You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


ARDS adalah kegagalan system pernafasan untuk mempertahankan
pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam jumlah yang dapat mengakibatkan
gangguan pada kehidupan. Insiden ARDS ini berubah-ubah tergantung dari
kriteria diagnosis yang digunakan untuk definisi yang diberikan, sebagai penyakit
yang mendasari menjadi suatu faktor resiko. Perkiraan insiden ARDS di Amerika
Serikat setiap tahunnya setelah dijumlahkan mendekati 150 ribu kasus baru
pertahunnya. ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya
berupa trauma jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung.
B. BATASAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara
lain yaitu:
1. Definisi ARDS
2. Epidemiologi ARDS
3. Etiologi ARDS
4. Klasifikasi ARDS
5. Faktor resiko ARDS
6. Patofisiologi ARDS
7. Pemeriksaan diagnostik ARDS
8. Penatalaksanaan ARDS
9. Komplikasi ARDS
10. Pencegahan ARDS
BAB II

PEMBAHASAN

1. DEFINISI
Adult Respirator Distress Syndrome (ARDS ) merupakan keadaaan gagal
napas mendadak yang timbul pada kilen dewasa tanpa kelainan paru yang
mendasari sebelumnya. Sulit untuk membuat definisi secara tepat, karena
patogenesisnya belum jelas dan terdapat banyak factor predisposisi seperti syok
karena perdarahan, sepsis, rudak paksa / trauma pada paru atau bagian tubuh
lainnya, pancreatitis akut, aspirasi cairan lambung, intoksikasi heroin, atau
metadon. (Arif Muttaqin, 2009).
ARDS adalah kegagalan system pernafasan untuk mempertahankan
pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam jumlah yang dapat mengakibatkan
gangguan pada kehidupan (RS Jantung Harapan Kita, 2001)

2. EPIDEMIOLOGI
Institusi kesehatan nasional memperkirakan pada tahun 2010 terdapat 150 ribu
kasus baru dari ARDS pertahunnya di Amerika Serikat, dengan insiden sebesar
75 kasus per 100.000/tahun. Insiden ARDS sangat sulit untuk ditentukan
keakuratannya karena perubahan dari definisi, kegagalan untuk mendapatkan data
yang komplit dan keragu-raguan tentang populasi yang benar. Dari beberapa
kemungkinan studi Kohort yang baru-baru ini ditemukan lebih banyak
peningkatan kecepatan tingkat insidensi, yaitu berubah dari 1,53,5
kasus/100.000/tahun di Pulau Kanari menjadi 4,88,3 kasus/100.000/tahun di
Negara Utah. Studi lain menemukan insiden 4,5 dan 3,0 per 100.000/tahun di U.
Kingdom dan di Berlin.

Insiden ARDS ini berubah-ubah tergantung dari kriteria diagnosis yang


digunakan untuk definisi yang diberikan, sebagai penyakit yang mendasari
menjadi suatu faktor resiko. Perkiraan insiden ARDS di Amerika Serikat setiap
tahunnya setelah dijumlahkan mendekati 150 ribu kasus baru pertahunnya. Dalam
penelitian oleh Fowler dkk insiden ini bervariasi dari 2% (yaitu pada pasien post
coronary arteri baypass atau pasien terbakar) menjadi 36% (yaitu pada Gastric
broncho aspirasi). Dalam penelitian Kohort yang serupa, Pepe dkk menemukan
bahwa insiden ARDS berkisar dari 8% (pada pasien dengan multipel fraktur)
menjadi 38% (pada pasien dengan sepsis).

3. KLASIFIKASI
Berdasarkan tahap terjadinya
a) Tahap Exudatif : ditandai dengan pembentukan cairan yang
berlebihan, protein serta sel inflamatori dari kapiler yang kemudian
akan menumpuk kedalam alveoli
b) Tahap Fibroproliferatif : pada tahap ini akibat dari respon terhadap
stimuli yang merugikan maka akan dibentuk jaringan ikat dengan
beberapa perubahan struktur paru sehingga secara mikroskopik jaringan
paru tampak seperti jaringan padat. Dalam keadaan ini pertukaran gas
pada alveolar akan sangat berkurang sehingga tampilan penderita secara
klinis seperti pneumoni.
c) Tahap Resolusi dan pemulihan : Pada beberapa penderita yang dapat
melampaui fase akut akan mengalami resolusi dan pemulihan. Udem
paru ditanggulangi dengan transport aktif Na, transport pasif Cl dan
transport H2O melalui aquaporins pada sel tipe I , sementara protein
yang tidak larut dibuang dengan proses difusi, endositosis sel epitel dan
fagositosis oleh sel makrofag. Akhirnya re epitelialisasi terjadi pada sel
tipe II dari pneumosit.yang berproliferasi pada dasar membarana
basalis. Proses ini distimulasi oleh growth factors seperti KGF.
Neutrofil dibuang melalui proses apoptosis.
4. ETIOLOGI
Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti, banyak faktor penyebab yang
dapat berperan pada gangguan ini menyebabkan ARDS tidak disebut sebagai
penyakit tetapi sebagai sindrom. Sepsis merupakan faktor risiko yang paling
tinggi, mikroorganisme dan produknya (terutama endotoksin) bersifat sangat
toksik terhadap parenkim paru dan merupakan faktor risiko terbesar kejadian
ARDS, insiden sepsis menyebabkan ARDS berkisar antara 30-50%
(Susanto,2012).

5. FAKTOR RESIKO
ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa
trauma jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung .
Trauma langsung pada paru
Pneumoni virus,bakteri,fungal
Contusio Paru
Aspirasi cairan lambung
Inhalasi asap berlebih
Inhalasi toksin
Menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam waktu lama
Trauma tidak langsung
Sepsis
Shock
DIC ( disseminated Intravaskular Coagulation )
Pankretitis
Uremia
Overdosis Obat
Idiophatic ( tidak diketahui )
Bedah Cardiobypass yang lama
Transfusi darah yang banyak
PIH (Pregnand Induced Hipertension )
Peningkatan PIH
Terapi radiasi
6. PATOFISIOLOGI

(Terlampir)

7. MANIFESTASI KLINIS

Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) ditandai oleh


perkembangan dyspnea akut dan hipoksemia dalam waktu jam dan beberapa hati ,
seperti trauma, sepsis, overdosis obat, transfusi masif, pankreatitis akut, atau
aspirasi. Dalam banyak kasus, hal menghasut jelas, tetapi, pada orang lain
(misalnya, obat overdosis), mungkin lebih sulit untuk mengidentifikasi.

Sindroma gawat pernafasan akut terjadi dalam waktu 24-48 jam setelah
kelainan dasarnya. Di awali penderita akan merasakan sesak nafas, dan bisanya
berupa pernafasan yang cepat dan dangkal. Karena rendahnya kadar oksigen
dalam darah, kulit terlihat pucat atau biru, dan organ lain seperti jantung dan otak
akan mengalami kelainan fungsi. Hilangnya oksigen karena sindroma ini dapat
menyebabkan komplikasi dari organ lain segera setelah sindroma terjadi atau
beberapa hari/minggu kemudian bila keadaan penderita tidak membaik.
Kehilangan oksigen yang berlangsung lama bisa menyebabkan komplikasi serius
seperti gagal ginjal. Tanpa pengobatan yang tepat, 90% kasus berakhir dengan
kematian. Bila pengobatan yang diberikan sesuai, 50% penderita akan selamat.
Karena penderita kurang mampu melawan infeksi, mereka biasanya menderita
pneumonia bakterial dalam perjalanan penyakitnya. Gejala lainnya yang mungkin
ditemukan:

cemas, merasa ajalnya hampir tiba


tekanan darah rendah atau syok (tekanan darah rendah disertai oleh
kegagalan organ lain)
penderita seringkali tidak mampu mengeluhkan gejalanya karena tampak
sangat sakit.
Pasien dalam perjalanan penyakitnya menjadi ARDS, sering disertai
dengan kegagalan multisistem organ, dan mereka mungkin tidak mampu
memberikan informasi historis. Biasanya, penyakit berkembang dalam 12-48 jam
setelah kejadian menghasut, meskipun, dalam kasus yang jarang, mungkin
diperlukan waktu hingga beberapa hari.

Dengan terjadinya cedera paru-paru, pasien awalnya dicatat dyspnea


dengan pengerahan tenaga. Hal ini dengan cepat berkembang menjadi dispnea
berat saat istirahat, takipnea, gelisah, agitasi, dan kebutuhan untuk konsentrasi
semakin tinggi oksigen terinspirasi.(Alsagaff, 2006)

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Laboratorium
- Analisa Gas Darah: hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena
hipersensitivitasi), hiperkapnia (pada emfisemia atau keadaan lanjut).
Alkalosis respiratorik pada awal proses, akan berganti menjadi
asidodid respiratorik
- Leukositosis (pada sepsis), anemia, trombositopenia (refleksi inflamasi
sistemik dan kerusakan endotel), peningkatan kadar amylase (pada
pankreatitis).
- Gangguan fungsi ginjal dan fungsi hati, tanda koagulasi intravascular
diseminata (sebagai bagian dari MODS/ multiple organ dysfunction
syndrome)
2. Radiologi
- Foto Toraks: pada awal proses, dapat ditemkan lapangan paru yang
relative jernih, serial foto kemudian tampak bayangan radio-opak
difus atau patchy bilateral dan diikuti pada foto serial berikutnya lagi
gambaran confluent, tidak terpengaruh gravitasi, tanpa gambaran
kongesti atau pembesaran jantung
- CT scan toraks: pola heterogen, predominasi infiltrate pada area dorsal
paru (foto supine) (Amin, 2010) .
9. PENATALAKSANAAN MEDIS
Walaupun tidak ada terapi yang spesifik untuk menghentikan proses inflamasi,
penanganan ARDS difokuskan pada 3 hal penting yaitu:

mencegah lesi paru secara iatrogenik


mengurangi cairan didalam paru
mempertahankan oksigenasi jaringan
1) Terapi Umum
Sedapat mungkin hilangkan penyebab dengan cara misalnya drainase pus,
antibiotika, fiksasi bila ada fraktur tulang panjang
Sedasi dengan kombinasi opiat benzodiasepin, oleh karena penderita akan
memerlukan bantuan ventilasi mekanik dalam jangka lama. Berikan dosis
minimal yang masih memberikan efek sedasi yang adekuat.
Memperbaiki hemodinamik untuk meningkatkan oksigenasi dengan
memberikan cairan, obat-obatan vasodilator/konstriktor, inotropik, atau
diuretikum. Keadaan ini dapat dicapai dengan cara meningkatkan curah
jantung bila saturasi darah vena rendah, atau dengan dengan menurunkan
curah jantung pada keadaan high out put state, sehingga pulmonary transit
time akan memanjang. Strategi harus dilaksanakan dengan hati-hati sehingga
tidak mengganggu sirkulasi secara keseluruhan.
2) Terapi Ventilasi
Respirasi
Ventilasi mekanik dengan intubasi endotrakheal merupakan terapi yang
mendasar pada penderita ARDS bila ditemukan laju nafas > 30x/min atau
terjadi peningkatan kebutuhan FiO2 > 60% (dengan menggunakan masker
wajah) untuk mempertahankan PO2 sekitar 70 mmHg atau lebih dalam
beberapa jam
Lebih spesifik lagi dapat diberikan ventilasi dengan rasio I:E terbalik disertai
dengan PEEP untuk membantu mengembalikan cairan yang membanjiri
alveolus dan memperbaiki atelektasis sehingga memperbaiki ventilasi dan
perfusi (V/Q).
Tergantung tingkat keparahannya, maka penderita dapat diberi non invasive
ventilation seperti CPAP, BIPAP atau Positive Pressure Ventilation.
Walaupun demikian metode ini tidak direkomendasikan bagi penderita
dengan penurunan kesadaran atau dijumpai adanya peningkatan kerja otot
pernafasan disertai peningkatan laju nafas dan PCO2 darah arteri.
Saat ini telah terbukti bahwa pemberian volume tidal 10 to 15 ml/kg dapat
mengakibatkan kerusakan bagian paru yang masih normal sehinga terjadi
robekan alveolaus, deplesi surfaktan dan lesi alveolar-capillary interface.
Untuk menghindari hal ini maka dipergunakan volume tidal 6-7ml/kg dengan
tekanan puncak inspirasi < 35 cmH2O, plateu inspiratory pressure yaitu <
30cmH2O dan pemberian positive end expiratory pressure (PEEP) antara 8
sampai 14 cm H2O untuk mencegah atelektase dan kolaps dari alveolus.
Secara luas dianut batasan pemakaian volume tidal yang rendah yaitu 6-7
ml/kgBB. Sedangkan untuk penggunaan PEEPdan FiO2 tidak ada ketentuan
mengenai batas maksimal. Secara umum dapat diterima bahwa PEEP yang
lebih tinggi boleh dipakai supaya tercapai SaO2 yang diinginkan yaitu (> 90-
95%) dengan FiO2 < 0.60. Akan tetapi penelitian akhir-akhir ini
menunjukkan bahwa PEEP yang tinggi tidak memberikan hasil akhir yang
menguntungkan.
Untuk memperkecil risiko barotrauma dapat dipakai mode Pressure
Controlle Pemeriksaan AGD (Analisa Gas Darah) dipakai sebagai
parameter keberhasilan dan panduan terapi. Walaupun demikian hasillnya
tidak harus mencapai nilai normal. Contohnya adalah kadar CO2 diperboleh
kan sedilit melebihi 50 cmH20 atau disebut sebagai permissive hypercapnia;
dan ternyata masih dapat memberikan hasil akhir yang lebih baik. Demikian
juga saturasi O2 cukup bila mencapai 92%.
Restriksi cairan/diuresis yang cukup akan mengurangi peningkatan tekanan
hidrostatik didalam kapiler paru maupun cairan paru (lung water). Akan tetapi
harus diingat bahwa dehidrasi yang berlebihan akan menurunkan perfusi
jaringan dan mencetuskan gagal ginjal.
Prone position akan memperbaiki V/Q karena akan mengalihkan cairan
darah sehingga tidak terjadi atelektasis. Walaupun demikian tehnik ini tidak
mempengaruhi angka mortalitas. Walaupun demikian pada subgrup pasien
yang diseleksi berdasarkan tingkat keparahan penyakit menunjukkan bahwa
mortalitas dalam sepuluh hari pertama pada kelompok dengan prone position
lebih rendah dibandingkankan dengan kelompok yang berbaring seperti biasa.
Inhalasi nitric oxide/prostasiklin akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah
di paru sehingga secara nyata memperbaiki hipertensi pulmonum dan
oksigenasi arteri. Tidak terdapat pengaruh terhadap tekanan darah sistemik,
akan tetapi efek samping subproduk dari NO berupa peroksinitrit dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan paru. Oleh karena itu pengunaannya
sangat ketat yaitu pada keadaan ekstrem dimana terjadi hipoksemia akut,
gagal jantung kanan serta refrakter terhadap tindakan suportif yang biasa.
Targeted Drug Treatment Terapi ini difokuskan pada regresi lesi patologi dan
mengurangi jumlah cairan dalam paru. Sayangnya tidak ada bukti objetif
akan keberhasilan metode ini.
Surfactan sintetik secara aerosol (Exosurf) ternyata bermanfaat untuk ARDS
pada neonatus, tetapi tidak pada ARDS . Pada suatu penelitian dengan cara
pemberian langsung pada traktus trakeobronkial ternyata efektif.
Kortikosteroid dosis tinggi dimaksudkan unutk mengurangi reaksi inflamasi
pada jaringan paru , tapi sayangnya hasilnya tidak memuaskan, sehingga
tidak direkomendasikan pada ARDS terutama pada fase awal. Beberapa
sumber menyarankan pemberian metil prednisolon secara pulsed untuk
mencegah fase fibrosis yang destruktif.
Oleh karena metabolit oksigen mempunyai peran yang penting pada
patogenesis ARDS melalui aktifasi neutrofil, maka pemberian antioksidan
mungkin akan banyak banyak manfaatnya sebagai terapi yang spesifikk pada
ARDS
Pemberian N-acetylcysteine banyak memberikan harapan dan masih terus
dilakukan penelitian
Ketoconazol diharapkan dapat menghambat pelepasan TNF oleh makrofag,
tetapi masih diperlukan penelitian dalam jumlah sample yang lebih besar
Diuretikum lebih ditujukan untuk meminimalkan atau mencegah kelebihan
cairan, dan hanya diberikan bila eksresi cairan oleh ginjal terganggu, oleh
karena itu cara paling baik untuk mencegah kelebihan cairan adalah dengan
mempertahankan pengeluaran cairan yang adekuat.Dengan demikian
penggunaan diuretikum tidak rutin, karena tidak sesuai dengan patogenesis
ARDS.
Transfusi darah diperlukan untuk menjaga kadar Hb lebih dari 10gr%, tetapi
mengingat kemungkinan terjadinya TRALI maka tranfusi hanya diberikan
bila ada oksigenasi jaringan yang inadekuat.
Extracorporeal Oxygenation
Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) adalah suatu sistem
prolonged cardiopulmonary bypass yang banyak berhasil mengobati bayi
baru lahir yang mengalami gagal nafas akibat aspirasi mekonium, hernia
diapragmatika dan infeksi virus yang berat.

Penggunaan EMCO untuk ARDS hasilnya masih controversial. Hasil yang baik
diperoleh pada penderita ARDS karena trauma pada stadium dini yaitu kurang
dari 5 hari. (Emmy Hermiyanti, 2011)

10. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada ARDS adalah :


1) Ketidak seimbangan asam basa
2) Kebocoran udara(pneumothoraks, neumomediastinum, neumoperkardium,
dll)
3) Perdarahan pulmoner
4) Displasia bronkopulmoner
5) Apnea
6) Hipotensi sistemik

11. PENCEGAHAN
Pencegahan terhadap penyakit ARDS antara lain:
a. Meskipun faktor risiko untuk ARDS diketahui, tidak ada tindakan
pencegahan yang sukses telah diidentifikasi. Cairan manajemen hati
dalam pasien berisiko tinggi dapat membantu. Karena pneumonitis
aspirasi merupakan faktor risiko untuk ARDS, mengambil tindakan
yang tepat untuk mencegah aspirasi (misalnya, mengangkat kepala
tempat tidur dan mengevaluasi mekanik menelan sebelum memberi
makan pasien berisiko tinggi) juga dapat mencegah beberapa kasus
ARDS.
b. Pada pasien tanpa ARDS pada ventilasi mekanik, penggunaan volume
pasang surut yang tinggi tampaknya menjadi faktor risiko untuk
pengembangan ARDS, dan, karenanya, penggunaan volume tidal
rendah pada semua pasien pada ventilasi mekanik dapat mencegah
beberapa kasus pada ARDS.
c. Konsultasi
Pengobatan pasien dengan ARDS memerlukan keahlian khusus
dengan ventilasi mekanis dan pengelolaan penyakit kritis. Dengan
demikian, adalah tepat untuk berkonsultasi dengan dokter yang
mengkhususkan diri dalam pengobatan paru atau perawatan kritis atau
ICU.
DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff Hood, Mukty, H.A., 2006, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru, Surabaya:
Airlangga University Press
Eloise M. Harman,MD. Rajat, Walia, MD. 2012. Acute Respiratory Distress
Syndrome. http://www.emedicine.com/med/topic70.htm. (di akses pada
06 Maret 2015 pukul 11.55 WIB)
Kowalak, Jennifer. 2003. Buku Ajar Patofisiologi. EGC: Jakarta
Muttaqin, Arif. 2009. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernapasan; Salemba Medika.
Pranggono, Emmy H. 2011. BASIC AND ADVANCES IN THE
MANAGEMENT OF ACUT RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
(ARDS). Subbagian Pulmonologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam RS Dr.
Hasan Sadikin: FK Unpad Bandung (Online)
(http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/03/basic_and_advance
s_in_the_management.pdf
Susanto, Yupus Subagio.,Sari, Fitrie Rahayu. 2012. Penggunaan Ventilasi
Mekanis Invasif Pada Acute Respiratory Distress Syndrom (ARDS).
(online).http://jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2012/01/jri-2012-
32-1-44.pdf. Diakses 15 Maret 2015.
(online).http://www.lung.org/assets/documents/publications/lungdiseasedata/ldd08c
hapters/LDD-08-ARDS.pdf Diakses pada tanggal 9 Maret 2015
(online).http://allergycliniconline.com/2012/05/06/penanganan-terkini-acute-
respiratory-distress-syndrome-ards/ (di akses pada 06 Maret 2015 pukul
12.09 WIB)

You might also like