You are on page 1of 21

AGAMA DAN CAKUPAN ILMU AGAMA

MENURUT W.B. SIDJABAT


Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pendekatan dalam Pengkajian Islam
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Iskandar Zulkarnaen

Disusun Oleh:

Unik Hanifah Salsabiila


1520411044

Lely Nur Hidayah Syafitri


1520411056

PROGRAM MAGISTER
PRODI ENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2015/2016Latar Belakang

Konsentrasi terhadap ilmu agama merupakan sesuatu yang bernilai universal di


ranah ilmu pengetahuan dunia. Ilmu agama sebagai disiplin akademis yang mengkaji
berbagai seluk beluk agama mulai diakui pada abad XIX, dengan munculnya karya F. Max
Muller yang berjudul Introduction to the Science of religion yang selanjutnya diikuti oleh
para sarjana ilmu agama dari negara barat lainnya, seperti Belanda, Britania Raya, Perancis,
Polandia, Rumania, dan Amerika Serikat. Tokoh-tokoh ilmu agama dari Asia pun tidak
ketinggalan untuk berkontribusi di bidang tersebut, seperti yang dilakukan oleh tokoh J.
Takakusu dari Jepang yang memperkenalkan ajaran Budhisme di penghujung abad XIX,
kemudian dilanjutkan oleh D.T Suzuki dengan pemaparan Zen Budhismenya.

Perkembangan ilmu agama di Asia ikut menambah khazanah keilmuan secara


internasional seperti yang dilakukan oleh S. Radhakrishnan selaku pundit ilmu agama dan
filsafat India pada abad XX, yang kemudian dilanjutkan oleh tokoh ilmu agama lain yang
mempunyai latar belakang agama Kristen. Di negara Timur Tengah bahkan dikenal banyak
nama tokoh Islam yang ikut andil membesarkan ilmu agama, seperti Rasyid Rida,
Muhammad Iqbal, dan lain-lain. Tidak ketinggalan pula benua Afrika dalam memberikan
sumbangan terkait bidang ilmu agama dengan karya John Mbiti yang telah berhasil
memberikan gambaran jelas terkait kesalahpahaman terhadap kehidupan beragama orang
Afrika.

Indonesia juga berperan melahirkan banyak nama yang mempunyai concern di


bidang ilmu agama yang berlatar belakang agama Islam maupun Hindhu, seperti Prof. Dr.
Poerbatjaraka, Prof. Dr. Mukti Ali, G. Pudja, M.A dan lain sebagainya. Selain itu, ada pula
beberapa tokoh ilmu agama yang berlatar belakang agama Kristen, salah satu di antaranya
adalah Prof. Dr. W.B. Sidjabat (1960) yang telah melahirkan pemikiran berupa rumusan
terkait bidang cakup (scope) ilmu agama yang digunakan dalam penelitian agama-agama.

Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran, (Jakarta: PT. Sinar Agape Press),

1982, hal. 70.


2
W.B. Sidjabat berpendapat bahwa meskipun para sarjana ilmu agama tersebut
tengah mengkaji wilayah keilmuan yang sama, yakni ilmu agama, maka bukan berarti
mereka menggunakan metodologi yang sama dan digunakan untuk tujuan penelitian yang
sama. Seperti halnya F. Max Muller yang cenderung menggunakan pendekatan filologi dalam
penelitiannya terhadap Hinduisme, maka para peneliti agama yang lain pun masing-masing
menggunakan berbagai metodologi dan perspektif yang berbeda. Metodologi yang digunakan
oleh berbagai eksponen agama tersebut banyak bergantung pada subjektivitas maupun
passion yang dimiliki oleh para peneliti yang bersangkutan. Hal itu menunjukkan betapa
luasnya bidang cakup (scope) yang dihadapi oleh wilayah ilmu agama sehingga perlu
dirumuskan batasan tertentu untuk menghindari kerancuan dan mempermudah
keberlangsungan pengkajian ilmu agama untuk berbagai kepentingan sosial masyarakat.

Dewasa ini dalam hubungannya dengan pengertian agama sebagai bidang cakup
(scope) pengkajian ilmu agama, belum terlahir rumusan pengertian agama secara utuh dan
dapat diterima oleh semua pihak secara universal sebagai hasil pemikiran para ahli ilmu
agama, filsafat, maupun teologia. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, menurut W.B.
Sidjabat, kajian ilmu agama juga mengalami beberapa bentuk distorsi dari tujuan awalnya,
yakni pemanfaatan hasil penelitian yang seharusnya bersifat konstruktif dan positif. Hasil
penelitian ilmu agama yang semestinya adalah an sich atau netral untuk maksud ilmiah,
justru digunakan untuk kegiatan yang mengarah pada rencana-rencana destruktif dan negatif.
Sehingga diperlukan adanya pembahasan ulang terkait rumusan tujuan dan fungsi penelitian
ilmu agama itu sendiri.

Permasalahan (Sense of Academic Crisis)

Dari uraian latar belakang tersebut, maka dapat diambil beberapa pokok masalah
yang muncul terkait dengan pembahasan agama dan cakupan ilmu agama, antara lain sebagai
berikut:
1. Apa saja rumusan bidang cakup (scope) ilmu agama menurut W. B. Sidjabat?

2. Bagaimana tujuan dan fungsi penelitian ilmu agama menurut W. B. Sidjabat?

3
3. Apa saja yang merupakan bentuk distorsi pada tujuan penelitian ilmu agama dalam
pandangan W. B. Sidjabat?

Telaah Pustaka

Bidang cakup (scope) ilmu agama banyak bergantung pada pengertian seseorang
tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dalam agama itu sendiri, sehingga rumusan
bidang cakup tersebut tentunya sangat dipengaruhi oleh latar belakang, subjektivitas, maupun
passion yang dimiliki oleh seorang tokoh ilmu agama. Keluasan bidang cakup itulah yang
nantinya akan menjadi bahan pertimbangan penting dalam menentukan metodologi yang
akan digunakan oleh seorang peneliti ilmu agama dalam penelitian ilmiahnya. Untuk
membahas secara mendalam terkait bidang cakup ilmu agama tersebut, maka dalam
pembuatan makalah ini penulis menggunakan beberapa referensi. Referensi yang paling
utama adalah buku hasil penyusunan Mulyanto Sumardi yang berjudul Penelitian Agama
(Masalah dan Pemikiran) yang diterbitkan pada tahun 1982. Di dalam buku tersebut terdapat
dokumentasi pemikiran-pemikiran yang berkembang di wilayah metodologi penelitian
agama, termasuk salah satu di antaranya adalah pemikiran tokoh ilmu agama yang berlatar
belakang agama Kristen, W. B. Sidjabat.

Pada beberapa bab sebelumnya, buku tersebut juga memberikan gambaran umum
terkait metode penelitian yang merupakan hasil pemikiran dari H.A. Mukti Ali, kemudian
pembahasan terkait mengapa penelitian agama perlu dilaksanakan dan permasalahan yang
mendasar dalam penelitian agama sebagai hasil pemikiran dari H.A. Ludjito, serta
pembahasan terkait perlu atau tidaknya metodologi tersendiri dalam penelitian agama sebagai
hasil pemikiran dari Mattulada berikut ilustrasi bagaimana penelitian hidup keagamaan
tersebut dilaksanakan oleh Mattulada. Sedangkan W.B. Sidjabat, berlainan dengan para
kontributor tulisan yang mendahuluinya dalam buku tersebut, justru memberikan gambaran
tentang berbagai sarjana ilmu agama di dunia berikut karya-karyanya. Baru kemudian W.B.
Sidjabat mengemukakan pandangannya terkait agama dan bidang cakup (scope) ilmu agama,
tujuan dan fungsi, serta distorsi pada tujuan penelitian ilmu agama. Meskipun menurut hemat
penulis, penjabaran terkait bidang cakup ilmu agama yang dipaparkan di dalam buku tersebut
terasa masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan paparan tentang tujuan dan fungsi
4
penelitian ilmu agama serta distorsi pada tujuan ilmu agama dalam pandangan W. B.
Sidjabat.

Untuk mendukung analisis terkait bidang cakup (scope) ilmu agama di dalam
makalah ini, penulis juga menggunakan beberapa referensi pendukung, di antaranya sebuah
katalog terbitan yang berjudul Metodologi Penelitian Agama (Suatu Pengantar) dengan
editor Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim. Buku tersebut secara ringkas membahas suatu
tema besar untuk mendudukkan penelitian agama dalam khazanah ilmu-ilmu sosial.

Metodologi

Metodologi yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah dengan


menggunakan kajian pustaka, yakni menggunakan referensi-referensi terkait yang berisi
tentang agama, penelitian agama, cakupan ilmu agama, tujuan dan fungsi ilmu agama, serta
distorsi pada tujuan penelitian agama-agama yang secara rinci telah dibahas oleh para tokoh
ilmu agama, baik di dalam buku maupun jurnal ilmiah.

Di dalam buku-buku dan jurnal ilmiah yang dijadikan referensi utama maupun
referensi pendukung oleh penulis makalah, tidak dijelaskan secara khusus terkait pendekatan
ataupun teori penulisan yang digunakan oleh tokoh ilmu agama, yakni W.B. Sidjabat, dalam
merumuskan bidang cakup (scope) ilmu agama maupun tujuan dan fungsi serta distorsi ilmu
agama yang dimaksud. Akan tetapi jika dilihat dari isinya secara umum, penelitian dan
penulisan terkait bidang cakup, tujuan, fungsi, dan distorsi ilmu agama tersebut
menggunakan pendekatan teologis, filologis, dan anthropologis serta menggunakan metode
penelitian simpatetik ilmiah.

Pendekatan teologis yang dimaksud adalah upaya memahami agama dengan


menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud
empirik dari suatu keagamaan yang bersifat apologis, sementara pendekatan filologis
merupakan studi keagamaan dengan menelaah karya sastra atau sumber-sumber tertulis yang
biasanya berhubungan dengan aspek bahasa agama, dalam hal ini penelitian agama dipelajari
dari bahasa aslinya serta ungkapan-ungkapan filologis keagamaan yang bersangkutan.

5
Sedangkan pendekatan anthropologis yang dimaksud ialah upaya memahami agama dengan
cara melihat praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Adapun
metode simpatetik ilmiah yang dimaksud adalah penelitian agama-agama dengan
menekankan pengertian yang mendalam terhadap agama yang diteliti, dan hasilnya dituliskan
secara luwes, simpatik, menunjukkan kematangan iman, dan tanpa menjatuhkan pihak
tertentu.

Ruang Lingkup Penelitian

A. Bidang Cakup (scope) Ilmu Agama

Bidang cakup (scope) ilmu agama sangat bergantung pada pengertian yang
diyakini oleh seseorang tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan agama itu sendiri.
Di Indonesia pada umumnya kata agama dipahami sebagai kata yang berasal dari bahasa
sansekerta. Akan tetapi terkait dengan pemaknaan katanya secara utuh masih terdapat
banyak sekali kesimpangsiuran. Haji Zainal Arifin Abbas dalam bukunya Perkembangan
Pikiran Terhadap Agama, mengatakan bahwa arti agama adalah tidak kacau, yakni a
berarti tidak dan gama berarti kacau.1 Sedangkan, menurut Kamus Jawa Kuno-Indonesia
susunan L. Mardiwarsito, arti agama ialah ilmu, pengetahuan (pelajaran agama). 2 Kedua
penulis tersebut sama-sama mengatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa
sansekerta, akan tetapi keduanya secara eksplisit memberikan pengertian yang jauh
berbeda tentang kata agama.

Beberapa tokoh ilmu agama lain ada juga yang menyebutkan bahwa kata
agama tidak berasal dari bahasa sansekerta, seperti halnya rumusan tentang pengertian
agama yang ditulis oleh W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
cetakan ke V (1976), yang sudah diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa yakni sebagai berikut: Agama ialah segenap kepercayaan

1 Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Fikiran Terhadap Agama Cetakan Kedua, (Medan: Firma

Islamiyah), 1957, hal. 19.

2 L. Mardiwarsito, Kamus Jawa Kuno Indonesia, (Enda Flores: Nusa Indah), 1978, hal. 4.
6
(kepada Tuhan, Dewa, dan sebagainya) serta ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban
yang bertalian dengan kepercayaan itu.

Meskipun demikian, hampir sebagian besar hasil penelitian yang dilakukan


oleh W.B. Sidjabat pada kamus-kamus bahasa Indonesia (Melayu), Batak, dan Jawa,
seperti misalnya kamus susunan Klinkert (1962) 3, H.N. Van Der Tuuk (Bataksch
Nederduitsch Woodenboek, 1861), dan Joh. Warneck (Toba Batak Deutsches
Worterbuch, 1905), dan juga kamus Otto Karow-Irene Hilgers-Hesse (Indonesisich
Deutsch Wortebuch, 1962), menyatakan bahwa kata agama memang berasal dari bahasa
sansekerta meskipun kamus-kamus tersebut tidak memberikan keterangan lengkap secara
etimologis.

Berdasarkan data-data filologis yang telah terkumpul itulah tampak bahwa


makna kata dan etimologi kata agama yang diberikan oleh Haji Zainal Arifin Abbas-lah
yang paling banyak ditemukan dan berpengaruh pada pemahaman orang tentang kata
agama, utamanya pada masyarakat Indonesia. Hanya saja, sangat disayangkan karena
pernyataan Zainal Arifin Abbas tersebut rupanya tidak disertai penjelasan lengkap terkait
arti dan fungsi agama dalam bentuk yang lebih mendalam. Sedangkan makna agama
yang diberikan oleh L. Mardiwarsito agaknya sudah bergeser dari arti religius kepada arti
intelektualitas dari kata agama tersebut, yakni ilmu, pengetahuan menjadi
(pelajaran) agama. Seperti yang terjadi pada pengertian pandit (kata serapan) yang
maknanya bergeser dari religius kepada makna intelektualitas.

W.B. Sidjabat menyatakan, bahwa makna agama yang dimaksudkan dalam


pengembangan tulisannya adalah agama sebagai suatu way of life, yang membuat hidup
manusia menjadi tidak kacau. Sehingga fungsi agama dalam pengertian ini ialah
memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan
Tuhan tidak kacau (a gama), dengan sesama manusia, dan dengan alam yang
mengitarinya.4 Dengan kata lain, agama pada dasarnya berfungsi sebagai alat pengatur

3 H.C Klienkert, Nieuw Nederlansch Maleisch Woordenboek, (Leiden: E.J. Brill), 1926, hal.

223.
7
untuk terwujudnya integrasi hidup manusia dan hubungannya dengan Tuhan, sesamanya,
dan alam yang mengitarinya.

Berdasarkan pengertian dan fungsinya, maka demikian pulalah makna yang


akan kita temukan dalam kata religion (Inggris), Religion (Jerman), religie (Belanda),
religion (Perancis), dan religion (Spanyol). Semua itu berasal dari bahasa latin religio
yang akar katanya ialah religare (mengikat). Arti religio itu sendiri mencakup istilah way
of life. Sehingga dalam rumusan pengertiannya, religio atau way of life berikut segala
peraturan-peraturannya tentang kebaktian dan kewajiban-kewajibnnya, merupakan alat
untuk mengikat dan mengutuhkan diri seseorang atau sekelompok orang dalam
hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam yang mengitarinya.

Sedangkan fungsi agama (religio) menurut pengertian yang berasal dari kata
religare ialah untuk merekatkan berbagai unsur dalam memelihara keutuhan diri
manusia, diri per orang, atapun diri sekelompok orang dalam hubungannya terhadap
Tuhan, sesama manusia, dan alam yang mengitarinya. Menurut W.B Sidjabat, hal
tersebut sama dengan fungsi pemaknaan pada kata din secara fenomenologis di dalam
agama Islam, meskipun kata din yang digunakan oleh umat Islam secara khusus
disandarkan pada surat Al Imran (3): 19 sehingga penafsirannya mengandung unsur
arkanul islam, iman, dan ihsan (cara melakukannya dengan tepat)5, akan tetapi kata
tersebut juga mempunyai pemahaman secara umum dalam bahasa Arab yakni sebagai
lembaga Ilahi (wadilahi) yang memimpin manusia untuk keselamatan di dunia dan di
akhirat.

Din merupakan corpus of obligatory prescriptions given by God to which


must submit (corpus dari syariat yang diwajibkan kepada manusia oleh Tuhan Allah, di
mana manusia tersebut harus lah tunduk) 6, meskipun dalam kata din ditekankan bahwa
Allah lah yang menentukan (imposes) kewajiban-kewajiban tersebut bagi manusia yang

4 Cf.W.B. Sidjabat, Peranan Agama Dalam Negara Pancasila, (Jakarta: STT), 1979, hal. 1.

5 H.A.R. Gibb dan J.H. Kraemers, Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J. Brill), 1953, hal.

78.
8
berakal (ashbab al-ukul). Sehingga di dalam penghayatan dan pelaksanaan praktis
terhadap agama itulah manusia melakukan sesuatu yang terkandung dalam way of life-
nya ini sebagai: (1) ucapan syukur kepada Tuhan Allah, (2) pemuliaan (adoration)
terhadap Sang Khalik Tuhan alam semesta raya, dan (3) selaku bentuk pelayanan, baik
kepada Sang Khalik maupun kepada sesamanya (makhluk).

Sehingga dalam arti yang dalam, objek inti dari bidang cakup (scope) agama
adalah hubungan yang teramat pribadi dan intim antara manusia dengan Sang Khalik,
yang diwujudkan sekaligus dalam rangkaian kehidupan pribadi dan kolektif. Hubungan
pribadi dan intim tersebut tidak layak diganggu ataupun dibatasi oleh seseorang di luar
setiap diri manusia, sebab meskipun ada yang berusaha mengganggu dan membatasinya
maka hal tersebut tidak akan dapat dikuasai sepenuhnya oleh sesuatu di luar kekuasaaan
Tuhan. Berdasarkan pengertian dan pemahaman tersebut, dalam kaitannya dengan
pluralitas agama di Indonesia dan di seluruh dunia dalam pandangan W.B. Sidjabat, maka
dirumuskan suatu definisi tentatif tentang agama yakni sebagai berikut:

Agama adalah keprihatinan yang maha luhur dari manusia, yang terungkap selaku
jawabannya terhadap panggilan dari Yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan
yang maha luhur (ultimate concern) ini diungkapkan dalam hidup manusia (pribadi dan
berkelompok) terhadap Tuhan, terhadap manusia, dan terhadap alam semesta raya
beserta isinya.

Pengertian tersebut jika dikaitkan dengan bidang cakup (scope) ilmu agama,
dirumuskan atas dasar kesadaran bahwa hingga dewasa ini belum ada suatu definisi
apapun yang sampai pada rumusan agama secara tuntas dan dapat diterima secara
universal oleh semua pihak, meskipun para ahli ilmu agama, filsafat, dan teologia sudah
mengusahakannya. Sedangkan pada kenyataan yang disebutkan oleh sejarah, terdapat
juga pemahaman terkait pengertian agama dan praktik agama yang sudah menyimpang
dari garis pemaknaan agama yang sebenarnya. Sehingga dalam hal ini Islam membuat
perbedaan antara din al hakk atau agama yang benar (quran surat 43:27, 9:33, 61:9) dan

6 L. Gardet, Din The Encyclopaedia of Islam (New Edition) Vol. II, (Leiden: J. Brill), 1965,

hal.293.
9
din al mubaddal atau agama yang tidak asli lagi, yakni agama yang tidak lagi berjalan
pada jalan yang lurus.

Menurut W.B. Sidjabat, yang termasuk dalam kategori din al mubaddal ialah
agama-agama yang telah beralih fungsi menjadi ketidakpercayaan, unbelief, atau
unglaube. Hal tersebut juga dipaparkan secara mendalam oleh Karl Bath, hanya saja
kemudian Karl Bath mengelompokkan lebih jauh terkait bentuk-bentuk unglaube
tersebut seperti misalnya Christendom. Karena menurutnya, Injil adalah sui generis atau
sesuatu yang mempunyai kategori tersendiri sehingga Injil tidak bisa dikategorikan
sebagai agama oleh Karl Barth. Akan tetapi pada akhirnya hal itu jugalah yang menjadi
titik kelemahan pada pola pikir Karl Barth, karena meskipun baginya Injil bukan
merupakan agama, namun penghayatan dan pengkomunikasiannya menggunakan
wahana-wahana yang bersifat religius.7

Dalam pandangan W.B. Sidjabat, adanya din al mubaddal adalah karena


proses degenerasi (pemburukan) yang disebabkan oleh faktor-faktor manusiawi pada
pihak manusia yang menganut agama tersebut. Seorang penganut agama memang sangat
rentan terpengaruh oleh magis, mistik yang subjektif, takhayul, maupun sensualitas. Hal
itulah yang kemudian berpengaruh besar menjatuhkannya ke dalam kategori din al
mubaddal. Seperti halnya praktik sensualitas dalam beberapa agama tertentu yang terjadi
sejak dulu hingga saat ini, sebagai contoh yang terjadi pada praktik agama di Timur
Tengah di mana dewa Dionysus atau Bacchus dipuja sebagai personifikasi dari anggur.
Dalam upacara-upacara keagamaannya tampaklah bahwa unsur sensualitas menjadi
begitu krusial, seperti yang dilakukan jika terjadi musim panen anggur di lembah yang
subur. Upacara minum anggur biasanya dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap
para dewa, yang kemudian dilanjutkan dengan hubungan seksual di kalangan pesertanya. 8
Peninggalan tempat kebaktian tersebut bahkan masih bisa dilihat di Baalbek, Libanon
yang hanya berjarak kurang lebih 60 km dari Beirut.
7 Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran , hal. 79.

8 James G. Frazer, The Golden Bough (Abridged Editon), (London: Macmillan Co.), 1933, hal.

386-387.
10
Corak agama atau aliran keagamaan seperti itu rupanya masih mendapat
pasaran yang cukup luas dewasa ini, terutama pada masyarakat yang industrinya sangat
tinggi sebagai pelepasan ketegangan dari persoalan kota-kota besar, kebisingan-
kebisingan akibat mesin-mesin, wahana-wahana kepadatan lalu lintas, pencemaran udara,
dan sebagainya. Segala kepenatan tersebut menjadikan banyaknya orang yang masih
memilih jalan agama sensualitas ini, sebagai contoh orang-orang di Eropa, Amerika,
Jepang, dan Australia. Bahkan tidak jarang pemakaian narkotika dan minuman keras
beralkohol tinggi digunakan sebagai unsur rangsangan dalam praktik agama tersebut. 9

Sadar akan hal-hal tersebut di atas, maka jelaslah bahwa tidak mudah
membuat rumusan detail terhadap agama. Dalam pandangan W.B. Sidjabat, bahkan
ketentuan yang selama ini berlaku umum bahwa yang dapat dianggap sebagai agama full
fledged adalah agama yang mempunyai (1) nabi atau rasul, (2) kitab suci, dan (3) umat,
pada kenyataannya sulit diterapkan bagi semua agama yang ada di dunia ini. Karena
ketentuan tersebut hanya mudah diterapkan khususnya pada ketiga agama yang
mengajarkan adanya wahyu dan secara historis dimulai di Timur Tengah, yakni:
1. Judaisme
2. Agama Kristen

3. Agama Islam

Ketentuan umum tersebut akan terasa lebih sulit jika diterapkan pada agama
Budha dan Hindu yang notabenenya mempunyai banyak kitab suci dan masih belum
pasti mana yang menjadi kitab suci utama. Bahkan akan terasa lebih sulit lagi jika
ketentuan tersebut diterapkan pada agama-agama dari Australia, Afrika, Amerika Latin,
dan Indonesia di mana berbagai aliran kepercayaan dan kebatinan yang tumbuh pada
umumnya memang tidak mempunyai kitab suci.10

9 Frederick J. Streng et. al,Ways of Being Religious, (Englewood Cliffs N. J: Frentice. Inc), 1973,

hal. 662-556.

10 Cf. Mircea Eliade, Australian Religions, (Ithaca and London: Cornell University Press), 1973,

hal.55.
11
B. Tujuan dan Fungsi Penelitian Agama-agama

1. Tujuan Penelitian Agama-agama

Tujuan pokok penelitian agama-agama dalam ilmu agama adalah untuk


hal-hal yang cenderung bersifat positif dan konstruktif serta menghindari
kecenderungan yang bersifat negatif dan destruktif. Dalam hal ini W.B. Sidjabat
mengemukakan beberapa rumusan fungsi dan tujuan dari penelitian agama, yaitu:

a. Membina hubungan yang akrab secara pribadi

Sebelum para penganut berbagai agama itu dapat berdialog, terlebih


dahulu meraka harus sudah dapat mengadakan hubungan baik secara akrab. Tidak
ada satupun agama di dunia ini yang pada asasnya melarang hubungan pribadi
yang akrab antara manusia-manusia beragama itu. Sebelum dialog antar umat
beragama itu menjadi begitu marak sejak tahun enam puluhan secara nasional dan
internasional, hubungan yang akrab secara pribadi antara penganut berbagai agama
seharusnya menjadi penekanan tersendiri di kalangan para penganut agama yang
baik.11

b. Memperdalam pengetahuan tentang anutan umat beragama lain

Agar hubungan yang akrab tersebut dapat berjalan dengan lebih baik,
dibutuhkan pengertian yang lebih mendalam terkait agama yang dianut maupun
agama-agama yang lain, khususnya dalam hal sumber-sumber (kitab suci, tradisi),
dasar-dasar pemikiran, ketentuan-ketentuan, praktik-praktik, dan tata kebaktian
agama tersebut untuk memperdalam pengetahuan sehingga terhindar dari salah
pengertian dalam memahami ajaran umat beragama lain.

Dalam usaha memperdalam pengetahuan, kita harus terbuka terhadap


hal-hal baru yang sebelumnya tidak kita ketahui meskipun tetap diperbolehkan
adanya sifat kritis. Sehingga horison kita akan bertambah luas, dan sikap mental

11 Cf. W.B. Sidjabat, Religious Tolerance and The Christian Faith, Princeton (Diss), 1960.
12
serta etis kita pun serentak akan menjadi lebih luwes. Pengertian seperti itulah yang
digaris bawahi oleh F. Max Muller, seperti yang dikatakannya, Dia yang hanya
mengetahui satu agama, tidak mengetahui apa-apa.12 Usaha memperdalam
pengetahuan pada agama akan menghindarkan sifat fanatisme dan tradisionalisme.

c. Membina etika religius di kalangan umat beragama agar saling menaruh respek

Apabila hubungan pribadi telah akrab dan pengertian atas dasar


pengetahuan yang mendalam tentang anutan pemeluk agama-agama lain telah
terbina dan berkembang, maka hasil logis yang timbul dari keadaan demikian ialah
sikap mental yang matang, sehingga menimbulkan disposisi yang membuat kita
gemar menaruh respek terhadap yang lain. Hybris (kecongkakan) rohani yang
merupakan faktor penghalang akan terwujudnya agama yang segar dan sehat pun
akan tersisih.13

Sebagai contoh, sikap peneliti Hegel yang menganggap bahwa agama


Hindu lebih rendah dari agama Kristen Protestan Jerman yang merupakan anutan
Hegel sendiri, karena kekristenan yang dianutnya sudah merupakan produk
perkembangan sejarah filsafat, teologi, kebudayaan Jerman, yang menurut dia lebih
tinggi dari yang lain. Sebaliknya S. Radhakrisnan, apologet ulung dari Hinduisme
abad XX itu mengatakan bahwa Hinduisme yang dianutnya itu lebih tinggi dari
agama orang Barat, karena spiritualisme yang lebih mendalam dikenal oleh dunia
timur dari pada dunia barat.

d. Merangsang kerjasama umat beragama secara praktis

Buah yang logis dari ketiga tujuan sebelumnya ialah, memungkinkan


adanya kerjasama antar umat beragama dalam hal-hal yang bersifat praktis, seperti
penanggulangan kemelaratan, penggemblengan mental pembangunan (di mana

12 Max Muller, Lecture on the Science of language, Vol. I, hal. 32.

13 Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran , hal. 83.


13
kebiasaan berkarya diutamakan, penghematan dibiasakan, waktu dihargai,
ketulusan dikembangkan, dan sebagainya), pengentasan kebodohan bagi seluruh
rakyat, dan peningkatan kesadaran tanggung jawab bernegara.

Terciptanya kerjasama secara praktis itu tidaklah dimaksudkan untuk


menyusun suatu liturgi atau tata kebaktian bersama. Sinkretisme harus tetap
dielakkan, karena hal itu biasanya tidak merangsang kedalaman penghayatan
agama yang dianut oleh seseorang. Yang diinginkan ialah kerja sama secara praktis
dalam hal-hal yang memberi hikmah dan faedah bagi rakyat, bangsa, dan negara.14

2. Fungsi dan Kegunaan Ilmu Agama-agama

Berikut beberapa fungsi dan kegunaan ilmu agama secara praktis dalam
pandangan W.B. Sidjabat:

a. Membina kesadaran beragama yang lebih mendalam

Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, maka jelaslah bahwa ilmu
agama mempunyai fungsi dan kegunaan untuk membina kesadaran beragama yang
lebih mendalam. Dengan itu dimaksudkan, bukan hanya sekedar mempunyai
pengetahuan umum tentang agama-agama yang dihadapi di dunia ini, melainkan
agar manusia juga dapat sampai kepada taraf mengadakan refleksi dan pengkajian,
mengapa ia menganut suatu agama, bagaimana filsafat hidupnya, katakanlah
weltans-chauung-nya di dalam menganut agama tersebut. Relativisme, agnotisisme
dan sinkretisme bukanlah tujuan pembinaan kesadaran beragama yang mendalam
ini.

b. Mempelopori sikap ilmiah (terbuka) terhadap kebenaran

14 Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta: Tiara

Wacana), 2004, 87.


14
Sekalipun kebenaran yang kita warisi dari generasi terdahulu perlu
dipelihara, namun dengan bertambahnya horison keilmuan seseorang, maka hal
tersebut semestinya membawa kepada keterbukaan terhadap kebenaran yang baru
diketahui. Sehingga seseorang tidak akan mudah merasa puas dengan prestasi
status quo nya.

c. Memupuk etika kerja, penghargaan waktu yang menunjang lancarnya


pembangunan

Dalam mengadakan studi yang mendalam dan meluas terkait ilmu


agama, pastilah kita akan berkenalan dengan berbagai sikap terhadap kerja dan
waktu. Tanpa membesar-besarkan kelemahan ajaran agama lain, secara praktis
akan kita mengetahui bahwa sikap mental yang sehat dan segar terhadap kerja dan
waktu sangatlah penting dalam kinerja pembangunan. Bekerja itu bukanlah hanya
untuk suatu kasta tertentu di dalam masyarakat, melainkan merupakan tugas
pribadi setiap warga masyarakat yang bersifat membangun. Sebagaimana
semboyan Martin Luther pada abad XVI yakni ora et labora, ketika mengadakan
pembaharuan di Jerman. Sehingga sejak periode reformasi itu terjadilah
perkembangan pembangunan yang luar biasa di Jerman.

d. Menjaga keseimbangan antara rohani dan jasmani

Melalui ilmu agama dapat dipelajari pula bahwa pandangan agama


tertentu yang mengadakan pemisahan tajam antara bidang rohani dan jasmani,
antara yang sacred dengan sekuler, akan membawa seseorang pada dualisme yang
sangat merugikan. Keprihatinan yang hanya mementingkan hal rohani akan menuju
pada isolasionisme dan askese, sehingga kurang menghiraukan keadaan yang
berlangsung dalam masyarakat di mana seseorang hidup dan bergerak serta
berkarya. Pada pihak lain, etika hidup yang hanya mementingkan jasmani, akan
mengutamakan hal-hal yang horisontal dan tidak ada kaitannya dengan rohani
sehingga norma-norma kehidupan akan beralih menjadi norma-norma yang
pragmatis belaka. Sebagai contoh para pengikut aliran beatnik dan hippies yang

15
berkeliaran di mana-mana dewasa ini. Bagi mereka, kekayaan material sudah
cukup, bahkan sering sudah berlebihan. Tetapi karena norma yang kuat tidak ada,
maka etika pribadinya adalah etika situasional yang relativistis.

e. Membantu pemerintah dalam pengadaan gambaran yang lebih lengkap tentang


konstelasi agama-agama di dalam masyarakat

Hasil penelitian agama seharusnya bersifat an sich atau netral untuk


maksud ilmiah. Dengan adanya tujuan ilmiah yang mengarah pada sesuatu yang
cenderung konstruktif dan positif, maka dapat dikatakan bahwa peran ilmu agama
dalam pembangunan tidaklah lebih kecil jika dibandingkan dengan bidang lain,
seperti eksakta maupun humaniora. Semua hasil penelitian tersebut bertanggung
jawab pada pembangunan dan pengembangan taraf kehidupan sebuah negara. 15

C. Distorsi Pada Tujuan Penelitian Agama

W.B Sidjabat mengemukakan bahwa sejak dulu hingga saat ini, selalu ada
pihak-pihak tertentu yang menyalahgunakan tujuan ilmiah dari sebuah penelitian agama
sehingga mengarah pada penyimpangan tujuan yang cenderung bersifat destruktif dan
negatif, beberapa bentuk distorsi tersebut dalam pandangannya antara lain adalah sebagai
berikut:

1. Dominasi politis, ekonomis, sosio-kultural, dan militer

Bukan rahasia lagi jika di masa lampau hasil penelitian ilmu agama sering
digunakan bukan untuk tujuan ilmiah melainkan untuk tujuan sampingan. Sebuah
penelitian ilmu agama yang pada prosesnya sudah dilakukan seilmiah mungkin dengan
memenuhi syarat-syarat akademis ilmiah pada kenyataannya hasilnya justru digunakan
untuk kegiatan-kegiatan yang mengarah pada dominasi atas penduduk yang diteliti
agamanya. Sebagai contoh penelitian ilmu agama yang dilakukan oleh dunia barat
dalam kaitannya dengan bidang-bidang ilmu pengetahuan lain seperti antropologi
budaya, etnologi, bahasa, sejarah, arkeologi dan militer yang hasilnya digunakan untuk
15 Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran , hal. 94-97.
16
memberi advis kepada pihak penjajah. Dana-dana penelitiannya pun berasal dari kas
pemerintah kolonial, berikut fasilitas bagi tenaga ahli peneliti dan jaminan keamanan
bagi si peneliti.

Sehingga tidaklah mengherankan jika masa keemasan beberapa universitas


maupun lembaga penelitian di berbagai negara penjajah justru berlangsung praktis
sejajar dengan masa kejayaan penjajahan (kolonial) di daerah yang didominasinya,
seperti Prancis dengan universitasnya di Paris (Sorbone), Inggris dengan Oxford dan
Cambridge, Belanda dengan Leiden dan Utrecht. Para guru besar dalam universitas
tersebut pun sering terdiri dari bekas militer dan tenaga peneliti yang dikirim ke daerah
penjajahan, seperti Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje seorang ahli agama Islam yang aktif
di Aceh dan Prof. Dr. W. K. H. Ypes yang merupakan bekas militer. Keduanya menjadi
guru besar terkenal di Leiden dalam bidangnya masing-masing. Bahkan Snouck
Hurgronje menghasilkan disertasi dan bukunya yang terkenal mengenai Mekka16, The
Achenese, dan Vespreide Geschriften (enam jilid) dalam rangka dominasi di Indonesia.

2. Dominasi satu agama atas agama lain

Sejak dulu hingga saat ini banyak penelitian agama yang dilakukan dari
kalangan zendeling atau misionaris. Motivasi terdalam mereka dalam melakukan
penelitian adalah untuk memahami agama-agama yang dihadapinya sebaik dan seteliti
mungkin agar dapat berkomunikasi dalam rangka menyampaikan amanat agama yang
diyakininya. Begitu banyak jejak penelitian misionaris yang jika diamati, akan terlihat
bahwa metode penelitian yang digunakan adalah dengan banyak menekankan
kelemahan-kelemahan pada pihak yang diteliti saja, sebagai contoh penelitian dari Dr.
B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1971), Dr. W. Wawer,
Muslime und Christen in der Republik Indonesia (1974) yang ditulis dengan sangat
seksama dan menggunakan data-data yang lengkap sebagai dasar pijakan, sehingga
jauh lebih teliti jika dibandingkan dengan metode penelitian yang digunakan pada abad
XVIII dan XIX.

16 Cf. W.B. Sidjabat, Religious Tolerance and The Christian Faith, Princeton (Diss), 1960.
17
Metode yang kita pelopori dewasa ini seharusnya merupakan metode
simpatetik ilmiah pada setiap tahapan yang diteliti. Metode tersebut dapat kita lihat
dalam tulisan-tulisan Philip K. Hitti, Azia S. Atiya, dan Edward J. Jurji yang
mengungkapkan kematangan iman pada pihak peneliti namun tetap menunjukkan sikap
luwes dan simpatik terhadap agama yang ditelitinya. Prof. Tk. H. Ismail Jakub, S.H.,
M.A, penulis Orientalisme dan Orientalisten sempat mengungkapkan komentarnya
terhadap metode simpatetik ilmiah yang digunakan Philip K. Hitti tersebut, sebagai
berikut: Walaupun ia seorang yang fanatik kepada agamanya, tetapi lantaran pandai ia
menulis, sehingga dapat diketahui, kecuali apa diteliti benar-benar. 17

Metode tersebut pada akhirnya diikuti oleh sejumlah peneliti agama dari
kalangan Kristen Indonesia dan juga digunakan oleh W.B. Sidjabat sendiri dalam
tulisan-tulisannya. Tujuan yang ingin dicapai dalam metode tersebut adalah pengertian
yang mendalam dan bukan dominasi atas penganut agama lain. Penghayatan terhadap
agama yang dianut memang sebaiknya dilakukan dalam hubungan yang ditandai oleh
pengertian dan komunikasi yang segar antara yang satu dengan yang lain.

3. Mencari-cari kelemahan ajaran agama atau agama-agama lain

Dengan menggunakan metode simpatetik ilmiah dalam penelitian


agama-agama, maka jelaslah bahwa orientasi penelitian ilmu agama yang perlu
dikembangkan seharusnya bukanlah cenderung hanya untuk mencari-cari kelemahan
ajaran agama ataupun praktik-praktik agama lain. Menurut W.B. Sidjabat, metode
penelitian yang hanya cenderung memperbesar kekurangan pihak lain tetapi enggan
melihat atau mengakui kelemahan dan kekurangan diri sendiri disebut sebagai metode
polemis apologetis yang pada akhirnya tidak akan membawa para penganut agama ke
arah saling pengertian, melainkan justru menimbulkan mis-understanding.18

17 Tk. H. Ismail Jacub, Orientalisme dan Orientalisten, (Surabaya: CV. Faizan), 1971, hal. 145.

18 Ibid., 85-93.
18
Motto yang diwarisi dari nenek moyang berupa asih-asah-asuh perlu
juga diterapkan dalam ilmu agama. Dalam rangka mengasuh hubungan baik antar
penganut agama, maka proses mengasah antara satu dengan yang lainnya patutlah
dilakukan dalam hubungan asih (kasih sayang, artinya mirip dengan kata agape dalam
bahasa Yunani), sebuah hubungan di mana konteks ilmu agama tersebut dilaksanakan.
Jika proses tersebut berjalan dengan baik, maka koeksistensi dan proeksistensi para
penganut agama dapat menjadi kenyataan dalam kehidupan sehari-hari dan toleransi
positif antar umat beragama dapat terwujud karena kebenaran yang diinginkan oleh
masing-masing penganut agama tidak lagi dicapai dengan mengisolasi diri dari
penganut agama lain.

Sumbangan Keilmuan Dalam Bidang Keilmuan

Pembahasan mengenai hasil pemikiran W.B. Sidjabat, memberikan suatu


kontribusi keilmuan yang penting dalam ranah ilmu agama. Pengetahuan tentang makna
agama akan berguna sebagai bangunan dasar kesadaran umat beragama terhadap agama yang
dianut secara lebih mendalam, sehingga hakikat beragama tidak sekedar menjadi
pengetahuan umum tentang aktivitas keagamaan serta formalitas kehidupan beragama saja,
melaikan dapat menimbulkan pemikiran yang jernih terkait filsafat hidup seseorang dalam
beragama.

Penjabaran terkait bidang cakup (scope) ilmu agama akan mempermudah seorang
peneliti dalam menentukan objek kajian dan metodologi yang akan digunakan dalam
penelitiannya. Sedangkan rumusan terkait tujuan dan fungsi penelitian agama akan
menumbuhkan sikap mental yang segar dan sehat terhadap praktik keagamaan sehingga
tujuan dari pengkajian agama yang positif dan konstruktif dalam pembangunan dapat
tercapai.

Kesimpulan

Pembahasan terkait pemikiran W.B. Sidjabat dalam hal agama dan bidang cakup
(scope) ilmu agama menghasilkan beberapa kesimpulan, yakni sebagai berikut:

19
1. Perlunya pemahaman yang benar terhadap bidang cakup (scope) yang dimaksudkan dalam
objek kajian penelitian. Dalam hal ini, W.B. Sidjabat berpendapat bahwa bidang cakup
(scope) ilmu agama disandarkan pada pemahaman seseorang terhadap pengertian agama
itu sendiri, baik melalui perspektif filologis, maupun perspektif lainnya. Sehingga
metodologi yang digunakan dalam penelitian agama akan semakin relevan dengan bidang
cakupnya.

2. Tujuan dari penelitian agama-agama menurut W.B. Sidjabat ialah membina hubungan yang
akrab secara pribadi antara berbagai agama, membina etika religius di kalangan umat
beragama, memperdalam pengetahuan tentang anutan umat beragama lain, dan
merangsang kerjasama antar umat beragama secara praktis.

3. Fungsi dan kegunaan ilmu agama-agama menurut W.B. Sidjabat adalah membina kesadaran
beragama yang lebih mendalam, mempelopori sikap ilmiah (terbuka) terhadapat
kebenaran, memupuk etika kerja, penghargaan waktu yang menunjang lancarnya
pembangunan, menjaga keseimbangan antara rohani dengan jasmani, membantu
pemerintah dalam pengadaan gambaran yang lebih lengkap tentang kenstelasi agama-
agama di dalam masyarakat.

4. Beberapa bentuk distorsi pada tujuan penelitian agama dalam pandangan W.B. Sidjabat
adalah manipulasi politik, ekonomi, dan sosial budaya, dominasi satu agama atas agama
yang lain, dan mencari-cari kelemahan agama lain.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, dan Rusli Karim. 2004. Metodologi Penelitian Agama (Suatu Pengantar).

Yogyakarta: Tiara Wacana.

Abbas, Zainal Arifin. 1957. Pengembangan Fikiran Terhadap Agama. Medan: Firma

Islamiyah.

20
Amin, Abdullah. Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner. 2006.

Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga.

Cf. W.B. Sidjabat. 1979. Peranan Agama Dalam Negara Pancasila. Jakarta: STT.

Jacub, Tk. H. Ismail, Orientalisme dan Orientalisten. 1971. Surabaya: CV. Faizan.

L. Mardiwarsito. Kamus Jawa Kuno Indonesia. 1978. Ende Flores: Nusa Indah.

Sumardi, Mulyanto. 1982. Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran. Jakarta: PT. Sinar

Agape Press.

21

You might also like