Professional Documents
Culture Documents
Proses Orthorektifikasi
Pembangunan DEM
Pencetakan Blow up
Citra Satelit Fusi dan Perbaikan Citra Pengawasan
Identifikasi Lapangan,
Toponimi, dan Penyuntingan Citra
Klasifikasi Lahan
Klasifikasi
Digitasi Peta
IV | 1
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
Detail pelaksanaan setiap tahapan pekerjaan diuraikan dalam bagian-bagian berikut ini.
IV | 2
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
Adapun ketelitian titik yang diperlukan diperhitungkan dari kesalahan pemberian titik di citra
yang mencapai 2 piksel. Dengan demikian ketelitian titik kontrol GPS harus memiliki kesalahan
maksimum 2 x 2,5m = 5 meter. Berdasarkan hal ini maka dapat ditetapkan bahwa metode survey
GPS yang sesuai untuk ketelitian ini adalah metode survey Rapid Static dan Static GPS. Sedangkan
di dalam pelaksanaannya survey GPS akan dilakukan dalam dua metode, yaitu:
Pengukuran Kerangka Dasar dimaksudkan sebagai pengukuran jaring kerangka ikat titik kontrol
GPS yang terdistribusi merata untuk seluruh areal pemetaan dengan jarak antar titik berkisar 10-
15 km. Pengukuran titik kerangka dasar ini akan menghasilkan ketelitian peta sebesar 1-5 mm.
Metode yang digunakan adalah metode statik GPS. Sedangkan pengukuran detail titik kontrol
adalah pengukuran titik-titik kontrol GPS yang merupakan turunan dari titik kerangka dasar.
Titik ini akan diukur berdasarkan acuan titik kerangka dasar. Ketelitian titik ini berkisar 1-1,5
meter dengan jarak maksimum pengukuran sebesar 6 km dari titik kerangka dasar. Metode yang
digunakan adalah metode Rapid Static, sehingga memungkinkan pelaksanaan survey
berlangsung dengan cepat dan menghasilkan ketelitian yang memadai untuk pengolahan citra.
Dalam rangka pengukuran GPS ini, akan didirikan bench mark (BM) GPS yang akan di fungsikan
sebagai titik sekutu maupun control point (CP) dalam proses transformasi di dalam
orthorektifikasi. Titik-titik tersebut akan didirikan sedemikian rupa sehingga memiliki
penyebaran yang merata pada wilayah survey. Metoda survey yang akan digunakan untuk
melakukan pekerjaan di atas adalah metode statik dan rapid static yang digambarkan pada
diagram alir sebagai berikut :
IV | 3
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
Perencanaan
Persiapan
Survey Lapangan
(Reconnaissance)
Pemasangan BM
Pengolahan Data
Pelaporan
4.3.1 Perencanaan
Dalam pelaksanaan survey GPS, diperlukan perencanaan dan persiapan yang matang, karena
keberhasilan survey sangat tergantung pada berbagai faktor dan persyaratan yang harus
dipenuhi. Adapun pekerjaan perencanaan meliputi tahapan kegiatan sebagai berikut :
IV | 4
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
Test Pengamatan
Test pengamatan dilakukan untuk memeriksa apakah alat dapat bekerja dan
menghasilkan data dengan kualitas yang baik. Test pengamatan ini sekaligus juga untuk
perekaman data sampling yang diperlukan untuk mengetahui satelit window, waktu
pengamatan, jumlah satelit yang diperlukan untuk melakukan pengamatan yang baik.
Tujuan dari pekerjaan ini adalah menentukan koordinat titik kontrol untuk kebutuhan
transformasi koordinat pada proses orthorektifikasi. Oleh karena itu, penyebaran titik GPS harus
ditempatkan secara merata di areal pemetaan. Penempatan titik ini pun harus dapat dengan
IV | 5
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
mudah diidentifikasi dari citra agar mengurangi kesalahan plotting dan meminimasi keragu-
raguan. Terdapat dua jenis metode pengukuran yang akan dilakukan yaitu pengukuran GPS
metode statik dan rapid static.
Dalam pengukuran GPS static terdapat beberapa hal yang harus di perhatikan pada perencanaan
pekerjaan ini, yaitu :
a. Seluruh titik harus terdistribusi secara merata pada wilayah pemetaan. Penempatan titik-
titik pada suatu jaringan berbentuk bujur sangkar atau segitiga sama sisi.
b. Setiap stasiun harus di hubungkan dengan minimal dua buah baseline independent
(nontrivial). Baseline-baseline pada masing-masing stasiun harus diperoleh dari minimal
dua stasiun pengamatan yang berbeda.
c. Bentuk jaring harus terdiri dari baseline independent (non-trivial). Jadi jika empat (n)
receiver GPS yang digunakan saat pengamatan, maka hanya tiga (n-1) baseline yang
diperoleh dari data yang diamati. Metoda pengukuran baseline harus sesuai dengan
rencana jaringan.
d. Jaringan harus diikatkan dengan semua titik kontrol yang ada baik yang mempunyai orde
sama atau lebih tinggi, yang berbeda sekitar atau berada dalam area jaringan. Titik-titik
GPS ini harus memiliki koordinat pada datum WGS-84
e. Kira-kira 5 % dari baseline harus diukur lebih dari satu kali sehingga dapat dilakukan
pengecekan konsistensi pengukuran. Setiap baseline harus terdistribusi secara seragam
di seluruh jaring dan yang ditunjukan dengan jarak yang hampir sama.
f. Geometri dari jaringan harus memenuhi spesifikasi ketelitian dan persyaratan strength
of figure
g. Rencana jaringan digambarkan di atas peta topografi
Sedangkan untuk pelaksanaan rapid static desain jaringan akan dibuat dalam ketentuan sebagai
berikut :
a. Pada saat pengamatan, titik monitor stasiun atau titik referensi beserta titik yang akan
ditentukan koordinatnya tidak bergerak
b. Kerangka pengukuran dalam bentuk radial atau polar dengan titik pusatnya atau titik
referensinya adalah titik-titik kontrol hasil pengukuran GPS statik
c. Waktu pengamatan antara 5 -20 menit
d. Receiver GPS yang digunakan dapat menghitung ambiguity secara cepat dan memiliki
dual frekuensi
e. Perhitungan dilakukan untuk setiap baseline tanpa diikuti perataan jaringan
IV | 6
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
f. Geometri satelit harus baik dengan tingkat bias rendah dan lingkungan tempat
dilakukannya pengamatan satelit GPS relatif tidak multipath
g. Setiap baseline diamati dalam dua sesi pengamatan
Desain yang akan diterapkan dalam pengukuran titik kontrol GPS ini seperti dalam gambar
berikut ini.
Gambar 4.3 Jaring Titik GPS untuk Kerangka Dasar (Metode Static)
IV | 7
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
Gambar 4.4 Jaring Titik GPS untuk Detail Titik Kontrol (metode Rapid Static)
4.3.2 Persiapan
Persiapan secara garis besar terbagi atas dua bagian yaitu persiapan administrasi dan teknis.
Persiapan Adminstrasi.
Persiapan administrasi maksudnya adalah yang menyangkut administrasi misal surat-surat
kontrak, surat tugas.
Persiapan Teknis
Pada tahap persiapan meliputi, reconnaissance dan monumentasi.
IV | 8
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
4.3.2.2 Monumentasi
Pembuatan dan pemasangan BM akan mengikuti ketentuan sebagai berikut :
1) Setiap BM harus dilengkapi dengan keterangan yang diletakan di atas BM tersebut.
Desain, ukuran dan material BM akan ditentukan kemudian
2) Untuk memudahkan sistem penomoran akan mengikuti sistem penomoran titik GPS yang
dilakukan berdasarkan kode propinsi, orde dan ketelitian dan nomor urut titik.
3) Sketsa lapangan dan deskripsi harus dibuat untuk setiap BM. Dokumentasi akan memuat
foto dari 4 arah (utara, timur, selatan dan barat) agar dapat memberi gambaran latar
belakang lokasi dari setiap arah.
4) Pembuatan Deskripsi dengan menggunakan software GPS Point Description.mdb
IV | 9
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
IV | 10
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
b. Analisis
a) Pelaksanaan hitungan akan memberikan informasi tentang spesifikasi akurasi yang
diperoleh untuk setiap stasiun dan untuk setiap baseline.
b) Integritas pengamatan jaring harus dinilai berdasarkan :
Analisis dari baseline yang diamati dua kali (penilaian keseragaman)
Analisis terhadap perataan kuadrat terkecil jaring bebas (untuk menilai
konsistensi data)
Jika ada maka dapat juga dilakukan analisis perataan kuadrat terkecil untuk jaring
terikat dengan titik yang memiliki orde lebih tinggi (untuk menilai konsistensi
terhadap titik kontrol).
Akurasi komponen horizontal jaring akan dinilai terutama dari analisis elips
kesalahan garis 2 D yang dihasilkan oleh perataan jaring bebas.
IV | 11
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
Baseline yang lebih panjang dari 8 Km : komponen lintang dan bujur dari kedua baseline tidak
boleh besar dari 0,05 meter. Komponen tinggi tidak boleh berbeda lebih dari 0,10 meter.
Elips kesalahan garis harus dihasilkan untuk setiap baseline yang diamati dan untuk setiap
pasang stasiun dengan panjang yang kurang dari 4 Km.
Untuk jaring titik GPS ini, semi major axis dari elips kesalahan garis (ls) antara dua titik yang
berdekatan (baik dihubungkan langsung oleh suatu pengamatan maupun tidak) harus lebih
kecil dari harga parameter r yang dihitung sebagai berikut :
r = 30 (d + 0,2)
dimana :
r = panjang maksimum yang diperkenankan untuk semi- major axis (mm)
d = jarak dalam Km.
Perataan Jaringan
Transformasi Koordinat
IV | 12
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
IV | 13
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
Cover Facility (GLCF) Amerika Serikat menghasilkan ketelitian 1 meter. Sedangkan ketelitian
horisontal terbagi dalam 3 kategori yaitu :
1 arc-second/30-meter DEM untuk Amerika Serikat
3 arc-second/90-meter DEM untuk Dunia
30 arc-second/1km SRTM-GTOPO30 yang dikoreksi menggunakan GTOPO30 30
arc-second DEM
Pada kondisi data pada badan air, maka data SRTM harus diperbaiki lebih lanjut karena terjadi
kesalahan atau kehilangan nilai tinggi serta nilai negatif.
IV | 14
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
akurasinya jika dibandingkan dengan radar C-Band. Data radar X-Band diproses dan
didistribusikan oleh German Aerospace Center
IV | 15
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
Gambar 4.9 Perbandingan DEM Peta Topografi dan SRTM dalam 3 dimensi
Gambar 4.10 Perbandingan DEM Peta Topografi dan SRTM dalam 2 dimensi
IV | 16
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
IV | 17
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
IV | 18
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
IV | 19
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
Detail bangunan akan diidentifikasi dan dilengkapi dengan data yang menyangkut fungsi
bangunan (penggunaan) dan namanya, antara lain meliputi:
Bangunan perkantoran, baik pemerintah maupun swasta
Bangunan yang berfungsi sebagai tempat pendidikan seperti SD, SMP, SMA, dan
Perguruan tinggi (Akademi, Universitas, dll.)
Bangunan yang berfungsi sebagai tempat pelayanan masyarakat seperti Kantor Pos dan
Giro, Telkom, Pemancar Radio, Rumah Sakit, Kantor Kelurahan/Desa, Kantor
Kecamatan, Pasar, Hotel, Pertokoan, Pompa Bensin dll
Bangunan yang berfungsi sebagai tempat ibadah seperti Mesjid, Gereja, Klenteng,
Vihara
Bangunan yang merupakan kompleks perumahan
3. Jalan
Jalan yang harus diidentifikasi dan dicantumkan namanya antara lain: Jalan raya
propinsi, jalan raya kabupaten, jalan arteri.
Penulisan nama-nama harus benar dan jelas, misalnya Jln. Jendral Sudirman, Jln.
Manggis. Akan dicatat pula arah tujuan dari jalan seperti "menuju ke
kota/kecamatan/desa terdekat."
5. Detail Perairan
Detail perairan perlu diidentifikasi dan dicatat namanya sungai besar, pantai, laut,
danau, rawa-rawa, tambak
IV | 20
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
Detail perairan dengan aliran dicantumkan nama dan arahnya, misalnya Kali Brantas
dan arah alirannya
6. Kuburan
Untuk areal kuburan cukup ditulis "kuburan".
7. Titik Kontrol
Tugu-tugu Titik Dasar Teknik akan diidentifikasi, ditandai letaknya, dicatat nomor dan
kodenya.
Sedangkan koreksi geometrik adalah suatu proses untuk menghilangkan distorsi geometrik dari
suatu citra dan untuk memperoleh hubungan antar sistem koordinat citra dan sistem koordinat
geografik. Adapun penyebab terjadinya distorsi geometrik pada satelit inderaja di antaranya
IV | 21
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
adalah akibat pengaruh rotasi bumi, kelengkungan permukaan bumi, serta perbedaan ketinggian
dan kecepatan pada saat perekaman.
2. Distorsi nonsistematik
a. Altitude (ketinggian): Kesalahan ini disebabkan jika sensor berada pada ketinggian yang
normal atau permukaan bumi berada pada ketinggian yang normal maka akan
berpengaruh pada skala atau tepat pada Nadir.
b. Attitude (letak): kesalahan ini disebabkan oleh letak sensor (axis) mengalami
penyimpangan terhadap keadaan normal permukaan bumi.
Image
NADIR 1 mile =
IV | 22
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
Kesalahan sistematik dikoreksi oleh stasiun penerima (Ground Receiving) yang berada di bumi
sedangkan kesalahan nonsistematik umumnya masih ada dalam citra hasil perekaman dan harus
dikoreksi. Oleh karena itu perlu dilakukan rektifikasi citra.
Untuk melakukan pengkoreksian citra dapat digunakan metode orthorektifikasi. Metode ini
adalah metode transformasi koordinat yang dipadukan dengan pengkoreksian pixel peta
menggunakan metode proyeksi orthogonal yang sering dilakukan pada pengolahan foto udara
(orthophoto). Pada metode ini digunakan digital elevation model (DEM) untuk memberikan
bentuk terrain lokasi pemetaan yang berguna untuk mengoreksi kesalahan letak akibat
perbedaan tinggi (relief displacement).
IV | 23
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
pada satelit hasil emisi atau pantulan, pada umumnya tidak sesuai dengan emisi atau pantulan
objek bila diamati dari jarak dekat. Perbedaan ini merupakan akibat dari antara lain adanya
pengaruh azimut matahari dan relief ketinggian, kondisi atmosfer seperti : kabut (fog) atau
aerosol, respon, sensor. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan pantulan yang benar perlu dikoreksi.
Koreksi radiometrik juga diperlukan untuk memperbaiki kualitas visual citra dan sekaligus
memperbaiki nilai-nilai piksel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan spectral objek yang
sebenarnya. Kualitas visual citra berupa pengisian kembali garis yang kosong karena drop-out
baris maupun masalah kesalahan awal penyiapan (scanning start). Cara mengoreksinya adalah
dengan mengambil nilai suatu baris di atas dan di bawahnya, kemudian dirata-ratakan. Pada
pelaksanaannya koreksi radiometrik dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
- Relative radiometric response between detectors
- Non-responsive detector fill
- Conversion to absolute radiometry
4.6.2 Georeferencing
Georeferencing adalah proses transformasi koordinat citra satelit agar diperoleh suatu hubungan
antara sistem koordinat citra dengan sistem koordinat geosentrik atau sistem tanah berupa suatu
matriks rotasi. Terdapat dua hal yang dilakukan dalam proses ini yaitu :
a. Melakukan pengamatan titik kontrol yang ada pada citra satelit
b. Melakukan perhitungan matriks rotasi untuk memperoleh parameter transformasi
Dalam penyelesaian persamaan pada model ini digunakan teknik Bundle Adjustment. Maksudnya
adalah bahwa persamaan koreksi dilakukan secara simultan untuk semua data citra dan titik
kontrolnya. Dengan demikian akan diperoleh hasil koreksi yang semakin akurat serta merata di
semua daerah. Adapun ketelitian yang diharapkan dapat dicapai (RMS Error-nya) adalah 2 pixel.
Dengan demikian jika terdapat titik kontrol yang mempunyai kesalahan lebih dari 2 pixel maka
akan diedit atau jika tidak memungkinkan akan dihapus sampai semua titik kontrol mempunyai
kesalahan di bawah 2 pixel.
Data yang diperlukan untuk kegiatan ini adalah :
a. Data orbital citra satelit WORLDVIEW-2
b. Data koordinat titik kontrol tanah (BM)
IV | 24
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
pada citra dibagi menjadi dua tahap, yaitu proses rekonstruksi citra atau sering disebut juga
proses interpolasi spasial citra dan proses resampling disebut proses interpolasi intensitas.
Pada Gambar diatas diilustrasikan bagaimana proses koreksi geometrik citra dilakukan. Dapat
dilihat pada Gambar 4.3 (a) output citra (X,Y) menempatkan brightness value dari distorsi
geometrik pada input citra (X,Y). Original input image (raw data) adalah data asli dari
perekaman data citra satelit yang masih memiliki distorsi sistematik dan distorsi nonsistematik.
Dalam melakukan transformasi dari koordinat citra ke koordinat tanah masih terdapat
kesalahan. Kesalahan tersebut dapat ditentukan besarnya dengan RMSerror (Root Mean Square
Error) :
Pada umumnya nilai RMSerror ditentukan dengan toleransi (nilai ambang batas) sebesar 2 pixel.
Jika pada hasil evaluasi, nilai RMSerror suatu titik lebih besar dari nilai ambang yang ditentukan,
maka harus dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
IV | 25
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
1. Menghilangkan titik-titik kontrol tanah yang memiliki kesalahan terbesar dari kumpulan
titik.
2. Menghitung ulang koefesien.
3. Menghitung ulang RMSerror untuk seluruh titik
Dalam pelaksanaan rektifikasi ini yang paling penting adalah penempatan titik-titik kontrol
menyebar merata. Dengan pengertian jangan terpusat pada suatu daerah tertentu. Penempatan
titik kontrol tanah pada peta acuan harus sesuai atau tepat dengan posisi pada citra yang akan
dikoreksi. Hasil dari RMSerror yang kecil belum tentu mendapat ketelitian yang baik dari hasil
proses ini.
Proses Orthorektifikasi harus dapat mengeliminasi kesalahan akibat perbedaan terrain dan
kesalahan sensor. Untuk itu dalam proses orthorektifikasi dibutuhkan penggabungan antara
rektifikasi dengan mengikutsertakan data terrain yang diperlihatkan dalam digital elevation
model (DEM) dan parameter kalibrasi kamera (sensor) kedalam persamaan hitungannya.
Orthorektifikasi diyakini lebih akurat dari pada rektifikasi sederhana yang biasa digunakan
terutama pada daerah dengan terrain yang berbukit atau bergunung. Adapun koreksi sensor atau
kamera meliputi :
Internal detector geometry
Optical distortion
Scan distortion
Any line-rate variations
IV | 26
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
Selanjutnya hal yang perlu untuk diperhatikan adalah ketelitian hasil pengolahan citra. Ketelitian
yang diharapkan adalah 2-3 pixel pada titik kontrol atau check point (CP) yaitu sekitar 5-7,5
meter dimana hal ini akan sesuai dengan ketelitian peta skala 1 : 10.000 yaitu sebesar 0.5 mm di
peta yang menghasilkan nilai 5 meter.
4.6.4 Resampling
Pada proses orthorektifikasi terdapat metode resampling yang umum digunakan diantaranya
adalah Nearest neighbor, Bilinier, Cubic Convolution. Pada kegiatan ini metode resampling yang
akan digunakan adalah metode resampling Nearest neighbor karena pada pendekatan ini, titik
terdekat akan di sampling dengan menempatkan titik citra yang terkoreksi secara radiometrik ke
titik terdekat pada citra yang belum diproses dan citra hasil resampling akan mendekati citra
aslinya. Dari pengalaman perubahan nilai grey value akibat dari penggunaan metode ini kecil
sekali.
IV | 27
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
alam dan buatan untuk dibandingkan posisinya. Kedua hal ini dapat dijadikan acuan kualitas peta
yang dihasilkan.
Pembuatan mosaik direncanakan pada skala foto 1 : 5.000. Pada proses mosaick ini kegiatan yang
dilaksanakan adalah sebagai berikut:
Gambar 4.21 Citra sebelum mosaicking Gambar 4.22 Citra setelah mosaicking
IV | 28
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
Pembagian dan penomoran lembar peta disesuaikan dengan pembagian dan penomoran
peta dasar pendaftaran tanah skala 1 : 5.000
Ukuran muka peta adalah 50 cm x 50 cm ditambah 5 cm disebelah kiri kanan, atas dan
bawah sebagai bagian overlap dengan lembar berdampingan sehingga ukuran lembar
peta foto seluruhnya adalah 60 cm x 60 cm. Ruang legenda dan keterangan lainnya
ditiadakan.
Tahap kegiatan selanjutnya setelah proses pemotongan citra satelit selesai adalah
melengkapi citra satelit dengan informasi hasil identifikasi lapangan dan menambahkan
beberapa informasi agar memenuhi kaidah dan format peta foto yang telah ditentukan
oleh Bakosurtanal. Ketentuan dan Informasi yang harus ada pada peta foto adalah sebagai
berikut:
Nama dan fungsi bangunan, seperti sungai, jalan, gedung yang dapat diidentifikasi.
Pembagian dan penomoran lembar peta disesuaikan dengan pembagian dan penomoran
peta dasar pendaftaran tanah secara nasional dengan sistem Proyeksi UTM dan
pembagian lembar untuk skala 1 : 5.000.
Ukuran muka peta adalah 50 cm x 50 cm ditambah 5 cm disebelah kiri, kanan, atas dan
bawah sebagai bagian overlap dengan lembar berdampingan, sehingga ukuran lembar
peta foto seluruhnya adalah 60 cm x 60 cm.
Pengeplotan image foto udara hasil orthophoto akan menggunakan inkjet plotter AO
presisi
Bahan yang digunakan adalah bahan yang stabil jenis medium glossy paper dengan
ketebalan 0.03 mm dan digunakan sebelum tanggal kadaluwarsa yang ditentukan oleh
pabrik
Jarak antara setiap 100 mm. Setiap intersection grid harus diberi tanda berupa garis
silang dengan panjang garis 1 cm dan tebal 0.2 mm. Penarikan garis grid dengan warna
hitam. Pemberian nomor grid ditulis pada sisi luar bidang gambar peta foto
IV | 29
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
- skala peta (grafis dan numeris), indeks peta dan keterangan lainnya.
Dalam kaitannya dengan proses klasifikasi, maka proses klasifikasi pada citra satelit yang akan
dilakukan adalah sebagai upaya untuk dapat melakukan klasifikasi jenis penggunaan lahan pada
wilayah yang dipetakan. Proses ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara otomatik yang
dikerjakan oleh komputer serta proses manual yang merupakan hasil interpretasi dan analisis
operator komputer.
Untuk kebutuhan lain, diusulkan untuk membuat peta tematik penggunaan lahan menggunakan
metode manual guna mengidentifikasikan jenis-jenis penggunaan lahan. Dengan cara ini maka
diharapkan dapat melakukan identifikasi jenis tanaman hanya melalui citranya saja. Guna
membantu proses klasifikasi yang akan dilakukan, maka dapat ditetapkan beberapa lokasi yang
ditetapkan sebagai training area. Sedangkan untuk pelaksanaan klasifikasi maka terdapat dua
metode yang dapat dipakai yaitu : klasifikasi terawasi (supervised clasification) dan klasifikasi tak
terawasi (unsupervised clasification).
IV | 30
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
Proses klasifikasi dimulai dengan mempelajari citra yang akan diklasifikasi dan
membandingkannya dengan informasi referensi penunjang yang tersedia. Berdasarkan referensi
penunjang kemudian dibentuk satu set sampel yang elemennya terdiri dari pixel-pixel yang
mewakili kategori objek yang telah diidentifikasi, biasanya dipilih pixel-pixel dengan variasi
besar sehingga dapat mencerminkan karakter kelompok objek yang bersangkutan. Proses
dilanjutkan dengan perhitungan nilai statistik dengan harga rata-rata dan matrik kovarian setiap
objek. Nilai statistik tersebut merupakan hasil sementara yang berbentuk deskripsi, yang
kemudian akan digunakan sebagai dasar proses klasifikasi citra. Setelah seluruh data dapat
dikelompokkan, hasil keluarannya disajikan dalam bentuk peta. Prosedur klasifikasi terawasi
dapat dilihat pada diagram berikut :
IV | 31
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
clustering. Pada proses tersebut data dikelompokkan menjadi sejumlah cluster. Satu cluster
dalam satu data merupakan suatu himpunan suatau data yang serupa. Jumlah cluster dalam suatu
data ditentukan berdasarkan penilaian subyektif pemakai data. Pada akhir proses clustering
dilakukan proses asosiasi antar objek dan clusteer yang terbentuk, proses tersebut merupakan
proses identifikasi cluster menjadi kategori objek tertentu.
Untuk dapat melakukan interpretasi yang akurat maka diperlukan beberapa kunci interpretasi.
Kunci interpretasi citra terdiri atas delapan butir yaitu rona, ukuran, bentuk, tekstur,
pola,bayangan dan situs/asosiasi. Unsur interpretasi tersebut didasarkan tingkat kerumitannya
dibedakan menjadi empat tingkat yaitu:
a. Kunci interpretasi primer, yaitu : rona dan warna
b. Kunci interpretasi sekunder, yaitu : bentuk, ukuran dan tekstur
c. Kunci interpretasi tersier, yaitu : pola dan bayangan
d. Kunci interpretasi lebih tinggi, yaitu : situs/asosiasi
Rona
Rona (tone/color tone/grey tone) ialah tingkat kegelapan atau kecerahan pada citra. Rona
merupakan atribut bagi obyek yang berinteraksi dengan seluruh spektrum tampak yang
disebut sinar putih, yaitu spektrum dengan panjang gelombang (0.4-0.7) m.
Warna
IV | 32
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
Warna ialah ujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum sempit, lebih
sempit dari spektrum tampak.
Bentuk
Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi atau kerangka suatu
obyek. Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga banyak obyek yang dapat dikenali
dengan melihat bentuknya. Bentuk dikelompokkan dalam tingkatan sekunder berdasarkan
susunan tingkat kerumitannya dalam menginterpretasi citra. Ada dua istilah di dalam
bahasa inggris yang artinya bentuk yaitu shape dan form. Shape ialah bentuk luar atau
bentuk umum, sedangakan form merupakan susunan atau struktur yang lebih rinci.
Ukuran
Ukuran ialah atribut yang merupakan fungsi dari skala, yang antara lain berupa jarak, luas,
tinggi dan volume. Maka dalam memanfaatkan ukuran sebagai unsur interpretasi citra
maka skala citra harus dipertimbangkan.
Tekstur
Tekstur ialah frekuensi perubahan rona pada citra. Tekstur dihasilkan oleh kumpulan unit
kenampakan yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual. Tekstur merupakan hasil
gabungan dari bentuk, ukuran, pola, bayangan, dan ronanya. Apabila skala citra diperkecil,
maka tekstur pada obyek akan semakin halus.
Pola
Pola ialah hubungan susunan spasial suatu obyek. Pengulangan bentuk umum tertentu
merupakan karakteristik bagi banyak obyek alamiah maupun buatan/bangunan akan
memberikan suatu pola yang membantu dalam mengenali obyek tersebut. Pola tingkat
kerumitannya setingkat lebih tinggi dari tingkat kerumitan bentuk, ukuran dan tekstur.
Bayangan
Bayangan bersifat menyembunyikan detail/obyek yang berada di daerah gelap. Obyek yang
terletak di daerah bayangan umumnya tidak tampak sama sekali atau kadang-kadang
samar. Meskipun demikian, bayangan sering menjadi kunci pengenalan penting bagi
beberapa obyek yang justru lebih tampak dari bayangannya.
Situs/Asosiasi
Situs/asosiasi adalah keterkaitan obyek dengan obyek lainnya. Karena ada keterkaitan
tersebut suatu obyek pada citra merupakan petunjuk bagi obyek lainnya.
IV | 33
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
referensi ini akan dilakukan pengamatan nilai-nilai spectral dari jenis-jenis pepohonan atau
vegetasi yang tumbuh disana. Nilai spectral yang diperoleh akan dijadikan sebagai acuan untuk
mengidentifikasi jenis-jenis pepohonan di lain tempat tanpa perlu untuk datang ke tempat
bersangkutan. Nilai spectral yang diukur di training area ini selanjutnya dijadikan standar untuk
mengklasifikasi jenis penggunaan lahan di lain tempat. Lokasi dan jumlah training area
diupayakan merata di berbagai tempat yang dianggap mewakili keseluruhan wilayah kajian.
Terdapat perbedaan mendasar antara kedua jenis citra tersebut, citra pancromatic (P) memiliki
satu buah band dengan panjang gelombang antara 0.51 0.73 m. Sedangkan citra multispectral
memiliki 4 band yaitu XS1 antara 0.50 0.59 m (hijau), band XS2 mencakup antara 0.61 0.68
m (merah), band XS3 antara 0.79 0.89 m (Near IR) dan XS4 antara 1.58 1.75 m (Mid-IR).
Dengan adanya perbedaan resolusi spasial dan spectral tersebut, maka citra pancromatic
memiliki resolusi spasial yang lebih tinggi dari pada citra multispectral. Tetapi citra pancromatic
hanya memiliki satu buah band, sehingga hanya dapat membuat citra dalam visualisasi hitam-
putih saja. Sedangkan citra multispectral memiliki 4 buah band sehingga dapat dibuat citra
berwarna.
Fusi kedua citra akan memberikan hasil yang baik, karena citra dengan resolusi yang rendah akan
dikonversi menjadi citra yang resolusinya disesuaikan dengan citra yang memiliki resolusi tinggi.
Dengan demikian jika citra pancromatic dengan resolusi 0.46 meter hitam putih difusi dengan
citra multispectral dengan resolusi 1.84 meter berwarna, akan menghasilkan citra dengan
resolusi 1.84 meter berwarna.
IV | 34
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
a. Teknik pewarnaan atau teknik komposit warna dengan menggunakan prinsip ruang
warna RGB (red-green-blue) atau HSI (hue-saturation-intensity) berdasarkan 3 band data
citra atau transformasi keduanya.
b. Metode statistika atau numerik. Metode ini prosesnya berdasarkan pada nilai statistik
yang dilakukan dengan melihat hubungan dan korelasi antar data citra, sedangkan metode
numerik dilakukan berdasarkan algoritma matematis seperti pengurangan, penambahan,
perkalian ataupun pembagian termasuk kombinasi dari algoritma ini.
Dalam melakukan penggabungan data citra dapat dilakukan dengan beberapa metode, jika dilihat
dari sumber datanya maka terdapat beberapa cara :
a. sensor tunggal temporal
b. beda sensor temporal
c. sensor tunggal spasial
d. beda sensor spasial
e. beda sensor waktu perekaman sama
f. data citra dengan data tambahan
Dalam pelaksanaan proses fusi resolusi spasial kedua citra yang akan disamakan menjadi ukuran
yang terkecil. Jadi jika citra 0.46 meter difusi dengan citra 1.86 meter, maka citra 1.86 meter akan
diubah menjadi citra 0.46 meter. Sedangkan spectralnya merupakan penggabungan keduanya,
sehingga jika citra pancromatic yang hanya memiliki satu buah band akan digabungkan dengan
citra multispectral dengan 4 buah band, maka pengabungan akan menghasilkan citra dengan
jumlah band 4 atau 5 buah tergantung persamaan fusi yang digunakan.
Pada teknik RGB, yang akan dilakukan adalah dengan menggabungkan band P dengan band XS1
dan band XS2, sedangkan band XS3 yang secara spectral berbeda dengan band pancromatic (P)
di resampling menjadi 1.86 meter. Input yang digunakan dalam fusi ini adalah :
IV | 35
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
data spasial baru yang lebih detail. Secara garis besar tahapan pekerjaan ini seperti diperlihatkan
pada di bawah ini yang meliputi :
1. Identifikasi data eksisting
Identifikasi data eksisting dimaksudkan untuk mengetahui kondisi dan keberadaan
data dan informasi spasial di kawasan Kabupaten atau Kota. Dalam hal ini dilakukan
pengumpulan informasi tentang keberadaan peta dasar yang ada, skala peta, sistem
peta dan kelembagaan yang menjadi pemilik dan pemelihara data tersebut
(custodianship).
Berdasarkan pengalaman konsultan selama ini dalam menangani pekerjaan-
pekerjaan bidang Sistem Informasi Geografis (SIG), dapat diindikasikan bahwa
beberapa Dinas/Instansi teknis telah memiliki dan menggunakan peta untuk
keperluan operasional kegiatannya. Namun demikian, kondisi data spasial (peta)
yang ada pada tiap Dinas/Instansi tersebut biasanya mempunyai tingkat kedalaman
yang berbeda dan dengan sistem pemetaan yang berbeda pula.
IV | 36
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
IV | 37
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
Kodifikasi merupakan proses pemberian kode (identifier) untuk setiap unsur grafis.
Dimana kode ini harus merupakan nilai yang unik untuk setiap unsur spasial dan
berfungsi sebagai penghubung dengan data atribut.
8. Penyimpanan
Data spasial yang telah didigitalisasi selanjutnya disimpan sebagai bagian dari basis
data daerah yang siap diintegrasikan dengan data spasial baru yang akan dibangun
dan siap dimanfaatkan untuk berbagai keperluan yang mendukung pembangunan
daerah.
IV | 38
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
IV | 39
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
4.8.2 Perancangan Model Konseptual (Basis Data Spasial dan Atribut) dan
Pengembangan Aplikasi
4.8.2.1 Kemampuan Aplikasi Sistem
Berdasarkan KAK dan hasil kajian awal yang dilakukan konsultan, dapat disimpulkan bahwa
sistem yang akan dibangun harus mempunyai kemampuan menangani berbagai
permasalahan dasar yang terjadi, dengan rincian kemampuan sebagai berikut:
a. Sistem yang dibangun diharapkan dapat dimengerti oleh pengguna akhir (end user).
b. Sistem yang akan dibangun dapat secara langsung diaplikasikan dengan
menampilkan data-data spasial.
c. Sistem yang akan dibangun diharapkan dapat kompatibel dengan peralatan yang ada
di instansi pengguna. Peralatan disini mencakup perangkat keras (hardware) maupun
perangkat lunak (software).
d. Sistem yang akan dibangun diharapkan dapat menampilkan dan menyediakan
informasi yang diinginkan secara cepat, tepat dan akurat.
e. Sistem yang dibangun diharapkan memberikan kemudahan bagi pengguna dalam hal
pengoperasiannya.
f. Sistem yang akan dibangun diharapkan tidak akan mengalami perubahan-perubahan
yang mendasar apabila terjadi perubahan-perubahan (updating) pada basis data
tabular maupun pada data spasial atau dapat dikatakan Open System.
g. Sistem yang dibangun mampu melakukan analisis mengenai permasalahan yang
mungkin terjadi di kawasan terkait.
h. Sistem yang dibangun dapat memudahkan dan mempercepat manajemen basis data
kegiatan penataan ruang pada semua tahapan, yaitu input, edit dan output serta
updating data.
i. Sistem yang dibangun mempunyai fasilitas penelusuran data (query) baik untuk data
spasial maupun data atribut.
IV | 40
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
(extention) tambahan untuk berbagai analisis spasial telah banyak beredar di pasaran dan
sedang terus dikembangkan. Produk akhir dari aplikasi yang dibangun merupakan aplikasi
hasil dari pemograman yang format penyajiannya sudah tidak terkait dengan software
pembangunnya.
Berdasarkan hasil kajian terhadap TOR, inventarisasi kebutuhan dan kondisi eksisting,
berikut ini diidentifikasi Fundamental Data Set untuk keperluan manajemen pertanahan.
IV | 41
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
IV | 42
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
IV | 43
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
IV | 44
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
IV | 45
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
Tool Luasan
IV | 46
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
IV | 47
Penyusunan Peta Detail Tata Ruang Yang Diperlukan Dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota Cirebon
IV | 48