You are on page 1of 10

Halaman 28

Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat


Ni Wayan Sartini
Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)

MENGGALI NILAI KEARIFAN LOKAL BUDAYA JAWA


LEWAT UNGKAPAN (BEBASAN, SALOKA, DAN PARIBASA)

Ni Wayan Sartini
Universitas Airlangga

Abstract
One of the local genius in Indonesia is Javanese local genius like idiomatic expressions.
This expressions are fully loaded with cultural values. The cultural values influence
Javanese society too much. By using data from saloka, bebasan and paribasa, this research
attempt to investigate these cultural values as reflected in the linguistic expressions. There
are five idiomatic expressions in Javanese culture found from this research such as (1)
expressions which are describe bahave and ideology; (b) expressions which are related
with strong will; (3) expressions which are describe relationship human and God, (4)
relationship between humans, (5) expressions which reflect bad bahave.

Key words: local genius, cultural values, idiomatic expression

1. LATAR BELAKANG tradisi, tata nilai dan kebudayaan masyarakat


Saat ini peradaban manusia sudah demikian maju. lingkungannya juga terekam di dalam bahasa
Itu terbukti dari budaya-budaya modern yang daerah tersebut. Bahkan ada beberapa masyarakat
muncul telah mengisi dimensi-dimensi kehidupan sangat membanggakan bahasa daerahnya.
manusia mulai dari kehidupan rumah tangga Akibatnya, muncul sikap-sikap meremehkan
sampai pada kemajuan teknologi industri dan bahasa dan budaya lain.
informasi. Begitu juga, dunia pendidikan saat ini Pada saat ini di Indonesia tengah terjadi
sudah jauh berbeda dengan model-model persaingan antara bahasa daerah dan bahasa
pendidikan pada zaman dahulu. Hal itu Indonesia. Ada semacam kekhawatiran bahasa-
menandakan bahwa masyarakat sudah menikmati bahasa daerah akan punah karena terdesak oleh
hasil cipta, rasa, dan karsa yang berupa hasil-hasil bahasa Indonesia dan dikawatirkan juga
budaya yang tergolong modern. Berbagai memudarnya nilai-nilai budaya yang ada dalam
perubahan yang terjadi di Indonesia tidak hanya bahasa daerah tersebut. Secara teoretis persaingan
menyangkut tatanan kehidupan sosial ekonomi, bahasa dan budaya daerah dapat dijelaskan
juga politik, kebahasaan dan kebudayaan. Kontak sebagai berikut. Hadirnya dua bahasa atau lebih
bahasa mengakibatkan kontak budaya atau dalam suatu wilayah dan masyarakat dapat
sebaliknya kontak budaya mengakibatkan kontak menjurus kepada tiga kemungkinan. Pertama, ada
bahasa. Hal ini terjadi karena efek dari dunia semacam koeksistensi damai di antara kedua
global dalam era globalisasi. Semua jarak dan bahasa tersebut. Artinya, warga masyarakat yang
ruang terasa dekat karena kemajuan teknologi. bersangkutan menggunakan B1 atau B2 secara
Di tengah kemajuan zaman seperti itu bebas referensi. Pemilihan B1 atau B2 semata-
tentu kita tidak boleh melupakan akar budaya yang mata didasarkan kepada dalil sosiolinguistik, yaitu
telah ada karena budaya-budaya itu mengandung siapa berbicara, kepada siapa, di mana, kapan,
nilai-nilai yang sangat luhur yang perlu tetap tentang apa, dan sebagainya. Kedua, B1 dan B2
dilestarikan. Itulah kearifan lokal yang perlu terus setelah masa yang lama berpadu menjadi semacam
digali di samping tetap menikmati kebudayaan antarbahasa (interlanguage) yang barangkali
yang modern. Melupakan kearifan lokal yang ada diawali oleh interferensi dari B1 ketika warga
berarti mengingkari eksistensi warisan budaya menggunakan B2, atau sebaliknya. Perubahan dari
nenek moyang yang sangat bernilai tinggi. Salah dua sistem bahasa menjadi satu sistem itu tentu
satu kearifan lokal yang ada di seluruh nusantara saja memerlukan waktu yang lama sekali.
adalah bahasa dan budaya daerah. Kemungkinan ketiga yang timbul dari adanya
Bahasa daerah merupakan salah satu kehadiran dua bahasa di dalam suatu masyarakat
bahasa yang dikuasai oleh hampir seluruh anggota adalah bahwa lama-lama warga masyarakat itu
masyarakat pemiliknya yang tinggal di daerah itu. mempunyai preferensi bahasa apa yang akan
Oleh karena itu, sangat wajar jika adat, kebiasaan, dipakai di dalam suatu interaksi (Gunarwan
2006:96). Kemungkinan-kemungkinan tersebut

LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Universitas Sumatera Utara


Halaman 29
Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat
Ni Wayan Sartini
Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)

pada dasarnya juga akan diikuti oleh ketidaklangsungan merupakan cermin budaya
kemungkinan-kemungkinan pergeseran budaya Jawa yang sangat khas bagi masyarakat Jawa.
beserta nilai-nilai yang ada dalam bahasa daerah Sebaliknya, kebudayaan Jawa akan terus
tersebut. bersimbiosis mutualistis dengan bahasanya.
Melihat kenyataan dan kemungkinan di Budaya Jawa dari zaman dahulu terkenal
atas, tentu harus ada kesadaran masyarakat sebagai budaya adiluhung yang menyimpan
pendukung sebuah bahasa untuk melestarikan banyak nilai yang sangat luhur mulai dari etika dan
bahasa dan budaya daerahnya agar generasi sopan santun di dalam rumah sampai sopan
selanjutnya bisa mewarisi bahasa dan budaya santun di ranah publik. Bagaimana mengeluarkan
daerah tersebut. Salah satu usaha yang mungkin pendapat, berbicara kepada orang tua, berpakaian,
bisa dilakukan adalah dengan memberikan dan makan, memperlakukan orang lain dan sebagainya
mengajarkan serta mendidik anak-anak dengan semuanya telah ada dalam budaya Jawa. Bahasa
beberapa petuah lewat ungkapan-ungkapan serta dijadikan sebagai alat untuk memahami budaya,
menjelaskan nilai-nilai yang ada dalam ungkapan, baik yang sekarang ada maupun yang telah
peribahasa yang ada dalam bahasa daerah tersebut. diawetkan dan yang akan datang (dengan cara
Masyarakat Jawa termasuk salah satu mewariskannya). Tanpa bahasa tidak akan ada
etnis yang sangat bangga dengan bahasa dan budaya. Setiap masyarakat budaya
budayanya meskipun kadang-kadang mereka mempertahankan konsepnya melalui nilai budaya
sudah tidak mampu lagi menggunakan bahasa dan sistem budaya dengan mempertahankan
Jawa secara aktif dengan undha-usuknya, serta fungsi, satuan, batas, bentuk, lingkungan,
tidak begitu paham dengan kebudayannya. Dalam hubungan, proses, masukan, keluaran, dan
pandangan beberapa orang, bahasa dan budaya pertukaran (Soeleman 1988). Oleh karena itu,
Jawa termasuk budaya kuna dan feodal yang tinggi rendahnya nilai budaya sangat bergantung
sudah tidak relevan dengan situasi masa kini. pada pertahanan masyarakatnya dalam
Padahal, dalam era sekarang ini dibutuhkan mengoperasionalkan sistem tersebut
pedoman dan nilai-nilai agar bangsa ini menjadi (Djajasudarma 2002).
bangsa yang arif dan bijaksana penuh kedamaian Salah satu unsur bahasa yang cenderung
dengan toleransi yang tinggi antara satu suku dan baku dan beku dari segi struktur maupun makna
suku lainnya. Untuk itu, perlu digali kearifan lokal adalah unsur yang disebut ungkapan dan
dalam bentuk apa pun yang mengandung nilai peribahasa (secara universal unsur ini dimiliki
budaya yang tinggi dan adiluhung. bahasa-bahasa yang ada di dunia). Unsur tersebut
Budaya Jawa penuh dengan simbol diwariskan turun- temurun sampai saat ini
sehingga dikatakan budaya Jawa adalah budaya meskipun dari segi budaya sudah berubah.
simbolis. Sebagai contoh adalah tradisi wiwahan. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk
Simbol-simbol wiwahan terdapat di dalam upacara memahami budaya memahami budaya etnis. Salah
perkawinan adat Jawa. Dalam pengertian ini satunya adalah mengkaji dan memahami
simbol-simbol wiwahan sangat berkaitan erat ungkapan seperti paribasa, bebasan, dan saloka
dengan kehidupan masyarakat Jawa, suatu yang terdapat dalam bahasa daerah dan budaya
kehidupan yang mengungkapkan perilaku dan tersebut seperti dalam bahasa dan budaya Jawa.
perasaan manusianya melalui berbagai upacara Dalam bentuk-bentuk kebahasaan tersebut
adat (Budianto 2002:86). Simbol-simbol yang terkandung nilai budaya yang tidak pernah disadari
digunakan sampai kini mengandung nilai-nilai oleh generasi masa kini bahkan dianggap sebagai
budaya, etika, moral sangat penting dijelaskan warisan budaya yang hanya perlu diketahui oleh
kepada generasi selanjutnya. Itu merupakan salah orang-orang tua. Dalam kondisi bangsa Indonesia
satu produk budaya yang merupakan kearifan lokal yang sangat terpuruk dalam etika dan sopan santun
yang perlu terus dipahami dan diresapi oleh seperti saat ini perlu disosialisasikan dan
masyarakatnya. ditanamkan nilai-nilai budaya lokal, baik lewat
Bahasa Jawa sebagai produk masyarakat jalur formal maupun nonformal. Sudah saatnya
Jawa mencerminkan budaya Jawa. Sifat dan kembali ditanamkan pendidikan budi pekerti
perilaku masyarakat Jawa dapat dilihat melalui dengan menggali aspek-aspek budaya setempat
bahasa atau kegiatan berbahasanya. Begitu juga agar generasi selanjutnya tidak tercerabut akarnya
perkembangan kebudayaan Jawa akan dapat karena lebih mengagungkan budaya lain
memperkaya bahasa Jawa pada seluruh aspeknya. khususnya budaya Barat.
Paribahasa, ungkapan, bebasan, dan saloka Berdasarkan hal-hal tersebut, perlu
sebagai salah satu bentuk penggunaan bahasa diadakan penelitian dan inventarisasi ungkapan,
dapat mencerminkan sifat dan kepribadian paribasan, bebasan, serta saloka dalam bahasa
pemakainya. Lebih-lebih ungkapan yang bermakna Jawa. Penelitian ini penting karena nilai-nilai

LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Universitas Sumatera Utara


Halaman 30
Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat
Ni Wayan Sartini
Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)

budaya lokal atau kearifan lokal tersebut berperilaku dan juga menjadi patokan untuk
mengandung pedoman etika, pandangan hidup, menilai dan mencermati bagaimana individu dan
tradisi, falsafah, dan sebagainya yang bisa kelompok bertindak dan berperilaku. Jadi, sistem
dijadikan sebagai salah satu keseimbangan hidup nilai dapat dikatakan sebagai norma standar dalam
dalam negara yang heterogen ini. Di samping itu, kehidupan bermasyarakat. Djajasudarma dkk.
butir-butir nilai yang terkandung dalam ungkapan- (1997:13) mengemukakan bahwa sistem nilai
ungkapan bahasa Jawa dapat dijadikan embrio begitu kuat meresap dan berakar di dalam jiwa
butir-butir nilai kebudayaan nasional bangsa kita. masyarakat sehingga sulit diganti atau diubah
Berdasarkan latar belakang di atas, dalam tulisan dalam waktu singkat.
ini akan dikaji nilai-nilai yang terkandung dalam Dari kutipan di atas, bahasa merupakan
paribasa, bebasan, dan saloka sebagai salah satu medium untuk menampilkan makna budaya yang
kearifan lokal budaya Jawa. di dalamnya terkandung nilai. Secara definitif,
Theodore (1979:455) mengemukakan bahwa nilai
2. TINJAUAN PUSTAKA merupakan sesuatu yang abstrak, dijadikan
Di Amerika ilmu yang mengkaji masalah ini pedoman serta prinsip-prinsip umum dalam
dinamakan antropologi linguistik dengan bertindak dan bertingkah laku. Keterikatan orang
variannya linguistik antropologi dan dipelopori atau kelompok terhadap nilai menurut Theodore
oleh Franz Boas, sedangkan di Eropa dipakai relatif sangat kuat dan bahkan bersifat emosional.
istilah etnolinguistik (Duranti 1997). Pada Oleh karena itu, nilai dapat dilihat sebagai
dasarnya, antropologi linguistik, linguistik pedoman bertindak dan sekaligus sebagai tujuan
kebudayaan, etnolinguistik secara umum memiliki kehidupan manusia itu sendiri.
kesamaan (Crystal 1992; Duranti 2001:1-2). Menurut Koentjaraningrat (1987:85), nilai
Malinowski (dalam Hymes 1964:4) budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup
mengemukakan bahwa melalui etnolinguistik kita dalam alam pikiran sebagian besar warga
dapat menelusuri bagaimana bentuk-bentuk masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap
linguistik dipengaruhi oleh aspek budaya, sosial, amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu
mental dan psikologis; apa hakikat bentuk dan masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam
makna serta bagaimana hubungan keduanya. bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang
Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi dimiliki seseorang memengaruhinya dalam
cenderung dipandang sebagai fungsi kontrol atau menentukan alternatif, cara-cara, alat-alat, dan
suatu tindakan untuk saling memengaruhi tujuan-tujuan perbuatan yang tersedia (Kluckohn
partisipan dalam suatu pertuturan (Hymes 1964:5). 1952:359). Lebih lanjut, Kluckkohn mengatakan
Franz Boas adalah salah seorang yang bahwa nilai budaya adalah konsepsi umum yang
berkontribusi dalam pengembangan antropologi terorganisasi, memengaruhi perilaku yang
linguistik. Gagasannya sangat berpengaruh berhubungan dengan alam, kedudukan manusia
terhadap Sapir dan Whorf sehingga melahirkan dalam alam, hubungan orang dengan orang dan
konsep relativitas bahasa. Menurut tokoh ini hal-hal yang diingini dan tak diingini yang
bahasa tidak bisa dipisahkan dari fakta sosial mungkin bertalian dengan hubungan antara orang
budaya masyarakat pendukungnya. Salah satu dengan lingkungan dan sesama manusia. Ada lima
kontribusi Sapir (dalam Bonvillain 1997:49) yang masalah pokok kehidupan manusia dalam setiap
sangat terkenal adalah gagasannya yang kebudayaan yang dapat ditemukan secara
menyatakan bahwa analisis terhadap kosakata universal. Menurut Kluckohn (1961), kelima
suatu bahasa sangat penting untuk menguak masalah pokok tersebut alah (1) hakikat hidup, (2)
lingkungan fisik dan sosial di mana penutur suatu hakikat karya manusia, (3) hakikat kedudukan
bahasa bermukim. Hubungan antara kosakata dan manusia, (4) hakikat hubungan manusia dengan
nilai budaya bersifat multidireksional. alam sekitar dan (5) hakikat dari hubungan
Nilai adalah sesuatu yang menyangkut manusia dengan manusia sesamanya.
baik dan buruk. Pepper (dalam Djajasudarma Konsep nilai di dalam ungkapan
1997:12) menyatakan bahwa batasan nilai berfungsi untuk menggambarkan budaya yang
mengacu pada minat, kesukaan, pilihan, tugas, merekat masyarakatnya dalam kesatuan aktivitas
kewajiban, agama, kebutuhan, keamanan, hasrat, yang berupa anjuran, larangan, pedoman untuk
keengganan, atraksi, perasaan, dan orientasi bertindak yang patut dipertahankan karena
seleksinya. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang bermuatan positif dalam menentukan sikap hidup.
baik dan buruk dapat disebut sebagai nilai. Sistem Di samping itu, ada pula makna ungkapan yang
nilai termasuk nilai budaya dan merupakan memudar nilainya karena tidak baik dilakukan
pedoman yang dianut oleh setiap anggota pada situasi tertentu. Dalam ungkapan ada pula
masyarakat terutama dalam bersikap dan nilai yang bersifat generik, artinya berlaku umum

LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Universitas Sumatera Utara


Halaman 31
Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat
Ni Wayan Sartini
Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)

tidak menyangkut pedoman yang baik atau buruk, secara alamiah terlihat pada bentuk sosialisasi atau
misalnya penggambaran orang yang selalu penyesuaian diri manusia yang beragam.
menurut kepada seseorang, digambarkan dalam Sehubungan dengan adanya ungkapan,
bahasa Indonesia Seperti kerbau dicucuk peribahasa, saloka dan slogan-slogan dalam
hidungnya. budaya yang berbeda, Kramsch (2001:11, 77) juga
Ungkapan yang meliputi peribahasa, mengemukakan bahwa orang berbicara dengan
saloka, dan bebasan merupakan bagian dari cara yang berbeda karena berpikir dengan cara
komunikasi sistem budaya (Dundes dan Arewa yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang
1964). Ungkapan-ungkapan tersebut yang meliputi berbeda karena bahasa mereka menawarkan cara
peribahasa dan sebagainya (bahasa) mengungkapkan makna dunia luar di sekitar
mengategorisasi realitas budaya (Duranti 1997:25; mereka dengan cara yang berbeda pula. Ini
Foley 1997:16) dan mengandung nilai-nilai budaya gagasan dasar teori relativitas linguistik yang
yang dalam masyarakat Jawa dijadikan pedoman dipegang oleh Boas, Sapir, dan Whorf dalam
serta prinsip-prinsip umum dalam bertindak dan kajian mereka tentang bahasa-bahasa Indian
bertingkah laku. Tentu saja ungkapan-ungkapan Amerika. Pandangan Whorf mengenai adanya
yang bernilai positif. Nilai-nilai yang terkandung saling ketergantungan antara bahasa dengan
dalam ungkapan-ungkapan tersebut terdiri atas pikiran dianalis dengan hipotesis Sapir-Whorf.
konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran Hipotesis tersebut lebih tegas menyatakan bahwa
masyarakat dan dianggap amat mulia karena nilai- struktur bahasa, suatu yang digunakan secara terus
nilai itu juga dianggap dapat menjadi penuntun menerus memengaruhi cara seseorang berpikir dan
dalam bersikap, berkata, dan bertingkah laku. berperilaku. Bahasa dapat dikatakan sebagai
Bahasa menampakkan sistem klasifikasi bagian integral dari manusia, bahasa menyerap
yang dapat digunakan untuk menelusuri praktik- setiap pikiran dan cara penuturnya memandang
praktik budaya dalam suatu masyarakat. Model- dunianya.
model budaya yang dimaksudkan di sini mencakup Hubungan antara bahasa, budaya dan
mentalitas kerja, persepsi, sikap, perilaku, etika, pikiran, sejauh ini tercermin dalam teori
dan moral. Kebudayaan menentukan bahasa. Relativitas Linguistik dan Hipotesis Sapir-Whorf
Artinya, segala perilaku manusia dalam suatu dengan hipotesisnya yang menyatakan bahwa
masyarakat akan menentukan bahasa yang persepsi kita terhadap realitas dipengaruhi oleh
digunakan. Segala hasil cipta, rasa, karsa, dan bahasa pertama yang kita miliki. Berhubungan
karya masyarakat dapat menentukan bunyi, dengan nilai-nilai budaya, Hudson menyatakan
kosakata, struktur kalimat, retorika, atau ungkapan bahwa nilai-nilai budaya yang kita anut akan
dan peribasa. Selama ini ada pandangan bahwa tercermin dalam tingkah laku kebahasaan kita. Hal
masyarakat Jawa tidak suka menyakiti hati atau ini juga dapat dikaitkan dengan pemikiran
mempermalukan orang lain di hadapan orang Saussure tentang penanda dan petanda dengan
banyak, tidak suka menonjolkan diri, dan menambahkan konsep mutakhir berupa
sebagainya. Akibatnya, bahasa Jawa sangat kaya leksikalisasi, gramatikalisasi, dan verbalisasi.
dengan ungkapan-ungkapan dan peribahasa yang Menurut Wardhaugh (1988:212),
di dalamnya tersirat kritikan, larangan, nasihat, dan pendapat yang ada tentang keterhubungan antara
banyak tuturan yang berbentuk pasif. bahasa dan kebudayaan yang cukup lama bertahan
Bahasa dapat dikatakan sebagai adalah (i) struktur bahasa menentukan cara-cara
kemampuan manusia untuk berkomunikasi melalui penutur bahasa tersebut memandang dunianya, (ii)
penggunaan jenis tanda tertentu yang disusun budaya masyarakat tercermin dalam bahasa yang
dalam unit dan sistem tertentu pula. Menurut mereka pakai karena mereka memiliki segala
Foley (1997:27), bahasa adalah sistem tanda sesuatu dan melakukannya dengan cara tertentu
dengan kaidah-kaidah penggabungannya. Prinsip- yang mencerminkan apa yang mereka nilai dan apa
prinsip kaidah penggabungan tanda-tanda untuk yang mereka lakukan. Dalam pandangan ini,
membentuk kalimat itulah yang disebut tatabahasa perangkat-perangkat budaya tidak menentukan
yang bersangkutan. Kramsch (2001:6) struktur bahasa, tetapi perangkat-perangkat
berpendapat bahwa bahasa adalah wahana tersebut jelas memengaruhi bagaimana bahasa
mendasar bagi manusia untuk melakukan digunakan dan mungkin menentukan mengapa
kehidupan sosial. Ketika digunakan untuk butiran-butiran budaya tersebut merupakan cara
berkomunikasi, bahasa terikat dengan budaya berbahasa, (iii) ada sedikit atau tidak hubungan
secara berlapis dan rumit. Bahasa mengungkapkan atau tidak sama sekali antara bahasa dan budaya.
kenyataan budaya, bahasa mewujudkan kenyataan Bahasa dan budaya saling menentukan
budaya, dan bahasa melambangkan kenyataan atau saling memengaruhi. Jika bahasa suatu bangsa
budaya. Kunci bahwa bahasa dan budaya terjadi berkembang, kebudayaan bangsa itu juga akan

LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Universitas Sumatera Utara


Halaman 32
Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat
Ni Wayan Sartini
Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)

terus berkembang, atau sebaliknya. Perkembangan budaya dalam masyarakat. Model-model budaya
kebudayaan masyarakat Jawa akan semakin dapat dimunculkan secara eksplisit melalui
mengembangkan bahasa Jawa. Selama masyarakat ungkapan (Bonvillain 1997:48). Model-model
Jawa masih hidup dan tetap berbahasa Jawa, budaya yang dimaksudkan di sini mencakup
kebudayaan Jawa akan terus berkembang dan mentalitas, persepsi, sikap, perilaku, etika, dan
perkembangannya akan memengaruhi moral. Ungkapan sebagai salah satu bentuk budaya
perkembangan bahasa Jawa, atau sebaliknya. tentu mengandung hal-hal tersebut yang disebut
Bahasa Jawa sebagai produk masyarakat nilai budaya. Berikut ini dijelaskan nilai-nilai yang
Jawa mencerminkan budaya Jawa. Sifat dan terdapat dalam ungkapan bahasa Jawa.
perilaku budaya masyarakat Jawa dapat dilihat
melalui bahasa atau kegiatan berbahasanya. Begitu 3.1 Ungkapan yang Menggambarkan Sikap
juga, perkembangan kebudayaan Jawa akan dapat dan Pandangan Hidup
memperkaya bahasa Jawa pada seluruh aspeknya. Sikap hidup adalah cara sesorang
Ungkapan sebagai salah satu bentuk penggunaan memberi makna terhadap kehidupannya. Sikap
bahasa dapat mencerminkan sifat dan kepribadian hidup ini diperlihatkan untuk diri sendiri, atau
pemakainya. Lebih-lebih ungkapan yang bermakna untuk orang lain yang berstatus sosial lebih tinggi
ketidaklangsungan benar-benar dapat seperti pimpinan, atasan, atau orang tua (Pranowo
mencerminkan budaya Jawa yang sangat khas bagi 2003:280). Masyarakat Jawa sangat
masyarakat Jawa. Sebaliknya, kebudayaan Jawa memperhatikan sikap-sikap hidup yang sederhana,
akan terus bersimbiosis mutualis dengan penuh tanggung jawab, sangat menghargai
bahasanya (Pranowo 2003:274). perasaan orang lain, berbudi bawa leksana serta
Sehubungan dengan adanya hubungan selalu rendah hati. Sikap aja dumeh, aja adigang,
yang erat antara bahasa dan budaya, dalam bahasa aja adigung, aja adiguna, selalu ditekankan pada
Jawa terdapat banyak ungkapan, peribahasa, masyarakat Jawa agar selalu menjadi orang yang
bebasan, dan saloka. Semuanya mengandung rendah hati, berbudi baik dan menghargai orang
nilai-nilai yang mencerminkan latar belakang lain.
budaya masyarakatnya. Jadi, bentuk ungkapan 1. Giri lusi janna kena ingina tidak boleh
seperti peribahasa, bebasan, dan saloka adalah menghina orang lain
wujud konkret bahasa, sedangkan nilai-nilai yang 2. Alon-alon waton kelakon
terkandung di dalamnya mencerminkan budaya 3. Hamangku, hamengku, hamengkoni.
masyarakatnya. Biasanya berbagai maksud itu
4. Ing arsa sung tuladha, ing madya mangun
merupakan (1) gambaran akan adanya Tuhan, (2)
karsa, tut wuri handayani
gambaran mengenai sikap dan hidup, (3) cara
5. Melu handarbeni, melu hangrungkebi,
memberi nasihat, kritik, peringatan, (4) gambaran
mulat sarira hangrasa wan.
mengenai tekad yang kuat. Di samping itu, ada
6. Nglurug tanpa bala, menang tanpa
juga ungkapan yang mencerminkana sifat tidak
baik pada orang Jawa dan tidak perlu angsorake
dikembangkan oleh siapa pun. 7. Weweh tanpa kelangan
Ungkapan dalam bahasa Jawa bermacam- 8. Yitna yuwana, lena kena
macam jenisnya, antara lain bebasan, paribasan 9. Kencana wingka
dan saloka. Bebasan adalah ungkapan yang 10. Sepi ing pamrih rame ing gawe orang
memiliki makna kias dan mengandung yang bekerja sungguh-sungguh tanpa
perumpamaan pada keadaan yang dikiaskan, menginginkan imbalan
misalnya nabok nyilih tangan. Paribasan adalah
ungkapan yang memiliki makna kias, namun tidak Lebih jauh, ungkapan-ungkapan tersebut
mengandung perumpamaan, misalnya dudu sana dapat dijabarkan bahwa masyarakat Jawa memiliki
dudu kadang, yen mati melu kelangan. Saloka pandangan luwih becik alon-alon waton kelakon,
adalah ungkapan yang memiliki makna kiasan dan tinimbang kebat kliwat mengandung nilai bahwa
mengandung perumpamaan pada subjek yang salah satu sikap hidup orang Jawa yang tidak ingin
dikiaskan, misalnya kebo nusu gudel. gagal dalam meraih apa yang diinginkan. Kata
alon-alon di dalamnya sebenarnya tersirat makna
3. NILAI-NILAI YANG cara. Jadi, alon-alon hanyalah cara bagaimana
seseorang akan mencapai tujuan karena yang
TERKANDUNG DALAM
penting adalah kriteria yaitu waton kelakon (harus
PARIBASAN, BEBASAN, DAN terlaksana) daripada kebat kliwat (tergesa-gesa
SALOKA tetapi gagal).
Bahasa menampakkan sistem klasifikasi yang Ketika menjadi pemimpin, orang Jawa
dapat digunakan untuk menelusuri praktik-praktik memiliki beberapa semboyan dan pandangan

LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Universitas Sumatera Utara


Halaman 33
Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat
Ni Wayan Sartini
Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)

hidup yang selalu harus dilaksanakan agar seorang pemimpin harus selalu bersikap dermawan
kepemimpinannya dapat berjalan dengan baik kepada orang lain yang kekurangan. Seorang
karena diiringi dengan sikap-sikap yang arif dan pemimpin sejati memiliki sikap dan pandangan
bijaksana. Sikap dan pandangan itu antara lain weweh tanpa kelangan (memberi tanpa harus
ialah seorang pemimpin harus dapat hamangku, kehilangan sesuatu) karena seorang pemimpin
hamengku, hamengkoni. Hamangku diartikan sugih tanpa bandha (kaya tanpa harta). Itulah
sebagai sikap dan pandangan yang harus berani beberapa ungkapan yang merupakan kearifan lokal
bertanggung jawab terhadap kewajibannya, dalam budaya Jawa yang penuh dengan nilai-nilai
hamengku diartikan sebagai sikap dan pandangan luhur untuk seorang pemimpin. Sebaiknya
yang harus berani ngrengkuh (mengaku sebagai ungkapan-ungkapan seperti mulai diajarkan dan
kewajibannya dan hamengkoni dalam arti selalu dikenalkan pada generasi muda saat ini agar ke
bersikap berani melindungi dalam segala situasi. depan ketika mereka memimpin memiliki dasar
Jadi, seorang pemimpin dalam pandangan nilai dan moral yang kuat. Untuk seorang
masyarakat Jawa itu harus selalu berani pemimpin kearifan-kearifan lokal dalam budaya
bertanggung jawab, mengakui rakyatnya sebagai tersebut patut diterapkan dan dihayati karena
bagian dari hidupnya dan setiap saat harus selalu mengandung nilai-nilai yang sangat luhur. Apabila
melindungi dalam segala kondisi dan situasi. semua pemimpin eling ingat semua pepatah,
Ungkapan yang paling populer dalam ungkapan dan nilai-nilai budaya niscaya selama
dunia pendidikan adalah ing arsa sung tuladha, memimpin akan selalu didukung oleh rakyatnya.
ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Di samping itu, seorang pemimpin atau siapa pun
Ungkapan ini juga berasal dari bahasa Jawa dan sebaiknya meresapi ungkapan sepi ing pamrih
rame ing gawe yang bermakna dalam melakukan
mengandung nilai-nilai yang sangat baik untuk
pekerjaan apa pun sebaiknya bekerja sungguh-
panutan seorang pemimpin. Apabila seseorang
sungguh dan iklas tanpa memikirkan imbalanya.
benar-benar ingin disebut sebagai seorang
Bekerjalah jangan banyak menuntut imbalan.
pemimpin, dia harus selalu berada di depan untuk
memberikan contoh yang baik dalam bentuk sikap,
3.2. Ungkapan yang Mencerminkan Sikap Buruk
ucapan, dan tindakan yang selalu konsisten.
Sudah kita ketahui bahwa banyak sekali
Manakala seorang pemimpin berada di tengah-
ungkapan yang mengandung nilai-nilai yang
tengah rakyatnya, dia harus mangun karsa sangat baik dan perlu selalu diresapi. Namun ada
(memberi semangat) agar rakyat tidak mudah juga ungkapan-ungkapan yang mencerminkan
putus asa jika menghadapi segala macam cobaan. sikap buruk manusia yang tidak perlu
Ketika dia ada di belakang dia harus selalu tut wuri dikembangkan. Ungkapan itu muncul sebagai
handayani (mau mendorong) agar rakyatnya selalu perumpaan saja dan sebaiknya tidak dilakukan
maju. karena akan berakibat buruk bagi orang yang
Ketika seorang pemimpin memiliki sikap melakukannya. Ungkapan-ungkapan itu antara lain
dan pandangan hidup yang baik rakyat akan selalu sebagai berikut.
melu handarbeni, melu hangrungkebi, mulat sarira 1. Adigang, adigung, adiguna
hangrasa wani dalam arti segala prestasi yang 2. Anggentong umos
dicapai dalam suatu tempat atau negara akan selalu 3. Anggutuk lor kena kiduAsu arebut balung
dijaga oleh rakyatnya dengan baik karena rakyat 4. Arep jamure emoh matange.
merasa ikut memiliki melu handarbeni, dan jika 5. Mbuwang tilas
ada orang lain yang akan merusak tatanan yang 6. Cuplak andheng-andheng ora prenah
sudah mapan, rakyat juga akan ikut membela melu panggonane
hangrungkebi. Namun, semua itu dilakukan 7. Cebol nggayuh lintang.
setelah mengetahui secara pasti duduk persoalan 8. Dhawen ati open.
mana yang benar dan mana yang salah dengan 9. Diwehi ati ngorogoh rempela
mulat sarira hangrasa wani (mawas diri). 10. Dhandang diuneki kuntul, kuntul diuneki
Berdasarkan pandangan di atas, seorang dhandang
pemimpin akan semakin berwibawa dan dapat 11. Entek golek kurang ngamek.
menyelesaikan segala persoalan tanpa 12. Esuk dele sore tempe
menimbulkan persoalan baru. Karena kewibaannya 13. Kemladeyan ngajak sempal
itulah seorang pemimpin memiliki kekuatan 14. Keplok ora tombok.
sehingga akan berani nglurug tanpa bala, menang 15. Kedudung walulang macan
tanpa ngasorake, artinya segala persoalan dapat 16. Kelacak kepathak.
diselesaikan sendiri dengan baik tanpa harus 17. Legan golek momongan.
merendahkan martabat orang lain yang bermasalah 18. Lambe kari samerang.
dengan dirinya. Karena kewibaan itu pulalah 19. Nabok nyilih tangan

LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Universitas Sumatera Utara


Halaman 34
Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat
Ni Wayan Sartini
Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)

Ungkapan di atas hanya sebagian dari dikalahkan oleh kebaikan. Ungkapan itu perlu
ungkapan yang ada dalam bahasa Jawa yang diresapi dan diketahui oleh masyarakat untuk
menggambarkan sifat yang buruk. Sifat-sifat menegakkan keadilan agar masyarakat bisa
seperti itu sebaiknya dihindarkan. Ungkapan- mengatakan yang benar itu benar dan yang salah
ungkapan tersebut ada dalam budaya Jawa bukan harus mendapat sanksi dari perbuatannya.
untuk diikuti melainkan memberikan Sebuah ungkapan juga menggambarkan
perumpamaan-perumpamaan terhadap sikap, bagaimana masyarakat yang berusaha sendiri
perilaku seseorang yang kurang baik. Seperti sehingga sukses, yaitu opor bebek awake dhewek
ungkapan lambe satumang kari samerang anak artinya bahwa seseorang yang memetik kesuksesan
yang dituturi atau dinasihati oleh orang tuanya karena tekad yang kuat dalam dirinya sendiri
tetap saja tidak menurut. Ini adalah ungkapan yang untuk belajar, berusaha dan melakukan sesuatu
menggambarkan sifat seorang anak yang bandel dengan sungguh-sungguh untuk sebuah
dan tidak menurut pada orang tua. Sebaiknya sifat kesuksesan. Ungkapan-ungkapan di atas adalah
seperti itu tidak diikuti oleh generasi muda. kearifan lokal yang perlu terus dihayati agar
Ungkapan Nabok nyilih tangan secara masyarakat tetap memiliki tekad yang kuat dan
umum bermakna seseorang ingin memfitnah atau semangat dalam meraih cita-cita dalam hidup dan
menyakiti orang lain namun tidak berani secara kehidupan ini.
langsung melainkan lewat orang lain. Sikap-sikap
ini tentu saja tidak baik karena orang yang 3.4 Ungkapan yang Menggambarkan
diibaratkan seperti itu adalah orang yang tidak Hubungan Manusia dengan Tuhan
satria dan tidak bertanggung jawab. Tetapi apa pun Ungkapan yang ada dalam bahasa Jawa
alasannya perbuatan yang diumpamakan seperti juga menggambarkan hubungan antara Tuhan
nabok nyilih tangan adalah perbuatan tidak baik. dengan manusia. Ungkapan adoh tanpa wangenan,
Begitu juga dengan ungkapan-ungkapan lain yang cedhak dhatan senggolan artinya jika seseorang
mengandung perumpamaan yang mencerminkan tidak percaya akan adanya Tuhan, keberadan
sikap buruk dan tidak perlu dikembangkan dan Tuhan tidak dapat dibayangkan karena begitu
diterapkan. abstrak (adoh tanpa wangenan) . Sebaliknya, jika
seseorang percaya akan adanya Tuhan meskipun
3.3 UngkapanUngkapan yang Berhubungan tidak dapat bersentuhan secara fisik tetapi dapat
dengan Tekad Kuat dirasakan keberadaannya setiap saat (cedak dhatan
Di mana-mana suku Jawa terkenal senggolan) . Perlokusi ungkapan itu adalah agar
sebagai suku yang sangat halus, lembut, rendah setiap orang mau berusaha mendekatkan diri
hati, tidak suka mencari masalah dan sebagainya. dengan Tuhan sampai mereka dapat merasakan
Namun, mereka memiliki semangat dan tekad kebesaran kekuasaannya (Pranowo 2003:276).
yang kuat dalam menyelesaikan masalah dan Berikut ini adalah ungkapan-ungkapan
meraih sesuatu. Sifat pantang menyerah adalah ciri yang menggambarkan hubungan antara manusia
etnis Jawa yang diaktualisasi lewat beberapa dengan Tuhan.
ungkapan berikut ini. (1) Golekana tapake kontul nglayang carilah
(1) Rawe-rawe rantas malang-malang tuntas jejak kaki burung kontul
segala sesuatu yang menghalangi akan (2) Golekana galihing kangkung carilah terasnya
diberantas pohon kangkung
(2) Sura dira jayaning rat, pangruwating diyu, (3) Golekana susuhing angin carilah sarangnya
lebur dening pangastuti. angin
(3) Opor bebek, mateng awake dhewek orang (4) Manunggaling kawula gusti bersatunya alam
yang sukses karena usaha sendiri kecil dan alam besar
Hal penting yang dapat diresapi dari Keberadaan Tuhan harus dicari dengan
ungkapan (1) adalah bahwa orang Jawa yang penuh keimanan seperti terungkap dalam
memiliki tekad yang kuat itu bukan karena ungkapan golekana susuhung angin (carilah
keinginan yang membabi buta tanpa penalaran dan sarang angin), golekana tapake kontul nglayang
pertimbangan perasaan (Pranowo 2003:262) atau golekana galihing kangkung. Ketiga
melainkan sudah dipikirkan dan diperhitungkan ungkapan itu mengandung maksud yang sama.
akibat baik dan buruknya. Tekad kuat juga Namun, jika dimaknai secara harfiah semuanya
terungkap dalam ungkapan sura dira jayaning rat, merupakan sesuatu yang muskhil karena tidak
pangruwating diyu, lebur dening pangastuti, akan pernah bertemu keberadaan dari semua itu.
artinya siapa pun harus berani membasmi angkara Makna ketiga ungkapan tersebut adalah bila kita
murka untuk membela kebenaran karena adanya percaya akan Tuhan sesuatu yang tidak mungkin
keyakinan bahwa angkara murka pasti dapat segalanya akan menjadi mungkin karena segala

LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Universitas Sumatera Utara


Halaman 35
Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat
Ni Wayan Sartini
Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)

sesuatu yang ada di dunia ini atas kehendak Tuhan. cukup mewakili gambaran manusia dengan
Spirit ungkapan tersebut adalah bahwa setiap sesamanya.
orang hendaknya selalu berusaha sekuat tenaga Tuturan verbal sebagai cermin dari
untuk tirakat mencari Tuhan karena hanya dengan keinginan agar memiliki sifat rendah hati adalah
terus mencari kehidupan manusia akan terus tidak ingin menyakiti hati orang lain dalam
berjalan. Semua itu didasari semangat ingin berbicara maupun bertindak. Agar setiap orang
mendekatkan hubungan manusia dengan Tuhan memiliki sifat rendah hati, orang tua harus selalu
sebagai cita-cita setiap orang Jawa yang mengingatkan kepada siapa pun entah dalam
diaktualisasi melalui ungkapan mangunggaling bentuk pemberian nasihat, peringatan, atu kritikan.
kawula gusti, yaitu bersatunya jagat cilik dengan Aja adigang, adigung, adiguna mengandung
jagat gede. nasihat yang berisi agar orang tidak sombong.
Beberapa konteks yang melatarbelakangi Diharapkan dengan ungkapan tersebut orang yang
munculnya ungkapan seperti itu antara lain (a) mendengarkan nasihat tersebut dapat tumbuh dan
ketidakmampuan manusia menerangkan seluruh berkembang sikap rendah hatinya terhadap orang
gejala alam yang dilihat dan dirasakannya, (b) lain.
keinginan manusia untuk mencari sandaran hidup Kesombongan seseorang diibaratkan
yang dapat menuntun karsa, cipta, dan karyanya, seperti sifat gajah yang mengandalkan
(c) adanya kedekatan hubungan antara orang Jawa kekuatannya (adigung), sifat ular yang
dengan Sang Maha Pencipta (Pranowo 2003:276). mengandalkan bisanya (adigang) dan sifat kijang
yang mengandalkan kemampuan melompatnya
3.5. Ungkapan yang Menggambarkan (adiguna). Ungkapan aja dumeh juga mengandung
Hubungan Manusia dengan Sesama nasihat agar orang tidak lupa diri ketika sedang
Agar hubungan antarsesama tetap dalam posisi beruntung. Begitu juga aja
harmonis diperlukan sikap dan toleransi yang kumingsun berisi nasihat agar orang tidak
tinggi dan sikap saling menghargai satu dan yang memamerkan kekuasaannya dengan cara
lainnya. Hubungan atau relasi sosial ini bersifat merendahkan orang lain.
kodrati. Oleh karena itu, relasi sosial harus dijaga Hampir sebagian orang percaya bahwa
agar selalu dapat terjalin harmonis karena manusia setiap perbuatan pasti akan ada akibatnya. Orang
itu tidak bisa hidup sendiri. Untuk menjaga agar Jawa juga selalu memberi peringatan kepada setiap
relasi sosial tetap terjalin dengan baik setiap orang orang agar tidak melakukan kesalahan karena
hendaknya memilki sifat halus dan rendah hati setiap perbuatan pasti akan ada akibatnya. Hal ini
yang diwujudkan dalam bentuk komunikasi verbal diaktualisasi dalam bentuk ungkapan sapa gawe
maupun nonverval. Hal ini dimaksudkan agar nganggo, sapa salah bakal saleh, sapa nandur
setiap tutur kata dan tindakannya dapat membuat ngundhuh, becik ketitik ala ketara (siapa yang
berkenan orang lain. Inilah hakikat relasi sosial. berbuat pasti akan menuai akibatnya, siapa yang
Dalam budaya Jawa ada ungkapan- salah pasti akan ketahuan salahnya, dan siapa yang
ungkapan yang menggambarkan hubungan antara menanam pasti akan memetik hasilnya, siapa pun
sesama seperti berikut ini. berbuat kebaikan pasti akan ketahuan, begitu juga
(1) Aja adigung, adigung, adiguna yang berbuat kesalahan). Ungkapan tersebut
(2) Aja kumingsun adalah sebagai peringatan yang perlu terus
(3) Ciri wanci, lelai ginawa mati menerus dihayati dan diajarkan kepada generasi
(4) Ngono ya ngono, ning aja ngono muda karena secara kodrati setiap manusia
(5) Tanggap ing sasmita, ngerti ing semu. memiliki kebiasaan salah yang sulit ditinggalkan.
(6) Dhupak demang, esem mantri, semu bupati Kebiasaan jelek yang sulit ditinggalkan itu dapat
(7) Aja dumeh dilihat melalui ungkapan ciri wanci, lelai ginawa
(8) Berbudi bawa leksana mati yang maknanya bahwa kebiasaan jelek sulit
(9) Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu dihilangkan sampai mati sekalipun. Dengan
kelangan demikian nilai yang perlu kita pahami dari
(10) Ngemut legining gula. ungkapan tersebut adalah agar setiap orang dapat
(11) Nguyahi segara. menghindari sifat jelek karena sifat itu sudah
(12) Nguthik-uthik macan dhedhe. terlanjur tumbuh dan berkembang sangat sulit
(13) Pandenan karo srengenge. dihilangkan.
(14) Tuna satak bati sanak Ungkapan ngono ya ngono , ning aja
Sebenarnya masih banyak lagi ungkapan- ngono berbuat kesalahn boleh tapi jangan
ungkapan yang menggambarkan hubungan kelewatan. Nilai yang terkandung dalam
antarsesama. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut ungkapan tersebut adalah agar setiap orang yang
membuat kesalahan tidak boleh berkepanjangan

LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Universitas Sumatera Utara


Halaman 36
Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat
Ni Wayan Sartini
Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)

dan kelewatan (keterlaluan). Segala sesuatu harus Mereka adalah lapisan masyarakat tertinggi yang
dipikirkan dengan baik akibatnya. Dengan sudah mengenyam pendidikan, filsafat, dan ilmu
kesadaran tersebut diharapkan orang akan selalu pujangga (susastra) (Pranowo 2003).
mawas diri dan introspeksi diri serta dapat
mengendalikan diri dengan baik. 4. SIMPULAN
Salah satu kebutuhan yang sangat Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa
manusiawi yang diinginkan oleh manusia adalah mengandung banyak nilai ajaran moral yang
ingin hidup rukun dengan sesama dan itu mungkin bisa diterima oleh etnis lain. Nilai-nilai
merupakan obsesi setiap orang. Obsesi itu itu antara lain (a) ungkapan yang menggambarkan
diwujudkan dengan berbagai cara misalnya dengan hubungan manusia dengan Tuhan, (b)ungkapan
menghindari konflik secara terbuka. Jika yang menggambarkan hubungan manusia dengan
menyampaikan kritik terhadap orang lain manusia, (c) ungkapan yang menggambarkan sikap
seseoranag menggunakan bentuk kritik tidak dan pandangan hidup, (d) ungkapan yang
langsung yang disebut teknik komunikasi menggambarkan tekad kuat. Di samping itu, ada
indirection berupa sasmita (isyarat), guyon ungkapan yang mencerminkan sikap yang buruk
parikena, dan sebagainya. Artinya, ketika dan tidak perlu dikembangkan dalam kehidupan
memberikan kritik, peringatan dan sejenisnya sehari-hari.
harus diberikan dalam batas-batas kewajaran agar Budaya dalam wujudnya dapat berupa
harga diri orang lain tidak merasa diinjak-injak. budaya materi dan nonmateri. Keduanya menjadi
Komunikasi seperti itu dapat efektif jika alat perekat masyarakat. Budaya dapat diamati
pendengar juga memiliki niat yang sama untuk melalui unsur bahasa, antara lain melalui kosakata
menghindari konflik. Oleh karena itu, etnis Jawa dan ungkapan-ungkapannya. Konsep nilai budaya
juga mengembangkan sifat tanggap ing sasmita materi dianggap bernilai tinggi bila dibandingkan
atau ngerti ing semu. Semua bentuk komunikasi dengan budaya nonmateri (cara berpikir, cara
tidak langsung, baik verbal maupun nonverbal, memandang sesuatu) pada zamannya.
yang diungkapkan oleh penutur bila tidak dapat Kecenderungan sekarang konsep nilai budaya
dipahami oleh pendengar juga akan sia-sia. Agar nonmateri semakin pudar karena pengaruh konsep
sifat tanggap ing sasmita, ngerti ing semu dapat kehidupan materi yang dianggap sebagai ciri
dimiliki oleh orang Jawa, sifat itu dijadikan salah kebudayaan modern.
satu kriteria kecerdasan seseorang. Orang yang
cerdas adalah orang yang selalu ngerti ing semu, DAFTAR PUSTAKA
dan tanggap ing sasmita.
Berdasarkan tingkat kecerdasan Abraham, R.D. 1972. Proverbs and Proverbial
intelektual dan kepekaan perasaannya, masyarakat Expressions. Dalam R.M. Dorson (ed.).
Jawa digolongkan menjadi tiga lapisan yang Folklore dan Folklife: An Introduction.
diaktualisasi dengan ungkapan dhupak demang, Chicago: Chicago University Press.
esem mentri, semu bupati. Lapisan pertama,
kelompok masyarakat yang tergolong dhupak Austin, John L. 1962. How to do Things with
demang. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak Words. Oxfords : Clerendon Press.
berpendidikan dan tumpul perasaannya (cubluk
panemune, kethul rasa pangggrahitane) karena Bonvillian, Nancy. 1977. Language, Culture and
mereka tidak berkembang daya estetikanya, daya Communication: The Meaning of Message.
imajinasi, dan daya asosiasinya. Mereka hanya New Jersey: Prentice-Hall.
bisa diajak berkomunikasi menggunakan bahasa
wantah, yaitu bahasa sehari-hari yang bentuk dan Crystal, David. 1992. A Dictionary of Languistics
maknanya sama. Lapisan kedua, yaitu masyarakat and Phonetics. New York: Blackwell.
yang tergolong esem mentri, adalah lapisan
masyarakat menengah dan sudah berpendidikan. Dajasudarma, T. Fatimah, dkk. 1977. Nilai Budaya
Meskipun demikian, lapisan mereka masih terbatas dalam Ungkapan dan Peribahasa Sunda.
pada pemahaman bahasa secara verbal ditambah Jakarta: Pusat Pembinaan dan
bahasa nonverbal yang diungkapkan oleh mitra Pengembangan Bahasa.
bicara. Lapisan ketiga adalah masyarakat yang
telah dapat memahami semu bupati, artinya sedikit Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic
saja sasmita (isyarat) yang disampaikan mereka Antrophology. Cambridge: Cambridge
sudah dapat memahami seluruh maksud penutur. University Press.
Bahkan dapat dikategorikan ngerti sadurunge
winarah (dapat mengerti sebelum dikatakan).

LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Universitas Sumatera Utara


Halaman 37
Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat
Ni Wayan Sartini
Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)

Foley, William A. 1977. Antrophological Oktavianus. 2006. Nilai Budaya dalam Ungkapan
Linguistics: An Introduction. New York: Minangkabau: Sebuah Kajian dari
Blackwell. Perspektif Antropologi Linguistik.
Linguistik Indonesia, 1:115129.
Geertz, Cliffort. 1964. The Religion of Java.
London: The Free Press of Glancoe. Pranowo. 2003. Ungkapan Bahasa Jawa sebagai
Pendukung Pembentukan Kebudayaan
Mulder, Niels. 1983. Pribadi dan Masyarakat di Nasional. Linguistik Indonesia, 2:269
Jawa: Penjelajahan mengenai 286.
Hubungannya. Jakarta: Sinar Harapan.
Bratawijaya, Thomas W. 1997. Mengungkap dan
Mengenal Budaya Jawa. Jakarta: Pradnya
Paramita.

Yuwono, Y.A. 1987. Sapala Basa Jawa. Surabaya:


Marfiah.

LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Universitas Sumatera Utara

You might also like