You are on page 1of 10

Tugas

Landasan Ilmu Pendidikan

Filsafat Pendidikan, Dasar Filsafat dan Ilmu Pendidikan

By:
DONA SURIZAL
15178058

ENGLISH EDUCATION PROGRAM


GRADUATE PROGRAM OF LANGUAGE AND ARTS FACULTY
STATE UNIVERSITY OF PADANG
2016
Filsafat Pendidikan, Dasar Filsafat dan Ilmu Pendidikan

1. Filsafat Pendidikan
a) Pengertian Filsafat Pendidikan
Merupakan terapan dari filsafat umum, maka selama membahas filsafat
pendidikan akan berangkat dari filsafat. Istilah filsafat yang merupakan terjemahan
dari philosophy (bahasa Inggris) berasal dari bahasa Yunani philo (love of ) dan
sophia (wisdom). Jadi secara etimologis filsafat artinya cinta atau gemar akan
kebajikan (love of wisdom). Cinta artinya hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar
atau yang sungguh-sungguh.Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kebenaran
yang sesungguhnya.Dengan demikian, filsafat berarti hasrat atau keinginan yang
sungguh-sungguh akan kebenaran sejati. Demikian arti filsafat pada mulanya.
Berdasarkan arti secara etimologis sebagaimana dijelaskan di atas kemudian
para ahli berusaha merumuskan definisi filsafat. Secara umum, filsafat dinyatakan
sebagai suatu usaha untuk berpikir secara radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir
dengan mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Aktivitas tersebut diharapkan dapat
menghasilkan suatu kesimpulan universal dari kenyataan partikular atau khusus, dari
hal yang tersederhana sampai yang terkompleks.
Manan menyebutkan bahwa dalam arti luas, pendidikan mencakup semua
proses, kecuali yang bersifat genetis, yang menolong membentuk fikiran, karakter,
atau kapasitas fisik seseorang.
Jadi Filsafat pendidikan adalah suatu aktivitas yang teratur yang menjadikan
filsafat itu sebagai jalan mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.
Filsafat Pendidikan dapat diartikan juga upaya mengembangkan potensi-potensi
manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar
potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar
pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan
pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai
tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam
studi mengenai masalah-masalah pendidikan. Filsafat pendidikan adalah suatu
sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan
yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa "Pancasila" yang
diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan
cita-cita bangsa dan negara Indonesia.
Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan
menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang
realitas, pengetahuan, dan nilai. Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab/aliran-aliran,
seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat
pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam
alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran,
sekurang-kurnagnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri.

b) Latar Belakang Munculnya Filsafat Pendidikan


a. Ajaran filsafat yang komprehensif telah menempati status yang tinggi
dalam kehidupan kebudayaan manusia, yakni sebagai ideology suatu
bangsa dan negara.
b. Tujuan berfilsafat adalah membina manusia mempunyai akhlaq yang
tertinggi.
c. Eksistensi suatu bangsa adalah eksistensi ideology dan filsafat
hidupnya, makademi mewariskan eksistensi tersebut jalan yang efektif
adalah melalui pendidikan.
d. Tidak berbeda dengan fungsi Filsafat pendidikan adalah suatu
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya kepribadian utama.
e. Pendidikan secara fundamental didasarkan atas asas -asas filosofis dan
ilmiah untuk menjamin tujuan pendidikan yaitu: meningka tkan
perkembangan social budaya bahkan martabat bangsa, kewibawaan, dan
kejayaan Negara
c) Tujuan Filsafat Pendidikan
a. M e m b e r i k a n l a n d a s a n d a n s e k a l i g u s m e n g a r a h k a n k e p a d a p r o s e s
p e l a k s a n a a n pendidikan.
b. Membantu mempejelas tujuan-tujuan pendidikan.
c. Melaksanakan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan tersebut.
d. Melakukan evaluasi terhadap metode dari proses pendidikan.
2. Aliran-aliran Dalam Filsafat pendidikan
a) Filsafat Pendidikan Idealisme
Memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Pengetahuan
yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini
memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar,
cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh
dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David Hume, Al Ghazali
b) Filsafat Pendidikan Realisme
Merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat
bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia rohani. Realisme membagi
realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak
dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek
pengetahuan manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos
Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John
Stuart Mill.
c) Filsafat Pendidikan Materialisme
Berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual atau
supernatural. Beberapa tokoh yang beraliran materialisme: Demokritos
d) Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat
empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang
manusia alami. Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce,
wiliam James, John Dewey, Heracleitos.
e) Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme
menekankan pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari
keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas.
Beberapa tokoh dalam aliran ini: Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber,
Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich
f) Filsafat Pendidikan Progresivisme
Bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan
merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini
berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa
mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau
bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, william O. Stanley,
Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C. Neff
g) Filsafat Pendidikan Esensialisme
Adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai
suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa
pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum
muda. Beberapa tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick
Breed dan Isac L. Kandell.
h) Filsafat Pendidikan Perenialisme
Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh.
Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka
menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang
baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan,
ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan
sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan
tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum
yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh
pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.
i) Filsafat Pendidikan rekonstruksionisme
Merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas
suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan
masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh
George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru,
masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Caroline Pratt,
George Count, Harold Rugg.

3. Fungsi Filsafat Pendidikan


1. Fungsi Spekulatif.
Filsafat pendidikan berusaha mengerti keseluruhan persoalan pendidikan dan
mencoba merumuskannya dalam satu gambaran pokok sebagai pelengkap bagi data-data
yang telah ada dari segi ilmiah. Filsafat pendidikan berusaha mengerti keseluruhan
persoalan pendidikan dan antar hubungannya dengan faktor-faktor lain yang
mempengaruhi pendidikan.
2. Fungsi Normatif.
Sebagai penentu arah, pedoman untuk apa pendidikan itu. Asas ini tersimpul dalam
tujuan pendidikan, jenis masyarakat apa yang ideal yang akan dibina. Khususnya norma
moral yang bagaimana sebaiknya yang manusia cita-citakan. Bagaimana filsafat
pendidikan memberikan norma dan pertimbangan bagi kenyataan-kenyataan normatif
dan kenyataan-kenyataan ilmiah, yang pada akhirnya membentuk kebudayaan.
3. Fungsi Kritik.
Terutama untuk memberi dasar bagi pengertian kritis rasional dalam pertimbangan
dan menafsirkan data-data ilmiah. Misalnya, data pengukuran analisa evaluasi baik
kepribadian maupun achievement (prestasi). Fungsi kritik bararti pula analisis dan
komparatif atas sesuatu, untuk mendapat kesimpulan. Bagaimana menetapkan klasifikasi
prestasi itu secara tepat dengan data-data obyektif (angka-angka, statistik). Juga untuk
menetapkan asumsi atau hipotesa yang lebih resonable. Filsafat harus kompeten,
mengatasi kelemahan-kelemahan yang ditemukan bidang ilmiah, melengkapinya dengan
data dan argumentasi yang tak didapatkan dari data ilmiah.
4. Fungsi Teori Bagi Praktek.
Semua ide, konsepsi, analisa dan kesimpulan-kesimpulan filsafat pendidikan adalah
berfungsi teori. Dan teori ini adalah dasar bagi pelaksanaan/praktek pendidikan. Filsafat
memberikan prinsip-prinsip umum bagi suatu praktek.
5.Fungsi Integratif.
Mengingat fungsi filsafat pendidikan sebagai asa kerohanian atau rohnya pendidikan,
maka fungi integratif filsafat pendidikan adalah wajar. Artinya, sebagai pemadu
fungsional semua nilai dan asas normatif dalam ilmu pendidikan.

4. Dasar-dasar Filsafat Ilmu Pendidikan


Dasar-dasar ilmu pendidikan yaitu :
1. Pedagogik sebagai ilmu murni menelaah fenomena pendidikan, yaitu :
Adapun data itu mencakup fakta dan nilai serta jalinan antara keduanya. Data factual tidak
berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi yang ditelaah ilmuwan itu secara
empiris. Begitu pula data nilai tidak berasal dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman
atas manusia secara hakiki. Filsafat menjadi ilmu dasar karena ilmu pendidikan tidak
menganut aliran atau suatu filsafat tertentu.
Implikasi jelas bahwa batang tubuh ilmu pendidikan haruslah sekurang-kurangnya secara
mikro mencakup
a. Relasi sesama manusia pendidik dengan terdidk
b. Pentingnya ilmu pendidikan mempergunakan metode fenomenologi secara kualitatif.
c. Orang dewasa yang berperan sebagai pendidik.
d. Keberadaan anak manusia sebagai terdidik
e. Tujuan pendidikan
f. Tindakan dan proses pendidikan.
g. Lingkungan dan lembaga pendidikan.
Pendidikan luar sekolah dalam arti terbatas dengan batang tubuh yang di perlukan
lingkupnya sehingga meliputi :
a. Konteks social budaya
b. Filsafat pendidikan dan sejarah pendidikan
c. Teori, pengembangan dan pembinaan kurikulum, serta cabang ilmu pendidikan lainnya
yang bersifat dreskriptif
d. Berbagai study empiric tentang fenomena pendidikan
e. Berbagai study pendidikan aplikatif khususnya mengenai pengajaran termasuk
pengembangan.
2. Telaah ilmiah dan kontribusi ilmu bantu
Yang menjadi inti ilmu pendidikan teoritis ialah Pedagogik sebagai ilmu
mendidik yaitu mengenai tealaah (atau studi) pendidikan anak oleh orang dewasa.
Pedagogik teoritis selalu bersifat sistematis karena harus lengkap problematic dan
pembahasannya.
Diantara ilmu bantu yang penting bagi pedagogic dan androgogi ialah : biologi,
psikologi, sosiologi, antropologi budaya, sejarah dan fenomenologi (filsafah).
a. Pendekatan fenomenologi dalam menelaah gejala pendidikan
b. Pedagogik adalah ilmu pendidikan yang bersifat teoritis dan bukan pedagogic
yang filosofis. Pedagogik melakukan telaah fenomenologis atas fenomen yang
bersifat empiris sekalipun bernuansa normative. Berfikir filosofis pada satu sisi
dan di pihak lain pengalaman dan penyelidikan empiris berjalan bersama-sama.
c. Kontribusi ilmu-ilmu bantu terhadap pedagogic
d. Ilmu pendidikan khususnya pedagogic dan andropologi tidak menggunakan
metoda deskriptif-eksperimental karena manfaatnya terbtas pada pemahaman
atas perubahan perilaku siswa. Sedangkan prediksi dan kontrol yang
eksperimental diterapakan dan itupun manfaatnya terbatas sekali.
e. Pedagogic dan andropologi harus menjadi ilmu otonom yang menerapkan
metode fenomenologi secara kualitatif. Maksudnya ialah agar dapat
memperoleh data yang tidak normative (data factual) dalam jumlah seperlunya
dari ilmu biologi, psikologi dan ilmu-ilmu sosial
1. Dasar ontologis ilmu pendidikan
Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan.
Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman
pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan
ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia
yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapokan melampaui manusia sebagai
makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik
(good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).
Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu
pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan.
Didalam situiasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk
berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh
saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar
mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan
tetapipada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi
yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan
mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak
pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara
terhormat sebagai pribai pula, terlpas dari factor umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya.
Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian makaa menurut Gordon (1975: Ch. I) akan
terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas factor hubungan serta didik-pendidik
atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif
sekalipun bersifat optimal, pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi
kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.
2. Dasar epistemologis ilmu pendidikan
Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi
mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun pengumpulan
data di lapangan sebagian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namun telaah atas objek formil
ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin stui empirik
dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitatif,
artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca
positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau
ilmuwan sebagai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya.
Karena penelitian tertuju tidak hnya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan
& Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang
fenomen pendidikan maka validitas internal harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian
dan penyelidikan seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian
etnografis dan penelitian ex post facto. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat
ditentukan bahwa dalam menjelaskaan objek formalnya, telaah ilmu pendidikan tidaak hanya
mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan
sebgaai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri
sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental
(Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan
secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis
(Randall &Buchler,1942).
3. Dasar aksiologis ilmu pendidikan
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga
diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses
pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya
bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu
untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek mmelalui kontrol
terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan.
Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang
sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal
ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti
dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi
pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum
jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku. Lebih-
lebih di Indonesia.
Implikasinya ialah bahwa ilmupendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-
ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat
unifikasi satu-satunya metode ilmiah (Kalr Perason,1990).
4. Dasar antropologis ilmu pendidikan
Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara pendidik
sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula dimana terjadi pemberian bantuan
kepada pihak yang belakangan dalaam upaayanya belajr mencapai kemandirian dalam batas-
batas yang diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat
dialogis ini maka 3 dasar antropologis berlaku universal tidak hanya (1) sosialitas dan (2)
individualitas, melainkan juga (3) moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia
pendidikan nasional didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem
pengajaran nasional disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu
(4) religiusitas, yaitu pendidik dalam situasi pendidikan sekurangkurangnya secara mikro
berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada
Tuhan Yang Maha Esa.

You might also like