You are on page 1of 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skizofrenia

2.1.1 Definisi Skizofrenia

Skizofrenia digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik

mayor yang ditandai dengan adanya perubahan berat pada perasaan, pikiran, persepsi

dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya

tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.

Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok, yaitu gejala

positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi, kekacauan pikiran,

gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala negatif adalah alam

perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau isolasi diri dari pergaulan,

‘miskin’ kontak emosional (pendiam, sulit diajak bicara), pasif, apatis atau acuh tak

acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan dorongan kehendak atau inisiatif . (Sadock

& Sadock, 2010)

Definisi skizofrenia menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis

Gangguan Jiwa III (PPDGJ III) menjelaskan bahwa skizofrenia adalah suatu sindrom

dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak

selalu bersifat kronis atau “deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang
tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada

umumnya skizofrenia ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan

karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar

(inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih dan kemampuan

intelektual dan biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu

dapat dapat berkembang kemudian. (Maslim, 2013)

2.1.2 Epidemiologi Skizofrenia

WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami

gangguan jiwa, di Indonesia diperkirakan mencapai 264 dari 1000 jiwa penduduk

yang mengalami gangguan jiwa. Salah satu gangguan jiwa psikosa fungsional yang

terbanyak adalah skizofrenia. data dari Riskesdas 2013 menyatakan prevalensi pasien

gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 1,7 per mil. Prevalensi terbanyak adalah

Propinsi DI Yogyakarta (2,7 per mil), Aceh (2,7 per mil), Sulawesi Selatan (2,6 per

mil), Bali (2,3 per mil), dan Jawa Tengah (2,3 per mil) (Lesmanawati, 2012).Di

Indonesia sendiri, kasus klien dengan Skizofrenia 25 tahun yang lalu diperkirakan

1/1000 penduduk dan diperkirakan dalam 25 tahun mendatang akan mencapai3/1000

penduduk . (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan

RI, 2013)

2.1.3 Etiologi Skizofrenia

Belum ditemukan etiologi yang pasti mengenai skizofrenia. Skizofrenia di

diskusikan seolah-olah sebagai suatu penyakit tunggal namun kategori diagnostiknya

mencakup sekumpulan gangguan, mungkin dengan kausa yang heterogen, tapi


dengan gejala perilaku yang sedikit banyak serupa. Pasien skizofrenia menunjukkan

presentasi klinis, respon terhadap terapi, dan perjalanan penyakit yang berbeda-beda.

(Sadock & Sadock, 2010)

a. Faktor Genetika

Skizofrenia mempunyai komponen yang diturunkan secara signifikan, kompleks

dan poligen. Sesuai dengan penelitian hubungan darah (konsanguinitas), skizofrenia

adalah gangguan bersifat keluarga. Semakin dekat hubungan kekerabatan semakin

tinggi resiko. (Xavier & Vordrestrasse, 2017)

Populasi Prevalensi Persen (%)

1. Populasi Umum 1%

2. Saudara kandung dengan skizofrenia 10%

3. Anak dengan salah satu orang tua skizofren 10-15%

4. Kembar dua telur dari pasien skizofren 10%

5. Anak dengan kedua orang tua skizofren 30-40%

6. Kembar satu telur dari pasien skizofren 40-50%

Tabel 2.1 Prevalensi Skizofrenia pada populasi tertentu


b. Faktor Diatesis-Stress

Model ini berpendapat bahwa seseorang yang memiliki kerentanan (diatesis)

jika dikenai stresor akan lebih mudah menjadi skizofrenia. Komponen

lingkungan mungkin biologikal (seperti infeksi) atau psikologis (misal kematian

orang terdekat). Sedangkan dasar biologikal dari diatesis selanjutnya dapat

terbentuk oleh pengaruh epigenetik seperti penyalahgunaan obat, stress

psikososial , dan trauma. (Erlina, Soewadi, & Dibyo, 2010)

c. Hipotesis Dopamin

Dari faktor biologis dikenal suatu hipotesis dopamine yang menyatakan

bahwa skizofrenia disebabkan oleh aktivitas dopaminergic yang berlebihan di

bagian kortikal otak, dan berkaitan dengan gejala positif dari skizofrenia.

Penelitian terbaru juga menunjukkan pentingnya neurotransmitter lain termasuk

serotonin, norepinefrin, glutamate dan GABA. Selain perubahan yang bersifat

neurokimiawi, penelitian yang menggunakan CT Scan otak ternyata ditemukan

perubahan anatomi otak seperti pelebaran lateral ventrikel, atropi krteks, atropi

otak kecil (cerebellum) terutama pada penderita kronis skizofrenia. (Dean, 2012)

d. Faktor Keluarga

Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting dalam

menimbulkan kekambuhan dan mempertahankan remisi. Pasien yang pulang ke

rumah sering relaps pada tahun berikutnya bila dibandingkan dengan pasien yang
ditempatkan di residensial. Pasien yang beresiko adalah pasien yang tinggal

bersama keluarga yang hostilitas, memperlihatkan kecemasan berlebihan, sangat

protektif terhadap pasien, terlalu ikut campur dan sangat pengeritik. Pasien

skizofrenia sering tidak “dibebaskan” oleh keluarganya. (Amir, 2014)

2.1.4 Perjalanan Penyakit Skizofrenia

Perjalanan penyakit Skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase

prodromal, fase aktif dan fase residual.

a. Fase prodromal biasanya timbul gejala gejala non spesifik yang lamanya

bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi

jelas. Gejala tersebut meliputi : hendaya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi

penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri. Perubahan perubahan ini

akan mengganggu individu serta membuat resah keluarga dan teman, mereka

akan mengatakan “orang ini tidak seperti yang dulu”. Semakin lama fase

prodromal semakin buruk prognosisnya.

b. Fase aktif gejala positif / psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku

katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir semua

individu datang berobat pada fase ini, bila tidak mendapat pengobatan gejala

gejala tersebut dapat hilang spontan suatu saat mengalami eksaserbasi atau terus

bertahan.

c. Fase residual dimana gejala gejalanya sama dengan fase prodromal tetapi

gejala positif / psikotiknya sudah berkurang.


Disamping gejala gejala yang terjadi pada ketiga fase diatas, penderita

skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif berupa gangguan berbicara

spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi, konsentrasi,

hubungan sosial). (Safitri, 2010)

2.1.5 Kriteria Diagnosis Skizofrenia

Kriteria Skizofrenia diambil Menurut Diagnostic And Statistical Manual Of

Mental Disorder, Fifth Edition (DSM-5), yaitu dijelaskan bahwa untuk menegakkan

diagnosis skizofrenia harus memenuhi kriteria :

A. jika ada dua atau lebih gejala dibawah ini, dimana gejala ini tampak secara

signifikan selama period 1 bulan (atau kurang jika dilakuan terapi yang berhasil)

dan sedikitnya satu dari gejala nomor 1,2 atau 3 :

1. Waham

2. Halusinasi

3. Bicara yang kacau

4. Perilaku katatonik atau aneh

5. Simptom negatif (emosi yang hilang, atau penarikan diri)

B. Adanya gangguan secara fungsi satu atau lebih fungsi penting, seperti bekerja,

hubungan interpersonal, atau perawatan diri.

C. Gejalanya berlangsung persisten minimal 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus

mencakup sedikitnya 1 bulan dari gejala (atau berkurang karena efek

pengobatan) yang dijumpai pada kriteria A dan juga termasuk gejala prodromal
atau gejala sisa. Selama gejala prodromal atau gejala sisa, keluhan yang nampak

berupa gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang ada pada kriteria A.

D. Gangguan skizoafektif dan depresi atau gangguan bipolar dengan psikotik

dikesampingkan jika : 1) tidak ada gambaran depresi mayor atau episode manik

yang terjadi pada fase aktif ini, atau 2) jika terjadi episode mood selama fase

aktif, yang menunjukkan gejala minimal atau sebagian besar pada fase aktif atau

gejala sisa pada penyakit saat ini.

E. Gangguan ini tidak diakibatkan oleh efek psikologi dari penggunaan obat seperti

penyalahgunaan obat atau kondisi medis lain.

F. Jika ada riwayat gangguan spektrum autism atau gangguan komunikasi pada

masa anak, diagnosis tambahan skizofrenia dibuat jika ada gejala dominan

halusinasi atau waham minimal 1 bulan (atau kurang jika dengan keberhasilan

pengobatan). (American Psychiatric Association , 2013)

Ada beberapa subtipe skizofrenia yang diidentifikasi berdasarkan variabel

klinik (berpedoman pada ICD-X) meliputi : Skizofrenia paranoid (F.20.0),

skizofrenia disorganisasi (hebefrenik) (F20.1), skizofrenia katatonik (F 20.2),

skizofrenia tak terinci (undifferentiated) (F20.3), depresi pasca-skizofrenia (20.4),

skizofrenia residual (F20.5), skizofrenia simpleks (F20.6), skizofrenia lainnya

(F20.7), skizofrenia yang tak tergolongkan (ytt) (F 20.8). (Amir, 2014)

Pedoman Diagnosis untuk menegakkan Skizofrenia menurut PPDGJ III yaitu:

1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua

gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. Thought echo yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema

dalam kepalanya. Thought insertion or withdrawal : isi pikiran yang asing dari

luar masuk ke dalam pikirannya (insertion ) atau isi pikirannya diambil keluar

oleh sesuatu dari/luar dirinya (withdrawal). Thought broadcasting yaitu isi

pikirannya tersiar ke luar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya.

b. Delusion of control adalah waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu

kekuatan tertentu. Delusion of influence adalah waham tentang dirinya

dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar. Delusion of passivity

adalah waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu

kekuatan dari luar. Delusion of perception yaitu pengalaman inderawi yang

tak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya biasanya bersifat mistik

atau mujizat.

c. Halusinasi auditorik, yaitu suara halusinasi yang berkomentar secara terus

menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien di antara

mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau jenis suara

halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.

d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat

dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan

agama atau politik tertentu atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia

biasa.

2. Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
a. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja apabila disertai baik oleh

waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan

afektif yang jelas , ataupun ide-ide berlebihan yang menetap, atau terjadi

selama setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus

menerus.

b. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolation) yang

berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.

c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement ), posisi tubuh

tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan

stupor.

d. Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan

merespon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya

mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja

sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh

depresi atau medikasi neuroleptika.

3. Adanya gejala- gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun waktu

satu bulan atau lebih.

4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu

keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal

behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak

berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan

penarikan diri secara sosial. (Maslim, 2013)

You might also like