You are on page 1of 24

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN ACUTE RESPIRATORY

DISTRESS SYNDROME (ARDS)

DI SUSUN OLEH :
DESTIAWATI A.12.11.038
EKA JANUARISTA A.12.11.041

TINGKAT : II.B AKPER

DOSEN PEMBIMBING : ITALIA, S.Kep, S.Pd

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MITRA ADIGUNA


PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
PALEMBANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) adalah keadaan darurat
medis yang dipicu oleh berbagai proses akut yang berhubungan langsung ataupun
tidak langsung dengan kerusakan paru. (Aryanto Suwondo, 2006).
ARDS mengakibatkan terjadinya gangguan paru yang progresif dan tiba-
tiba ditandaidengan sesak napas yang berat, hipoksemia dan infiltrat yang
menyebar dikedua belah paru. ARDS (juga disebut syok paru) akibat cedera paru
dimana sebelumnya paru sehat,sindrom ini mempengaruhi kurang lebih 150.000
sampai 200.000 pasien tiap tahun, dengan lajumortalitas 65% untuk semua pasien
yang mengalami ARDS. Faktor resiko menonjol adalahsepsis. Kondisi pencetus
lain termasuk trauma mayor, KID, tranfusi darah, aspirasi tenggelam,inhalasi asap
atau kimia, gangguan metabolik toksik, pankreatitis, eklamsia, dan kelebihan
dosisobat. Perawatan akut secara khusus menangani perawatan kritis dengan
intubasi dan ventilasimekanik (Doenges 1999 hal 217).
ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa
trauma jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung. ARDS terjadi
sebagai akibat cederaatau trauma pada membran alveolar kapiler yang
mengakibatkan kebocoran cairan kedalamruang interstisiel alveolar dan
perubahan dalam jaring-jaring kapiler, terdapat ketidakseimbanganventilasi dan
perfusi yang jelas akibat akibat kerusakan pertukaran gas dan pengalihan
ekstansif darah dalam paru-paru. ARDS menyebabkan penurunan dalam
pembentukan surfaktan, yangmengarah pada kolaps alveolar. Komplians paru
menjadi sangat menurun atau paru-paru menjadikaku akibatnya adalah penuruna
karakteristik dalam kapasitas residual fungsional, hipoksia beratdan hipokapnia
(Brunner & Suddart 616).

1
Oleh karena itu, penanganan ARDS sangat memerlukan tindakan khusus
dari perawatuntuk mencegah memburuknya kondisi kesehatan klien. Hal tersebut
dikarenakan klien yang mengalami ARDS dalam kondisi gawat yang dapat
mengancam jiwa klien.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan kerusakan paru
total akibat berbagai etiologi. Keadaan ini dapat dipicu oleh berbagai hal,
misalnya sepsis, pneumonia viralatau bakterial, aspirasi isi lambung, trauma dada,
syok yang berkepanjangan, terbakar, embolilemak, tenggelam, transfusi darah
masif, bypass kardiopulmonal, keracunan O2 , perdarahan pankreatitis akut,
inhalasi gas beracun, serta konsumsi obat-obatan tertentu. ADRS merupakan
keadaan darurat medis yang dipicu oleh berbagai proses akut yang berhubungan
langsungataupun tidak langsung dengan kerusakan paru (Aryanto Suwondo,
2006).
ARDS atau Sindroma Distres Pernafasan Dewasa ( SDPD ) adalah kondisi
kedaruratan paru yang tiba-tiba dan bentuk kegagalan nafas berat, biasanya terjadi
pada orang yangsebelumnya sehat yang telah terpajan pada berbagai penyebab
pulmonal atau non-pulmonal (Hudak, 1997).
ARDS adalah Penyakit akut dan progressive dari kegagalan pernafasan
disebabkanterhambatnya proses difusi oksigen dari alveolar ke kapiler (a-c block)
yang disebabkan olehkarena terdapatnya edema yang terdiri dari cairan koloid
protein baik interseluler maupun intraalveolar. (Prof. Dr. H. Tabrani Rab, 2000)

2.2 Epidemiologi
ARDS (juga disebut syok paru) akibat cedera paru dimana sebelumnya
paru sehat,sindrom ini mempengaruhi kurang lebih 150.000 sampai 200.000
pasien tiap tahun, dengan lajumortalitas 65% untuk semua pasien yang
mengalami ARDS. Faktor resiko menonjol adalahsepsis. Kondisi pencetus lain
termasuk trauma mayor, KID, tranfusi darah, aspirasi tenggelam,inhalasi asap
atau kimia, gangguan metabolik toksik, pankreatitis, eklamsia, dan kelebihan

3
dosisobat. Perawatan akut secara khusus menangani perawatan kritis dengan
intubasi dan ventilasimekanik (Doenges 1999 hal 217).
Penderita yang bereaksi baik terhadap pengobatan, biasanya akan sembuh
total, denganatau tanpa kelainan paru-paru jangka panjang. Pada penderita yang
menjalani terapi ventilator dalam waktu yang lama, cenderung akan terbentuk
jaringan parut di paru-parunya. Jaringan paruttertentu membaik beberapa bulan
setelah ventilator dilepas.

2.3 Etiologi
ARDS dapat terjadi akibat cedera langsung kapiler paru atau alveolus.
Namun, karena kapiler dan alveolus berhubungan sangat erat, maka destruksi
yang luas pada salah satunya biasanya menyebabkan estraksi yang lain. Hal ini
terjadi akibat pengeluaran enzim-enzim litik oleh sel-sel yang mati, serta reaksi
peradangan yang terjadi setelah cedera dan kematian sel. Contoh-contoh kondisi
yang mempengaruhi kapiler dan alveolus disajikan di bawah ini.
Destruksi kapiler, apabila kerusakan berawal di membran kapiler, maka
akan terjadi pergerakan plasma dan sel darah merah ke ruang interstisium. Hal ini
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbon dioksida untuk
berdifusi, sehingga kecepatan pertukaran gas menurun. Cairan yang menumpuk di
ruang interstisium bergerak ke dalam alveolus, mengencerkan surfaktan dan
meningkatkan tegangan permukaan. Gaya yang diperlukan untuk
mengembangkan alveolus menjadi sangat meningkat. Peningkatan tegangan
permukaan ditambah oleh edema dan pembengkakan ruang interstisium dapat
menyebabkan atelektasis kompresi yang luas.
Destruksi Alveolus apabila alveolus adalah tempat awal terjadinya
kerusakan, maka luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran gas berkurang
sehingga kecepatan pertukaran gas juga menurun. Penyebab kerusakan alveolus
antara lain adalah pneumonia, aspirasi, dan inhalasi asap. Toksisitas oksigen,

4
yang timbul setelah 24-36 jam terapi oksigen tinggi, juga dapat menjadi penyebab
kerusakan membran alveolus melalui pembentukan radikal-radikal bebas oksigen.
Tanpa oksigen, jaringan vaskular dan paru mengalami hipoksia sehingga
semakin menyebabkan cedera dan kematian sel. Apabila alveolus dan kapiler
telah rusak, maka reaksi peradangan akan terpacu yang menyebabkan terjadinya
edema dan pembengkakan ruang interstitium serta kerusakan kapiler dan alveolus
di sekitarnya. Dalam 24 jam setelah awitan ARDS, terbentuk membran hialin di
dalam alveolus. Membran ini adalah pengendapan fibrin putih yang bertambah
secara progesif dan semakin mengurangi pertukaran gas. Akhirnya terjadi fibrosis
menyebabkan alveolus lenyap. Ventilasi, respirasi dan perfusi semuanya
terganggu. Angka kematian akibat ARDS adalah sekitar 50%. (Elisabeth J.
Cowin, 2001, hal. 420-421)
Selain itu, adapun penyebab lain dari ARDS adalah :
1. Syok karena berbagai sebab (terutama hemorragik,pancreatitis acut
hemorragik, sepsis gram negative)
2. Sepsis tanpa syok, dengan atau tanpa koagulasi intravascular diseminata
(DIC).
3. Pneumonia virus yang berat.
4. Trauma yang berat (cedera kepala, cedera dada langsung, trauma pada
berbagai organ dengan syok hemorragik, fraktur majemuk dimana emboli
lemak terjadi berkaitan dengan fraktur femur)
5. Cedera aspirasi / inhalasi (aspirasi isi lambung, hampir tenggelam, inhalasi
asap, inhalasi gas iritan).
6. Toksik O2 overdosis narkotika.
7. Post perfusi pada pembedahan pintas kardiopulmonar

5
2.4 FAKTOR RESIKO
Kerusakan (injury) langsung pada epitel alveolus :
1. Aspirasi isi gaster
2. Infeksi paru difus
3. Kontusio paru
4. Tenggelam
5. Inhalasi toksik
Kerusakan injury tidak langsung :
1. Sepsis
2. Trauma nontoraks
3. Transfusi produk darah berlebihan
4. Pankreatitis
5. Pintas Kardiopulmoner

2.5 Tanda dan gejala


Ciri khas ARDS adalah hipoksemia yang tidak dapat diatasi selama
bernapas spontan. Frekuensi pernapasan sering kali meningkat secara bermakna
dengan ventilasi menit tinggi. Sianosis dapat atau tidak terjadi. Hal ini harus
diingat bahwa sianosis adalah tanda dini dari hipoksemia. Gejala klinis utama
pada kasus ARDS adalah:
1. Distres pernafasan akut: takipnea, dispnea, pernafasan menggunakan otot
aksesoris pernafasan dan sianosis sentral.
2. Batuk kering dan demam yang terjadi lebih dari beberapa jam sampai
seharian.
3. Auskultasi paru: ronkhi basah, krekels halus di seluruh bidang paru, stridor,
wheezing.
4. Perubahan sensorium yang berkisar dari kelam pikir dan agitasi sampai koma.
5. Auskultasi jantung: bunyi jantung normal tanpa murmur atau gallop
(YasminAsih Hal 128).

6
ARDS biasaya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan
awal pada paru. Awalnya pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya
diikuti dengan pernapasan yang cepat dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral
dan perifer, bahkan tanda yang khas pada ARDS ialah tidak membaiknya sianosis
meskipun pasien sudah diberi oksigen. Sedangkan pada auskultasi dapat ditemui
ronkhi basah kasar, serta kadang wheezing.
Diagnosis dini dapat ditegakkan jika pasien mengeluhkan dispnea, sebagai
gejala pendahulu ARDS. Diagnosis presumtif dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan analisa gas darah serta foto toraks. Analisa ini pada awalnya
menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO2 sangat rendah, PaCO2 normal atau
rendah, serta peningkatan pH). Foto toraks biasanya memperlihatkan infiltrat
alveolar bilateral difus yang mirip dengan edema paru atau batas-batas jantung,
namun siluet jantung biasanya normal. Bagaimanapun, belum tentu kelainan pada
foto toraks dapat menjelaskan perjalanan penyakit sebab perubahan anatomis
yang terlihat pada gambaran sinar X terjadi melalui proses panjang di balik
perubahan fungsi yang sudah lebih dahulu terjadi.
PaO2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun
konsentrasi oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini merupakan
indikasi adanya pintas paru kanan ke kiri melalui atelektasis dan konsolidasi unit
paru yang tidak terjadi ventilasi. Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru
pasien sudah mengalami bocor di sana-sini, bentuk yang tidak karuan, serta
perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat.
Setelah dilakukan perawatan hipoksemia, diagnosis selanjutnya
ditegakkan dengan bantuan beberapa alat. Untuk menginvestigasi adanya gagal
jantung dapat dipasang kateter Swan-Ganz, dari sini dapat dilihat bahwa
pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) akan terukur rendah (<18 mmHg)
pada ARDS serta meningkat (>20 mmHg) pada gagal jantung. Jika terdapat
emboli paru (keadaan yang menyerupai ARDS) mesti dieksplorasi hingga pasien
stabil sambil mencari sumber trombus yang mungkin terdapat pada pasien,

7
misalnya dari DVT. Pneumosystis carinii dan infeksi-infeksi paru lainnya patut
dijadikan diagnosis diferensial, terutama pada pasien-pasien imunokompromais.

2.6 Patofisiologi
ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran alveolar
kapiler yangmengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel alveolar
dan perubahan dalam jaring- jaring kapiler, terdapat ketidakseimbangan ventilasi
dan perfusi yang jelas akibat kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekstansif
darah dalam paru-paru. ARDS menyebabkan penurunandalam pembentukan
surfaktan, yang mengarah pada kolaps alveolar. Komplians paru menjadi sangat
menurun atau paru-paru menjadi kaku akibatnya adalah penurunan karakteristik
dalamkapasitas residual fungsional, hipoksia berat dan hipokapnia (Brunner &
Suddart 616).
Ada 3 fase dalam patogenesis ARDS:
1. Fase eksudatif.
Fase permulaan, dengan cedera pada endothelium dan epitelium, inflamasi,
dan eksudasicairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut.
2. Fase Proliferatif.
Terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan proliferasi
fibroblast, sel tipeII, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan dinding
alveolus dan perubahan eksudat perdarahan menjadi jaringan granulasi
seluler/membran hialin. Fase proliferatif merupakan fase menentukan yaitu
cedera bisa mulai sembuh atau menjadi menetap, adaresiko terjadi lung
rupture (pneumothorax).
3. Fase Fibrotik/Recovery.
Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan mengalami remodeling dan
fibrosis.Fungsi paru berangsurangsur membaik dalam waktu 6 – 12 bulan, dan
sangat bervariasiantar individu, tergantung keparahan cederanya.Perubahan

8
patofisiologi berikut ini mengakibatkan sindrom klinis yang dikenal
sebagaiARDS (Philip etal, 1995):
a. Sebagai konsekuensi dari serangan pencetus, complement cascade
menjadi aktif yangselanjutnya meningkatkan permeabilitas dinding
kapiler.
b. Cairan, lekosit, granular, eritrosit, makrofag, sel debris, dan protein bocor
kedalam ruanginterstisiel antar kapiler dan alveoli dan pada akhirnya
kedalam ruang alveolar.
c. Karena terdapat cairan dan debris dalam interstisium dan alveoli maka
area permukaan untuk pertukaran oksigen dan CO2 menurun sehingga
mengakibatkan rendahnyan rasio ventilasi- perfusi dan hipoksemia.
d. Terjadi hiperventilasi kompensasi dari alveoli fungsional, sehingga
mengakibatkanhipokapnea dan alkalosis respiratorik.
e. Sel-sel yang normalnya melaisi alveoli menjadi rusak dan diganti oleh
sel-sel yang tidak menghasilkan surfaktan, dengan demikian
meningkatkan tekanan pembukaan alveolar.ARDS biasanya terjadi pada
individu yang sudah pernah mengalami trauma fisik, meskipun dapat juga
terjadi pada individu yang terlihat sangat sehat segera sebelum
awitan,misalnya awitan mendadak seperti infeksi akut. Biasanya terdapat
periode laten sekitar 18-24 jam dari waktu cedera paru sampai
berkembang menjadi gejala. Durasi sindrom dapat dapat beragam dari
beberapa hari sampai beberapa minggu. Pasien yang tampak sehat akan
pulih dari ARDS. Sedangkan secara mendadak relaps kedalam penyakit
pulmonary akut akibat serangansekunder seperti pneumotorak atau
infeksi berat (Yasmin Asih. Hal 125). Sebenarnya sistim vaskuler paru
sanggup menampung penambahan volume darah sampai 3
kalinormalnya, namun pada tekanan tertentu, cairan bocor keluar masuk
ke jaringan interstisiel danterjadi edema paru. ( Jan Tambayog 2000, hal
109).

9
2.7 Pathoflow

Secara pathofisiologi terjadinya ARDS dapat dijelaskan sebagai berikut :

Kerusakan sistemik

Pe ↓ perfusi jaringan

Hipoksia seluler

Pelepasan faktor-faktor biokimia

( enzim lisosom, vasoaktif, system komplemen, asam metabolic, kolagen, histamine )



Pe ↑ permiabilitas kapiler paru

Pe ↓ aktivitas surfaktan

Edema interstisial alveolar paru

Kolaps alveolar yang progresif

Pe ↓ compliance paru
Stiff lung

Pe ↑ shunting

Hipoksia arterial

10
2.8 Diagnosa
Diagnosa dini sukar untuk ditegakkan baik dari pemeriksaan faal paru
maupun dari pemeriksaan radiologi. Setiap pasien dengan predileksi terdapatnya
ARDS dapat dicurigai ARDS bila didapatkan pemeriksaan radiologi infiltrat yang
luas dimana tidak terdapat pneumonia. Kadar FiO2 yang tinggi diperlukan untuk
mempertahankan PO2. Kecurigaan tergadap ARDS bila didapatkan sesak napas
yang berat disertai dengan infiltrat yang luas pada paru yang terjadi secara akut
sementara tidak terdapat faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
dekompensasi kiri yang dapat menyebabkan edema jantung (cardiac edema).
Pada pemeriksaan fisis pada edema jantung terdapat trias dekompensasi,
yakni, bunyi gallop, takikardi, dan ronkhi basal. Takikardi dan ronchi basal susah
untuk dibedakanantara ARDS dengan edema jantung, akan tetapi bunyi gallop
tidak terdapat pada ARDS. Demikian pula tanda bendungan berupa peninggian
tekanan jugular tidak didapatkan pada ARDS. Gambaran radiologi pada ARDS
infiltrat di perifer sementara pada edema jantung perihilar. Pada pemeriksaab
laboratorium cairan edema kristaloid pada ARDSkoloid. Salah satu perbedaan
antara edema jantung dan ARDS yang membawa dampak pada pemberian
oksigen dimana pada edema jantung terdapat korelasi antara FiO2 dan PaO2 oleh
karena shunt sedikit bertambah tapi pada ARDS tidak terdapat korelasi pada
FiO2dan PaO2 oleh karena shunt yang jauh lebih banyak dari pada edema paru.
Kriteriayang digunakan untuk menyatakan ARDS bila terdapat difus infiltrat
bilateral, refrakter hipoksemia, berkurang statik komplain paru (lung compliance)
dan bertambahnya shunt(QS/QT). PaO2/FiO2 < 200 sedangkan PCWP < 18mmHg
in Swan-Ganz Catheter.

2.9 Komplikasi
Kegagalan pernapasan dapat timbul seiring dengan perkembangan
penyakit dan individu harus bekerja lebih kerja untuk mengatasi penurunan
compliance paru. Akhirnya individu kelelahan dan ventilasi melambat. Hal ini

11
menimbulkan asidosis respiratorik karena terjadi penimbunan karbon dioksida di
dalam darah. Melambatnya pernapasan dan penurunan PH arteri adalah indikasi
akan datangnya kegagalan pernapasan dan mungkin kematian.
Pneumonia dapat timbul setelah ARDS, karena adanya penimbunan cairan
di paru dan kurangnya ekspansi paru. Akibat hipoksia dapat terjadi gagal ginjal
dan tukak saluran cerna karena stress (stress ulcers). Dapat timbul koaguiasi
intravaskular diseminata akibat banyaknya jaringan yang rusak pada ARDS.
(Elizabeth J. Cowin, 2001, hal. 422)

2.10 Penatalaksanaan
1. Tujuan terapi
a. Tidak ada terapi yang dapat menyembuhkan, umumnya bersifat suportif .
b. Terapi berfokus untuk memelihara oksigenasi dan perfusi jaringan yang
adekuat.
c. Mencegah komplikasi nosokomial (kaitannya dengan infeksi).
2. Farmakologi
a. Inhalasi NO2 dan vasodilator lain.
b. Kortikosteroid (masih kontroversial: no benefit, kecuali bagi yang
inflamasi (eosinofilik)
c. Ketoconazole: inhibitor poten untuk sintesis tromboksan dan menghambat
biosintesis leukotrienes→mungkin bisa digunakan untuk mencegah ARDS
Non-farmakologi
a. Ventilasi mekanis →dgn berbagai teknik pemberian, menggunakan
ventilator, mengatur PEEP (positive-end expiratory pressure)
b. Pembatasan cairan.
c. Pemberian surfaktan→tidak dianjurkan secara rutin.

12
Pengobatan ARDS yang pertama-tama adalah pencegahan, karena
ARDS tidak pernah merupakan penyakit primer tetapi timbul setelah penyakit
lain yang parah. Apabila ARDS tetap timbul, maka pengobatannya adalah:
1. Diuretik untuk mengurangi beban cairan, dan obat-obat perangsang
jantung untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan volume sekuncup
agar penimbungan cairan di paru berkurang. Penatalaksanaan cairan dan
obat-obat jantung digunakan untuk mengurangi kemungkinan gagal
jantung kanan.
2. Terapi oksigen dan ventilasi mekanis sering diberikan.
3. Kadang-kadang digunakan obat-obat anti-inflamasi untuk mengurangi
efek merusak dari proses peradangan, walaupun efektifitasnya masih
dipertanyakan.

13
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Keadaan umum:
Takipnea, dispnea, sesak nafas, pernafasan menggunakan otot aksesoris
pernafasandan sianosis sentral.
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Sesak nafas, bisanya berupa pernafasan yang cepat dan dangkal. Batuk
kering dandemam yang terjadi lebih dari beberapa jam sampai seharian.
Kulit terlihat pucat atau biru.
c. Riwayat Penyakit Dahulu:
Sepsis, Shock (hemoragi, pankreatitis hemoragik), Luka bakar hebat,
Tenggelam DIC(Dissemineted Intravaskuler Coagulation), Pankreatitis,
Uremia, Bedah Cardiobaypassyang lama, PIH (Pregnand Induced
Hipertension), Peningkatan TIK, Trauma hebat(cedera kepala, cedera
dada, rudapaksa paru), Radiasi, Fraktur majemuk (emboli lemak berkaitan
dengan fraktur tulang panjang seperti femur), Riwayat merokok.
d. Riwayat Penyakit Keluarga.
e. Riwayat Alergi.
2. Pemeriksaan Fisik.
a. B1 (Breath): sesak nafas, nafas cepat dan dangkal, batuk kering, ronkhi
basah, krekelshalus di seluruh bidang paru, stridor, wheezing.
b. B2 (Blood): pucat, sianosis (stadium lanjut), tekanan darah bisa normal
ataumeningkat (terjadinya hipoksemia), hipotensi terjadi pada stadium
lanjut(shock), takikardi biasa terjadi, bunyi jantung normal tanpa murmur
ataugallop.
c. B3 (Brain): kesadaran menurun (seperti bingung dan atau agitasi), tremor.

14
d. B4 (Bowel): -
e. B5 (Bladder): -
f. B6 (Bone): kemerahan pada kulit punggung setelah beberapa hari
dirawat.
3. Pemeriksaan Diagnostik.
a. LED : meningkat pada hampir semua kasus, jumlah eosinofilnya normal.
b. Tes fungsi paru : normal atau menunjukan defek restriktik disertai
gangguan pertukaran udara.
c. BGA : hasil BGA menunjukan adanya hipoksemia.
4. Bioksi darah : PaO2/FiO2< 200 = ARDSPaO2/FiO2< 300=ALI
5. Foto thorak dan CT: terdapat infiltrasi jaringan parut lokasi terpusat pada
region perihilir paruyang biasanya multivokal. Pada tahap lanjut, interstisial
bilatareral difus dan alveolar infiltrate menjadi bukti dan dapat melibatkan
semua lobus paru.Ukuran jantung normal, berbeda dari edema paru
kardogenik. Gas darah arteri seri membedakan gambarankemajuan
hipoksemia, hipokapnea dapat terjadi pada tahap awal sehubungan
denganhiperventilasi. Alkalosis respiratorik dapat terjadi pada tahap dini dan
pada tahap lanjutterjadi asidosis metabolik. Tes fungsi paru, Pengukuran
pirau, dan kadar asam laktat meningkat (Doenges1999 Hal 218 – 219 ).

B. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif yaang berhubungan dengan :
1. Kehilangan fungsi sillia jalan napas (hipoperfusi)
2. Peningkatan jumlah / vikositas sekret paru
3. Meningkatnya tahanan jalan napas (edema interstisial)
b. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan :
1. Akumulasi protein dan cairan dalam interstisial / area alveolar
2. Hipoventilasi alveolar
3. Kehilangan surfaktan menyebabkan kolaps alveolar

15
c. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan:
1. Penggunaan diuretic
2. Perpindahan cairan ke area lain
d. Ansietas / ketakutan yang berhubungan dengan:
1. Krisis situasi
2. Ancaman untuk/perubahan status kesehatan : takut mati
3. Faktor psikologis(efek hipoksemia)
e. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, kenutuhan terapi yang berhubungan
dengan:
1. Kurang informasi
2. Kesalahan interprestasi informasi
3. Kurang mengingat

C. Rencana Asuhan Keperawatan


1. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan
nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas.
Tujuan :
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan Jalan
nafas kembali normal dan efektif
Krikteria hasil :
a. Pasien dapat mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas yang jernih
b. Pasien bebas dari dispneu
c. Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan
d. Memperlihatkan tingkah laku mempertahankan jalan nafas
Intervensi :
Mandiri:
a. Catat perubahan dalam bernafas dan pola nafasnya
b. Observasi dari penurunan pengembangan dada dan peningkatan fremitus
c. Catat karateristik dari suara nafas

16
d. Catat karateristik dari batuk
e. Pertahankan posisi tubuh/kepala dan gunakan jalan nafas tambahan bila
perlu
f. Kaji kemampuan batuk, latihan nafas dalam, perubahan posisi dan
lakukan suction bila ada indikasi
g. Peningkatan oral intake jika memungkinkan

Kolaboratif :
a. Berikan O2 cairan IV : tempatkan di kamar humidifier sesuai indikasi
b. Berikan terapi aerosol, ultrasonic nabulisasi
c. Berikan fisioterapi dada misalnya : postural drainase, perkusi dada/vibrasi
jika ada indikasi
d. Berikan bronchodilator misalnya; aminofilin, albuteal dan mukolitik

Rasional :
Mandiri :
a. Penggunaan otot-otot interostan/abdominal/ leher dapat meningkatkan
usaha dalam bernafas
b. Pengembangan dada dapat menjadi batas dari akumulasi cairan dan
adanya cairan dapat meningkatkan fremitus
c. Suara nafas terjadi karena adanya aliran udara melewati batabf trakheo
branchial dan juga karena adanya cairan, mucus atau sumbatan lain dari
saluran nafas
d. Karateristik batuk dapat merubah ketergantungan pada penyebab dan
etiologi dari jalan nafas Adanya sputum dapat dalam jumlah yang banyak,
tebal dan purulent
e. Pemeliharaan jalan nafas bagian nafas dengan paten
f. Penimbunan sekret menggangu ventilasi dan predisposisi perkembangan
atelektasi dan infeksi paru

17
g. Peningkatan cairan per oral dapat mengencerkan sputum

Kolaboratif :
a. Mengeluarkan sekret dan meningkatkan transport oksigen
b. Dapat berfungsi sebagai bronchodilatasi dan mengeluarkan sekret
c. Meningkatkan drainase sekret paru, peningkatan efisien penggunaan otot-
otot pernafasan
d. Diberikan untuk mengurangi bronchospasme, menurunkan viskositas
sekret dan meningkatkan ventilasi

2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan alveolar hipoventilasi,


penumpukan cairan di permukaan alveoli, hilangnya surfaktan pada permukaan
alveoli.
Tujuan :
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 diharapakan klien
mengalami penurunan penumpukan cairan di alveoli
Krikteria Hasil :
a. Pasien dapat meperlihatkan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat dengan
nilai AGD normal
b. Bebas dari gejala distress pernapasan

Intervensi :
Mandiri :
a. Kaji kasus pernapasan, catat peningkatan respirasi atau perubahan pola napas.
b. Catat ada tidaknya suara nafas dan adanya bunyi nafas tambahan sperti
crakles, dan wheezing.
c. Kaji adanya cyanosis
d. Observasi adanya somnolen, confusion, apatis dan ketidakmampuan
beristirahat.

18
e. Berikan istirahat yang cukup dan nyaman.
Kolaboratif :
a. Berikan humidifier oksigen dengan masker CPAP jika ada indikasi
b. Berikan pencegahan IPPB
c. Review X-Ray dada
d. Berikan obat-obat jika ada indikasi seperti steroids, antibiotic, bronchodilator,
dan ekspektorant.

Rasional :
Mandiri :
a. Takipneu adalah mekanisme kompensasi untuk hipoksemia dan peningkatan
usaha nafas
b. Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak ditemukan.
c. Selalu berarti bila diberikan O2 sebelum Cyanosis muncul. Tanda cyanosis
dapat dinilai pada mulut, bibir yang indikasi adanya hipoksemia sistemik,
cyanosis perifer seperti pada kuku dan ekstremitas adalah vasokontriksi
d. Hipoksemia dapat menyebabakan iritabilitas dari miokardium.
e. Menyimpan tenaga pasien, mengurangi penggunaan oksigen.
Kolaboratif :
a. Memaksimalkan pertukaran O2 secara terus menerus dengan tekanan yang
sesuai.
b. Peningkatan ekspansi paru meningkat oksigenisasi
c. Memperlihatkan kongesti paru yang progresif.
d. Untuk mencegah ARDS

19
3. Cemas/takut berhubungan dengan krisis situasi, pengobatan, perubahan status
kesehatan, takut mati, factor fisiologi(efek hipoksemia).
Tujuan :
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3X24 jam pasien diharapkan
dapat mendiskusikan rasa takut.

Kriteria Hasil :
a. Menyatakan kesadaran terhadap ansietas
b. Mengaku dan mendiskusikan takut.
c. Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat
ditangani.
d. Menunjukan pemecahan masalah dan penggunaan sumber efektif.

Intervensi :
Mandiri :
a. Observasi peningkatan pernapasan, agitasi, kegelisahan dan kestabilan emosi.
b. Pertahankan lingkungan yang tenang dengan meminimalkan stimulasi.
Usahakan perawatan dan prosedur tidak menggangu waktu istirahat.
c. Bantu dengan tekhnik relaksasi, meditasi.
d. Identifikasi persepsi pasien dari pengobatan yang dilakukan.
e. Dorong pasien untuk mengekspresikan kecemasannya.
f. Membantu menerima situasi dan hal tersebut harus ditanggulanginya.
g. Sediakan informasi tentang keadaan yang sedang dialaminya.
h. Indentifikasi tehnik pasien yang digunakan sebelumnya untuk menanggulangi
rasa cemas.
Kolaboratif :
Memberikan sedatif sesuai indikasi dan monitor efek yang merugikan.

20
Rasional :
Mandiri :
a. Hipoksemia dapat menyebabkan kecemasan.
b. Cemas berkurang oleh meningkatnya relaksasi dan pengawetan energy yang
digunakan.
c. Memberi kesempatan kepada pasien untuk mengendalikan kecemasannya dan
merasakan sendiri dari pengontrolannya.
d. Menolong mengenali asal kecemasan/ketakutan yang dialami.
e. Langkah awal dalam mengendalikan perasaan-perasaan yang teridentifikasi yang
terekspresi
f. Menerima stress yang sedang dialami tanpa denial, bahwa segala akan menjadi
baik.
g. Menolong pasien untuk menerima apa yang sedang terjadi dan dapat mengurangi
kecemasan/ketakutan apa yang tidak diketahui. Penentraman hati yang palsu tidak
menolong. Sebab tidak ada perawat maupun pasien tahu hasil akhir dari
permasalahan itu.
h. Kemampuan yang dimiliki pasien akan meningkatkan system pengontrolan
terhadap kecemasannya.

Kolaboratif :
Mungkin dibutuhkan untuk menolong dalam mengontrol kecemasan dan
meningkatkan istirahat. Bagaimanapun juga efek samping seperti depresi pernafasan
mungkin batas atau kontraindikasi penggunaan.

21
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
ARDS adalah Penyakit akut dan progressive dari kegagalan pernafasan
disebabkanterhambatnya proses difusi oksigen dari alveolar ke kapiler (a-c block)
yang disebabkan olehkarena terdapatnya edema yang terdiri dari cairan koloid
protein baik interseluler maupunintra alveolar. Penyebabnya bisa penyakit
apapun, yang secara langsung ataupun tidak langsung melukai paru-paru seperti:
Pneumoni virus, bakteri, fungal; contusio paru, aspirasicairan lambung, inhalasi
asap berlebih, inhalasi toksin, menghisap O2 konsentrasi tinggidalam waktu lama,
Sepsis, Shock, Luka bakar hebat, Tenggelam,dsb. Gejala biasanyamuncul dalam
waktu 24-48 jam setelah terjadinya penyakit atau cedera. SGPA(sindromgawat
pernafasan akut) seringkali terjadi bersamaan dengan kegagalan organ lainnya,
sepertihati atau ginjal.

4.2 Saran
1. Menghindari faktor resiko yang dapat menyebabkan ARDS.
2. Apabila gejala ARDS mulai muncul sesegera mungkin bawalah ke rumah
sakit terdekatuntuk mendapat pertolongan lebih lanjut agar tidak terjadi
komplikasi pada hati dan ginjal.

22
DAFTAR PUSTAKA

Anynomous, 2007.Asuhan Keperawatan KLIEN dengan ARDS (Adult Respiratory


DistressSyndrome) Pre Acut/ Post Acut Care .http://rusari.com/
askep_aspirasi_distress.html.

Anynomous, 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien ARDS .http://keperawatan-


gun.blogspot.com/2007/07/asuhan-keperawatan-pada-klien-dg-
25.html.Tanggal 16 September 2009 pukul 12.30 WIB.

Carpenito,Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan.EGC. Jakarta.

Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan


dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta.

Hudak, Gall0. 1997. Keperawatan Kritis. Pendekatan Holistik.Ed.VI. Vol.I. EGC.


Jakarta.

23

You might also like