap agama yang diteliti, dan hasilnya dituliskan
secara luwes, simpatik, menunjukkan kematangan iman, dan tanpa menjatuhkan pihak
tertentu.
Bidang cakup (scope) ilmu agama sangat bergantung pada pengertian yang
diyakini oleh seseorang tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan agama itu sendiri.
Di Indonesia pada umumnya kata agama dipahami sebagai kata yang berasal dari bahasa
sansekerta. Akan tetapi terkait dengan pemaknaan katanya secara utuh masih terdapat
banyak sekali kesimpangsiuran. Haji Zainal Arifin Abbas dalam bukunya Perkembangan
Pikiran Terhadap Agama, mengatakan bahwa arti agama adalah tidak kacau, yakni a
berarti tidak dan gama berarti kacau.1 Sedangkan, menurut Kamus Jawa Kuno-Indonesia
susunan L. Mardiwarsito, arti agama ialah ilmu, pengetahuan (pelajaran agama). 2 Kedua
penulis tersebut sama-sama mengatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa
sansekerta, akan tetapi keduanya secara eksplisit memberikan pengertian yang jauh
berbeda tentang kata agama.
Beberapa tokoh ilmu agama lain ada juga yang menyebutkan bahwa kata
agama tidak berasal dari bahasa sansekerta, seperti halnya rumusan tentang pengertian
agama yang ditulis oleh W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
cetakan ke V (1976), yang sudah diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa yakni sebagai berikut: Agama ialah segenap kepercayaan
1 Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Fikiran Terhadap Agama Cetakan Kedua, (Medan: Firma
2 L. Mardiwarsito, Kamus Jawa Kuno Indonesia, (Enda Flores: Nusa Indah), 1978, hal. 4.
6
(kepada Tuhan, Dewa, dan sebagainya) serta ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban
yang bertalian dengan kepercayaan itu.
3 H.C Klienkert, Nieuw Nederlansch Maleisch Woordenboek, (Leiden: E.J. Brill), 1926, hal.
223.
7
untuk terwujudnya integrasi hidup manusia dan hubungannya dengan Tuhan, sesamanya,
dan alam yang mengitarinya.
Sedangkan fungsi agama (religio) menurut pengertian yang berasal dari kata
religare ialah untuk merekatkan berbagai unsur dalam memelihara keutuhan diri
manusia, diri per orang, atapun diri sekelompok orang dalam hubungannya terhadap
Tuhan, sesama manusia, dan alam yang mengitarinya. Menurut W.B Sidjabat, hal
tersebut sama dengan fungsi pemaknaan pada kata din secara fenomenologis di dalam
agama Islam, meskipun kata din yang digunakan oleh umat Islam secara khusus
disandarkan pada surat Al Imran (3): 19 sehingga penafsirannya mengandung unsur
arkanul islam, iman, dan ihsan (cara melakukannya dengan tepat)5, akan tetapi kata
tersebut juga mempunyai pemahaman secara umum dalam bahasa Arab yakni sebagai
lembaga Ilahi (wadilahi) yang memimpin manusia untuk keselamatan di dunia dan di
akhirat.
4 Cf.W.B. Sidjabat, Peranan Agama Dalam Negara Pancasila, (Jakarta: STT), 1979, hal. 1.
5 H.A.R. Gibb dan J.H. Kraemers, Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J. Brill), 1953, hal.
78.
8
berakal (ashbab al-ukul). Sehingga di dalam penghayatan dan pelaksanaan praktis
terhadap agama itulah manusia melakukan sesuatu yang terkandung dalam way of life-
nya ini sebagai: (1) ucapan syukur kepada Tuhan Allah, (2) pemuliaan (adoration)
terhadap Sang Khalik Tuhan alam semesta raya, dan (3) selaku bentuk pelayanan, baik
kepada Sang Khalik maupun kepada sesamanya (makhluk).
Sehingga dalam arti yang dalam, objek inti dari bidang cakup (scope) agama
adalah hubungan yang teramat pribadi dan intim antara manusia dengan Sang Khalik,
yang diwujudkan sekaligus dalam rangkaian kehidupan pribadi dan kolektif. Hubungan
pribadi dan intim tersebut tidak layak diganggu ataupun dibatasi oleh seseorang di luar
setiap diri manusia, sebab meskipun ada yang berusaha mengganggu dan membatasinya
maka hal tersebut tidak akan dapat dikuasai sepenuhnya oleh sesuatu di luar kekuasaaan
Tuhan. Berdasarkan pengertian dan pemahaman tersebut, dalam kaitannya dengan
pluralitas agama di Indonesia dan di seluruh dunia dalam pandangan W.B. Sidjabat, maka
dirumuskan suatu definisi tentatif tentang agama yakni sebagai berikut:
Agama adalah keprihatinan yang maha luhur dari manusia, yang terungkap selaku
jawabannya terhadap panggilan dari Yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan
yang maha luhur (ultimate concern) ini diungkapkan dalam hidup manusia (pribadi dan
berkelompok) terhadap Tuhan, terhadap manusia, dan terhadap alam semesta raya
beserta isinya.
Pengertian tersebut jika dikaitkan dengan bidang cakup (scope) ilmu agama,
dirumuskan atas dasar kesadaran bahwa hingga dewasa ini belum ada suatu definisi
apapun yang sampai pada rumusan agama secara tuntas dan dapat diterima secara
universal oleh semua pihak, meskipun para ahli ilmu agama, filsafat, dan teologia sudah
mengusahakannya. Sedangkan pada kenyataan yang disebutkan oleh sejarah, terdapat
juga pemahaman terkait pengertian agama dan praktik agama yang sudah menyimpang
dari garis pemaknaan agama yang sebenarnya. Sehingga dalam hal ini Islam membuat
perbedaan antara din al hakk atau agama yang benar (quran surat 43:27, 9:33, 61:9) dan
6 L. Gardet, Din The Encyclopaedia of Islam (New Edition) Vol. II, (Leiden: J. Brill), 1965,
hal.293.
9
din al mubaddal atau agama yang tidak asli lagi, yakni agama yang tidak lagi berjalan
pada jalan yang lurus.
Menurut W.B. Sidjabat, yang termasuk dalam kategori din al mubaddal ialah
agama-agama yang telah beralih fungsi menjadi ketidakpercayaan, unbelief, atau
unglaube. Hal tersebut juga dipaparkan secara mendalam oleh Karl Bath, hanya saja
kemudian Karl Bath mengelompokkan lebih jauh terkait bentuk-bentuk unglaube
tersebut seperti misalnya Christendom. Karena menurutnya, Injil adalah sui generis atau
sesuatu yang mempunyai kategori tersendiri sehingga Injil tidak bisa dikategorikan
sebagai agama oleh Karl Barth. Akan tetapi pada akhirnya hal itu jugalah yang menjadi
titik kelemahan pada pola pikir Karl Barth, karena meskipun baginya Injil bukan
merupakan agama, namun penghayatan dan pengkomunikasiannya menggunakan
wahana-wahana yang bersifat religius.7
8 James G. Frazer, The Golden Bough (Abridged Editon), (London: Macmillan Co.), 1933, hal.
386-387.
10
Corak agama atau aliran keagamaan seperti itu rupanya masih mendapat
pasaran yang cukup luas dewasa ini, terutama pada masyarakat yang industrinya sangat
tinggi sebagai pelepasan ketegangan dari persoalan kota-kota besar, kebisingan-
kebisingan akibat mesin-mesin, wahana-wahana kepadatan lalu lintas, pencemaran udara,
dan sebagainya. Segala kepenatan tersebut menjadikan banyaknya orang yang masih
memilih jalan agama sensualitas ini, sebagai contoh orang-orang di Eropa, Amerika,
Jepang, dan Australia. Bahkan tidak jarang pemakaian narkotika dan minuman keras
beralkohol tinggi digunakan sebagai unsur rangsangan dalam praktik agama tersebut. 9
Sadar akan hal-hal tersebut di atas, maka jelaslah bahwa tidak mudah
membuat rumusan detail terhadap agama. Dalam pandangan W.B. Sidjabat, bahkan
ketentuan yang selama ini berlaku umum bahwa yang dapat dianggap sebagai agama full
fledged adalah agama yang mempunyai (1) nabi atau rasul, (2) kitab suci, dan (3) umat,
pada kenyataannya sulit diterapkan bagi semua agama yang ada di dunia ini. Karena
ketentuan tersebut hanya mudah diterapkan khususnya pada ketiga agama yang
mengajarkan adanya wahyu dan secara historis dimulai di Timur Tengah, yakni:
1. Judaisme
2. Agama Kristen
3. Agama Islam
Ketentuan umum tersebut akan terasa lebih sulit jika diterapkan pada agama
Budha dan Hindu yang notabenenya mempunyai banyak kitab suci dan masih belum
pasti mana yang menjadi kitab suci utama. Bahkan akan terasa lebih sulit lagi jika
ketentuan tersebut diterapkan pada agama-agama dari Australia, Afrika, Amerika Latin,
dan Indonesia di mana berbagai aliran kepercayaan dan kebatinan yang tumbuh pada
umumnya memang tidak mempunyai kitab suci.10
9 Frederick J. Streng et. al,Ways of Being Religious, (Englewood Cliffs N. J: Frentice. Inc), 1973,
hal. 662-556.
10 Cf. Mircea Eliade, Australian Religions, (Ithaca and London: Cornell University Press), 1973,
hal.55.
11
B. Tujuan dan Fungsi Penelitian Agama-agama
Agar hubungan yang akrab tersebut dapat berjalan dengan lebih baik,
dibutuhkan pengertian yang lebih mendalam terkait agama yang dianut maupun
agama-agama yang lain, khususnya dalam hal sumber-sumber (kitab suci, tradisi),
dasar-dasar pemikiran, ketentuan-ketentuan, praktik-praktik, dan tata kebaktian
agama tersebut untuk memperdalam pengetahuan sehingga terhindar dari salah
pengertian dalam memahami ajaran umat beragama lain.
11 Cf. W.B. Sidjabat, Religious Tolerance and The Christian Faith, Princeton (Diss), 1960.
12
serta etis kita pun serentak akan menjadi lebih luwes. Pengertian seperti itulah yang
digaris bawahi oleh F. Max Muller, seperti yang dikatakannya, Dia yang hanya
mengetahui satu agama, tidak mengetahui apa-apa.12 Usaha memperdalam
pengetahuan pada agama akan menghindarkan sifat fanatisme dan tradisionalisme.
c. Membina etika religius di kalangan umat beragama agar saling menaruh respek
Berikut beberapa fungsi dan kegunaan ilmu agama secara praktis dalam
pandangan W.B. Sidjabat:
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, maka jelaslah bahwa ilmu
agama mempunyai fungsi dan kegunaan untuk membina kesadaran beragama yang
lebih mendalam. Dengan itu dimaksudkan, bukan hanya sekedar mempunyai
pengetahuan umum tentang agama-agama yang dihadapi di dunia ini, melainkan
agar manusia juga dapat sampai kepada taraf mengadakan refleksi dan pengkajian,
mengapa ia menganut suatu agama, bagaimana filsafat hidupnya, katakanlah
weltans-chauung-nya di dalam menganut agama tersebut. Relativisme, agnotisisme
dan sinkretisme bukanlah tujuan pembinaan kesadaran beragama yang mendalam
ini.
14 Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta: Tiara
15
berkeliaran di mana-mana dewasa ini. Bagi mereka, kekayaan material sudah
cukup, bahkan sering sudah berlebihan. Tetapi karena norma yang kuat tidak ada,
maka etika pribadinya adalah etika situasional yang relativistis.
W.B Sidjabat mengemukakan bahwa sejak dulu hingga saat ini, selalu ada
pihak-pihak tertentu yang menyalahgunakan tujuan ilmiah dari sebuah penelitian agama
sehingga mengarah pada penyimpangan tujuan yang cenderung bersifat destruktif dan
negatif, beberapa bentuk distorsi tersebut dalam pandangannya antara lain adalah sebagai
berikut:
Bukan rahasia lagi jika di masa lampau hasil penelitian ilmu agama sering
digunakan bukan untuk tujuan ilmiah melainkan untuk tujuan sampingan. Sebuah
penelitian ilmu agama yang pada prosesnya sudah dilakukan seilmiah mungkin dengan
memenuhi syarat-syarat akademis ilmiah pada kenyataannya hasilnya justru digunakan
untuk kegiatan-kegiatan yang mengarah pada dominasi atas penduduk yang diteliti
agamanya. Sebagai contoh penelitian ilmu agama yang dilakukan oleh dunia barat
dalam kaitannya dengan bidang-bidang ilmu pengetahuan lain seperti antropologi
budaya, etnologi, bahasa, sejarah, arkeologi dan militer yang hasilnya digunakan untuk
15 Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran , hal. 94-97.
16
memberi advis kepada pihak penjajah. Dana-dana penelitiannya pun berasal dari kas
pemerintah kolonial, berikut fasilitas bagi tenaga ahli peneliti dan jaminan keamanan
bagi si peneliti.
Sejak dulu hingga saat ini banyak penelitian agama yang dilakukan dari
kalangan zendeling atau misionaris. Motivasi terdalam mereka dalam melakukan
penelitian adalah untuk memahami agama-agama yang dihadapinya sebaik dan seteliti
mungkin agar dapat berkomunikasi dalam rangka menyampaikan amanat agama yang
diyakininya. Begitu banyak jejak penelitian misionaris yang jika diamati, akan terlihat
bahwa metode penelitian yang digunakan adalah dengan banyak menekankan
kelemahan-kelemahan pada pihak yang diteliti saja, sebagai contoh penelitian dari Dr.
B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1971), Dr. W. Wawer,
Muslime und Christen in der Republik Indonesia (1974) yang ditulis dengan sangat
seksama dan menggunakan data-data yang lengkap sebagai dasar pijakan, sehingga
jauh lebih teliti jika dibandingkan dengan metode penelitian yang digunakan pada abad
XVIII dan XIX.
16 Cf. W.B. Sidjabat, Religious Tolerance and The Christian Faith, Princeton (Diss), 1960.
17
Metode yang kita pelopori dewasa ini seharusnya merupakan metode
simpatetik ilmiah pada setiap tahapan yang diteliti. Metode tersebut dapat kita lihat
dalam tulisan-tulisan Philip K. Hitti, Azia S. Atiya, dan Edward J. Jurji yang
mengungkapkan kematangan iman pada pihak peneliti namun tetap menunjukkan sikap
luwes dan simpatik terhadap agama yang ditelitinya. Prof. Tk. H. Ismail Jakub, S.H.,
M.A, penulis Orientalisme dan Orientalisten sempat mengungkapkan komentarnya
terhadap metode simpatetik ilmiah yang digunakan Philip K. Hitti tersebut, sebagai
berikut: Walaupun ia seorang yang fanatik kepada agamanya, tetapi lantaran pandai ia
menulis, sehingga dapat diketahui, kecuali apa diteliti benar-benar. 17
Metode tersebut pada akhirnya diikuti oleh sejumlah peneliti agama dari
kalangan Kristen Indonesia dan juga digunakan oleh W.B. Sidjabat sendiri dalam
tulisan-tulisannya. Tujuan yang ingin dicapai dalam metode tersebut adalah pengertian
yang mendalam dan bukan dominasi atas penganut agama lain. Penghayatan terhadap
agama yang dianut memang sebaiknya dilakukan dalam hubungan yang ditandai oleh
pengertian dan komunikasi yang segar antara yang satu dengan yang lain.
17 Tk. H. Ismail Jacub, Orientalisme dan Orientalisten, (Surabaya: CV. Faizan), 1971, hal. 145.
18 Ibid., 85-93.
18
Motto yang diwarisi dari nenek moyang berupa asih-asah-asuh perlu
juga diterapkan dalam ilmu agama. Dalam rangka mengasuh hubungan baik antar
penganut agama, maka proses mengasah antara satu dengan yang lainnya patutlah
dilakukan dalam hubungan asih (kasih sayang, artinya mirip dengan kata agape dalam
bahasa Yunani), sebuah hubungan di mana konteks ilmu agama tersebut dilaksanakan.
Jika proses tersebut berjalan dengan baik, maka koeksistensi dan proeksistensi para
penganut agama dapat menjadi kenyataan dalam kehidupan sehari-hari dan toleransi
positif antar umat beragama dapat terwujud karena kebenaran yang diinginkan oleh
masing-masing penganut agama tidak lagi dicapai dengan mengisolasi diri dari
penganut agama lain.
Penjabaran terkait bidang cakup (scope) ilmu agama akan mempermudah seorang
peneliti dalam menentukan objek kajian dan metodologi yang akan digunakan dalam
penelitiannya. Sedangkan rumusan terkait tujuan dan fungsi penelitian agama akan
menumbuhkan sikap mental yang segar dan sehat terhadap praktik keagamaan sehingga
tujuan dari pengkajian agama yang positif dan konstruktif dalam pembangunan dapat
tercapai.
Kesimpulan
Pembahasan terkait pemikiran W.B. Sidjabat dalam hal agama dan bidang cakup
(scope) ilmu agama menghasilkan beberapa kesimpulan, yakni sebagai berikut:
19
1. Perlunya pemahaman yang benar terhadap bidang cakup (scope) yang dimaksudkan dalam
objek kajian penelitian. Dalam hal ini, W.B. Sidjabat berpendapat bahwa bidang cakup
(scope) ilmu agama disandarkan pada pemahaman seseorang terhadap pengertian agama
itu sendiri, baik melalui perspektif filologis, maupun perspektif lainnya. Sehingga
metodologi yang digunakan dalam penelitian agama akan semakin relevan dengan bidang
cakupnya.
2. Tujuan dari penelitian agama-agama menurut W.B. Sidjabat ialah membina hubungan yang
akrab secara pribadi antara berbagai agama, membina etika religius di kalangan umat
beragama, memperdalam pengetahuan tentang anutan umat beragama lain, dan
merangsang kerjasama antar umat beragama secara praktis.
3. Fungsi dan kegunaan ilmu agama-agama menurut W.B. Sidjabat adalah membina kesadaran
beragama yang lebih mendalam, mempelopori sikap ilmiah (terbuka) terhadapat
kebenaran, memupuk etika kerja, penghargaan waktu yang menunjang lancarnya
pembangunan, menjaga keseimbangan antara rohani dengan jasmani, membantu
pemerintah dalam pengadaan gambaran yang lebih lengkap tentang kenstelasi agama-
agama di dalam masyarakat.
4. Beberapa bentuk distorsi pada tujuan penelitian agama dalam pandangan W.B. Sidjabat
adalah manipulasi politik, ekonomi, dan sosial budaya, dominasi satu agama atas agama
yang lain, dan mencari-cari kelemahan agama lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, dan Rusli Karim. 2004. Metodologi Penelitian Agama (Suatu Pengantar).
Abbas, Zainal Arifin. 1957. Pengembangan Fikiran Terhadap Agama. Medan: Firma
Islamiyah.
20
Amin, Abdullah. Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner. 2006.
Cf. W.B. Sidjabat. 1979. Peranan Agama Dalam Negara Pancasila. Jakarta: STT.
Jacub, Tk. H. Ismail, Orientalisme dan Orientalisten. 1971. Surabaya: CV. Faizan.
L. Mardiwarsito. Kamus Jawa Kuno Indonesia. 1978. Ende Flores: Nusa Indah.
Sumardi, Mulyanto. 1982. Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran. Jakarta: PT. Sinar
Agape Press.
21