Professional Documents
Culture Documents
Skripsi
Oleh:
Warsiningsih
K2305020
Oleh :
Warsiningsih
K2305020
Skripsi
Ditulis Dan Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana
Pendidikan Program Pendidikan Fisika Jurusan P.MIPA
Universitas Sebelas Maret
ii
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Persetujuan Pembimbing
PENGESAHAN
iii
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk
memenuhi sebagian dari persyaratan guna mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Disahkan oleh
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Dekan,
ABSTRAK
iv
DITINJAU DARI SIKAP BELAJAR SISWA PADA SUB POKOK BAHASAN
PEMANTULAN CAHAYA UNTUK SISWA SMP, Skripsi, Surakarta: Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari 2010.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak adanya: (1)
Perbedaan pengaruh antara penggunaaan pendekatan konstruktivisme melalui metode
eksperimen disertai diskusi kelompok dan demonstrasi disertai tanya jawab terhadap
kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. (2)
Perbedaan pengaruh antara sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi dan rendah
terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan
Cahaya. (3) Interaksi antara pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode pembelajaran dan sikap belajar Fisika siswa terhadap kemampuan kognitif
Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan desain
faktorial 2 x 2. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Muhammadiyah 7 Surakarta.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas VIII SMP Muhammadiyah 7
Surakarta Tahun Ajaran 2008/2009 yang terdiri dari 6 kelas, yaitu kelas VIII A sampai
dengan kelas VIII F. Sampel diambil dengan teknik cluster random sampling sehingga
diperoleh dua kelas, yaitu kelas VIII A sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII B
sebagai kelas kontrol yang masing-masing sampel berjumlah 30 siswa. Kedua kelas
tersebut diasumsikan mempunyai kemampuan awal Fisika yang sama. Teknik
pengambilan data dilakukan dengan teknik dokumentasi, angket dan tes. Teknik
dokumentasi digunakan untuk memperoleh data kemampuan awal Fisika siswa yang
diambil dari nilai mata pelajaran Fisika semester I, teknik angket digunakan untuk
mendapatkan data sikap belajar Fisika siswa serta teknik tes untuk memperoleh data
kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah anava dua jalan dengan isi sel
tak sama, kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut anava yaitu komparasi ganda metode
Scheffe.
Dari analisis data dan pembahasan diperoleh hasil: (1) Ada perbedaan
pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen
disertai diskusi kelompok dan metode demonstrasi disertai tanya jawab terhadap
v
kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya (Fa =
5,3847 ≥ F0.05; 1.56 = 4,02). Dari uji komparasi ganda diperoleh hasil bahwa
pembelajaran Fisika dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen
disertai diskusi kelompok lebih efektif daripada pembelajaran Fisika dengan pendekatan
konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab. (2) Ada perbedaan
pengaruh antara sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi dan rendah terhadap
kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya (Fb =
127,870 ≥ F0.05; 1.56 = 4,02). Dari uji komparasi ganda diperoleh hasil bahwa siswa yang
memiliki sikap belajar Fisika kategori tinggi memberikan pengaruh lebih baik daripada
siswa yang memiliki sikap belajar Fisika kategori rendah. (3) Ada interaksi antara
pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran Fisika
dan sikap belajar Fisika siswa terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub
pokok bahasan Pemantulan Cahaya (Fab = 10,9149 ≥ F0.05; 1.56 = 4,02). Dari uji
komparasi ganda diperoleh hasil bahwa penggunaan pendekatan konstruktivisme
melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan sikap belajar Fisika siswa
kategori tinggi lebih baik daripada penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan sikap belajar Fisika siswa kategori
rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika, penggunaan pendekatan konstruktivisme
melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan sikap belajar Fisika siswa
kategori tinggi lebih baik daripada penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode demonstrasi disertai tanya jawab dan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi
terhadap kemampuan kognitif Fisika, penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan sikap belajar Fisika siswa kategori
tinggi lebih baik daripada penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode
demonstrasi disertai tanya jawab dan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah
terhadap kemampuan kognitif Fisika, penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan sikap belajar Fisika siswa kategori
rendah tidak lebih baik daripada penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode demonstrasi disertai tanya jawab dan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi
terhadap kemampuan kognitif Fisika, penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode demonstrasi disertai tanya jawab dan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi
vi
lebih baik daripada penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode
demonstrasi disertai tanya jawab dan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah
terhadap kemampuan kognitif Fisika.
Implikasi dari hasil penelitian ini adalah pada pembelajaran Fisika ternyata
penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi
kelompok memberikan pengaruh yang lebih baik dari pada melalui metode demonstrasi
disertai tanya jawab, sehingga hal ini dapat digunakan sebagai referensi bagi guru dalam
menentukan metode yang tepat bagi siswa. Sikap belajar Fisika siswa mempunyai
pengaruh terhadap kemampuan kognitif Fisika. Siswa yang memiliki sikap belajar
Fisika kategori tinggi akan mencapai prestasi yang lebih baik daripada siswa yang
memiliki sikap belajar Fisika kategori rendah, sehingga hal ini dapat digunakan sebagai
referensi bagi guru untuk memperhatikan dan mempertimbangkan sikap belajar Fisika
siswa.
ABSTRACT
The purpose of the research are to know: (1) the effect differences in the use of
constructivism by experiment method with group discussion and demonstration method
with questions and answers to students’ cognitive ability. (2) the effect difference
vii
between high and low student’s learning attitude to students’ cognitive ability. (3) the
interaction of the effect between the use constructivism by experiment method with the
group discussion and demonstration method demonstration method with questions and
answers and students’ learning attitude to students’ cognitive ability.
This study uses the experiment method with 2x2 factorial design. The
population of this research is the VIII grade students of SMP Muhammadiyah 7
Surakarta in the Academic Year of 2008/2009 consisting of 6 classes, Class VIII A to
VIII F. The sampling technique uses is cluster random sampling. Which gets 2 classes:
VIII A as the experiment class and VIII B as the control class where each of which has
40 students. Techniques of collecting the data are used document, test, and
questionnaire. The document technique is used to obtain the data on the students’ initial
ability. The test technique is used to obtain the data on the students’ cognitive ability in
physics in the subject matter of reflection. The test questionnaire is used to obtain the
data on the students’ learning attitude. Technique of analyzing the data employed is a
two-way anava with different cell, followed by the anava advanced test: scheffe
multiple comparison method.
Based on the result of research, it can be conclude that (1) there is a difference
effect between use of constructivism by experiment method with the group discussion
and demonstration method with questions and answers to students’ cognitive ability (Fa
= 5,3847 ≥ F0.05; 1.56 = 4,02) based on the multiple comparison method, the uses of
experiment method with group discussion approach is more effective than the
demonstration method with questions and answers approach (2) there is a differences to
students’ attitude learning who have high and low students’ learning attitude to
students’ cognitive ability (Fb = 127,870 ≥ F0.05;1.56 = 4,02) based on the multiple
comparison method, the students with high students’ attitude learning have better
cognitive competence compared with the students with low student’ attitude learning.
(3) there is an interaction of the effect between use of constructivism learning by
experiment with group discussion and demonstration with questions and answers
method and students’ learning attitude to students’ cognitive ability (Fab = 10,9149
≥F0.05; 1.56 = 4,02) based on the multiple comparison method, the use of constructivism
by experiment method with group discussions and high students’ attitude learning better
viii
than experiment method with group discussions and low students’ attitude learning, the
use of constructivism by experiment method with group discussions and high students’
attitude learning better than demonstration method with questions and answers and high
students’ attitude learning, the use of constructivism by experiment method with group
discussions and high students’ attitude learning better than demonstration method with
questions and answers and low students’ attitude learning, the use of constructivism by
experiment method with group discussions and low students’ attitude learning better
than demonstration method with questions and answers and high students’ attitude
learning, the use of constructivism by experiment method with group discussions and
low students’ attitude learning not better than demonstration method with questions and
answers and low students’ attitude learning, the use of constructivism by demonstration
method with questions and answers and high students’ attitude learning better than
demonstration method with questions and answers and low students’ attitude learning.
The implications of the research result is that in learning physics through a
constructivism by experiment method with group discussion provide a better effect than
by demonstration method questions and answers, so that it can be used as a reference for
teachers in determining appropriate method for students. Physics students' learning
attitudes have an influence on cognitive abilities in Physics. Students who have high
learning attitude will achieve a better cognitive ability than students who have lower
learning attitudes, so it can be used as a reference for teachers to pay attention and
consider the students’ attitudes in learning physics.
ix
MOTTO
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai
(dari sesuatu urusan) kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. (Q.S.
Insyirah: 6-7)
Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan
sholat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S. Al- Baqarah: 153)
x
PERSEMBAHAN
xi
· Ibu dan bapak (atas segala cinta, kasih
sayang dan doa yang telah tercurah
untukku)
· Adikku (atas perhatian dan
dukungannya)
· Sahabat – sahabat terbaik Fisika 2005
khususnya Ana, Arina, Nurul, Rini, Tika,
Salim.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala
limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusunan Skripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik.
Penulis menyadari bahwa penyusunan Skripsi ini dapat diselesaikan berkat
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr.H.M.Furqon Hidayatullah, M.Pd. Selaku Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Ibu Dra. Hj. Kus Sri Martini, M.Si. Selaku Ketua Jurusan P. MIPA FKIP
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Ibu Dra. Rini Budiharti, M.Pd. Selaku Ketua Program Fisika Jurusan P. MIPA FKIP
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Bapak Drs. Sutadi Waskito, M.Pd. Selaku Koordinator Skripsi Program Fisika
Jurusan P. MIPA FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta..
xii
5. Bapak Drs. Surantoro, M.Si. Selaku Pembimbing I atas bimbingannya dalam
menyelesaikan Skripsi ini.
6. Bapak Drs. Y. Radiyono. Selaku Pembimbing II atas bimbingannya dalam
menyelesaikan Skripsi ini.
7. Ibu dan Bapak yang telah memberikan do’a restu dan dorongan sehingga penulis
dapat menyelesaikan Skripsi ini.
8. Dewan Guru SMP Muhammadiyah 7 Surakarta, terkhusus Ibu Diah atas bantuannya
dalam penelitian.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Skripsi ini masih banyak
kekurangan. Namun demikian besar harapan penulis semoga Skripsi ini dapat
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan. Amin.
Penulis
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL ................................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... iv
HALAMAN ABSTRAK ........................................................................... v
HALAMAN MOTTO ............................................................................... xi
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ xii
KATA PENGANTAR ............................................................................... xiii
DAFTAR ISI ............................................................................................. xiv
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xviii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xix
BABI PENDAHULUAN…………………………………………….... 1
A. Latar Belakang Masalah………….……………………….. 1
B. Identifikasi Masalah……………….……………………… 4
C. Pembatasan Masalah …………….……………………….. 4
xiii
D. Perumusan Masalah………………………………………. 5
E. Tujuan Penelitian ………………………………………… 5
F. Manfaat Penelitian………………………………………... 6
BAB II LANDASAN TEORI ……………………………………….. 7
A. Tinjauan Pustaka………………………………………... 7
1. Belajar dan Mengajar………………………………… 7
a. Belajar….…………………….……........................ 7
1) Pengertian Belajar ............................................. 7
2) Tujuan Belajar ................................................... 8
3) Ciri-Ciri Perubahan Tingkah Laku Dalam
Pengertian Belajar.............................................. 8
4) Teori Belajar...................................................... 9
b. Mengajar.................................................................. 10
1) Pengertian Mengajar.......................................... 10
2) Prinsip-prinsip Mengajar……………………… 11
c. Proses Belajar-mengajar………………………….. 13
1) Pengertian Proses Belajar-mengajar………….. 13
2) Komponen Proses Belajar-mengajar…………. 13
2. Pembelajaran Fisika....................................................... 14
3. Pendekatan Pembelajaran Konstruktivisme………….. 16
a. Pengertian Konstruktivisme………………………. 16
b. Meaningful Learning dan Konstruktivisme………. 18
c. Tahapan Belajar-Mengajar Konstruktivisme…….. 19
4. Metode Mengajar……………………………………... 20
a. Metode Demonstrasi……………………………… 21
b. Metode Tanya Jawab…………………………….. 22
c. Metode Eksperimen………………………………. 24
d. Metode Diskusi Kelompok……………………….. 25
5. Sikap Belajar Fisika Siswa.....……............................... 26
6. Kemampuan Kognitif Fisika ………………………… 29
7. Konsep Pemantulan Cahaya………………………….. 31
xiv
B. Penelitian yang Relevan ...................................................... 40
C. Kerangka Berfikir………..……………………………….. 41
D. Perumusan Hipotesis……………………………………… 43
BAB III METODOLOGI PENELITIAN……………………………… 44
A. Tempat dan Waktu Penelitian ……………………………. 44
1. Tempat Penelitian ……………………………………. 44
2. Waktu Penelitian …………………………………….. 44
B. Metode Penelitian ………………………………………... 44
1. Metode Penelitian…………………………………….. 44
2. Rancangan Penelitian………………………………… 44
C. Populasi dan Sampel …....................................................... 45
1. Populasi.......………………………………................... 45
2. Sampel Penelitian...............…………………....……… 45
3. Teknik Pengambilan Sampel………………………… 45
D. Uji Kesamaan Keadaan Awal…………………………… 46
E. Variabel Penelitian……………………………………….. 47
1. Variabel Bebas……………………………………….. 47
2. Variabel Terikat……………………………………… 48
F. Teknik Pengumpulan Data………………………………. 48
1. Teknik Dokumentasi…………………………………. 48
2. Teknik Tes…………………………………………… 49
3. Teknik Angket……………………………………….. 49
G. Instrumen Penelitian........................................................... 50
1. Instrumen Pelaksanaan Penelitian.................................. 50
2. Instrumen Pengambilan Data......................................... 50
a. Uji Validitas............................................................. 51
b. Uji Reliabilitas......................................................... 51
c. Indeks Kesukaran ................................................... 52
d. Daya Pembeda......................................................... 53
H. Teknik Analisis Data ………………………………......... 53
1. Uji Prasyarat Analisis………………………………..... 53
xv
a. Uji Normalitas............................................................ 54
b.Uji Homogenitas ....................................................... 54
2. Pengujian Hipotesis ...................................................... 55
a. Uji Analisis Variansi Dua Jalan Sel Tak Sama.......... 55
b.Uji Komparasi Ganda................................................. 61
BAB IV. HASIL PENELITIAN ………………………………………. 63
A. Deskripsi Data ………………………………………… 63
1. Data Keadaan Awal Siswa............................................. 63
2. Data Sikap Belajar Fisika Siswa …………………....... 65
3. Data Kemampuan Kognitif Fisika Siswa …….............. 68
B. Analisis Data……………………………………………… 70
1. Uji Kesamaan Keadaan Awal Siswa.............................. 70
2. Uji Prasyarat Analisis ………………………………….. 71
a. Uji Normalitas……………………………………… 71
b.Uji Homogenitas …………………………………… 72
C. Pengujian Hipotesis ………………………………………. 72
1. Analisis Variansi Dua Jalan Dengan Frekuensi Sel Tak
Sama ………………………………………………….. 72
2. Uji LanjutAnava ……………………………………... 73
D. Pembahasan Hasil Analisis Data ………………………… 79
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ……………… 83
A. Kesimpulan ………………………………………………. 83
B. Implikasi ………………………………………………….. 83
C. Saran ……………………………………………………… 84
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 85
LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................ 87
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel no Hal
3.1 Pola Penelitian ......................................................................................... 45
3.2 Notasi dan Tata Letak Data...................................................................... 56
3.3 Tabel Data................................................................................................ 57
3.4 Tabel Data Sel.......................................................................................... 58
3.5 Rangkuman Anava……………………………………………............... 60
4.1 Distribusi Frekuensi Keadaan Awal Siswa Kelas Eksperimen ............... 64
4.2 Distribusi Frekuensi Keadaan Awal Siswa Kelas Kontrol ..................... 65
4.3 Distribusi Frekuensi Sikap Belajar Fisika Siswa Kelas Eksperimen ...... 66
4.4 Distribusi Frekuensi Sikap Belajar Fisika Siswa Kelas Kontrol ............. 67
4.5 Distribusi Frekuensi Nilai Kemampuan Kognitif Siswa Kelas
Eksperimen …………………………………………………………...... 69
4.6 Distribusi Frekuensi Nilai Kemampuan Kognitif Siswa Kelas
Kontrol..................................................................................................... 70
xvii
4.7 Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Frekuensi Sel Tak Sama ........ 72
4.8 Rangkuman Komparasi Ganda................................................................ 74
DAFTAR GAMBAR
Gambar no Hal
2.1 Pemantulan Cahaya................................................................................ 32
2.2 Pemantulan Teratur…………………………………………………… 32
2.3 Pemantulan Baur……………………………………………………… 33
2.4 Sebuah Titik di Depan Cermin Datar dan Bayangannya....................... 33
2.5 Sebuah Garis Berada di depan Cermin Datar dan Bayangannya........... 34
2.6 Pembentukan Bayangan Sebuah Benda di Depan Cermin Datar........... 35
2.7 Panjang Minimum Cermin Datar yang Dibutuhkan.............................. 35
2.8 Dua Buah Cermin Datar yang Membentuk Sudut 180°......................... 36
2.9 Dua Buah Cermin Datar yang Membentuk Sudut 90°........................... 36
2.10 Bagian-bagian dari Cermin Cekung..................................................... 37
2.11 Sinar-sinar Istimewa pada Cermin Cekung........................................... 38
2.12 Sinar-sinar Istimewa pada Cermin Cembung........................................ 39
43
xviii
2.13 Paradigma Penelitian..............................................................................
4.1 Histogram Distribusi Frekuensi Nilai Keadaan Awal Siswa Kelas 64
Eksperimen ...........................................................................................
4.2 Histogram Distribusi Frekuensi Nilai Keadaan Awal Siswa Kelas 65
Kontrol ..................................................................................................
4.3 Histogram Distribusi Frekuensi Sikap Belajar Fisika Siswa Kelas 67
Eksperimen ...........................................................................................
4.4 Histogram Distribusi Frekuensi Sikap Belajar Fisika Siswa Kelas 68
Kontrol ..................................................................................................
4.5 Histogram Distribusi Nilai kemampuan Kognitif Siswa Kelas 69
Eksperimen ...........................................................................................
4.6 Histogram Distribusi Nilai kemampuan Kognitif Siswa Kelas 70
Kontrol...................................................................................................
xix
BAB I
PENDAHULUAN
xx
Guru dalam menyajikan sesuatu bahan pelajaran Fisika harus dapat
mempersiapkan dengan baik seluruh komponen-komponen dalam situasi mengajar.
Komponen-komponen tersebut antara lain: beberapa tujuan mengajar, metode dan
evaluasi. Dalam kegiatan belajar-mengajar, metode dan evaluasi mempunyai peranan
penting. Metode mengajar merupakan cara yang digunakan guru dalam kegiatan
belajar-mengajar dan juga merupakan usaha untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Kegiatan belajar-mengajar akan kurang berarti bila tidak ditunjang dengan metode yang
tepat. Dengan penerapan metode yang tepat, maka akan mempengaruhi keberhasilan
belajar siswa. Metode belajar ada beberapa macam, antara lain: ceramah, demonstrasi,
diskusi, dan lain-lain. Dalam proses belajar-mengajar tidak mungkin hanya
menggunakan satu metode saja. Hal ini menjadi dasar pertimbangan dalam
menggunakan metode mengajar. Untuk melaksanakan pendekatan pengajaran agar
berhasil dengan baik memerlukan metode mangajar yang sesuai. Dalam pendekatan
konstruktivisme terdapat beberapa metode mengajar, antara lain metode eksperimen dan
demonstrasi. Eksperimen memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan
percobaan tentang suatu hal, menuliskan hasil percobaan dan menganalisis hasil
percobaan tersebut untuk memperoleh suatu konsep yang dipelajari. Demonstrasi
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengamati secara cermat dan memberikan
gambaran secara jelas hasil pengamatan tersebut untuk memperoleh suatu konsep yang
sedang dipelajari serta menumbuhkan sikap berpikir ilmiah. Peran guru dalam hal ini
memberikan petunjuk dan pembimbing.
Pada konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan siswa merupakan
konstruksi (bentukan) dari siswa yang mengetahui sesuatu. Siswa belajar membentuk
pengertian yang tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang diajarkan atau apa
yang dibaca melainkan menciptakan pengertian, pengetahuan ataupun pengertian yang
dibentuk oleh siswa secara aktif bukan hanya diterima secara pasif dari guru. Guru lebih
berperan sebagai fasilitator yang membentuk keaktifan siswa dalam pembentukan
pengetahuannya. Teori belajar konstruktivisme menerangkan bahwa siswa mempunyai
konsep-konsep yang berbeda walaupun mereka berada dalam lingkungan yang sama.
Keberhasilan belajar siswa dipengaruhi oleh banyak faktor, secara garis besar
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor internal (dalam diri siswa) dan eksternal (luar
xxi
diri siswa). Salah satu faktor internal adalah sikap belajar siswa terhadap Fisika. Sikap
belajar siswa terhadap Fisika adalah sikap positif terhadap kegiatan belajar Fisika dalam
rangka memperoleh suatu hasil. Dan adanya sikap positif dari diri siswa akan
mendorong siswa untuk lebih mencintai Fisika, dengan menganggap Fisika bukan hal
yang sulit dan menakutkan. Sikap belajar Fisika dapat mengembangkan potensi siswa
menuju pada kemajuan yang optimal. Faktor eksternal yang mempengaruhi proses
pembangunan potensi awal siswa adalah lingkungan belajar siswa. Peran guru dan
lingkungan sangat menentukan keberhasilan siswa dalam meningkatkan prestasi
belajarnya.
Pembelajaran Fisika di Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebaiknya disajikan
dengan kegiatan yang menyenangkan yang disesuaikan dengan kondisi siswa. Indikator
pembelajaran yang menyenangkan antara lain setelah proses pembelajaran dilakukan,
mereka akan mengatakan bahwa Fisika itu menyenangkan, mudah, saya menyukai dan
menantikan pelajaran Fisika pada pertemuan mendatang.
Materi pembelajaran Fisika di SMP kelas VIII antara lain gaya dan prcepatan,
usaha dan energi, tekanan, getaran dan gelombang, bunyi, pemantulan cahaya, dan alat-
alat optik.
Dari uraian di atas, penulis bermaksud mengadakan penelitian dengan judul:
”Pembelajaran Fisika Dengan Pendekatan Konstruktivisme Melalui Metode
Eksperimen dan Demonstrasi Ditinjau dari Sikap Belajar Siswa Pada Sub Pokok
Bahasan Pemantulan Cahaya Untuk Siswa SMP”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, muncul
berbagai masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Rendahnya keberhasilan belajar siswa mungkin dikarenakan ketidaktepatan
penggunaan metode pembelajaran dan lemahnya penguasaan materi oleh siswa.
xxii
2. Belum diketahui pengaruh sikap belajar Fisika siswa terhadap pencapaian hasil
belajar siswa.
3. Adanya perbedaan sikap belajar Fisika siswa dalam proses belajar-mengajar
dimungkinkan berpengaruh terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa.
4. Masih banyak siswa yang mengalami kesulitan belajar tidak mendapat penanganan
yang serius sehingga perlu dipilih pendekatan dan metode pengajaran yang tepat
yang dapat mengatasi kesulitan siswa.
5. Banyak materi pembelajaran Fisika di kelas VIII SMP yang tepat apabila cara
penyampaiannya melibatkan keaktifan siswa.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan
di atas, agar lebih jelas dan tepat pada sasaran yang ingin dicapai, maka masalah perlu
dibatasi pada:
1. Pendekatan pembelajaran yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan
konstruktivisme.
2. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen disertai
diskusi kelompok dan demonstrasi disertai tanya jawab.
3. Sikap belajar Fisika siswa dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu kategori tinggi
dan rendah.
4. Materi pelajaran yang diambil adalah sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Adakah perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme
melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan demonstrasi disertai
xxiii
tanya jawab terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan
Pemantulan Cahaya?
2. Adakah perbedaan pengaruh antara sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi dan
kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan
Pemantulan Cahaya?
3. Adakah interaksi pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode pembelajaran dan sikap belajar Fisika siswa terhadap kemampuan kognitif
Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidak
adanya:
1. Perbedaan pengaruh antara penggunaaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan demonstrasi disertai tanya jawab
terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan
Cahaya
2. Perbedaan pengaruh antara sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi dan kategori
rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan
Pemantulan Cahaya.
3. Interaksi pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode
pembelajaran dan sikap belajar Fisika siswa terhadap kemampuan kognitif Fisika
siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
F. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk:
1. Memberikan sumbangan pemikiran tentang pentingnya memilih pendekatan dan
metode pengajaran yang tepat dalam pengajaran Fisika.
xxiv
2. Memberikan wawasan bagi guru dalam menggunakan pendekatan konstruktivisme
melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan demonstrasi disertai
tanya jawab agar mencapai hasil yang optimal.
xxv
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Belajar dan Mengajar
Manusia tidak lepas dari kegiatan belajar dan mengajar. Jika manusia ingin
mencapai kesuksesan maka manusia harus menempuh kegiatan tersebut untuk
mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kegiatan belajar
dan mengajar dapat ditemukan pada bidang pendidikan.
a. Belajar
1) Pengertian belajar
Berikut ini pengertian belajar yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan,
Wheterington dalam Ngalim Purwanto (2003: 84) mengemukakan bahwa: “Belajar
adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola
dari reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, atau suatu pengertian”. Menurut
Gagne dalam Ngalim Purwanto (2003: 84) bahwa “Belajar terjadi apabila situasi
stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga
perbuatannya (performance-nya) berubah sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu
sesudah ia mengalami situasi tadi”. Sedangkan Morgan dalam Ngalim Purwanto (2003:
84) berpendapat “Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah
laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman”. Sementara itu
menurut Hintzman dalam Muhibbin Syah (2005: 90) “Learning is a change in
organism due to experience which can affect the organism’s behavior, artinya belajar
adalah suatu perubahan yang terjadi dalam organisme (manusia atau hewan) disebabkan
oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut”.
Sedangkan menurut Slameto (2003: 2) “Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya”.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan
suaru proses perubahan tingkah laku yang dilakukan oleh seseorang melalui
xxvi
pengalaman dan latihan yang telah dilakukannya sendiri. belajar merupakan suatu
proses, suatu kegiatan, dan bukan suatu hasil atau tujuan. belajar bukan hanya
mengingat, akan tetapi lebih luas dari pada itu, yaitu belajar harus mengalami. Hasil
belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan, merupakan perubahan kelakuan.
2) Tujuan belajar
“Tujuan belajar adalah sejumlah hasil belajar yang menunjukkan bahwa siswa
telah melakukan perbuatan belajar, yang umumnya meliputi pengetahuan, ketrampilan
dan sikap-sikap yang baru, yang diharapkan tercapai oleh siswa”. (Oemar Hamalik,
2003: 73).
“Tujuan belajar merupakan komponen sistem pembelajaran yang sangat
penting, karena semua komponen yang ada dalam pembelajaran dilaksanakan atas dasar
pencapaian tujuan belajar. (Gino et al, 1997: 18).
Berdasarkan penyataan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan belajar
adalah komponen sistem pembelajaran yang menunjukkan hasil belajar siswa tercapai
setelah melakukan perbuatan belajar.
3) Ciri-Ciri Perubahan Tingkah Laku Dalam Pengertian Belajar
Ada beberapa ciri-ciri tingkah laku dalam pengertian belajar, menurut Slameto
(2003: 3-5).
a) Perubahan secara sadar.
Ini berarti bahwa seseorang yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan
itu atau sekurang-kurangnya ia merasakan telah terjadi adanya suatu
perubahan dalam dirinya.
b) Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional.
Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri seseorang berlangsung
secara berkesinambungan, tidak statis. Satu perubahan akan menyebabkan
perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan ataupun proses belajar
berikutnya.
c) Perubahan dalam bersifat positif dan aktif.
Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan itu senantiasa bertambah dan
tertuju untuki memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan
demikian makin banyak usaha belajar itu dilakukan, makin banyak dan makin
baik perubahan yang diperoleh. Perubahan yang bersifat aktif artinya bahwa
perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya melainkan karena usaha individu
sendiri.
d) Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara.
xxvii
Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat menetap dan permanen.
Ini berarti bahwa tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat
menetap.
e) Perubahan dalam belajar bertujuan dan terarah.
Ini berarti bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang
akan dicapai. Perbuatan belajar terarah kepada perubahan tingkah laku yang
benar-benar disadari.
f) Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku.
Perubahan yang diperoleh seseorang setelah melalui suatu proses belajar
meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Jika seseorang belajar sesuatu,
sebagai hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah laku secara
menyeluruh dalam sikap, keterampilan, pengetahuan, dan sebagainya.
xxviii
Seseorang akan melakukan kebiasaan karena adanya suatu tanda. Misalnya
bel tanda masuk berbunyi maka siswa segera masuk kelas untuk memulai
aktivitas belajar.
xxix
bimbingan dan pembinaan untuk menuju kekedewasaan. Siswa setelah mengalami
proses pendidikan dan pengajaran diharapkan telah menjadi manusia dewasa yang sadar
akan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain. Menurut Slameto (2003: 35-
39), ada sepuluh prinsip-prinsip mengajar yang harus dilaksanakan oleh seseorang guru.
Prinsip-prinsip mengajar tersebut adalah sebagai berikut:
a) Perhatian
Dalam mengajar guru harus dapat membangkitkan perhatian siswa kepada
pelajaran yang diberikan oleh guru. Bila perhatian kepada pelajaran itu ada
pada siswa, maka pelajaran yang diterimanya akan dihayati, diolah di dalam
pikirannya, sehingga timbul pengertian. Usaha ini mengakibatkan siswa dapat
membanding-bandingkan, membedakan, dan menyimpulkan pengetahuan yang
diterimanya.
b) Aktivitas
Dalam proses belajar-mengajar, guru perlu menimbulkan aktivitas siswa dalam
berfikir maupun berbuat. Penerimaan pelajaran dalam berfikir maupun dalam
berbuat. Penerimaan pelajaran jika dengan aktivitas siswa sendiri, kesan itu
akan berlalu begitu saja, tetapi jika siswa menjadi partisipan yang aktif dengan
bertanya, mengemukakan pendapat, menjalankan perintah dan melaksanakan
tugas yang disajikan oleh guru maka ia memiliki pengetahuan itu dengan baik.
c) Appersepsi
Setiap guru dalam mengajar perlu menghubungkan pelajaran yang akan
diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa, ataupun
pengalamannya sehingga siswa akan memperoleh hubungannya. Hal ini dapat
membantu siswa untuk memperhatikan pelajarannya dengan lebih baik.
d) Peragaan
Waktu mengajar di depan kelas, seorang guru harus berusaha menggunakan
peragaan dalam mengajar. Guru dapat menggunakan benda-benda yang asli
dalam mengajar yng berkaitan dengan materi pelajaran. Jika mengalami
kesukaran boleh menunjukkan model, gambar, benda tiruan, atau media
pembelajaran lainnya seperti radio, tape recorder, TV dan lain sebagainya. Hal
ini akan membantu guru dalam menjelaskan materi pelajaran yang akan
diberikan kepada siswa.
e) Repetisi
Bila guru menjelaskan satu unit pelajaran, itu perlu diulang-ulang. Ingatan
siswa itu tidak setia, maka perlu dibantu dengan mengulangi pelajaran yang
sedang dijelaskan. Pelajaran yang diulang akan memberikan tanggapan yang
jelas dan tidak mudah dilupakan.
f) Korelasi
Dalam mengajarkan materi pelajaran hendaknya guru selalu mengkaitkan
antara tiap-tiap materi pelajaran dengan materi pelajaran lainnya. Hal ini dapat
memperluas pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang disampaikan.
g) Konsentrasi
xxx
Konsentrasi dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar tidak boleh diabaikan
begitu saja. Konsentrasi yang penuh pada saat pelajaran berlangsung akan
membuat siswa mengalami kegiatan belajar-mengajar yang bermakna. Setiap
siswa akan mampu menangkap setiap materi pelajaran yang diberikan dengan
baik, sehingga siswa akan memperoleh pengalaman langsung, mengatasi
sendiri untuk menyusun dan menyimpulkan pengetahuan itu sendiri.
h) Sosialisasi
Dalam perkembangannya siswa perlu bergaul dengan teman lainnya. Siswa
disamping sebagai individu juga mempunyai segi sosial yang perlu
dikembangkan. Waktu siswa berada di kelas, ataupun di luar kelas dan
menerima pelajaran bersama, alangkah baiknya bila diberikan kesempatan
untuk melaksanakan kegiatan bersama. Belajar di dalam kelompok dapat juga
meningkatkan cara berpikir mereka sehingga dapat memecahkan masalah
dengan baik dan lancar.
i) Individualisasi
Disamping sebagai makhluk sosial, setiap siswa makhluk individu yang
masing-masing mempunyai perbedaan yang khas, seperti latar belakang,
intelegensi, minat, bakat, tingkah laku, watak maupun sikapnya, sosial
ekonomi dan keadaan orang tuanya. Dalam hal ini guru harus mencari teknik
penyajian atau sistem pengajaran yang dapat melayani kelas, maupun siswa
sebagai individual.
j) Evaluasi
Setelah kegiatan belajar selesai dilakukan, hendaknya guru melakukan
evaluasi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui berhasil tidaknya tujuan yang
ingin dicapai dalam kegiatan belajar-mengajar. Dengan demikian akan dapat
diketahui prestasi dan kemajuan setiap siswa setelah mengikuti kegiatan
belajar-mengajar. Evaluasi dapat juga digunakan untuk perbaikan mengajar
oleh guru agar lebih baik dari sebelumnya.
Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa guru dalam mengajar
di depan kelas harus mempunyai prinsip-prinsip mengajar dan harus dilakukan seefektif
mungkin, agar guru tidak asal mengajar sehingga diharapkan tugas guru sebagai
pengajar maupun pendidik dapat terpenuhi secara baik.
c. Proses belajar-mengajar
1) Pengertian proses belajar-mengajar
Proses belajar-mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara
keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar-mengajar
mempunyai makna dan pengertian yang lebih luas daripada pengertian mengajar. Dalam
proses belajar-mengajar tersirat adanya satu kesatuan kegiatan yang tak terpisahkan
antara siswa yang belajar dan guru yang mengajar. Antara kedua kegiatan ini terjalin
interaksi yang saling menunjang.
xxxi
Menurut Moh. Uzer Usman (2005: 4) bahwa “Proses belajar-mengajar
merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas
dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai
tujuan tertentu”. Sementara itu Muhibbin Syah (2005: 237) berpendapat bahwa “Proses
belajar-mengajar adalah sebuah kegiatan integral (utuh terpadu) antara siswa sebagai
pelajar yang sedang belajar dengan guru sebagai pengajar yang sedang mengajar”.
Sedangkan menurut Djago Tarigan (1990: 38) bahwa “Proses belajar-mengajar
merupakan suatu kegiatan dalam rangka perencanaan, pelaksanaan dan pengevaluasian
program pengajaran”.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan, proses belajar-
mengajar adalah suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa
yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengevaluasian program pengajaran atas
dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai
tujuan tertentu. Hubungan timbal balik antara guru dan siswa itu merupakan syarat
utama bagi berlangsungnya proses belajar- mengajar.
2) Komponen proses belajar-mengajar
Setiap proses interaksi belajar-mengajar selalu ditandai dengan adanya
sejumlah unsur atau komponen. Komponen-komponen tersebut harus ada dan saling
mendukung satu sama lain. Djago Tarigan (1990: 40) menyebutkan “ada beberapa
komponen proses belajar-mengajar”. Komponen proses belajar-mengajar tersebut
adalah sebagai berikut:
a) Siswa
Siswa merupakan komponen dalam setiap proses belajar-mengajar karena
siswa adalah subyek bukan obyek dari pengajaran. Hal-hal mengenai siswa
yang perlu mendapat perhatian para pengajar dalam proses belajar-mengajar
antara lain minatnya, bakatnya dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi.
b) Guru
Guru harus berkualifikasi tinggi, ia juga harus dapat menyusun,
menyelenggarakan dan menilai program pengajaran. Guru juga dituntut
menjadi contoh yang baik, mengenal siswa-siswanya.
c) Tujuan
Tujuan menyatakan apa yang harus dikuasai, diketahui atau dapat dilakukan
oleh anak didik setelah mereka selesai melakukan kegiatan belajar-mengajar.
Tujuan pelajaran sangat menentukan bahan yang harus diajarkan, cara
penyampaian bahan dan juga menentukan media yang digunakan.
d) Bahan
xxxii
Bahan atau materi pengajaran harus menunjang tujuan yang telah ditetapkan.
Bahan pelajaran harus pula sesuai dengan taraf perkembangan dan kemampuan
siswa, menarik dan merangsang serta berguna bagi siswa baik untuk
pengembangan pengetahuannya maupun untuk keperluan tugasnya di
lapangan.
e) Metode
Metode, cara atau teknik pengajaran merupakan komponen proses belajar-
mengajar yang banyak menentukan keberhasilan pengajaran.
f) Media
Fungsi media untuk memperjelas materi yang disampaikan kepada siswa.
Pilihan dan penggunaan media pengajaran yang tepat menciptakan situasi
belajar-mengajar yang baik dan terarah.
g) Evaluasi
Evaluasi dapat ditujukan kepada prestasi belajar siswa dan dapat pula ditujkan
kepada program. Evalusi dapat memberikan umpan balik bagi guru dalam
rangka perbaikan setiap komponen proses belajar-mengajar yang ikut
berproses.
3. Pembelajaran Fisika
Kegiatan belajar dan pembelajaran merupakan suatu kesatuan dari dua kegitan
yang searah. Kegiatan belajar adalah kegiatan primer dalam kegiatan pembelajaran,
sedangkan pembelajaran merupakan kegiatan sekunder yang diupayakan untuk
mencapai kegiatan belajar yang optimal.
Menurut Poerwadarminta, pembelajaran merupakan terjemahan dari kata
”instruction” yang dalam bahasa Yunani disebut ”instructus” atau ”instruere” yang
berarti menyampaikan pikiran. Dengan demikian arti instruksional adalah penyampaian
pikiran atau ide yang telah diolah secara bermakna melalui pembelajaran. Pengertian ini
lebih mengarah kepada guru sebagai pelaku perubahan.
Menurut Dimyati dan Mudjiono (1999: 297) ”Pembelajaran adalah kegiatan
guru secara terprogram dalam desain instruksional untuk membuat siswa belajar secara
aktif yang menekankan pada sumber belajar”. Selain itu menurut Gino, dkk (1993: 32):
”Pembelajaran merupakan usaha sadar dan disengaja oleh guru untuk membuat siswa
xxxiii
belajar dengan jalan mengaktifkan faktor intern dan faktor ekstern dalam kegiatan
belajar-mengajar”. Sedangkan menurut Oemar Hamalik (2003: 57): ”Pembelajaran
adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawai, material,
fasilitas, perlengkapan prosedur yang salaing mempengaruhi untuk mencapai tujuan
pembelajaran”.
Secara umum Fisika adalah bagian dari IPA yang mempelajari gejala-gejala
alam. Ilmu Fisika juga disebut ilmu pengukuran (Science of meansurement). Secara
sederhana “IPA adalah sekumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis
tentang gelaja alam (Margono, Sri Subandi, Indro Muryanto, Sri Suwarni, Nunik Sri
Wahyuni, Sri Utari, Joko Purnomo, Siti Aisyah, Fadmah, Hisyam, Sugiharto dan Sri
Hartati, 2000: 21). Dalam perkembangannya, IPA tidak hanya ditunjukkan oleh
kumpulan fakta tetapi juga oleh timbulkannya metode ilmiah dan sikap ilmiah.
Dari definisi itu, dapat disimpulkan bahwa pengertian IPA meliputi tiga hal
yaitu:
1) Produk IPA
Produk IPA yaitu berupa fakta, konsep dan prinsip, hukum dan teori.
2) Proses IPA
Proses IPA atau metode ilmiah adalah cara kerja yang dilakukan untuk
memperoleh hasil-hasil IPA atau produk-produk IPA.
3) Nilai dan sikap ilmiah
Nilai dan sikap ilmiah adalah sebuah tingkah laku yang diperlukan selama
melakukan proses IPA, sehingga diperoleh proses hasil IPA.
(Margono et al, 2000: 21)
Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah
usaha dari pengajar untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan
pengetahuan, ketrampilan dan tingkah laku pada diri siswa. Pembelajaran Fisika adalah
proses belajar-mengajar yang di dalamnya mempelajari alam dan kejadian-kejadiannya.
Pembelajaran Fisika akan lebih cepat dipahami jika diajarkan sesuai hakikat Fisika,
yaitu produk, proses, dan sikap ilmiah.
xxxiv
masa depan yang menyajikan dalam bidang pendidikan sains. Pendekatan ini
merupakan pengembangan dari teori perkembangan kognitif Piaget. Model
konstruktivisme tidak hanya cocok untuk pendidikan sains, tapi juga dapat berdaya guna
dalam pendidikan ilmu sosial.
Fokus pendekatan konstruktivisme bukan pada rasionalitas, tapi pada
pemahaman. Inilah alasan utama mengapa konstruktivisme dengan cepat menggantikan
teori perkembangan kognitif sebagai dasar dalam penelitian dan
praktek pendidikan. Daya tarik dari model konstruktivisme adalah pada
kesederhanaannya.
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan kita itu adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri”. Von Glasersfeld
menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan. Pengetahuan
bukan gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Tetapi pengetahuan selalu merupakan
akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang (Paul
Suparno, 1997: 13)
Secara sederhana konstruktivisme itu beranggapan bahwa pengetahuan kita
merupakan konstruksi orang yang sedang mengetahui. Pengetahuan itu bukanlah
suatu fakta yang tinggal ditemukan, merupakan suatu perumusan yang diciptakan
orang yang sedang mempelajarinya. Jadi seseorang yang belajar itu membentuk
pengertian. Bettencourt (1989) menyimpulkan bahwa konstruktivisme tidak
bertujuan mengenai hakikat realitas, tetapi lebih hendak melihat bagaimana proses
kita menjadi tahu tentang sesuatu. (Paul Suparno: 1997: 14)
xxxv
d. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam
keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan
(disequilibrum) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
e. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si pelajar,
konsep-konsep, tujuan, motivasi yang mempengaruhi prosaes interaksi dengan
bahan yang dipelajari. (Paul Suparno: 1997: 61)
Jadi menurut teori konstruktivisme, belajar adalah kegiatan yang aktif di mana
si subyek belajar membangun sendiri pengetahuannya. Subyek belajar juga mencari
sendiri makna dari sesuatu yang mereka pelajari.
Sesuatu dengan prinsip-prinsip tersebut, maka proses belajar-mengajar
bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke subyek belajar atau siswa,
tetapi suatu kegiatan yang memungkinkan subyek belajar merekonstruksi sendiri
pengetahuannya. Mengajar adalah bentuk partisipasi dengan subyek belajar dalam
membentuk pengetahuan, dan membuat makna, mencari kejelasan dan menentukan
justifikasi. Prinsip penting, berfikir lebih bermakna dari pada mencari jawaban yang
benar atas sesuatu. Karena itu guru hal ini berperan sebagai mediator dan fasilitator
untuk membantu optimalisasi belajar siswa.
xxxvi
pada persamaan pemahaman siswa. Dalam model konstruktivisme, pembelajaran
melibatkan negosiasi (pertukaran pikiran) dan interpretasi. Wacana penyesuaian pikiran
ini dapat dilakukan antara siswa dengan guru, atau antara sesama siswa. Dalam model
konstruktivisme harus tercipta hubungan kerjasama antara guru dengan siswa, dan antar
sesama siswa.
Butir-butir penting yang disarankan oleh model belajar-mengajar
konstruktivisme yaitu:
1) Murid harus selalu aktif selama pembelajaran.
2) Proses aktif ini adalah proses membuat transmisi, tapi melalui interpretasi.
3) Interpretasi selalu dipengaruhi oleh pengetahuan sebelumnya.
4) Interpretasi dibantu oleh metode instruksi yang memungkinkan negosiasi
pemikiran (bertukar pikiran), melalui diskusi, tanya jawab.
5) Tanya jawab didorong oleh kegiatan inquiry (ingin tahu) para siswa. Jadi,
kalau siswa tidak bertanya atau tidak berbicara, berarti murid tidak belajar
optimal.
6) Kegiatan belajar-mengajar tidak hanya merupakan suatu proses pengalihan
pengetahuan, tapi juga pengalihan ketrampilan dan kemampuan.
(Mulyasa, 2006: 240)
c Tahapan Belajar-Mengajar Konstruktivisme
EKSPLORASI 25-30%
Memperoleh atau mencari informasi baru
xxxvii
1) Pemanasan- Apersepsi
a) Pelajaran dimulai dengan hal-hal yang diketahui dan dipahami peserta
didik.
b) Motivasi peserta didik dengan bahan ajar yang menarik dan berguna bagi
peserta didik.
c) Peserta didik didorong agar tertarik untuk mengetahui hal-hal yang baru.
2) Eksplorasi
a) Materi atau keterampilan baru yang diperkenalkan.
b) Mengaitkan materi dengan pengetahuan yang sudah ada pada peserta didik.
c) Mencari metodologi yang paling tepat dalam meningkatkan penerimaan
peserta didik terhadap materi baru tersebut.
3) Konsolidasi Pembelajaran
a) Melibatkan peserta didik secara aktif dalam menafsirkan dan memahami
materi ajaran baru.
b) Melibatkan siswa secara aktif dalam proses problem solving.
c) Meletakkan penekanan pada kaitan struktural, yaitu kaitan antara materi
ajar yang baru dengan berbagai aspek kegiatan atau kehidupan di dalam
lingkungan.
d) Mencari metodologi yang paling tepat sehingga materi ajar dapat terproses
menjadi bagian dari pengetahuan peserta didik.
4) Pembentukan Sikap dan Perilaku.
a) Peserta didik didorong untuk menerapkan konsep atau pengertian yang
dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari.
b) Peserta didik membangun sikap dan perilaku baru dalam kehidupan sehari-
hari berdasarkan pengertian yang dipelajari.
c) Mencari metodologi yang paling tepat agar terjadi perubahan sikap dan
perilaku peserta didik.
5) Penilaian formatif.
a) Mengembangkan cara-cara untuk menilai hasil pembelajaran peserta didik.
b) Menggunakan hasil penilaian tersebut untuk melihat kelemahan atau
kekurangan peserta didik dan masalah – masalah yang dihadapi guru.
c) Mencari metodologi yang paling tepat yang sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai.
(Mulyasa, 2006: 243)
Jadi pada pendekatan konstruktivisme terdapat tahapan-tahapan belajar-
mengajar yaitu pemanasan, eksplorasi, konsolidasi pembelajaran, pembentukan sikap,
perilaku dan penilaian formatif, sehingga apabila tahapan belajar-mengajar
konstruktivisme tersebut terlaksana maka tujuan belajar-mengajar akan tercapai.
5. Metode Mengajar
xxxviii
“Metode adalah cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran
dalam upaya mencapai tujuan kurikulum” (Oemar Hamalik, 2003: 26). Suatu metode
mengandung pengertian terlaksananya kegiatan guru dan kegiatan siswa dalam proses
pembelajaran. Metode dilaksanakan melalui prosedur tertentu. Dewasa ini, keaktifan
siswa belajar mendapat tekanan utama dibandingkan dengan keaktifan guru yang
bertindak sebagai fasilitator dan pembimbing bagi siswa. Oleh karena itu, istilah metode
yang lebih menekankan pada kegiatan guru, selanjutnya diganti dengan strategi
pembelajaran yang lebih menekankan pada kegiatan siswa.
Dalam kegiatan belajar-mengajar ada bermacam-macam metode, seperti
metode eksperimen, demonstrasi dan sebagainya. Dalam penelitian ini metode yang
digunakan adalah metode demonstrasi disertai tanya jawab dan metode eksperimen
disertai diskusi kelompok.
a. Metode Demonstrasi
1) Pengertian Metode Demonstrasi
Metode demonstrasi digunakan guru untuk memperagakan atau menunjukkan
suatu prosedur yang harus dilakukan peserta didik yang tidak dapat dijelaskan hanya
dengan kata-kata saja.
Metode demonstrasi adalah cara penyajian pelajaran dengan memperagakan
dan mempertunjukkan kepada peserta didik suatu proses, situasi atau benda
tertentu yang sedang dipelajari baik dalam bentuk tiruan yang dipertunjukkan oleh
guru atau sumber belajar lain yang memahami atau ahli dalam topik bahasan yang
harus didemonstrasikan”. (Mulyani S & Johar P, 2001: 133)
xxxix
3) Alasan Penggunaan Metode Demonstrasi
Alasan penggunaan metode demonstrasi yaitu:
a) Tidak semua topik dapat diterangkan melalui penjelasan atau diskusi.
b) Sifat pelajaran yang menuntut diperagakan.
c) Tipe belajar peserta didik yang berbeda ada yang kuat visual, tetapi lemah
dalam auditif dan motorik ataupun sebaliknya.
d) Memudahkan mengajarkan suatu cara kerja atau prosedur.
xl
metode untuk menyampaikan materi pelajaran dengan cara guru bertanya kepeda
peserta didik atau peserta didik bertanya pada guru.
“Metode tanya jawab adalah cara panyajian pelajaran dalam proses belajar-
mengajar melalui interaksi dua arah atau “two way traffic” dari guru ke peserta didik
atau dari peserta didik kepada guru diperoleh jawaban kepastian materi melalui jawaban
lisan guru atau peserta didik”. (Mulyani S & Johar P, 2001: 120)
Dalam metode tanya jawab, guru dan peserta didik sama-sama aktif. Namun
demikian keaktifan peserta didik patut mendapat perhatian sungguh-sungguh sehingga
hal itu tidak harus banyak tergantung pada keaktifan guru. Sifat atau rasa ingin tahu
anak didik harus ditumbuh kembangkan sekaligus mendapat penyaluran yang wajar.
Oleh karena itu, guru hanya dituntut untuk menguasai teknik-teknik bertanya dan jenis-
jenis pertanyaan, tetapi juga semangat tinggi dalam membangun situasi yang kondusif
bagi terjadinya diskusi.
2) Tujuan Metode Tanya Jawab
Tujuan metode tanya jawab yaitu
a) Mengecek dan mengetahui sampai sejauh mana kemampuan peserta didik
terhadap pelajaran yang dikuasainya.
b) Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengajukan pertanyaan
kepada guru tentang sesuatu masalah yang belum dipahami.
c) Memotivasi dan menimbulkan kompetensi belajar yaitu peserta didik yang
aktif dan tepat menjawab lebih percaya diri dan berusaha untuk selalu lebih
baik, dan peserta didik yang belum aktif atau tidak dapat menjawab dan
mempersiapkan diri dalam kesempurnaan lain.
d) Melatih peserta didik untuk berfikir dan berbicara secara sistematis dan
sistematik serta berdasarkan pemikiran yang orisinil.
e) Mengetes kemampuan peserta didik tetapi diarahkan sebagai upaya guru
membuat peserta didik mengerti, mamahami, dan berinteraksi secara aktif
dalam PBM sehingga tujuan dapat dicapai dengan baik.
xli
e) Memberikan kesempatan kepada peserta didik menggunakan kemampuan
sebelumnya.
c. Metode eksperimen
1) Pengertian Metode Eksperimen
Ekperimen atau percobaan adalah suatu tuntunan dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi agar menghasilkan suatu produk yang dapat dinikmati
masyarakat secara aman. Eksperimen dilakukan orang agar diketahui kebenaran
suatu gejala dan dapat menguji dan mengembangkannya menjadi suatu teori.
Kegiatan eksperimen yang dilakukan peserta didik merupakan kesempatan
meneliti yang dapat mendorong mereka sendiri, berfikir ilmiah dan rasional dan
lebih lanjut pengalaman dapat berkembang di masa datang (Mulyani S & Johar P,
2001: 135)
Metode eksperimen atau percobaan diartikan sebagai cara belajar-mengajar
yang melibatkan peserta didik dengan mengalami dan membuktikan sendiri proses dan
hasil percobaan itu.
2) Tujuan Penggunaan Metode Eksperimen
xlii
Tujuan penggunaan metode eksperimen yaitu
a) Agar peserta didik mampu menyimpulkan fakta-fakta, informasi atau data
yang diperoleh.
b) Melatih peserta didik merancang, mempersiapkan, malaksanakan dan
melaporkan percobaan.
c) Melatih peserta didik menggunakan logika berfikir induktif untuk menarik
kesimpulan dari fakta, informasi atau data yang terkumpul melalui percobaan.
3) Alasan Penggunaan Metode Ekperimen
Alasan penggunaan metode eksperimen yaitu
a) Metode eksperimen diberikan untuk memberikan kesempatan kepada peserta
didik agar dapat mengalami sendiri, mengikuti suatu proses, mengamati suatu
objek, menganalisis, membuktikan dan menarik kesimpulan sendiri tentang
suatu objek, keadaan atau proses sesuatu.
b) Metode eksperimen dapat menumbuhkan cara berfikir rasional dan ilmiah.
xliii
Penggunaan metode diskusi kelompok dalam kerangka pendekatan
pembelajaran sebenarnya bukan saja sebagai salah satu cara penyampaian materi
pelajaran kepada peserta didik yang bersifat problematik, tetapi juga melatih anak dalam
kehidupan sehari-hari untuk mengembangkan keterampilan berkomunikasi dan
membentuk kompetensi-kompetensi sosial yang dibutuhkan.
Metode diskusi kelompok diartikan sebagai siasat “penyampaian” bahan
pengajaran yang melibatkan peserta didik untuk membicarakan dan menemukan
alternatif pemecahan suatu topik bahasan yang bersifat problematik yang
pelaksanaannya secara kelompok. Guru, peserta didik, dan atau kelompok peserta
didik memiliki perhatian yang sama terhadap topik yang dibicarakan dalam
diskusi.
(Mulyani S & Johar P, 2001: 123)
Dari uraian di atas, diketahui bahwa metode diskusi kelompok sebagai salah
satu metode pembelajaran, siswa belajar bagaimana belajar dengan orang lain,
bagaimana menanggapi pendapat orang lain, bagaimana memelihara kesatuan
xliv
kelompok, dan belajar tentang teknik-teknik pengambilan keputusan yang sangat
berguna bagi mereka dalam kehidupan bermasyarakat.
6. Sikap Belajar
Dalam arti sempit sikap adalah pandangan atau kecenderungan mental.
Menurut Bruno yang dikutip oleh Muhibbin Syah (1997: 120), ”Sikap (altitude) adalah
kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk
terhadap orang atau barang tertentu”. ”Sikap adalah gejala internal yang berdimensi
afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespon (response tentency)
dengan cara yang relatif tetap terhadap obyek orang, barang dan sebagainya baik secara
positif maupun negatif” (Muhibbin Syah: 1997:135).
Sikap belajar siswa dalam merespon suatu stimulus dapat berpengaruh pada
prestasi belajar siswa yang bersangkutan. Sikap siswa yang positif kepada guru dan
mata pelajaran merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar-mengajar siswa
tersebut. Sebaliknya sikap yang negatif siswa terhadap guru dan mata pelajaran dapat
menunjukkan kesulitan belajar. Untuk mengatasi sikap negatif siswa, guru dituntut
untuk lebih dahulu menunjukkan sikap positif terhadap dirinya sendiri dan mata
pelajaran yang diampu. Dengan demikian guru mampu meyakinkan para siswa akan
bidang studi tersebut, dengan begitu siswa akan merasa membutuhkan dan pada
akhirnya dapat memunculkan sikap positif, selain pada bidang studi juga pada guru
yang bersangkutan.
Struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang yaitu
komponen kognitif, afektif dan konaktif. Komponen kognitif berisi kepercayaan
seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek sikap. Komponen
afektif menyangkut masalah emosional subyektif seseorang terhadap suatu obyek sikap.
Reaksi emosional yang merupakan komponen afektif banyak dipengaruhi oleh
kepercayaan atau apa yang dipercaya sebagai kebenaran yang berlaku obyek yang
termaksud. Komponen konaktif atau perilaku menunjukkan bagaimana perilaku atau
kecenderungan berperilaku yang ada pada diri seseorang berkaitan dengan obyek sikap
yang dihadapinya.
xlv
Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu.
Dalam interaksi sosial terjadi hubungan timbal balik yang dapat mempengaruhi pola
perilaku masing-masing individu. Pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang
dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan, dan lembaga agama
serta faktor emosi dalam diri individu dapat mempengaruhi pembentukan sikap.
Dalam bukunya yang berjudul Principle of Education and Phychological
Meansurement and Evaluation, Sax (1980) yang dikutip oleh Saifuddin Azwar (1995:
87), ada beberapa karakteristik (dimensi) sikap yaitu arah, intensitas, keluasan,
konsistensi, dan spontanitas
Ÿ Sikap mempunyai arah artinya sikap terpilah pada dua arah kesetujuan yaitu apakah
setuju atau tidak. Orang yang setuju pada suatu obyek berarti memiliki sikap yang
arahya positif, sebaliknya yang tidak setuju memiliki sikap yang arahnya negatif.
Ÿ Sikap memiliki intensitas, artinya kedalaman atau kekuatan sikap terhadap sesuatu
belum tentu sama walaupun arahnya mungkin berbeda. Dua orang yang sama-sama
memiliki sikap yang berarah negatif belum tentu sama intensitasnya, begitu pula
sebaliknya.
Ÿ Sikap memiliki keleluasaan, maksudnya kesetujuan atau ketidak setujuan terhadap
suatu obyek sikap dapat mengenai hanya pada aspek sedikit dan sangat spesifik,
akan tetapi dapat pula mencakup banyak sekali aspek yang ada pada obyek sikap.
Ÿ Sikap juga memiliki konsistensi, maksudnya adalah kesesuaian antara pernyataan
sikap yang dikembangkan dengan responnya terhadap obyek sikap termaksud.
Konsistensi sikap diperlihatkan oleh kesesuaian sikap dan waktu. Untuk dapat
konsisten, sikap harus bertahan dalam diri individu untuk waktu yang relatif
panjang.
Ÿ Sikap mempunyai spontanitas, yaitu menyangkut sejauh mana kesiapan individu
untuk menyatakan sikapnya secara spontan. Sikap dikatakan memiliki spontanitas
yang tinggi apabila dapat dinyatakan secar terbuka tanpa harus melakukan
pengungkapan atau desakan agar individu mengemukakannya.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam sikap terdapat
kecenderungan mental untuk mereaksi suatu obyek, baik dengan perasaan mendukung
(positif) maupun perasaan tidak mendukung (negatif). Jadi pada dasarnya sikap itu
dapat dianggap suatu kecenderungan siswa untuk bertindak dengan cara tertentu. Dalam
hal ini perwujudan perilaku belajar siswa akan ditandai dengan munculnya
kecenderungan-kecenderungan baru yang telah berubah (lebih maju dan lugas) terhadap
suatu obyek, tata nilai, peristiwa, dsb. Apabila kita ingin memperdalam pemahaman
tentang sikap maka harus mencakup kesemua dimensi tersebut di atas.
xlvi
Ada beberapa cara bagaimana sikap seseorang bisa dilihat, seperti yang
diungkapkan oleh Ruseffendi dalam bukunya yang berjudul ”Dasar-dasar Penelitian
Pendidikan dan Bidang Eksakta, dia mengelompokkan cara mengetahui sikap seseorang
dengan tiga cara, yaitu: 1) lapor diri meliputi angket dengan skala sikap, kalimat tak
lengkap ataupun karangan, 2) Diamati oleh orang lain (observasi) dan 3) wawancara.
Dalam penelitian ini, untuk mengetahui sikap seseorang digunakan cara lapor diri
melalui angket dengan skala sikap. Cara lapor diri adalah suatu pernyataan sikap yang
ditulis secara sadar dan dipersiapkan secara matang. Dengan sendirinya hasilnya akan
lengkap, tetapi mungkin ada yang ditulis tidak menggambarkan sikap sebenarnya, sebab
waktu responden sedang mengisi sedang merasa dinilai. Cara ini dapat juga dipandang
sebagai interview tertulis karena pada angket, sampel dihubungkan melalui daftar
pertanyaan tertulis. Angket bersifat kooperatif dalam arti kata dari sampel diharapkan
kerjasama dalam menyisihkan waktu dan menjawab pertanyaan sesuai dengan petunjuk-
petunjuk yang diberikan.
7. Kemampuan Kognitif
Proses adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam mencapai tujuan
pengajaran, sedangkan hasil belajar adalah kemampuan- kemampuan yang dimiliki
siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. dalam sistem pendidikan nasional
rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional,
menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Bunyamin Bloom yang secara garis besar
membaginya menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah
psikomotorik. Berikut ini akan dijelaskan tentang ranah kognitif.
Kemampuan kognitif adalah kemampuan intelektual siswa seperti yang
ditampakkan dalam menyelesaikan soal-soal matematika, menyusun suatu
karangan, atau dalam memecahkan berbagai jenis soal yang membutuhkan
“pemikiran”. Jadi, kata “kognitif” dapat diganti dengan “intelektual” atau
”serebral”. (W James Popham dan Eva L Baker Terjemahan Amirul Hadi dkk,
1992:27)
xlvii
Bloom membagi ranah kognitif menjadi dua bagian yaitu kemampuan
mengingat informasi dan kemampuan intelektual. kemampuan mengingat informasi
merupakan kategori tujuan belajar yang paling rendah yaitu pengetahuan, sedangkan
kemampuan intelektual secara hirarkis yaitu kemampuan memahami, menerapkan,
menganalisis, mensintesis dan kemampuan menilai.
Secara rinci ranah kognitif dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Kemampuan pengetahuan (Knoledge) yaitu kemampuan untuk mengenal atau
mengingat kembali suatu objek, ide, prosedur, prinsip atau teori yang pernah
ditemukan dalam pengalaman tanpa memanipulasinya dalam bentuk atau
simbol lain. Untuk mengukur hasil belajar ini guru dapat memulai pertanyaan
dengan kata-kata operasional, didefinisikan, tuliskan, sebutkan, dsb.
b. Kemampuan pemahaman (Comprehension) yaitu kemampuan untuk
memahami atau mengerti, menangkap arti atau makna. Untuk mengevaluasi
sasaran it guru dapat menggunakan kata-kata: bedakan, simpulkan, berilah
contoh, rangkumlah dsb.
c. Kemampuan menerapkan (Application) yaitu kemampuan menggunakan
konsep, prinsip, prosedur atau teori tertentu pada situasi tertentu. Sasaran ini
dapat dievaluasi dengan menggunakan kata-kata: gunakan teori, konsep,
rumus, dan prinsip-prinsip.
d. Kemampuan manganalisis (Analysis) yaitu kemampuan untuk menguraikan
suatu bahan (fenomena atau bahan pelajaran) ke dalam unsur-unsurnya,
kemudian menghubung-hubungkan bagian dengan bagian dengan cara mana ia
susun dan diorganisasikan. Kata-kata yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi kemampuan ini antara lain: uraikan, membedakan, memisah,
menjabarkan dan menurunkan.
e. Kemampuan mensintesis (Syntesis) yaitu kemampuan untuk mengumpulkan
dan mengorganisasian semua unsur atau bagian, sehingga membentuk satu
keseluruhan secara utuh. Tingkah laku yang menggambarkan kemampuan
mensintesis ini antara lain: mengkategorikan, mengkombinasikan,
mengkomposisi, merakit, merekonstruksi, menyunting dan merevisi.
f. Kemampuan mengevaluasi (Evaluation) yaitu kemampuan untuk mengambil
keputusan, menyatakan pendapat untuk mengambil keputusan, menyatakan
pendapat atau memberi penilaian berdasar kriteria-kriteria tertentu baik
kualitatif maupun kuantitatif. kata-kata atau istilah yang menggambarkan
kemampuan ini adalah menghargai, mengkritik, memutuskan dan menilai hasil
karya (W. Gulo, 2002: 57-65)
xlviii
kemampuan siswa dalam menguasai materi pelajaran. Untuk mengetahui hasil belajar
siswa perlu diadakan kegiatan penilaian terhadap suatu bidang pelajaran tertentu dengan
menggunakan evaluasi atau tes. Nilai itu dapat berupa angka-angka yang
menggambarkan kedudukan siswa di dalam kelompoknya. sehingga dapat dikatakan
bahwa nilai siswa pada mata pelajaran Fisika merupakan hasil belajarnya.
B. Pemantulan Cahaya
Perambatan cahaya apabila mengenai dinding penghalang maka cahaya akan
dipantulkan. Pemantulan cahaya terjadi menurut hukum pemantulan cahaya Perhatikan
gambar 2.1.
xlix
Hukum Snellius untuk Pemantulan Cahaya
1) Sinar datang, garis normal, dan sinar pantul terletak pada satu bidang datar.
2) Besarnya sudut datang sama dengan sudut pantul.
N
A B
i r
O
Gambar 2.1 Pemantulan Cahaya
Keterangan :
A : sinar datang
B : sinar pantul
N : garis normal
i : sudut datang
r : sudut pantul
Jenis-jenis Pemantulan Cahaya
1) Pemantulan teratur atau reguler, yaitu pemantulan yang terjadi jika cahaya mengenai
permukaan datar yang halus (rata). Pada pemantulan teratur berlaku hukum Snellius
seperti yang terlihat pada gambar 2.2 di bawah ini.
l
Gambar 2.3 Pemantulan Baur
C. Pemantulan pada Cermin Datar
Cermin datar adalah sebuah cermin yang salah satu permukaannya mengkilap
sehingga bersifat memantulkan sebagian besar cahaya yang datang.
A O A’
Dari gambar 2.4 dapat diambil kesimpulan bahwa sifat-sifat bayangan pada cermin
datar :
li
a) maya, yaitu sebuah bayangan yang terjadi karena pertemuan dari perpanjangan
sinar-sinar pantul.
b) tegak seperti bendanya.
c) simetris (bentuk dan tinggi bayangan sama dengan benda)
d) berkebalikan sisi
e) jarak benda ke cermin sama dengan jarak bayangan ke cermin
U
S
A A’
R
benda T bayangan
Q
B B’
P
lii
B O B’
A A’
Gambar 2.6 Pembentukan Bayangan Sebuah
Benda di depan Cermin Datar
liii
Ÿ Sudut 180° a
180°
C1 C2
O
a1
Gambar 2.8 Dua Buah Cermin Datar yang
Membentuk Sudut 180°
Kedua cermin (C1 dan C2) seakan-akan menjadi sebuah kesatuan cermin datar
a = benda
a1 = bayangan a oleh cermin C1 dan C2
Ÿ Sudut 90°
C1
a1
90°
C2
a2
Perhatikan gambar 2.8, sesuai dengan hukum pemantulan cahaya pada cermin
datar sebagamana telah diuraikan sebelumnya, bayangan benda a pada cermin C1 adalah
a1 dan pada cermin C2 adalah a2. Bayangan a1 berada di depan cermin C2 sehingga
tercipta bayangan a3 di belakang cermin C2, hal yang sama terjadi pada a2 yang berada
liv
di depan cermin C1 sehingga terbentuk bayangan a4 di belakang cermin C1 dan ternyata
a3 berhimpit dengan a4.
Dengan memperhatikan gambar 2.8 dan gambar 2.9, jumlah bayangan yang
dibentuk oleh dua buah cermin yang berpotongan dengan
Ÿ sudut 180° menghasilkan1 bayangan;
Ÿ sudut 90° menghasilkan 3 bayangan;
Maka dapat disimpulkan bahwa jumlah bayangan sebuah benda oleh cermin datar yang
membentuk sudut α dirumuskan dengan :
keterangan :
360°
n= -1 n : jumlah bayangan
α
α : sudut antara dua buah cermin datar
D. Pemantulan Cahaya Pada Cermin Cekung
Cermin cekung adalah cermin yang permukaannya mengkilap dan letaknya ada
di bagian dalam kelengkungan cermin. Bagian-bagian cermin cekung dapat dilihat pada
gambar 2.10 berikut ini.
lv
R : jari-jari kelengkungan cermin (cm)
M : perbesaran benda (kali)
Jalannya sinar istimewa pada cermin cekung (perhatikan gambar 2.11) :
a) Sinar datang sejajar dengan sumbu utama dipantulkan melalui titik fokus (F).
b) Sinar datang melalui titik fokus (F) dipantulkan sejajar sumbu utama.
c) Sinar datang melalui pusat kelengkungan cermin (P) dipantulkan kembali melalui P
(pada garis yang sama).
Si hi
M= M=
So atau ho
keterangan :
hi : tinggi bayangan (cm) ho : tinggi benda (cm)
E. Pemantulan Cahaya Pada Cermin Cembung
Cermin cembung adalah cermin yang bagian depannya mengkilap dan terletak
di bagian luar kelengkungan.
Hubungan antara jarak benda, jarak bayangan, dan jarak fokus dirumuskan
sebagai :
1 1 1 R 1 1 2
+ = jika f = + =
S o Si f 2 S o Si R
keterangan :
So : jarak benda ke cermin (cm)
Si : jarak bayangan ke cermin (cm)
lvi
f : jarak fokus (cm)
R : jari-jari kelengkungan cermin (cm)
M : perbesaran benda (kali)
Jalannya sinar istimewa pada cermin cembung (perhatikan gambar 2.12):
a) Sinar datang sejajar dengan sumbu utama dipantulkan seolah-olah dari titik fokus
(F).
b) Sinar datang seolah-olah menuju titik fokus (F) akan dipantulkan sejajar dengan
sumbu utama.
c) Sinar datang seolah-olah menuju pusat P akan dipantulkan kembali (pada garis yang
sama).
Si hi
M= M=
So atau ho
keterangan :
hi : tinggi bayangan (cm) ho : tinggi benda (cm)
B. Penelitian yang Relevan
M.Gail Jones dan Laura Brader (2002: 5) dalam penelitiannya yang berjudul
The Impact of Constructivism on Education: Language, Discourse, and Meaning
menyatakan bahwa:
lvii
Constructivism's perspectives on the role of the individual, on the importance of
meaning-making, and on the active role of the learner are the very elements that
make the theory appealing to educators. Teachers are typically acutely aware of
the role of prior knowledge in students' learning, recognizing that students are not
blank slates or empty vessels waiting to be filled with knowledge. Instead,
students bring with them a rich array of prior experiences, knowledge, and beliefs
that they use in constructing new understandings.
Dari pernyataan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam
konstruktivisme mengandung komponen yang penting, yaitu peran individu, pentingnya
arti keputusan, dan peran aktif pelajar. Guru harus terlebih dahulu mengetahui
pengetahuan belajar siswanya, mengetahui bahwa siswa bukan seperti papan tulis atau
bejana kosong yang menunggu untuk diisi, sebaliknya siswa membawa berbagai
pengalaman sebelumnya, pengetahuan, dan keyakinan yang mereka gunakan dalam
membangun pemahaman baru.
Dan menurut Moses A. Boudourides (2003: 3) “…By viewing learning as an
active process, taking students prior knowledge into consideration, building on
preconceptions, and eliciting cognitive conflict, teachers can design instruction that goes
beyond rote learning to meaningful learning that is more likely to lead to deeper, longer
lasting understandings”. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan
melihat bahwa belajar merupakan suatu proses aktif, siswa mengambil pengetahuan
menjadi pertimbangan, membangun prasangka, dan memunculkan konflik kognitif,
guru dapat merancang instruksi sehingga proses belajar menjadi belajar yang bermakna,
yang lebih cenderung menghasilkan pengetahuan lebih dalam dan pemahaman lebih
tahan lama.
Jadi pendekatan konstruktivisme sangat cocok digunakan dalam proses
pembelajaran. Siswa mampu membangun pengetahuan baru dengan cara berperan aktif
dalam pembelajaran tersebut. Dengan pendekatan konstruktivisme yang terencana
dengan baik maka dimungkinkan prestasi belajar siswa akan lebih baik daripada
pendekatan pembelajaran lain.
C. Kerangka Berpikir
Berdasarkan dari tinjauan pustaka dapat dikemukakan kerangka pemikiran
sebagai berikut:
lviii
1. Pengaruh Antara Penggunaan Pendekatan Konstruktivisme Melalui Metode
Eksperimen Disertai Diskusi Kelompok dan Demonstrasi Disertai Tanya Jawab
Terhadap Kemampuan Kognitif Fisika Siswa
Pendekatan dan metode mengajar memegang peran penting dalam keberhasilan
proses belajar-mengajar. Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan
metode demonstrasi disetai tanya jawab. Dalam penelitian ini keadaan awal siswa
dianggap sama.
Metode eksperimen memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan
sendiri jawaban atau masalah yang dihadapi sehingga siswa terlibat dalam pemecahan
masalah tersebut, memberi kesempatan kepada siswa untuk lebih terampil
menggunakan alat ataupun media pembelajaran lainnya sehingga dapat memperjelas
pengertian konsep dan pada akhirnya diharapkan kemampuan kognitif Fisika siswa akan
menjadi lebih baik.
Metode demonstrasi memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengamati
secara cermat dan memberikan gambaran secara jelas hasil pengamatan tersebut untuk
memperoleh suatu konsep yang sedang dipelajari serta menumbuhkan sikap berpikir
ilmiah sehingga pada akhirnya diharapkan kemampuan kognitif Fisika siswa akan
menjadi lebih baik.
Berdasarkan dari pemikiran tersebut di atas, maka dapat dikemukakan hipotesis
alternatif: “Ada perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme
melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan demonstrasi disertai tanya
jawab terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan
Cahaya.”
2. Pengaruh antara Sikap Belajar Fisika Siswa Kategori Tinggi dan Kategori Rendah
Terhadap Kemampuan Kognitif Fisika Siswa
Sikap dalam belajar dalam diri siswa, khususnya Fisika berbeda-beda. Dalam
sikap ada kecenderungan mental untuk mereaksi suatu obyek, baik dengan perasaan
mendukung (positif) maupun perasaan tidak mendukung (negatif). Sikap siswa yang
positif pada pelajaran merupakan pertanda yang baik bagi proses belajar siswa. Siswa
yang memiliki sikap belajar positif belum merasa puas atas apa yang disampaikan guru.
lix
Siswa akan mengembangkan pengetahuannya dengan cara tersendiri sehingga siswa
mendapat pengetahuan yang lebih luas. Sebaliknya siswa yang memiliki sikap belajar
negatif tidak akan mengembangkan pengetahuannya, karena siswa merasa tersebut
merasa telah cukup atas apa yang diperoleh dari guru.
Berdasarkan dari kerangka berpikir tersebut di atas, maka dapat dikemukakan
hipotesis alternatif: “Ada perbedaan pengaruh antara sikap belajar Fisika siswa kategori
tinggi dan kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok
bahasan Pemantulan Cahaya.”
3. Interaksi antara Pengaruh Penggunaan Pendekatan Konstruktivisme Melalui Metode
pembelajaran dan Sikap Belajar Siswa Terhadap Kemampuan Kognitif Fisika Siswa
Penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen ditinjau
dari sikap belajar siswa pada dasarnya menitikberatkan pada keaktifan siswa dan guru
dalam mengembangkan ketrampilan membentuk pengetahuan baru dengan
menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya yang sesuai sikap IPA,
dengan dibantu sikap belajar yang dimiliki siswa, siswa dituntut dapat menarik
kesimpulan yang diperkirakan akan mempengaruhi pemahaman konsep Fisika.
Berdasarkan dari kerangka berpikir tersebut di atas, maka dapat dikemukakan
hipotesis alternatif: “Ada interaksi antara pengaruh penggunaan pendekatan
konstruktivisme melalui metode pembelajaran dan sikap belajar Fisika siswa terhadap
kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya”.
Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan paradigma penelitian sebagai berikut:
Sikap Belajar
Pendekatan Tinggi
Konstruktivisme (A1B1)
Kelompok Melalui Metode
Eksperimen Eksperimen Disertai
Diskusi Kelompok Sikap Belajar
Rendah
(A1B2)
Kemampuan
Populasi Sampel Kognitif
Sikap Belajar
lx Tinggi
(A2B1)
Pendekatan
Gambar 2.13 Paradigma Penelitian
D. Perumusan Hipotesis
Berdasarkan dari kerangka pemikiran di atas, maka dapat dirumuskan
hipotesis alternatif sebagai berikut:
1. Ada perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan demonstrasi disertai tanya jawab
terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan
Cahaya.
2. Ada perbedaan pengaruh antara sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi dan
kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan
Pemantulan Cahaya.
3. Ada interaksi antara pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode pembelajaran dan sikap belajar Fisika siswa terhadap kemampuan kognitif
Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
lxi
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
B. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimental semu (quasi eksperimental) karena peneliti tidak mungkin mengontrol
semua variabel yang relevan, kecuali beberapa dari variabel-variabel tersebut. Hal ini
sesuai dengan pendapat Budiyono (2003 : 82) bahwa: ”Tujuan eksperimental semu
adalah untuk memperoleh informasi yang dapat diperoleh dengan eksperimentasi yang
sebenarnya dalam keadaan tidak memungkinkan untuk mengontrol dan atau
memanipulasi semua variabel yang relevan”.
2. Rancangan Penelitian
Adapun desain eksperimen yang digunakan adalah desain faktorial 2 x 2
dengan isi atau frekuensi sel tidak sama, dengan model sebagai berikut:
lxii
Sikap Belajar Fisika Siswa Kategori Kategori
(A)
Metode Eksperimen Disertai Diskusi
A1B1 A1B2
Kelompok (A1)
2. Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII-A dan siswa kelas
VIII-B SMP Muhammadiyah 7 Surakarta, yang masing-masing berjumlah 30 siswa.
lxiii
D. Uji Kesaman Keadaan Awal
Uji ini dilakukan sebelum kedua kelompok baik kelompok eksperimen maupun
kelompok kontrol dikenai perlakuan yang berbeda. Uji ini bertujuan untuk mengetahui
apakah kedua kelompok tersebut dalam keadaan seimbang. Dengan kata lain secara
statistik apakah terdapat perbedaan mean yang signifikan dari sampel yang independen.
Statistik uji yang digunakan adalah uji t 2 ekor, yaitu :
1. Hipotesis :
H0 : tidak ada perbedaan keadaan awal siswa antara kelas eksperimen dan kelas
kontrol.
H1 : ada perbedaan keadaan awal siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.
2. Statistik Uji :
X1 - X 2
t=
1 1
s +
n1 n2
(n - 1) s1 + (n2 - 1) s2
2 2
= 1
n1 + n2 - 2
dengan :
X 1 = rata-rata kelompok eksperimen
dk = (n1 + n2 - 2)
α = 5%
Jika - t (1-1/2a ) ; dk < t < t (1-1/2a ) ; dk maka H0 diterima
4. Keputusan uji
lxiv
Jika H0 diterima maka tidak ada perbedaan keadaan awal antara kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol dalam penelitian ini.
(Budiyono, 2004: 149)
E. Variabel Penelitian
Pada penelitian ini ada dua variabel bebas dan satu variabel terikat, yaitu:
1. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah:
a. Pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran
1) Definisi operasional
Pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran adalah faktor
eksternal yang direkayasa oleh guru untuk pencapaian keberhasilan belajar
dengan pendekatan pembelajaran yang menekankan keaktifan dimana pelajar
membangun sendiri pengetahuannya. Pelajar mencari arti sendiri dari apa yang
mereka pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru
dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka.
2) Kategori :
- pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi
kelompok.
- pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya
jawab.
3) Skala Pengukuran : nominal.
b. Sikap Belajar Fisika Siswa
2) Definisi operasional
Sikap belajar adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa
kecenderungan untuk mereaksi atau merespon dengan cara yang relatif tetap
terhadap guru maupun siswa lainnya, baik secara positif maupun negatif.
3) Kategori
- Sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi (positif)
- Sikap belajar Fisika siswa kategori rendah (negatif)
4) Indikator
lxv
- Sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi jika nilai siswa lebih atau sama
dengan nilai rata-rata.
- Sikap belajar Fisika siswa kategori rendah jika nilai siswa kurang dari rata-
rata.
5) Skala pengukuran: nominal.
2. Variabel terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah:
a. Definisi operasional
Kemampuan Kognitif siswa adalah tingkat penguasaan siswa dalam mempelajari
Fisika pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
b. Indikator
- Nilai tes kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan
Cahaya.
c. Skala pengukuran: Interval.
2. Teknik Tes
Tes adalah seperangkat pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan
untuk mengukur keterampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau bakat yang
dimiliki oleh individu atau kelompok. Teknik tes yang digunakan dalam penelitian ini
adalah tes kognitif, yaitu tes yang digunakan untuk mengukur pencapaian seseorang
lxvi
setelah mempelajari sesuatu. Teknik tes digunakan untuk memperoleh data kemampuan
kognitif siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya, sebagai instrumen
pengumpul datanya berupa seperangkat tes dalam bentuk obyektif.
3. Teknik Angket
Dalam penelitian ini teknik angket digunakan untuk mengetahui bagaimana
sikap belajar siswa terhadap pelajaran Fisika, yang dibagi dalam kategori tinggi dan
kategori rendah. Bentuk angket digunakan berupa angket tertutup dengan empat
alternatif jawaban. Pengukuran skor angket ini digunakan skala 4 dengan lamabang
(angka) 1, 2, 3, 4. Kategori tinggi diperoleh jika skor angket yang diperoleh lebih dari
atau sama dengan nilai rata-rata, sedang kategori rendah diperoleh jika dibawah rata-
rata.
Langkah langkah pembuatan angket sikap belajar:
lxvii
b. Untuk angket sikap belajar Fisika siswa pada item negatif
1) jawaban sangat sesuai dengan skor 1 menunjukkan sikap belajar Fisika siswa
paling tinggi
2) jawaban sesuai dengan skor 2 menunjukkan sikap belajar Fisika siswa tinggi
3) jawaban tidak sesuai dengan skor 3 menunjukkan sikap belajar Fisika siswa
rendah
4) jawaban sangat tidak sesuai dengan skor 4 menunjukkan sikap belajar Fisika
siswa paling rendah
G. Instrumen Penelitian
Pada penelitian ini instrumen penelitian terbagi menjadi dua yaitu:
1. Instrumen Pelaksanaan Penelitian
Instrumen pelaksanaan penelitian dalam penelitian ini berupa satuan pelajaran
(SP), rencana pembelajaran (RP), lembar kerja siswa (LKS). Instrumen pelaksanaan
penelitian tersebut disusun oleh peneliti. Untuk menjamin bahwa instrumen pelaksaan
penelitian valid, maka instrumen dikonsultasikan kepada pembimbing.
2. Instrumen Pengambilan Data
Instrumen pengambilan data pada penelitian ini berupa instrumen tes
kemampuan kognitif Fisika dan tes sikap belajar Fisika siswa.
Instrumen pengambilan data tersebut disusun oleh peneliti, yang sudah
dikonsultasikan dengan dosen pembimbing, dan diujicobakan terlebih dahulu untuk
menguji bahwa item dalam instrumen baik. Adapun uji yang dilakukan terhadap
instrumen tes meliputi validitas item tes, reliabilitas, daya pembeda, dan taraf
kesukaran.
a. Uji Validitas
Validitas (kesahihan) adalah kualitas yang menunjukkan hubungan antara suatu
pengukuran dengan tujuan kriteria belajar. Teknik untuk mengukur validitas pada
penelitian digunakan korelasi point biseral, sebagai berikut :
M p - Mt p
rpbis =
St q
di mana :
lxviii
rpbis = koefisien korelasi point biserial
Mp = rerata skor dari subyek yang menjawab benar bagi item yang dicari
korelasinya
Mt = rerata skor total (skor rata-rata dari seluruh pengikut tes)
P = proporsi subyek yang menjawab benar item tersebut
q = 1- p
dengan kriteria validitas (rpbis) adalah :
Jika rpbis ≥ rtabel, maka soal dinyatakan valid
Jika rpbis < rtabel , maka soal dinyatakan tidak valid
(Suharsimi Arikunto, 2002: 79)
b. Uji Reliabilitas
Reliabilitas suatu soal menunjukkan tingkat keterandalan keajegan soal. Jadi
suatu soal atau alat ukur tersebut dapat dipercaya sehingga alat ukur tersebut dapat
digunakan sebagai pengumpul.
Dalam penelitian ini untuk mengukur reliabilitas dilakukan dengan mengukur
koefisien reliabilitas berdasarkan bentuk instrumen yang dibuat, yaitu soal tes obyektif
dengan lima pilihan. Rumus yang digunakan untuk uji reliabilitas adalah rumus Kuder
Richardson (KR-20)
é n ù é S - å pq ù
2
r11 = ê úê ú
ë n - 1û ëê S2 ûú
di mana :
r11 = reliabilitas instrumen
p = proporsi subyek yang menjawab item dengan benar
q = proporsi subyek yang menjawab item dengan salah (q = 1-p)
Spq = jumlah hasil perkalian antara p dan q
n = banyaknya item
S = standar deviasi dari tes (standar deviasi adalah akar varians)
Adapun Kriteria reliabilitas (r11) adalah :
0,00 £ r11 < 0,20 : reliabilitas soal sangat rendah
lxix
0,20 £ r11 < 0,40 : reliabilitas soal rendah
0,40 £ r11 < 0,70 : reliabilitas soal cukup
0,70 £ r11 < 0,90 : reliabilitas soal tinggi
0,90 £ r11 £ 1,00 : reliabilitas soal sangat tinggi atau sempurna
(Suharsimi Arikunto, 2002: 100-101)
c. Indeks Kesukaran
Taraf kesukaran ditunjukkan dengan indeks kesukaran yaitu bilangan yang
menunjukkan sukar mudahnya suatu soal, yang harganya dapat dicari dengan rumus
sebagai berikut :
b
P=
Js
di mana :
P = indeks kesukaran
B = banyaknya siswa yang menjawab benar
Js = jumlah peserta
Penggolongan derajat kesukaran suatu soal tes adalah sebagai berikut :
Soal dengan P;0,00 £ D<0,30 adalah soal dikatakan sukar
Soal dengan P;0,30 £ D<0,70 adalah soal dikatakan sedang
Soal dengan P;0,70 £ D £ 1,00 adalah soal dikatakan mudah
(Suharsimi Arikunto, 2002: 208)
d. Daya Pembeda
Daya pembeda soal memberikan gambaran tentang kemampuan butir-butir soal
membedakan antara mereka yang berkemampuan rendah dan mereka yang
berkemampuan tinggi, atau mereka yang pandai dan mereka yang kurang pandai.
Rumus yang digunakan untuk mencari daya pembeda adalah :
Ba Bb
D= -
Ja Jb
di mana :
D : Daya pembeda
lxx
Ja : Banyaknya peserta kelompok atas
Jb : Banyaknya peserta kelompok bawah
Ba : banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab benar
Bb : banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab benar
Penggolongan daya pembeda suatu soal tes adalah sebagi berikut :
D;0.00 £ D < 0.20 : soal tes mempunyai daya pembeda jelek
D;0.20 £ D < 0.40 : soal tes mempunyai daya pembeda jelek cukup
D;0.40 £ D< 0.70 : soal tes mempunyai daya pembeda jelek baik
D;0.70 £ D£1.00 : soal tes mempunyai daya pembeda jelek baik sekali
Butir soal yang baik dalah butir soal yang mempunyai daya pembeda D;0.40 sampai
0.70.
(Suharsimi Arikunto, 2002 : 211)
lxxi
S = standar deviasi
F (zi) = P (Z £ zi) ; Z ~(0,1)
S (zi) = proporsi cacah Z £ zi seluruh cacah zi
3) Tingkat signifikansi : α = 0,05
4) Daerah kritik
DK = {L Lobs >Lα : n} dengan n adalah ukuran sampel
Harga Lα : n dapat diperoleh dari tabel Lilliefors pada tingkat signifikansi α dengan
derajat kebebasan n.
5) Keputusan Uji
Jika Lobs £ La:0; maka sampel berasal dari populasi berdistribusi normal.
Jika Lobs > La:0; maka sampel berasal dari populasi yang tidak terdistribusi normal.
(Budiyono, 2004: 170-171)
b. Uji homogenitas
Uji homogenitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah sampel berasal dari
populasi yang homogen. Dalam penelitian ini uji homogenitasnya menggunakan uji
Bartlett yang prosedurnya adalah sebagai berikut:
1) Hipotesis
H0 : s 12 = s 22 = s 32 = s 42 (sampel berasal dari populasi yang homogen)
c2 =
2,303
c
(
f log RKG - å f j log S 2j )
keterangan :
f : derajat kebebasan untuk RKG = N – k
N : banyaknya seluruh nilai
k : cacah sampel
fj : derajat kebebasan untuk Sj2= nj – 1;j=1,2,….,k
nj : cacah pengukuran pada sampel ke-j
lxxii
1 æ 1 1ö
c = 1+ çç å - ÷÷
3(k - 1) è fj f ø
- 1)S j
2
j
f nj
2. Pengujian Hipotesis
Pada penelitian ini ada tiga hipotesis (seperti yang telah disebutkan di atas),
untuk menguji ketiga hipotesis tersebut digunakan:
a. Uji Analisis Variansi Dua Jalan Sel Tak Sama
Anava digunakan untuk menguji signifikansi perbedaan efek dua faktor A dan B
serta interaksi terhadap variabel terikat.
1) Model
Xijk = m = ai + bj + abij + å ijk
(Budiyono, 2004 : 228)
keterangan
Xijk : observasi pada subyek ke-k dibawah faktor A kategori ke-i faktor B
kategori ke-j
m : rerata besar
ai : efek faktor A kategori i
bj : efek faktor B kategori j
abij : interaksi faktor A dan B
lxxiii
i = 1,2,3,....,p ; p : cacah kategori A
j = 1,2,3,....,q ; q : cacah kategori B
k = 1,2,3,....,n ; n : cacah kategori pengamatan setiap sel
2) Notasi dan tata letak data
Analisis variansi dua jalan 2 x 2
Tabel 3.2. Notasi dan tata letak data
B
B1 B2
A
A1 A1 B1 A1 B2
A2 A2 B1 A2 B2
3) Hipotesis
a) HoA : ai = 0 untuk setiap i = 1,2,3, …,p. Berarti tidak ada perbedaan
pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme dengan metode
eksperimen disertai diskusi kelompok dan metode demonstrasi disertai tanya
jawab terhadap kemampuan koginitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan
Pemantulan Cahaya.
H1A : ai ¹ 0 untuk paling sedikit satu harga ai yang tidak nol. Berarti: Ada
perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme dengan
metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan metode demonstrasi
disertai tanya jawab terhadap kemampuan koginitif Fisika siswa pada sub
pokok bahasan Pemantulan Cahaya
b) HoB : b j = 0 untuk setiap j = 1,2,3 …,q. Berarti tidak ada perbedaan
pengaruh antara siswa yamg mempunyai sikap belajar Fisika kategori tinggi
dan kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub
pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
H1B : b j ¹ 0 untuk paling sedikit satu bj yang tidak nol. Berarti ada
perbedaan pengaruh antara siswa yamg mempunyai sikap belajar Fisika
lxxiv
kategori tinggi dan kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika
siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
c) HoAB : a b ij = 0 untuk setiap i = 1,2,…,p dan j = 1,2,….,q. Berarti Tidak
ada interaksi pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode pembelajaran dan sikap belajar Fisika siswa terhadap kemampuan
kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
H1AB : a b ij ¹ 0 untuk paling sedikit ada satu (ab)ij yang tidak nol. Berarti
ada interaksi pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode pembelajaran dan sikap belajar Fisika siswa terhadap kemampuan
kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
4) Komputasi
a) Tabel 3.3. Tabel Data
B
A B1 B2 Total
A1 A1B1 A1B2 A’1
A2 A2B1 A2B2 A’2
Total B’1 B’2 G
Keterangan:
A : pendekatan konstruktivisme
A1 : pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi
kelompok
A2 : pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya
jawab
B : sikap belajar Fisika siswa
B1 : sikap belajar Fisika kategori tinggi
B2 : sikap belajar Fisika kategori rendah
b) Tabel 3.4. Tabel Data Sel
lxxv
B
B1 B2
A
nij n11 n12
ΣXij åX 11 åX 12
X ij X11 X12
A1
åX åX åX
2 2 2
ij 11 12
X2j X 21 X 22
A2
åX åX åX
2 2 2
2j 21 22
SS ij = å X 2
-
(å X ) 2 2
ijk
: jumlah kuadrat devasi data amatan pada sel ij
ijk
k n ijk
lxxvi
G '2
(1) =
pq
(å X ) 2
(2) = å SS
i, j
ij dengan SSij = å X ijk - C
k
2
dan C = ijk
nijk
A'i2
(3) = åi q
B'i2
(4) = å
i p
å A' B'
2
(5) = ij
ij
6) Jumlah Kuadrat
JKA = nh [(3) - (1)]
JKG = å SS ij
7) Derajat kebebasan
dkA = p –1
dkB = q –1
dkAB = (p –1)(q –1)
dkG = pq (N –1)
dkT = Npq –1 = N – 1
8) Rerata Kuadrat
RKA = JKA/ dkA
RKB = JKB / dkB
RKAB = JKAB / dkAB
RKG = JKG / dkG
9) Statistik Uji
Fa = RKA/ RKG
lxxvii
Fb = RKB/ RKG
Fab = RKAB/ RKG
10) Daerah Kritik
DKa = Fa > Fa;q-1,N-pq
DKb = Fb > Fa;q-1,N-pq
DKab= Fab > Fa;(p-1)(q-1),N-pq
11) Keputusan uji
Jika Fa > Fa;q-1,N-pq maka H01 ditolak
Jika Fb > Fa;q-1,N-pq maka H02 ditolak
Jika Fab > Fa;(p-1)(q-1),N-pq maka H03 ditolak
12) Rangkuman ANAVA
Tabel 3.5. Rangkuman Anava
Sumber
Variansi Jk Dk Rk F P
Efek Utama
Baris (A) JKA p-1 RKA Fa > α atau<α
Kolom (B) JKB q-1 RKB Fb > α atau<α
Interaksi (AB)
Kesalahan JKAB (p-1)(q-1) RKAB Fab > α atau<α
JKG N-pq RKG - -
Total JkT N-1
b. Uji Komparasi Ganda
Uji Komparasi Ganda merupakan tindak lanjut dari analisis variansi. Tujuan
dari komparasi ganda ini adalah untuk mengetahui lebih lanjut rerata mana yang
berbeda dan rerata mana yang sama.
Metode komparasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode
Scheffe, yaitu :
1) Mengidentifikasi semua pasangan komparasi rerata
2) Merumuskan hipotesis yang bersesuaian dengan komparasi tersebut.
3) Mencari harga statistik uji F dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
lxxviii
a) Untuk komparasi rerata antar baris ke-i dan ke-j
Fi - j =
(x - x )
i j
2
æ1 1ö
RKGç + ÷
çn n ÷
è i j ø
Fi - j =
(x - x )
i j
2
æ1 1ö
RKGç + ÷
çn n ÷
è i j ø
Fij - kj =
(x ij - xkj )
2
æ1 1 ö÷
RKGç +
çn ÷
è ij nkj ø
d) Untuk komparasi rerata antar sel ij dan sel ik
Fij - ik =
(x ij - xik )
2
æ1 1 ö÷
RKG ç +
çn ÷
è ij nik ø
4) Menentukan tingkat signifikansi (a)
5) Menentukan DK dengan rumus sebagai berikut :
{
a) DKi-j = Fi - j Fi - j > ( p - q ) Fa : p -1, N - pq }
b) DKi-j = {F i- j Fi - j > (q - 1) Fa :q -1, N - pq }
c) DKij-kj = {F ij - kj Fij - kj > ( pq - 1) Fa : pq -1, N - pq }
d) DKij-ik = {F ij - ik Fij -ik > ( p - q ) Fa : pq -1, N - pq }
6) Menyusun rangkuman analisis (komparasi ganda)
7) Menentukan keputusan uji (beda rerata) untuk setiap pasangan komparasi rerata.
(Budiyono, 2004 : 214-215)
lxxix
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini terdiri dari 2 variabel yaitu variabel bebas (independent) dan
variabel terikat (dependent). Variabel bebas dalam penelitian ini metode pembelajaran
dengan pendekatan konstruktivisme dan sikap belajar Fisika siswa, variabel terikatnya
adalah kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
Penelitian ini menggunakan sampel 2 kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas
kontrol. Jumlah siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol sama yaitu 30 siswa,
sehingga secara keseluruhan terdiri dari 60 siswa.
Data dalam penelitian ini adalah data dokumentasi, data hasil angket dan data
hasil tes. Data dokumentasi yang diambil adalah data nilai ulangan harian siswa untuk
menguji kesamaan keadaan awal siswa, data skor sikap belajar Fisika siswa diambil
dengan angket, sedangkan nilai kemampuan kognitif Fisika diambil dengan tes. Secara
rinci data tersebut adalah sebagai berikut :
A. Deskripsi Data
1. Data Keadaan Awal Fisika Siswa
Data keadaan awal yang digunakan adalah nilai ulangan tengah semester Fisika
siswa kelas VIII semester I. Data keadaan awal siswa kelas VIII semester I kelompok
eksperimen memiliki rentang antara 45 sampai 68 dengan rata-rata 55,700, standar
deviasi 6,138 dan variansinya 37,677. Untuk melengkapi deskripsi data tersebut,
disajikan distribusi frekuensi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dalam bentuk
tabel distribusi frekuensi dan histogram. Distribusi frekuensi keadaan awal siswa pada
kelas eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada tabel 4.1 dan 4.2. Sedangkan
histogramnya disajikan pada gambar 4.1 dan 4.2.
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Data Keadaan Awal Fisika Siswa Kelompok
lxxx
Eksperimen
Interval Frekuensi Mutlak Frekuensi Relatif
45 – 48 6 20 %
49 – 52 3 10 %
53 – 56 6 20 %
57 – 60 10 33,33 %
61 – 64 2 6,67 %
65 – 68 3 10 %
Jumlah 30 100 %
14
12
10
Frekuensi
8
0
1 2
46,5 3
50,5 4
54,5 5
58,5 6
62,5 7
66,5
Tengah Interval
Data keadaan awal siswa kelas VIII semester I kelompok kontrol memiliki
rentang antara 45 sampai 68 dengan rata-rata 55,757, standar deviasinya 5,976 dan
variansinya 35,712. Deskripsi datanya dapat dilihat dalam tabel distribusi frekuensi dan
histogram berikut ini:
Tabel 4. 2. Distribusi Frekuensi Data Keadaan Awal Fisika Siswa Kelompok Kontrol.
lxxxi
Interval Frekuensi Mutlak Frekuensi Relatif
45 – 48 5 16,67 %
49 – 52 4 13,33 %
53 – 56 5 16,67 %
57 – 60 11 36,67 %
61 – 64 2 6,66 %
65 – 68 3 10 %
Jumlah 30 100 %
12
10
8
Frekuensi
0
1 46,5
2 50,5
3 54,5
4 58,5
5 62,5
6 66,5
7
Tengah Interval
lxxxii
mempunyai skor sikap belajar Fisika kategori tinggi dan siswa yang mempunyai sikap
belajar < 100,416 termasuk siswa yang mempunyai skor sikap belajar Fisika dengan
kategori rendah.
Skor sikap belajar Fisika siswa kelompok eksperimen memiliki rentang antara
88 sampai 110 dengan rata-rata 100,567, standar deviasinya 5,5117 dan variasinya
30,3788. Untuk melengkapi deskripsi data tersebut, disajikan distribusi frekuensi
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan
Histogram. Distribusi frekuensi data sikap belajar siswa pada kelas eksperimen
disajikan pada tabel 4.3. Sedangkan histogramnya disajikan pada gambar 4.3.
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Sikap Belajar Fisika Siswa Kelompok Eksperimen
Interval Frekuensi Mutlak Frekuensi Relatif
88 – 91 2 6,66 %
92– 95 2 6,66 %
96 – 99 8 26,67 %
100 – 103 8 26,67 %
104 – 107 8 26,67 %
108 – 111 2 6,66 %
Jumlah 30 100 %
12
10
8
Frekuensi
0
1 89,5
2 93,5
3 97,5
4 101,5
5 105,5
6 109,5
7
Tengah Interval
lxxxiii
Gambar 4.3. Histogram Sikap Belajar Fisika Siswa
Kelompok Eksperimen
Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Skor Sikap Belajar Fisika Siswa Kelompok
Kontrol
Interval Frekuensi Mutlak Frekuensi Relatif
91 – 93 3 10%
94 – 96 2 6,67%
97 – 99 7 23,33%
100 – 102 6 20%
103 – 105 10 33,33%
106 –108 2 6,67%
Jumlah 30 100 %
14
12
10
Frekuensi
8
0
1 922 953 984 101
5 104
6 107
7
Tengah Interval
lxxxiv
Gambar 4.4. Histogram Sikap Belajar Fisika Siswa
Kelompok Kontrol.
Jumlah 30 100 %
lxxxv
12
10
8
Frekuensi
0
1 2
41.5 3
51.5 4
61.5 5
71.5 6
81.5 7
Tengah Interval
lxxxvi
12
10
8
Frekuensi
0
1 2
39 463 534 5
60 6
67 7
Tengah Interval
B. Analisis Data
1. Uji Kesamaan Keadaan Awal Siswa
Hasil Uji Normalitas keadaan awal siswa kelompok eksperimen didapatkan
nilai Lobs sebesar 0,0948 yang lebih kecil dari harga kritik untuk n = 30 dengan taraf
signifikansi a = 5 % yaitu Ltab = 0,161, karena Lobs < Ltabel maka dapat disimpulkan
bahwa sampel kelompok eksperimen berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
Sedangkan untuk data keadaan awal kelompok kontrol uji normalitas didapatkan nilai
Lobs sebesar 0,1177 yang lebih kecil dari harga kritik untuk n = 30 dengan taraf
signifikansi a = 5 % yaitu Ltab = 0,161, karena Lobs < Ltabel maka dapat disimpulkan
bahwa sampel kelompok kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
Hasil uji homogenitas pada data keadaan awal diperoleh harga c2 hit = 0,0204
yang tidak melebihi harga c2 pada taraf signifikansi 5 %, dk = 1 yaitu c2tab = 3,841,
karena c2 hitung < c 2
tabel berarti sampel berasal dari populasi yang homogen. Hasil
lxxxvii
perhitungan dengan uji Bartlett dan metode lillifors data kemampuan awal Fisika dapat
dilihat dalam lampiran 19.
Uji kesamaan keadaan awal menggunakan uji-t dua ekor. Hasil uji-t ini
didapatkan nilai thit sebesar -0,0419. Sedangkan ttabel pada taraf signifikan 5% dengan dk
= (30+30)- 2 = 58 sebesar 1,645. Karena –ttabel = -1,645 < thit = 0,748 < ttabel = 1,645
maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan keadaan awal antara siswa
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil uji-t dua ekor tersebut selanjutnya
dapat dilihat pada lampiran 20.
lxxxviii
c2hit= 3,162 yang tidak melebihi harga c2 pada taraf signifikansi 5 % dk = 1 yaitu c2tab
= 3,841, berarti sampel berasal dari populasi yang homogen.
C. Pengujian Hipotesis
1. Uji Analisis Variansi Dua Jalan Sel Tak Sama
Dari hasil uji normalitas dan uji homogenitas dapat diketahui bahwa prasyarat
uji telah terpenuhi, maka data yang diperoleh dapat dianalisis dengan anava dua jalan.
Untuk selanjutnya data tersebut diuji pasca anava dengan Uji Scheffe.
Dari hasil uji Anava dua jalan (2x2) diperoleh harga Fa = 5,3847; Fb = 127,870;
dan Fab = 10,9139. Harga Ftabel pada taraf signifikansi 5% dengan dk = 1 dan galat
(error) 56 atau F(0,05;1,56) diperoleh harga 4,02. Hasil pengujian ini terangkum dalam
tabel 4.7 sebagai berikut:
Tabel 4.7. Rangkuman Anava Kemampuan Kognitif Fisika Siswa.
Sumber Variansi JK db RK Fobs Fa P
Efek Utama
A (Baris) 181,9137 1 181,9137 5,3847 4,02 < 0,05
B (Kolom) 4319,8623 1 4319,8623 121,870 4,02 < 0,05
Interaksi
AB 368,7054 1 368,7054 10,9139 4,02 < 0,05
Galat 1891,8612 56 33,7832 - - -
Total 3074,47338 59 - - - -
lxxxix
terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan
Cahaya.
3. Fab = 10,9139 > F(0,05; 1,56) = 4,02, maka H03 ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa:
Ada interaksi pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode pembelajaran dan sikap belajar Fisika siswa terhadap kemampuan kognitif
Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
xc
mA1B1 vs mA2B1 67,41 58,93 16,96 4,02 < 0,05
Dari tabel di atas dapat disimpulkan hasil uji beda rerata yaitu :
1. FA12 = 10,9527 > F0,05; 1,56 = 4,02 maka Ho ditolak.
Hal ini menunjukkan bahwa: Ada perbedaan rerata yang signifikan antara baris A1
(pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok)
dan baris A2 (pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya
jawab).
Rerata penggunaan metode pembelajaran eksperimen disertai diskusi kelompok
X A1 = 57,8667 , sedangkan rerata penggunaan metode pembelajaran demonstrasi
xci
3. FA1B1-A1B2 = 105,83 > F0,05; 1,56 = 4,02 maka Ho ditolak.
Hal ini menunjukkan bahwa: Ada perbedaan rerata yang signifikan antara sel A1B1
(penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai
diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi) dan sel A1B2
(penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai
diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah).
Rerata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai
diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi X A1B1 = 67,41 ,
sedangkan rerata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode
eksperimen disertai diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori
rendah X A1B2 = 45,38 . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan
pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok
dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi lebih baik daripada pendekatan
konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dengan sikap
belajar Fisika siswa kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada
sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
xcii
belajar Fisika siswa kategori tinggi lebih baik daripada pendekatan konstruktivisme
melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa
kategori tinggi terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan
Pemantulan Cahaya.
5. FA1B1-A2B2 = 99,52 > F0,05; 1,56 = 4,02 maka Ho ditolak.
Hal ini menunjukkan bahwa: Ada perbedaan rerata yang signifikan antara sel A1B1
(penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai
diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi) dan sel A2B2
(penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya
jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah).
Rerata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai
diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi X A1B1 = 67,41 ,
sedangkan rerata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode
demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah
X A2B2 = 46,87 . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan
pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok
dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi lebih baik daripada pendekatan
konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap
belajar Fisika siswa kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa
pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
6. FA1B2-A2B1 = 37,85 > F0,05; 1,56 = 4,02 maka Ho ditolak.
Hal ini menunjukkan bahwa: Ada perbedaan rerata yang signifikan antara sel A1B2
(penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai
diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah) dan sel A2B1
(penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya
jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi).
Rerata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai
diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah
X A1B2 = 45,38 , sedangkan rerata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori
xciii
tinggi X A2B1 = 58,93 . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan
pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok
dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah tidak lebih baik daripada
pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab
dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi terhadap kemampuan kognitif
Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
7. FA1B2-A2B2 = 0,457 < F0,05; 1,56 = 4,02 maka Ho diterima.
Hal ini menunjukkan bahwa: tidak ada perbedaan rerata yang signifikan antara sel
A1B2 (penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai
diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah) dan sel A2B2
(penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya
jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah).
Rerata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai
diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah
X A1B2 = 45,38 , sedangkan rerata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori
rendah X A2B2 = 46,87 . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan
pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok
dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah tidak lebih baik daripada
pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab
dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah terhadap kemampuan kognitif
Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
8. FA2B1-A2B2 = 32,289 > F0,05; 1,56 = 4,02 maka Ho ditolak.
Hal ini menunjukkan bahwa: Ada perbedaan rerata yang signifikan antara sel A2B1
(penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya
jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi) dan sel A2B2 (penggunaan
pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab
dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah).
Rerata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai
tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi X A2B1 = 58,93 ,
xciv
sedangkan rerata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode
demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah
X A2B2 = 46,87 . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan
konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap
belajar Fisika siswa kategori tinggi lebih baik daripada pendekatan konstruktivisme
melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa
kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan
Pemantulan Cahaya.
xcv
demikian serangkaian kegiatan eksperimen secara teratur dan terpadu akan
menghasilkan suatu konsep Fisika yang benar dan mudah dipahami.
Dengan cara melakukan eksperimen ini, siswa akan lebih percaya atas
kebenaran atau kesimpulan berdasarkan percobaannya sendiri. Selain itu dengan metode
ini diharapkan siswa akan lebih memahami arti konsep Fisika yang sesungguhnya.
Sedangkan penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi
disertai tanya jawab kurang cocok, karena dengan pendekatan konstruktivisme melalui
metode demonstrasi disertai tanya jawab siswa tidak dapat melakukan percobaan
sendiri, siswa hanya dapat melihat seorang guru yang melakukan demonstrasi dengan
demikian siswa sulit untuk memahami arah konsep yang ditanamkan oleh guru. Selain
itu sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya juga merupakan pokok bahasan yang
mempelajari hal-hal yang kecil dan abstrak sehingga apabila hanya dengan demonstrasi
kurang sesuai.
2. Hipotesis Kedua
Ada perbedaan pengaruh antara sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi dan
sikap belajar Fisika siswa kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa
pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
Siswa yang mempunyai sikap belajar Fisika kategori tinggi lebih mudah
menangkap materi dan juga mudah memahami dalam melakukan percobaan dalam
membuktikan suatu konsep, lebih kritis dalam berargumen, dan lebih rajin dalam
melakukan percobaan. Selain itu sikap belajar Fisika yang tinggi akan mendukung
untuk mereaksi atau merespon suatu tindakan yang baru. Dengan demikian sikap belajar
sangat diperlukan dalam mendukung suatu tindakan ilmiah, sehingga menghasilkan
hasil yang ilmiah. Sebaliknya siswa yang mempunyai sikap belajar Fisika kategori
rendah akan susah dalam memahami cara melakukan eksperimen, malas, dan kurang
dalam menanggapi suatu permasalahan konsep yang ada, karena merasa apa yang
dipelajari kurang bermanfaat.
3. Hipotesis Ketiga
Ada interaksi pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme
melalui metode pembelajaran dan sikap belajar Fisika siswa terhadap kemampuan
kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. Penggunaan
xcvi
pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan
sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi lebih baik daripada dengan pendekatan
konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dan sikap belajar
Fisika siswa kategori tinggi terhadap kemampuan kognitif Fisika. Penggunaan
pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan
sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi lebih baik daripada dengan pendekatan
konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dan sikap belajar
Fisika siswa kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika. Penggunaan
pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan
sikap belajar Fisika siswa kategori rendah tidak lebih baik daripada pendekatan
konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dan sikap belajar
Fisika siswa kategori tinggi terhadap kemampuan kognitif Fisika. Penggunaan
pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan
sikap belajar Fisika siswa kategori rendah tidak lebih baik daripada pendekatan
konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dan sikap belajar
Fisika siswa kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika. Penggunaan
pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dan sikap
belajar Fisika siswa kategori tinggi lebih baik daripada pendekatan konstruktivisme
melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dan sikap belajar Fisika siswa kategori
rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika. Penggunaan pendekatan konstruktivisme
melalui metode pembelajaran dan sikap belajar Fisika tinggi lebih baik daripada
penggunaan pendekatan konstruktivisme dan sikap belajar Fisika yang rendah terhadap
kemampuan kognitif Fisika siswa. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kemampuan
kognitif Fisika siswa yang diajar dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode
eksperimen disertai diskusi kelompok selalu lebih baik daripada dengan pendekatan
konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab baik pada siswa yang
mempunyai sikap belajar Fisika kategori tinggi maupun rendah. Di samping itu,
kemampuan kognitif Fisika pada siswa yang sikap belajarnya tinggi selalu lebih baik
daripada siswa yang sikap belajarnya rendah, baik yang diberi pengajaran dengan
pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok
maupun demonstrasi.
xcvii
Penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran yang
tepat yang sesuai dengan materi yang diajarkan akan memberikan hasil kemampuan
kognitif Fisika siswa yang optimal. Selain itu sikap belajar Fisika yang tinggi juga akan
mempengaruhi kemampuan kognitif siswa, semakin tinggi sikap belajar Fisika siswa,
maka akan semakin tinggi kemampuan kognitifnya. Sebaliknya semakin rendah sikap
belajar Fisika, maka akan semakin rendah pula kemampuan kognitif Fisika.
Penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran yang
sesuai dan sikap belajar Fisika siswa yang tinggi akan mengakibatkan meningkatnya
kemampuan kognitif Fisika siswa, sebaliknya kurang tepatnya metode pembelajaran dan
rendahnya sikap belajar Fisika akan mengakibatkan rendahnya kemampuan kognitif
Fisika siswa, karena dalam memahami konsep Fisika diperlukan semangat dan rasa
ingin tahu yang tinggi.
xcviii
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
i. Ada perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan demonstrasi disertai tanya jawab
terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan
Cahaya
ii. Ada perbedaan pengaruh antara sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi dan
kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan
Pemantulan Cahaya
iii. Ada interaksi antara pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode pembelajaran dan sikap belajar Fisika siswa terhadap kemampuan kognitif
Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya
xcix
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini dan implikasinya tersebut, maka dapat
diberikan beberapa saran sebagai berikut :
1. Guru Fisika diharapkan dalam penyampaian materi Fisika lebih memperhatikan
penggunaan metode pengajaran yang tepat sehingga kegiatan belajar mengajar
berjalan sesuai dengan tujuan yang dicapai dan materi yang disampaikan dapat
diterima oleh siswa secara efektif.
2. Kepada pihak sekolah termasuk guru hendaknya selalu berusaha agar siswa-siswa
tetap bersemangat untuk belajar, serta menjadikan belajar sebagai kebutuhan yang
harus dipenuhi sehingga siswa betah untuk belajar di sekolah.
3. Siswa hendaknya menyadari bahwa yang menentukan keberhasilan belajar adalah
siswanya sendiri yaitu salah satunya dengan memperhatikan sikap belajar.
c
DAFTAR PUSTAKA
ci
Saifuddin Azwar. 2002. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Sardiman,AM. 2004. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali
Persada
Suharsimi Arikunto. 2003. Dasar – dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka
Cipta
cii