Professional Documents
Culture Documents
BAB 1
1. Pengenalan
Minyak kelapa merupakan monokotiledon milik spesies Elaeis. Ini adalah
pohon abad dan tanaman penghasil minyak tertinggi, menghasilkan rata-rata 3,7 T
minyak per hektar per tahun di Malaysia. Tanaman ini unik menghasilkan dua jenis
minyak. Daging mesocarp menghasilkan minyak kelapa yang digunakan terutama
untuk tujuan dimakan dan kernel akan menghasilkan minyak kernel kelapa sawit
yang penggunaannya secara luas dalam industry oleokimia. Genus Elaeis terdiri
dari dua spesies, yang bernama E. Guineensis dan Elaeis Oleifera. E. Guineensis
berasal dari Afrika Barat dan bahan penanaman yang komersial terutama spesies
ini. E. Oleifera merupakan tanaman pendek asal Amerika Selatan dan minyaknya
ditandai dengan kandungan asam oleid yang tinggi.
Minyak kelapa sawit menjadi minyak sayur yang paling penting nomor dua
di dunia setelah minyak kedelai pada tahun 1980. Minyak ditunjukkan sebagai
kepemilikan Malaysia, Indonesia, Nigerria, Pantai Gading atau Negara sumber
lainnya. Asal minyak sering memberika indikasi identitas dan karakteristik
kualitasnya. Pada saat ini, produksi minyak kelapa sawit terbesar di dunia dating
dari Asia Tenggara, khususnya Malaysia da Indonesia. Produksi minyak kelapa
sawit Malaysia naik dri 8,3 juta Ton pada tahun 1998 menjadi 10,6 juta T pada
tahun 1999, dan mempertahankan posisinya sebagai penyuplai minyak terbesar d
dunia. Saat ini, minyak kelapa sawit menyumbang 13% dari total produksi minyak
dan lemak dunia dan diperkirakan akan menyalip minyak kedelai sebagai minyak
sayur yang paling penting.
BAB 2
2. Asal Mula
E. guineensis berasal dari Afrika Barat. Ini pertama kali diperkenalkan ke
Brasil dan negara-negara tropis lainnya pada abad ke-15 oleh Portugis. Namun,
propagasinya tidak lepas landas sampai abad ke-19 ketika Belanda membawa bibit
dari Afrika Barat ke Indonesia menghasilkan empat bibit yang ditanam di Bogor,
Indonesia pada tahun 1848. Kelapa sawit disebut dura dan progeni dari bibit ini
ditanam sebagai tanaman hias di Deli dan dikenal sebagai Deli Dura. Dari sana
kelapa sawit dikirim ke Kebun Raya di Singapura pada tahun 1875, dan kemudian
dibawa ke Malaya (seperti Malaysia Barat kemudian dikenal) pada tahun 1878.
Kelapa sawit awalnya ditanam di Malaya sebagai tanaman hias dan penanaman
komersial pertama hanya pada tahun 1917.
E. oleifera berasal dari Amerika Selatan. Minyak mesokarp E. oleifera
memiliki kandungan asam oleat dan linoleat yang lebih tinggi dan kandungan asam
palmitat serta asam jenuh lainnya yang lebih rendah. Nilai yodium (IV) berkisar
antara 70 ± 80. Minat utama saat ini pada E. oleifera adalah potensi pembawaan
karakter berguna untuk hibrida interspesifik dengan E. guineensis. Baik E.
guineensis dan E. oleifera memiliki jumlah kromosom somatik yang sama sebesar
32 dan mudah hibridisasi [2]. Keuntungan dari hibrida F1 atas E. guineensis adalah
minyak yang lebih tidak jenuh dan keuntungan yang lebih rendah (a lower height
increment).
BAB 3
3. Deskripsi Buah
Buah kelapa sawit merupakan buah biji yang membentuk tandan yang rapat.
Percarp terdiri dari 3 lapis, yaitu eksocarp (kulit), mesocarp (pulpa terluar yang
megandung minyak kelapa sawit, dan endocarp (cangkang keras pelapis kernel
(endosperma) yang megandung cadangan minyak dan karbohidrat untuk embrio).
Ketebalan cangkang (batok) dikendalikan oleh gen tunggal. Homozigot dura
(sh+sh+) cangkanya lebih tebal dan homozigot pisifera (sh-sh-) tidak memiliki
cangkang. Persilangan antara dura dan pisifera menghasilkan heterozigot tenere
yang H cangkan tipis dikelilingi oleh cincin serat pada mesocarp. Cangkang tenera
yang lebih tipis menghasilkan mesocarp yang lebih berminyak. Sejak 1961,
sebagian besar bahan-bahan tanam ialah tenera (dura + pisifera). Pisifera tidak
digunakan sebagai bahan tanam komersial karena sebagian besar tidak subur.
BAB 4
4.1 Pertumbuhan Buah dan Dekomposisi Minyak
Pertumbuhan buah dimulai pada 2 minggu setelah penyerbukan dan terjadi
secara bersamaan dengan masaknya organ produksi jantan dan betina. Pada 8
minggu setelah penyerbukan, benih endosperm masih cair dan menjadi semi gelatin
pada 10 minggu setelah penyerbukan. Deposisi minyak pada endosperma mulai 12
minggu setelah penyerbukan dan hampir penuh pada 16 (WAA). Selama rentan
waktu ini, endosperma dan endocarp perlahan mengeras dan endocarp menjadi
cangkang keras pada 16 WAA melapisi kernel (endosperma bewarna
putih).deposisi minyak pada mesocarp mulai pada 15 WAA dan berlanjut sampai
kematangan buah selama 20 WAA. Buah-buah pada tandan tidak metang secara
bersamaan karena sedikit variasi pada waktu penyerbukan. Jangkan waktu
kesediaan bunga-bunga kecil pada pemekaran bunga betina ialah 2-5 hari. Buah-
buah pada akhir dari setiap buliran yang matang pertama dan mereka pada dasar
terakhir. Buah-buah pada bagia luar tandan besar-besar dan sangat bewarna oren
ketika matang sedangkan bagian dalam lebih kecil dan pucat. Bukti lebih lanjut
akumulasi lipid pada tandan setelah timbulnya abses buah pertama telah
bertentangan. Terdapat beberapa laporan seperti :
1. Minyak lanjut terdispersi pada tandan setelah abses pertama
2. Jatuhnya satu buah menandakan kematangan keseluruhan pada tandan
dengan sintesis minyak yang tida berlanjut.
3. Akumulasi minyak pada tandan (lengkap) pada tanda pertama abses buah.
Peningkatan dalam kandungan minyak setelah ini jelas sebagai hasil dari
pengeringan sebagai buah matang.
4.2 Perubahan mutu lipid dan perubahan komposisi asam lemak pada saat (seiring
dengan) peningkatan perkembangan minyak sawit dalam mesocarp
Oo et al. dan Bafor dan Osagie mempelajari perubahan mutu dan komposisi
lipid pada peningkatan mesocarp E. guineensis var. tenera and var. Dura, secara
berturut-turut. Hasil dari Oo et al. dan Osagie ditampilkan pada tabel 1 dan 2 dan
hasil tersebut pada dasarnya mirip dengan hasil yang didapatkan oleh Bafor dan
Osagie. Fosfolipid merupakan mutu lipid utama sebelum pengendapan minyak,
yaitu sekitar 60% dari total lipid pada 8-12 WAA. Fosfolipid membentuk sebagian
besar komponen polar dari mesocarp kelapa sawit yang belum matang. Pada
keadaan matang, kadang-kadang glikolipid membentuk komponen utama dari lipid
polar.
Bafor dan Osagiemelaporkan bahwa sebagian besar fosfolipid dari
mesocarp kelapa sawit yang belum matang (8 WAA) terdiri dari
phosphatidycholine (PC), dilanjutkan phosphatidylinositol (PI) dan
lysophosphatidyl-choline (LPC) dengan jumlah PC sekitar 51% dari total
fosfolipid. Phosphatidylethanolamine (PE) yang tidak terdeteksi pada 8 WAA,
terhitung 20% dari total fosfolipid pada 18 WAA.
a
Angka pada tanda kurung menunjukkan persentase (%) mutu lipid di setiap
sampel. WAA, minggu setelah pemanenan; TL, total lipids; FA, asam lemak;
TAG, DAG, MAG, mono-, di-, tri-asilgliserol; PL, lipid polar.
a
Asam lemak menunjukkan angka atom karbon: angka ikatan rangkap
4.3 Enzim dalam Pengaturan Komposisi Asam Lemak di Mesocarp Kelapa Sawit
Jumlah asam palmitat sekitar 44% dari total komposisi asam lemak kelapa
sawit (Mesocarp). Tidak pada minyak sayur komersial lainnya, bahwa asam
palmitat menumpuk pada tingkat ini. Banyak percobaan untuk mengubah
komposisi asam lemak dengan manipulasi genetic membutuhkan pemahaman
pengaturan/regulasi sintesis asam lemak. Pada minyak kelapa sawit, pertanyaan
yang bersangkutan untuk dijawab ialah mengapa asam palmitat menumpuk di
mesocarp.
4.4 Ketoacil Sintase
BAB 5
5. Kandungan Kimia Minyak Sawit
Lebih dari 95% minyak sawit terdiri dari campuran TAG (triasilgliserol).
Beberapa komponen minor dari minyak sawit seperti fosfatida, sterol, pigmen,
tokoferol, dan trace metal. Komponen lain dalalm minyak sawit adalah metabolit
yang diperoleh dari biosintesis TAG dan produk dari aktivitas lipolitik.
5.1 Asam Lemak Minyak Sawit
Asam lemak termasuk dalam asam alifatik seperti asam palmitat, stearat,
dan oleat dalam lemak dan minyak nabati dan hewani. Asam lemak yang ada pada
minyak sawit adalah miristic, palmitat, stearat, oleat dan linoleat. Minyak sawit
memiliki asam lemak jenuh dan tidak jenuh dalam jumlah yang kurang lebih sama.
5.2 Triacylglycerols
Sebagian besar asam lemak dari minyak sawit merupakan TAG.
Penempatan asam lemak dan jenis asam lemak yang berbeda pada molekul gliserol
akan menghasilkan jumlah TAG yang berbeda. Ada 7-10% TAG jenuh, terutama
tripalmitin. TAG tidak jenuh sekitar 6-12%. Lebih dari 85% asam lemak tak jenuh
berada pada posisi sn-2 pada molekul gliserol. TAG secara umum berpengaruh
besar terhadap karakteristik fisik minyak sawit seperti titik leleh dan kristalisasi.
BAB 6
6 Komponen Minor Minyak Sawit
Komponen minor sawit dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama
terdiri dari turunan asam lemak seperti gliserida parsial (mono dan diasilgliserol),
fosfatida, ester, dan sterol. Kelompok kedua termasuk senyawa selain asam lemak
seperti hidrokarbon, alkohol alifatik, sterol bebas, tokoferol, pigmen dan logam.
Komponen minor seperti sterol, alkohol alifatik, pigmen dan hidrokarbon bersifat
tidak mudah terbakar. Komponen laiin seperti gliserida parsial dan fosfatida dapat
larut dalam alkalin hidroksida.
7.3 Sterols
Sterol adalah senyawa tetracyclic dengan umumnya 27, 28 atau 29 atom
karbon. Mereka membentuk sebuah bagian yang cukup besar dari materi
unsaponiable dalam minyak. Total kandungan sterol dalam minyak sawit adalah
sekitar 0,03%. Bhakare et al. menjelaskan bahwa minyak sawit india yg berasal
dari sawit dura dan pisifera mengandung tingkatan dari β-sitosterol yang
ditunjukkan pada tabel 10. Mereka tidak dapat mendeteksi kandungan kolestrol
pada sampel meskipun telah dilaporkan terdapat dalam jumlah yang sangat kecil
pada minyak kelapa sawit. Kolesterol (2,2 ± 6,7%), ∆ 5-avenasterol (0 ± 2,8%) ∆ 7
± stigmasterol (0 ± 2,8%) dan ∆ 7-avenasterol (0 ± 4%) juga ditemukan pada fraksi
sterol (326 ± 627 mg / kg) dari minyak sawit
Sebagian besar sterol relative inert (lamban) dan tampak tidak berkontribusi
pada properti penting dan kelapa sawit. Namun ∆5-avenasteroltelah dilakukan
untuk menunjukkan aktivitas antioksidan dalam minyak edible (bisa dimakan).
7.4 Vitamin E
Vitamin E adalah vitamin yang larut dalam lemak, yang terdiri dari dua seri
homologous utama (tocochromanols), dikenal sebagai tokoferol dan tokotrienol.
Tokoferol adalah struktur yang ditandai dengan rantai samping jenuh di cincin
chroman, sedangkan tocotrienols miliki rantai samping phytyl yang tidak jenuh.
Empat homolog dari masing-masing jenis diketahui ada di alam dan mereka
memiliki berbagai tingkat aktivitas antioksidan dan vitamin E.
Minyak nabati, terutama minyak biji, adalah sumber yaqng kaya akan
tokoferol. Vitamin E secara tradisional diekstraksi dari residu dari industri
penyulingan kacang kedelai., pada sisi lain,, sebagian besar Tocotrienols ditemukan
dalam minyak sawit dan minyak sereal seperti barley dan minyak dedak padi.
Dengan munculnya minyak sawit sebagai minyak nabati terbesar kedua di pasar
dunia. Kemajuan teknologikal telah dibuat untuk memungkinkan ekstraksi
tocotrienol dari minyak sawit yang saat ini tersedia secara komersial.
Kandungan vitamin E dalam minyak sawit mentah berkisar antara 600 ±
1000 bagian per juta (ppm) [20] dan merupakan campuran tokoferol (18 ± 22%)
dan tocotrienols (78 ± 82%). Tocotrienol utama yang terdapat pada minyak kelapa
sawit adalah alpha-tocotrienol (22%), gamma-tocotrienol (46%) dan delta-toco-
trienol (12%) [72].
Kandungan vitamin E dari minyak sawit sebagian hilang karena
pengolahan. Contohnya, telah dilaporkan bahwa minyak sawit yang telah
mengalami proses refining, bleaching dan deodorized (RBD), palm olein dan palm
stearin mempertahankan kandungan asli vitamin E yang berasal dari minyak
mentah sekitar 69, 72 dan 76% secara berturut – turut. Namun demikian, ada variasi
besar pada perkiraan ini dalan industri penyulingan (refining) karena perbedaan
dalam kondisi tanaman serta desain tanaman yang mempengaruhi jumlah dari
vitamin E yang hilang selama refining. Telah diamati bahwa vitamin E cenderung
untuk membagi (berubah) ke dalam fraksi olein selama fraksinasi minyak sawit.
Misalnya, konsentrasi vitamin E dalam RBD palm olein dan RBD palm stearin
adalah 104 ± 135% dan 57 ± 75% secara berturut – turut dari kandungan vitamin
E asli pada sumber RBD sawit.
Kerugian utama terjadi pada tahap deasidifikasi pada pemurnian minyak
sawit dan mungkin dapat diminimalisir oleh penggabungan nampan saringan atau
kolom pra-pengupas yang dikemas ke dalam proses refining konvensional. Vitamin
E yang hilang selama pemrosesan terkonsentrasi pada distilat asam lemak sawit
(PFAD), produk sampingan dari refining minyak sawit secara fisik. PFAD telah
diidentifikasi sebagai sumber bahan baku yang baik untuk pengembalian vitamin E
yang terdapat pada sawit. Selain itu, PFAD relatif murah dan tersedia di seluruh
industri refining. Analisis laboratorium PFAD dari minyak kelapa sawit mentah,
palm olein dan palm stearin, refining menunjukkan bahwa rata-rata vitamin E yaitu
5252, 6895 dan 4235 ppm secara berturut - turut
7.5 Pigmen
Pigmentasi buah sawit berhubungan dengan tingkat kematangan sawit. Dua
macam pigmen alami pada CPO yaitu karotenoid dan klorofil. Minyak sawit dari
buah yang muda mengandung lebih banyak klorofil dan lebih sedikit karotenoid
daripada minyak sawit dari buah yang matang. Pigmen dalam minyak sawit terlibat
dalam mekanisme autoksidasi, fotooksidasi, dan antioksidan.
7.6 Karotenoid
Karotenoid adalah tetraterpenes tinggi tidak jenuh yang disintesis dari
delapan unit isoprena. Karotenoid dibagi menjadi dua jenis utama: mobilotenes
yang secara keras polyene hidrokarbon, dan xanthophylls, yang mengandung
oksigen. Oksigen dalam xanthophylls dalam bentuk hidroksi (misalnya zeaxanthin
dan lutein), keto, epoxy atau kelompok karboksil. Karoten yang paling sederhana
adalah likopen.
Minyak sawit mentah memiliki warna oranye-merah karena kandungan
karotennya yang tinggi (700 ± 800 ppm). Karotenoid utama dalam minyak sawit
adalah β- dan α-karoten yang mencapai 90% dari total karotenoid. Ada sekitar 11
karotenoid hidrokarbon dalam fraksi minyak sawit olahan. Berbagai jenis dan
komposisi karotenoid (Tabel 11) diekstrak dari minyak yang berasal dari spesies
sawit yang berbeda dipelajari oleh Yap et al. [76]. Mereka menemukan 13 jenis
karotenoid dengan mayor satu, a-karoten dan b-karoten, masing-masing terhitung
54 ± 60% dan 24 ± 60% dari total karotenoid. Tidak ada perbedaan signifikan dalam
jenis karotenoid yang ditemukan dalam minyak E. oleifera dan E. guineensis, dan
hibrida dan backcrosses dari E. guineensis. Studi juga menunjukkan bahwa E.
guineensis mengandung kadar lycopene yang lebih tinggi dibandingkan E. oleifera
dan hibrida dengan E. guineensis.
Karotenoid adalah prekursor vitamin A, dengan b-karoten memiliki
tertinggi aktivitas provitamin A. Minyak sawit memiliki retinol 15 kali lebih banyak
daripada wortel dan 300 kali lebih banyak daripada tomat. Karoten sensitif terhadap
oksigen dan cahaya. Oksidasi karoten dipercepat oleh hydroperoxides yang
dihasilkan dari oksidasi lipid, yang mengarah ke perubahan warna dan pemutihan.
Produk yang terbentuk dari kerusakan oksidatif karotenoid antara lain α- dan β-
ionon, β-13 dan β-14-apocarotenals dan β-13-apocrotenone.
Dalam memurnikan minyak sawit mentah, karotenoid merupakan bagian
yang pertama kali dihilangkan sebagian oleh adsorpsi dengan energi panas, pada
tahap deodorisasi uap suhu tinggi menghancurkan kromogenik pada sifat-sifat
karotenoid yang tersisa untuk menghasilkan minyak sawit berwarna kuning muda.
Dengan karoten sebagai sumber kaya Vitamin A, sebuah proses dikembangkan
untuk menghasilkan deacidied dan deodorisasi minyak sawit merah yang dapat
mempertahankan sebanyak 80% dari karotenoid murni. Minyak sawit merah
diproduksi dari proses ini, dengan nama dagang “CAROTINO”.
7.7 Klorofil
Selain karotenoid, kelompok pigmen penting lainnya dalam minyak sawit
adalah klorinophylls. Klorinophylls adalah klorofil hijau a dan klorofil b dan
pheophytin coklat a dan pheophytin b. Secara struktural, molekul klorofil
mengandung inti porfirin (tetrapyrrole)
dengan atom magnesium chelated di tengah. Klorofil larut dalam lemak sebagai
hasil dari rantai phytol yang menempel pada salah satu cincin porfirin.
Dalam minyak sawit mentah, tingkat karotenoid yang lebih tinggi menutupi
keberadaan klorofil secara visual. Penyelidikan oleh Ikemefuna dan Adamson
tentang perubahan klorofil dan karotenoid di buah dari E. guineensis menunjukkan
bahwa klorofil tidak hilang sepenuhnya dalam buah-buahan matang. Buah hijau
dan matang dari jenis sawit tenera dan dura mengandung klorofil a dan klorofil b
dengan jumlah yang bervariasi tetapi klorofil a dalam buah matang berkurang 80 ±
90% dari buah hijau. Hilangnya klorofil b kurang dari 50 ± 75%. Strecker dkk,
mengatakan bahwa pada minyak yang dimurnikan (refine), melaporkan nilai sekitar
800 mg / kg klorofil untuk minyak sawit mentah tetapi tidak menemukan sisa
klorofil dalam produk sawit yang dihasilkan. Sebuah penelitian selanjutnya oleh
Usuki dkk. menunjukkan bahwa palm olein yang terkandung mengandung
sebanyak 583 mg / kg klorofil total yang terdiri dari klorofil a (30 mg / kg), klorofil
b (114 mg / kg), pheophytin a (341 mg / kg) dan pheophytin b (98 mg / kg). Tan et
al. menemukan bahwa kandungan klorofil dalam minyak sawit mentah, dinyatakan
sebagai pheophtyin a, berkisar antara 250 hingga 1800 mg / kg. Fraksi cair (olein)
dari minyak sawit mentah mengandung lebih banyak klorofil karena partisi klorofil
preferensial ke dalamnya. Dalam 1 tahun survei pada minyak sawit mentah yang
dikumpulkan dari pabrik dan penyulingan di Malaysia, Tan et al. menganalisa
kandungan klorofil total dalam 1.300 sampel menggunakan teknik yang diinduksi
oleh laser.
7.11Hidrokarbon
7.12 Metal
Sisa metal juga dapat ditunjukkan dalam padatan logam yang tidak
tersuspensi dalam minyak [102]. Besi dapat dihasilkan dalam campuran koloid
dengan protein dan selulosa atau dengan mikro particular lain yang mengandung
gabungan dari kalsium, magnesium atau fosfat.
Besi dan tembaga mudah tetoksidasi dan tingkat yang tinggi pada palm oil
harus dihindari. Logam ini mengkatalis dekomposisi hidroperoksida untuk radikal
bebas. Diantara keduanya tembaga memiliki potensi lebih tinggi 10 kali lipat
dibandingkan besi. Tembaga mempercepat rasio perusakan hidroperoksid dengan
cara meningkatkan produksi produk oksidasi sekunder, sementara besi
meningkatkan rasio formasi dari peroksida. Rata-rata tingkat besi yang
teridentifikasi pada CPO 4,4 ppm, sedangkan tembaganya sebesar 0,06 ppm [103]
Tingkat ini dapat direduksi saat pemurnian masing-masing hingga 0,5-1,0 ppm dan
<0,1 ppm [104]
BAB 8
Reaksi kimia dari minyak sawit
8.1 Hidrolisis
Hidorlisis merupakan reaksi kimia dimana H2O (molekul dari air) akan
diurai/dipecah kedalam bentuk kation H+ (hidrogen) serta anion OH– (hidroksida)
melalui proses kimiawi. Proses tersebut umumnya dipakai dalam memecah suatu
polimer tertentu, khususnya polimer dimana terbuat melalui proses bertahap
polimerisasi. Istilah hidrolisis sendiri berasal dari kata Yunani yaitu hydro yang
berarti air serta lysis dengan arti pemisahan.
Triasilgliserol terkandung 95% pada minyak kelapa sawit. Oleh karena itu,
senyawa kimia pada minyak kelapa sawit didominasi oleh reaksi-reaksi kelompok
ester. Ikatan ester pada triasilgliserol bisa dihidrolisis untuk menghasilkan sebagian
gliserida, asam lemak bebas dan gliserol tergantung seberapa jauh reaksi dibiarkan
terus berjalan. Semenjak perdagangan CPO berdasarkan pada spesifikasi yang
termasuk senyawa FFA, faktor –faktor yang mempengaruhi rasio hidrolisis dari
minyak pada kelapa sawit dan minyak yang diekstraksi menyita perhatian besar
pada industri minyak kelapa sawit.
Hidrolisis bisa terjadi dari lipolisis mikroba, auto katalisis, atau lipolisis
enzimatik. Lipolisis microbial disebabkan oleh mikroorganisme yang memasuki
buah dan membebaskan enzim lipase. Penyimpanan buah-buahan yang tidak benar
dan penundaan pengolahan mendukung multiplikasi mikroorganisme dan hidrolisis
minyak.
Air harus ada untuk hidrolisis autokatalitik terjadi. Rasio reaksi hidrolitik
tergantung pada suhu kelembapan atau kandungan air dan konsentrasi asam lemak
bebas. Hidrolisis enzimatik disebabkan oleh lipase endogenus pada buah.
Kenampakan buah-buahan yang memarlebih aktivitas lipolitik dari pada buah-
buahan yang tidak [107] Buah-buahan yang terlalu masak penundaan pengolahan
dan penanganan yang buruk pada tandan buah kelapa sawit semuanya berkontribusi
pada pengasaman minyak. Dengan demikian pemanenan dan penanganan yang
bagus harus selalu dipraktekkan untuk meminimalkan hidrolisis. Sejumlah
publikasi tentang masalah konten FFA dan hidrolisis dalam produk minyak sawit
tersedia [108±110]
8.2 Sapoifikasi
Saponifikasi adalah reaksi yang terjadi ketika minyak atau lemak dicampur
dengan alkali yang menghasilkan sabun dan gliserol. Prinsip dalam proses
saponifikasi, yaitu lemak akan terhidrolisis oleh basa, menghasilkan gliserol dan
sabun mentah. Proses pencampuran antara minyak dan alkali kemudian akan
membentuk suatu cairan yang mengental, yang disebut dengan trace. Pada
campuran tersebut kemudian ditambahkan garam NaCl. Garam NaCl ditambahkan
untuk memisahkan antara produk sabun dan gliserol sehingga sabun akan
tergumpalkan sebagai sabun padat yang memisah dari gliserol (Gebelin, 2005).
Hidrolisis alkali pada ester organic atau saponifikasi memproduksi garam
alkalia dan alkohol. Ketika triasilgliserol/asaam lemak dicampur dengan alkali,
menghasilkan garam atau logam alkali (sabun) dan gliserol. Ini adalah reaksi dasar
dalam pembuatan sabun dan gliserin dari minyak kelapa sawit. Saponifikasi juga
merupakan dasar untuk dua hal penting dalam penentuan analisis. Itu digunakan
untuk menentukan keasaman dan saponifikasi pada lemak dan minyak. Nilai
saponifikasi mengidentifikasi rata-rata berat molekul atau berat yang sepadan pada
senyawa-senyawa lemak dalam minyak. Oleh karena itu, identitas karakteristik
dari minyak atau lemak dan minyak kelapa sawit memiliki nomor saponifikasi atau
nilai antara 192 dan 205.
8.3 Interesterifikasi
Interesterifikasi merupakan reaksi pengaturan kembali ikatan ester. Ester
dari suatu asam lemak bereaksi dengan alkohol, ester atau asam lemak lain untuk
membentuk ester baru yang memiliki struktur atau komposisi yang berbeda dengan
ester asli. Reaksi ini bertujuan untuk memodifikasi sifat fisik lemak seperti
perlakuan leleh, karakteristik kristal, kandungan solid lemak dan plastisitas namun
tetap mempertahankan sifat kimia dan nutrisi. Interesterifikasi merupakan cara
untuk produksi asam lemak khusus seperti shortening dan kembang gula. Berikut
merupakan contoh reaksi ester :
8.4 Alkoholisis
Alkoholisis merupakan reaksi dimana kelompok lain menggantikan gugus alkoksil
dari molekul gliserida. Alkoholisis merupakan reaksi dasar yang digunakan dalam
persiapan metil ester untuk menentukan komposisi asam lemak dari kelapa sawit.. Berikut
merupakan reaksi alkoholisis :
8.5 Transesterifikasi
Proses pertukaran gugus organik R″ pada suatu ester dengan gugus organik
R′ dari alkohol. Transesterifikasi diterapkan untuk menghasilkan metil ester. Proses
ini menyerupai hidrolisis, namun pada transesterifikasi yang digunakan bukanlah
air, melainkan metanol. Berikut merupakan reaksi transesterifikasi :
8.6 Oksidasi
Asam lemak tak jenuh dalam minyak dapat mengalami autooksidasi sehingga
menyebabkan kerusakan minyak. Semakin tinggi derajat ketidakjenuhan minyak, maka
semakin mudah minyak tersebut mengalami oksidasi minyak. Oksidasi minyak tersebut
dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas dalam minyak dengan dipicu oleh
factor-faktor pemicu untuk mempercepat reaksi oksidasi minyak seperti cahaya, panas,
peroksida lemak atau minyak, logam-logam berat (Cu, Fe, Co, dan Mn), logam porfirin
(hematin, hemoglobin, mioglobin, dan klorofil) dan enzim-enzim lipoksidase. Minyak
sawit lebih tahan terhadap oksidasi karena tingkat yang lebih tinggi dari asam lemak jenuh.
8.7 Halogenasi
Halogenasi adalah suatu reaksi kimia yang melibatkan penambahan satu atau
lebih halogen pada ikatan rangkap asam lemak tidak jenuh. Halogenasi bertujuan untuk
mengukur derajat ketidakjenuhan minyak/lemak. Halogenasi umum diaplikasikan untuk
menghasilkan turunan asam lemak terhalogenasi salah satunya sebagai antiflammability
pada produk tekstil dan sebagai reaksi intermediate (antara) pada produk atau komponen
lain
8.8 Hidrogenasi
Hidrogenasi sempurna terhadap asam lemak tak jenuh akan menghasilkan asam
lemak jenuh. Contoh hidrogenasi:
Hidrogenasi sempurna suatu minyak akan menghasilkan semua asam lemak
dalam keadaan jenuh. Hal ini menyebabkan produk minyak terhidrogenasi parsial
sempurna mempunyai tekstur yang terlalu padat untuk dijadikan bahan makanan.
Sehingga dalam industri pengolahan minyak, minyak diolah secara hidrogenasi
parsial katalitik hingga dihasilkan produk yang mempunyai tekstur sesuai dengan
keinginan.
Dalam hidrogenasi parsial, hanya sebagian dari asam lemak tak jenuh yang
terhidrogenasi menjadi asam lemak jenuh. Sebagai efek samping, sebagian asam
lemak cis akan mengalami perubahan konfigurasi menjadi trans,trans fatty
acids.Dari proses hidrogenasi parsial ini tidak terjadi penambahan atom H pada
asam lemak, namun asam lemak akan mengalami perubahan konfigurasi
dari cis menjadi trans. Dimana asam lemak tak jenuh cis akan memutar 180 derajat
sehingga terbentuk konfigurasi trans-nya.
BAB 9
9. Nutrisi dan komponen minyak sawit
Hampir 90% dari produksi minyak sawit dunia digunakan sebagai makanan.
Hal ini menunjukan bahwa nutrisi dari minyak sawit ini cukup bagus . Asam lemak
menjadi komposisi minyak sawit yang menjadi fokus perhatian dalam menentukan
kecukupan nutrisinya berhubungan dengan faktor risiko penyakit jantung koroner
(PJK). Seperti yang disebutkan sebelumnya, Asam palmitat (44%) adalah asam
lemak jenuh utama di dalam minyak sawit dan ini diimbangi oleh hampir 39% asam
oleat tak jenuh tunggal dan 11% asam linoleat tak jenuh ganda. Sisanya sebagian
besar adalah asam stearat (5%) dan miristis (1%). Komposisi ini secara signifikan
berbeda dari minyak kernel yang hampir 85% jenuh. Bebrapa percobaan nutrisi ini
telah dilakukan pada manusia dan hewan. Studi-studi ini telah menghasilkan hasil
yang tidak hanya menunjukkan kecukupan gizi minyak sawit dan produknya tetapi
juga menyebabkan transisi dalam pemahaman gizi dan efek fisiologis dari minyak
sawit, asam lemak dan komponen lainnya.
Seperti hasil dari penelitian ini dan temuan lainnya, ada upaya dalam
mengajarkan konsumen untuk memilih lemak dengan kandungan asam lemak yang
dapat membantu mempertahankan kadar kolesterol darah normal. Rekomendasi
tersebut dinyatakan dalam hampir setiap laporan kesehatan nasional utama yang
difokuskan untuk mengurangi pengaruh dan mortalitas dari PJK. Kesadaran
konsumen akan rekomendasi diet ini telah ditunjukkan kepada masyarakat luas
dengan beralih dari lemak hewani ke minyak tak jenuh ganda dan tak jenuh tunggal.
Namun, perubahan tersebut sering ditentukan dan dikondisikan oleh penggunaan
dan fungsi akhir dari minyak dan lemak yang bersangkutan. Pergantian penggunaan
mentega dengan margarin dan kecenderungan peningkatan konsumsi margarin tak
jenuh ganda dan jenuh rendah lainnya yang mengandung produk kaya lemak dilihat
sebagai langkah positif dalam mengurangi kejadian PJK. Data terbaru kali ini telah
menunjukkan bahwa hidrogenasi dari minyak tak jenuh ganda dan tak jenuh tunggal
yang digunakan dalam formulasi produk seperti itu menghasilkan pembentukan
asam lemak trans yang meningkatkan lipid terkait faktor resiko untuk PJK. Karena
minyak sawit mengandung 44% dari komposisi sebagai asam palmitat jenuh,
umumnya di asumsikan bahwaakan terjadi peningkatan TC setelah mengkonsumsi
dalam jangka panjang. Memang penelitian dengan manusia pada awalnya telah
melaporkan bahwa makanan kaya palmiticacid yang sebagian besar berasal dari
minyak kelapa sawit menghasilkan TC dan kolesterol low density lipoprotein
(LDL-C) yang lebih tinggi dari pada makanan yang diperkaya baik dalam asam
oleat atau polyunsaturated linoleat tak jenuh tunggal. Namun, pada pemeriksaan
yang lebih dekat juga terlihat bahwa nilai-nilai TC dan LDL-C dari para
sukarelawan ini setelah mencoba minyak kelapa sawit sebenernya lebih rendah. Hal
ini menunjukkan bahwa makanan kaya akan minyak sawit mampu memodulasi
profil lipoprotein plasma secara menguntungkan dibandingkan dengan diet basal
para relawan. Pembelajaran yang lebih baru (pada hewan dan model manusia)
untuk diperiksa dibawah ini telah memberikan hasil yang berbeda dengan yang
diatas. Setidaknya satu pembelajaran epidemiologi telah menjelaskan bahwa nilai-
nilai TC sangat normal mungkin dalam lingkungan makanan dimana minyak sawit
adalah sumber lemak utama. Permasalahan selanjutnya dijelaskan oleh beberapa
penelitian yang melaporkan efek dari spesies trigliserida dan komponen minor
dalam minyak sawit pada modulasi kolesterol.
Komponen kecil yang menarik dalam minyak sawit adalah vitamin E dan
karotenoid. Teknologi untuk mengisolasi konsentrasi komponen ini digunakan
dalam beberapa penelitian yang mengarah untuk menelitii efek fisiologisnya. Efek
dari tocotrienol minyak sawit dapat menurunkan kolesterol, aktivitas pro-vitamin
A dari kelapa sawit merah dan konsentrat karoten kelapa sawit dan sifat antioksidan
dan anti-kanker berasal dari keduanya yaitu vitamin E sawit dan karoten. Temuan-
temuan ini didukung oleh sejumlah besar publikasi ilmiah.
BAB 10
10. Efeksi Minyak Sawit Dan Fraksinya Pada Lipid Darah Dan Lipoprotein
Pengaruh minyak sawit pada lipid darah dan lipoprotein telah diperiksa
dengan perbandingan dengan minyak yang lebih tidak jenuh. Kris-Etherton et al.
[132] membandingkan efek cholesterolaemic dari diet yang mengandung 10% berat
minyak kelapa sawit, zaitun, safflower dan jagung. Tikus yang diberi minyak zaitun
memiliki kadar TC plasma yang secara signifikan lebih tinggi daripada tikus yang
diberi makan minyak jagung, sedangkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
tingkat TC tikus yang diberi makan jagung, safflower dan minyak sawit. Namun,
di hadapan diet kolesterol, Sugano dan Immaizumi [133] menunjukkan peningkatan
signifikan, TC pada tikus yang diberi diet minyak sawit atau olein dibandingkan
dengan diet minyak. Ikeda dkk. [134] meneliti efek minyak sawit dan minyak
safflower dalam kaitannya dengan berbagai jenis serat makanan pada penyerapan
kolesterol pada tikus. Penyerapan kolesterol meningkat oleh minyak sawit dalam
hubungan dengan serat yang tidak larut tetapi efek ini tidak jelas ketika fibrosa yang
tidak larut diganti dengan serat larut.
Pengaruh minyak sawit pada tingkat lipid pra-dan pasca-prandial juga telah
diperiksa oleh Groot et al. [135] yang mengamati kadar trigliserida plasma pra-dan
pasca-prandial yang lebih tinggi pada tikus yang diberi diet minyak sawit
dibandingkan dengan diet minyak bunga matahari. Disarankan bahwa efek ini
mungkin terkait dengan spesies trigliserida yang lebih jenuh yang ada dalam
minyak sawit. Haave et al. [136] meneliti efek dari lemak makanan yang
disumbangkan oleh minyak sawit, minyak zaitun atau minyak safflower pada tikus
hamil. Kadar kolesterol plasma janin bebas tidak secara signifikan berbeda antara
diet; namun, aktivitas 3-hidroksi-3-metilglutarat-ko-enzim A (HMG-CoA) janin
pada janin yang diberi minyak safflower dan minyak zaitun lebih tinggi
dibandingkan dengan pemberian makan minyak kelapa sawit.
Sundram et al. [137] meneliti minyak kelapa sawit, olein sawit, stearin
sawit, minyak jagung dan minyak kacang kedelai untuk pengaruhnya pada
distribusi kolesterol lipoprotein pada tikus yang diberi makan yang mengandung
40% energi sebagai lemak. Kadar kolesterol plasma tikus yang diberi minyak
kedelai secara signifikan lebih rendah daripada tikus yang diberi makan minyak
jagung, minyak kelapa sawit, olein sawit dan stearin sawit. Perbedaan yang
signifikan antara kadar kolesterol plasma tikus yang diberi minyak jagung dan tikus
yang diberi makan tiga diet minyak sawit tidak terbukti. HDL-kolesterol dibesarkan
pada tikus yang diberi makan tiga diet minyak sawit dibandingkan dengan tikus
yang diberi minyak jagung atau minyak kacang kedelai. Rasio TC / HDL-C yang
dihasilkan lebih baik dikurangi oleh tiga diet minyak sawit.
Studi awal ini, semua dilakukan dalam model tikus, bertujuan untuk
memahami efek dasar minyak sawit dan fraksinya pada regulasi dan metabolisme
kolesterol. Hasil dari penelitian tikus ini sering tidak cukup konklusif, karena tikus
didominasi oleh model hewan HDL (yaitu sebagian besar TC yang bersirkulasi
pada tikus dibawa dalam fraksi lipoprotein densitas tinggi) dan, karenanya, tidak
kristis. untuk menginduksi hypercholesterolaemia atau atherosclerosis. Dalam
mengenali keterbatasan ini, penelitian selanjutnya dicoba pada model binatang lain
seperti hamster, gerbil dan primata non-manusia.
Dalam beberapa tahun terakhir, hamster, terutama hamster Suriah emas dan
gerbil, telah digunakan secara luas sebagai model hewan untuk menjelaskan
mengenai sintesis sterol dan metabolisme LDL. Menggunakan model ini, efek dari
asam lemak pada makanan dan kolesterol pada makanan dalam sintesis kolesterol
plasma dan metabolisme LDLsecara in vivo telah dicoba. Pada model hamster,
kolesterol pada makanan yang diberikan menunjukkan perubahan signifikan pada
jumlah plasma dan LDL-C, sedangkan parameter ini relatif tidak berpengaruh pada
model tikus. Beberapa studi hamster dimana minyak sawit berperan sebagai lemak
pada makanan telah dilakukan dengan hasil di bawah ini.
Lindsey et al. menguji efek kualitatif dari lemak yang berbeda termasuk
minyak sawit dan asam lemak spesifik pada lipid plasma dan lipoprotein pada
hamster jantan muda. Menu yang mengandung 13% energi sebagai lemak dengan
variasi rasio asam lemak tak jenuh ganda / jenuh. Mengganti rantai 12:0 + 14:0 dari
minyak kelapa dengan 16:0 dari minyak sawit, berpengaruh terhadap peningkatan
HDL-C dan penurunan LDL-C. Perubahan manfaat yang serupa terbukti pada rasio
kolesterol LDL / HDL dan rasio plasma apolipoprotein B / A1. Studi ini juga
menjelaskan bahwa asam lemak jenuh utama dalam minyak sawit, yaitu asam
palmitat, dapat meningkatkan produksi HDL-C. Hal ini diperkuat dengan penelitian
bahwa apolipoprotein A1 dan reseptor LDL tertinggi, melimpahnya mRNA
dikaitkan dengan minyak sawit yang digunakan untuk memberi makan hamster.
Pronczuk et al. [140] membandingkan efek relatif 16: 0 (berasal dari minyak
sawit) dan asam lemak 12:0 pada lipid plasma gerbil. Pertukaran energi sebanyak
8% antara 16: 0 dan 12: 0 tercapai pada menu yang mengandung 40% energi lemak
dimana semua asam lemak lainnya dipertahankan konstan. Kedua menu
menghasilkan kolesterol plasma, trigliserida, dan HDL-C yang serupa. Ketika menu
yang sama dilakukan pada Monyet cebus, efek serupa pada lipid dan lipoprotein
kembali terbukti. Studi ini menyarankan bahwa respon hypercholesterolaemic
dalam gabungan asam lemak 12: 0 + 14: 0 yang terjadi bersaman di alam (misalnya
dalam minyak kelapa, PKO dan lemak susu) mungkin terkonfirmasi pada asam
miristat (14: 0) dalam campuran. Hipotesis ini telah memperoleh kepercayaan lebih
jauh dari hasil beberapa penelitian terkontrol manusia (lihat di bawah).
Hayes dkk. menguji potensi cholesterolaemic dari lemak yang berbeda pada
lemak-sensitif gerbil. Mereka melaporkan bahwa menu minyak kedelai
terhidrogenasi yang mengandung trans mempengaruhi hiperkolesterolemia yang
menengah sebagai respon terhadap menu dari stearin sawit dan minyak kelapa.
Untuk menjaga pengamatan sebelumnya, menu minyak kelapa berpengaruh
terhadap level kolesterol yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan
stearin sawit 16: 0.
Hayes dkk memberi makan tiga jenis monyet dengan menu bebas kolesterol,
dimana asam lemak dikontrol dengan ketat. Meskipun pada saat itu menyediakan
jumlah lemak jenuh yang sama, mono-unsaturates dan polyunsaturates yang berasal
dari minyak kernel dan minyak kelapa secara sistematis diganti dengan minyak dari
sawit. Tingginya lemak jenuh (>80%) dan makanan jenis AHA (Asosiasi Jantung
di Amerika) dengan lemak jenuh yang sama (mono-unsaturates dan
polyunsaturates) masing-masing dimasukkan sebagai kontrol positif dan negatif,
karena 12:0 dan 14:0 dari minyak kernel dan minyak kelapa secara sistematis
diganti dengan 16:0 dari minyak sawit, sehingga TC dan LDL-C menurun. Selain
itu, mengganti 50% dari polyunsaturates dari makanan AHA dengan 16:0 dari
minyak sawit gagal memperoleh peningkatan yang diharapkan dalam TC dan LDL-
C sedangkan pengganti serupa dengan 12:0 dan 14:0 dalam makanan AHA secara
signifikan meningkatkan TC, LDL-C, dan kolesterol LDL/HDL. Selanjutnya,
perbandingan TC yang diamati menunjukkan nilai dasar sempurna dengan prediksi
berdasarkan TC dengan persamaan jika 16:0 dari minyak sawit dianggap netral.
Studi ini serupa dengan hipotesis dasar dari Hayes dan Khosla tahun 1992 yang
menggambarkan ambang batas untuk efek polyunsaturates pada kolesterol dan
netralitas.
Dalam penelitian lain menggunakan monyet cebus, khosla, dan hayes
menilai reaksi dari asam palmitat menyebabkan tidak adanya kolesterol pada
makanan. Minyak sawit digunakan sebagai sumber makanan asam palmitat.
Mereka menukarkan 10% dari kandungan lemak antara 16:0 dan 18:1, sementara
mempertahankan 14:0 dan 18:2 menjadi tingkat konstan dalam makanan.
Konsentrasi lipid plasma dan metabolisme lipoprotein (LDL dan HDL kinetika)
tidak berpengaruh ketika menggunakan makanan bebas kolesterol. Hasil serupa
juga terlihat pada penelitian lain yang menggunakan monyet cebus dan rhesus yang
diberi makanan bebas kolesterol. Konsentrasi lipid plasma identik pada hewan yang
diberi makan kaya akan minyak (minyak sawit) dan (minyak canola). Minyak sawit
juga menghasilkan perbandingan kolesterol LDL/HDL yang rendah, secara
signifikan lebih baik dari pada makanan pengendali lainnya.
Khosla dkk menilai dampak pengganti 12:0 dan 14:0 dari minyak kelapa
dengan asam palmitat (16:0) dari minyak sawit dalam makanan AHA step-1
menggunakan monyet rhesus. Pengujian makanan ini memiliki rasio
polyunsaturates/saturates 0,99 sedangkan makanan kontrol yang menunjukan
makanan Amerika memiliki rata-rata rasio jenuh tak jenuh antara 0,5. Memberi
makanan diet 16:0 memperoleh penurunan yang signifikan dalam konsentrasi TC,
LDL-C, apoB dan ukuran penggabungan apoB LDL yang dikurangi dengan
membandingkan makanan kontrol. Demikian juga dengan penelitian monyet cebus
yang dilakukan serupa, Khosla et all menilai efek asam palmitat dari minyak sawit
dengan perubahan asam lemak dari minyak kedelai yang terhidrogenasi
berpengaruh untuk cholesterolaemic mereka. Sehubungan dengan rata-rata
makanan kontrol Amerika, kandungan palmitat secara signifikan mengurangi
perbandingan aterogenik TC/HDL-C sedangkan perubahan makanan tidak
berpengaruh. Namun, perubahannya ditandai dengan penurunan yang signifikan
dengan memanfaatkan kolesterol HDL yang relatif mengandung makanan
palmitat.
Monyet hijau Afrika yang diberi makanan kaya kolesterol dan berbagai
tingkatan asam lemak dinilai oleh Rudel et all untuk gejala aterosklerotik mereka.
Tingkat makanan yang memiliki kolesterol tinggi diberikan untuk meningkatkan
TC dan menyebabkan aterosklerotik. Memberikan makanan dengan tingkatan
lemak jenuh yang tinggi (minyak sawit palmitat) dengan adanya makanan dengan
kolesterol tingkat tinggi yang diinduksi tingkat TC tertingginya. Namun, ketika
kolesterol dihilangkan dari makanan yang mengandung lemak jenuh, TC menurun
dalam waktu 2 minggu dari 390 hingga 200 mg/dl. Sundram et all (1997)
menunjukkan peningkatan yang signifikan pada TC dan LDL-C pada kelinci yang
diberi makan semipurifikasi bebas kolesterol yang mengandung 12:0 dan 14:0 atau
asam lemak trans tetapi tidak pada kelinci yang diberi makan olein palem kaya
sawit. Saat makanan pengandung kolesterol ditambahkan kedalam makanan hewan
tersebut didalam penelitian lanjutan luka aterosklerotik terlihat jelas pada 5/8 dan
6/8 dari kelinci yang masing-masing diberi makanan penggemuk 12:0 dan 14:0 dan
perubahan makanan penggemuk. Sebaliknya, luka aterosklerotik secara signifikan
lebih rendah dan jelas hanya pada 2/8 dari palm olein diberikan pada kelinci dan
1/8 dari campuran AHA untuk makanan kelinci tersebut.
10.2.1. Pengaruh minyak sawit sebagai bagian dari diet sehat rendah lemak
Minyak tak jenuh tunggal yang kaya asam oleat saat ini disebut-sebut
menjadi minyak yang paling sehat dari minyak lain yang dapat dikonsumsi selama
diet. Sementara zaitun, rapeseed dan Canola mengandung lebih dari 60% dari
komposisinya sebagai asam cis-oleat, palm olein memiliki sekitar 48% dari asam
lemak tak jenuh tunggal ini. Terdapat pertanyaan apakah tingkat asam oleat pada
minyak sawit cukup untuk menghasilkan lipoprotein- kolesterol proaktif yang
melindungi terhadap CHD (Coronary Heart Disease) yang diteliti dalam beberapa
riset. Ng et al. mengamati efek diet minyak sawit dan minyak zaitun pada lipid dan
lipoprotein dalam serum yang dibandingkan dengan diet minyak kelapa. Setiap
minyak di uji sebagai minyak goreng dan menyumbang dua sepertiga dari total
asupan lemak. Diet minyak kelapa secara signifikan meningkatkan serum lipid dan
lipoprotein, yaitu TC (Total Cholesterol), LDL-C (Low Density Lipoprotein
Cholesterol), dan HDL-C (high density lipoprotein cholesterol). Namun, pertukaran
satu sama lain antara palm olein (kaya 16: 0) dan minyak zaitun (kaya 18: 1)
menghasilkan nilai-nilai sejenis TC (Total Cholesterol), LDL-C (Low Density
Lipoprotein Cholesterol), dan HDL-C (high density lipoprotein cholesterol). Ini
menunjukkan bahwa pada manusia normocholesterolaemic yang sehat, palm olein
bisa ditukar dengan minyak zaitun (oleat tinggi) tanpa merugikan kadar lipid dan
lipoprotein serum. Choudhury dkk. [157] mengelola pertukaran energi 5% antara
minyak sawit (kaya 16: 0) dan minyak zaitun (18: 1-kaya) di 21 pria dan wanita
dewasa yang sehat dan normocholesterolaemic mengkonsumsi lemak rendah (30%
energi) dan diet rendah kolesterol (<200 mg / hari) diet. Dalam kondisi ini, TC
(Total Cholesterol) dan LDL-C (Low Density Lipoprotein Cholesterol) tidak secara
signifikan berbeda antara dua minyak, sehingga ketika 16: 0 dalam minyak sawit
diganti dengan 18: 1 dalam minyak zaitun, peningkatan yang diharapkan pada TC
(Total Cholesterol) dan LDL-C (Low Density Lipoprotein Cholesterol) tidak jelas.
Di sebuah penelitian manusia sebelumnya, Truswell dkk. [158] juga menguji efek
yang sama antara palm olein dan Minyak canola.
Studi yang disebutkan di atas berfokus pada kandungan asam oleat dalam
minyak yang berbeda yang diuji (sawit olein, canola, rapeseed dan zaitun) untuk
mengetahui sifat modulasi kolesterol mereka. Tanpa ragu, asam oleat telah terbukti
memiliki sifat penurun kolesterol yang dikatakan sama atau lebih baik
dibandingkan dengan polyunsaturate. Namun, jumlah asam oleat optimal yang
dibutuhkan untuk memastikan bahwa profil lipoprotein yang bermanfaat masih
belum ditentukan. Dalam konteks ini, palm olein con- Taining 44 - 48% asam oleat
sama dalam kolesterol plasma dan modulasi lipoprotein seperti lainnya yang
mengandung asam oleat lebih tinggi termasuk zaitun (70%), canola (65%) dan
rapeseed (60%). Ini sangat baik untuk palm olein dan jelas mengurangi efek
kolesterolik.
BAB 11
11. Pengaruh Minyak Sawit Pada Trombosis Arteri, Aritmia Jantung, Dan
Sintesis Prostanoid
11.1. Trombosis arteri
Hornstra dkk. [175] melakukan beberapa penelitian untuk mengevaluasi
efek minyak sawit pada arteri-bosis menggunakan teknik lingkaran aorta pada tikus.
Data ini juga telah ditinjau [176]. Waktu obstraksi (OT) diukur sebagai waktu yang
berlalu antara penyisipan lingkaran kanula diaorta pada perut hewan dan oklusi
dengan pembentukan trombus. Secara umum, tikus diberi makan diet kaya asam
lemak tak jenuh ganda memiliki OT yang lebih panjang daripada yang diberi diet
asam lemak jenuh. Tikus yang diberi makan sari buah kelapa memiliki OT serupa
dengan tikus yang diberi diet minyak tak jenuh ganda termasuk minyak rapeseed,
biji rami dan minyak sunflower. Oleh karena itu, dalam model aorta loop dengan
minyak sawit berperilaku seperti minyak tak jenuh ganda. Hornstra [176] lebih
lanjut menyarankan bahwa antitrombotik efek dari minyak sawit tampaknya paling
tidak sebagian, terkait dengan jumlah dan komposisi unsaponifiables dalam
minyak.
Rand et al. [177] mengukur agregasi platelet yang diaktifkan pada tikus
yang diberi minyak sawit atau minyak biji bunga marahri (50% energi lemak).
Mereka melaporkan agregasi platelet yang lebih besar di bunga matahari makan
minyak tikus dibandingkan dengan tikus yang diberi makan minyak kelapa.
Agregasi platelet yang diinduksi oleh adenosine dipho-sphate, collagen atau PAF-
acether juga dilaporkan sebanding pada kelinci yang diberi makan minyak sawit,
minyak minyak matahri, minyak zaitun, minyak biji rami dan minyak ikan [175].
Vles [178] menunjukkan bahwa minyak sawit akan menghasilkan tingkat lesi
aterosklerosis yang lebih tinggi daripada pemberian rapeseed atau minyak bunga
matahari. Namun, ketika protein itu diubah dari kasein menjadi protein kedelai,
Perbedaan ini tidak lagi terlihat bahkan ketika kelinci diberi makan selama 1,5
tahun [175].
11. 2 Aritmia Jantung
Dengan menggunakan model tikus dari aritmia jantung iskemik setelah oklusi
bedah arteri koroner utama, telah ditunjukkan adanya lemak jenuh, meski
minyaknya tak jenuh ganda, terutama minyak ikan yang kaya akan asam lemak n-
3 yang melindungi terhadap aritmia jantung. Charnock et al. [179] menemukan
bahwa diet yang dilengkapi dengan minyak sawit yang diolah dengan refining
secara kimia atau refining secara fisik memberikan nilai rata antara lemak jenuh
ginjal domba dan minyak tak jenuh ganda biji bunga matahari selama stres iskemik.
11.3 Sintesis Prostanoid
Prostanoid, sering disebut hormon lokal, adalah serangkaian senyawa yang
terkait secara struktural yang berasal dari asam lemak tak jenuh ganda tertentu.
Prostanoid yang terbentuk oleh trombosit darah dan pembuluh darah ini berperan
penting dalam trombosis dan atherosclerosis. Kuantitas dan jenis lemak makanan,
rasio tak jenuh ganda / jenuh dan rasio asam lemak n-3 / n-6 mengatur sintesis
prostanoid. Trombosit darah diaktifkan menghasilkan thromboxane A2 (TxA2),
yaitu agregasi (pengumpulan) trombosit, dan karenanya memiliki efek
prothrombotic. Prostacyclin (PGI2) yang diproduksi oleh dinding pembuluh dapat
menonaktifkan trombosit darah dan memecah agregat trombosit.
Hornstra dkk. [175] melaporkan bahwa pada tikus, diet minyak sawit
menyebabkan penurunan signifikan TxA2 dalam kolagen platelet
teraktifkan dibandingkan dengan diet minyak bunga matahari pada
tikus.
Rand et al. [177] melaporkan rasio thromboxane / prostasiklin secara
signifikan lebih rendah pada trombosit tikus yang diberi makan minyak
sawit.
Sugano dan Immaizumi [133] menunjukkan bahwa ketika diet mengandung
20% minyak sawit, minyak safflower atau minyak zaitun, rasio PGI2 / TxA2
tertinggi untuk minyak safflower, menengah untuk minyak sawit dan
terendah untuk tikus yang diberi makan minyak zaitun.
Abeywardena dkk. [180] berhipotesis bahwa modulasi menguntungkan dari
rasio thromboxane/prostasiklin oleh minyak sawit mungkin berkaitan dengan
fraksi unsaponifiable dalam minyak sawit dan terutama tocotrienols. Sugano
dan Immaizumi [133] menunjukkan bahwa rasio prostasiklin aorta terhadap
tromboksan plasma setelah diet minyak sawit pada tikus tidak dapat
diprediksi hanya berdasarkan komposisi asam lemak dari minyak saja.
BAB 12
12. Pengaruh Minyak Sawit Pada Karsinogenesis
Tampaknya ada korelasi positif antara kuantitas dan kualitas lemak yang
dikonsumsi dan kejadian kanker payudara, usus besar dan prostrate. Banyak dari
pengamatan epidemiologi yang menghubungkan konsumsi lemak dengan jenis
kanker yang berbeda telah direproduksi pada hewan laboratorium. Sebagai contoh,
asam lemak tak jenuh ganda, terutama yang kaya akan seri n-6 yang berasal dari
minyak biji nabati, memiliki efek mempromosikan tumor pada model kanker
mammae. Oleh karena itu, ini adalah dasar untuk mengevaluasi efek dari diet
minyak sawit yang diperkaya pada tahap inisiasi, promosi dan pengembangan
karsinogenesis mammae. Menggunakan model tikus yang dibuat karsinogenik oleh
administrasi 7,12 dimethylbenz (a) anthracene (DMBA):
Hopkins et al. (1979), menunjukkan bahwa perkembangan dan insiden tumor
mammae sensitif terhadap tingkat asam linoleat (18: 2 n-6) dalam makanan.
Pada tikus yang dilakukan secara moderat, diet yang mengandung 2,8%
minyak jagung dan 21,8% minyak sawit menghasilkan indeks
karsinogenesis yang lebih rendah daripada diet rendah lemak, rendah-
linoleat yang mengandung 5% minyak jagung.
Buckman et al. [183] Setelah 21 hari, volume rata-rata tumor pada tikus yang
diberi makanan safflower oil 20% hampir dua kali lipat dari 20% berat minyak
kelapa sawit dan enam kali lipat dari tikus yang diberi diet 5% minyak sawit.
Yang menarik juga adalah pengamatan bahwa 5% tikus yang diberi
makan minyak sawit memiliki volume tumor rata-rata yang lebih rendah
secara signifikan.
Sylvester et al. [184] yang memberi makan makanan yang mengandung
minyak sawit, minyak jagung, lemak sapi atau lemak babi (45% kalori)
Pemberian minyak kelapa sawit menghasilkan angka tumor terendah. Ini
menunjukkan bahwa diet lemak dapat memodulasi tumor melalui mekanisme
independen dari komposisi asam lemak mereka.
Sundram et al. [185] memberi makan tikus Sprague-Dawley betina yang
diobati dengan DMBA, diet semisintetik yang mengandung 20% b / b sawit
(baik mentah, revisned atau metabisulphite yang diolah), minyak jagung dan
kedelai selama satu bulan. Tikus yang diberi makan jagung 20% atau
minyak kacang kedelai memiliki insiden tumor yang lebih tinggi secara
signifikan dibandingkan hasil tumor dari tikus yang diberi makan minyak
sawit.
Alasan yang mungkin adalah kandungan asam linoleat n-6 secara signifikan
pada minyak jagung dan minyak kedelai lebih tinggi dibandingkan dengan minyak
sawit.
- Minyak sawit : asam palmitat
- Minyak jagung, kedelai : asam linoleat / Tak jenuh C18
Titik leleh kedelai (linoleat) lebih rendah daripada sawit (palmitat) karena
kedelai memiliki ikatan rangkap (asam lemak tak jenuh). Oleh karena itu, sawit
lebih baik digunakan untuk menggoreng karena titik lelehnya tinggi. Semakin jenuh
asam lemaknya, titik leleh akan semakin tinggi. Minyak sawit memiliki melting
point tinggi, tidak mudah menguap, tidak mudah bau, tidak mudah teroksidasi.
BAB 13
13. Komponen Minor dalam Minyak Sawit Dan Efek Kesehatannya
Karatenoid
Tocopherol
Vit. E
Tocotrienols
<1% dari konstituen,
Komponen
minor berperan penting dalam
Sterol menjaga stabilitas dan
minyak
sawit kualitas minyak sawit
Phosphatides
Alkohol
triterpenic
Alifatik
Alfa karoten
500-700 ppm
karatenoid
CPO Beta karoten
Vitamin E
(600 ± 1000 ppm)
BAB 14
14. Palm vitamin E
Tocotrienol sawit mungkin memiliki sifat anti kanker. Sundram et al. [185]
menyarankan minyak sawit mentah lebih efektif daripada minyak sawit olahan
dalam meningkatkan periode latensi tumor di Indonesia DMBA diperlakukan pada
tikus. Ini dikaitkan dengan kehadiran tocotrienols dan karotenoid di minyak
mentah. Ketika kandungan vitamin E dalam minyak sawit dihilangkan, secara
signifikan jelas lebih banyak tumor [198]. Penambahan vitamin E sawit ke minyak
jagung (500 atau 1000ppm) menghasilkan lebih rendah insiden tumor dan hasil
dibandingkan dengan tikus yang diberi minyak jagung saja.
BAB 15
15. Karatenoid kepala sawit
Mengidentifikasi diet sebagai salah satu faktor utama dalam etiologi kanker.
Pembelajaran Kanker epidemiologi telah memberikan bukti bahwa agen
kemopreventif kanker ada secara alami dalam makanan kita. Asupan tinggi sayuran
dan buah-buahan diketahui terkait dengan risiko rendah kanker paru-paru dan
saluran gastrointestinal. Efek pelindung mungkin berhubungan dengan komponen
yang berbeda hadir dalam buah-buahan dan sayuran. Meskipun, lebih dari 1000
senyawa telah diuji, retinoid dan karotenoid telah menerima perhatian paling
banyak. Sejumlah epidemiologis penelitian telah menunjukkan korelasi terbalik
antara asupan makanan atau tingkat vitamin dalam darah A / karotenoid dan risiko
kanker, serta efek anti-karsinogenik untuk senyawa ini. Data lebih lanjut
menunjukkan bahwa berbagai situs kanker mungkin dipengaruhi oleh karotenoid
ini. Penghambatan karsinogenesis kimia oleh karotenoid, minyak sawit dengan
referensi untuk benzo metabolit pyrene in vivo dan in vitro pada sel hati tikus telah
dilaporkan oleh Tan dan Chu. Juga telah dilaporkan bahwa karotenoid sawit
menunjukkan efek penghambatan pada proliferasi sejumlah sel kanker manusia. Ini
termasuk neuroblastoma, GOTO, kanker pankreas PANC-1, glioblastoma A172
dan kanker lambung HGC-27 . Menarik minat dari studi pengamatan ini adalah
bahwa palm alpha-carotene dan konsentrat karoten sawit adalah melindungi,
sedangkan beta-karoten sintetis adalah mempromosikan tumor. terisolasi palm
alpha-carotene dan konsentrat karoten sawit dan menunjukkan kemampuannya
untuk menghambat hati, paru-paru dan tumor kulit pada tikus. Namun, efek yang
sama tidak dapat dikaitkan dengan beta-karoten sintetis. Efek penghambatan
superior serupa untuk alpha-karoten yang jelas dalam kulit yang diinduksi secara
kimia model perkembangan tumor. Secara keseluruhan, hasil ini mengarah pada
kesimpulan bahwa buket alami Karotenoid, dalam minyak sawit memiliki aktivitas
kemopreventif yang menjanjikan melawan kanker.